Anda di halaman 1dari 37

Dasar Sintesa Obat

Sintesis Bahan Obat Feromon

Dosen Pengampu : Febri Hidayat, S. Si., MBA., Apt

Euis Cholishoh
201851084
Sejarah feromon

• Feromon, berasal dari bahasa Yunani ‘phero’ yang artinya ‘pembawa’

dan‘mone’ ‘sensasi’. Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi

untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan

maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh

makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan

untuk membantu proses reproduksi. Berbeda dengan hormon, feromon

menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh

individu lain yang sejenis (satu spesies)(Baysinger,2004).


Sejarah feromon
Ketika pertama kali ditemukan pada serangga, feromon banyak dikaitkan dengan fungsi
reproduksi serangga. Penemu zat feromon pertama kalinya pada hewan (serangga) adalah
Jean-Henri Fabre, ketika pada satu musim semi tahun 1870 an pengamatannya pada ngengat
‘Great peacock’ betina keluar dari kepompongnya dan diletakkan di kandang kawat di meja
studinya untuk beberapa lama menemukan bahwa pada malam harinya lusinan ngengat
jantan berkumpul merubung kandang kawat di meja studinya. Fabre menghabiskan tahun-
tahun berikutnya mempelajari bagaimana ngengat-ngengat jantan‘menemukan’ betina-
betinanya. Anhidrida asetat dengan bantuan sedikit asam sulfat pekat sebagai katalisator
(Baysinger, 2004).

Fabre sampai pada kesimpulan jika ngengat betina menghasilkan ‘zat


kimia’tertentu yang baunya menarik ngengat-ngengat jantan.
Feromon pada Organisme berbeda

1. Feromon Pada Kupu-kupu


Ketika kupu-kupu jantan atau betina mengepakkan sayapnya, saat itulah
feromon tersebar diudara dan mengundang lawan jenisnya untuk
mendekat secara seksual. Feromon seks memiliki sifat yang spesifik
untuk aktivitas biologis dimana jantan atau betina dari spesies yang lain
tidak akan merespons terhadap feromon yang dikeluarkan betina atau
jantan dari spesies yang berbeda
Feromon pada Organisme berbeda

2. Feromon Pada Rayap

Untuk dapat mendeteksi jalur yang dijelajahinya, individu rayap yang berada di


depan mengeluarkan feromon penanda jejak (trail following pheromone) yang
keluar dari kelenjar sternum (sternal gland di bagian bawah, belakang abdomen),
yang dapat dideteksi oleh rayap yang berada di belakangnya. Sifat kimiawi feromon
ini sangat erat hubungannya dengan bau makanannya sehingga rayap mampu
mendeteksi obyek makanannya.
Feromon pada Organisme berbeda

3.  Feromon Pada Ngengat

Feromon bertindak sebagai alat pemikat seksual antara betina dan jantan. Jenis feromon yang
sering dianalisis adalah yang digunakan ngengat sebagai zat untuk melakukanperkawinan. 
Ngengat gipsi betina dapat mempengaruhi ngengat jantan beberapa kilometer jauhnya dengan
memproduksi feromon yang disebut "disparlur". Karena ngengat jantan mampu mengindra
beberapa ratus molekul dari betina yang mengeluarkan isyarat dalam hanya satu mililiter
udara, disparlur tersebut efektif saat disebarkan di wilayah yang sangat besar sekalipun.
Feromon pada Organisme berbeda

4.  Feromon Pada Semut dan Lebah Madu


Feromon memainkan peran penting dalam komunikasi serangga. Semut menggunakan
feromon sebagai penjejak untuk menunjukkan jalan menuju sumber makanan. Bila 
lebah madu menyengat, ia tak hanya meninggalkan sengat pada kulit korbannya,
tetapi juga meninggalkan zat kimia yang memanggil lebah madu lain untuk
menyerang. Semut pekerja dari berbagai spesies mensekresi feromon sebagai zat
tanda bahaya, yang digunakan ketika terancam musuh; feromon disebar di udara dan
mengumpulkan pekerja lain. Bila semut-semut ini bertemu musuh, mereka juga
memproduksi feromon sehingga isyaratnya bertambah atau berkurang, bergantung
pada sifat bahayanya.
Feromon pada Organisme berbeda

