Anda di halaman 1dari 52

PUTRI NOERLIAZ SYAIZ

(1913101010022)

Fasilitator: drh. Santi Chismirina M.Si


1. BENCANA

1.1 Definisi

 Menurut KBBI, bencana merupakan sesuatu yang


menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau
penderitaan; kecelakaan; bahaya
 Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan
atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah
yang terkena.
BENCANA

 Menurut Departemen Kesehatan RI, bencana adalah


peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta
memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang
bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak
luar.
 Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana
sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.
BENCANA
1.2 Macam-macam Bencana

Menurut UU no 24 Tahun 2007


 Bencana alam; bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor.
 Bencana non-alam; adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
 Bencana Sosial; bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan
teror.
BENCANA

1.3 Fase Penanggulangan Bencana

1. Pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,


kesiapsiagaan, serta peringatan dini.
2. Tanggap darurat yaitu kegiatan yang dilakukan saat terjadi
bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat Untuk
meringankan penderitaan sementara seperti kegiatan search and
rescue (SAR), bantuan darurat, dan pengungsian
3. Pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan rehabilitasi
dan rekonstruksi
2. IDENTIFIKASI

2.1 Definisi

Identifikasi merupakan upaya pengenalan kembali jati diri


seorang manusia atau identitas seseorang, baik hidup
maupun mati, melalui metode identifikasi ilmu kedokteran
forensik dan medikolega
IDENTIFIKASI
2.2 Tujuan Identifikasi

 Tujuan utama pemeriksaan identifikasi adalah untuk mengenali


korban
 Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya
merawat, mendoakan, serta akhirnya menyerahkan korban kepada
keluarganya.
 Proses identifikasi ini sangat penting untuk menganalisis penyebab
bencana serta memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga
dengan adanya kepastian identitas korban
IDENTIFIKASI
2.3 Teknik Identifikasi
a) Metode sederhana
 Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih
baik, cara ini mudah karena identitas dikenal melalui
penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini
tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar,
mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologi
keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll).
 Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat
dipercaya terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian,
perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban.
 Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP
atau SIM dan lain sebagainya.
b) Metode ilmiah, antara lain: Sidik jari, Serologi, Odontologi,
Antropologi, dan Biologi.
c) Identifikasi dengan Teknik Superimposisi
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan
identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya
dengan tengkorak yang ditemukan. Kesulitan dalam menggunakan
tehnik ini adalah:
1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
2) Foto korban harus baik posisinya maupun kualitasnya.
3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk
lagi.
4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi
yang dipakai yaitu:
a. Primer/utama: gigi geligi, sidik jari, dan DNA
b. Sekunder/pendukung : Visual, properti, dan medik
IDENTIFIKASI

