Anda di halaman 1dari 38

KEPEMIMPINAN ERA MILLENNIUM

Era millennium membutuhkan seorang pemimpin yang


mampu memberikan pengaruh bagi timnya dengan memiliki
visi yang jelas dan menginspirasi, mendorong
inisiatif serta mengembangkan anggota timnya. Kemampuan
mempengaruhi ini tidaklah muncul dengan tiba-tiba, akan
tetapi seorang pemimpin perlu memiliki daya tarik yang
membuat mereka mau melakukan.
6 Karakter Kepemimpinan di Era Milenial
1. Digital Mindset
Digital Leader . Dengan semakin banyaknya orang yang
menggunakan smartphone, maka akses komunikasi antar
individu pun sudah tidak bersekat lagi. Ruang pertemuan fisik
beralih ke ruang pertemuan digital. Saat ini pun sudah menjadi
kewajaran jika seseorang memiliki lebih dari 1 (satu) group di
aplikasi WA ataupun Telegram mereka. Pemimpin di era
milenial harus bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini
untuk menghadirkan proses kerja yang efisien dan efektif di
lingkungan kerjanya. Misalnya dengan mengadakan rapat via
WA ataupun Anywhere Pad, mengganti surat undangan
tertulis dengan undangan via email ataupun Telegram, dan
membagi product knowledge ke klien via WA.
Jika seorang pemimpin tidak berupaya mendigitalisasi
pekerjaannya di era saat ini, maka dia akan dianggap tidak
adaptif oleh kliennya dan bahkan rekan kerjanya sendiri.
Seperti yang dilansir oleh DDI (Development Dimensions
International) dalam penelitiannya di tahun 2016,
mayoritas millenial leader menyukai sebuah perusahaan yang
fleksibel terhadap jam kerja dan tempat mereka bekerja. Hal
ini tentu saja disebabkan karena kecanggihan teknologi yang
membuat orang bisa bekerja dimana saja dan kapan saja.
Dapat disaksikan bahwa hari ini banyak sekali coffeeshop yang
berfungsi sebagai co-working space bertebaran di tempat kita
dan sebagian besar pengunjungnya adalah millenials.
2. Observer dan Active Listener
Pemimpin di era milenial harus bisa menjadi observer dan pendengar aktif
yang baik bagi anggota timnya. Apalagi jika mayoritas timnya adalah kaum
milenial. Hal ini dikarenakan kaum milenial tumbuh beriringan dengan
hadirnya media sosial yang membuat mereka kecanduan untuk
diperhatikan. Mereka akan sangat menghargai dan termotivasi jika
diberikan kesempatan untuk berbicara, berekspresi, dan diakomodasi ide-
idenya oleh perusahaan. Mereka haus akan ilmu pengetahuan,
pengembangan diri dan menyukai untuk berbagi pengalaman.
Namun di sisi lain, mereka pun tidak ragu untuk menuangkan kekesalannya
terhadap perusahaan ke dalam media sosialnya. Oleh karena itu, jangan
terburu-buru untuk menghakimi kinerja buruk mereka tanpa kita tahu
alasan sebenarnya. Untuk menjadi observer dan active listener yang baik,
tidak ada salahnya jika pendekatan dilakukan via media sosial milik mereka
seperti Facebook, Instagram, dan Path. Apabila perusahaan kita
mempunyai market segment kaum milenial, maka pendekatan yang sama
bisa diterapkan untuk mendapatkan insight mereka.
3. Agile
Pemimpin yang agile dapat digambarkan sebagai pemimpin yang cerdas
melihat peluang, cepat dalam beradaptasi, dan lincah dalam memfasilitasi
perubahan. Seperti yang disampaikan oleh motivator Jamil Azzaini,
pemimpin yang agile adalah pemimpin yang open minded dan
memiliki ambiguity acceptance, yakni bersedia menerima ketidakjelasan.
Ketidakjelasan ini bisa berarti ketidakjelasan dari prospek bisnis ke depan,
ketidakjelasan sistem manajemen perusahaan, atau ketidakjelasan manual
produk yang dikeluarkan perusahaan. Oleh pemimpin yang agile, hal ini
nantinya akan disederhanakan, diperbaiki, dan disempurnakan. Pemimpin
yang agile mampu mengajak organisasinya untuk dengan cepat
mengakomodasi perubahan. Layaknya Pep Guardiola yang
menyempurnakan Total Football dengan Tiki Taka-nya.

