Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL READING

ROLE OF RADIOTHERAPY IN TREATING PATIENTS WITH


PRIMARY MALIGNANT MEDIASTINAL NON-SEMINOMATOUS
GERM CELL TUMOR : A 21- YEAR EXPERIENCE AT SINGLE
INSTITUTION
Pembimbing :
dr. Wayan Mahaputera Sp. Rad (K) Onk

Oleh :
Nama : Silvie Widya Octrisia
NRP : 1522320017

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
SURABAYA
2021
Pendahuluan
 Mediastinum merupakan daerah yang paling umum untuk tumor sel germinal ekstragonadal primer
(GCT), yang menempati sekitar 10-15% dari tumor mediastinal.
 Setelah diperkenalkannya kemoterapi berdasarkan Cisplatin, harapan hidup pasien malignant
mediastinal non-seminomatous germcell tumor (MMNSGCT) mengalami peningkatan secara
dramatis: tingkat harapan hidup lima tahun meningkat dari 30% menjadi 60%.
 Karena GCT mediastinal primer jarang, publikasi resmi yang mempelajari sejumlah besar pasien
masih jarang ada dalam 20 tahun terakhir. Tidak ada kesepakatan apakah kemoterapi berdasarkan
cisplatin sistemik yang dikombinasikan dengan pembedahan atau terapi radiasi efektif terhadap
MMNSGCT.
 Dalam praktik klinis, terapi radiasi telah digunakan untuk penyakit yang tidak dapat direseksi atau
residual. Meskipun faktanya bahwa teknik modern telah dipertimbangkan dalam 20 tahun terakhir,
namun tidak ada evaluasi tentang apakah radiasi yang telah dilakukan dapat secara substansial
bermanfaat pada pasien MMNSGCT.
Alat dan Bahan
 Diagnosis MMNSGCT secara klinikopatologis didefinisikan sebagai seluruh
pasien dengan massa benjolan mediastinal yang datang tanpa adanya massa
testikular atau ovarium yang terdeteksi secara klinis selama perjalanan penyakit.
 Petanda tumor serum (STM), khususnya gonadotropin korionik subunit β (β-
HCG), diukur sebelumnya dalam berturut-turut 30 dan 24 pasien. Sebanyak total
62 kasus dengan MMNSGCT teridentifikasi pada rumah sakit kami selama
periode 21 tahun sejak 1990 hingga 2010. Data yang mencukupi dari 61 pasien
diperoleh dan dimasukkan dalam studi ini.
 Radioterapi diberikan dengan akselerator linear menggunakan sinar X 6-8 MV pada 1,8-2
Gy per fraksi (5 hari per minggu) tanpa kemoterapi bersamaan, meliputi teknik radioterapi
2D conventional radiation therapy (2DRT) untuk 13 pasien, 3D conformal radiation
therapy (3DCRT) untuk satu pasien, dan Intensity-modulated radiation therapy (IMRT)
untuk delapan pasien.

 Untuk 2DRT, lapangan penyinaran meliputi jaringan tumor, mediastinum ipsilateral, dan
hilum ipsilateral. Batas atas adalah tonjolan suprasternal meliputi fossa supraklavikular
ipsilateral bila tumor melampaui mediastinum, dan batas bawah adalah 5 cm di bawah
batas distal reseksi. 2DRT dilakukan dengan dua lapangan anterior-posterior paralel
berlawanan sebesar 40 Gy, diikuti dengan penyinaran dengan dua lapangan oblik yang
berlawanan dengan jaringan tumor dengan tujuan untuk menghindari korda spinalis, untuk
meningkatkan dosis total sebesar 50-60 Gy.
 Untuk 3DCRT dan IMRT, volume target klinis (CTV) didefinisikan sebagai volume tumor
gross/residual yang tampak pada gambaran sebelum terapi dari tomogafi komputer dada
atau jaringan tumor ditambah dengan batas 0,5 cm dan 2 cm di atas batas proksimal dan
distal dari tumor atau reseksi, meliputi fossa supraklavikular ipsilateral bila tumor
melampaui mediastinum.
Gambaran klinis
Rangkuman distribusi
demografis dan variabel
pengobatan. Populasi pasien
terdiri dari laki-laki (52 laki-
laki dibandingkan 9
perempuan) dengan usia
median 25 tahun (rentang 12-
65 tahun). Menurut skema
derajat klinis 13 (21,3%) pasien
mengalami tumor derajat I dan
22 (36,1%) mengalami derajat
II, seluruhnya dikelompokkan
sebagai Limited Disease (LD)
dalam studi ini. Dua puluh
enam (42,6%) pasien
mengalami Extensive Disease
(ED), 14 (23%) pada derajat
IIIa dan 12 (19,7%) pada
derajat IIIb.
Pengobatan dan Respon
 Dalam regimen pengobatan primer, terapi modalitas tripel (pembedahan, kemoterapi, dan
radioterapi) dilakukan pada 14 (23,0%) pasien, terapi modalitas dual (kemoterapi disertai
pembedahan (n=21) atau radioterapi (n=5) pada 26 (42,6%) pasien, dan terapi tunggal
pembedahan (n=10), kemoterapi (n=8), atau radioterapi (n=1) dilakukan pada 19 (31,1%)
pasien; sisa 2 pasien menerima kombinasi radioterapi dan pembedahan.
 Dua puluh dua pasien menerima radioterapi ajuvan (n=21) atau definitif (n=1) dalam
regimen pengobatan primer (Tabel 1), dengan dosis median sebesar 52 Gy (rentang 30Gy-
66Gy). Dari pasien tersebut, lima meninggal karena metastasis, tiga meninggal karena
rekurensi lokal, dan 14 pasien harapan hidupnya mengalami pemanjangan selama + 6,5
tahun di mana pada saat tersebut dua mengalami metastasis dan dua mengalami rekurensi
lokal. Lima pasien menerima dosis radiasi di bawah 45 Gy dan memiliki hasil yang buruk
secara signifikan, sedangkan dua meninggal karena metastasis dan dua meninggal karena
rekurensi lokal.
 Selama rangkaian radioterapi, empat pasien mengalami toksisitas hematologis > derajat II.
Tujuh pasien mengalami esofagitis akut derajat II (n=4) dan III (n=3) , dan satu pasien
mengalami pneumonitis derajat III. Komplikasi lanjut ditemukan pada enam pasien
dengan pneumonitis radiasi derajat I. Tidak ada morbiditas lanjut yang tampak selama
tindak lanjut.
Prognosis

 Seluruh kejadian kekambuhan terjadi dalam tiga tahun setelah selesai pengobatan dan 43 pasien
mengalami perburukan penyakit, di antaranya 19 mengalami rekurensi lokal, 12 mengalami
metastasis, lima mengalami rekurensi lokal yang bersamaan dengan metastasis, lima menunjukkan
penyakit yang tidak terkendali, rincian rekurensi pada dua lainnya tidak diketahui.
 Menurut metode Kaplan-Meier yang menggolongkan berdasarkan variabel, kemoterapi secara
signifikan berhubungan dengan OS yang lebih baik, khususnya untuk pasien LD. OS lima tahun
sebesar 54,2% pada pasien yang menerima kemoterapi lebih tinggi dibandingkan 30,8% pada pasien
yang tidak menerima kemoterapi (P = 0,008).
 Pasien yang mendapatkan radioterapi sebagai bagian dari
regimen pengobatan primer mereka memiliki OS lima tahun
yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak
menerima radioterapi (68,2% dibandingkan 38,5%, P=0,038)
(Gambar 2), dan hasil ini juga diamati pada kasus LD (91,7%
dibandingkan 52,2%, P=0,036) (Tabel 2).

 Hasil yang serupa diamati untuk PFS lima tahun (Gambar 3),
dan hasil ini juga diamati pada kasus LD (75,0% dibandingkan
30,4%, P=0,016).

 Tidak ada perbedaan pada OS dan PFS yang diamati antara


kasus ED yang diterapi radioterapi maupun non-radioterapi.
Analisis dari LRFS lima tahun menunjukkan bahwa radioterapi
memperbaiki prognosis pada seluruh pasien (77,3%
dibandingkan 38,5%, P=0,003) (Gambar 4), pada pasien LD
(83,3% dibandingkan 43,5%, P=0,025) dan pada pasien ED
(70,0% dibandingkan 31,3%, P=0,049).
Diskusi
 Sebagaimana yang telah dilaporkan sebelumnya, pasien dengan penyakit ekstra
mediastinal, khususnya mereka dengan penyakit ekstratorasik pada saat datang,
menunjukkan harapan hidup yang buruk dibandingkan dengan pasien yang menunjukkan
tumor pada mediastinum, mendukung sistem derajat yang dirancang oleh Moran dan
Suster.
 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa radioterapi merupakan pilihan pengobatan lokal
yang efektif serta faktor prognostik independen untuk hasil. Sekitar dua pertiga pasien
dalam studi ini tidak menerima radioterapi dan menunjukkan OS, PFS, dan LRFS yang
buruk. Hasil mungkin dapat diperbaiki bila lebih banyak pasien yang menerima
radioterapi setelah kemoterapi lini pertama.
Kesimpulan
 Sebagai kesimpulan, karena jarangnya tipe tumor dan peranan pembedahan pada
pengobatan lokal yang masih belum jelas, data pada penelitian ini memberikan
bukti bahwa radioterapi bisa menjadi pilihan yang bijaksana untuk pengobatan
dari tumor yang kambuh terhadap kemoterapi berbasis platinum sebagai cara
untuk menurunkan rekurensi lokal dan memperbaiki harapan hidup; namun, dosis
sebesar 55-60Gy atau lebih mungkin dibutuhkan untuk mencapai pengendalian
lokal.
THANK YOU
Pertanyaan
 Andrea : 2drt, 3drct, imrt perbedaannya?

Anda mungkin juga menyukai