Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

KLINIK TERINTEGRASI TAHAP 1 2014/2015


Cheilitis

Disusun Oleh :

Erwinda Ratna Sari (10610014)

Siti Liana Erawati (10610036)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA

KEDIRI

2015

BAB I

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja dan bagaimana prosedur pemeriksaan yang diperlukan untuk

menegakkan suatu diagnosa ?

2. Apa yang dimaksud dengan Cheilitis, macam-macam cheilitis, gambaran

klinis, etiologi, faktor predisposisi dan patogenesi terjadinya Cheilitis ?

3. Apa saja kemungkinan diagnosa banding yang mendekati dengan diagnosa

Cheilitis?

4. Bagaimana prosedur penatalaksaan untuk penderita Cheilitis ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui prosedur pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan

suatu diagnosa.

2. Mengetahui pengertian Cheilitis, macam-macam, gambaran klinis,

etiologi, faktor predisposisi dan patogenesi terjadinya Cheilitis

3. Mengetahui kemungkinan diagnosa banding yang mendekati dengan

diagnosa Cheilitis..

4. Mengetahui prosedur penatalaksaan untuk penderita Cheilitis.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tahapan Anamnesa

2.1.1 Pemeriksaan Subjektif


Pemeriksaan subjektif yang dapat dilakukan meliputi :
a) Keluhan utama
b) Riwayat perjalan penyakit.
Contoh pertanyaan : sejak kapan sakitnya, sebelumya pernah
mengalami hal yang sama atau tidak, apakah ada lesi yang sama pada
anggota tubuh yang lain, pernah diobati atau pernah ke dokter jika iya
berkurang/ tetap/tambah parah/sering kambuhan .
c) Riwayat medik pasien dan keluarga
Gunanya untuk :
 Meyakinkan bahwa terapi rongga mulut yang akan dilakukan
tidak merugikan kesehatan pasien
 Menegaskan keberadaan penyakit sistemik atau obat yang
sedang diminum tidak mempengaruhi perawatan.
 Mendeteksi penyakit sistemik yang tidak diketahui atau tidak
ditemukan secara kebetulan yang mungkin perlu rujukan.
 Catatan medik pasien
 Mendeteksi penyakit serius pada masa anak/dewasa/lansia.
 Membantu mentgakkan diagnosa dengan menemukan dengan
adanya tranmisi genetik/predidposisi suatu penyakit dari
keluarga.
Contoh pertanyaan : apakah dalam 2 tahun terakir pernah
masuk rumah sakit, apakah pernah operasi
d) Pengobatan sedang dijalani pasien
Tujuan untuk membantu diagnosa dan terapi.
e) Status sosial pasien dan kebiasaan pasien (Usri, 2007).

2.1.2 Pemeriksaan Objekltif


Pemeriksaan objektif yang dapat dilakukan meliputi :

3
a. Inspeksi/visual
 Observasi pasien  keadaan umum
 Observasi lesi  bentuk, diameter,konsistensi, suhu,
nyeri/tidak, warna, lokasi, semestri/asimetris, untuk lesi
putih (dapat dikerok tidak)
b. Palpasi
 Dengan bimanual (2 tangan,  jari dan tangan).
Perhatikan tekstur(halus/kasar), konsistensi (lunak,kenyal,
keras), batas lesi (jelas/difus), suhu, nyeri atau tidak, dapat
digerakan (untuk daerah kelenjar)
c. Auskultasi (pendengaran)
 Langsung didengarkan  bunyi TMJ yang abnormal
ketika membuka/menutup mulut
 Stetoskop  untuk mengukur tekakan darah,
mendengarkan denyut nadi
 Perkusi gigi.
d. Diaskopsi
 Pemeriksaan yang dilakukan dengan cara menekan
jaringan dengan glass objek. Tujuan untuk mengetahui lesi
berasal dari pembuluh darah (vaskuler) atau tidak (Usri,
2007).

2.2 Diagnosa dan Gambaran Klinis TU dan SAR


2.2.1 TU (Traumatic Ulser)
Traumatik ulser adalah bentukan lesi ulseratif yang disebabkan oleh
adanya trauma. Traumatik ulser dapat terjadi pada semua usia dan pada
kedua jenis kelamin. Lokasinya biasanya pada mukosa pipi, mukosa bibir,
palatum, dan tepi perifer lidah. Traumatik ulser disebabkan oleh trauma
berupa bahan-bahan kimia, panas, listrik, atau gaya mekanik (Langlais &
Miller, 2000).

