Anda di halaman 1dari 160

Kegawatdaruratan pada

Pasien Syok
Definisi Syok
• Syok merupakan kegagalan sistem • Syok adalah sindrom gangguan
sirkulasi untuk mempertahankan patofisiologi berat yang
perfusi yang adekuat organ-organ berhiubungan dengan metabolism
vital. Syok merupakan suatu seluler yang abnormal, kegagalan
kondisi yang mengancam jiwa dan sirkulasi. (Andra Saferi, 2019)
membutuhkan tindakan segera dan
intensif untuk menyelamatkan
jiwa klien (BPPPKMN, 2010).
TAHAPAN SYOK

FASE FASE
FASE PROGRESIF
KOMPENSATORI IREVERSIBEL

• Curah jantung vasokontriksi, Frekuensi


jantung, Kontraktilitas jantung untuk
mempertahankan curah jantung yang adekuat.

• Stimulasi sistem saraf simpati pelepasan


katekolamin (epinefrin dan nonepinefrin).

• pasokan darah ke beberapa organ (paru-paru,


ginjal, kulit dan sal. cerna )
TAHAPAN SYOK

FASE FASE
FASE PROGRESIF
KOMPENSATORI IREVERSIBEL

• Pertama, jantung yang bekerja keraas menjadi iskemik yang


mengarah pada gagal jantung
• Kedua, fungsi otoregulasi mikro sirkulasi gagal berespon
terhadap berbagai mediator kimiawi yang dilepaskan oleh
sel-sel, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas
kapiler
• Terjadi asidosis metabolic dan respiratorik, hipotensi, edema
perifer dan penurunan tingkat kesadaran
TAHAPAN SYOK

FASE FASE
FASE PROGRESIF
KOMPENSATORI IREVERSIBEL

• Sudah terjadi kerusakan organ yang parah, seperti gagal


ginjal dan hepar yang hebat, pelepasan toksin jaringan
nekrotik menjadi asidosis metabolik
• Simpanan ATP total menipis dan mekanisme untuk
penyimpanan pasokan energy telah mengalami kerusakan.
• Terjadi kematian
Syok
Hipovolemik

Syok
Kardiogenik
Klasifikas Syouk
Neurogenik

i Syok Syok Distributif


Syok
Anafilaktik

Syok Septik

Syok Obstruktif
Syok Hipovolemik

• Akibat penurunan preload


• Etiologi :
Hemoragik: trauma, perdarahan GI, rupture aneurisma
Non Hemoragik/kehilangan cairan: diare, muntah, luka bakar
Syok Kardiogenik

• Akibat dari penurunan pompa jantung.


• Etiologi:
Disfungsi sistolik: infark miokard, kardiomiopati, hipertensi pulmonal
Disfungsi diastolik: hipertropi ventrikel, kardiomiopati
Disritmia: bradiaritmia, takiaritmia
Gangguan struktur: stenosis atau regurgitasi aorta, ruptur septal
Syok Distributif
• Akibat vasodilatasi perifer menjadi vol. darah yang bersirkulasi secara efektif
tidak memadai untuk perfusi jarigan penurunan preload
• Etiologi:
Syok septik: akibat infeksi (pneumonia, peritonitis, prosedur invasif)
Syok anafilatik: reaksi alergi yang serius (hipersentivitas)
Syok neurogenik: akibat kegagalan pusat vasomotor karna hilangnya tonus
pemb. darah scr mendadak, seperti: cedera medula spinalis, anastesi spinal,
depresi pusat vasomotor
Syok Obstruktif

• Akibat restriksi pengisian diastolic ventrikel kanan akibat penekanan pada


jantung
• Etilogi:
Tamponade jantung
Tension pneumothorak
Emboli paru masif
Tanda dan Gejala
Syok
Syok Syok Syok
Syok Septik
Hipovolemik Kardiogenik Anafilatik

• Hipotensi (<90
mmHg)
• Gelisah
• Pernafasan • Bercak kemerahan
• Pucat menjadi cepat pada kulit yagn
• Kulit dingin dan • Hipotensi disertai rasa gatal
• basah • Mengigil hebat • Bengkak pada
Pucat • Menurunnya tenggorokan atau
• Suhu tubuh yang
• Kulit dingin kesadaran organ tubuh lain
naik sangat cepat
• Takikardi • Nadi: pengisian
• Kulit hangat dan
• Sesak
• kurang, cepat 90- • Suara serak
Oliguri kemerahan
110/menit. • Kehilangan
• hipotensi Mungkin bradikardi • Denyut nadi kesadaran
• Pernapasan lemah • Kesuitan menelan
takipnea • TD turun-naik • Kulit menjadi
• Produksi urin • Oliguria merah atau pucat
berkurang (oliguria:
<30 mg/jam)
Penatalaksanaan Syok
• Airway dan Breathing
Jalan nafas dan pernafasan tetap merupakan
prioritas pertama, untuk mendapatkan oksigenasi
yang cukup. Jaga dan pertahankan jalan nafas
tetap bebas. Tambahan oksigen diberikan bila
perlu untuk mempertahankan saturasi >95%
Bebaskan jalan nafas. Lakukan penghisapan bila
ada sekresi.
Tengadah kepala-topang dagu kalua perlu pasang
alat bantu jalan nafas (Gudel/OPA)
Beri ventilasi yang adekuat dengan O2 dari pompa
sungkup (Ambu bag) dan ETT
• Circulations/pertahankan sirkulasi
o Pengendalian pendarahan dapat dilakukan dengan balut tekan jika luka dari luar.
o Akses intervena dilakukan dgn memasang 2 IV ukuran besar pada vena perifer.
Berikan cairan isotonic kristaloid (utk mengembalikan vol intravaskuler). Cairan
plasma berguna utk meningkatkan tek. Onkotik intravaskuler
o Pada syok hipovolemik, jmlh cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah
cairan yang hilang. Diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang,
darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan cairan berupa air dan
elektrolit harus diganti dengan larutan isotonic. Pemantauan tek.vena sentral
penting untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan.
o Bila tidak terjadi perbaikan dari tanda-tanda hemodinak maka diberikan transfusi
darah.
o Pada penanggulangan syok kardiogenik
harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani pompa
jantung
o Pada kasus syok septik, pemberian cairan
harus dalam pemantauan ketat karena
dapat menjadai gangguan organ
majemuk(Multipel Organ Disfunction).
o Letakkan pasien dalam “posisi syok”
dengan mengangkat kedua tungkai lebih
tinggi dari jantung
PENATALAKSANAAN MEDIS DAN TERAPI
BERDASARKAN SYOK
 SYOK HIPOVOLEMIK.dalam mengatasi penyebab  SYOK NEUROGENIK.syok tipe ini juga akan
syok hipovolemik,tindakan medis yang dapat ditangani dengan memberikan obat obat seperti
dilakukan dapat berupa transfusi darah.baik sel darah epinephrine,norepinephrine,atau dopamine,untuk
merah maupun faktor faktor pembekuan darah meningkatkan tekanan darah.jika ps mengalami
(spt:trombosit) penurunan denyut jantung,dokter akan memberikan
atropin
 SYOK KARDIOGENIK.syok ini akn ditangani
dengan menggunakan obat obatan yang berfungsi  SYOK SEPSIS.dalam mengatasi syok sepsis,dokter
untuk memperbaiki pompa jantung.obat-obatan akan memberikan obat golongan vasopressor,seperti
tersebut di antaranya adalah dopamine atau dobutamin. norepinephrine, untuk meningkatkan tekanan
darah.untuk mengatasi infeksi dokter dapat memberikan
 SYOK ANAFILAKTIK.dalam mengatasi syok antibiotik,anti virus,atau anti jamur tergantung jenis
anafilaktik, ps akn diberikan epinephrine suntik yg infeksinya.operasi juga dapat dilakukan untuk
berfungsi untuk meredakan syok akibat reaksi alergi. mengatasi sumber infeksi.
Asuhan Keperawatan GADAR pada Syok

• PENGKAJIAN
Pengkajian Primer CIRCULATIONS: kontrol perdarahan luar,
AIRWAY : cek jalan nafas dan berikan dapatkan akses vena yang cukup besar dan
tambahan O2 untuk menjaga saturasi nilai perfusi jaringan. Perdarahan dan luka
80-100 mmHg eksternal biasanya dapat di kontrol dgn
bebat tekan pada daerah luka. Perdarahan
BREATHING: kaji frekuensi nafas, apakah internal tidak banyak dilakukan pada
ada penggunan otot bantu pernafasan, perdarahan toraks dan abdomen pada fase
rektraksi dinding dada, adanya sesak pra rumah sakit. Tetapi utk perdarah bagian
nafas. Apakah ada tambahan suara nafas pelvis dan ekstremitas inferior dpt
(ronkhi, wheezing), kaji dinding dada digunakan balut gurita. Pembidaian dan
apakah ada trauma spalk-traksi dapat membantu mengurangi
perdarahan pada tulang panjang
DISABILTY/pemeriksaan neurologis: PEMASANGAN KATETER URIN:
menentukan tingk. kesadaran, pergerakan penilaian adanya hematuria dan evaluasi
bola matadan respon pupil, fungsi motorik perfusi ginjal dengan memantau produksi
dan sensorik. Penilaian ini berguna utk urin. Memonitor volume urin yang keluar
mengetahui perfusi otak, mengikuti utk menganalisa jumlah keseimbangan
perkembangan kelainan neurologi cairan yang masuk dan keluar.
EXPOSURE: pemeriksaan lengkap
terhadap cedera lain yang mengancam jiwa
serta pencegahan terjadi hipotermi pada
penderita
DILATASI LAMBUNG: distensi lambung
menyebabkan resiko aspirasi isi lambung.
Dekompresi dilakukan dengan memasukan
selang melalui mulut atau hidung dan
memasangnya pada penyedot utk
mengeluarkan isi lambung
 Pegkajian Sekunder
Identitas pasien
Keluhan utama (sulit bernafas, mengeluh muntah/mual, kejang-kejang)
Riwayat keehatan sekarang (trauma, penyakit jantung, infeksi, pemakaian
obat yang membuat kesadaran menurun setelah memakan obat)
Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat kesehatan keluarga
DIAGNOSA KEPERAWATAN pada Syok

