Anda di halaman 1dari 16

DISUSUN

OLEH :
RACI WANDA SINAGA
ISNA RAMADHANI PUTRI
MUHAMMAD GOFAR HERMANDA
Hak Guna Wilayah Hukum Perikanantelah ada
berabad-abad lamanya dan secara luas berlaku
bagi sumberdaya yang menetap. Hak ini
muncul pada sejumlah perikanan laut dalam
masyarakat tradisional dan diterapkan secara
hukum bagi keperluan teknis seperti pada alat
pengumpul ikan terapung dan bentuk-bentuk
lain dari alat tangkap yang bersifat menetap.

Hak Guna Wilayah Hukum dalam Perikanan


(HGWHP) secara tradisional hak tersebut
muncul sehingga pada kondisi tertentu secara
relatif membiarkan terjadinya monopoli.
Hak Guna Wilayah Hukum Perikanan penting
untuk tujuan efisiensi sumberdaya.
Konsekuensi dari adanya hak guna wilayah ini
adalah timbulnya “pemilikan tunggal” dari
suatu komunitas sehingga tidak akan terjadi
kerusakan yang parah (over eksploitatif)
sebagaimana yang terjadi dalam akses terbuka
pada sumberdaya milik bersama yang telah
lama dikenal.
penetapan lokasi Hak Guna Wilayah Hukum
Perikanan muncul untuk memberikan suatu
kesempatan penting bagi perbaikan (atau
pemeliharaan) kesejahteraan masyarakat nelayan
skala kecil di negara-negara berkembang.

Wilayah Hak Guna Wilayah Hukum Perikanan


meliputi permukaan, dasar atau kolom air
seluruhnya yang tercakup dalam daerah khusus .
Ukuran wilayah hukum akan bervariasi sesuai
dengan pemanfaatannya, sumberdaya yang
dihasilkan dan sifat-sifat geografinya.
Wilayah hukum harus dapat dipertahankan dan
dilindungi oleh hukum dan lembaga-lembaga
negara sehingga batasan wilayah hukum harus
diberi garis demarkasi dan dapat dikenali secara
jelas.

Konsep-konsep kepemilikan di laut sebenarnya


kurang berkembang dan sulit dipahami karena
faktor alam di laut yaitu ketidakstabilan medium
dan sumber daya. Kesulitan lainnya adalah
hambatan penyeragamannya karena perbedaan
sikap budaya masyarakat terhadap kepemilikan
Dalam rangka pengembangan Hak Guna
Wilayah Hukum Perikanan perlu
dikembangkan:
a. hak pemisahan (right of exclusion) yaitu hak
untuk pembatasan atau akses pengawasan
terhadap wilayah hukum.
b. hak penentuan jumlah dan jenis
pemanfaatan di dalam wilayah hukum.
c. hak untuk memperoleh manfaat dari
pemanfaatan sumberdaya di dalam wilayah
hukum .
Pembentukan dan pemeliharaan Hak Guna
Wilayah Hukum Perikanan dipengaruhi oleh
kondisi:
a. sumberdaya;
b. kepastian mengenai batasan-batasan
wilayah;
c. penggunaan teknologi;
d. sikap budaya;
e. pengaruh distribusi kekayaan;
f. sistem pemerintahan dan kerangka kerja
kelembagaan
Model pengelolaan lahan tangkap nelayan
tradisional biasanya meliputi batas laut,
kepemilikan daerah tangkapan menurut adat
setempat, alat yang digunakan dalam
penangkapan dan mekanisme pembagian hasil.

Pola kepemilikan wilayah tangkap kebanyakan


diturunkan dari generasi ke generasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka Hak Guna


Wilayah Hukum Perikanan dapat didefinisikan
sebagai hak untuk mengelola sumberdaya pesisir
dan laut yang meliputi batasan-batasan wilayah
yang jelas dengan cara dan sikap budaya tertentu
yang didalamnya terdapat distribusi kekayaan
(hasil) dan kerangka kerja kelembagaan.
Menghadapi berbagai permasalahan dalam
pengelolaan sumber daya alam, maka
dibutuhkan perubahan paradigma yaitu dengan
dijaminnya penguasaan (entitlement) sumber
daya alam oleh masyarakat maka akan
menjamin perlindungan sumber daya alam
yang selama ini memang sudah dilakukan
secara sadar oleh masyarakat lokal.
Melalui “entitlement” akan memperkuat posisi
tawar masyarakat untuk menghadapi tekanan
investasi yang cenderung menggunakan
fasilitas birokrasi untuk mempermudah hak-
hak penguasaan sumber daya alam dan
mengabaikan hak-hak penguasaan sumber
daya alam yang selama ini ada di masyarakat.
Di dalam mewujudkan perubahan paradigma
tersebut maka perlu didorong pelaksanaan
asas free, prior informed consent kepada
masyarakat untuk setiap kegiatan pengelolaan
sumber daya alam.
“Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi
(Informed) sebelum (Prior) sebuah program
atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam
wilayah mereka, dan berdasarkan informasi
tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan
(Free) menyatakan setuju (Consent) atau
menolak atau dengan kata lain sebuah hak
masyarakat (adat) untuk memutuskan jenis
kegiatan pembangunan macam apa yang
mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam
wilayah adat mereka.”
Tujuan pengelolaan sumber daya pesisir dan
laut yang berbasis masyarakat adalah:

a. Mendapatkan pengakuan akan “hak milik”


masyarakat atas kawasan yang disepakati;
b. Menerapkan “aturan lokal” dalam
pengelolaan kawasan, baik untuk kegiatan
konservasi maupun pemanfaatan sumber
daya alam;
c. Menghidupkan “organisasi lokal” untuk
menjaga dan mengelola kawasan;
d. Agar pemerintah maupun masyarakat tidak
semena-mena menjual tanah atau hutan
atau laut.
Di dalam mewujudkan tujuan pengelolaan
pesisir dan laut tersebut maka prinsip-prinsip
pokok penyusunan kebijakannya adalah
sebagai berikut:
a. Alas Hak
Prinsip yang mengatur kepastian usaha dan
kepastian hak penguasaan atas sumber
daya pesisir dan laut.
b. Pendekatan holistik dan berkelanjutan;
Pengelolaan sumber daya alam berdasarkan
daya dukung ekosistem dan potensi
rehabilitasi dari sumber daya alam
terbarukan.
c. Pengakuan Keberagaman Sistem
Pengelolaan Sumber Daya Alam;
Masyarakat adat mengandalkan sumber
daya alam yang ada sekitarnya sebagai
sumber hidup.

d. Desentralisasi;
Desentralisasi bukan hanya berarti
wewenang pemerintah daerah, tetapi juga
kedaulatan rakyat dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungannya.
e. Kontrol Sosial Dan Partisipasi Masyarakat;
Di dalam mencegah praktek monopoli
dalam penguasaan sumber daya alam harus
ada fungsi kontrol dan keterlibatan
masyarakat dalam pengambilan keputusan.

f. Keadilan Antar dan Intra Generasi.


Tidak boleh terjadi diskriminasi di dalam
mengakses sumber daya alam. Pemerintah
haruslah melindungi masyarakat yang
lemah dari kompetisi dengan kelompok
masyarakat yang kuat

Anda mungkin juga menyukai