Cara untuk menjadi pemimpin yang agile diantaranya adalah


memperbanyak membaca buku, mengobservasi peristiwa dan silaturrahim.
4. Inclusive
Pemimpin sebagai mentor dan sahabat
Di dalam bahasa Inggris, inclusive diartikan "termasuk di
dalamnya". Secara istilah, inclusivediartikan sebagai memasuki
cara berpikir orang lain dalam melihat suatu masalah.
Pemimpin yang inclusive dibutuhkan di era milenial
dikarenakan perbedaan cara pandang antar individu yang
semakin komplek. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya
informasi yang semakin mudah diakses oleh siapapun,
dimanapun, dan kapapnpun sehingga membentuk pola pikir
yang berbeda antar individunya.
Pemimpin yang inclusive diharapkan dapat menghargai setiap
pemikiran yang ada dan menggunakannya untuk mencapai
tujuan organisasi. Pemimpin juga harus memberikan
pemahaman akan pentingnya nilai, budaya, dan visi organisasi
kepada anggota timnya secara paripurna karena kaum milenial
akan bertindak secara antusias jika tindakannya
memiliki meaning.
Agar menjadi pemimpin yang inclusive, pemimpin juga tidak
boleh lagi bertindak sebagai boss, melainkan leader, mentor, dan
sahabat bagi anggota timnya. Hal ini disebabkan sebagian besar
kaum milenial menganut nilai-nilai seperti transparansi dan
kolaborasi dalam hidup mereka. DDI dalam penelitiannya di
tahun 2016, menyampaikan bahwa millenials menyukai
perusahaan yang memberikan frekuensi lebih banyak untuk
mendapatkan mentoring dan training dari para manajer di
atasnya atau para expert.
5. Brave to be Different
Berbeda dan menginspirasi
Di zaman sekarang, ternyata masih banyak orang yang tidak
berani untuk mengambil sebuah langkah atau keputusan penting
dalam pencapaian cita-citanya karena hal tersebut bertentangan
dengan kebiasaan orang-orang di sekitarnya. Hal semacam ini jika
dibiarkan, akan menjadi hambatan seseorang bahkan sebuah
perusahaan untuk lebih maju. Acapkali tradisi di sebuah
perusahaan membuat orang lebih suka membenarkan yang biasa
daripada membiasakan yang benar. Ini adalah tantangan bagi
para pemimpin milenial dalam mengubah kondisi tersebut dan
menanamkan nilai bahwa berbeda itu boleh asalkan dengan
perencanaan dan tujuan yang jelas.
Oleh karena itu, untuk memberi contoh, pemimpin harus
berani berbeda, baik dari cara berpikir, kebijakan, maupun
penampilannya. Tentu berbedanya untuk kebaikan tim dan
perusahaan, misalnya membebaskan pakaian kerja tim
yang semula berseragam menjadi pakaian semi formal agar
menambah semangat bekerja mereka karena tampil keren
di hadapan teman kantornya. Menekankan kepada tim
bahwa setiap orang memiliki keunikannya masing-masing
dan diberdayagunakan untuk kepentingan organisasi juga
salah satu tugas dari pemimpin.
6. Unbeatable (pantang menyerah)
Mindset pantang menyerah tentu harus dimiliki oleh semua
pemimpin. Apalagi memimpin anak-anak di era milenial yang
lekat dengan sikap malas, manja, dan merasa paling benar
sendiri. Pemimpin milenial wajib memiliki sikap positive
thinking dan semangat tinggi dalam mengejar goals-nya.
Hambatan yang muncul seperti kurangnya respect dari pegawai
senior maupun junior harus bisa diatasi dengan sikap ulet dan
menunjukkan kualitas diri. Kondisi persaingan kerja di era
globalisasi harus memicu pemimpin untuk meningkatkan soft
skills misalnya kemampuan bernegosiasi, menginspirasi,
dan critical thinking, dan hardskills-nya seperti membuat
desain grafis dan berbahasa asing. Maka dari itu, wajib bagi
pemimpin untuk menjadi sosok yang unbeatableyang memiliki
kemampuan bangkit dari kegagalan dengan cepat dan pantang
menyerah dalam menggapai tujuannya.