4
Gambar 1. Traumatic Ulcer (Greenberg, 2008)

Diagnosa traumatic ulser didapatkan berdasarkan anamnesis atau


identifikasi spesifik dari sumber iritasi.
Gambaran klinis :
 Bentuk tidak beraturan
 Ulkus soliter terjadi dalam waktu singkat
 Batas tepi jelas
 Bagian tengah ulkus putih keabu-abuan
 Sakit
 Daerah sekitar ulkus kemerahan (Langlais & Miller,2000).

2.2.2 Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)


Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi
pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan dan bersifat
kambuhan. Ulser ini dapat berupa ulser tunggal maupun lebih dari satu dan
dapat menyerang mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal,
labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak serta mukosa
orofaring. SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa
tanda-tanda adanya penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa
mulut yang paling menyakitkan terutama sewaktu makan, menelan dan
berbicara. Penyakit ini relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan
jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi orang – orang yang menderita SAR
dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa sangat terganggu. Beberapa
ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri,
tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan patologis dengan gejala
klinis yang sama (Langlais & Miller, 2000).

5
Gambar 2. Sar Mayor (Pramita, 2011)
Gambaran Klinis :
 Tampak sebagai ulkus oval atau bulat
 Singel atau multipel
 Dangkal
 Kuning kelabu
 Kira-kira diameter 2-5mm
 Tepi erimateus yang mencolok mengelilingi pseudomembran fibrinosa
 Tidak ada pembentukan vesikel pada penyakit ini (Langlais & Miller,
2000).
Gambaran klinis SAR penting untuk diketahui karena tidak ada metode
diagnosa laboratoriam spesifik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa
SAR. SAR diawali gejala prodormal yang digambarkan dengan rasa sakit dan
terbakar selama 24-48 jam sebelum terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas
jelas, dangkal, bulat atau oval, tertutup selaput pseudomembran kuning keabu-
abuan, dan dikelilingi pinggiran yang eritematus karena adanya peradangan dan
dapat bertahan untuk beberapa hari atau bulan (Scully C and Porter, 2003).

2.3 Etiopatogenesis TU dan SAR


2.3.1 Etiopatogenesis TU (Traumatic Ulser)
Penyebab traumatik dari ulserasi mulut dapat berupa trauma fisik
atau trauma kimiawi. Kerusakan fisik pada mukosa mulut dapat
disebabkan oleh permukaan tajam, seperti cengkeram atau tepi-tepi
protesa, peralatan ortodonti, kebiasaan menggigit bibir, atau gigi
yang fraktur.Ulser dapat diakibatkan oleh kontak dengan gigi patah,
cengkeram gigi tiruan sebagian atau mukosa tergigit secara tak sengaja.

6
Luka bakar dari makanan dan minuman yang terlalu panas umumnya
terjadi pada palatum. Ulkus traumatik lain disebabkan oleh cedera akibat
kuku jari yang mencukil-cukil mukosa mulut (Langlais & Miller, 2000).
Ulser traumatik juga dapat diakibatkan oleh bahan-bahan kimia,
panas, listrik, atau gaya mekanik. Iritasi kimiawi pada mukosa mulut dapat
menimbulkan ulserasi. Penyebab umum dari ulserasi jenis ini adalah tablet
aspirin atau krim sakit gigi yang diletakkan pada gigi-gigi yang sakit atau
di bawah protesa yang tidak nyaman (Langlais & Miller, 2000).
Mukosa oral terdiri dari lapisan epitel berlapis gepeng yang tipis
dan rapuh, dan banyak terdapat suplai darah. Seperti epidermis dan lapisan
saluran pencernaan, epitel oral mempertahankan integritas struktural oleh
proses pembaharuan sel terus-menerus di mana sel-sel yang dihasilkan
oleh pembelahan mitosis dalam lapisan terdalam bermigrasi ke permukaan
untuk menggantikan sel yang membuka. Dengan pembaharuan sel yang
berlangsung cepat, penyembuhan luka akan cepat terjadi, namun
kemungkinan untuk mutasi sel dan kerusakan pada sel juga tinggi. Karena
suplai darah yang melimpah dan kerapuhan sel epitel, risiko untuk
terjadinya infeksi, inflamasi, dan trauma meningkat. Gejala ulser
traumatik ini adalah sakit, ketidaknyamanan dalam 24 hingga 48 jam
sesudah trauma terjadi. Gambaran lesi ulser bergantung pada faktor
iritannya.Pada awalnya daerah eritematous dijumpai di perifer, perlahan-
lahan menjadi lebih muda karena proses keratinisasi. Ulser ini akan
sembuh dengan sendirinya dalam waktu 10 hingga 14 hari apabila iritan
penyebab dihilangkan karena terjadi proses keratinisasi dan pembaharuan
sel-sel epitel mukosa oral (Greenberg, 2008).