• Ketidakefektifan perfusi jaringan • Diagnosa lain yang mungkin muncul


perifer bd:
 Defisit volume cairan bd kehilangan
- Penurunan volume darah darah aktif, perpindahan cairan interstisial
- Penurunan kontraktilitas jantung  Penurunan curah jantung bd perubahan
preload ; kontraktilitas ; afterload
- Gangg aliran darah sirkulasi
- Vasodilatasi yang luas  ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh bd peningkatan
kebutuhan metabolik
INTERVENSI KEPERAWATAN pada SYOK
• Penanganan dilakuakan sesuai • Beri cairan sesuai instruksi
ABCDEFG, yaitu airway, breathing, (kristaloid, koloid, produk darah)
circulation, disability, exposure,
• Beri posisi syok (modified
folley catheter, gastric tube
Tredelenburg)
• Pertahankan kepatenan airway • Monitor TTV, CRT, bunyi paru,
• Pertahankan oksigen sesuai kelembapan kulit, AGD, saturasi,
kebutuhan pasien BB harian, intake & output,
• Pertahankan kateter IV, akses vena tingkat kesadaran, nilai HB, Ht,
sentral k/p APTT
• Beri dukungan psikososial
IMPLEMENTASI
KEPERAWATAN pada Syok
• Implementasi dilakukan pada pasien syok adalah dengan
melakukan tindakan yang terdapat pada intervensi yang
sudah dibuat. Dalam tindakan diperlukan kerja sama antara
perawat, tim kesehatan, pasien dan keluarga agar asuhan
keperawatan mampu diberikan sesuai kesinambungan dari
pasien dan keluarga
EVALUASI KEPERAWATAN pada
SYOK

• Diharapkan perfusi jaringan


kembali optimal dengan kriteria:
- Kulit hangat, tidak pucat dan - TD ± 20 mmHg dari TD pre syok
turgor kulit normal - HR 60-100 x/mnt, kuat dan teratur
- CRT kembali < 2 detik - RR 12-20 x/mnt, teratur
- Vena jugularis tidak distensi
- Intake dan Output seimbang
ASKEP KLIEN DENGAN
KEGAWATAN SISTEM
PERNAFASAN
DEFINISI
• Corpus alienum jalan nafas adalah adanya benda asing di jalan nafas
• Hal ini sering terjadi di daerah krikofaringeal karena dorongan otot faring
yang kuat yang menggerakkannya ke lokasi tersebut.
• Obstruksi dapat terjadi parsial ataupun total.
MANIFESTASI KLINIS
• Corpus Alienum Total Laring
• Sumbatan total laring dapat terjadi karena benda asing yang teraspirasi tersangkut di laring dan
menutup seluruh rimaglotis. Penderita gelisah dan memegang lehernya dengan jarinya (v-sign), tidak
ada batuk, lemah, Suara menghilang (afoni) dan sukar bernapas (dyspnea sampai apnea). Tidak lama
kemudian terlihat wajah penerita menjadi biru (sianosis). Seorang pasien dengan obstruksi jalan
napas lengkap tidak akan dapat berbicara, batuk, atau membuat suara (Moore, 2014).

• Corpus Alienum Parsial


• Benda asing yang terdapat di laring akan menyebabkan keluhan sumbatan saluran pernapasan berupa
batuk tiba-tiba, suara sesak, sesak napas dan tapak cemas. Jika sumbatan ini berlangsung terus maka
akan timbul gejala tambahan yaitu stridor.
ETIOLOGI
• Menurut Concepcion (2013) penyebab tersering dari kejadian ini adalah makanan kecil
seperti kacang-kacangan, kismis, biji bunga matahari, potongan benar dikunyah daging
dan kecil,
• Menurut Somantri (2007) obstruksi jalan napas akut biasanya disebabkan oleh:
• Partikel makanan,
• Muntahan,
• Bekuan darah,
• Sekresi kental atau pembesaran jaringan pada dinding jalan napas, seperti: epiglottis, edema laring,
karsinoma laring, atau peritonsilar abses,
• Pasien yang mengalami penurunan kesadaran,
PATOFISIOLOGI
• Pada saat terjadi proses menelan jalan napas akan tertutup oleh epiglotis
sehingga makanan tidak akan salah jalan yaitu masuk ke jalan napas.
Akan tetapi jika seseorang menelan bersamaan dengan menarik napas
yang kuat secara tiba-tiba, misalnya teriak, tertawa, terkejut, atau
menangis maka laring akan terbuka dan benda yang berada di dalam
mulut akan ikut terhirup masuk (Betz & Linda, 2009).
Cont.
• Benda asing yang masuk dapat membuat obstruksi berupa obstruksi total
atau parsial
• Setelah benda asing masuk maka akan ada relfek batuk sebagai
kompensasi tubuh untuk mengeluarkan benda asing tersebut.
• Apabila reflek batuk berhasil mengeluarkan benda asing maka pasien
dapat bernafas, tetapi apabila sebaliknya maka akan timbul beberapa
masalah keperawatan yang muncul yang dapat membahayakan penderita
(atelektasis, gangguan pola nafas, dll).
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan tidak adanya kelainan atau
asimtomatis (40%), wheezing (40%) penurunan suara nafas pada sisi
terdapatnya benda asing (5%). Pada sumbatan jalan nafas yang nyata dapat
ditemukan sianosis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Foto Rontgen Thoraks
Video Fuoroskopi
Bronkogram
Pemeriksaan faal paru
Pemeriksaan Laboratorium
PENATALAKSANAAN
• Dengan segera mengeluarkan benda asing tersebut secara endoskopik dengan
trauma minimum.
• Tetapi suportif
• pemberian oksigen,
• monitor jantung dan pulse oxymetri dan
• pemasangan IV dapat dilakukan.
• Bronkoskopi merupakan terapi pilihan untuk kasus aspirasi.
• Pemberian steroid
Cont.
• Menurut Kozier et al (2009) terdapat beberapa
penatalaksanaan akibat sumbatan benda asing,
antara lain:
• Pada klien dewasa : Dorongan abdomen
(abdominal thrust) untuk korban yang sadar pada
posisi berdiri atau duduk.
• Dorongan dada (chest thrust) untuk korban yang
sadar pada posisi duduk atau berdiri. Chest thrust
dilakukan hanya pada wanita yang sedang hamil tua
dan orang obesitas yang tidak dapat menerima
abdominal thrust.
Cont.
• Pada bayi : dapat dilakukan pukulan
punggung (back blow) dan dorongan
dada (chest thrust).
• Untuk anak-anak berusia 1-8 tahun
yang tersedak dan dalam keadaan
sadar, lakukan maneuver heimlich
seperti yang dilakukan pada orang
dewasa. Apabila tidak sadar lakukan
abdominal thrust
KOMPLIKASI

Komplikasi akut Komplikasi kronis

Pneumonia atau abses Bronkiektasis


paru Fistel bronkopleura
Sesak nafas Pembentukan jaringan granilasi
Hipoksia akibat inflamasi di mukosa
Asfiksia sampai henti Pneumomediastinum
jantung Pneumothoraks
Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS)
Definisi Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS)
• Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit
paru akut yang memerlukan perawatan di intensive care unit (ICU)
dengan angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%.

• ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai


hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrate bilateral yang difus pada
foto toraks dan penurunan compliance atau daya regang paru.
Tabel 1. Kriteria ALI dan ARDS menurut American European Concencus
Conference Committee (AECC) pada tahun 1994

Onset Oksigenasi Foto Toraks Tekanan Kapiler


wedge paru

ALI Akut PaO2/FiO2 < Infitrat < 18 mmHg, tidak


300 bilateral ada hipertensi
atrium kiri

ARDS Akut PaO2/FiO2 < Infitrat < 18 mmHg, tidak


200 bilateral ada hipertensi
atrium kiri
Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti,banyak faktor penyebab
yang dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak
disebut sebagai penyakit tetapi sebagai sindrom.