2.4 Identifikasi Umur Melalui Gigi

A. Age Estimation Metode Massler dan Schour


Pada tahun 1941, Schour and Masseler meneliti perkembangan gigi
desidui dan permanen, menjabarkan 21 tahap-tahap kronologis mulai
umur 4 bulan hingga 21 tahun dan mempublikasikannya dalam bentuk
diagram perkembangan numerikal.
American Dental Association (ADA) secara 20 periodik telah
memperbaharui diagram-diagram ini dan mempublikasikannya pada
tahun 1982, sehingga bisa digunakan dengan membandingkannya
secara langsung terhadap tahapan kalsifikasi gigi yang ada pada
gambaran radiografi gigi.
• rentang usia : 28 minggu
intrauteri - 23 tahun (31
diagram)
• Gigi yang diamati : Gigi
sulung dan permanen regio
kanan rahang atas dan bawah
• Bagian yang diamati :
Kalsifikasi, resorpsi akar,dan
erupsi gigi
• Cara mengamati :
Membandingkan radiograf
panoramik atau oblik lateral
dengan atlas
• Rentang usia : 5 bulan
intrauterin - 35 tahun (22
diagram)
• Gigi yang diamati : Gigi
sulung dan permanen
regio kanan rahang atas
dan bawah
• Bagian yang diamati:
Kalsifikasi, erupsi,
resorpsi akar
• Cara mengamati
:Membandingkan
radiograf panoramik atau
oblik lateral dengan atlas.
Kelebihan:
• Diagram Schour and Masseler yang dapat mencakup
perkembangan gigi dari umur prenatal hingga dewasa muda
• Tidak membutuhkan waktu yang banyak untuk melakukan
perhitungan. Metode ini sederhana dan cukup akurat untuk
mengestimasi umur kronologis pada anak-anak
Kekurangan
• Tidak cukup detail 21 dalam mengidentifikasi tahapan mahkota dan akar,
sebagaimana hampir semua diagram didasarkan pada deskripsi radiografis
gigi dari perkembangan gigi yang secara langsung maupun tidak langsung
belum menggambarkan bentuk anatomis serta tidak menunjukkan tahapan
perkembangan gigi internal

• Kurang mampu memberikan hasil estimasi umur yang tepat jika


diaplikasikan pada individu dengan umur 12 tahun ke atas. Hal ini
dikarenakan tidak lengkapnya tahapan perkembangan gigi pada diagram
Schour and Masseler yang hanya terdapat tahapan umur 15 tahun, 21 tahun
dan 35 tahun pada umur remaja sampai dewasa muda
B. Age Estimation Metode Gustaffson
Metode ini memperkirakan umur dari gambaran umum endapan
dentin sekunder, ketebalan camen ,dan periodontitis sehingga
gustafson menyusun satu sistem yang berpatokan pada 6 faktor
yang berhubungan dengan usia.
• Derajat Atrisi (A)
Yang di maksud adalah derajat atau keparahan atrisi atau ausnya
permukaan kunyah gigi baik insisal maupun oklusal sesuai dengan
penggunaannya, makin usia lanjut maka derajat atrisinya makin
parah

• Periodontitis perubahan pada gingiva (P)


Perubahan fisiologi akibat penggunaaan gigi dari perlekatan epitel di
tandai dengan turunnya atau dalamnya sulkus gingiva yang melebihi
2 mm bahkan makin usia lanjut . Perlekatan gingiva turun kearah
akar gigi sehingga terlihat seakan akan mahkota lebih panjang
• Jumlah dentin sekunder (S)
Pembentukan sekunder dentin oleh karena penggunaaan gigi atau
atrisi dari permukaan oklusi biasanya terbentuk diatas atap pulpa
sehingga makin usia lanjut secara rontgenografis terlihat seakan
akan pulpa jdi sempit karena sekunder dentinnya makin tebal

• Cemen apposition atau ketebalan sementum sekitaran gigi (C)


Dengan bertambahnya usia maka akan bertambah tebal jaringan
sementum pada akar gigi , pembentukan gigi , pembetukan ini oleh
karena perlekatan serat serat periodontal dengan aposisi yang terus
menerus dari gigi tersebut
• Jumlah dentin sekunder (S)
Pembentukan sekunder dentin oleh karena penggunaaan gigi atau
atrisi dari permukaan oklusi biasanya terbentuk diatas atap pulpa
sehingga makin usia lanjut secara rontgenografis terlihat seakan
akan pulpa jdi sempit karena sekunder dentinnya makin tebal

• Cemen apposition atau ketebalan sementum sekitaran gigi (C)


