Anda di halaman 1dari 30

Kelompok:

1. Dicky Heriawan
2. Emilia Wati
3. Ina Yusnita Shalehah
4. Maidah
5. Novita Sari

1
1. Pengantar
 Sesuai dengan naturenya, subjek pajak meliputi orang
pribadi dan badan.
 WPLN dapat memperoleh/menerima penghasilan dari
Indonesia dengan berbagai cara dan sarana.

2
2. Wajib Pajak Luar Negeri
a. Pengertian Tidak bertempat
tinggal di Indonesia

Di Indonesia tidak
OP lebih dari 183 hari

Tidak niat tinggal di


PASAL 2 (4) Indonesia
WPLN
UU PPh
Tdk didirikan di
Indonesia
Badan
Tdk berkedudukan
di Indonesia
3
b. Kewajiban Pajak
 WPLN dikenakan PPh berdasarkan pertalian ekonomis
dalam bentuk:
1. Menjalankan usaha/melakukan kegiatan di Indonesia
2. Menerima penghasilan dari Indonesia
• Pasal 2A(3) dan (4) menyatakan bahwa kewajiban pajak
subjektif dan objektif WPLN timbul bersamaan
waktunya pada saat adanya pertalian ekonomis tersebut
yang berupa penerimaan/perolehan penghasilan atau
mulainya kegiatan usaha untuk itu.

4
 Selaras dengan wujud pertalian ekonomis, pemajakan
terhadap WPLN dapat dibedakan kepada mereka yang
memperoleh/menerima penghasilan dari:
1. Menjalankan usaha/melakukan kegiatan di Indonesia
2. Mengoperasikan anak usaha di Indonesia
3. Selain itu

5
3. WPLN yang Menjalankan Usaha/ Melakukan
Kegiatan di Indonesia (Memenuhi Ketentuan
BUT)
a. Pengantar
 WPLN yang menjalankan usaha/melakukan kegiatan di
Indonesia melalui suatu BUT di sana dianggap telah
mencapai suatu tingkat penetrasi ekonomi tertentu
setara dengan perusahaan nasional.
 Beberapa bentuk BUT: BUT fasilitas , BUT aktivitas, BUT
Keagenan, dan Perusahaan Asuransi.

6
b. BUT “Fasilitas Fisik”
 BUT kelompok ini ditengarai dengan adanya fasilitas fisik
(aset) yang merupakan tempat untuk menjalankan
sebagian atau seluruh usaha atau melakukan kegiatan
perusahaan WPLN di Indonesia.
 Beberapa contoh fasilitas fisik yang dapat dimasukkan ke
dalam kelompok “asset type” BUT: tempat kedudukan
manajemen, cabang perusahaan , kantor perwakilan,
gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan
penggalian sumber alam, dan perikanan, peternakan,
pertanian, perkebunan, dan kehutanan.

7
c. BUT “Aktivitas”
 Keberadaan BUT yang dikaitkan dengan aktivitas
merupakan fiksi BUT karena dari istilah aktivitas tidak
nampak adanya “fixed place of business” yang dipakai
sebagai tempat menjalankan usaha.
 Yang dapat dikelompokkan sebagai BUT fasilitas adalah
proyek konstruksi, instalasi, proyek perakitan dan
pemberian jasa selama lebih dari 60 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.

8
d. BUT “Keagenan”
 Aktivitas keagenan dapat dijalankan oleh orang pribadi
atau badan baik WPDN maupun WPLN. Badan tersebut
dapat merupakan badan independen atau anak, cucu,
cicit atau asosiasi perusahaan WPLN.
 Dengan keberadaan BUT, untuk tujuan administrasi
perpajakan, OP dan badan yang menjadi agen tersebut
mempunyai 2 identitas WP (WPDN atau WPLN untuk
dirinya sendiri dan WPLN untuk BUT).