3 (tiga) hal tantangan kepemimpinan milenial
1. Pemimpin dengan kecerdikan.
Seorang pemimpin biasanya  memiliki kelebihan dibanding orang
lain, kelebihan untuk melihat ke depan, mampu melihat peluang
yang mungkin tidak dilihat oleh orang lain. Itulah kecerdikan seorang
pemimpin, mampu melihat kemana perusahaan atau organisasi,
dua, lima bahkan sepuluh tahun mendatang. Tidak hanya itu,
biasanya ia mampu melihat rintangan dan cepat melakukan
antisipasi, kemudian mengilhamkan kepada para pengikut untuk
mengatasi dan mencapai apa yang diinginkannya.
Dalam situasi krisis yang masih belum kunjung selesai sekarang ini,
pemimpin dengan kecerdikan itulah yang diperlukan, untuk melihat
peluang ke depan, antisipasi rintangan dari pesaing maupun
lingkungan, memikirkan strategi dan kemudian menginspirasikan
kepada pengikutnya.
2. Pemimpin dengan keteladanan.
Era sekarang adalah betul-betul era demokrasi, seorang
pemimpin tidak bisa lagi memimpin dengan kata-kata,
memberikan instruksi untuk disiplin sedangkan ia sendiri tidak
disiplin, hingga dipertanyakan apakah hanya pemimpin yang
boleh tidak disiplin. Di era orde baru pengikut tidak berani
bicara, sekarang mereka berani untuk mengemukakan pendapat.
Para pengikut mengikuti pemimpin dengan mata dan telinga.
Bagaimana kita bisa memberantas korupsi kalau pimpinannya
korupsi. James M. Kouzes dan Barry Z. Posner, pakar
kepemimpinan, mengatakan, pemimpin berjalan lebih dulu,
mereka memberikan contoh dan membina komitmen melalui
tindakan sehari-hari. Apa yang mereka perbuat jauh lebih
penting dari yang mereka katakan dan harus konsisten dengan
apa yang mereka katakan.
3. Pemimpin dengan keterbukaan.
Seorang pakar komunikasi dan motivasi Joe-Harry, yang cukup kita
kenal dengan teori “Johary Window”-nya, mengatakan, jadilah
pemimpin yang pantas dihormati dan diterima oleh pengikut bukan
karena jabatan anda, tetapi memang anda pantas untuk dihormati.
Pemimpin dengan keterbukaan adalah sosok pemimpin yang
memperbesar daerah keterbukaan (Saya tahu – Orang lain tahu),
berani menerima kritik dan memberikan saran untuk membangun
sebuah team yang solid. Ia tidak hanya memberikan instruksi atau
perintah, tetapi juga mendengar kesulitan yang dialami selama
menjalankan instruksi tersebut. Intensitas interaksi pemimpin
dengan pengikut ditingkatkan. Ia sadar tanpa pengikut idenya tidak
akan bisa diwujudkan. Pengikutnya memiliki kecenderungan
menjalankan ide pemimpin dengan keterlibatan emosional, dengan
sepenuh hati cenderung menyelesaikan tugas tanpa hitung-
hitungan.
Tanpa keterbukaan, seorang pemimpin akan digoyang oleh
pengikutnya, mereka secara perlahan melakukan provokasi
terhadap karyawan lainnya, membesarkan kelemahan
pemimpin ke permukaan dan akhirnya semua pihak dirugikan.
Kalau kita amati secara kasar, banyak pemimpin yang ada saat
ini sangat tertutup, mereka ingin para pengikutnya hanya
mengangguk dan menjalankan perintah, orang yang
membantah dan mengkritik dianggap orang yang tidak pantas
menjadi pengikut. Perilaku tersebut hanya menghasilkan
produktivitas jalan di tempat.
Ciri khas pemimpin milenial
Dari beberapa literatur, kita bisa mempelajari bebarapa keunggulan
tertentu pada kelompok milenial yang sudah menjadi pemimpin.
Yang jelas, para pemimpin milenial ini mayoritas sudah menggunakan
teknologi dalam menjalankan kegiatan/bisnisnya. Tidak ada
pemimpin milenial yang tidak tech savvy. Bahkan teknologi sudah
tidak terpisahkan lagi dalam perusahaan atau lembaga yang mereka
pimpin. 