5. Hamster, Gajah dan Ngengat


Hamster betina, menggunakan dimetil disulfida untuk menarik
hamster jantan mendekat. gajah dan ngengat mempunyai
feromon seks yang sama, yakni Z-7-dodesen-1-il-asetat. Namun
walaupun sama, gajah dan ngengat tidak akan saling tertarik
karena Z-7-dodesen-1-il-asetat yang dihasilkan ngengat terlalu
sedikit untuk dirasakan gajah, begitu juga sebaliknya.
Feromon pada Organisme berbeda

6. Anggrek
Pada beberapa jenis anggrek, diproduksi
feromon yang menyerupai feromon yang
disekresi kumbang betina, untuk menarik
kumbang jantan untuk membantu proses
penyerbukan.
Feromon pada Organisme berbeda

7. Feromon Pada Manusia

Feromon pada manusia merupakan sinyal kimia yang berada di udara yang tidak bisa dideteksi


melalui bau-bau an tapi hanya bisa dirasakan oleh VMO di dalam hidung/indra pencium. 
Organ vomeronasal (VNO) atau disebut juga organ Jacobson adalah organ pembantu dalam 
sistem penciuman. Pada manusia dewasa, lokasinya berada pada antara mulut dan hidung.
Sinyal ini dihasilkan oleh jaringan kulit khusus yang terkonsentrasi di dalam lengan. Sinyal
feromon ini diterima oleh VMO dan dijangkau oleh bagian otak bernama hipotalamus. Di
sinilah terjadi perubahan hormon yang menghasilkan respons perilaku dan fisiologis.
Manfaat dan Fungsi bagi
Organisme Awal

Berdasarkan fungsinya ada dua kelompok feromon yaitu:


a. Feromon “releaser”, yang memberikan pengaruh langsung terhadap sistem syaraf pusat
individu penerima untuk menghasilkan respon tingkah laku dengan segera. Feromon
ini terdiri atas tiga jenis, yaitu feromon seks, feromon jejak, dan feromon alarm.
b. Feromon primer, yang berpengaruh terhadap system syaraf endokrin dan reproduksi
individu penerima sehingga menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis
(Nurnasari, 2009).
Manfaat dan Fungsi bagi
Organisme Awal

Menurut Sutrisno (2008), feromon dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya
•         Feromon jejak
Merupakan feromon yang digunakan untuk menunjukan arah kelompok/koloni suatu serangga.
Contohnya pada semut,pada semut ini digunakan feromon sebagai penunjuk jejak.
•         Feromon alarm
Merupakan feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang
datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa membubarkan diri atau
membentuk pertahanan koloni. Beberapa anggota familia Hemiptera dan serangga sosial
menggunakan feromon ini untuk menghadapi bahaya. Bahan feromon ini pada afid misalnya,
dikeluarkan melalui kornikulanya, yang mengandung bahan feromon alarm umumnya farnesen, dan
menyebabkan afid yang berada di sekitarnya menjatuhkan diri, menjauh atau meloncat pergi.
Wilson dan Bosert, ahli serangga sosial terutama semut, menduga bahwa bahan feromon alarm
harus menghasilkan penanda yang bersifat lokal, jelas dan pendek/singkat. Feromon harus
menyebar dengan cepat untuk dapat mengkoordinir terbentuknya pertahanan koloni dan harus
segera lenyap agar tidak memunculkan tanda bahaya yang keliru. Agar dapat dilacak dengan
mudah, ruang aktifnya harus sempit. Pada semut misalnya, feromon ini bahan utamanya adalah
senyawa 4-metil-3-heptanon dan dikeluarkan melalui kelenjar mandibula. Jika kepala seekor semut
pekerja dihancurkan, isi kelenjar mandibulanya akan menyebar mencapai radius ruang aktif sekitar
6 cm dalam 13 detik, dan jika dibiarkan meluas, dalam 35 detik ruang aktif ini akan hilang. Semut
pekerja lain yang mendeteksi feromon ini oleh karenanya akan menambahkan feromonnya sendiri
sehingga keberadaan ruang aktifnya dapat bertahan lebih lama. Feromon alarm bersifat sangat
volatil, dan kebanyakan memiliki berat molekul rendah, dengan rantai karbon 12 atau kurang.
Senyawa dari kelenjar mandibula umumnya mengandung gugus keton atau aldehid, sedang yang
berasal dari kelenjar Dufour (di dekat sengat) berupa hidrokarbon. Banyak di antaranya yang toksik
dan rasanya tak enak, sehingga sekaligus juga berfungsi sebagai senyawa pertahanan diri.
Manfaat dan Fungsi bagi
Organisme Awal