9
e. BUT “Perusahaan Asuransi”
 Perusahaan asuransi WPLN yang menerima premi
asuransi/menanggung risiko di Indonesia melalui
agen/pegawai di Indonesia akan dikenakan pajak
berdasarkan pendekatan BUT (basis neto dan tarif
progresif), sedangkan mereka yang menerima
premi/menanggung risiko dengan cara selain
agen/pegawai dimaksud dikenakan pajak berdasar
pendekatan sumber (dipotong 20% dari perkiraan
pendapatan neto dari premi asuransi).

10
f. E-Commerce
 Pengoperasian komputer untuk kegiatan e-commerce
tersebut dilakukan dari suatu tempat tertentu dapat
menimbulkan adanya BUT fasilitas .
 Namun jika pengoperasiannya hanya lewat website di
internet yang hanya fasilitas fisik tertentu akan sulit
diklarifikasikan sebagai BUT.

11
g. Lokasi Usaha & Kegiatan di Indonesia
 Seseorang yang memberikan jasa profesional di Indonesia
dapat dianggap melakukan kegiatan di Indonesia.
 Dalam kaitannya dengan berbagai tipe BUT, lokasi dari
fasilitas, kegiatan/keberadaan agen dapat dirujuk sebagai
fakta atau keadaan yang menunjukkan letak
usaha/kegiatan dilakukan.
 Sementara itu residensi pembayar premi asuransi/lokasi
risiko (di Indonesia) dapat dirujuk sebagai lokasi
penerimaan premi asuransi/penutupan risiko di
Indonesia.

12
h. Penghasilan Domestik dan Luar Negeri
Terkait dengan BUT
 Atribusi PKP kepada BUT dapat didasarkan atas atribusi
faktual, atribusi tarik paksa dan atribusi atas kaitan
efektif.
 BUT di Indonesia dapat jadi memperluas kegiatan
usahanya ke mancanegara seperti dengan membuka
ranting usaha.
 Sesuai ketentuan Pasal 24 (3) (d) penghasilan usaha dari
ranting usaha dimaksud tidak akan dikenakan PPh
Indonesia. Demikian juga dengan penerimaan barang
atas surplus kas BUT Indonesia yang didepositokan di
berbagai negara.

13
Terminasi
BUT

Terjadi karena Keuntungan

Dihitung
berdasar harga
Pemekaran Pengambilalihan Likuidasi pasar harta BUT
dimaksud

14
4. WPLN yang Menjalankan Usaha/Kegiatan
dengan Indonesia (Belum Memenuhi
Ketentuan BUT)
a. Pengertian
 Pemajakan atas penghasilan dari usaha yang
dijalankan/kegiatan yang dilakukan WPLN di Indonesia
dapat dikelompokkan menjadi pemajakan atas
penghasilan dari usaha/kegiatan pada umumnya,
pemberian jasa, dan perusahaan asuransi.

15
b. Usaha & Kegiatan Pada Umumnya
• Berdasar pendekatan ambang batas, penghasilan dari
usaha yang dijalankan/kegiatan yang dilakukan dengan
(di) Indonesia yang belum mencapai tingkat ambang
batas pemajakan tidak dikenakan pajak oleh negara tsb.

16
c. Pemberian Jasa
• Pemberian jasa dapat menjadi BUT jika berlangsung
selama lebih dari 60 hari. (Pasal 2(5) UU PPh)

17
d. Perusahaan Asuransi
• Penerimaan premi/penuutpan risiko di Indonesia oleh
perusahaan WPLN pertama-tama dapat dikenakan
pemajakan per basis prakiraan penghasilan neto
dengan sistem pemotongan.
• Penghasilan perusahaan asuransi WPLN dikenakan
pajak berdasarkan taksiran penghasilan neto.
• Prakiraan penghasilan yang dimaksud adalah 50%
(untuk asuransi pertama), 10% untuk reasuransi
pertama dan 5% untuk reasuransi kedua, dst.

18
5. Pengoperasian Anak Perusahaan
a. Pengantar
 Dari segi pemajakan, sementara mendirikan cabang
perusahaan dapat memunculkan WP Badan Dalam
Negeri.
b. Anak Perusahaan Tidak Dengan Sendirinya
Merupakan BUT
 Sebagai entitas terpisah dari induk perusahaan (WPLN),
anak perusahaan mempunyai eksistensi sendiri dan
umumnya bukan otomatis dengan sendirinya merupakan
BUT dari WPLN dimaksud.