Dengan bertambahnya usia maka akan bertambah tebal jaringan
sementum pada akar gigi , pembentukan gigi , pembetukan ini oleh
karena perlekatan serat serat periodontal dengan aposisi yang terus
menerus dari gigi tersebut
• Metode gustafson menjumlahkan setiap nilai dari 6 faktor tersebut
dimana setiap faktor yang mempunyai bobot yang sama dan berarti 6
point tersebut mempunyai nilai perkiraan usia.
Adapun rumusnya
An+Pn+Sn+Cn+Rn+Tn= point persamaan yang tepat = y =
11.43+4.56x
dimana
y = usia dan x = point dari rumuss diatas
C. Age Estimation Metode Neonatal
Dokter gigi forensik juga terlibat dalam penentuan umur janin
yang tak diketahui dimana kemungkinan terjadi kelahiran prematur
dan kasus aborsi. Untuk memperkirakan umur janin tersebut dapat
diketahui melalui metode neonatal.
Yang pertama kali meneliti hal ini ialah Kraus dan Jordan dengan
mengidentifikasi 95 janin dengan mencata kronologi stage awal
dari formasi gigi susu yang memperlihatkan satge variasi daripada
pre-mineralisasi dan awal mineralisasi gigi susu
Metode ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yang
berbeda:
 Neonatal Line
 Incremental Line
 Berat Perkembangan Dentin
 Neonatal Line
• Garis neonatal dianggap sebagai indikator kelahiran yang merupakan
garis incremental berkembang yang terlihat di enamel dan dentin dari
gigi susu dan molar 1 permanen yang mengindikasikan perkembangan
saat periode transisi antara lingkungan intraurine dan extraunrine.
• Cara memperkirakan umurnya dengan bantuan dari prenatal dan
postnatal garis neonatal, sehingga dapat menilai jumlah daripada enamel
• Biasa untuk memperkirakan umur dari neonatus.
 Incremental Line Retzius

• Disebabkan oleh variasi susunan mineralisasi dari prisma enamel.


Perubahan sususan ini dapat diubah oleh faktor variasi eksternal

 Berat Perkembangan Dentin


• metode ini diluncurkan oleh STACK.
• Gigi yang berkembang pada 6 tahun intraurine (60mg), baru lahir
(0.5 mg), 6 bulan setelah lahir (1.8 mg)
D. Age Estimation Metode Von Ebner

• Garis inkremental Von Ebner dan


garis Contour Owen pada Dentin,
merupakan hasil mineralisasi
ritmik prisma enamel yang
bervarian
• Garis Von Ebner dapat terpengaruh
oleh gangguan metabolik sehingga
garis tampak lebih rapat / waktu
paruh lebih lama
• Sehingga estimasi kematian pada
neonatus dan fetus lebih akurat
dikarenakan resiko perubahan jarak
antar garis lebih kecil
• Jarak antar garis : ± 20 µ (normal)
• Jarak rata – rata antar garis : 4 µ
Kecepatan deposisi : 24 jam
• Merupakan salah satu metode
invasif dimana diperlukan
pemotongan sampel gigi dalam
bentuk sediaan asahan dengan
ketebalan 30 – 40 µ
• Dimana dilakukan perhitungan
jumlah garis inkremental yang
terdeposisi, dimana secara
periodik garis akan terdeposisi per
5 hari 
E. Age Estimation Metode biokimiawi

• Metode yang berbasis rasemisasi asam amino. Rasemisasi merupakan


reaksi konversi dengan panas atau dengan reaksi kimia, dari senyawa
yang aktif menjadi bentuk tidak aktif.
• Metode ini menggunakan asam aspartate
• Asam aspartat digunakan dalam estimasi usia karena mengalami
proses rasemisasi yang sangat cepat disbanding asam amino lainnya.
• Umumnya metode ini lebih efektif jika adanya ekstraksi gigi
• Metode ini terbagi menjadi dua didasarakan pada dilakukan atau
tidaknya ekstraksi pada gigi yaitu metode Helfman dan Bada, dan
metode Ritz
Metode Helfman dan Bada
• Metode ini terbukti dapat digunakan 20 tahun setelah kematian individu..
• Mengukur kadar asam aspartat dalam email manusia, dentin dan cementum
yang meningkat saat usia bertambah
• Helfman dan Bada menyarankan hubungan antara usia dentin dengan
tingkat rasemisasi asam aspartate pada dentin.
• Keakuratan metode ini kurang lebih 3 tahun
• Metode ini mengukur rasio D/L asam aspartate
• Skala rasio D/L : 0-1
• Cara pengaplikasiannya : kromatografik gas dan HPLC (tekanan)
• Kromatografik adalah teknik pemisah campuran berdasarkan kecepatan
perambatan komponen dalam medium tertentu.
Metode Ritz
Menggunakan metode rasemisasi biopsy dentin untuk perkiraan usia
individu yang hidup tanpa pencabutan gigi.
3. DVI
3.1 Definisi