• Feromon agregasi
Feromon agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau
pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan feromon ini
berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung, oviposisi, sampai ke perilaku
yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang berhubungan dengan musim (hibernasi),
berhubungan dengan amplitudo harian (agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia
pertumbuhan (larva yang bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah
sumberdaya yang sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan
sendirinya.
• Feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan
• Feromon seks
Proses Sintesis Di Organisme Asalnya

Kebanyakan komponen feromon ngengat merupakan rantai kabon bernomor C 10-C18 berantai
lurus, tak jenuh dan turunan dari asam lemak, dengan karbonkarbonildimodifikasi
untuk membentuk kelompok fungsional yang mengandung-oksigen (alkohol, aldehida, atau ester
asetat) .Asam lemak jenuh diproduksi denovo dan dikonversi menjadi asil-KoA tioester mereka
sebelum dimasukkan keg lycerolipids atau diubah ke feromon. Feromon produksi di PG
dirangsang oleh Feromon Biosintesis Mengaktifkan neuropeptide (PBAN) yang dilepaskan
dariganglion suboesophagal di otak ke hemolymph, setelah itu mengikat ke reseptor PBAN
dalam membran kelenjar karboksilase Asetil-CoA (ACCase). Enzim ini mengkatalisis
carboxylation ATP-tergantung dari asetil-KoA untuk malonyl-KoA pada langkah membatasi laju
biosintesis asam lemak rantai panjang.
Proses Sintesis Di Organisme Asalnya

Malonyl-CoA, asetil-KoA, dan NADPH digunakan dalam sintesis asam lemak oleh enzim
multifungsi Fatty Acid Synthase (FAS) lemak KoA prekursor feromon dapat dikurangi dengan
alkohol yang sesuai oleh dehidrogenase yaitu menghasilkan alkohol-Fatty Asil Reduktase
(FAR) dan kemudian dioksidasi menjadi aldehid yang sesuai oleh alkohol oksidase. Atau, asil
lemak KoA dapat dikurangi secara langsung ke aldehida oleh Fars aldehida. Apakah
reductases aldehida pertama menghasilkan aldehida yang kemudian diubah menjadi alkohol,
atau sebaliknya, sangat sulit untuk membuktikan, karena reductases aldehid juga dapat
mengkatalisis reduksi dari aldehid lemak terhadap alkohol, sehingga alkohol dan tidak
aldehida adalah produk utama. Reaksi terbalik dikatalisis melalui oksidase alkohol, dan kedua
enzim lebih umum digambarkan sebagai dehydrogenases alkohol.  Nama sistematis dari
kelompok enzim adalah alkohol: NADP + oksidoreduktase, oksidasi alkohol menggunakan
NAPD + (alkohol + NADP (+) <=> aldehida + NADPH).  Beberapa enzim di grup ini hanya
mengoksidasi alkohol primer, sementara yang lain bertindak juga pada alkohol sekunder
Proses Sintesis Di Organisme Asalnya

Sintesis fosfolipid dapat terjadi de novo atau melalui renovasi dari fosfolipid yang ada, dan
biosintesis trigliserida (suatu bentuk penyimpanan energi di dalam sel) adalah produk akhir dari jalur
tersebut .  Dalam anggota hewan dari asil-sn-glisero-3-fosfat acyltransferase telah ditunjukkan untuk
mentransfer lemak tak jenuh gugus asil.  Beberapa AGPATs mengasilasi asam lysophosphatidic
(LPA) pada posisi-2 karbon untuk menghasilkan asam phosphatidic (PA).  Enzim yang terlibat
dalam sintesis fosfolipid dan trigliserida melalui proses evolusi yang melibatkan dilestarikan asilasi
seri dari gliserol-3-fosfat (+ Asil-CoA 1-asil-sn-gliserol 3-fosfat <=> CoA + sn 1,2-diacyl- -gliserol
3phosphat. Esterases adalah hidrolisis, dan hidrolisis ester terjadi selama sintesis feromon dan
degradasi 
PROSES  SINTESIS FEROMON
PADA SERANGGA