2.3.2 Etiopatogenesis SAR (Stomatitis Aftosa Rekuren)


Semakin banyaknya penelitian dan teori-teori baru mengenai faktor
predisposisi stomatitis memungkinkan suatu saat nanti apa yang saat ini
masih kita anggap faktor predisposisi telah terbukti sebagai etiologi.
Seperti yang telah diketahui bahwa faktor etiologi stomatitis adalah
idiopatik (belum diketahui) namun telah banyak dugaan mengenai faktor
predisposisi stomatitis (Langlais & Miller, 2000).

7
Faktor- faktor yang dapat memicu meliputi atopi, trauma,
endikrinopati, menstruasi, defisiensi nutrisi, stress dan alergi makan.
Meskipun etiologi tidak diketahui studi-studi dewasa ini mencurigai proses
imunopatik yang melibatkan aktivitas sitolitik diperantarai sel sebagaii
respon terhadap HLA atau antigen asing. Bentik L dari streptococcus di
curigai menjadi penyebab dalam pembentukan ulserasi apthosa (Langlais
& Miller, 2000).
Ulkus apthosa minor mempunyai kecenderungan untuk terjadi
pada mukosa bergerak yang terletak pada jaringan kenjar saliva minor.
Sering kali terjadi pada mukosa bibir dan pipi, tapi ulkus jarng dijumpai
pada mukosa berkeratin banyak seperti gusi dan palatum keras. Kadang-
kadang dilaporkan adanya gejala-gejala pendahulu seperti parastesia dan
hiperestesia (Langlaisand Miller, 2000).

2.4 Diagnosa Banding TU (Traumatik Ulser) dan SAR


2.4.1 Diagnosa Banding TU (Traumatik Ulser)
Berdasarkan kelaianan yang ddapat dijadikan diagnosis banding untuk
traumatic ulser adalah :

a. Recurrent Apthous Stomatitis tipe minor,


Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75%
sampai dengan 85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan
adanya ulser berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10
mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe
minor cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa
labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi biasa tunggal atau
merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan akan sembuh
dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut
(Anindita dan Hutagalong, 2005).
b. Mayor Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Mayor
Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah
dari tipe minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan
berdiameter sekitar 1-3 cm, berlangsung selama 2 minggu atau lebih

8
dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk
daerah-daerah berkeratin. Ulser yang besar, dalam serta bertumbuh
dengan lambat biasanya terbentuk dengan bagian tepi yang menonjol
serta eritematous dan mengkilat, yang menunjukkan bahwa terjadi
edema. Selalu meninggalkan jaringan parut setelah sembuh dan
jaringan parut tersebut terjadi karena keparahan dan lamanya ulser
(Scully C dkk, 2003).
c. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Herpetiformis
Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya
(yang dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip
dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes
tidak mempunyai peran etiologi pada SAR tipe herpetiformis. SAR
tipe herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari kasus SAR.
Setiap ulser berbentuk bulat atau oval, mempunyai diameter 0,5- 3,0
mm dan bila ulser bergabung bentuknya tidak teratur. Setiap ulser
berlangsung selama satu hingga dua minggu dan tidak akan
meninggalkan jaringan parut ketika sembuh (Scully C dkk, 2003).

2.4.2 Diagnosa Banding SAR (Stomatitis Aftosa Rekuren)


a. TU (Traumatik Ulser)
Diagnosa traumatic ulser didapatkan berdasarkan anamnesis atau
identifikasi spesifik dari sumber iritasi. Gambaran klinis dari traumatic
ulser mirip dengan gambaran ulser apthosa. Ulser biasanya terbentuk
bulat, bagian tengah terdapat jaringan nekrotik berwarna putih
kekuningan dan dikelilingi daerah eritem (Langlais & Miller, 2000).
Pada awalnya daerah eritematous dijumpai di perifer, yang
perlahan-lahan menjadi muda karena proses keratinisasi. Bagian
tengah lesi biasanya kuning kelabu. Seringkali trauma penyebabnya
jelas terungkap pada pemeriksaan riwayat penyakit atau pemeriksaan
klinis. Mukosa yang rusak karena bahan kimia seperti terbakar oleh
aspirin umumnya batasnya tidak jelas dan mengandung kulit

9
permukaan yang terkoagulasi dan mengelupas (Langlais & Miller,
2000).
b. Herpes Simpleks
Herpes simpleks kambuhan cenderung membentuk kelompok –
kelompok vesikel yang berulserasi. Vesikel tersebut berkembang
dengan cepat pada daerah yang sama mengikuti penyebaran dari saraf
yang terinfeksi. Kekambuhan pada tepi vermilion bibir (herpes labialis
kambuhan) secara klinis lebih jelas dari pada kekambuhan intraoral
(stoamtitis hepertika kambuhan).
Lesi dari herpes labialis kambuhan ditandai oleh gambaran
kelompok-kelompok vesikel kecil yang timbul, menggabung, dan
membentuk ulkus kuning-coklat, sedikit cekung yang mempunyai
lingkaran merah yang jelas. (Langlais & Miller, 2000).