19
c. Pemajakan Anak Perusahaan
• Dividen yang dibagikan kepada badan (WPLN) selalu
terutang pajak per basis bruto dengan tarif 20%.
d. Penghasilan Luar Negeri Anak
Perusahaan
• Semua penghasilan yang diperoleh dari luar Indonesia
melalui suatu BUT di luar Indonesia/penghasilan pasif
maupun kategori lainnya, akan dikenakan pajak (lagi)
oleh Indonesia.

20
c. Pemajakan Anak Perusahaan
• Dividen yang dibagikan kepada badan (WPLN) selalu
terutang pajak per basis bruto dengan tarif 20%.
d. Penghasilan Luar Negeri Anak
Perusahaan
• Semua penghasilan yang diperoleh dari luar Indonesia
melalui suatu BUT di luar Indonesia/penghasilan pasif
maupun kategori lainnya, akan dikenakan pajak (lagi)
oleh Indonesia.

21
e. Terminasi Anak Perusahaan
• Terminasi kepemilikan saham pada anak
perusahaan dapat terjadi karena pengalihan saham
dimaksud.
• Keuntungan dari terminasi pemilikan saham pada
anak perusahaan langsung dikenakan pajak pada
pemegang saham (induk perusahaan sebagai
keuntungan pengalihan harta)

22
6. Persekutuan Indonesia dg Sekutu WPLN
 Sesuai dengan adminstrasi pemajakan Indonesia yang
mempunyai penghasilan adalah persekutuan bukan
sekutunya, sedangkan menurut ketentuan perpajakan
negara tempat tinggal sekutu yang mempunyai
penghasilan dan dikenakan pajak adalah sekutunya.

23
7. WPLN Penerima Penghasilan dari Sumber di
Indonesia

Penghasilan yang dipotong Pajak per Basis Bruto

• Dividen, bunga (premi, diskonto, imbalan


sehubungan pengembalian utang), royalti, sewa,
hadiah, penghargaan, dsb

24
Penghasilan yang dipotong Pajak per Basis Neto

• Penghasilan tersebut antara lain penghasilan dari


penjaualan harta dan premi asuransi
• Penghasilan dari penjualan saham di bursa efek
dipotong pajak sebesar 0,1% dari jumlah bruto, jika
saham tsb merupakan saham pendiri ditambah 5%.

25
8. Penghasilan yang Tidak Dikenakan Pajak

Pembebasan Subjektif

Pembebasan Objektif

26
9. Aspek P3B
 Apabila terdapat P3B antara Indonesia dengan negara
tempat kedudukan/residensi WPLN yang
memperoleh/menerima penghasilan dari Indonesia.
P3B dimaksudkan akan membatasi hak pemajakan
Indonesia berdasar ketentuan domestik.

27
10. Prosedur Pemungutan
 Secara filosofis orang yang tidak hadir /hadir di
Indonesia namun tidak permanen (WPLN) nampak
memperoleh keringanan beban pemajakan domestik.
 UU PPh memperkenalkan dua sistem pemungutan
yaitu self assessment dan witholding system.

28
b. Self Assessment
 Agar sistem self assessment dapat berjalan dengan
baik, BUT wajib melakukan pembukuan sedemikian
rupa sehingga dapat menghitung sendiri PPh-nya dan
melaporkan perhitungan itu ke dalam SPT.

29
b. Witholding System
1) Mekanisme pemotongan
 Berdasarkan ketentuan Pasal 26, si pembayar
merupakan pihak yang diwajibkan sebagai pemotong
(withholder).
 WPLN menolak pemotongan
 WPLN kurang suka untuk urusan dengan potongan
pajak, karena itu mereka berkelit dengan cara
meminta penyedia menanggung beban potongan
pajak mereka/melakukan kontrak dengan syarat “net
basis”.

30

Anda mungkin juga menyukai