Pada dasarnya, semua organisme termasuk di luar insecta, dihasilkan oleh kelenjar eksokrin. Kelenjar
eksokrin  adalah  kelenjar yang mempunyai saluran untuk mengeluarkan produknya atau bermuara pada
permukaan apikal. Kelenjar eksokrin bisa dikategorikan lagi dalam 3 jenis:
• Kelenjar apokrin :  bagian dari sel sekresi hilang ketika sekresi berlangsung.
•  Kelenjar holokrin : seluruh sel hancur ketika sekresi berlangsung.
•  Kelenjar merokrin :  sekresi dilakukan dengan eksositosis
Kelenjar eksokrin juga dapat dikategorikan menjadi:
•        Kelenjar serosa :  produknya bersifat encer dan seringkali kaya protein.
•        Kelenjar mukosa ;  produknya bersifat kental dan seringkali kaya karbohidrat.
•        Kelenjar minyak :  produknya berupa lemak
Mekanisme Kerja

Setelah kelenjar esokrin memproduksi feromon, feromon akan diteruskan ke abdomen


insecta. Abdomen adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bagian dari tubuh yang
berada di antara thorax atau dada dan pelvis di hewan mamalia dan vertebrata lainnya.
Dari abdomen, feromon akan dikeluarkan dan akan ditangkap berupa sinyal di antena
insekta tertentu. Dari sinyal tersebut akan diterjemahkan oleh metabolisme insekta
tersebut menjadi sebuah rangsangan. Rangsangan tersebut dikatakan berhasil saat
mencapai konsentrasi tertentu.
Penjelasannya adalah sebagai berikut.
•         Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi
semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat
serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang
tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai "ruang aktif" atau "active space"
•         Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang
aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding
bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat
yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku
tertentu.
•   Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada
pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku
"courtship" atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi
hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada
saat tertentu saja.
•        Kelenjar feromon betina mengandung kurang lebih 164 mg feromon sex, yang secara teoritis
mengandung cukup molekul untuk memikat 1011 ekor jantan apabila masing-masing jantan dapat
menanggapi jumlah ambang dosis terendah. Jantan yang tertarik oleh feromon akan bergerak
menuju sumber feromon berdasar dua gerakan dasar, yakni anemotaksis dan khemotaksis.
  Orientasi yang pertama (anemotaksis )
 berdasar pada arah angin yang membawa feromon. Meskipun terletak di "atas"
angin, ngengat jantan akan berusaha mendatangi sumber feromon dengan gerakan
zig-zag atau berpilin-pilin, yang disebut "Schwink effect", dan berlaku baik pada
ngengat tanpa sayap maupun ngengat yang terbang bebas.
  Orientasi yang kedua (khemotaksis )
 berdasar pada konsentrasi bahan feromon yang dilepaskan, yang semakin besar ke
arah tempat betina hinggap. Orientasi kimia ini lebih bersifat jangkauan pendek
("short-range"). 
APLIKASI UNTUK KEBUTUHAN
MANUSIA

Aplikasi di bidang biokimia, misalnya dalam pembuatan feromon sebagai


pestisida. Jika feromon ini dilepas ke udara dalam jumlah besar sehingga
melampaui batas deteksi indera penciuman serangga jantan, maka
perkawinan akan terhambat sehingga populasi serangga yang biasanya
menjadi hama bisa diturunkan. Karena merupakan zat alami, feromon tidak
merusak lingkungan, sehingga secara teori cara seperti ini jauh lebih aman
daripada menggunakan racun seperti DDT.
APLIKASI UNTUK KEBUTUHAN
MANUSIA