2.5 Faktor Predisposisi SAR


Meskipun etiologi SAR adalah idiopatik (belum diketahui), namaun ada
beberapa faktor predisposisi yang berkaitan dengan munculnya lesi dan dapat
mempermudah terjadinya lesi, adapun beberapa faktor predisposisi tersebut
antara lain:
a. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi
akibat trauma. Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa
sekelompok ulser terjadi setelah adanya trauma ringan pada mukosa
mulut. Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara, kebiasaan
buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau
minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor
yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita
tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung (Adhwa,
2009).

10
b. Gangguan Immunologi
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari
SAR, adanya disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR.
Salah satu penelitian mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang
berlebihan pada pasien SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada
mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit
yang berfungsi sebagai respon imun natural pada mukosa mulut dimana
pemicunya tidak diketahui Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh
dari Interleukin-1 (IL-1) dan Interleukin-6 (IL-6) terhadap resiko
terjadinya SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya
hubungan dengan pengeluaran Imunoglobulin-A (IgA), total protein, dan
aliran saliva. Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat
karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR (Jurge S dkk,
2010).
c. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien
yang menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan
peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli
masih menolak hal tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme
sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium.
Sicrus (1957) berpendapat bahwa bila kedua orangtua menderita SAR
maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien dengan
riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih
berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR (Jurge S dkk,
2010).
d. Defisiensi Nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien
menderita defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15%
defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami
defisiensi kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi
ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam
folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien

11
tersebut mengalami perbaikan. Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada
timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60 pasien SAR yang
diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin
tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33%
kombinasi ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama 3
bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan
rekuren berkurang. Fungsi vitamin B kompleks adalah untuk membantu
proses regenerasi sel, sedangkan vitamin C berfungsi dalam pembentukan
kolagen yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka (Wray D
dkk, 1975).
e. Keseimbangan Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan
banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga
berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan
penting adalah estrogen dan progesteron. Dua hari sebelum menstruasi
akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak.
Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah
sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan
keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses
keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap
jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi
SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel
mukosa mulut (Lewis and Jordan, 2004).
f. Alergi dan Sensitifitas
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan
(hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi
antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan alergen, merupakan substansi
protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk
antibodinya sendiri. SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut
terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur,
lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta
bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif,

12
mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas,
kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil,
tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil
dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR (Scully C dkk, 2003).
g. Penyakit Sistemik
Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan
kehadiran SAR. Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-
menerus dengan SAR harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik
yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter.
Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga
mulut adalah penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit
gastrointestinal, dan HIV-AIDS (Scully C dkk, 2003).
h. Stress
Beberapa peneliti telah membuktikan adanya hubungan yang
signifikan antara stresor psikologis dengan pengaruh sistem imun, dimana
respon imun tubuh dapat dimodulasi oleh stresor psikologis. Pada kondisi
stres, hipotalamus memicu aktivitas sepanjang aksis HPA (hypothalamus-
pituitary-adrenal cortex). Aderenal korteks mengeluarkan kortisol yang
menghambat komponen dari respon imun. Kortisol ini akan melepaskan
glukokortikoid dan katekolamin yang akan menyebabkan penurunan
produksi INF-γ (sitokin tipe 1) dan meningkatkan produksi IL-10 dan IL-4
(sitokin tipe 2) yang akan memicu terjadinya perubahan keseimbangan
sitokin tipe 1/tipe 2 yang lebih ke arah respon tipe 2. Namun, penelitian
terbaru menyatakan bahwa disregulasi dari keseimbangan sitokin tipe
1/tipe 2 inilah yang memainkan peranan penting dalam menghubungkan
pengaruh stres terhadap sistem imun. Dalam upaya menghasilkan
homeostatis akibat stres sering menghasilkan kondisi patologis terhadap
tubuh. Stres akibat stresor psikologis dapat mengakibatkan perubahan
tingkat molekul pada berbagai sel imunokompeten. Berbagai perubahan
tersebut dapat mengakibatkan keadaan patologis pada sel epitel mukosa
rongga mulut, sehingga sel epitel lebih peka terhadap rangsangan
(Sulistyani E, 2003).

