Oleh :
Dibawakan Oleh :
Maria Aprilia Ekacitra Galis, S.Ked
Pembimbing:
dr. Irene Davidz, Sp.A
LATAR BELAKANG
Alat terapi hipotermi yang digunakan olympic cool-cap system, blanketrol II,
Arctic Sun temperature management system, Infant cooling evaluation, dan
total body hypothermia
Setelah mendapat persetujuan orang tua/wali, pasien penanganan dengan cara whole
body cooling(WBC) dan selective head cooling(SHC)
Dilakukan pencatatan usia/tanggal lahir pasien, suhu pasien, tekanan darah arterial, laju
pernapasan, PO2, PCO2, jumlah cairan, elektrolit, asupan nutrisi,dan monitoring kejang
untuk melihat perbedaan yang terjadi pada kelompok perlakuakan dan kontrol
Pasien yg diberikan terapi WBC target suhu intinya harus dipertahankan pada kisaran 33C-34C selama 72 jam,
dan yang diterapi dengam SHC suhu intinya harus dipertahankan pada kisaran 34C-35C selama 72 jam,
pemanasan kembali dilakukan secara perlahan dan kenaikan suhu inti tidak boleh lebih 0,5C/h, efek samping dari
pemanasan kembali dengan cepat akan menyebabkan hipotensi dan ketidakseimbangan elektrolit (hypoglikemia
dan hiperkalemia)
Sistem respirasi harus dimonitoring secara berkala untuk menghindari hyperoxemia dan hypocapnia, pada pasien
terapi hipotermi nilai metabolik menurun 5-8% setiap suhu tubuh menurun 1C dan penurununan CO. Setiap
penurunan suhu inti 1C, pH meningkat 0,015 dan PCO2 dan PO2 menurun 4% dan 7%.
Prinsip penanganan hipotensi pada pasien hipotermi dan noermotermi samaUntuk mencegah terjadinya
hipotensi maka direkomendasikan untuk mempertahankan tekanan darah arterial > 40-45mmHg. Dilakukan
ekokardigrafi sebagai panduan dalam memberikan regimen terapi, koreksi hipovolemia, dan bila terdapat
gangngguan kontraktilitas diberikan dobutamin. Jika detak jantung bayi > 110/menit harus dicari potensi
penyebab takikardi.
Pada pasien TH sangat besar kemunkinan terjadinya acute
tubular nekrosis, karena itu cairan harus dibatasi 60-
80mL/Kg per hari. Hypoglikemia juga bisa menyebabkan
cedera otak, serum glukosa harus berkisar <40mg/dL, kadar
kalium, kalsium dan magnesium dijaga dalam batas normal.
Karena kejang biasanya terjadi pada asfiksia maka perlu dilakukan EEG
secra berkelanjutan untuk memonitor kejang, dan terapi lini pertama
untuk kejang yaitu phenobarbital tetapi ratio keberhasilannya <50%
maka dari itu perlu diberikan 2 atau lebih antiepilepsi.
• MRI adalah marker untuk pemerikaan radiologis pada pasien.
Penggunaan MRI untuk melihat adanya lesi atau tidak yang
mempengaruhi terhadap perkembangan otak kedepananya, Akurasi
prediksi disabilitas dan kematian MRI pada grup hipotermi sebesar
0,84 dan pada grup nonhipotermi 0,81, sensivitas 91% dan
spesifitas 51%)