Drive atau rasa lapar akan kesuksesanpun demikian besar. Kita perlu
sadar bahwa generasi milenial sudah tidak dibesarkan di jaman
keemasan ekonomi. Banyak di antara mereka hidup dengan anggaran
yang pas-pasan. Justru inilah yang membuat mereka suka bekerja
keras dan banyak menginspirasi teman kerjanya. Bagi mereka kultur
bekerja keras tidak sulit ditularkan pada teman-temannya, karena
mereka juga tidak menginginkan birokrasi dan segala macam
formalitas yang nampaknya hanya menghambat gerak organisasi.
Hasil penelitian mengatakan bahwa dibandingkan dengan generasi yang lebih
senior, para milenial lebih unggul dalam komunikasi dan pembinaan hubungan
interpersonal.
Inovasi adalah napas organisasi yang mereka pimpin, dan hal ini bukan
monopoli atasan atau pimpinan saja. Inovasi menjadi tuntutan bagi semua
individu. Ini juga dilatarbelakangi oleh transparansi yang menjadi kultur utama
perusahaan. Para milenial sejak lahir sudah dibesarkan dalam dunia yang tidak
mapan. Oleh karena itu, mereka memang sudah terbiasa dengan perubahan.
Bila kolaborasi di masa kita dianggap sebagai upaya yang keras dan harus
dipaksakan, saat ini para milenial melakukannya dengan spontan. Nafas
organisasi memang adalah kolaborasi. Mereka percaya dan menghargai multi
perspektif, sementara banyak di antara kita yang masih menganut faham
monopoli, eksklusivitas dan mengkotak-kotakkan pasar ataupun keahlian. Jadi,
mungkin kita yang masih mau beroperasi dan berada bersama dengan para
milenial ini perlu juga mengubah perspektif kita, karena generasi yang terlihat
sekedar having fun ini sebenarnya menganut nilai, keyakinan dan ke-PD-an
baru yang perlu kita perhitungkan.
Bukan kepemimpinan tradisional lagi
Kita semua tahu bahwa para senior biasanya unggul dalam pengalaman di
industri dan jam terbang teknis yang membekali mereka dengan wisdom-
wisdom. Inilah yang sering membuat para senior gemas menghadapi generasi
muda. Namun, kita juga perlu memperhitungkan bahwa di zaman yang sudah
berubah, di mana banyak tenaga dan pengetahuan manusia tergantikan oleh
mesin, ada kekuatan-kekuatan lain yang akan menunjang para pemimpin milenial
ini.
Hasil penelitian mengatakan bahwa dibandingkan dengan generasi yang lebih
senior, para milenial lebih unggul dalam komunikasi dan pembinaan hubungan
interpersonal. Beberapa pemimpin milenial yang sudah berhasil,
mengungkapkan bahwa mereka banyak belajar secara online, sesi-
sesi sharing dan selalu mempunyai mentor tempat bertanya dan berdiskusi.
Mereka juga sangat terbuka dengan umpan balik. Mereka percaya umpan balik
adalah pembelajaran yang sangat berharga untuk pengembangan. Ini juga
sebabnya mereka lebih mudah menerima mentorship. Tidak heran bila organisasi
yang dipimpin para milenial ini tampak fleksibel dan senantiasa berubah.
Bagaimana hidup harmonis dengan para pemimpin milenial? 
Seorang pemimpin milenial pernah menyatakan kepada seniornya, “I want a
clear understanding of what success looks like to you.” Penyamaan visi ini
perlu kita lakukan sedini mungkin dengan mereka.  Para pemimpin milenial
melihat masa depan dengan kacamata yang sangat berbeda dari kacamata
para seniornya. Dengan meluapnya informasi, bukan hanya informasi
mengenai teknologi saja yang bisa diakses, tetapi refleksi mengenai
kemanusiaan juga banyak tersedia dan terbaca oleh mereka.
Hal yang lumayan menjadi kejutan adalah bahwa para milenial ini ternyata
lebih mementingkan kemanusiaan. 'I’m an individual, not a number.' Yang
paling penting kita ingat bila kita menghendaki engagement adalah
bahwa engagement terjadi antara individu yang satu dengan individu lainnya.
