Anda di halaman 1dari 36

Kelompok 5

Tya Muldiyana (1708020047)


Fita Satriani (1708020008)
Bayu Harnanto (1708020015)
Nurul Utami M.N (1708020109)
Amaliah Fauziah Kadir (1708020076)
 PERMENKES RI NO. 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

 PERMENKES RI NO. 9 Tahun 2017 tentang


Apotek
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian.
2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian.
3. Melindungi pasien dan masyarakat dari
penggunaan Obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien (patient safety).
 Pasal 6
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek
harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.

 Pasal 7
Penyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian di
Apotek wajib mengikuti Standar Pelayanan
Kefarmasian sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri ini.
 Pasal 12
1. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam
Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi
administratif.
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. Peringatan tertulis
b. Penghentian sementara kegiatan;
dan/atau
c. Pencabutan izin.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai, meliputi :
1. Perencanaan
2. Pengadaan
3. Penerimaan
4. Penyimpanan
5. Pemusnahan
6. Pengendalian
7. Pencatatan dan pelaporan
 Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan Resep
2. Dispensing
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
4. Konseling
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home
pharmacy care)
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus
memenuhi kriteria:
1. Persyaratan administrasi
a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang
terakreditasi
b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
2.Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda
pengenal.
3.Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing
Professional Development (CPD) dan mampu memberikan
pelatihan yang berkesinambungan.
4.Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan
pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop,
pendidikan berkelanjutan atau mandiri.
5.Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap
peraturan perundang undangan, sumpah Apoteker, standar
profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar
kompetensi dan kode etik)
yang berlaku.
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian
seorang apoteker harus menjalankan peran
yaitu:
1. Pemberi layanan
2. Pengambil keputusan
3. Komunikator
4. Pemimpin
5. Pengelola
6. Pembelajar seumur hidup
7. Peneliti
Evaluasi mutu di Apotek dilakukan terhadap:
1. Mutu Manajerial
2. Mutu Pelayanan Farmasi Klinik
A. Metode Evaluasi
1. Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas
pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang
memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja yang
berkaitan dengan standar yang dikehendaki. Oleh karena
itu, audit merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi,
menyempurnakan Pelayanan Kefarmasian secara sistematis.
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap proses dan hasil pengelolaan.
Contoh:
1. Audit Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai lainnya (stock opname)
2. Audit kesesuaian SPO
3. Audit keuangan (cash flow, neraca, laporan rugi laba)
2. Review
Review yaitu tinjauan/kajian terhadap pelaksanaan Pelayanan
Kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Review dilakukan
oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap pengelolaan
Sediaan Farmasi dan seluruh sumber daya yang digunakan.
Contoh:
1. Pengkajian terhadap Obat fast/slow moving
2. Perbandingan harga Obat
3. Observasi
Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap seluruh proses pengelolaan Sediaan Farmasi.
Contoh:
1. Observasi terhadap penyimpanan Obat
2. Proses transaksi dengan distributor
3. Ketertiban dokumentasi
B. Indikator Evaluasi Mutu
1. Kesesuaian proses terhadap standar
2. Efektifitas dan efisiens
1. Metode Evaluasi Mutu
a. Audit
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap proses dan hasil pelayanan
farmasi klinik.
Contoh:
1. Audit penyerahan Obat kepada pasien oleh Apoteker.
2. Audit waktu pelayanan.
b. Review
Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap pelayanan farmasi klinik dan
seluruh sumber daya yang digunakan.
Contoh: Review terhadap kejadian medication error.
c. Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan
menggunakan kuesioner. Survei dilakukan
oleh Apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap mutu pelayanan dengan
menggunakan angket/kuesioner atau wawancara
langsung.
Contoh: Tingkat kepuasan pasien.
d. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung
aktivitas atau proses dengan menggunakan
cek list atau perekaman. Observasi dilakukan
oleh berdasarkan hasil monitoring terhadap
seluruh proses pelayanan farmasi klinik.
Contoh : Observasi pelaksanaan SPO pelayanan.
2. Indikator Evaluasi Mutu
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi
mutu pelayanan adalah:
a. Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero
deffect dari medication error.
b. Standar Prosedur Operasional (SPO): untuk
menjamin mutu pelayanan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
c. Lama waktu pelayanan Resep antara 15-30
menit.
d. Keluaran Pelayanan Kefarmasian secara klinik
berupa kesembuhan penyakit pasien,
pengurangan atau hilangnya gejala penyakit,
pencegahan terhadap penyakit atau gejala, dan
memperlambat perkembangan penyakit.
PERMENKES RI NO. 9 Tahun
2017 tentang Apotek
 Pasal 3
1. Apoteker dapat mendirikan Apotek
dengan modal sendiri dan/atau modal
dari pemilik modal baik perorangan
maupun perusahaan.
2. Dalam hal Apoteker yang mendirikan
Apotek bekerjasama dengan pemilik
modal maka pekerjaan kefarmasian harus
tetap dilakukan sepenuhnya oleh
Apoteker yang bersangkutan.
 Pasal 4
Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan,
meliputi:
a. Lokasi
b. Bangunan
c. Sarana, prasarana, dan peralatan
d. Ketenagaan
 Pasal 5
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat
mengatur persebaran Apotek di wilayahnya
dengan memperhatikan akses masyarakat
dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian.
 Pasal 6
1. Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan,
kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian
pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan
keselamatan bagi semua orang termasuk
penyandang cacat, anak-anak, dan orang lanjut
usia.
2. Bangunan Apotek harus bersifat permanen.
3. Bangunan bersifat permanen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat merupakan bagian
dan/atau terpisah dari pusat perbelanjaan,
apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah
susun, dan bangunan yang sejenis.
 Pasal 7
Bangunan Apotek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 paling sedikit memiliki sarana ruang yang
berfungsi:
1. Penerimaan Resep
2. Pelayanan Resep dan peracikan (produksi
sediaan secara terbatas)
3. Penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan
4. Konseling
5. Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan
6. Arsip
 Pasal 8
Prasarana Apotek paling sedikit terdiri atas:
1. Instalasi air bersih
2. Instalasi listrik
3. Sistem tata udara
4. Sistem proteksi kebakaran
 Pasal 9
1. Peralatan Apotek meliputi semua peralatan
yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
pelayanan kefarmasian.
2. Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) antara lain meliputi rak obat, alat
peracikan, bahan pengemas obat, lemari
pendingin, meja, kursi, komputer, sistem
pencatatan mutasi obat, formulir catatan
pengobatan pasien dan peralatan lain
sesuai dengan kebutuhan.
 Pasal 11
1. Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan
Apotek dapat dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga
Teknis Kefarmasian dan/atau tenaga administrasi.
2. Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memiliki
surat izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
 Pasal 12
1. Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari
Menteri.
2. Menteri melimpahkan kewenangan pemberian
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
3. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa SIA.
4. SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
 Pasal 13
1. Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus
mengajukanpermohonan tertulis kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan
menggunakan Formulir 1.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus ditandatangani oleh Apoteker disertai
dengan kelengkapan dokumen administratif
meliputi:
a. Fotokopi STRA dengan menunjukan STRA asli
b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)
c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker
d. Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan
e. Daftar prasarana, sarana, dan peralatan
Pasal 16
Apotek menyelenggarakan fungsi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik, termasuk di
komunitas.
 Pasal 17
Apotek hanya dapat menyerahkan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai kepada:
1. Apotek lainnya
2. Puskesmas
3. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
4. Instalasi Farmasi Klinik
5. Dokter
6. Bidan praktik mandiri
7. Pasien
8. Masyarakat
 Pasal 18
1. Apotek wajib memasang papan nama yang terdiri
atas:
a. Papan nama Apotek, yang memuat paling
sedikit informasi mengenai nama Apotek,
nomor SIA, dan alamat.
b. Papan nama praktek Apoteker, yang memuat
paling sedikit informasi mengenai nama
Apoteker, nomor SIPA, dan jadwal praktik
Apoteker.
2. Papan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dipasang di dinding bagian depan bangunan
atau dipancangkan di tepi jalan, secara jelas dan
mudah terbaca.
3. Jadwal praktik Apoteker sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus berbeda dengan jadwal
praktik Apoteker yang bersangkutan di fasilitas
kefarmasian lain.
 Pasal 19
Setiap Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian
harus bekerja sesuai dengan standar profesi,
standar prosedur operasional, standar pelayanan,
etika profesi, menghormati hak pasien dan
mengutamakan kepentingan pasien.
 Pasal 25
1. Apotek dapat bekerja sama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan
asuransi lainnya.
2. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan rekomendasi dinas
kesehatan kabupaten/kota.
 Apotek Berkah Jaya, berada di sebuah kota
dipinggir kota wisata, buka hanya sore hari jam
16.00 sd 21.00, tetapi pasiennya sangat ramai,
jumlah resep yang di layani rata-rata perhari 75
lembar, apotek tersebut memiliki 1 apoteker, 2 AA
dan 2 pekarya. Ketika penyerahan obat mereka
tidak sempat memberikan informasi yang cukup,
karena banyaknya pasien yang dilayani,
apotekernya datang tiap hari pada jam 19.00,
karena pegawai dinas kesehatan setempat.
 Pembahasan :
Pada kasus tersebut Apoteker melanggar sumpah profesi,
karena apoteker tersebut tidak menjalankan tugas dengan
sebaik-baiknya, Apoteker datang terlambat dan tidak
memberikan informasi kepada pasien sehingga
penggunaan obat oleh pasien tidak dilakukan dengan
baik, hak paien juga tidak dipenuhi, akibatnya MESO tidak
terlaksana, sehingga memungkinkan terjadinya
pelanggaran pada kepentingan perikemanusiaan.
 Pasal 1:
Sumpah/janji apoteker, setiap apoteker harus
menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah apoteker.