DVI atau Disaster Victim Identification adalah suatu defenisi


yang diberikan sebagai prosedur untuk mengidentifikasi korban
mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan dan mangacu pada standar baku Interpol.
Dalam melakukan proses identifikasi terdapat bermacam-macam
metode dan teknik identifkasi yang dapat digunakan. Namun
demikian Interpol menentukan Primary Identifiers yang terdiri dari
Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary
Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography.
DVI
3.2 Tujuan

• Mengidentifikasi dan mengenali korban mati dengan hasil


yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
• Sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang sudah mati
supaya dapat dikenali, dirawat, diserahkan kembali ke
keluarga.
• menyelamatkan korban hidup, penanganan perawatan
terhadap korban mati terutama yang sulit dikenal. Harus
ditangani secara profesional.
DVI

3.3 Prinsip

 Membandingkan data-data korban (postmortem) dengan data dari


keluarga atau kerabat dekat korban (antemortem).
 Semakin banyak kecocokan akan semakin baik dalam mengidentifikasi
korban.
DVI
3.4 Langkah-langkah

the scene/TKP

postmortem
examination Antemortem
Information
Retrieval

Reconciliation

Debriefin
1) the scene/TKP
to secure / mengamankan
Pada fase pertama ini, tim awal Organisasi yg memimpin komando
yang datang ke TKP melakukan DVI harus mengambil langkah untuk
penilaian antara korban hidup yang mengamankan TKP agar TKP tidak
rusak
korban mati selain mengamankan
barang bukti yang dapat
mengarahkan pelaku apabila
bencana yang terjadi merupakan to collect / mengumpulkan
bencana yang diduga akibat ulah Organisasi yang memimpin
komando DVI harus mengumpulkan
manusia. Pada korban mati korban korban bencana dan
diberikan label sebagai penanda. mengumpulkan properti yang terkait
label ini harus memuat informasi dgn korban yg mungkin dapat
digunakan untuk kepentingan
tim pemeriksa, lokasi penemuan,
identifikasi korban.
dan nomor tubuh atau mayat. label
ini akan sangat membantu dalam
proses penyidikan selanjutnya. documentation / pelabelan
Komandi DVI memfoto area bencana
dan korban kemudian memberi
nomor dan label pada korban.
2) post mortem examination/pemeriksaan data post mortem
fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat.
Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik, dan dokter
gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data post
mortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap
gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada
mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk
pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form
berdasarkan standar interpol.
3) Antemortem Information Retrieval/Pengumpulan Data Antemortem
Pada fase ini, ada tim kecil yang menerima laporan orang yang
diduga menjadi korban. Tim ini meminta sebanyak-banyaknya dari
keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang
terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tahi lalat, bekas
operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari dokter, keluarga, dan
dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang
(Kelurahan/kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga
memilikinya. Apabila tidak ada data DNA korban maka dilakukan
pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data ante mortem
diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar interpol.
4) Reconciliation/rekonsiliasi
Fase ini adalah fase rekonsiliasi (pencocokan) data ante dan post