Table 2. Faktor risiko klinik ARDS

Yang Berasal dari Paru Yang Berasal dari luar Paru


(proses sistemik)

Pneumonia Sepsis
Aspirasi Major Trauma
Kontusio Paru Transfusi
Toxic Inhalation Pankreatitis
Tenggelam Cardiopulmonary bypass
Pulmonary Vasculitis Pregnancy releated
Reperfusion Injury Emboli lemak
(lung transplantation) Tumor lisis
Patofisiologi
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar
kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel
alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat kerusakan
pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS
menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada
kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru
menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas
residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia
Alveolus Yang Normal dan Alveolus Yang Mengalami
Kerusakan Akibat ARDS
Manifestasi Klinis
Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi
selama bernapas spontan.
Sistem Organ Manifestasi Klinis

Sistem 1. Pelebaran alveolar / gradien arterial


Respirasi 2. Takipnea
3. Hipertensi Pulmonar
4. Edema Pulmonar
5. Peningkatan Usaha nafas
6. Dilakukan Perkusi : Suara nafas Dullness
7. Berkurangnya suara nafas
Sistem 1. Takikardi
Kardiovaskuler 2. Penurunan tekanan arteri pulmonar
3. Peningkatan CO dan indeks sepsis jantung
Sistem 1. Peningkatan CRT
Integumen 2. Sianosis
3. Pucat
Sistem Saraf 1. Gejala awal : Ansietas, Kebingungan, Agitasi
2. Gejala lanjut: Hingga pingsan dan koma
Tanda klinis pada ARDS berdasarkan stage

1. Stage 1  Dyspnea, tachypnea (30-35x/menit), BGA relatif normal (PaO2 84


mmHg dan PaCO2 37 mmHg), suara nafas: aliran udara berkurang diseluruh
lapang paru, CRT < 3 detik.

2. Stage 2  Dyspnea, tachypnea (40-50x/menit), sianosis, takikardia (120-


130x/menit), crackles kasar, hasil BGA menunjukkan alkalosis respiratorik
dengan hipoksemia rendah (pH > 7,45 PaCO2 < 35 mmHg PaO2 68 mmHg
HCO3 26 pada 100% nonrebreather mask), X-ray dada menunjukkan
beberapa infiltrate bilateral.
Cont.
3. Stage 3  Pasien menjadi lebih lemas, hasil BGA menunjukkan asidosis
respiratorik dengan hipoksemia sedang (pH < 7,35 dan PaCO2 akut > 55
mmHg) sehingga pasien harus segera di intubasi, X-ray dada menunjukkan
adanya difusi infiltrate bilateral, presentasi SIRS yang ditandai dengan {suhu
>38oC atau <36oC, WBC > 12.000 sel/mm3 atau < 4000 sel/mm3, takikardi
(>90x/menit), tacypnea (>20x/menit)} hal tersebut karena terjadinya proses
inflamasi pada pasien.

4. Stage 4  Beberapa keterlibatan organ, kesulitan mempertahankan oksigenasi


yang adekuat, sepsis, pneumonia.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Arteri gas darah (AGD)
2. Oksimetri
3. Sinar-X dada
4. EKG
Penatalaksanaan
1. Terapi Oksigen
2. Ventilasi mekanik
3. Memastikan volume cairan yang adekuat (Dukungan nutrisi)
4. Terapi Farmakologi
5. Pemeliharaan Jalan Napas
6. Pencegahan Infeksi
Komplikasi

komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:


•Kegagalan banyak sistem organ
•Kerusakan paru-paru (seperti kolaps paru - juga disebut pneumotoraks) karena cedera dari
sistem pernapasan yang diperlukan untuk mengobati penyakit
•Fibrosis paru (jaringan parut di paru-paru)
•Ventilator-associated pneumonia
Status Asmatikus
Definisi
Status asmatikus adalah suatu keadaan darurat, bila tidak diatasi dengan
secara cepat dan tepat kemungkinan besar akan terjadi kegagalan
pernafasan. Pada status asmatikus selain spasme otot-otot broncus terdapat
pula sumbatan oleh lendir yang kental dan peradangan. Faktor-faktor ini
yang terutama menyebabkan refrakternya serangan asma ini terhadap obat-
obatan bronkodilator.
Etiologi
1. Faktor Ekstrinsik (Infeksi).
• Virus yang menyebabkan ialah para influenza virus, respiratory syncytial virus (RSV).
• Bakteri, misalnya pertusis dan streptokokkus.
• Jamur, misalnya aspergillus.
2. Faktor Intrinsik (Hipersensitivitas).
• Iritan bahan kimia, minyak wangi, asap rokok, polutan udara.
• Emosional: takut, cemas dan tegang.
• Aktifitas yang berlebihan, misalnya berlari.
Patofisiologi
Karakteristik dasar dari asma (konstriksi otot polos bronkial, pembengkakan mukosa
bronkial dan pengentalan sekresi) mengurangi diameter bronkial dan nyata pada status
asmatikus. Abnormalitas ventilasi perfusi yang mengakibatkan hipoksemia dan respirasi
alkalosis pada awalnya, diikuti oleh respirasi asidosis. Terdapat penurunan PaO2 dan
respirasi alkalosis dengan penurunan PaCO2 dan peningkatan pH. Dengan meningkatnya
keparahan status asmatikus, PaCO2 meningkat dan pH menurun, mencerminkan respirasi
asidosis.
Pada status asmatikus terjadi obstruksi jalan nafas. Dimana obstruksi dapat disebabkan
oleh berikut ini: (1) penyempitan jalan nafas akibat kontraksi otot-otot yang mengelilingi
bronki, (2) edema membran yang melapisi bronki, (3) sumbatan mukus yang kental pada
saluran pernapasan.
Manifestasi Klinis
Pemeriksaan Diagnostik
1. Spirometri (pengukuran kapasitas udara paru)
2. Tes provokasi: Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.
3. Tes kulits: ntuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E (kependekan immunoglobulin, protein
penting dalam mekanisme imunologis) yang spesifik dalam tubuh.
4. Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
5. Pemeriksaan radiologi
6. Analisa gas darah: dilakukan pada asma berat.
7. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
8. Pemeriksaan sputum
Penatalaksanaan
1. Pemberian terapi oksigen
2. Agonis β2
3. Aminofilin
4. Kortikosteroid
5. Antikolonergik
6. Pengobatan lain: Hidrasi dan keseimbangan elektrolit, Mukolitik dan
ekpetorans, Fisioterapi dada, Antibiotik, Sedasi dan antihistamin.
Komplikasi
1. Hipoventilasi (keadaan nafas yang lambat dan dangkal).
2. Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru
3. Gangguan difusi gas di alveoli
4. Hipoxemia (keadaan kadar oksigen yang menurun dalam darah).
5. Hiperkarpia
6. Atelaktasis
7. Hipoksemia
8. Pneumothoraks Ventil
9. Bronchitis
10. Emfisema
11. Gagal napas.
Pengkajian

1. Airway
- peningkatan sekresi pernafasan
- ada atau tidaknya suara nafas
2. Breathing
- distres pernafasan: pernafasan cuping hidung, takipneu/ bradipneu, retraksi
- menggunakan otot pernafasan?
- kesulitan bernafas?
3. Circulation
- penurunan curah jantung: gelisah, takikardia
- ggn tingkat kesadaaran, gelisah
- penurunan urine
Diagnosa Keperawatan
• Pola nafas tidak efektif b.d. Penurunan ekspansi paru
• Gangguan pertukaran gas b.d abnormalitas ventilasi-perpusi skunder
terhadap hipoventilasi
INTERVENSI
• Kaji frekwensi, kedalaman dan kwalitas pernafasan serta pola pernafasan
• Kaji TTV tingkat kesadaran setiap jam
• Monitor kadar Oksigen
• Berikan oksigen dan bantuan ventilasi
• Pantau dan catat gas gas darah sesuai indikasi
• Auskultasi untuk mendengarkan bunyi nafas tiap jam
• Pertahanakan posisi kepala lebih tinggi
• Instruksikan pasien untuk pernafasan diapragma atau bibir
• Berikan dorongan untuk batuk dan nafas dalam
• Berikan bantuan ventilasi
KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATA
N PADA TRAUMA
KEPALA
DEFINISI
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu
gangguan trauma dari otak disertai/tanpa
perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas dari otak.
(Nugroho, 2011).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang
mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala
(Suriadi dan Yuliani, 2011).
ETIOLOGI

Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala


meliputi trauma oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan
otak, efek dari kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek
percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu
dapat disebabkan oleh Kecelakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan.
TANDA DAN GEJALA

 Hilangnya kesadaran  Terdapat hematoma

kurang dari 30 menit atau  Kecemasan


 Sukar untuk dibangunkan
lebih
 Bila fraktur, mungkin adanya ciran
 Kebingungan
serebrospinal yang keluar dari hidung
 Iritabel
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila
 Pucat
fraktur tulang temporal.
 Mual dan muntah
 Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi,
 Pusing kepala peningkatan pernafasan.
PATOFISIOLOGI

Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada
parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia
otak seperti  penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas
vaskuler.Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi
Your Contentatas
Heredua proses yaitu cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi
dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera
kepala primer, misalnya akibat dariYour
hipoksemia,
Content Hereiskemia dan perdarahan.
Lanjut ….
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma,
berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma
akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan
intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan
autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan
berakhir pada iskemia jaringan otak. (Tarwoto, 2007).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medik cedera kepala Penatalaksanaan umum adalah :
yang utama adalah mencegah terjadinya • Nilai fungsi saluran nafas dan
cedera otak sekunder. Cedera otak respirasi
• Stabilisasi vertebrata servikalis
sekunder disebabkan oleh faktor sistemik pada semua kasus trauma
seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh • Berikan oksigenasi
• Awasi tekanan darah
karena kompresi jaringan otak. (Tunner,
• Kenali tanda-tanda shock akibat
2000)Pengatasan nyeri yang adekuat juga hipovelemik atau neurogenik
direkomendasikan pada pendertia cedera • Atasi shock
• Awasi kemungkinan munculnya
kepala (Turner, 2000)
kejang.
MASALAH KEPERAWATAN
YG SERING MUNCUL