13
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Tujuan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui :
 Perubahan patologik jaringan
 Mikroorganisme
 Perubahan imunologik
 Pembeda diagnosa banding
2.6.2 Indikasi pemeriksaan penunjang
 Ada diagnosa banding
 Lesi ulseratif yang persisten
 Keterlibatan mikroorganisme
 Dugaan gangguan respon imun
2.6.3 Macam pemeriksaan Penunjang
 Mikrobiologi
Fungsi : untuk pemeriksaan bakteri (lab mikro minat bakteriolgi),
virus (lab mikro minat virologi), jamur (lab mikro minat mikologi).
 Patologi anatomi
Sitologi : untuk pemeriksaan sellab PA
Biopsi : untuk pemeriksaan jaringan dilakukan drg di lab BM 
Hasil di kirim ke lab PA minay HPA.
 Patologi klinik
Darah  Lab PK minat serologi,
urinlab PK minat urologi (Gaphorsm dan Abdullah MJ. 2013).

2.7 Penatalaksanaan TU dan SAR Minor


2.7.1 Penatalaksanaan TU (Traumatik Ulser)
Perawatan traumatic ulser meliputi eliminasi faktor penyebaab serta
penggunaan antiseptic maouthwash seperti chloerhiksedin 0,2 %. Ketika
sumber iritasi atau faktor penyebab sudah dihilangkan, traumatic ulser
akan sembuh antara 10-14 hari. Jika lebih dari itu ulser belum sembuh,
pasien sebaiknya dikonsulkan kepada dokter spesialis dan dilakukan
biopsy untuk melihat kemungkinan dari karsinoma oral (Langlais and
Miller, 2000).

14
2.7.2 Penatalaksanaan SAR Minor (Stomatitis Aftosa Rekuren)
Untuk stomatitis aftosa rekuren, penatalaksanaannya dibagi ke
dalam dua tahap yaitu: Pengendalian faktor predisposisi dan
pengobatan simtomatis serta perawatan suportif.
a. Pengendalian Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi dapat diketahui dengan cara
mengumpulkan informasi tentang: faktor genetik yang
kemungkinan berperan, trauma yang terlibat, faktor hormonal yang
berperan, juga kondisi stres dan faktor imunologi. Dari faktor
sistemik perlu juga diperhatikan usia penderita, dalam usia
pertengahan atau lansia. Pada lansia kemungkinan adanya
keterlibatan kondisi sistemik lebih besar bila dibandingkan pasien
di usia pertengahan. Dari faktor lokal perlu diperhatikan adanya
trauma ataupun faktor lain yang dapat mengiritasi mukosa, seperti
tepi gigi, karies ataupun tambalan yang tajam. Perlu dihindari
makanan yang tajam dan merangsang. Juga perlu diperhatikan
untuk memperbaiki kondisi oral hygiene (Regezi dkk,2008).
Biasanya, peningkatan frekuensi lesi akan membuat pasien
datang untuk memeriksakan diri. Pada umumnya pasien terlihat
sehat, tetapi perlu pemeriksaan hematologi untuk penderita lansia
(Laskaris, 2005).
b. Pengobatan Simtomatik
Tujuan dari pengobatan simtomatik yang dilakukan adalah:
untuk mengurangi rasa nyeri, mempersingkat perjalanan lesi, dan
memperpanjang interval bagi kemunculan lesi. Obat yang dapat
digunakan antara lain: anestetikum (benzocaine 4% dalam borax
glycerine), obat kumur antibiotika (chlorhexidine gluconate 0,2%,
larutan tetrasiklin 2%), anti inflamasi dan anti udema (sodium
hyaluronat), obat muko-adhesive dan anti inflamasi (bentuk
kumur atau gel), kortikosteroid topikal (triamcinolone in orabase)
(Laskaris, 2005).