• Masalahnya, struktur feromon seringkali sangat rumit dan sulit disintesis,


namun kini bisa banyak terbantu oleh reaksi metatesis. Produksi feromon
sebagai pembasmi hama melalui reaksi metatesis sudah dilakukan misalnya
pada nyamuk Culex. Nyamuk betina dari spesies ini biasanya melepas suatu
feromon ketika mereka bertelur, untuk menarik nyamuk betina lainnya agar
bertelur di tempat yang sama. Feromon ini, (5R,6S)-6-asetoksi-5-
heksadekanolida, sudah berhasil diproduksi secara massal dan diharapkan bisa
digunakan untuk menjebak nyamuk betina Culexke dalam suatu perangkap.
Diharapkan, langkah ini bisa mencegah penyebaran penyakit West Nile
Virusyang dibawa oleh nyamuk spesies ini.
APLIKASI UNTUK KEBUTUHAN MANUSIA

• Feromon terdiri atas asam-asam lemak tak jenuh. Senyawa kimia dengan berat molekul
rendah seperti ester, alkohol, aldehida, ketone, epoxida, lactone, hidrokarbon, terpen dan
sesquiterpene adalah komponen umum dalam feromon (Roelofs, 1978, Nation, 2002).
• Sintesa feromon dapat terjadi sepanjang kehidupan imago serangga, tetapi
pengeluarannya hanya terjadi pada saat-saat tertentu sesuai kondisi lingkungan dan
fisiologi serangga (Klowden, 2002). Produksi feromon oleh sejumlah serangga berada di
bawah pengendalian hormon (Holman et al., 1990). Hormon polipeptida yang
mengendalikan biosintesis feromon sex pada serangga ngengat disebut PBAN (Pheromone
Biosynthesis Activating Neuropeptide) (Raina dan Klun, 1984). PBAN pertama kali diisolasi
dari subesophageal ganglion dari hamaHelicoverpa (yang dahulu dikenal dengan
Heliothis)zea (Raina et al., 1989) dan telah diberi nama yaitu Hez-PBAN. Juvenile hormon
(JH) juga berperan dalam produksi feromon pada sejumlah spesies (Nation, 2002).
APLIKASI UNTUK KEBUTUHAN
MANUSIA

• Feromon dikeluarkan melalui abdomen pada segmen ke 4 dan 5 pada serangga yang
disekresikan oleh kelenjar eksokrin. Struktur senyawa feromon yaitu alkohol dan
aldehid. Struktur senyawa yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga reseptor yang
dipunyai spesifik pula. Setelah sampai di antena serangga target, senyawa feromon
tersebut akan dicapai ke otak melalui sel saraf dan barulah diterima oleh sel penerima.

• Kebanyakan molekul feromon berasal dari senyawa biokhemis biasa seperti asam
lemak atau asam amino. Isyarat feromon menempati ruang tertentu dan tinggal sampai
beberapa saat lamanya. Apabila suatu feromon menguap keluar dari sumbernya, maka
konsentrasinya akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu.
Seandainya tidak ada faktor lain seperti angin dan sebagainya, maka konsentrasi ini
akan membentuk suatu ruang berisi konsentrasi feromon, dengan konsentrasi tertinggi
pada sumber emisi dan makin menurun ke segala arah (Winoto, 2009).
  INFORMASI TAMBAHAN (PADA INDUSTRI)

