Anda di halaman 1dari 28

Eksistensi

dan
Martabat
Hidup
Manusia
Pertanyaan Dasar ksistensi Manusia
• Manusia adalah mahkluk yang bertanya
• Secara kodrati, manusia mempunyai akal budi
(rasio), hati nurani (psiko) dan kebebasan kehendak
(moral).
• Sepanjang sejarah, manusia mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan eksistensial hidup manusia.
   Siapakah manusia itu?
 Apa arti hidup ini, mengapa aku harus mati?
 Dari mana aku berasal?
 Untuk apa aku ada di dunia?
 ”Saya Mencari Manusia”
 Manusia tidak dengan sendirinya bertindak dan
hidup sebagai manusia
 Manusia bisa juga hidup dengan cara yang
menyeleweng dari kemanusiaannya yang sejati
(Dosa: aversio a Deo & aversio ab homine—
excarnatio & incarnatio)
 ’Manusia’ sama dengan mutu hidup tertentu
 Manusia adalah makhluk yang berbeda sekali
dengan makhluk-makhluk lain
 Tidak ada makhluk lain yang dapat menjadi
terasing dari dirinya sendiri, selain manusia
Manusia Dalam Perspektif Penciptaan: Imago Dei

 Kejadian, hakikat, dan tujuan umat manusia tidak


dapat dimengerti terlepas dari Allah, yang
menciptakannya menurut gambar dan rupa Allah
(Kejadian 1:26-27)
 Manusia adalah puncak dari seluruh ciptaan Allah—
Manusia adalah batu penjuru dan mahkota ciptaan.
 Penciptaan manusia merupakan bagian penting dari
rencana kekal Allah
 KS pertama-tama merupakan wahyu Allah berkenaan
dengan umat manusia.
Manusia Dalam Perspektif Penciptaan: Imago Dei

 Makhluk lain diciptakan menurut “jenis-jenisnya”


(Kej 1:20.24-25). Manusia tidak diciptakan menurut
“jenisnya”, tetapi menurut “gambar” Allah.
 Manusia bukan merupakan perkembangan dari
makhluk yang lebih rendah (menurut “jenisnya”).
 Manusia mempunyai aspek batin (dalam) yang
bersifat rohani (spirit) berasal dari roh, nafas Allah.
Aspek lahir (luar) diciptakan dari materi yang ada
(debu tanah).

5
The Creation of Adam dilukis oleh  Michelangelo
di kapel fresco Sistine pada tahun 1511

Dasar dari mengapa manusia “BERMARTABAT”, karena hakekat


pandangan Gereja, bahwa manusia sebagai ‘CITRA ALLAH’
MAKNA “CITRA ALLAH”

 Menurut citra Allah: aspek dari kebenaran


asali.
– Manusia pada mulanya diciptakan dengan “amat
baik” (Kej. 1:31)
– Status tidak berdosa ini hilang ketika manusia
jatuh ke dalam dosa.
– Melalui karya penyelamatan Allah, orang
beriman diperbaharui “citra Allah”-nya.

7
MAKNA “CITRA ALLAH”

 Menurut citra Allah: aspek rasionalitas


– Manusia diciptakan dengan kemampuan
reasoning—ia memiliki kecakapan akal budi, dan
kemampuan moral untuk berpikir dan memilih.
– Sifat-sifat ini melampaui bentuk kehidupan
binatang (yang cenderung bertindak atas dasar
instink). Manusia memiliki kodrat dasar yang
bersifat spiritual (basic spiritual nature of man);
– Kemampuan ini menjadi rusak akibat dosa.

8
MAKNA “CITRA ALLAH”

 Menurut citra Allah: aspek spiritualitas


– Manusia tidak hanya makhluk jasmani (fisik),
tetapi juga makhluk spiritual, yang mampu
menjalin persahabatan dan berkomunikasi
dengan Penciptanya.
– Kita memiliki kemampuan untuk membangun
relasi dengan Allah.
– Aspek ini tidak hilang pada saat manusia jatuh
ke dalam dosa.

9
MAKNA “CITRA ALLAH”

 Menurut citra Allah: aspek immortalitas


(keabadian)
– Roh dan jiwa manusia akan hidup abadi.
– Manusia akan meneruskan kehidupannya
setelah kematian.
– Keabadian manusia tidak dalam arti yang sama
dengan keabadian Allah; keabadian manusia
hanya berada dalam satu arah. Manusia
memiliki jiwa (soul) yang bersifat rohani
(spiritual): jiwa-rohani, yang tak tampak dan tak
dapat mati;
MAKNA “CITRA ALLAH”

 Menurut citra Allah: aspek persahabatan & hubungan


– Berada dalam relasi (Bapa, Putera, dan Roh Kudus)
– Hakikat Allah adalah relasional.
– Allah menciptakan manusia untuk berelasi.
– Allah menciptakan Hawa bagi Adam yang seorang diri.
– Allah menyatakan bahwa “Tidak baik manusia hidup
sendirian” itu dimaksudkan bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Mereka tidak dapat berkembang secara
penuh dan utuh dalam isolasi dengan sesamanya.
– “No man is an island”
Manusia sebagai Citra Allah

Manusia mencerminkan atau pancaran dari


Allah, sehingga di dalam setiap pribadi
manusia, kita dapat melihat gambaran atau
pantulan rupa Allah
Semua manusia, dimana pun dan
apapun itu, dari kekurangan, cacat,
kelemahan, tetap pribadi yang
bermartabat. Martabat itu bukan
diukur dari segi lahiriah, tetapi dari
siapakah dirinya sebenarnya, yaitu
pribadi yang telah diciptakan Allah
sesuai dengan CitraNya (seturut
gambar dan rupaNya).

Maka dalam hal apapun, pribadi


manusia tidak dapat diperalat demi
sebuah tujuan yang jauh dari
perkembangan martabat manusia
Karena martabat itulah,
Setiap orang memiliki
kesetaraan dan hak
asasi di hadapan Allah.
Hak asasi manusia
adalah hak-hak yang
telah dipunyai
seseorang sejak ia
dalam kandungan.
Hak ini dimiliki oleh manusia karena
semata – mata ia seorang manusia,
bukan karena pemberian
masyarakat atau pemberian dari
negara. Maka hak asasi manusia itu
tidak pernah tergantung dari
pengakuan manusia lain, masyarakat
lain, atau negara lain. Hak asasi ini
melekat karena manusia diciptakan
oleh Allah. Hak asasi manusia ada
dan melekat pada setiap manusia.
Oleh karena itu, bersifat universal,
artinya berlaku di mana saja dan
untuk siapa saja dan tidak dapat
diambil oleh siapapun.
Hak pertama yang
paling hakiki dan
merangkum
keseluruhan adalah hak
atas kehidupan atau
hak hidup. Hak untuk
hidup sejak pembuahan
hingga akhirnya
berkembang secara
alamiah, merupakan
dasar dari hak-hak yang
lainny a
Dosa
merupakan
sebuah
serangan
langsung
terhadap
martabat
manusia yang
luhur.

Namun Martabat Manusia ini, sering dihancurkan oleh dosa


dan kejahatan. Akibat-akibat dosa, menjadikannya tindak
pemisahan, keterasingan, keterpisahan manusia bukan saja dari
Allah melainkan juga dari dirinya sendiri, dari sesamanya dan
dari dunia sekitarnya.
• Melalui dosa inilah, biasanya terjadi perbuatan
yang melanggar hukum yang berlaku di
masyarakat.
• melanggar hukum atau undang-undang pada
akhirnya akan merusak hubungan dan martabat
antar manusia, bahkan menghancurkannya, dan
inilah yang dimaksudkan dengan kejahatan.
• Kejahatan sebagai dampak dari dosa tidak hanya
bersifat pribadi, tetapi juga sosial sehingga
menimbulkan tidak hanya aspek moral melainkan
juga yuridiksi atau hukum. Itu nyata dalam :
Perang, Euthanasia, Aborsi, Genosida, dll.
Refleksi
• Sejauh mana martabat manusia sebagai Imago
Dei sekarang ini dipahami?
• Bagaimana agar martabat manusia bisa
dipertahankan sesuai dengan Citra Allah?
• Sejauh mana situasi keberdosaan menjangkiti
kehidupan kita sehari-hari?
Pengalaman Religius
• Kerinduan akan pertanyaan eksistensial
manusia tentang makna hidupnya sekaligus
kesadaran akan keterbatasan dirinya,
melahirkan perjumpaan manusia dengan
“Ada yang Tak Terbatas”.
• Pengalaman perjumpaan itu terjadi di dalam
peristiwa hidup harian manusia.
• Di sinilah manusia mengalami apa yang
disebut sebagai pengalaman religius.
Pengalaman religius merupakan
pengalaman pertemuan antara manusia
dengan Allah sebagai hakikat tertinggi.
Artinya, pengalaman-pengalaman profan
yang dialami manusia diangkat menjadi
pengalaman iman, sehingga manusia
menyadari adanya kehadiran dan peran
Tuhan dalam peristiwa hidupnya itu.
Pengalaman religius dapat dirumuskan
sebagai suatu pandangan atau visi yang
secara intuitif melihat bahwa Allah hadir
dalam dunia dan dalam kehidupan
manusia.
• Pengalaman religius mengarahkan
manusia kepada Allah sebagai jawaban
terakhir atas pertanyaan eksistensial:
darimana aku datang dan ke mana aku
akan pergi.
• Manusia mengalami yang Ilahi sebagai
dasar dan sumber hidupnya yang
terbatas ini.
Pengalaman Religius dan Non-religius
a) Pengalaman religius mengandung unsur adanya
transendensi Allah sebagai Hakikat Tertinggi,
sedangkan pengalaman bukan religius tidak
mengandung unsur adanya transendensi Allah.
b) Pengalaman religius mengarah kepada pengenalan
yang semakin mendalam akan pribadi Allah sebagai
yang berbelas kasih, baik hati dan maha pengampun.
Sebaliknya, pengalaman non-religius menciptakan
pengenalan negatif akan Allah: Allah digambarkan
sebagai hakim yang tidak adil, menuntut korban,
membinasakan dan menghancurkan.
Pengalaman Religius dan Non-religius
• Ada 2 kriteria : Kriteria intern berasal dari manusia
sendiri, berupa: pertama, akal budi yang bertugas
untuk mengerjakan, mengolah dan menyelidiki
data-data pengalaman secara kritis. Kedua, unsur
refleksi yang menentukan berkembang tidaknya
pengalaman religius dalam diri masing-masing
pribadi yang mengalaminya. Kriteria ekstern
berasal dari luar diri manusia dan dunia, yakni
adanya unsur wahyu adikodrati. Maksudnya,
melalui pengalaman religius, Allah berkenan
mewahyukan Diri kepada manusia pilihan-Nya
secara khusus.
Pentingnya Pengalaman Religius:
1. Titik awal/penyebab berdirinya Agama
Semua agama muncul karena
Pengalaman Religius tokoh-tokoh
pendirinya
2. Menyebabkan tetap hidup dan semakin
berkembangnya Agama.
Agama akan mati bila pengikutnya
tidak memiliki Pengalaman akan
Tuhan.
Bagaimana memupuk Pengalaman Religius:

1. Terus mensyukuri anugerah-anugerah yang


tiap saat diterima.
 Dengan terus bersyukur, orang menjadi
rendah hati dan semakin merasakan
betapa besar kasih Tuhan.
2. Mengikuti kebaktian dan devosi
 Dengan terus mengikuti kebaktian dan
devosi, hubungan dengan Tuhan menjadi
dekat.
REFLEKSI:

1. Temukan dan tuliskanlah sebuah


pengalaman/peristiwa yang paling berkesan
dan menentukan hidupmu!
2. Apakah Allah “hadir” dalam
pengalaman/peristiwa tersebut? Gambaran
Allah seperti apa yang kamu kenal melalui
peristiwa tersebut?

Anda mungkin juga menyukai