•Resiko Ketidakefektifan perfusi jaringan


serebral
•Ketidak efektifanbersihan jalan nafas
•Ketidakefektifan pola nafas
•Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
•Kerusakan integritas jaringan kulit
KEGAWATDARURATAN TRAUMA
ABDOMEN

FRENNY HARYANTO ( 1914201135 )


RIMA FEBRIANI ( 1914201134 )
TETI DWI HASTUTI ( 1914201126 )
PengertIan
trauma abdomen adalah trauma atau cidera pada abdomen yang
menyebabkan perubahan fisiologis yang terletak diantara diafragma
dan pelvis yang diakIbatkan oleh luka tumpul atau tusuk.
Etiologi
Penyebab trauma abdomen adalah sebagai berikut :

1. trauma penetrasi : luka akibat terkena tembakan, luka akibat tikaman benda
tajam, luka akibat tusukan.
2. trauma non penetrasi : terkena kompresi / tekanan dari luar tubuh, terjepit sabuk
pengaman, cidera akselerasi / deselerasi karena kecelakaan olah raga , tertabrak
mobil
Trauma abdomen disebabkan oleh 2
mekanisme yang merusak
• Trauma tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum

• Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum
TANDA DAN GEJALA
Bila yang terkena organ-organ solid (hati dan lien) maka akan tampak gejala
perdarahan secara umum seperti :
•Pucat
•anemis
•Bahkan sampai dengan tanda-tanda syok hemoragic.
• Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat
timbul di daerah yang terluka/menyebar. Terdapat nyeri saat di tekan dan di
lepas,
•Mual muntah
•Penurunan kesadaran ( malaise, latergi, gelisah)
Gejala dan tanda yang sering muncul pada penderita dengan peritonitis yaitu :
• Nyeri perut seperti ditusuk
• Perut yang tegang
• Demam (38⁰C)
• Produksi urin sedikit
• Mual dan muntah
• Haus
• Cairan di dalam rongga abdomen
• Tidak bisa buang air besar
• buang angin
• Tanda-tanda syok.
Patofisiologi
Trauma pada abdomen dibagi menjadi trauma tumpul dan tembus
Kompresi rongga abdomen - meningatkan tekanan intraluminal dengan
cepat - sehingga mungkin menyebabkan ruptur usus, atau pendarahan
organ padat.
Gaya deselerasi (perlambatan) akan menyebabkan tarikan atau regangan
antara struktur yang terfiksasi dan yang dapat bergerak
Organ padat, seperti limpa dan hati merupakan jenis organ yang tersering
mengalami terluka setelah trauma tumpul abdomen terjadi
Trauma tumpul pada abdomen juga disebabkan oleh pengguntingan,
penghancuran atau kuatnya tekanan yang menyebabkan rupture pada usus
atau struktur abdomen yang lain

Luka tembak dapat menyebabkan kerusakan pada setiap struktur didalam


abdomen. Tembakan menyebabkan perforasi pada perut atau usus yang
menyebabkan peritonitis dan sepsis
Manifestasi klinis
• Nyeri tekan atas daerah abdomen , distensi abdomen, demam, anorexia,mual
muntah, takikardi, peningkatan suhu, nyeri spontan.
• Pada trauma non penetrasi biasanya terdapat rupture di bagian dalam
abdomen.
• Terjadi perdarahan intra abdominal.
• Apabila trauma terkena usus, mortalisasi usus terganggu sehingga fungsi usus
tidak normal biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual dan
muntah dan BAB hitam ( melena )
Penatalaksanaan

Penanganan awal trauma non penetrasi :

•Stop makan dan minum


•Imobilisasi
•Lakukan Diagnostik peritoneal Levage ( DPL ), dilakukan pada trauma
abdomen perdarahan intra abdomen.
Indikasi dilakukannya DPL :

• Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya


• Trauma pada bagian bawah dada
• Hipotensi, hematocrit turun tanpa alasan yang jelas
• Pasien cidera abdomen dan cidera medulla spinalis
• Fraktur tulang pelvis

Kontra indikasi DPL : hamil, pernah oprasi abdomen


Penanganan awal trauma penetrasi :

•Bila terjadi luka tusuk , tidak boleh dicabut


•Penanganan bila terjadi luka tusuk , cukup dgn melilitkan kain kasa pada
daerah antara benda tajam untuk fiksasi sehingga tidak mempengaruhi luak
•Bila ada organ yang keluar , tidak dianjurkan dimasukkan kembali ke dalam
tubuh, organ tersebut dibalut kain bersih
•Imobilisasi pasien
•Tidak dianjurkan makan dan minum
•Apabila ada luka terbuka maka balut luka dengan menekan
•Kirim ke RS
Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik di arahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena trauma.
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistematis meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi.
Pemeriksaan penunjang

•  Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.


•  USG
•  Pemeriksaan darah rutin
•  Pemeriksaan urine
•  Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Askep teoritis trauma abdomen
Dasar pemeriksaan fisik „head to toe‟ harus dilakukan dengan singkat tetapi
menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.

Pengkajian data dasar menurut Brunner & Suddart (2001), adalah :


a.Aktifitas / istirahat
b.Sirkulasi
c.Integritas ego
d.Eliminasi
e.Makanan dan cairan
f. Neurosensori
g. Nyeri dan kenyamanan
h. Pernafasan
i. Keamanan
Diagnose keperawatan
• 1. pola nafas tidak efektif ( D.0005 )
• 2. resiko perdarahan ( D. 0012 )
• 3. resiko ganggunan sirkulasi spontan ( D.0010 )
• 4. gangguan mobilitas fisik ( D.0054 )
• 5. nyeri akut ( D.0077 )
• 6. defisit pengetahuan ( D. 0111 )
• 7. gangguan integritas kulit / jaringan ( D. 0129 )
• 8. resiko infeksi ( D. 0142 )
DIAGNOSA : gangguan mobilitas fisik
( D.0054 )
• SLKI
Mobilitas fisik ( L. 05042 )
Ekspetasi meningkat
Kriteria hasil :
• Kekuatan otot meningkat
• Rentang gerak ( ROM ) meningkat
• nyeri menurun
• kecemasan menurun
• gerakan terbatas menurun
• SIKI
Dukungan mobilisasi ( I. 05173 )
Observasi :
• identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
• identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
• monitor frekuensi jantung, tekanan darah sebelum melakukan mobilisasi
Terapeutik :
• fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
• fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
• libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi :
• jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
• anjurkan melakukan mobilisasi dini
• ajarkan mobilisasi sederhana yg harus dilakukan
DIAGNOSA : nyeri akut ( D.0077 )
• SLKI
Tingkat nyeri ( L.08066 )
Ekspetasi menurun
Kriteria hasil :
• keluhan nyeri menurun
• gelisah menurun
• muntah menurun
• mual menurun
• pola nafas membaik
• tekanan darah membaik
• pola tidur membaik
• SIKI
Management nyeri ( I. 08238 )
Observasi :
• Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
• Identifikasi skala nyeri
• Identifikasi respon nyeri non verbal
• Monitor keberhasilan terapi komplementer yg sudah diberikan
• Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik :
• Berikan tehnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
• Control lingkungan yg memperberat rasa nyeri
• Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi :
• Jelaskan penyebab, periode, pemicu nyeri
• Jelaskan strategi meredakan nyeri
• Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
• Ajarkan tehnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
• Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Terima kasih
DEFINISI
Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot dan tendon. Secara
fisiologis, sistem muskuloskeletal memungkinkan perubahan pada
pergerakan dan posisi. Otot terbagi atas tiga bagian yaitu ; otot rangka, otot
jantung dan otot polos. (Joyce M Black, 2014). Trauma muskuloskeletal
adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera pada tulang, sendi
dan otot karena salah satu sebab. Kecelakaan lalu lintas, olahraga dan
kecelakaan industri merupakan penyebab utama dari trauma
muskuloskeletal.
Etiologi
Penyebab umum dari truma muskuloskeletal adalah kecelekaan lalu lintas, olahraga, jatuh dan kecelakaan industri.
1.Fraktur
Etiologi atau penyebab dari fraktur adalah kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, saat tekanan yang diberikan pada
tulang terlalu banyak dibandingkan yang mampu ditanggunya. (Joyce M Black, 2014)
Trauma langsung
Tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan misalnya benturan pada lengan bawah yang
menyebabkan patah tulang radius dan ulna.
Trauma tidak langsung
Trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur dimana pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap
utuh. Misalnya, jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Etiologi
2.Strain (Cedera Otot)
Penyebab dari strain bisa dari trauma langsung maupun tidak langsung
misalnya (jatuh dan tumbukan pada badan) yang mendorong sendi keluar
dari posisinya kemudian meregang. (Joyce M Black, 2014)
3.Sprain (Keseleo)
Penyebab sprain sama dengan strain yaitu trauma langsung dan trauma tidak
langsung. (Joyce M Black, 2014)
1.Fraktur
Deformitas
Pembengkakkan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Deformitas
adalah perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena kuatnya tarikan otot-otot
ekstermitas.
Nyeri
Nyeri biasanya terus menerus menigkat jika fraktur tidak diimobilisasi.