Oleh karena itu, terlepas dari perbedaan usia, kita harus mendalami mereka
secara individual. Melihat kenyataan di atas, nampaknya kitalah yang perlu
mengubah mindset dan kacamata, agar kita pun bisa banyak belajar dari para
milenial. Hanya inilah cara kita untuk menutup kesenjangan antargenerasi.
1. Tech Savvy
Pemimpin yang tech savvy alias melek teknologi akan disukai oleh
generasi milenial, karena mampu berkomunikasi dan bertukar
informasi dengan cara yang mereka sukai, yakni memanfaatkan
teknologi.
Pemimpin ini dapat dengan mudah berkoordinasi dan berkomunikasi
dengan anggota timnya. Ia pun lebih mudah dijangkau kapan dan di
manapun ia berada.
2. Terbuka
Transparansi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
diterapkan dalam dunia kerja. Dengan adanya keterbukaan, maka
seluruh karyawan bisa saling berkolaborasi dalam memajukan
perusahaan. Pemimpin yang transparan mau berbagi permasalahan
yang dihadapi perusahaan, sehingga memungkinan karyawannya
untuk ikut memberikan solusi. Sebaliknya, ia pun terbiasa memberikan
feedback kepada para karyawan, sehingga karyawan dapat
mengevaluasi diri dan memperbaiki kinerjanya.
3. Menerima perbedaan
Dalam sebuah lingkungan kerja, seorang pemimpin pasti akan dipertemukan dengan
karyawan yang berasal dari berbagai latar belakang--mulai dari latar belakang
pendidikan dan pekerjaan, hingga menyangkut suku, ras, agama, dan sebagainya.
Idealnya, ia harus mampu menciptakan tim kerja yang solid, terlepas dari perbedaan
yang ada. Ia juga harus bersikap objektif serta tidak memelihara budaya senioritas.
Nah, tipe pemimpin seperti ini diharapkan oleh generasi milenial.
4. Kolaboratif
Generasi milenial cenderung lebih suka bekerja sama dalam tim daripada secara
individual. Oleh karena itu, mereka membutuhkan sosok pemimpin yang dapat
menjadi penghubung antarkaryawan. Pemimpin ini juga sebaiknya tahu cara terbaik
dalam mengarahkan mereka. Kolaborasi tim memiliki peran penting dalam meraih
tujuan dan target perusahaan.
5. Visioner
Bekerja di perusahaan yang memiliki visi dan misi yang jelas merupakan salah satu
hal yang diharapkan oleh para karyawan generasi milenial. Itu artinya, sosok
pemimpin di dalamnya juga harus merupakan seseorang yang visioner. Hal ini akan
memudahkan generasi milenial untuk bekerja secara fokus dan lebih terarah dalam
mengejar target yang diharapkan perusahaan.
Milenial adalah mereka yang kelahirannya antara tahun 1981-
1994 (beberapa yang lain menyebut hingga sebelum tahun
2000). Dari total penduduk Indonesia yang lebih dari 255 juta
jiwa, sebanyak 81 juta berusia 17-37 tahun. Generasi yang lahir
dan tumbuh di lingkungan serba digital ini diprediksi
bakal berkembang hingga enam puluh persen dari total populasi
di Indonesia pada tahun 2020.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, milenial merupakan
target audiens dengan penetrasi produk yang cukup sulit. Terlahir
generasi yang digital native, mereka lebih peka terhadap
perubahan dan lebih pintar mengantisipasi iklan. Mereka juga
adalah orang-orang dengan usia produktif sekaligus konsumen
yang mendominasi pasar saat ini.
Milenial ada di mana-mana
Milenial merupakan konsumen dengan segmentasi yang luas,
dapat ditemukan di sekolah, universitas, kantor, dan juga di
rumah. Mereka berprofesi sebagai siswa, karyawan,
profesional atau bahkan ada yang telah jadi orang tua.
Dengan kata lain, mereka tersebar di setiap kelas sosial dan
budaya. Generasi ini cenderung mengutamakan identitas dan
pengalaman sosial, serta memandang hidup secara
berbeda. Inilah mengapa generasi ini memiliki purchasing
habit yang berbeda pula.