15
Kortikosteroid tidak mempercepat penyembuhan lesi, tetapi
dapat mengurangi rasa sakit pada peradangan yang ada.
Sedangkan pada triamcinolone in orabase, kortikosteroid
dicampur dengan media orabase yang dapat membuatnya melekat
pada mukosa mulut yang selalu basah. Jika pengolesan obat ini
dilakukan dengan tepat, maka orabase akan menyerap cairan dan
membentuk gel adesif yang dapat bertahan melekat pada mukosa
mulut selama satu jam atau lebih. Namun, pengolesan pada
erosi/ulser agak sedikit sulit untuk dilakukan. Gel yang terjadi
akan membentuk lapisan pelindung di atas ulkus, sehingga pasien
akan merasa lebih nyaman. Kortikosteroid akan dilepaskan secara
perlahan. Selain itu obat ini juga memiliki sifat anti inflamasi.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan di Inggris dan Amerika
Serikat, obat kumur tetrasiklin secara bermakna dapat
menurunkan frekuensi dan keparahan stomatitis aftosa. Isi kapsul
tetrasiklin (250 mg) dilarutkan dalam 15 mL air matang, ditahan
selama 2 – 3 menit dalam mulut, dikumur tiga kali sehari. Pada
beberapa pasien, penggunaan selama 3 hari dapat meredakan
stomatitis aftosa rekuren (Laskaris, 2005).
Obat kumur chlorhexidine 0,2% juga dapat digunakan
untuk meredakan durasi dan ketidaknyamanan pada stomatitis
aftosa. Cara penggunaannya adalah tiga kali sehari sesudah
makan, ditahan dalam mulut selama minimal 1 menit. Kadang
pemberian vitamin B-12 atau asam folat sudah cukup untuk
meredakan stomatitis aftosa frekuren (Laskaris, 2005).
c. Perawatan Suportif
Untuk perawatan suportif dapat dilakukan dengan
pengaturan diet, pemberian obat kumur salin hangat dan anjuran
untuk beristirahat dengan cukup, serta dibantu dengan pemberian
vitamin B kompleks dan vitamin C untuk membantu
mempercepat regenerasi sel dan pembentukan kolagen untuk
mempercepat proses penyembuhan luka. Terapi biasanya

16
dilakukan secara empiris dan paliatif. Namun demikian, tidak ada
satu obatpun yang dapat benar-benar menghilangkan lesi dengan
sempurna. Penderita perlu diberi tahu bahwa kelainan tersebut
tidak dapat diobati, tetapi dapat diredakan dan biasanya dapat
sembuh sendiri (Laskaris, 2005).

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Kasus TU (Traumatik Ulser)


Pasien laki-laki datang usia 21 tahun datang ke rumah sakit gigi dan mulut
FKG IIK Bhakti wiyata Kediri dengan keluhan rasa sakit pada bagian bibir bawah
kiri dalam dan sakit bila tersentuh makanan. Pasien belum pernah melakukan
perawatan dan pasien ingin dirawat agar tidak sakit lagi serta jarang terkena
sariawan.

3.1.1 Pemeriksaan

3.1.1.1 Pemeriksaan Subjektif

Dari pemeriksaan subjektif dapat kita ketahui tentang usia pasien, keluhan
utama pasien, Pasein mengalami sariawan 3 hari yang lalu Dimana pasien
mengeluh rasa sakit pada bagian bibir bawah sebelah kiri bagian dalam
dan sakit saat tersentuh makanan. Pasien mengeluhkan terdapat luka pada
bibirnya sejak 3 hari yang lalu dikarenakan tergigit pada saat makan.
Pasien juga belum pernah melakukana perawatan dan pasien ingin dirawat
agar cepat sembuh.

3.1.1.2 Riwayat kesehatan

 Kelaian darah : Tidak


 Kelaian Endokrin : Tidak
 Kelaian Nutrisi : Tidak
 Kelaian Jantung : Tidak
 Kelaian kulit/kelamin : Tidak
 Kelaian pencernaan : Tidak
 Gangguan respiratori : Tidak
 Kelaian imunologi : Tidak
 Gangguan TMJ : Tidak
 Tekana darah : Tidak
 Diabetes militus : Tidak

18
3.1.1.3 Pemeriksaan Klinis

1. Pemeriksaan Ekstraoral
 Muka : Tidak ada abnormalitas
 Pipi kiri : Tidak ada abnormalitas
 Pipi kana : Tidak ada abnormalitas
 Bibir atas : Fisure dalam, sakit, panjang 3 mm,
mengelupas,
 Bibir bawah : Fisure dalam, sakit, panjang 3 mm,
mengelupas,
 Sudut mulut : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Submandibularis kiri : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Submandibularis kanan : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Submentalis : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Leher : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Sublingualis : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Parotis kiri : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar parotis kanan : Tidak ada abnormalitas
2. Pemeriksaan Intraoral
 Mukosa labial atas : Tidak ada abnormalitas
 Mukosa labial bawah : Bertentuk tidak beraturan,
batas jelas, diameter 2 mm, dasar ulser putih kekuningan, warna
tepi kemerahan,sakit
 Mukosa pipi kiri ; Garis putih menonjol halus,
tidak dapat dikerok tidak sakit.
 Mukosa pipi kanan : Garis putih menonjol halus,
tidak dapat dikerok tidak sakit.
 Bukal fold atas : Tidak ada abnormalitas
 Bukal fold bawah : Tidak ada abnormalitas
 Labial Fold atas : Tidak ada abnormalitas
 Labial fold bawah : Tidak ada abnormalitas
 Ginggiva rahang atas : Tidak ada abnormalitas
 Ginggiva rahang bawah : Tidak ada abnormalitas