Manifestasi Klinis Pembengkakkan atau edema


Edema terjadi akibat akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi cairan serosa pada
lokasi fraktur ekstravasi darah ke jaringan sekitar.
Hematom atau memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
Kehilangan fungsi dan kelainan gerak.
2.Strain
a.Nyeri
b.Kelemahan otot
c.Pada sprain parah, otot atau tendon mengalami ruptur secara parsial atau komplet bahkan dapat
menyebabkan kelumpuhan pasien akibat hilangya fungsi otot.
3.Sprain
a.Adanya robekan pada ligament
b.Nyeri
c.Hematoma atau memar
Patofisiologi
• 1. Fraktur
• Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur, jika ambang fraktur suatu
tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja dan bukan patah. Jika gayanya
sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur,
otot yang melekat pada ujung tulang akan terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik
fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat dan
bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak
atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hemotoma terjadi diantara
fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati
dan menciptakan respon peradangan yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan
fungsi, esudasi plasma dan leukosit. (Joyce M Black, 2014)
Patofisiologi
2.Strain
Kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung maupun trauma tidak langsung, cedera ini
terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah, kontraksi otot yang berlebihan, otot yang belum siap
terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha) dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang
baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera memar dan membengkak.
3.Sprain
Adanya tekanan eksternal yang berlebihan menyebabkan suatu masalah yang disebut sprain yang
terutama terjadi pada ligamen. Ligamen akan mengalami robek dan kemudian akan kehilangan
kemampuan stabilitasnya. Hal tersebut akan membuat pembuluh darah pecah dan akan menyebabkan
hemotama serta nyeri.
Pemeriksaan Penunjang
a.X-ray menentukan lokasi atau luasnya fraktur
b.Scan tulang : mempelihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak
c.Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler pada
perdarahan; penigkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan
d.Kretinin : trauma otot menigkatkan beban kretinin untuk kliens ginjal
e.Profil koagulas : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi darah atau
cedera. (Amin Huda Nurarif, 2015)
Penatalaksanaan
1.Fraktur
a.Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksternal dan internal mempertahankan dan mengembalikan
fungsi status neurovaskuler selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan dan gerakan.
Perkiraan waktu untuk imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang yang mengalami fraktur adalah
sekitar 3 bulan. (Amin Huda Nurarif, 2015).
Alat imobilisasi yang sering digunakan, antara lain :
b.Bidai
Bidai adalah alat yang dipakai untuk mempertahankan kedudukan atau fiksasi tulang yang patah. Tujuan
pemasangan bidai untuk mencegah pergerakan tulang yang patah. Syarat pemasangan bidai dimana dapat
mempertahankan kedudukan 2 sendi tulang didekat tulang yang patah dan pemasangan bidai tidak boleh
terlalu kencang atau ketat, karena akan merusak jaringan tubuh. (Yanti Ruly Hutabarat, 2016)
Penatalaksanaan
c.Gips
Gips merupakan alat fiksasi untuk penyembuhan tulang. Gips
memiliki sifat menyerap air dan bila itu terjadi akan timbul reaksi
eksoterm dan gips akan menjadi keras.
d.Reduksi
Langkah pertama pada penanganan fraktur yang bergeser adalah
reduksi. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasi.
e.Traksi
Traksi adalah pemberian gaya tarik terhadap bagian tubuh yang
cedera, sementara kontratraksi akan menarik ke arah yang
berlawanan. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek
reduksi dan imobilisasi. Beratnya trasi disesuaikan dengan spasme
otot yang terjadi. (Brunner, 2001).
Penatalaksanaan
2.Strain
Istirahan, kompres dengan air dingin dan elevasi (RICE) untuk 24-48 jam pertama
Perbaikan bedah mungkin diperlukan jika robekan terjadi pada hubungan tendon-tulang
Pemasangan balut tekan
Selama penyembuhan (4-6 minggu) gerakan dari cedera harus diminimalkan. (Joyce M Black, 2014)
3.Sprain
Istirahat akan mencegah cedera tambahan dan mempercepat penyembuhan
Meniggikan bagian yang sakit akan mengontrol pembengkakkan
Kompres air dingin, diberikan secara intermiten 20-30 menit selama 24-48 jam pertama setelah cedera. Kompres air
dingin menyebabkan vasokontriksi akan mengurangi perdarahan dan edema (Jangan berlebihan nanti akan mengakibatkan
kerusakan kulit). (Brunner, 2001)
Asuhan Keperawatan
A.Pengakjian
I.Identitas Pasien
Nama : Tn.I
Usia : 45 Thn
II.Riwaya penyakit sekarang
Keluhan utama : Nyeri
Riwayat penyakit sekarang : Sudah seminggu yang lalu kaki kanan klien terasa sakit
III.Riwayat penyakit dahulu
2 hari terakhir pasien mengeluh demam, batuk pilek, pusing ,sesak nafas
IV.Pemeriksaan fisik
TTV= S: 38,5 °N: 100 x/M RR: 25 x/m TD: 140/90 mmHg
No Data Problem

1.
Analisa Data
Data Subjektif : Klien mengatakan kaki
sebelah kiri terasa sakit, rasa sakit di
Nyeri Akut

rasakan sudah seminggu tak kunjung


membaik
Data Objektif : Pada saat di pegang tanpak
meringis,gelisah dan nadi meningkat N:
105x/mnt

2. Data Subjektif : klien mengatakan kakinya Gangguan Mobilitas


tidak bisa di gerakan , jika di gerakan terasa Fisik
sakit
Data Objektif : Klien tampak berbaring di
tempat tidur, kekuatan otot menurun
Diagnosa Keperatawan
1. Nyeri Akut
2. Gangguan Mobilitas Fisik
Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan & KH Intervensi
(SDKI)
(SLKI) (SIKI)
1. Nyeri Akut (D.0077) Kontrol Nyeri (L.06063) Pemantauan Nyeri (I.08242)

Data Subjektif : Klien Ekespektasi : Meningkat Observasi :


mengatakan kaki sebelah kiri
Kriteria Hasil : Identifikasi factor pencetus dan
terasa sakit, rasa sakit di
Pereda nyeri
rasakan sudah seminggu tak Melaporkan nyeri terkontrol
Monitor kualitas nyeri (mis.
kunjung membaik Kemampuan mengenali onset
Terase tajam, tumpul, diremas-
nyeri
Data Objektif : Pada saat di remas, di timpa beban berat)
Kemampuan mengenali
pegang tanpak meringis,gelisah Monitor lokasi dan penyebaran
penyebab nyeri
dan nadi meningkat N: nyeri
Kemampuan menggunakan
105x/mnt Monitor intensitas nyeri dengan
teknik non-farmakologis
menggunakan skala
Dukungan orang terdekat
Monitor durasi dan frekuensi nyeri
Rencana Asuhan Keperawatan
2. Gangguan Mobilitas Fisik Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan Mobilisasi
(D.0054)
Ekspektasi : Meningkat ( I.05173)
Data Subjektif : klien
Kriteria Hasil : Observasi :
mengatakan kakinya tidak
bisa di gerakan , jika di Pergerakan ekstermitas Identifikasi adanya nyeri atau

gerakan terasa sakit cukup meingkat keluhan fisik lainnya


Kekuatan otot cukup Identifikasi toleransi fisik
Data Objektif : Klien tampak
meningkat melakukan pergerakan
berbaring di tempat tidur,
Rentang gerak ROM cukup Monitor frekuensi jantung dan
kekuatan otot menurun
meningkat tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
 
Monitor kondisi umum selama
melalukan mobilisasi
Implementasi dan Evalusai
N Implemetasi Evaluasi
o

 1 Identifikasi factor pencetus dan Pereda nyeri Setelah di lakukan


. Monitor kualitas nyeri (mis. Terase tajam, tumpul, diremas- Tindakan
remas, di timpa beban berat) keperawatan nyeri
 Monitor lokasi dan penyebaran nyeri berkurang
 Monitor intensitas nyeri dengan menggunakan skala
 Monitor durasi dan frekuensi nyeri

 Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya


2 Setelah di lakukan
 Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
 . Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum Tindakan
memulai mobilisasi keperawatan pasien
 Monitor kondisi umum selama melalukan mobilisasi
mampu berjalan di
sekitar tempat tidur
KEGAWATDARURATAN OBSTETRI
• Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak terduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan 2011).
• Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya
yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna
menyelamatkan jiwa/ nyawa (Campbell & Lee, 2000).
• Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi
dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian
banyak  penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan
bayinya (Chamberlain & Steer, 2002).
Penyebab Kematian Ibu di Indonesia Tahun 2010-2013
Sumber: Direktorat Kesehatan Ibu, Kemenkes RI
PENYEBAB UTAMA

(Cunningham et al, 2010)


 Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan berwujud bercak
merembes,  profus, sampai syok.
 Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan
pervaginam yang  berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok.
 Kasus hipertensi dan preeklampsia/eklampsia,dapat bermanifestasi mulai dari
keluhan sakit/  pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang,
sampai koma/pingsan/ tidak sadar.
 Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal apabila kemajuan persalinan tidak
berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan macet
ini dapat merupakan manifestasi ruptur uteri.
 Kasus kegawatdaruratan lain, bermanifestasi klinik sesuai dengan penyebabnya
 Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar
pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan.
PERDARAHAN
• Perdarahan Ante Partum
• Biasa Terjadi pada: Usia > 35 thn, Anak > 5 org,
Preeklamsi/Hipertensi, Letak Lintang
• Perdarahan Post Partum (Haemoragic Post Partum/HPP)
Perdarahan Ante Partum

• Perdarahan dari jalan lahir setelah


kehamilan berusia 28 minggu.

