Anda di halaman 1dari 14

DASAR-DASAR

JURNALISTIK
JURNALISME LHER
KELOMPOK 7

• CEVIN GANDA WIJAYA


• HERIYANTO TAMPUBOLON
• NOFIRMAN HURA
• MUHAMMAD RIFQI
• RAHMAT ARBADILAH
• YOLDI NOFRINALDO
JURNALISME LHER

Dalam masyarakat istilah jurnalisme Lher tidak begitu


dikenal. Masyarakat lebih menyebutnya dengan jurnalisme
sensasional. Karena berita dan gambar atau grafis yang
disuguhkan dilandasi dengan atau untuk mencari sensasi
semata. Apapun akan dilakukan untuk mewujudkannya. Ada
juga yang menyebut dengan jurnalisme pornografi.
Meskipun berbeda istilah, dalam praktiknya ketiganya tidak
jauh berbeda, yakni bersinggungan dengan “sekwilda”
(sekitar wilayah dada) dan “bupati” (buka paha tinggi-tinggi).
SEJARAH

Kemunculan jurnalisme lher, pertama kali disambut oleh


Tabloid Monitor yang terbit pada tahun 1972-an. Tak
langsung mendapat sambutan, Monitor sempat istirahat
karena tak laku. Di tahun 1980-an, Arswendo Atmowiloto
mengambil alih. Berhiaskan gambar-gambar panas dan
judul sensasional, Monitor digandrungi kalangan
menengah ke bawah.
SEJARAH

Tahun 1990, Monitor mencapai oplah 700.000 eksemplar,


dan tercatat sebagai prestasi yang belum pernah diraih
media cetak di Indonesia. Beberapa contoh judulnya seperti
"Setelah 2 Kali Kapok Deh;" "Berlinang Air Mata Dada;"
"Kalau Dengan Suami Ternyata Sakit;" dan lain-lain.
Pada tahun 1990-an juga Tabloid Monitor terpaksa tutup
lantaran kasus menghina agama. Arswendo pun mendekam
di penjara selama lima tahun (Nurudin, 2009).
REDUPNYA JURNALISME LHER

Keresahan masyarakat akan hancurnya generasi muda penerus


bangsa yang moralnya semakin lama semakin menipis,
merupakan awal mula redupnya journalism lher. Untuk itu,
dibentuklah Kode Etik Jurnalistik yang disepakati oleh Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
dan Himpunan Praktisi Penyiaran Indonesia (HPPI) pada
Februari 1947 (Masduki, 2003). Beberapa kali mengalami
perubahan dan penyempurnaan, Kode Etik ini akhirnya disahkan
tanggal 2-5 Oktober 2003 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
REDUPNYA JURNALISME LHER

Salah satu pasal dalam Kode Etik Jurnalistik, yakni pasal 4


berbunyi "Wartawan Indonesia tidak membuat berita
bohong, fitnah, sadis, dan cabul." Larangan membuat
berita cabul yang dimaksudkan adalah penggambaran
tingkah laku secara erotis yang disertai foto, gambar,
grafis, atau tulisan narasi yang sifatnya semata-mata
membangkitkan nafsu birahi.
JURNALISME LHER &
YELLOW JURNALISM
Yang membedakan Yellow jurnalism dengan Lher jurnalism
antara lain: jurnalisme lher menggunakan diksi yang lebih
vulgar dibandingkan yellow jurnalism; lher jurnalism lebih
menitikberatkan pada mengumbar bagian tubuh (wanita pada
umumnya) seperti dada dan paha, sedangkan yellow jurnalism
lebih menitikberatkan pada kalimat sensasional untuk menarik
perhatian; keberadaan lher jurnalism sudah mulai menghilang
saat sekarang ini, berbeda dengan yellow jurnalism yang masih
eksis dan mudah ditemui pada media online sekarang ini.
PERBANDINGAN LHER &
YELLOW JURNALISM
LHER YELLOW
PERBANDINGAN LHER &
YELLOW JURNALISM
LHER YELLOW
PERBANDINGAN LHER &
YELLOW JURNALISM
LHER YELLOW
KESIMPULAN

• Jurnalisme lher muncul sebagai gambaran jurnalisme masyarakat


kelas bawah. Bukan berarti kalangan kelas atas tidak suka
jurnalisme lher, hanya pengemasannya tidak terlalu vulgar.
• Jurnalisme lher bisa jadi merupakan simbol perlawanan terhadap
kekangan pemerintah yang otoriter pada zamannya. Ketika media
dilarang mengupas persoalan politik, maka jurnalisme lher seakan
menjadi pelampiasan.
• Media cetak yang menampilkan jurnalisme lher di Indonesia
dijual sangat bebas (pada awal kebebasan pers).
TERIMA KASH
ADA PERTANYAAN ?
TERIMA KASIH
ADA PERTANYAAN?

Anda mungkin juga menyukai