19
 Lidah kanan dan kiri : Tidak ada abnormalitas
 Dasar mulut : Tidak ada abnormalitas
 Palatum : Tidak ada abnormalitas
 Tonsil : Tidak ada abnormalitas
 Faring : Tidak ada abnormalitas
 Vermilion border rahang atas : Tidak ada abnormalitas
 Vermilion border rahang bawah : Tidak ada abnormalitas

3.1.1.4 Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan subjektif
maupun pemeriksaaan objektif dapat ditegakan diagnosa traumatik ulser.
Diagnosa banding dari kasus tersebut yaitu stomatitis apthosa rekurent
(SAR).
3.1.1.5 Rencana Perawatan

Membersihkan luka dengan povidone iodine 10%, lalu mengolesi luka


dengan borax gliserin

3.1.1.6 Penatalaksanaan
Alat dan bahan :

a) Catton pelet
b) Catton rol
c) Pinset, kaca mulut.
d) Larutan povidone iodine 10%
e) Larutan borax gliserin
f) Aquadest steril
3.1.1.7 Tahapan Kerja
Kunjungan I:
a) Pasien diintruksikan untuk kumur
b) Luka dibersihkan dengan catton pelet steril
c) Ulasi luka dengan povidone iodine 10%
d) Ulasi luka dengan borax gliserin
e) Pemberian resep :
R/ Borax Gliserin 25 ml VL. No.1

20
/ 3-4 dd 1
R/ B Comp C Capl No.X
/ 1 dd 1
Instruksi :
 makan dan minum bervitamin dan mengandung serat
 Istirahat cukup
 Kontrol 1 minggu kemudian

3.1.1.8 Kunjungan II :

3.1.1.9 Kontrol hari ke 7 pasca perawatan traumatik ulser

3.1.1.10 Anamnesa

3.1.1.11 Pemeriksaan

3.1.1.12Kesimpulan perawatan

3.1.1.13 Terapi lanjutan

3.2 Kasus SAR (Stomatitis Aftosa Rekuren).


Pasien wanita datang usia 19 tahun datang ke rumah sakit gigi dan mulut
FKG IIK Bhakti wiyata Kediri dengan keluhan rasa sakit pada bagian bibir atas
kiri bagian dalam dan sakit bila tersentuh makanan. Pasien belum pernah
melakukan perawatan sebelumnya dan pasien ingin dirawat agar tidak sakit lagi.
3.2.1 Pemeriksaan
3.2.1.1 Pemeriksaan Subjektif
Dari pemeriksaan subjektif dapat kita ketahui tentang usia pasien
dan keluhan utama pasien, Pasein mengalami sariawan 3 hari yang lalu
Dimana pasien mengeluh rasa sakit pada bagian bibir atas sebelah kiri

21
bagian dalam dan sakit saat tersentuh makanan. Pasien mengeluhkan
terdapat luka pada bibirnya sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga belum
pernah melakukana perawatan dan pasien ingin dirawat agar cepat
sembuh. Pasien saat ini saat dalam kondisi menstruasi.
3.2.1.2 Riwayat kesehatan

 Kelaian darah : Tidak


 Kelaian Endokrin : Tidak
 Kelaian Nutrisi : Tidak
 Kelaian Jantung : Tidak
 Kelaian kulit/kelamin : Tidak
 Kelaian pencernaan : Tidak
 Gangguan respiratori : Tidak
 Kelaian imunologi : Tidak
 Gangguan TMJ : Tidak
 Tekana darah : Tidak
 Diabetes militus : Tidak
3.2.1.3 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan Ekstraoral

 Muka : Tidak ada abnormalitas


 Pipi kiri : Tidak ada abnormalitas
 Pipi kana : Tidak ada abnormalitas
 Bibir atas : Tidak ada abnormalitas
 Bibir bawah : Tidak ada abnormalitas
 Sudut mulut : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Submandibularis kiri : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Submandibularis kanan : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Submentalis : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Leher : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Sublingualis : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar Parotis kiri : Tidak ada abnormalitas
 Kelenjar parotis kanan : Tidak ada abnormalitas

22
Pemeriksaan Intraoral

 Mukosa labial atas : Tidak ada abnormalitas


 Mukosa labial bawah : Tidak ada abnormalitas
 Mukosa pipi kiri ; Garis putih menonjol halus, tidak
dapat dikerok tidak sakit.
 Mukosa pipi kanan : Garis putih menonjol halus, tidak
dapat dikerok tidak sakit.
 Bukal fold atas : Tidak ada abnormalitas
 Bukal fold bawah : Tidak ada abnormalitas
 Labial Fold atas : ulser, singel, batas jelas, tepi
kemerahan, diameter kurang lebih 2mm, dasar ulser berwarna putih
kekuningan, sakit
 Labial fold bawah : Tidak ada abnormalitas
 Ginggiva rahang atas : Tidak ada abnormalitas
 Ginggiva rahang bawah : Tidak ada abnormalitas
 Lidah kanan dan kiri : Tidak ada abnormalitas
 Dasar mulut : Tidak ada abnormalitas
 Palatum : Tidak ada abnormalitas
 Tonsil : Tidak ada abnormalitas
 Faring : Tidak ada abnormalitas
 Vermilion border rahang atas : Tidak ada abnormalitas
 Vermilion border rahang bawah : Tidak ada abnormalitas

3.2.1.4 Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan subjektif
maupun pemeriksaaan objektif dapat ditegakan diagnosa stomatitis
apthosa rekurent (SAR). Diagnosa banding dari kasus tersebut yaitu TU.
3.2.1.5 Rencana Perawatan

Membersihkan luka dengan povidone iodine 10%, lalu mengolesi luka


dengan borax gliserin

23
3.2.1.6 Penatalaksanaan
Alat dan bahan :

g) Catton pelet
h) Catton rol
i) Pinset, kaca mulut.
j) Larutan povidone iodine 10%
k) Larutan borax gliserin
l) Aquadest steril
3.2.1.7Tahapan Kerja
Kunjungan I:
f) Pasien diintruksikan untuk kumur
g) Luka dibersihkan dengan catton pelet steril
h) Ulasi luka dengan povidone iodine 10%
i) Ulasi luka dengan borax gliserin
j) Pemberian resep :
R/ Borax Gliserin 25 ml VL. No.1
/ 3-4 dd 1
R/ B Comp C Capl No.X
/ 1 dd 1
Instruksi :
 makan dan minum bervitamin dan mengandung serat
 Istirahat cukup
 Kontrol 1 minggu kemudian

3.2.1.8 Kunjungan II :

3.2.1.9 Kontrol hari ke 7 pasca perawatan traumatik ulser

3.2.1.10Anamnesa

3.2.1.11Pemeriksaan

24
3.2.1.12 Kesimpulan perawatan

3.2.1.13 Terapi lanjutan

25
DAFTAR PUSTAKA

Anindita dan Hutagalung B. 2005. Gambaran Ulkus Traumatic Pada Mahasiswa


Pengguna Orthodntik Cekat di Program Study Kedokteran Gigi. Universitas
Samratulangi.

Cowson, R.A. 2008. Oral Pathology and Oral Medicine Seventh edition.
UK:Elsevier, Hal: 10-15
Gaphor SM, dan Abdullah. 2011. Prevalance Sex Distribution of Oral Lasion In
patient Attending and oral Diagnosis Clinic In Sulaimane University.J Bagh
Collage Dentistry. P: 67-73

Greenberg, M.S, M. Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosa and


Treatment. Hamilton. BC Derker. Hal: 72-73.
Langlais,G. 2000. Atlas Berwarna Kelaianan Rongga Mulut yang Lazim.
Jakarta:Hipokretes, hal:94
Laskaris, G. 2005. Treatment of Oral Disease. New York. Theime. Hal:169.
Lewis and Jordan. 2004. A Colour Handbook of Oral Medicine. London, UK:
Manson Publishing.

Pratami JF. 2011.Laporan Studi Kasus Minor Ilmu Penyakit Mulut. Ulser
Traumatik. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, Bandung.

Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2008. Oral Pathologic Clinical Pathologic
Correlations, 5th edition. St. Louis: WB Saunders. p: 21-24.

Scullyc, and Porter S. 2003. Orofacial Disease : Update for the Dental Clinical
Team. Barcelona : Chorchill Lifingstone : P 11-15

Usri K et.al. 2007. Diagnosis dan Terapi Penyakit Gigi dan Mulut. LSKI

26

Anda mungkin juga menyukai