Klasifikasinya:
• Plasenta Previa
• Solusio Plasenta
PLASENTA PREVIA
Plasenta Previa

Plasenta previa adalah plasenta yang


berimplantasi pada segmen bawah rahim
Definisi
demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau
sebagian dari ostium uteri internum.

Belum diketahui pasti. Penyebabnya adalah


vaskularisasi desidua yang tidak memadai
Etiologi
mungkin sebagai akibat dari proses radang atau
atrofi.
Plasenta Previa
1. Plasenta Previa Totalis adalah plasenta yang
menutupi saluran ostium uteri internum.
2. Plasenta Previa Persialis adalah plasenta
yang menutupi sebagian ostium uteri
internum.
Klasifikasi
3. Plasenta previa Marginalin adalah plasenta
yang tepinya berada pada pinggir ostium
uteri internum.
4. Plasenta Letak Rendah adalah plasenta
berada 3-4 cm pada tepi ostium uteri internum
1. Kerusakan endometrium corpus uteri
implantasi menyebabkan plasenta
berimplantasi kurang baik pada SBR.
Patofisiologi
2. Kebutuhan nutrisi melebihi normal (missal:
gemeli, bayi besar) sehingga plasenta
melebar hingga mencapai SBR
Plasenta Previa

1. Bercak darah (gejala awal)


2. Keluar darah segar pervagina
Gejala 3. Biasanya malam hari saat pembentukan SBR
4. Perdarahan sebagian besar berasal dari ibu
sebagian kecil dari janin

Sebelum dirujuk anjurkan pasien untuk tirah


baring total dengan menghadap kekiri,
menghindari peningkatan tekanan rongga perut.
Penanganan
Pasang infuse NaCl, bila tidak memungkinkan
berikan cairan peroral. Pantau tekanan darah dan
pantau nadi setiap 15 menit.
SOLUTIO PLACENTA
Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh


permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang
Definisi
normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya
yaitu sekitar > 28 minggu.

Faktor Predisposisi :
1. Hipertensi dalam kehamilan
2. Multiparitas
3. Usia ibu tua
4. Tali pusat pendek
5. Dekompresi terus mendadak
Etiologi
6. Defisiensi asam folat
7. Trauma
8. Konsumsi alkhohol
9. Merokok
10. Tumor uterus
11. Kelainan uterus
Solusio Plasenta
Pembuluh darah plasenta

Uterus yang membentuk hematoma


Patofisiologi desidua

Perdarahan
Plasenta lepas
1. Perdarahan dari jalan lahir
2. Uterus tegang
3. Nyeri perut terus menerus
4. Bagian janin sukar di raba
Tanda Gejala
5. DJJ (-)
6. Beberapa bagian plasenta lepas
7. Warna darah kehitaman
8. Syok
Klasifikasi Solusio Plasenta
Jenis Ringan Sedang Berat

Perdarahan < 200 cc > 200 cc -

Uterus Tegang (-) (+) Tetanik

Syok (-) Pre syok (+)

Keadaan Janin Hidup Gawat/Mati Mati


Bagian plasenta
1/6 ¼ - 2/3 > 2/3
lepas

Masih ada lisis Lisis setelah


Uji Beku Darah Baik
1-2 jam 60’

Kadar
< 250 mg% 120-250 mg% < 120 mg%
Fibrinogen
% kejadian Jarang 14 % 86%
Perdarahan Keluar dan Perdarahan
Tersembunyi
Perdarahan Keluar Perdarahan Tersembunyi

1. KU Relatif lebih baik 1. KU lebih jelek


2. Plasenta Lepas 2. Plasenta lepas luas,
sebagian uterusen boise
TATALAKSANA
PERDARAHAN POST PARTUM

DEFINISI
Kehilangan darah ≥ 500 mL, terjadi di 24 WHO
jam pertama setelah melahirkan ¼ kematian
(HPP primer) / sampai dengan 6 ibu
pertahunnya
minggu setelah melahirkan (HPP diakibatkan
sekunder), dan jika tidak diidentifikasi oleh HPP
&diobati cepat dapat menyebabkan syok
pada ibu dan berujung kematian

kematian
• HPP Minor  Kehilangan darah terjadi pada
antara 500 – 1000 mL 24/48 jam
pertama
• HPP Mayor  Kehilangan darah
setelah
>1000 mL yang terkontrol melahirkan
• HPP Massive  Kehilangan darah
>1500 mL &/ ada tanda syok klinis &/
trf ≥4 kolf PRC dengan penurunan
kondisi ibu yang menimbulkan
ancaman terhadap kehidupannya
ETIOLOGI

(Cunningham et al, 2010)


TANDA & GEJALA

• Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang terus-menerus


setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan
tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut
nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro,
2005).
PATOFISIOLOGI
• Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk meningkatkan
sirkulasi , atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun
sehingga pembuluh darah-pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup
sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti
epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan
perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu; misalnya
afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin untuk
membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan
postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock
hemoragik
HPP  Management?
(HKFM, 2012)

H Help. Ask for help

A Asses vital sign, blood loss & Resucitate

E Establish etiology

M Massage uterus

O Oxytocin infusion, ergometrin iv/im, prostaglandin per rectal

S Shift to the theatre, bimanual compression

T Tamponade baloon

A Apply compression uterus: B-Lynch technique

S Systemic pelvic devascularization

I Intervention radiologist: uterine artery embolization

S Subtotal/total hysterectomy
Preeklampsia / Eklampsia
Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mm Hg) yang baru muncul pada usia
kehamilan 20 minggu disertai salah satu tanda/gejala di bawah ini (ISSHP, 2014):
1.Proteinuria : (pemeriksaan spot protein urine sewaktu/creatinine ≥ 30 mg/mmol
[0,3 mg/mg] atau minimal 1g/L (2+) pada dipstick test)
2.Gangguan organ lainnya :
•Gangguan ginjal (Serum kreatin ≥ 90 umol/L)
•Keterlibatan hepar (peningkatan serum transaminase dan atau nyeri epigastium
dan kuadran kanan atas)
•Gangguan neurologis: eklampsia, perubahan status mental, kebutaan, stroke,
hiperrefleksia yang disertai klonus, nyeri kepala hebat, dan scotomata visual
persisten
•Gangguan hematologis (trombositopeni, DIC, hemolisis, sindroma HELLP)
•Edema paru
3. Disfungsi uteroplasenta : gawat janin dan gangguan pertumbuhan janin.

dr. Jacob Trisusilo Salean


SEPSIS
• Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah
suatu kondisi inflamsi sistemik yang ditandai dua atau lebih
kondisi (suhu tubuh >38⁰C atau <36⁰C, nadi >90 kali per
menit, laju nafas > 20 kali per menit atau PaCO2 <32 mmHg,
leukosit >12.000 atau <4000 atau >10% netrofil imatur).
• Sepsis adalah SIRS yang berhubungan dengan infeksi.
• Sepsis berat adalah sepsis yang disertai disfungsi organ,
hipoperfusi atua hipotensi.
• Syok sepsis adalah kondisi sepsis berat dengan hipotensi
menetap meskipun dengan resusitasi cairan adekuat atau
membutuhkan agen vasopressor atau inotropik.

dr. Jacob Trisusilo Salean

Society of Critical Care Medicine Concencus Conference Definitions, 1992


Sepsis maternal
Sepsis maternal adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa yang tampak pada
disfungsi organ akibat suatu infeksi yang terjadi saat kehamilan, persalinan, post
aborsi ataupun periode post partum. (WHO, 2016)

dr. Jacob Trisusilo Salean


DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko Perdarahan
2. Resiko Syok
Manajemen Perdarahan pervaginam (I.02044)

Definisi
• Mengidentifikasi dan mengelola kehilangan darah pervaginam
Observasi
• Identifikasi keluhan ibu (mis: keluar banyak darah, pusing, pandangan tidak jelas)
• Monitor keadaan uterus dan abdomen (Mis: TFU di atas umbilikus, teraba lembek,
benjolan)
• Monitor kesadaran dan tanda vital.
• Monitor kehilangan darah.
• Monitor kadar HB
Terapeutik:
• Posisikan supine atau trendelenburg
• Pasang oksimetri nadi
• Berikan oksigen
• Pasang IV line ukuran set transfusi
• Pasang kateter untuk mengosongkan kandung kemih.
• Ambil darah untuk pemeriksaan DL
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian uterotonika dan terapi lainnya yang diperlukan.
Manajemen Perdarahan pervaginam pasca persalinan (I.02045)
Definisi:
• Mengidentifikasi dan mengelola kehilangan darah pervaginam lebih dari 500 cc, dapat
terjadi pada proses persalinan (24 jam) dan lebih dari 24 jam setelah persalinan.
Observasi:
• Periksa fundus uterus (Mis: TFU sesuai hari melahirkan, membulat dan keras/lembek)
• Identifikasi penyebab kehilangan darah (mis: atonia uteri atau robekan jalan lahir)
• Identifikasi keluhan ibu (mis: keluar banyak darah, pusing, pandangan kabur)
• Identifikasi riwayat perdarahan pada kehamilan lanjut (mis: abruption, PIH, dan Plasenta
previa)
• Monitor jumlah kehilangan darah.
• Monitor kada HB, HT, PT dan APTT sebelum dan sesudah perdarahan.
• Monitor fungsi neurologi
• Monitor membran mukosa, bruising dan adanya petechie.
 Terapeutik:
• Pasang oksimetri nadi
• Berikan oksigen
• Posisikan supine
• Pasang IV line ukuran set transfusi
• Pasang kateter untuk mengosongkan kandung kemih dan
meningkatkan kotraksi uterus.
• Ambil darah untuk pemeriksaan DL

 Kolaborasi:
• Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu.
• Kolaborasi pemberian uterotonika dan terapi lainnya jika
perlu.
Menejemen hipovolemi ( I.03116.)
Definisi
 mengidentifikasi dan mengelola penurunan volume cairan intravaskuler.

Tindakan
Observasi
- Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa
kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah)
- monitor intake dan output cairan.

Terapeutik
- Hitung kebutuhan cairan
- berikan posisi modified Trendelenburg
- Berikan asupan cairan oral

Edukasi
- Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral (jika memungkinkan)
- Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak

Kolaborasi
- kolaborasi pemberian cairan IVFD
- Kolaborasi pemberian produk darah
Manajemen syok hipovolemik (I.02050)
Definisi
• mengidentifikasi dan mengelola ketidakmampuan tubuh menyediakan oksigen dan nutrien
untuk mencukupi kebutuhan jaringan akibat kehilangan cairan/darah berlebih.
Observasi
• Monitor status kardiopulmonal (fekuensi dan kekuatan nadi, frek nafas, TD, MAP)
• Monitor status oksigensasi (oksimetri nadi, AGD).
• Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)
• Periksa tingkat kesadaran dan respon pupil.
Terapeutik:
• Pertahankan jalan napas paten.
• Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >94%
• Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis (jika perlu).
• Berikan posisi syok (modified trendelenburg)
• Pasang jalur IV berukran besar
• Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine.
• Pasang selang NGT untuk dekompresi lambung.
• Ambil sampel darah untuk pemeriksaan DL dan elektrolit.
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid
• Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika pelu.
KEGAWATDARURATAN PADA
KERACUNAN
Pada hakekatnya semua zat dapat berlaku
sebagai racun , tergantung pada dosis dan
cara pemberiannya.

Gejala yang timbul sangat bervariasi

Harus mengenal gejala yang ditimbulkan


oleh setiap agens
Intoksikasi atau keracunan merujuk pada suatu kejadian berupa
efek samping obat, zat kimia,atau substansi asing lainnya yang
berhubungan dengan dosis.

Keracunan dapat terjadi secara lokal (misalnya pada kulit, mata,


maupun paru) atau terjadi secara sistemik tergantung dari sifat
kimia dan fisik zat racun tersebut, mekanisme kerjanya, dan
rute paparannya.

Paparan racun tersering adalah dengan jenis : bahan pembersih,


analgetika, kosmetika, tumbuh-tumbuhan, obat batuk-pilek,
gigitan/bisa binatang.
Anamnesis
Anamnesis harus mencakup: waktu, rute, lamanya terpapar, dan ruang
lingkup paparan (lokasi, kejadian yang menyertai, tujuan); nama dan jumlah
masing-masing obat, bahan kimia atau bahan-bahan yang berada di
dalamnya; onset, keadaan, dan beratnya gejala, jenis dan waktu pertolongan
pertama, dan riwayat medis serta psikiatri.

Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama pemeriksaan fisik harus ditekankan pada tanda vital, sistim
kardiopulmoner,dan status neurologis. Berdasarkan nadi, tensi, frekuensi
nafas, dan suhu serta status mental, status fisiologik penderita dapat
digolongkan menjadi: excited, depresi, respon tidak sesuai, atau normal.
Pemeriksaan mata (menilai adakah nistagmus, menilai ukuran dan reaksi
pupil), pemeriksaan abdomen (bising usus dan ukuran kandung empedu), dan
pemeriksaan kulit (untuk luka bakar, bulae, warna, kehangatan, kelembaban,
luka bekas tekanan dan tanda-tanda tusukan) dapat mempersempit diagnosis.
Menentukan derajat keracunan adalah penting untuk menilai respon terapi.
Gambaran Radiologi
Edema paru (atau ARDS) dapat disebabkan karena keracunan CO, sianida, opioid,
paraquat, phencyclidine, hipnotik sedatif, atau salisilat; juga karena inhalasi gas iritan,
asap atau uap (ammonia, metal oksida, merkuri); juga oleh anoksia yang
berkepanjangan, hipertermia, atau syok. Pneumonia aspirasi umum terjadi pada pasien
dengan, kejang dan keracunan petroleum.
 
EKG
EKG berguna untuk mengarahkan diagnosis dan terapi. Bradikardi dan AV block dapat
terjadi pada pasien yang keracunan  agonis, antiaritmia,  blocker, calcium channel
blocker, obat kolinergik (karbamat dan insektisida organofosfat), glikosida jantung,
litium, magnesium, atau trisiklik antidepresan.Pemanjangan QRS dan interval QT dapat
disebabkan oleh hiperkalemia dan oleh obat-obat membran aktif.

Takiaritmia ventrikel dapat terjadi pada keracunan glikosida jantung, fluorida, obat
membran aktif, simpatomimetik, atau obat yang menyebabkan hiperkalemi, atau yang
mempotensiasi efek katekolamin endogen (misalnya kloral hidrat, hidrokarbon alifatik
dan hidrokarbon halogenasi).

Analisis urin dan darah (dan kadang-kadang cairan lambung serta sampel kimia) dapat
berguna untuk memastikan atau menyingkirkan dugaan keracunan. Walaupun beberapa
skrining test cepat untuk sejumlah penyalahgunaan obat sudah tersedia, untuk
menyelesaikan test tersebut diperlukan 2-6 jam dan penatalaksanaan segera haruslah
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan test rutin lainnya.
PENATALAKSANAAN UMUM KERACUNAN &
OVERDOSIS
- Prinsip umum
- Perawatan suportif
- Penatalaksanaan problem respirasi
- Terapi kardiovaskuler
- Terapi SSP
- Pencegahan absorpsi racun lebih lanjut(dekontaminasi
gastrointestinal dan tempat lain)
- Percepatan eliminasi racun (karbon aktif dosis ganda, diuresis
paksa,perubahan pH urin, cara-cara ekstrakorporeal)
- Pemberian antidot
- Pencegahan paparan ulang
Prinsip umum penatalaksanaan keracunan dan overdosis
Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda vital, mencegah
absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun, pemberian antidot spesifik,
dan mencegah paparan ulang.

Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk, banyaknya racun,
selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat keracunan. Pengetahuan
farmakodinamik dan farmakokinetik substansi penyebab keracuan amatlah penting.

Selama fase pretoksik, sebelum onset keracunan, prioritas pertama adalah


dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dan
singkat Juga disarankan pemasangan i.v. line dan monitoring jantung, khususnya pada
penderita keracunan per oral serius atau penderita dengan anamnesis yang tidak jelas.

Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan terjadi secara lambat
atau akan terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya dilakukan pemeriksaan toksikologi
darah dan urin. Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral
dalam 4-6 jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama dibutuhkan bila
terdapat keracunan per oral yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung dan
motilitas usus dimana disolusi, absorpsi, dan distribusi racun dengan sendirinya juga
lebih lambat.
Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai dengan
terjadinya efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada penemuan klinis
dan laboratorium. Setelah overdosis, akan segera timbul efek-efeknya
lebih awal, yang kemudian memuncak. Prioritas pertama untuk dilakukan
adalah resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua pasien yang simtomatis
harus dilakukan pemasangan i.v. line, penentuan saturasi oksigen,
monitoring jantung, dan observasi kontinu. Pemeriksaan laboratorium
dasar, EKG, dan x-ray dapat berguna.

Selama fase resolusi, perawatan suportif dan monitoring harus kontinu


dilakukan sampai abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG membaik.
Karena bahan-bahan kimia dalam darah lebih dulu dieliminasi
dibandingkan yang dari jaringan, maka kadarnya dalam darah selalu lebih
rendah dari kadarnya di jaringan sehingga tidak berkorelasi dengan
toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar prosedur ekstrakorporeal. Redistribusi
dari jaringan dapat menyebabkan peningkatan balik racun dalam darah
setelah selesainya prosedur ini. Bila metabolit racun yang menyebabkan
efek toksiknya, maka pada penderita yang telah asimtomatis tetap harus
diberikan terapi karena masih terdapat potensi toksik kadarnya
metabolitnya dalam darah (asetaminofen, etilen glikol, dan methanol).
Perawatan suportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan
homeostasis fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk
mencegah serta mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus
dekubitus, edema otak & paru, pneumonia, rhabdomiolisis, gagak ginjal,
sepsis, penyakit thromboembolik, dan disfungsi organ menyeluruh akibat
hipoksia atau syok berkepanjangan. Indikasi untuk perawatan di ICU
adalah sebagai berikut:
Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi, abnormalitas
konduksi jantung, aritmia jantung, hipo/hipertermi, kejang).Penderita yang
perlu monitoring ketat, antidot, maupun terapi percepatan eliminasi racun.
Penderita dengan kemunduran klinis progresif. Penderita dengan penyakit
dasar yang signifikan
Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada
pelayanan kesehatan umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD,
tergantung dari lamanya kejadian keracunan dan monitoring yang
diperlukan (observasi klinis intermiten vs kontinu, monitoring jantung dan
pernafasan).
Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan observasi dan
pemeriksaan kontinu untuk mencegah mereka melukai diri sendiri, sampai
tidak mungkin lagi dilakukan upaya-upaya lebih lanjut.
Penatalaksanaan problem respirasi
Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat penting untuk
dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena komplikasi ini dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena penilaian klinis fungsi respirasi sering
tidak akurat, perlunya oksigenasi dan ventilasi paling baik ditentukan dari pemeriksaan
oksimetri atau analisa gas darah. Reflek muntah bukanlah indikator yang dapat dipercaya
untuk menilai perlunya intubasi. Paling baik dilakukan intubasi profilaksis pada
penderita yang tidak mampu berespon terhadap suara, maupun yang tidak mampu duduk
atau minum tanpa dibantu.
Ventilasi mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas, hipoksia, dan untuk
memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk mencegah hipertermia, asidosis, dan
rhabdomiolisis yang berhubungan dengan hiperaktivitas neuromuskuler.
Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non-kardiak. Edema paru kardiak
biasanya pada penderita depresi SSP dan penderita abnormalitas konduksi jantung
Pengukuran tekanan arteri pulmoner penting untuk mengetahui etiologi dan dapat
langsung sebagai terapi.
Pada gagal nafas berat yang reversibel, dilakukan pengukuran ekstrakorporeal
( oksigenasi membran, perfusi venoarterial, bypass kardiopulmoner), ventilasi parsial
cairan (perfluorokarbon), dan terapi oksigen hiperbarik.
 
 
Terapi kardiovaskuler
Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting
untuk pemulihan tuntas ketika racun sudah dieliminasi. Bila
terjadi hipotensi yang tidak responsif dengan ekspasi volume,
dapat diberikan norepinefrin, epinefrin atau dopamine dosis
tinggi.
Pencegahan Absorpsi Racun
a. Dekontaminasi Gastrointestinal
Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan prosedur mana yang akan
dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun tertelan, toksisitas bahan yang telah & akan terjadi
kemudian, availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari prosedur; serta beratnya keracunan dan
resiko komplikasi. Studi pada binatang dan sukarelawan menunjukkan bahwa efektivitas dari
karbon aktif, lavase lambung, dan sirup ipecac menurun sesuai jangka waktu keracunan. Tidak
cukup data untuk menunjang/mengekslusi manfaat penggunaan hal-hal tsb. pada keracuan yang
sudah lebih dari 1 jam.
Rata-rata waktu terapi dekontaminasi gastrointestinal yang disarankan adalah lebih dari 1 jam
setelah keracunan pada anak dan lebih dari 3 jam pada dewasa dari sejak racun tertelan sampai
timbul gejala/tanda keracunan. Sebagian besar penderita akan sembuh dari keracunan dengan
semata-mata perawatan suportif yang baik, namun komplikasi dari dekontaminasi
gastrointestinal khususnya aspirasi, dapat memanjangkan proses ini. Karena itu prosedui ini
dilakukan secara selektif dan bukan rutin. Prosedur ini jelas tidak diperlukan bilamana
toksisitas diperkirakan minimal atau waktu terjadinya efek toksik maksimal sudah terlewati
tanpa efek signifikan.
 
Karbon aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya &
komplikasinya lebih sedikit, lebih tidak invasive, sedikit lebih disukai,
dibandingkan ipecac atau lavase lambung. Karbon aktif merupakan
metoda dekontaminasi gastrointestinal yang terpilih untuk sebagian besar
kasus keracunan. Karbon aktif disiapkan sebagai suspensi dalam air, baik
sendiri atau dengan suatu katartik. Diberikan per oral melalui botol susu
pada bayi atau melalui cangkirsedotan, atau NGT berkaliber kecil. Karbon
menyerap racun dalam lumen usus, sehingga memungkinkan kompleks
karbon-toksin dievakuasi melalui feses. Kompleks tsb. dapat juga
dikeluarkan dari lambung dengan induksi muntah atau lavase.

b. Dekontaminasi pada tempat-tempat lain


Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau cairan jernih
lainnya yang dapat diminum merupakan terapi inisial untuk eksposur
topikal (kecuali logam alkali, kalsium oksida, fosfor). Untuk irigasi mata
dipilih salin sedangkan untuk dekontaminasi kulit paling baik dilakukan
triple wash (air-sabun-air). Paparan racun melalui inhalasi harus diobati
dengan udara segar atau oksigen.
Percepatan eliminasi racun
Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas
yang nyata atau yang diperkirakan dan didasarkan juga pada
efektivitas, biaya, dan resiko terapi.
 
a. Karbon aktif dosis multipel
Dosis oral karbon aktif yang berulang dapat mempercepat
eliminasi substansi yang sebelumnya diabsorpsi dengan cara
mengikatnya dalam usus lalu diekskresikan melalui empedu,
disekresikan oleh sel-sel gastrointestinal, atau difusi pasif
kedalam lumen usus (absorpsi balik atau exsorpsi enterokapiler).
Dosis yang direkomendasikan 0,5-1 gram/kgBB tiap 2-4 jam,
diberikan untuk mencegah regurgitasi pada pasien dengan
motilitas gastrointestinal yang berkurang. Secara eksperimen
terapi ini mempercepat eliminasi hampir semua substansi.
 
b. Diuresis paksa dan perubahan pH urin
Diuresis dan iontrapping melalui perubahan pH urin dapat mencegah
reabsorpsi renal dari racun yang mengalami ekskresi oleh filtrasi glomerulus
dan sekresi aktif tubuler. Karena membran lebih permeable terhadap molekul
yang tidak terion dibandingkan yang dapat terion, racun-racun yang asam
(pKa rendah) akan diionisasi dan terkumpul dalam urin yang basa.
Sebaliknya racun-racun yang sifatnya basa akan diionisasi dan dikumpulkan
dalam urin yang asam.
Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam)
mempercepat eliminasi dari herbisida chlorphenoxyacetic acid,
klorpropamid, diflunisal, fluorida, metotreksat, fenobarbital, sulfonamid, dan
salisilat.
Kontraindikasi diuresis paksa meliputi gagal jantung kongestif, gagal
ginjal, dan edema otak. Parameter asam-basa, cairan, dan elektrolit harus
dimonitor dengan cermat.
Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari amfetamin, klorokuin,
kokain, anestetik local, phencyclidine, kinidin, kinin, strychnine,
simpatomimetik, antidepresan trisiklik, dan tokainid. Namun penggunaannya
banyak dilarang karena potensial terjadi komplikasi dan efektifitas kliniknya
tidak banyak.
 
c. Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal
Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon atau resin,
hemofiltrasi, plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk
mengeluarkan toksin dari aliran darah. Kandidat untuk terapi-terapi ini
adalah :
a) penderita dengan keracunan berat yang mengalami deteriorasi klinis
walaupun sudah diberi terapi suportif yang agresif;
b) penderita yang potensial mengalami toksisitas yang berkepanjangan,
ireversibel, atau fatal;
c) penderita dengan kadar racun darahnya dalam tingkat yang berbahaya;
d) penderita yang dalam tubuhnya tidak mampu dilakukan detoksifikasi
alami seperti pada penderita gagal hati atau gagal ginjal;
e) serta penderita keracunan dengan penyakit dasar/komplikasinya yang berat
d. Tehnik eliminasi lainnya
Logam berat dapat lebih cepat dieliminasi dengan khelasi. Pengeluaran
karbon monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian oksigen
hiperbarik.
 

Pemberian antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir
racun (reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia),
mengantagonis efek fisiologis racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang
berlawanan, memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/ reseptor substrat tsb.).
Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun sebagian besar
juga potensial toksik. Penggunaan antidot agar aman membutuhkan
identifikasi yang benar keracunan spesifik atau sindromnya.
Pencegahan Paparan Ulang
Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa yang pernah terpapar
racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi penggunaan obat dan bahan kimia yang
aman (sesuai yang tertera pada labelnya). Penderita yang menurun kesadarannya harus dibantu
dalam meminum obatnya. Kesalahan dosis obat oleh petugas kesehatan membu-tuhkan
pendidikan khusus bagi mereka.
Penderita harus diingatkan untuk menghindari lingkungan yang terpapar bahan kimia
penyebab keracunan. Departemen Kesehatan dan instansi terkait juga harus diberi laporan bila
terjadi keracunan di lingkungan tertentu/tem- pat kerja.
Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya terbaik adalah membatasi
jangkauan terhadap racun/obat/bahan/minuman tsb.
Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian psikiatrik, disposisi, dan follow-
up. Bila mereka diberi resep obat harus dengan jumlah yang terbatas dan dimonitor kepatuhan
minum obatnya, serta dinilai respon terapinya.

Anda mungkin juga menyukai