Usaha koleksi bahan feromon baru berhasil dengan baik pada tahun 1959,
ketika Butenandt menemukan bombikol, bahan feromon seks pada ngengat
sutera (Bombyx mori). Pada saat itu dibutuhkan sekurangnya 10.000 ekor
ngengat untuk memperoleh sejumlah kecil (beberapa ml saja) bahan feromon
agar dapat diidentifikasi kandungan bahan kimianya. Sebelum tahun 1972,
usaha koleksi bahan feromon memang memerlukan kerja yang amat tekun,
karena diperlukan sejumlah besar individu serangga baik utuh maupun
potongan bagian tertentu, untuk kemudian diekstraksi menggunakan pelarut
khusus. Oleh kemajuan instrumentasi dan teknik fisikokimia saat ini, terutama
dengan adanya GLC kapiler, Spektrometri Massa ion selektif, dan juga HPLC;
metode deteksi dapat dilakukan dengan sensitivitas dan resolusi (daya pisah)
yang amat tinggi tanpa harus menggunakan jumlah serangga yang amat besar.
Golub dan Weatherston (1984) menjelaskan bahwa untuk keperluan keberhasilan suatu
program PHT, penggunaan feromon harus didahului dengan :
(a) penentuan secara tepat kandungan molekul campuran bahan feromon yang
disekresikan oleh serangga,
(b) penentuan laju produksi dan pelepasan campuran tersebut oleh serangga, dan
(c) pengembangan suatu sistem pelepasan feromon terkendali untuk digunakan dalam
pemantauan, perangkapan massal, dan program pengendalian menggunakan pelepasan
feromon.
Ketiga hal tersebut membutuhkan pengetahuan mengenai efektivitas bahan yang telah
diformulasi jika digunakan dalam kondisi normal.
Pada dasarnya terdapat dua metode koleksi dan kuantifikasi feromon, yaitu
metode ekstraksi pelarut dan metode koleks efluvial (langsung dari udara). 
•  Ekstraksi
1. Pemilihan pelarut.
Jacobson (1972) menyatakan bahwa dikhlorometan, heksan, dan dietil-eter
merupakan pelarut yang banyak dipilih karena cukup volatil untuk ekstrak agar
dapat terkonsentrasi tanpa perlu memanaskannya pada suhu tinggi. Tambahan
lagi dikhlorometan tidak mudah terbakar. Namun ada peneliti yang lebih
memilih etanol 95%, yang lebih baik daripada dikhlorometan, dietil-eter, heksan,
khloroform, benzen dan aseton. Juga karena etanol 95% merupakan pelarut
lemak yang jelek, maka hasilnya mengandung kontaminan lipid yang lebih sedikit
(Brady & Smithwick, 1968). Karbon disulfida juga pernah dicoba, dan berhasil
baik karena mudah menguapkannya dan tak responsif terhadap detektor FID
(sehingga deteksi bahan feromonnya lebih mudah), tetapi penggunaannya dalam
jumlah banyak terbatasi karena sifatnya yang mudah terbakar dan toksik.
2. Metode ekstraksi.
Dua faktor utama yang harus dipertimbangkan adalah letak
kelenjar penghasil feromon dan ukuran serangganya. Cara
yang pernah ditempuh Bartelt (1982) misalnya, adalah dengan
meletakkan kokon serangga Pikonema alaskensis dalam kapsul
gelatin; serangga betina yang muncul tiga sampai lima hari
kemudian dibekukan, dan baik serangga, kokon maupun
gelatinnya secara terpisah dicuci menggunakan heksan.
•   Koleksi Langsung dari Udara
Untuk koleksi bahan volatil di udara yang berasal dari serangga, harus
ditentukan dulu apakah akan dilakukan pada udara yang bergerak atau yang
diam; menggunakan teknik koleksi yang mana (kriogenik atau adsorpsi,
misalnya); serta ukuran, susunan serta konstruksi bahan yang dipergunakan
menyusun alat koleksi.
1. Aliran udara pasif
Dengan mengalirkan udara pada betina belum kawin ngengat
spesies Choristoneura fumiferana yang ditempatkan dalam kantong plastik,
diperoleh bahan aktif feromon. Agar yang terekstraksi bukanlah kontaminan
atau bahan plastiknya, ada peneliti yang menggunakan misalnya bejana
Mason berisikan kain kasa untuk tempat hinggap ngengat, dan kemudian
dimasukkan kl. 100 ekor ngengat betina yang baru muncul dari pupa.
Sesudah dua hari ngengat diambil dan bejana serta kain kasa dibasuh
menggunakan eter.
Metode yang sama juga dipergunakan untuk mengukur laju pelepasan feromon
ngengat Plodia interpunctella. Ngengat betina sejumlah 20 ekor dimasukkan ke
dalam tabung gelas bertutup volume 500 ml pada suhu 25 0C selama satu jam.