 Pembahasan :
Apoteker dalam kasus diatas telah melanggar
kode etik apoteker pasal 1 dengan tidak
menjalankan tugas dengan sebaik – baiknya,
apoteker datang terlambat dan tidak
memberikan asuhan kefarmasian kepada
pasien.
 Pasal 3:
Setiap apoteker harus senantiasa menjalankan
profesinya sesuai kompetensi apoteker indonesia
serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh
pada prinsip kemanuasiaan dalam melaksanakan
kewajibannya.

 Pembahasan :
Dari kasus diatas, apoteker tidak menjalankan
profesinya sesuai kompetensi apoteker indonesia
karena apoteker tersebut tidak memberikan informasi
obat dan konseling kepada pasien, dimana apoteker
berkewajiban untuk memberikan informasi obat dan
konseling kepada pasien.
 Pasal 7:
Seorang apoteker harus menjadi sumber informasi
sesuai dengan profesinya.
 Pembahasan :
Dari kasus di atas apoteker tidak memberikan
informasi kepada pasien, sehingga apoteker secara
jelas melanggar pasal 7 kode etik apoteker.
Pelanggaran yang dilakukan oleh apoteker jelas
menunjukkan bahwa apoteker tidak mengutamakan
dan tidak berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan.
Dampak dari kurangnya informasi penggunaan obat
dapat menyebabkan efek yang merugikan bagi pasien
seperti tidak membaiknya kondisi pasien, penyakit
bertambah parah, dan timbul efek samping yang
dapat membahayakan keselamatan pasien.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai