Anda di halaman 1dari 16

Is Guillain-BarrèJournal Reading

syndrome triggered by
SARS-CoV-2? Case report and literature
review
Penyusun :
Selvira Pratiwi – 202020401011127
Pembimbing :
dr. Rosari Listiana, Sp.S

KSM ILMU SARAF DAN REHABILITASI MEDIK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR SOEDOMO KABUPATEN TRENGGALEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
2
Pendahuluan
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS- CoV-2) adalah agen infeksi
coronavirus disease 2019 (COVID-19). Berawal dari kasus pertama yang tercatat di
Wuhan (China) pada Desember 2019, SARS-CoV-2 dengan cepat menyebar ke seluruh
dunia, membuat Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan pandemi. Hingga saat ini,
kasus yang dikonfirmasi di dunia sekitar 6,6 juta dan lebih dari 390.000 kematian.

Gejala yang paling sering dijelaskan adalah gejala pernapasan dan gastrointestinal.
Namun, komplikasi neurologis baru-baru ini telah dilaporkan, termasuk pusing, sakit
kepala, kejang demam, mialgia, ensefalopati, ensefalitis, stroke, dan penyakit saraf
tepi.

3
Pendahuluan
✔ GBS adalah poliradikuloneuropati yang dimediasi oleh imun akut yang sering dikaitkan dengan
paparan infeksi sebelumnya. Subtipe GBS (AIDP dan AMSA) sudah ditemukan pada pasien COVID-
19.
✔ Secara klinis, GBS ditandai dengan kelemahan tungkai atau saraf kranial, hilangnya refleks tendon,
gejala gangguan sensorik, dan kerusakan aksonal.
✔ Sekitar 60% dari semua GBS didahului oleh gejala saluran pernapasan atau gastrointestinal [10].

4
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
untuk menjelaskan lebih lanjut tentang manifestasi neurologis COVID-
19, bukan sebagai akibat wajar dari gejala pernapasan dan
gastrointestinal klasik, tetapi sebagai gejala klinis mandiri terkait SARS-
CoV-2.
Metode Penelitian
Case Report : ✔ Pria, 68 tahun ✔ Sepuluh hari sebelum
✔ Gejala : masuk, batuk kering
tetraparesis ascending dengan demam,
yang progresif akut dysgeusia, dan
hiposmia.
✔ Riwayat kesehatan pasien
: ✔ Manifestasi
dislipidemia, BPH, neurologis dimulai 5
hipertensi, dan aneurisma hari kemudian
aorta abdominal dalam dengan kelemahan
follow-up. akut progresif pada
ekstremitas bawah 6
✔ Saat masuk, saturasi oksigen adalah 96%, dengan respiratory rate (RR) 17 x/ menit, dan
suhu tubuh 37,2 ° C.
✔ Hasil swap orofaring RT-PCR didapatkan hasil positif untuk SARS-CoV-2. Tidak ada
temuan patologis pada auskultasi pada pemeriksaan objektif paru.
✔ Pasien kemudian diisolasi dan obat antivirus telah diberikan.
✔ Pemeriksaan neurologis menunjukkan kelumpuhan saraf bifasial (House-Brackmann
grade 3) dan kelemahan otot.
✔ Tidak ada defisit sensorik yang tercatat. Tanda iritasi meningeal belum ditemukan.

7
Analisis laboratoris dasar menunjukkan :
✔ trombositopenia (101 × 109 / L, nilai referensi: 125-300 × 109 / L) dan
limfositopenia (0,48 × 109 / L, nilai referensi: 1,1–3,2 × 109 / L).
✔ Penilaian cairan serebrospinal menunjukkan disosiasi albuminositologis
dengan peningkatan kadar protein (98 mg / dL, nilai referensi: 8–43 mg /
dL) dan jumlah sel normal (2 × 106 / L, nilai referensi: 0–8 × 106 / L).

8
✔ Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinisasi  melambatnya atau
terbloknya hantaran saraf
✔ Empat hari setelah gejala neurologis dan tanda-tanda onset, studi konduksi saraf
motorik menunjukkan keterlambatan hantaran saraf akibat demielinisasi  sesuai
dengan kriteria diagnostik GBS.
✔ Diagnosis sindrom Guillain-Barré kemudian dibuat. Imunoglobulin intravena
diberikan dengan dosis 0,4 g / kg selama 5 hari.
✔ Tiga puluh hari setelah rawat inap, setelah hasil negatif usap orofaring untuk SARS-
CoV-2, pasien dipulangkan untuk melanjutkan program rehabilitasi di rumah.

9
Metode Penelitian
Literatur Penelusuran artikel di Pubmed dan Scopus

e
Review
dengan merujuk silang kata kunci berikut: “Guillan-Barrè”, “Guillan-
Barrè syndrome”, “COVID-19”, “SARS-CoV-2”, “para-infectious”,
“post-infectious”, “molecular mimicry”, “neuropathy”, “flaccid”,
“polyradiculoneuropathy”, “ACE- 2”, “pathogenesis”.

Kriteria inklusi adalah laporan manifestasi klinis GBS pada pasien


COVID-19. Sampai saat ini, 6 Juni 2020, 16 makalah telah diterbitkan
mengenai korelasi GBS-SARS-CoV-2
10
Diskusi
✔ Tidak ada prevalensi jenis kelamin, dan usia rata-rata pasien
adalah 61 tahun.
✔ Kasus pasca infeksi lebih dominan daripada kasus para
infeksius.

11

12
Diskusi
✔ Mekanisme patofisiologis dari GBS adalah “mimikri molekuler” : respon autoimun
yang menyimpang terhadap infeksi sebelumnya  reaksi silang terhadap antigen
saraf perifer (misalnya produksi antibodi anti-gangliosida dalam subtipe AMSAN
GBS didahului oleh infeksi Campylobacter jejuni).
✔ Kerusakan jaringan saraf SARS-CoV-2 dapat terkait dengan mekanisme
neuroinvasif langsung (melalui pengikatan langsung dengan reseptor ACE-2) dan
injury tidak langsung pada sistem imun.
✔ mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh kekebalan dapat disebabkan oleh
aktivasi berlebihan dari sistem kekebalan dengan hiperproduksi interleukin-6
sehingga menimbulkan reaksi autoimun.
13
✔ Diagnosis GBS terkait SARS-CoV-2 pada pasien didukung oleh serangkaian
temuan laboratorium yang terkait dengan gejala klinik dan data elektrofisiologi.
✔ Pemeriksaan serologi dari patogen yang terkait dengan GBS didapatkan hasil
negatif. Tes antibodi untuk penyakit autoimun terkait GBS juga negatif.
✔ Selanjutnya, untuk mendukung diagnosis GBS, didapatkan disosiasi
albuminositologis.
✔ Berdasarkan data anamnesis, laboratorium, neurofisiologis, dan klinis yang
dikumpulkan, kami dapat mendukung korelasi antara timbulnya GBS dan COVID-
19.

14
Kesimpulan
Manifestasi neurologis COVID-19 masih dalam
penelitian. Kasus yang kami jelaskan tentang GBS
pada pasien COVID-19 mendukung teori bahwa
SARS-CoV-2 pemicu GBS. Gejala klinis saraf terkait
COVID-19 mungkin harus dilihat bukan sebagai
akibat wajar dari gejala pernapasan dan
gastrointestinal, tetapi sebagai gejala klinis mandiri
terkait SARS-CoV-2.
Sampai saat ini, penting bagi semua Spesialis, dokter
dan ahli bedah, untuk mengarahkan perhatian pada
studi virus ini, untuk lebih memperjelas spektrum
manifestasi neurologisnya.
15
Terima Kasih

16

Anda mungkin juga menyukai