Generasi Milenial
Milenial penyuka konten autentik
Menurut AdAge, milenial menghabislan rata-rata 24-25 jam
per minggu berselancar di dunia maya. Mereka menjelajahi
web, blog, dan media sosial, serta saling berbagi, menyukai,
hingga mengomentari semua konten yang mereka
temukan. Konten yang autentik akan lebih menggugah dan
memotivasi mereka untuk terus menyebarkannya kembali
kepada komunitas online. Jika Anda menguasai ‘bahasa’
mereka, Anda sudah selangkah lebih dekat dengan generasi
ini. Jadikan milenial sebagai fokus kampanye dan buat
mereka jadi pusat dari semua konten yang Anda buat.
Milenial lebih percaya User Generated Content (UGC)
daripada informasi searah
Bisa dibilang milenial tidak percaya lagi kepada distribusi
informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih percaya
kepada user generated content (UGC) atau konten dan
informasi yang dibuat oleh perorangan. Mereka tidak terlalu
percaya pada perusahaan besar dan iklan, mereka lebih
mementingkan pengalaman pribadi ketimbang iklan atau
review konvensional.
Dalam hal pola konsumsi, banyak dari kalangan milenial juga
memutuskan untuk melakukan pembelian suatu produk,
setelah melihat review atau testimoni yang dilakukan oleh
orang lain di internet. Mereka juga tak segan-segan
membagikan pengalaman buruk mereka terhadap suatu
merek. Nah!
Milenial lebih memilih ponsel dibanding TV
Sebab generasi ini lahir di era kecanggihan teknologi, dan internet berperan
besar dalam keberlangsungan hidup mereka, maka televisi bukanlah prioritas
generasi millennial untuk mendapatkan informasi atau melihat iklan. Bagi
kaum milenial, iklan pada televisi biasanya dihindari. Generasi milenial lebih
suka mendapat informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google atau
perbincangan pada forum-forum, yang diikuti generasi ini untuk selalu up-to-
date dengan keadaan sekitar.
Jika dihadapkan pada sebuah pilihan, mayoritas kaum muda milenial akan lebih
memilih ponsel dibandingkan TV. Mereka akan lebih memilih tidak memiliki
akses ke TV, dibandingkan akses ke ponsel.
Bahkan, ketika mereka sedang menonton TV pun, para milenial terus
menggunakan ponsel mereka, entah itu untuk mengisi waktu selama iklan
tayang, atau untuk tetap terhubung dengan teman-teman mereka di media
sosial. Secara umum, keseharian mereka tak bisa lepas dari ponsel, dan
keberadaan teknologi digital telah begitu merasuk dalam aktivitas mereka
sepanjang hari.
Milenial wajib punya media sosial
Komunikasi yang berjalan pada orang-orang generasi milenial
sangatlah lancar. Namun, bukan berarti komunikasi itu selalu
terjadi dengan tatap muka, tapi justru sebaliknya. Banyak dari
kalangan milenial melakukan semua komunikasinya melalui text
messaging atau juga chatting di dunia maya, dengan membuat
akun yang berisikan profil dirinya, seperti Twitter, Facebook,
hingga Line.
Akun media sosial juga dapat dijadikan tempat untuk aktualisasi
diri dan ekspresi, karena apa yang ditulis tentang dirinya di situ
adalah apa yang akan semua orang baca. Jadi, hampir semua
generasi milenial dipastikan memiliki akun media sosial sebagai
tempat berkomunikasi dan berekspresi.
Milenial senang berkolaborasi
Milenial tumbuh dalam budaya berbagi. Mereka tidak merespons
kampanye pemasaran hard selling. Sebaliknya, mereka senang
menjadi pencipta produk (product co-creator) dan terlibat dalam
pengembangan produk maupun layanan. Perusahaan umumnya
menginginkan produk tersebut dikonsumsi. Namun tidak
dengan milenial, keterlibatan pada pengembangan produk
membuat mereka lebih percaya dan loyal terhadap brand. Bila
kamu tengah menyasar generasi ini, fokuslah dalam membangun
hubungan dengan mereka. Fasilitasi mereka untuk berekspresi
serta bantu membangun merek pribadi sendiri.
Milenial kurang suka membaca secara konvensional
Populasi orang yang suka membaca buku turun drastis pada
generasi milenial. Bagi generasi ini, tulisan dinilai memusingkan
dan membosankan. Generasi milenial bisa dibilang lebih
menyukai melihat gambar, apalagi jika menarik dan berwarna.
Walaupun begitu, milenial yang hobi membaca buku masih tetap
ada. Namun, mereka sudah tidak membeli buku di toko buku lagi.