Sesudah ngengat dikeluarkan dengan cepat, tabung dibasuh menggunakan 5 - 6 ml
eter anhidrus, larutan disaring dan diuapkan dengan N2 pada suhu 30 oC sampai
tinggal 3 – 5 μl, dihisap ke dalam jarum suntik dan dianalisis. Efisiensi perolehan
feromon diukur dengan menempatkan volume tertentu (nanogram) (Z,E)-9,12-
tetradekadien-1-il asetat dan senyawa alkoholnya pada ujung spatula baja tahan
karat ke dalam tabung gelas bertutup selama satu jam (dibiarkan menguap sendiri).
Ternyata bahwa 80% senyawa asetat dan 40% senyawa alkohol dapat diperoleh
kembali sesudah tabung gelas dibasuh dengan pelarut organik.
Teknik-teknik tersebut berguna tidak hanya untuk identifikasi saja, melainkan juga
untuk mengukur laju emisi, kemampuan perolehan kembali (recovery) termasuk
penyempurnaannya seperti pengaruh jumlah pembasuhan, pendinginan tabung,
variasi cara koleksi dll, juga isolasi dan elusidasi bahan pada kecoa, serta laju
pelepasan dan produksi feromon misalnya pada Plodia dan Dacus oleae.
2. Aliran udara bergerak
Aliran udara begerak dibagi menjadi tiga yaitu:
•         Perangkap kriogenik
 Kriogenik adalah teknik yang dilakukan pada suhu amat rendah. Dalam
melakukan sampling di lapangan, suhu ini diperlukan karena pada suhu
nitrogen cair (-196oC) semua senyawa organik yang umumnya terdapat di
udara dapat disingkirkan. Pada sistem kriogenik, masukan udara diperoleh
dengan cara membuat ruang hampa di dalam perangkap melalui
kondensasi udara yang masuk. Dengan demikian ada tiga faktor yang
menentukan laju masuknya udara: luas permukaan untuk kondensasi
udara, perbedaan suhu antara bahan pendingin dan titik cair udara, dan
ukuran lubang masukan udara.
•  Perangkap Dingin.
Teknik ini dipergunakan dalam isolasi dan identifikasi feromon serangga dari beberapa
ordo seperti misalnya Orthoptera, Coleoptera, Diptera dan Lepidoptera. Pada tahun 1971
teknik yang berkembang sejak awal tahun 1960an ini juga dicoba untuk analisis kuantitatif.
Salah satu teknik yang dipergunakan misalnya adalah pada Trichoplusia ni. Nitrogen
dengan laju 150 ml/menit dialirkan selama 10 menit pada serangga betina individual yang
ujung abdomennya ditonjolkan menggunakan forsep untuk gigi, atau di atas sejumlah
mikrogram feromon sintetik yang diletakkan pada cakram tembaga. Aliran gas kemudian
dilewatkan melalui sejumlah kecil karbon disulfida yang ditempatkan dalam tabung U pada
suhu -70 oC hasil dari penangas es kering-aseton. Sesudah dikoleksi, permukaan gelas
tabung koleksi dibasuh dengan pelarut, dan larutan karbon disulfida yang terkumpul (kl. 3
ml) diuapkan menjadi 100 μl dengan menggunakan penangas air. Selanjutnya diambil
alikuot 10 μl untuk dianalisis menggunakan GLC dan secara kuantitatif diperbandingkan
pada kurva detektor untuk berbagai konsentrasi bahan (Z)-7-dodesen-1-il asetat.
• Penjerap Resin dan Adsorben Lainnya.
Untuk koleksi feromon serangga, penjerap resin (resin adsorbent) juga telah
dipergunakan sebagaimana yang umum dilakukan pada koleksi polutan air, analisis
aroma, dan kajian metabolit cairan tubuh. Kapasitas adsoben bahan padat
khromatografi telah dipelajari dengan sangat ekstensif, dengan dicari
kesesuaiannya terhadap senyawa tertentu, meski bahan adsorben seperti itu
umumnya mampu berfungsi sebagai adsorben untuk berbagai bahan organik
volatil.
Kelebihan teknik ini terutama adalah tidak dibutuhkannya suhu rendah, luas
permukaan yang besar karena bentuknya tepung, dan tersedia berbagai jenis untuk
koleksi bahan volatil yang berbeda.
Salah satu kekurangannya adalah, pada suhu yang terlalu tinggi, ada kemungkinan
bahan volatil mengalami pirolisis. Pada kondisi kita di Indonesia, kendala teknik
menggunakan penjerap resin adalah harganya yang mahal, sehingga prosesnya pun
menjadi mahal.
Daftar Pustaka

• Sitorus, Marham, 2008, Kimia Organik Fisik, Graha Ilmu,


Yogyakarta
• Sutrisno.2008, Pengantar Kimia Organik 1, ITB, Bandung.
• Wilbraham.1992. Pengantar Kimia Organik 1, ITB, Bandung.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai