Anda di halaman 1dari 82

BAB 10

PENILAIAN KINERJA
KONVENSIONAL
1.1 Pengertian Kinerja
Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atau the degree of accomplishment atau tingkat
pencapaian tujuan organisasi (Keban, 2000)

Undang-undang mengenai kinerja dan produk pemerintahan di AS => pimpinan unit-


unit organisasi pemerintah diwajibkan mengembangkan perencanaan kinerja tahunan
yang menggunakan pengukuran kinerja untuk memperkuat hubungan antara tujuan
strategis jangka panjang dan kegiatan sehari-hari dari manajer dan stafnya ( GAO,
dalam Dwiyanto, 2000)

Sandra J Hale (dalam Salusu, 1998) menyatakan : Dua cara utama bagi organisasi
untuk mencapai kinerja yang tinggi, yaitu :

a. Memusatkan pada misi b. Memastikan bahwa seluruh


yang berorientasi pada pegawai dilibatkan sepenuhnya
komitmen dalam mengelola pekerjaannya
Rumler dan brache (dalam Salusu, 1998) mengemukakan
tiga tingkatan kinerja

Organization level,
menekankan pada hubungan organisasi
dengan pasar dan fungsi-fungsi utamanya yang
tergambar dalam kerangka dasar struktur
organisasi serta mekanisme kerja yang ada.

Process level
menekankan pada proses kegiatan
antar fungsi.

Job/performance level
menekankan pada individu-ndividu
yang melaksanakan proses
pekerjaan.
The Nine Performance Variables
Performance Level Performance Need
Goals Design Management
Organization Organization Goals Organization Organization
Design Management
Proccess Process Goals Process Design Process
Management
Job/Performance Job Goals Job Design Job Management
Keefektifan sistem pengukuran ditentukan dari
kemampuannya memenuhi tujuan dari pengukuran
kinerja tersebut.(Sellenheim,1991;153)

Faktor sukses penting yang digunakan oleh manajemen,


berikut :

1. Fleksibel utuk berubah

2. Sederhana dan mudah dipahami

3.Mempertimbangkan faktor non


finansial dan juga faktor finansial

4.Memberikan penegasan yang efektif


Langkah-langkah kunci dalam perancangan sistem pengukuran kinerja
yang efektif meliputi (Tatikonda & Tatikondar, 1998;50)

Identifikasi misi dan strategi tujuan


1

Mentranslasikan tujuan kedalam sub tujuan yang


2 spesifik

Pengembangan ukuran yang cocok


3
Menurut Horgen ukuran kinerja yang efektif dan baik
mempunyai karakteristik ( Horgen et al, 1996;341)

1. Berhubungan dengan tujuan perusahaan


2. Mempunyai perhatian yang seimbang antara jangka pedek
dengan jangka panjang
3. Menggambarkan aktivitas kunci manajemen
4. Dipengarhi oleh tindakan karyawan
5. Mudah dipahami oleh karyawan
6. Dipergunakan dalam evaluasi dan pemberian imbalan
karyawan
7. Bertujuan logis dan merupakan tujuan yang mudah
8. Digunakan secara konsisten dan teratur
ASPEK PERILAKU DALAM PENGUKURAN KINERJA

Meskipun tujuan pengukuran kinerja untuk menekan


perilaku yang tidak semestinya dan untuk mendorong
perilaku yang smestinya diinginkan, pengukuran
kinerja juga dapat memicu respon perilaku yang tidak
semestinya dimana orang akan berusaha
memanipulasi informasi dengan mengubah sifat dan
waktu pelaporan agar kinerja yang terlibat dalam
memaksimumkan tujuan pribadinya ( Siegel &
Marconi, 1989;209)
Konsep goal congruence merupakan konsep
ideal untuk menyelaraskan tujuan individual
dengan tujuan perusahaan. Penciptaan goal
congruence meliputi banyak faktor, diantaranya
kepemimpinan organisasi yang kuat, kepuasan
kerja, imbalan yang mencukupi, kesempatan
untuk kenaikan jabatan dan lingkungan kerja
yang mendukung (Atkinson et al, 1995;576)
1.2 UKURAN KINERJA SEBAGAI SISTEM YANG
TERINTEGRASI

Menurut James D Tarr,


• Ukuran kinerja merupakan suatu sistem yang dibuat sebagai
bagian dari implementasi rencana dari seluruh strategi organisasi.
• Sejalan dan memberikan dukungan terhadap seluruh tujuan
organisasi.
• Dapat emberikan arah dan gambaran dari nilai-nilai budaya
organisasi.
• Harus menekankan pelaksanaan continous improvement strategy.
• Terfokus pada fungsi pengukuran sebagai alat informasi.
• Mulai menghilangkan celah yang tepat memungkinkan timbulnya
management jugdement.
• Harus selalu melakukan evaluasi terhadap hal yang engkait
perubahan tujuan dan strategi organisasi.
1.3 UKURAN KINERJA MENURUT D SCOTT
SINK DAN GEORGE L SMITH
Sink, D Scott dan Smith, L George. (1999) menjelaskan bahwa sistem manajemen
sebagai mekanisme dalam membangun suatu improvement cycles yang efektif,
adalah merupakan suatu gambaran proses Plan-Do-Study-Act.

Langkah –langkah
a. Sistem ukuran kinerja akan efektif apabila ada pemahaman sistem organisasi yang
mencakup tujuan, model yang tepat, cara kerja dan kinerjanya, serta strategi dan
kebijakan yang mendasarinya
b. Perlu adanya hubugan partnership yang jelas sebagai vendor sebagai perancang
sistem dan customer yaitu manajer, sehingga target sistem ukuran jelas
c. Pemahaman dalam karakteristik keputusan dan pelaksanaanya, akan sangat
membantu dalam menjalankan suatu sistem orgaisasi. Menerjemahkan orientasi
hasil yang spesifik, sehingga indikator ukuran kinerja akan lebih spesifik
d. Pemanfaatan terhadap pemahaman sistem ukuran lama untuk membangun sistem
ukuran kinerja yang lebih baik.
1.4 UKURAN KINERJA DALAM CONTINOUS
IMPROVEMENT STRATEGY MENURUT
JAMES D TARR

Menurut Tarr, James D (1996), suatu perubahan organisasi dipengaruhi


oleh pergeseran penekanan kerja dari action based ke knowledge based,
dan berdampak pada keunggulan kompetitif yang tidak lagi secara
otomatis dapat dipertahankan.

Continous improvement process merupakan keharusan untuk


memberikan respon yang cepat dalam pengembangan knowledge based
pada sumber daya yang dimilikinya. Sehingga dibutuhkan adanya sistem
ukuran kinerja yang tepat untuk mendefinisikan karakteristik kinerja yang
dibutuhkan dalam continous improvement process.
Elemen Kunci Yang Memperjelas Indikator Suatu
Sistem Ukuran Kinerja Dikatakan Komprehensif,
Antara Lain :
• Ukuran kinerja harus merupakan suatu sistem yang dibuat sebagai bagian dari
implementasi rencana dari seluruh strategi perusahaan.
• Setiap ukuran kinerja harus dapat sejalan dan memberikan dukungan terhadap
keseluruhan tujuan perusahaan.
• Sistem dan metodologi ukuran kinerja harus dapat memberikan arah dan gambaran
darinilai-nilai budaya perusahaan.
• Vector Measure, harus menekankan pelaksanaan continous improvement strategy.
• Sistem harus berfokus pada fungsi pengukuran sebagai alat informasi, bukan sebagai
alat kontrol.
• Sistem pengukuran kinerja hendaknya mulai menghilangkan celah yang dapat
memungkinkan timbulnya menagement judgement.
• Sistem ukuran kinerja harus selalu melakukan evaluasi terhadap hal yang menyangkut
perubahan tujuan dan strategi perusahaan, revisi dari sistem dan proses, serta tibulnya
ukuran-ukuran yang bersifat menghambat.
1.5 UKURAN KINERJA MANAJEMEN
OPERASI MENURUT ROBERT VOKURKA
DAN GENE FLIEDER

Menurut Vokurka, R dan Flieder, G (1995), suatu organisasi akan


berusaha untuk meningkatkan produk, proses, dan mencapai
tingkat kepuasan konsumen yang tinggi. Maka ukuran kinerja tidak
hanya terbatas pada indikator biaya dan efisiensi saja, diperlukan
juga indikator waktu/kualitas/jasa pelayanan yang diberikan,
khususnya untuk menggambarkan kinerja organisasi, serta
memfokuskan pada ketepatan pemanfaatan sumber daya proses
internal dan desain sistem yang tepat untuk pengendalian dalam
proses continous improvement. Maka dibutuhkan juga pengukuran
non finansial sbg indikator dalam kinerja operasionalnya.
Lanjutan . . .

Pengukuran kinerja yang baik harus


memiliki kriteria :
• Merupakan penghubung antara operasi dan strategy goals
• Mengintegrasikan informasi yang bersifat finansial dan non
finansial
• Mengukur indikator yang dianggap penting bagi konsumen
• Memotivasi proses operasi untuk berkerja melampaui harapan
konsumen
• Mengidentifikasi dan mengurangi timbulnya pemborosan
• Mengubah fokus organisasi dari birokrasi vertikal yang bersifat
kaku, ke arah yang lebih responsif melalui sistem horisontal
• Mempercepat proses organizational learning dan membangun
konsesus terhadap perubahan harapan konsumen dan strategi
• Menerjemahkan fleksibiitas kedalam pengukuran yang lebih
spesifik
2.1 KONSEP PENGUKURAN KINERJA

Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu


organisasi, bagian operasonal dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar
dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Siege & Marconi 1989:199).

Pengukuran kinerja dari suatu aktivitas ataupu suatu rantai nilai ( Atkinson et al
1995:46)

Pengukuran kinerja tradisional dilakukan dengan membandingkan kinerja


aktual dengan kinerja yang dianggarkn ataupun dengan biaya standar sesuai
dengan karakteristik pertanggungjawabannya, sedangkan pengukuran kinerkja
kontemporer menggunakan aktivitas sebagai fondasinya, seberapa baik
aktivitas dilakukan dan dapat mengidentifikasi apakah telah dilakukan
perbaikan yang berkesinambungan (Hansen & Mowen 1995:845)
LANJUTAN . . .
Dapat disimpulkan bahwa manajemen kinerja yang efektif, mengharuskan
adanya perumusan tujuan, pembuatan esain dan manajemen terhadap
masing-masing dari tiga tingkatan kinerja tersebut, dan bahwa tiga tingkatan
tersebut mempunyai ketergantungan satu sama lain.

Kinerja adalah gambar mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu


kegiatan atau program atau kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran tujuan
misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis suatu
organisasi.(Indra Bastian, 2001:329)

Penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian


pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui hasil-hasil yang
ditampilkan berupa produk,jasa ataupun proses. (Indra Bastian, 2001:329)

Penilaian kinerja merupakan penilaian atas perilaku manusia dalam


melaksanakan peran yang mereka mainkan dalam organisasi. (Mulyadi,
2001:419)
3.1 TUJUAN DAN MANFAAT
PENGUKURAN KINERJA
Tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan
dalam mencapai tujuan organisasi dan dalam mematuhi standar
perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan tindakan
dan hasil yang diinginkan.(Siegel & Marconi, 1989:199)

Tujuan pengukuran kinerja adalah membantu alam penetapan standar


dan target, sarana atau rel untuk kemajuan, memotivasi,
mengkomunikasikan strategi, organisasi dan mempengaruhi perubahan
perilaku. (Tatikonda & Tatikondar, 1998;49)

Pengukuran kinerja bertujuan untuk dapat mengeliminasi aktivitas yang


tidak bernilai tambah dan mengoptimasi aktivitas yang bernilai tambah,
sejalan dengan berkembangnya manajemen aktivitas. (Hansen &
Mowen, 1995;855)
Lanjutan . . .

Secara internal pengukuran kinerja


dapat digeneralisasikan dalam tiga
kategori tujuan yang meliputi :
1. Controlling dan redirecting terhadap individu maupun departemen, digunakan
sebagai tinjauan dalam mengukur kinerja dalam jangka pendek. Tujuan ini akan
efektif apabila fokus organisasi merupakan action based bukannya knowledge
based.
2. Feedback untuk menyesuaikan kinerja atu target yang ditetapkan. Tujuan ini
merupakan suatu laporan kinerja dalam jangka menengah, serta meruoakan
informasi dalam melakukan koreksi, menjadi dasar penyusun rencana, dan
pengambilan keputusan baik dalam penyesuaian maupun dukungan untuk
pencapaian strategi janga panjang.

3. Sebagai ukuran dalam membandingkan antara rencana


bisnis dan tujuan strategis, untuk menguji ketepatan dan
penyesuaian strategi organisasi.
4.1 Manfaat Penilaian Kerja
Menurut Mulyadi :

• Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian


karyawan secara maksimum

• Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan,


seperti : promosi, transfer, dan pemberhentian

• Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan penngembangan karyawan dan


untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan

• Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan


mereka menilai kerja mereka

• Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan


5.1 Tahap Pengukuran Kinerja
Konvensional

TAHAP TAHAP
PERSIAPAN PENILAIAN
5.1.1 Tahap Persiapan
1. Penetuan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang bertanggung jawab.
Menurut Mulyadi ada tiga hal yang berkaitan yaitu :

• Tanggung jawab harus konsisten dengan wewenang yang dimiliki oleh


a) Kriteria manajer atas pendapatan dan atau biaya
 Menurut Mulyadi terdiri dari tiga tahap :
Penetapan • Batas tanggung jawab harus teliti dan adil
Tanggungjawab • Kriteria evaluasi kinerja yang dipilih harus sesuai dengan ruang lingkup
tanggung jawab yang dibebankan kepada manajer

b) Tipe Pusat • suatu unit organisasi yang dipimpin oleh seorang manajer yang bertanggung
Pertanggungja jawab. Suatu pertanggungjawaban dapat dipandang sebagai suatu sistem
waban yang mengolah masukan menjadi keluaran.

• Dalam pusat biaya, keluarannya tidak dapat atau tidak perlu diukur dalam
c) Karakteristik wujud pendapatan. Hal ini disebabkan karena kemungkinan keluaran
Pusat pusat biaya tersebut tidak dapat diukur secara kuantitatif, atau
Pertanggungja kemungkinan manajer pusat biaya tersebut tidak dapat bertanggung
waban jawab atas biaya keluaran pusat tersebut.
Lanjutan...
2. Penetapan kriteria kinerja bagi setiap pusat pertanggungjawaban.
Menurut Mulyadi ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sbb :

a. Dapat diukur atau tidaknya kinerja


Tidak semua kinerja dapat diukur secara kuantitatif. Keunggulan produk di pasar,
pemanfaatan SDM, kepatuhan perusahaan terhadap semua peraturan
kemasyaratan merupakan ukuran kinerja yang bersifat jangka panjang dan sulit
untuk diukur secara kuantitatif. Sedangkan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba ini merupakan kinerja yang dapat diukur secara kuantitatif
b. Rentang waktu sumber daya dan biaya
sumber daya yang dikorbankan untuk mencapai sasaran tertentu sering kali
memiliki rentang waktu jangka panjang untuk menghasilkan manfaat bagi
perusahaan
c. Bobot yang diperhitungkan atas kriteria
manajer akan memberikan bobot yang besar pada kriteria yang akan digunakan
sebagai pengukuran kinerjanya
Lanjutan...

3. Pengukuran kinerja sesungguhnya


Tahap selanjutnya adalah melakukan pengukuran hasil
sesungguhnya bagian atau aktivitas yang menjadi daerah
wewenangnya. Meskipun pengukuran kinerja tampaknya
objektif, dan merupakan kegiatan yang rutin, namun
sering memicu timbunya perilaku yang tidak semestinya
yaitu dengan cara memanipulasi informasi untuk
melindungi diri sendiri dan menguntungkan bagi dirinya
dari manajer atasannya.
5.1.2 Tahap Penilaian

1. Pembandingan kinerja sesungguhnya dengan sasaran


yang telah ditetapkan sebelumnya dan pelaporan
dengan hasilnya

2. Penentuan penyebab operasional dan keprilakuan


penyimpangan yang merugikan

3. Penegakan perilaku dan tindakan yang diinginkan


untuk mencegah terulangnya perilaku yang tidak
diinginkan
6.1 Pengukuran Kinerja Konvensional
 Ada tiga macam yaitu :

1. Ukuran kriteria
tunggal

2. Ukuran kriteria
beragam

3. Ukuran kriteria
gabungan
1. Ukuran kriteria tunggal
Jika ukuran ini digunakan untuk mengukur kinerja, orang akan cenderung
memutuskan usahanya pada kriteria tersebut dengan akibat diabaikannya
kriteria yang lain yang sama pentingnya dalam menentukan sukses tidaknya
perusahaan,sehingga jarang digunakan.

2. Ukuran kriteria beragam


Dalam ukuran ini yaitu dengan menggunakan beberapa kriteria yang
digunakan untuk mengukur kriteria manajer. Hal ini dilakukan agar para
manajer yang diukur kinerjanya mengarahkan usahanya pada berbagai
kinerja tidak hanya berpusat pada satu kinerja

3. Ukuran kriteria gabungan

Disadari bahwa perusahaan merupakan yang paling penting dibanding


dengan tujuan yang lain oleh sebab itu perusahaan memberikan bobot yang
beragam pada setiap kriteria kinerja untuk mendapatkan kriteria tunggal
 Pengukuran informasi akuntansi yang dipakai yaitu :

1. Pengukuran Kinerja Pusat


Pendapatan

Jika pusat pendapatan hanya menjual produk atau jasanya ke


pihak luar perusahaan, pengukuran dapat dilaksanakan
dengan mudah. Tapi jika pusat pendapatan mentransfer
produk atau jasanya ke pusat pertanggungjawaban lain akan
timbul masalah yaitu apakah pendapatan dari transfer tersebut
diperhitungkan sebagai pendapatan pusat laba dan sebagai
beban pertanggungjawaban yang menerima transfer.
Lanjutan...
2. Pengukuran Kinerja Pusat Biaya
Dalam pengukuran kinerja pusat biaya akan timbul berbagai
masalah yang disebabkan tidak ada biaya 100% dapat
dikendalikan oleh manajer yang berwenang. Ada empat
masalah antara lain :
b. Masalah hubungan biaya
a. Masalah perilaku biaya dengan pusat biaya
Jika manajer pusat Biaya langsung, yaitu biaya
memiliki wewenang yang manfaatnya hanya
memadai secara signifikan dinikmati oleh pusat biaya
mempengaruhi biaya tertentu
tertentu, maka dapat Biaya tidak langsung, yaitu
diperhitungkan dalam biaya yang manfaatnya
penentuan biaya yang dinikmati oleh lebih dari satu
menjadi ukuran kinerjanya pusat biaya
Lanjutan...

c. Masalah jangka panjang


Masalah ini timbul karena
ada beberapa biaya jangka
pendek, pada dasarnya
semua biaya merupakan d. Masalah tanggung jawab
biaya terkendalikan pada ganda
jangka panjang Terjadi apabila suatu biaya
dibawah wewenang lebih
dari satu manajer pusat
biaya sehingga timbul
masalah siapa yang
mempertanggungjawabkan
biaya tersebut
7.1 Pengukuran Kinerja dari Aspek Laporan
Keuangan
 Ada tiga rasio yang digunakan yaitu :

1. Liquidity Ratio
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
memenuhi kewajibannya terhadap utang jangka pendek. Untuk
memalukan analisis likuiditas dapat menggunakan dua ratio,
yaitu :

b) Quick Ratio atau Acid


a) Current Ratio
Test Ratio
Rumus : Rumus :
Current Ratio = Aktiva Lancar Quck Ratio=Aktiva Persediaan
Utang Lancar Lancar
Utang Lancar
Contoh Soal
Lanjutan...
Berdasarkan laporan diatas current ratio untuk PT. YUSA pada tahun
1994 adalah :
Current Ratio = Rp. 1.400.000
Rp. 600.000
= 2,3 Kali

Kesimpulan :

Jika rata-rata ratio lancar untuk industri yang sejenis sebesar 2,5
kali, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa current ratio PT. YUSA
dibawah rata-rata industri sejenis. Tetapi keadaan tidak
memperhatinkan karena utang lancar dapat segera dilunasi hanya
dengan menggunakan 1/ 2,3 atau sebesar 43% dari aktiva lancar
Berdasarkan laporan keuangan diatas maka quick ratio tahun 1994
adalah :
Quick Ratio = Rp. 1.400.000 – Rp. 600.000
Rp. 600.000
= 1,3

Kesimpulan :

Jika rata-rata quick ratio industri sejenis sebesar 1,0 dapat


diartikan bahwa PT. YUSA memiliki lebih baik dari perusahaan
dalam industri yang sama. Atau PT. YUSA dapat melunasi utang
lancarnya tanpa harus menjual persediaan tunai yaitu cukup
dengan mencairkan 1/ 1,3 atau sebesar 77% .
7.1.1 LEVERAGE RATIO
Yaitu perbandingan antara Total Debt To Total
dana yang berasal dari pemilik Asset Ratio
dengan dana yang berasal dari
kreditur. Time Interest
Leverage ratio juga Earned
memberikan informasi tentangLeverage
kemampuan pengembalian Ratio Fixed Charge
modal dan utang jangka Coverage
panjang (ratio solvabilitas)
Cash Flow
Coverage
7.1.2 Total Debt to Total Asset
Ratio
Digunakan untuk mengukur presentase dana yang disediakan oleh
kreditur.
Para kreditur lebih menyukai ratio rendah karena keamanan untuk
piutangnya kembali pada saat likuiditas besar, sedangkan pihak
pemilik perusahaan menghendaki ratio yang tinggi sebab dengan
ratio yang tinggi berarti hak mengendalikan perusahaan lebih tinggi.

Rumus : Total Utang


Total Aktiva
Contoh :
Dari laporan keuangan PT Yusa, ratio utang tahun 1994 adalah
sebesar total utang Rp 2.000.000, total aktiva Rp 4.000.000

Ratio Utang = Rp 2.000.000


Rp 4.000.000
= 50 %
7.1.3 Time Interest Earned
Digunakan untuk mengukur seberapa jauh laba bisa turun tanpa
menganggu kewajiban perusahaan dalam memenuhi beban kepada
kreditur yang berupa bunga.

Rumus : Laba sebelum bunga dan pajak (EBIT)


Beban bunga

Contoh :
Dari laporan rugi laba PT Yusa tahun 1994, dapat dihitung ratio
penutupnya sebagai berikut.
Ratio penutup = Rp 540.000
Rp 140.000
= 3,9 kali
7.1.4 Fixed Charge Coverage
Ratio ini akan menunjukkan seberapa jauh perusahaan mempunyai
tingkat keamanan atas laba apabila perusahaan harus membiayai
bunga dan sewa jangka panjang.

Rumus : EBIT + Beban Lease


Beban Bunga + Beban Lease

Contoh:
Dari laporan keuangan PT Yusa tahun 1994, maka ratio penutup
tetapnya yaitu.
Ratio Penutup Tetap = Rp 540.000 + Rp 56.000
Rp 140.000 + Rp 56.000
= 3 kali
7.1.5 Cash Flow Coverage
Adalah rasio yang menunjukkan marjin sampai seberapa besar laba
operasi perusahaan dapat menutupi kebutuhan keuangannya.

Rumus : EBIT + Biaya Sewa + Biaya Penyusutan


(Bunga + Biaya Sewa) + Deviden saham prioritas + pembayaran pokok utang
(1-P) (1-P)

Keterangan :
P: pajak
Contoh :
Jika diketahui PT Yusa mempunyai saham prioritas yang
membutuhkan pembagian deviden per tahun sebesar Rp 24.000 dan
pembayaran utang pokok sebesar Rp 84.000 per tahun. Maka CFC PT
Yusa tahun 1994 adalah sbb:

CFC = Rp 540.000 + Rp 56.000 + Rp 200.000


(Rp 140.000+ Rp 56.000) + Rp 24.000 + Rp 84.000
(1-0,4) (1-0,4)
= 2,1 kali
7.1.6 PROFITABILITY
RATIO
Digunakan untuk mengukur seberapa efektif perusahaan beroperasi
sehingga menghasilkan keuntungan pada perusahaan.

Profit Margin Sales

Return On Investment (ROI)

Return On Asset (ROA)

Return On Equity (ROE)


Profit Margin Sales
Rasio ini menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan
menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu.

Rumus = Laba Bersih x 100%


Penjualan
Contoh :
PT Yusa pada tahun 1994 mempunyai profit margin sbb:

Profit Margin = Rp 240.000 x 100%


Rp 6.000.000
=4%
Return On Investment
ROI adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan yang akan digunakan untuk menutup investasi yang
dikeluarkan.
Rumus = EAT x 100%
Total Investasi

Contoh :
PT Yusa memperoleh ROI tahun 1994 sebesar:

ROI = Rp 240.000 x 100%


Rp 4.000.000
= 6%
Return On Asset
ROA adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
dengan semua aktiva yang dimiliki perusahaan.

Rumus = EBIT x 100%


Total Aktiva
Contoh :
ROA pada PT Yusa tahun 1994, yaitu:

ROA = Rp 540.000 x 100%


Rp 4.000.000
= 13,5 %
Return On Equity
ROE adalah rasio yang memperlihatkan sejauh manakah perusahaan
mengelola modal sendiri secara efektif.
Rumus = EAT x 100%
Total Modal

Contoh:
ROE pada PT Yusa tahun 1994 sebesar :

ROE = Rp 240.000 x 100%


Rp 2.000.000
= 12%
8.1 Laba Residu
Laba residu (residual income) adalah kelebihan laba operasi
divisional di atas jumlah minimal laba operasi yang dikehendaki.

Laba residu positif laba dari suatu inivestasi pada aset lebih
besar daripada ROI yang dikehendaki, maka investasi
dianggap menjanjikan
Laba residu negatif imbalan investasi tidak memadai untuk
memenuhi jumlah minimal yang dikehendaki
oleh manajemen.

Rumus = Laba Operasi – (Aset perusahaan x Tingkat ROI)


Contoh :
Diasumsikan PT. Daun Lontar mematok 10% sebagai tingkat pengembalian
investasi minimal atas asset divisional perusahaan. Laba residu divisi R, S dan T
adalah sebagai berikut:

Divisi R Divisi S Divisi T


Laba Operasi Divisional 210.000 252.000 225.000
Dikurangi:
Jumlah minimal laba
operasi divisional sbg
persentase dari asset:
- Rp 1.050.000 x 10% 105.000 - -
- Rp 2.100.000 x 10% - 210.000 -
- Rp 1.500.000 x 10% - - 150.000
Laba RESIDU 105.000 42.000 75.000
Keterangan:
Divisi R mempunyai laba residu yang lebih besar dibandingkan dengan divisi
lainnya walaupun mempunyai laba operasi yang lebih kecil. Hal ini karena diivisi R
mempunyai lebih sedikit asset dibandingkan dengan divisi lainnya.
Keterbatasan Metode Imabalan
Investasi dan Laba Residu
• Keterbatasan Metode Imbalan Investasi dan Laba Residu walaupun
imbalan investasi (ROI) dan laba residu merupakan cara efektif untuk
mengevaluasi kinerja manajer pusat investasi, kedua metode
tersebut mengandung kelemahan. Karena manajemen mengetahui
bahwa laba residu dan imbalan dapat meningkat dalam suatu
periode penjualan konstan dengan memangkas beban-beban,
pengeluaran kritis seperti beban reparasi mesin dan pemeliharaan,
sebagai umpama, boleh saja diabaikan oleh manajemen.
• Tetapi pengembalian ini dapat menyebabkan kerusakan mesi
produksi di masa yang akan datang. Selain itu, bergantung pada
imbalan investasi dan laba residu dapat mengakibatkan penggunaan
bahan baku bermutu rendah dan pengambilan keputusan penjualan
yang tidak tepat untuk jangka panjang.
9.1 PENGUKURAN KINERJA DARI
ASPEK PROSES / ANGGARAN

Pengukuran
Efisien
Produktivitas
9.1.1 EFISIENSI
Pendekatan dalam mengukur efisiensi, yaitu:
A. Pelaporan Biaya Yang Menambah Nilai dan Tidak
Menambah Nilai
Sistem akuntansi suatu perusahaan harus membedakan antara biaya
yang menambah nilai dan tidak menambah nilai.

Biaya yang dinilai = SQ x SP


Biaya yang tidak dinilai = (AQ – SQ) SP

Keterangan:
SQ : kuantitas standar input yang diizinkan untuk output aktual
SP : Standar harga per unit suatu input
AQ : kuantitas input aktual yang digunakan aktivitas output
Contoh :
Pemicu SQ AQ SP
Aktivitas
Pemakaian BB 40.000 44.000 40,00
Pengerjaan kembali 0 10.000 9,00
Persiapan 0 6.000 60,00
Inspeksi 0 4.000 15,00
Jawab :
Laporan biaya-biaya yang menambah nilai dan tidak menambah nilai
Tdk Menambah
Aktivitas Menambah Nilai Aktual
Nilai
Pemakaian BB 1.600.000 160.000 1.760.000
Pengerjaan Kembali 0 360.000 360.000
Persiapan 0 90.000 90.000
Inspeksi 0 60.000 60.000
Total 1.600.000 670.000 2.270.000
B. Pelaporan Trend
Pelaporan ini dilakukan dengan membandingkan biaya setiap aktivitas
dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya adalah perbaikan aktivitas
yang dinilai dengan pengurangan biaya. Jadi kita dapat melihat
penurunan biaya yang telah menambah nilai dari satu periode ke
periode berikutnya.
Laporan Biaya Trend: biaya yg tidak menambah nilai

Aktivitas 1991 1992 Perubahan


Pemakaian BB 160.000 100.000 60.000
Pengerjaan kembali 360.000 160.000 200.000
Persiapan 90.000 50.000 40.000
Inspeksi 60.000 30.000 30.000
Total 670.000 340.000 330.000
C. Anggaran Fleksibel Aktivitas
Penganggaran fleksibel aktivitas memungkinkan prediksi tentang akan menjadi apa
biaya-biaya aktivitas tersebut ketika pemakaian (output) aktivitas berubah. Anggaran
fleksibel aktivitas menyempurnakan anggaran trandisional.
Contoh anggaran fleksibel trandisonal

Formula Jam tenaga kerja langsung


Tetap Variabel 10.000 20.000
BB langsung 0 10 100.000 200.000
TK langsung 0 8 80.000 160.000
Perlengkapan 0 2 20.000 40.000
Pemeliharaan 20.000 3 50.000 80.000
Bahan bakar 15.000 1 25.000 35.000
inspeksi 120.000 0 120.000 120.000
Persiapan 16.000 0 16.000 16.000
Penerimaan 22.000 0 22.000 22.000
Total 193.000 24 433.000 673.000
Contoh Laporan Kinerja
Berdasarkan Aktivitas
Biaya yang
Biaya Aktual Varian Anggaran
Dianggarkan
BB langsung 101.000 100.000 1.000
TK langsung 80.000 80.000 0
Perlengkapan 23.500 20.000 3.500
Pemeliharaan 55.000 64.000 9.000
Bahan Bakar 29.000 31.000 2.000
Inspeksi 125.500 132.500 7.000
Persiapan 21.500 20.000 1.500
Penerimaan 24.000 30.000 6.000
Total 459.500 477.500 18.000
1. Komputasi Selisih Biaya Standar
dengan Biaya Aktual

Biaya standar memiliki komponen harga (tarif) dan kuantitas (pemakaian)


sehingga perbandingan anatara biaya standar dengan biaya aktual akan
mengakibatkan dua selisih yaitu selisih harga dan kuantitas.

Rumus Jumlah Selisih Anggaran = (HA x KA) – (HS x KS)

Keterangan:
HA : Harga Aktual
HS : Harga Standar
KA : Kuantitas Aktual
KS : Kuantitas Standar
Contoh

Diasumsikan bahwa biaya berikut adalah biaya yang diperlukan untuk


memproduksi 100 bungkus roti tawar :
Biaya aktual 14 kg X Rp 2.500 = Rp 60.000
Biaya standar 26 kg X Rp 2.200 = Rp 57.200

Jumlah selisih biaya = Rp. 60.000 – Rp. 37.200


= Rp. 2.800

Jadi, jumlah selisih biaya sebesar Rp. 2.800


2. Selisih Bahan Baku dan Selisih
Tenaga Kerja Langsung
a. Selisih Bahan Baku Langsung

Selisih berasal dari dua sumber yaitu:


1. Perbedaan antara kuantitas aktiva bahan baku yang dipakai dan
kuatitas batas standard yang ditetapkan dalam peiode berjalan
2. Perbedaan antara harga aktual yang dibayar untuk bahan baku
dengan harga standar yang diperkenankan selama periode
berjalan
1. Selisih Harga Bahan Baku Langsung

Selisih ini mencerminkan tingkat variasi harga aktual dari harga


standar untuk standar bahan baku sesungguhnya, dibeli atau
digunakan

Rumus yang digunakan:


SHBB = (HAXKA) – (HSXKA) = (HA-HA) KA

Keterangan:
SHBB : Selisih Harga Bahan Baku
HA : Harga aktual per unit
HS : Harga standar per unit
KA : Kuantitas aktual yang digunakan
Contoh
PT Gelegar telah menentukan bahwa biaya bahan baku standar adalah
sbb:
Harga beli Rp. 348
Biaya angkut 34
Biaya penanganan 8
Potongan pembelian (10)
Rp. 400
Maka berapa selisih harga jika diketahui harga aktual Rp. 370 dan bahan
baku yang dibeli adalah 10.000 kg ?
Penyelesaian :
SHBB = (HAXHS) KA
= (370-400) 10.000
= Rp 300.000
Ini berarti bahwa perusahaan mengeluarkan Rp. 300.000 kecil dari
bahan baku standar untuk bahan baku langsung, sehingga selisih ini
menguntungkan bagi perusahaan.
2. Selisih Kuantitas Bahan
Baku Langsung

Selisih ini mengukur perbedaan antara bahan baku langsung yang


sesungguhnya digunakan dengan bahan baku langsung yang
seharusnya dipakai untuk keluaran aktual, standar kuantitas bahan
baku haruslah merefleksikan jumlah yang dibutuhkan untuk setiap
produk yang dirampungkan.

Rumus yang digunakan :


SKBB = (HA x KA) – (HA x KS) = (KA-KS) HS
Contoh
Dari contoh sebelumnya, diketahui 2 kg untuk membuat setiap unit
produk, karena PT. Gelegar pada periode lalu memproduksi 4000 unit,
maka kuantitas standar yang diperkenankan adalah 8000 kg.
Penggunaan aktual bahan baku adalah 8300 kg. Komputasi selisih
bahan baku adalah ?
Penyelesaian:
SKBB = (KA-KS) HS
= (8.300-8000) 400
= Rp. 120.000
Selisih ini tidak menguntungkan karena perusahaan mengkonsumsi
300kg lebih banyak bahan baku daripada yang diharapkan.
Akuntansi Selisih Bahan Baku Langsung

A. Selisih harga bahan baku :


Bahan baku langsung (10.000kg x 400) 4.000.000
Selisih harga (400-370).10.000 300.000
Kas/Utang (370 x 10.000) 3.700.000

B. Selisih kuantitas bahan baku :


Barang dalam proses (8.000 x 400) 3.200.000
Selisih kuantitas (8.300-8.000).400 120.000
Bahan baku langsung (8.300x400) 3.320.000
b. Selisih Tenaga Kerja Langsung
Selisih tenaga kerja langsung yaitu membandingkan biaya tenaga
kerja langsung aktual dengan biaya tenaga kerja langsung standar
yang diperkenankan.
Selisih ini berasal dari dua sumber, yaitu:
1. Perbedaan antara jam tenaga kerja aktual dengan jam kerja
standar yang diperkenankan.

2. Perbedaan antara tarif tenaga kerja baik langsung aktual dengan


tarif tenaga kerja langsung standar yang diperkenankan.
3. Selisih Tarif Tenaga Kerja
Selisih ini memperlihatkan perbedaan antara tarif gaji aktual
dengan tarif standar.
Rumus :
STTK = (TA x JA) – (TS x JA) = (TA – TS) JA

Keterangan :
STTK : Selisih tarif tenaga kerja
TA : Tarif Fleksibel
TS : Tarif Standar
JA : Jam Kerja Aktual
Contoh
PT. Gelegar menentukan bahwa bagi standar per unit adalah 2 jam
pada tarif Rp. 1.200 per jam. Tenaga kerja yang dipakai aktual
semalam bulan ini adalah 8.352 jam pada tarif Rp. 1.240 per jam,
maka selisihnya sebesar ?
Penyelesaian :
STTK = (TA – TS) JA
= (Rp. 1.240 – Rp. 1200) 8.352
= Rp. 334.080
Jadi, selisih tarif tenaga kerja tidak menguntungkan karena
perusahaan mengeluarkan Rp. 334.080 lebih besar dari standar untuk
jumlah aktual jam kerja yang dikeluarkan untuk tenaga kerja aktual
lebih tinggi daripada tarif standar.
4. Selisih Efisiensi Tenaga Kerja/ Selisih
Kuantitas Tenaga Kerja
Selisih ini mengukur biaya atau manfaat penggunaan tenaga kerja
untuk penggunaan jam kerja lebih banyak daripada yang diterapkan
oleh standar.
Rumusnya yaitu:
SETK = (JA x TS) – (JS x TS) = (JA – JS) TS

Keterangan :
SETK = Selisih Efisiensi Tenaga Kerja
JA = Jam Aktual
JS = Jam Standar
TS = Tarif Standar
Contoh
Jika diketahui jam standar adalah 8.000 jam aktual adalah 8.352
sedangkan tarif standar adalah 1.200, maka selisih efisiensinya adalah ?
Penyelesaian :
SETK = (JA – JS) TS
= (8.352 – 8000) Rp, 1.200
= Rp. 422.400
Jadi, PT Gelegar memakai 352 jam kerja lebih banyak daripada standar
yang menyebabkan selisih efisiensi yang tidak menguntungkan sebesar
Rp. 442.400

Jurnal Penutup
Beban Pokok Penjualan 756.480
Selisih tarif TK 334.080
Selisih efisiensi TK 422.400
9.1.2 Pengukuran Produktivitas
Pengukuran produktivitas berkenaan dengan penilaian kuantitatif
terhadap perubahan produktivitas. Tujuannya untuk menilai apakah
efisiensi produksi telah meningkat atau menurun.

Rumus untuk menghitung produktivitas yaitu:

Ratio Produktivitas = Keluaran (output)


Masukan (input)

Rumus pengukurannya ada dua macam yaitu :


a. Pengukuran produktivitas parsial
b. Pengukuran produktivitas total
A. Pengukuran Produktivitas
Parsial
Pengukuran produktivitas parsial yaitu pengukuran produktivitas untuk
satu input pada suatu waktu. Produktivitas parsial dibagi menjadi 2
yaitu :
1. Pengukuran Produktivitas Operasional
yaitu jika output dan input diukur dalam kuantitatif fisik.
Ratio = produk yang dihasilkan
jumlah jam tenaga kerja

2. Pengukuran Produktivitas Finansial


yaitu jika output dinyatakan dalam rupiah.
Rasio = harga jual per unit x produk yang dihasilkan
produk dihasilkan
Kelebihan & Kelemahan Produktivitas
Parsial (Mulyadi, 2001 : 468)

KELEBIHAN
KELEMAHAN
• Memungkinkan manajer
• Penggunaan produktivitas
memuatkan usahanya
parsial secara terpisah
terhadap penggunaan
sebagai ukuran kinerja
masukan tertentu saja.
dapat menyesatkan.
• Memudahkan karyawan
• Suatu penurunan
operasional menentukan
produktivitas salah satu
kinerja produktivitasnya
masukan kemungkinan
• Untuk kepentingan
diperlukan untuk menaikkan
pengendalian operasional,
produktivitas masukan yang
seringkali standar kinerja
lain.
bersifat jangka pendek
Contoh
Dalam tahun 1991, divisi X memproduksi 11.000 unit produk
dengan mengkonsumsi 1.100 jam tenaga kerja. Harga jual
produk adalah Rp. 2500 per unit, upah tenaga kerja adalah Rp.
10,00 per jam.
Penyelesaian :
a. Produktivitas operasional = 11.000/ 1.100 = 10 unit/jam
b. Produktivitas finansial = (25 x 11.000) : 11.000 = Rp. 25,00
B. Pengukuran Produktivitas Total
Pengukuran produktivitas total yaitu produktivitas untuk
semua input sekaligus.
Pengukuran produktivitas total dapat dilakukan dalam 2
kategori kondisi :
1. Perubahan, Produktivitas tanpa Pertukaran
2. Ukuran produktivitas total dengan mempertimbangkan
pertukaran
1. Perubahan, Produktivitas Tanpa
Pertukaran
Contoh
Manajer divisi X melakukan analisis perubahan produktivitas yang terjadi
dalam tahun 1992 dibandingkan dengan tahun 1991. Data keluaran dan
masukan sebagai berikut :
1991 1992
Jumlah produk yang dihasilkan 220.000 220.000
Jam tenaga kerja yang dipakai 22.000 20.000
Bahan baku yang dipakai (kg) 220.000 176.000
Harga jual produk per unit
Rp. 25 Rp. 25

Upah tenaga kerja per jam


Rp. 10 Rp. 10

Harga pokok per kg (bahan baku) Rp. 5 Rp. 5


Ratio Produktivitas Operasional
1991 1992
Ratio produktivitas tenaga kerja 10,00 11,00
Produktivitas bahan baku 1,00 1,25

Perhitungan Kuantitas Masukan Tahun


1992 Jika Tidak Ada Perubahan
Produktivitas
Kuantitas produk Ratio produktivitas Kuantitas bebas
Tahun 1992 Tahun 1991 perubahan
(1) (2) produktivitas
(1)/(2)
Tenaga kerja 220.000 10 22.000
Bahan baku 220.000 1 220.000
Perhitungan Profit Linked Productivity

KBPP KBPP x H KS KS x H PLP


(1) (2) (3) (4) (2)-(4)
Tenaga kerja 22.000 220.000 20.000 200.000 20.000
Bahan baku 220.000 1.100.000 176.000 875.000 225.000
1.320.000 1.075.000 245.000
Keterangan :
KBPP : Kuantitas Bebas perubahan produksi
KS : Kuantitas sesungguhnya
PLP : profit Linked Productivity

(Mulyadi, 2001:471)
2. Ukuran Produktivitas Total Dengan
Mempertimbangkan Pertukaran
Contoh : Divisi A memproduksi berbagai macam produk pertukaran yang terjadi
dalam 2 tahun menunjukkan kenaikan produktivitas tenaga kerja dan energi, tapi
terjadi penurunan produktivitas bahan baku, berikut adalah data yang
bersangkutan : 1991 1992
Jumlah produk yang dihasilkan 110.000 120.000
Tenaga kerja yang dipakai (jam) 11.000 10.000
Bahan baku yang dipakai (kg) 110.000 125.000
Energi (Kwh) 100.000 200.000
Produktivitas tenaga kerja 10 12
Peroduktivitas bahan baku 1 996
Produktivitas energi 0,55 960
Harga jual produk per unit Rp. 25 Rp. 25
Upah tenaga kerja per jam Rp. 10 Rp. 10
Biaya bahan baku per kg Rp.5 Rp. 5
Biaya energi dan lain-lain per jam Rp. 6 Rp. 6
Perhitungan Kuantitas Masukan Tahun 1992 Jika Tidak
Ada Perubahan Produktivitas
Kuantitas produk Ratio produktivitas Kuantitas bebas perubahan
Tahun 1992 Tahun 1991 produktivitas
(1) (2) (1) (2)
Tenaga kerja 120.000 10.00 12.000
Bahan baku 120.000 1.00 120.000
energi 120.000 0.55 218.182

Perhitungan Profit Linked Productivity

KBPP KBPP X H KS KS X H PLP


(1) (2) (3) (4) (2)-(4)
Tenaga kerja 12.000 120.000 10.000 100.000 20.000
Bahan baku 120.000 600.000 125.000 625.000 (25.000)
Biaya energi dll 218.182 1.309.092 200.000 1.200.000 109.092
2.029.092 1.925.000 104.092
9.1.3 Price Recovery Component
Digunakan untuk mengukur perubahan pendapatan dalam menutup biaya masuk jika tidak ada
perubahan produktivitas. Contoh: Dari data diatas perhitungan laba sebagai berikut:
1991 1992
Pendapatan penjualan :
110.000 x Rp. 25 2.750.000
120.000 x Rp. 25 3.000.000
Biaya masukan:
Tenaga kerja
11.000 x Rp. 10 110.000
10.000 x Rp. 10 110.000
Bahan baku
110.000 x Rp. 5 550.000
125.000 x Rp. 5 625.000
Energi dll
200.000x Rp. 6 1.200.000
200.000 x Rp 6 1.200.000
Jumlah total biaya masukan 1.860.000 1.925.000

Laba 890.000 1.075.000


Total perubahan laba 1991 dan 1992 sebesar Rp. 185.000
(Rp. 1.075.000 – Rp. 890.000)
Maka
Price recovery component :
Total perubahan laba Rp. 185.000
Profit linked productivity Rp. 104.092
Price recovery component Rp. 80.908

Hal ini menunjukkan bahwa laba tahun 1992 akan naik sebesar Rp.
80.908 jika tidak terjadi perbaikan produktivitas dalam tahun tersebut,
tapi karena pada tahun 1992 terjadi perbaikan produktivitas maka
laba naik sebesar Rp. 185.000 yaitu Rp. 104.092 + Rp. 80.908

(Mulyadi, 2001:473)
Kelemahan Pengukuran Kinerja Konvensional

1. Tolak ukur operasional dan keuangan untuk mengukur berbagai aktivitas


perusahaan pada umumnya bersifat bottom up
2. Hanya melaporkan apa yang terjadi pada periode yang lalu, tanpa berusaha
menunjukkan bagaimana para manajer dapat memperbaiki kinerja pada
periode berikutnya.
3. Informasi pengukuran kinerja konvensional terpecah-pecah dan terisolasi
4. Walaupun data-data akuntansi dapat merefleksikan dimensi penting
mengenai prestasi manajemen, namun tidak semua dimensi yang relevan
dalam kaitannya dengan prestasi seseorang atau organisasi dapat
diungkapkan secara lengkap oleh informasi keuangan
5. Fungsi biaya ekonomi suatu organisasi jarang diketahui dengan akurat dan
akuntansi hanya berusaha menyatakan dengan harga taksiran
6. Data-data akuntansi hanya mampu memberikan informasi tentang hasil suatu
kegiatan, sedangkan dilain pihak kegiatan manajemen merupaka hasil proses
kegiatan sehari-hari sampai dapat dilihat sampai hasil akhir
7. Pada dasarnya laporan keuangan memberikan evaluasi prestasi suatu
organisasi hanya dalam jangka pendek.
Kelebihan Pengukuran Kinerja
Konvensional
1. Setiap manajer bisa bertanggung jawab secara maksimal
terhadap bagiannya masing-masing
2. Tidak terlalu sulit untuk menilai kinerja, karena setiap bagian
berdiri sendiri-sendiri
3. Masalah pembagian penghargaan kinerja tidak rumit, karena
secara individual

(Hansen/Mowen, 1999: ).

Anda mungkin juga menyukai