Mereka lebih memilih membaca buku online (e-book) sebagai
salah satu solusi yang mempermudah generasi ini, untuk tidak
perlu repot membawa buku. Sekarang ini, sudah banyak penerbit
yang menyediakan format e-book untuk dijual, agar pembaca
dapat membaca dalam ponsel pintarnya.
Milenial lebih tahu teknologi dibanding orang tua mereka
Semua kini serba digital dan online, tak heran generasi milenial
juga menghabiskan hidupnya hampir senantiasa online. Menurut
riset SocialLab, 58 persen generasi milenial lebih rela kehilangan
indra penciuman, dari pada akses terhadap teknologi.
Generasi ini melihat dunia tidak secara langsung, namun dengan
cara yang berbeda, yaitu dengan berselancar di dunia maya,
sehingga mereka jadi tahu segalanya. Mulai dari berkomunikasi,
berbelanja, mendapatkan informasi dan kegiatan lainnya,
generasi millennial adalah generasi yang sangat modern, lebih
daripada orang tua mereka, sehingga tak jarang merekalah yang
mengajarkan teknologi pada kalangan orang tua.
Milenial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif
Diperkirakan pada tahun 2025 mendatang, milenial akan
menduduki porsi tenaga kerja di seluruh dunia, sebanyak 75
persen. Kini, tak sedikit posisi pemimpin dan manajer yang telah
diduduki oleh millennial. Seperti diungkap oleh riset SocialLab
kebanyakan dari milenial cenderung meminta gaji tinggi,
meminta jam kerja fleksibel, dan meminta promosi dalam waktu
setahun.
Mereka juga tidak loyal terhadap suatu pekerjaan atau
perusahaan, namun lebih loyal terhadap merek. Milenial
biasanya hanya bertahan di sebuah pekerjaan kurang dari tiga
tahun, untuk berganti pekerjaan yang lain. Namun demikian,
sebab kaum milenial hidup di era informasi yang menjadikan
mereka tumbuh cerdas, tak sedikit perusahaan yang mengalami
kenaikan pendapatan karena mempekerjakan milenial.
Milenial melakukan transaksi secara cashless
Sebab semuanya semakin mudah dengan kecanggihan teknologi
yang semakin maju ini, maka pada generasi milenial pun mulai
banyak ditemui perilaku transaksi pembelian yang sudah tidak
menggunakan uang tunai lagi alias cashless. Generasi ini lebih
suka tidak repot membawa uang, karena sekarang hampir semua
pembelian bisa dibayar menggunakan kartu, sehingga lebih
praktis, hanya perlu gesek atau tapping. Mulai dari transportasi
umum seperti bis dan commuter line yang sudah menggunakan
sistem e-money, hingga berbelanja baju dengan kartu kredit dan
kegiatan jual beli lainnya.
Kepemimpinan  Milenial
Perlahan tapi pasti, generasi yang tumbuh di era perkembangan
teknologi dan informasi ini pun mendominasi angkatan kerja. Dan
berdasar karakteristik yang dimiliki, generasi milenial juga
memiliki karakter tersendiri dalam memandang organisasi
maupun perusahaan. Hal ini tentu merupakan tantangan
tersendiri bagi para pemimpin organisasi maupun perusahaan
yang anggotanya didominasi oleh milenial.
Meskipun begitu, pemimpin dengan tipe yang tepat dapat
membuat milenial sangat nyaman dan loyal. Apa sajakah tipe
pemimpin yang dimaksud? Berikut ulasannya:
Terbuka
 Pendengar
Penyemangat
Tipe pemimpin lainnya yang disukai generasi milenial adalah
pemimpin yang mampu memotivasi. Generasi milenial menyukai
pemimpin yang mampu mengerti masalah mereka dan turut
memotivasi mereka dibandingkan pemimpin yang hanya
meminta hasil akhir tanpa memperdulikan anggotanya. Milenial
sangat menghargai pemimpin seperti ini dan membuat mereka
semakin loyal pada sang pemimpin.
Sifat-sifat kepemimpinan di atas tidak hanya berguna apabila
diterapkan oleh para pemimpin dari generasi X atau baby
boomers, namun juga para pemimpin dari generasi millennial.
Selain saat memimpin, sifat ini perlu Anda terapkan dalam
banyak aspek kehidupan, karena sifat-sifat tersebut dapat
membuat orang lain merasa dihargai.