mortem. Pada fase ini seseorang dinyatakan teridentifikasi atau
tidak teridentifikasi
5) Debriefing/kaji ulang
Dari semua fase tersebut, fase debriefing inilah yang jarang
terlaksana. Kesulitan yang dihadapi adalah mengumpulkan
kembali para anggota tim yang berasal dari seluruh wilayah di
Indonesia untuk melakukan evaluasi kinerja
DVI
3.5 Struktur
• 1.Kesehatan (Depkes, Dinkes, Rumah sakit)
• 2.Kepolisian (Dokpol, Puslabor, NCB Interpol
dll)
• 3.TNI (Kes TNI)
• 4.Perguruan tinggi
• 5.Profesi (Dokter, dokter gigi)
• 5.Profesi (Dokter, dokter gigi)
• 6.PemerintahDaerah (Dinsos, kependudukan dll)
• 7.Pencarian dan penyelamatan (SAR)
• 8.Pemadam kebakaran
• 9.NGO
• 10.Volunter
DVI
3.6 Peran Dokter Gigi
Adapun peran dokter gigi dalam divisi adalah sebagai berikut
a. Melakukan identifikasi jasad individu yang sudah rusak,
mengalami dekomposisi atau sudah tidak dalam keadaan utuh .
b. Mencatat informasi pada pemeriksaan jasa individu meliputi
 perkiraan usia (dilihat dari panjang akar gigi pada anak).
 perkiraan jenis ras (dilihat dari bentuk tengkorak).
 jenis kelamin (dilihat dari bentuk tengkorak dan DNA)
 jenis pekerjaan (contoh jejak jepit rambut)
 konsumsi makanan (contoh erosi gigi karena alkohol)
apabila data post mortem tidak memungkinkan suatu identifikasi
maka dapat dilakukan rekonstruksi wajah semasa hidup
berdasarkan tengkorak dan gigi.
c. Melakukan komparasi antara catatan gigi ante mortem individu
dengan pemeriksaan gigi pada jasa individu.
d. Mencatat profil post mortem gigi yang menjadi karakteristik
individu yang bisa diarahkan kepada kondisi ante mortem.
e. Membantu penyidik dalam menemukan kaitan antara barang
bukti yang ditemukan di TKP dengan korban dan pelaku tindak
pidana.
f. Membantu menemukan dan menganalisa identitas korban
berdasarkan analisis gigi geligi.
g. Membantu laporan ahli hingga bertindak sebagai saksi ahli
4. DATA ANTEMORTEM &
POSTMORTEM
4.1 Definisi

a) Data Antemortem
Data antemortem merupakan data yang dibuat sebelum kematian dan
berasal dari beberapa sumber bukti dokumenter seperti kesaksian secara
lisan dari keluarga, dokter gigi yang pernah merawat korban, atau
teknisi gigi, bukti tertulis, atau gambar dari dental record, hasil x-ray
gigi dan foto close upnya.
b) data post mortem
Data postmortem merupakan data data fisik yang diperoleh melalui
personal identification setelah korban meninggal seperti sidik jari,
golongan darah, konstruksi gigi, dan foto diri korban pada saat
ditemukan lengkap dengan barang-barang yang melekat di tubuhnya dan
sekitarnya, bahkan termasuk isi kantong pakaiannya. Selain foto diri
yang detail juga ada foto rontgen, ini untuk mengetahui apakah ada ciri
khusus berupa pen penyambung tulang serta susunan gigi geligi korban.
Ciri fisik spesifik akan sangat membantu identifikasi korban.
DATA ANTEMORTEM &
POSTMORTEM
4.2 Tujuan
a) Tujuan data antemortem
 Mengetahui data dan informasi jenazah Sebelum meninggal.
 Untuk mempermudah proses identifikasi.
 Merupakan data lengkap yang nantinya akan dibandingkan
dengan data post mortem.
 Informasi yang diperoleh melalui data gigi dan mulut untuk
mempercepat proses identifikasi. Informasi yang akan didapat
antara lain umur, jeniskelamin, ras,golongan darah, bentuk
wajah, dan DNA.
b) tujuan data post mortem
 Mengetahui informasi dan data jenazah setelah meninggal.
 Sebagai data pendukung bahwa benar jenazah tersebut adalah
bulan dicocokkan dengan data ante mortem sebagai data
pembanding.
DATA ANTEMORTEM &
POSTMORTEM
4.3 Form

Postmortem
Antemortem • Gigi yang ada dan tidak ada, bekas gigi
 Dental record, keterangan yang tidak ada apakah lama atau baru
tertulis tentang keadaan gigi terjadi
pada pemeriksaan, pengobatan, • Gigi yang ditambal, jenis bahan dan
atau perawatan gigi. kalsifikasinya.
 Foto rontgen gigi. • Anomali bentuk dan posisi gigi.
 Cetakan gigi. • Karies atau kerusakan gigi yang ada.
 Prothesis gigi atau alat • Jenis dan bahan restorasi, perawatan
ortodonsi. dan rehabilitasi yang mungkin ada.
 Foto close up muka atau profil • Atrisi atau pengikisan dataran kunyah
daerah gigi atau mulut. karena proses mengunyah. Derajat
 Keterangan dari keluarga satau atrisi akan berbanding lurus dengan
rekan terdekat korban yang usia.
diambil di bawah sumpah. • Pertumbuhan gigi molar ketiga. Di
Indonesia, untuk memperoleh data
Antemortem:
Pada lembar ini pastikan nomor
acuan, nama korban , dan jenis
kelamin terlihat jelas. Pada rincian
Dental Information tuliskan
informasi tambahan dari polisi,
teman dan keluarga. Juga nama
lengkap, alamat dan telpon drg/RS.
Catat jangka waktu rekam medis.
Data tertulis harus asli/foto copy
dengan stempel. Harus dipastikan
semua data baik rontgen,dll diberi
nama pasien, drg nya, dan tanggal
dibuatnya
Pada lembar ini rekam medis dental
orang hilang harus tercatat, baik
dari x-ray, model gigi geligi,dll.
Mulai mencatat dari data yang
paling baru. Selanjutnya pengisian
pada grafik dental lokasi dan
memberi penandaan dengan warna.
Hitam untuk tumpatan amalgam,
merah tumpatan emas, hijau
tumpatan sewarna gigi. Untuk gigi
yang dicabut dan belum tumbuh
beri (X) sesuai dgn kotak gigi.
Cocokkan grafik gigi dari dokter
gigi dengan grafik gigi yang anda
buat.
Pada lembar ini catat
setiap informasi
lanjutan yang dapat
membantu dalam
pengidentifikasian dan
penjelasan lanjutan dari
lembar seksi terdahulu
yang memerlukan
penjelasan lebih lanjut
atau tidak mempunyai
tempat memadai
DATA ANTEMORTEM &
POSTMORTEM
4.4 Perbedaan

 warna merah muda


 Pengecekan data yang dilakukan
diruang jenazah (foto, sidik jari,
 Warna kuning pemeriksaan gigi, autopsi, dll)
 Administrasi data (agensi  Penemuan tubuh dari TKP (usia yang
yang bertanggung jawab, terlihat, tanggal dan tempat, keadaan
informasi yang diberikan jenazah, orang yang menemukan
oleh siapa, fingerprint, dll) jenazah)
 Sketsa tubuh  Pakaian
 Bagan silsilah keluarga  Sidik jari diambil dari kaki atau tangan
 Kesimpulan medis
 Sampel DNA yang diambil
5. FORENSIK ODONTOLOGI

5.1 Definisi

 forensic odontology merupakan cabang dari ilmu kedokteran gigi


mengenai cara penanganan dan pemeriksaan bukti-bukti melalui
gigi dan evaluasi serta pemaparan hasil hasil penemuan yang
berhubungan dengan rongga mulut untuk kepentingan
pengadilan.

 Odontologi forensik adalah cabang ilmu dari ilmu kedokteran


gigi kehakiman yang bertujuan untuk menerapkan pengetahuan
Kedokteran Gigi dalam memecahkan masalah hukum dan
kejahatan
FORENSIK ODONTOLOGI
5.2 Ruang Lingkup

Sebagai ruang lingkup tidak lepas dari kelengkapan visum et


repertum yaitu identifikasi melalui gigi geligi dan rongga mulut dari
semua disiplin ilmu kedokteran gigi antara lain
 identifikasi korban melalui sarana gigi dan rongga mulut
 identifikasi korban dan pelaku melalui pada pola gigitan
 identifikasi pelaku maupun korban melalui analisa air liur yang
terdapat di sekitar gigitan maupun sisa makanan yang dimakan
pelaku
 identifikasi semua jenis penganiayaan yang berkaitan dengan
semua disiplin ilmu kedokteran gigi dengan aspek hukum serta
perundang-undangan
FORENSIK ODONTOLOGI
5.3 Sejarah
• Pada suatu peristiwa pembuktian kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi
ditemukan suatu fosil dari tengkorak lengkap dengan rahang dan Gigi
geliginya sehingga pada suatu penelusuran kriminal atau crime scene
mayat tersebut ditelusuri ternyata dari kawat emas yang diikat ke gigi
sebelahnya dapat membuktikan siapa mayat tersebut
• Pada suatu peristiwa peperangan tahun 1453 terdapat korban tentara yang
bernama John tabat yang dapat dibuktikan melalui gigi giginya
• Pada tahun 1776 dalam satu perang bukkerhill terdapat korban Jenderal
Yoseph Warren oleh dokter gigi Paul Revere dapat membuktikan melalui
gigi palsu yang dibuatnya dari gigi taring kiri ke kanan sehingga beliau
dikatakan dokter gigi pertama yang menggunakan ilmu forensik
odontologi dalam pembuktian.
• pada tahun 1850 ada peristiwa pembunuhan dari Webster Patman dapat
dibuktikan melalui gigi palsu yang dibuat oleh drg. Keep
• Pada tahun 1969 oleh para pemrakarsa di Amerika telah didirikan
American Academy of forensic Science yang salah satunya adalah
forensic dentistry
• Pada tahun 1980 oleh karena kemajuan iptek telah dirancang suatu
program komputer dalam satu peristiwa korban massal untuk forensic
dentistry walaupun belum sempurna pada tahun 2000 di tanah air telah
pula diselenggarakan
• pada tahun 2000 di tanah air telah pula diselenggarakan suatu kongres
Asia Pasifik tentang identifikasi korban massal di Ujung Pandang
penyelenggaraannya ke Polda setempat dengan interpol pada tahun 2003
telah berdiri suatu ikatan peminat ilmu kedokteran gigi forensik di Jakarta
kemudian diresmikan oleh kongres PDI di Ujung Pandang pada tahun
2004 hingga kini telah pula dilaksanakan suatu pelatihan identifikasi oleh
Direktorat pelayanan gigi media Depkes RI
REFERENSI

• D. Eddy Valck, Chief Forensic Odontologist DVI Belgium, 2017.


Journal of Forensic Science & Criminal Investigation P. 004-006.
• Djohansyah, Lukmah. Buku ajar: Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2
• Reddy Lvk. Liprints: an overview in forensik Dentistry
• Henky, Oktavinda Safitry ‘indonesian journal of legal and forensik
science
• Jurnal Universitas Jendral Soedirman : Penerapan Ilmu kedokteran Gigi
forensik dalam proses penyelidikan.
• Prawestiningtyas, Eriko dan Algozil, Agus Mochammad. 2009.
Identifikasi Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer dan Sekunder
Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal.
Jurnal Kedokteran Brawijaya

Anda mungkin juga menyukai