Karakteristik Pemimpin Zaman Milenial yang diharapkan
Seorang pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang bisa
dan sanggup beradaptasi dengan perkembangan zaman. Di era
Milenial seperti sekarang ini diperlukan pemimpin yang memiliki
karakteritik sebagai berikut:
Digital Mindset
Di zaman modern seperti ini, perkembangan dunia digital
berkembang sangat pesat. Seorang pemimpin harus mengikuti
perkembangan zaman yang ada. Yang bersangkutan juga sebisa
mungkin mendigitalisasi kegiatan sehari-harinya. Berkomunikasi
dengan patner bisnis maupun anak buah dengan menggunakan
media sosial bukanlah hal yang tabu. 
Mengamati dan Mendengar
Bisa mengamati dan mendengar semua anggota timnya dan
berusaha mencari solusi untuk setiap masalah yang ada.
Agil/ Tangkas
Pemimpin yang tangkas adalah pemimpin yang jeli melihat peluang,
lincah dalam memfasilitasi perubahan, cepat beradaptasi dan bisa
menerima ketidakpastian.
Inclusive
Yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang pemimpin untuk
bisa memasuki pikiran orang lain dalam memandang suatu masalah.
Hal ini penting karena derasnya informasi membuat seseorang
mempunyai pandangan yang berbeda untuk kasus yang sama.
Berani Beda
Seorang pemimpin milenial harus berani mengambil keputusan yang
berbeda. Keputusan yang diambil bisa jadi menyalahi tradisi yang
biasanya di lakukan.
Karakterisktik pemimpin yang ideal sudah berubah. Saat ini
pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang bisa beradaptasi
dengan perubahan zaman.

Mereka yang tidak bisa mengikuti dan beradaptasi dengan zaman


milenial , mereka akan tersisih dan tergilas.
1. Tech Savvy
Pemimpin yang tech savvy alias melek teknologi akan disukai
oleh generasi milenial, karena mampu berkomunikasi dan
bertukar informasi dengan cara yang mereka sukai, yakni
memanfaatkan teknologi.
Pemimpin ini dapat dengan mudah berkoordinasi dan
berkomunikasi dengan anggota timnya. Ia pun lebih mudah
dijangkau kapan dan di manapun ia berada.
2. Terbuka
Transparansi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diterapkan
dalam dunia kerja. Dengan adanya keterbukaan, maka seluruh karyawan
bisa saling berkolaborasi dalam memajukan perusahaan.
Pemimpin yang transparan mau berbagi permasalahan yang dihadapi
perusahaan, sehingga memungkinan karyawannya untuk ikut memberikan
solusi. Sebaliknya, ia pun terbiasa memberikan feedback kepada para
karyawan, sehingga karyawan dapat mengevaluasi diri dan memperbaiki
kinerjanya.
3. Menerima perbedaan
Dalam sebuah lingkungan kerja, seorang pemimpin pasti akan
dipertemukan dengan karyawan yang berasal dari berbagai latar belakang--
mulai dari latar belakang pendidikan dan pekerjaan, hingga menyangkut
suku, ras, agama, dan sebagainya.
Idealnya, ia harus mampu menciptakan tim kerja yang solid, terlepas dari
perbedaan yang ada. Ia juga harus bersikap objektif serta tidak memelihara
budaya senioritas. Nah, tipe pemimpin seperti ini diharapkan oleh generasi
milenial
4. Kolaboratif
Generasi milenial cenderung lebih suka bekerja sama dalam tim
daripada secara individual. Oleh karena itu, mereka membutuhkan
sosok pemimpin yang dapat menjadi penghubung antarkaryawan.
Pemimpin ini juga sebaiknya tahu cara terbaik dalam mengarahkan
mereka. Kolaborasi tim memiliki peran penting dalam meraih tujuan
dan target perusahaan.
5. Visioner
Bekerja di perusahaan yang memiliki visi dan misi yang jelas
merupakan salah satu hal yang diharapkan oleh para karyawan
generasi milenial. Itu artinya, sosok pemimpin di dalamnya juga harus
merupakan seseorang yang visioner. Hal ini akan memudahkan
generasi milenial untuk bekerja secara fokus dan lebih terarah dalam
mengejar target yang diharapkan perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai