Anda di halaman 1dari 16

Akuntansi Penghasilan Menurut

Peraturan Perpajakan
Reza Safitri
Eftari Fitrya Ilva
Afifah Raysa Hanan
Windy Maya

PE-4A

Akuntansi Perpajakan
Pengertian Penghasilan
Pengertian Penghasilan 
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :Penggantian atau imbalan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya,kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
Pengakuan dan Pengukuran Penghasilan
Pengakuan Penghasilan
Pengakuan pendapatan/penghasilan dengan mengacu pada tingkat penyelesaian dari
suatu transaksi sering disebut sebagai metode presentase penyelesaian.Dengan metode ini,
pendapatan diakui dalam periode akuntansi pada saat jasa diberikan.Pengakuan
pendapatan atas dasar ini memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat kegiatan
jasa dan kinerja dalam suatu periode.Tujuan pengakuan pendapatan adalah untuk
mengetahui seberapa besar pendapatan yang menjadi pendapatan pada periode tertentu
atau yang bersangkutan dan untuk mengetahui berapa besar pendapatan yang diterima
dimuka.
Pengakuan dan Pengukuran Penghasilan
Jenis pencatatan pengakuan pendapatan ada 2, yaitu :

•Dasar akrual (accrual basis)


Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini,
pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau setara
kas diterima atau dibayar) dan dicatat dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan
keuangan pada periode yang bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun pada periode yang
bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada
pengguna tidak hanya transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga
liabilitas pembayara kas dimasa depan serta sumber daya yang merepresentasikan kas yang akan
diterima di masa depan. Laporan keuangan menyediakan jenis informasi transaksi masa lalu dan
peristiwa lainnya yang paling berguna bagi pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi.

•Dasar kas (Cash Basis)


Cash basis dalam Kieso, Weygandt, Warfield (2013: 98) adalah dasar pencatatan perusahaan
dimana pendapatan diakui ketika kas diterima dan beban dicatat ketika kas dibayarkan.Kini sebagaian
besar perusahaan tidak menggunakan pencatatan berdasarkan atas dasar cash basis yang tidak
mengakui adanya prinsip pengakuan pendapatan dan prinsip pengakuan beban.
Pengakuan dan Pengukuran Penghasilan
Pengukuran Penghasilan
Ada empat dasar pengukuran yang digunakan dalam akuntansi, yaitu:

•Harga pertukaran masa lalu (Historical Cost), Harga ini adalah harga pokok sumber daya tersebut saat
mendapatkannya. Biasanya digunakan untuk mengukur persediaan, peralatan, dan aktiva lain.

•Harga pertukaran pembelian (Current Purchase Exchange), Harga ini biasanya diidentifikasikan
sebagai harga pokok pergantian karena sumber daya yang ditimbulkan oleh sumber daya yang diukur
dengan harga beli yang berlaku saat ini akan dibayar untuk memperoleh sumber daya tersebut apabila
sumber daya ini tidak terpenuhi.

•Harga pertukaran penjualan (Current Sale Exchange), Harga ini biasanya diidentifikasikan sebagai
harga yang berlaku saat ini dan kondisi harga kemungkinan besar stabil atau perubahan tidak material,
misalnya untuk pertukaran logam mulia.

•Harga pertukaran masa mendatang (Future Exchange), Harga ini mencerminkan penerimaan tunai di
masa mendatang dan mendiskontokannya terhadap nilai yang berlaku sehingga realisasi dan kesetaraan
pendapatan dapat terjamin. Penggunaannya untuk menaksir harga pokok di masa yang akan datang
atas dasar persentase selesai atau penjualan kredit.
Penghasilan Sebagai Objek dan Bukan Objek Pajak
1. Penghasilan sebagai objek:
• Impor barang dan ekspor barang komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh
eksportir
• Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara
pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
lembaga Pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya.
• Pembayaran atas pembelian barang dengan mekanisme uang
persediaan (UP) yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran.
• Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh KPA atau pejabat
penerbit surat perintah membayar yang diberi delegasi oleh KPA.
• Pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk
keperluan kegiatan usahanya Badan Usaha Milik Negara.
Penghasilan Sebagai Objek dan Bukan Objek Pajak
2. Penghasilan Bukan Objek Pajak
• Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah.
• Warisan; 
• Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal; 
• Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah
• Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; 
• Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha
milik negara, atau badan usaha milik daerah
Penghasilan Dari Transaksi
Antar Perusahaan
Penghasilan yang didapat perusahaan dari transaksi antar perusahaan adalah dividen.
pajak dividen merupakan pemungutan atas laba. Sesuai dengan undang-Undang Republik
Indonesia No. 36 tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan, pasal 4 ayat 1 (g) tentang objek pajak adalah penghasilan.
Salah satu di antaranya adalah dividen. Tidak semua dividen merupakan objek pajak. Terdapat
kondisi dimana laba yang diterima tidak menjadi objek pajak. Membuatnya tidak perlu
mendapatkan PPh.
Dividen Bukan Objek Pajak
Pada pasal 4 ayat 3 huruf F, dividen yang diterima oleh Wajib Pajak meliputi perseroan terbatas
(PT), koperasi, BUMN atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang berdiri dan
berkedudukan di Indonesia, tidak menjadi objek pajak selama memenuhi syarat:
• Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
• PT, BUMN atau BUMD yang menerima dividen memiliki saham paling rendah 25% dari jumlah
modal yang disetorkan.
• Melanjutkan pasal tersebut pada huruf F, dividen dari modal yang merupakan dana pensiun tidak
termasuk dalam objek pajak.
Penghasilan Dari Transaksi
Antar Perusahaan
Dividen Objek Pajak
Dividen dengan kondisi atau syarat yang tidak disebutkan dalam pasal maupun ayat tersebut
menjadi objek pajak. Namun penghasilan dividen yang terkena pemotongan PPh ini terbagi dua:
• Penghasilan dividen menjadi objek pajak, tapi tidak terkena potongan atau pemungutan pajak
penghasilan.
• Penghasilan dividen menjadi objek pajak dan terkena pemotongan atau pemungutan pajak
penghasilan.
Untuk dividen objek pajak yang tidak terkena PPh, bentuknya seperti yang dijelaskan dalam pasal 23
ayat 4 adalah:
• Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
• Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
• Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh
orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
• Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
• Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
Pengakuan Penjualan Untuk PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas
penjualan/penyerahan Barang atau Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Secara
umum, PPN dihitung sebagai berikut :
PPN = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
Tarif PPN adalah 10%. Sementara itu, tarif PPN untuk barang yang diekspor
adalah 0%. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPN adalah harga jual.
Prosedur pembukuan atau pembuatan jurnal PPN terdiri dari tiga faktor,
yakni:

• Pembelian BKP/JKP, dimana PPN dapat dikreditkan dan yang tidak dapat
dikreditkan.
• Penjualan dan PPN terutang.
• PPN yang masih harus dibayar dan lebih bayar PPN.
PPN yang timbul pada saat penjualan barang/jasa kena pajak, mempunyai
sebutan yang berbeda, tergantung dari sisi/pihak mana PPN tersebut dilihat.
Dilihat dari sisi pembeli, PPN yang timbul dari pembelian barang kena pajak atau
pada saat diterimanya jasa kena pajak itu disebut PPN Masukan. Sedangkan
dilihat dari sisi penjual, PPN yang timbul pada saat penjualan/penyerahan
barang/jasa kena pajak disebut dengan PPN Keluaran.
Bagi penjual, PPN yang dipungut dari pembeli (PPN Keluaran) bukan
merupakan suatu atau pendapatan, karena PPN Keluaran tersebut harus disetor ke
kas negara. Dalam hal ini, pihak penjual hanyalah sebagai pemungut pajak, yang
mempunyai kewajiban untuk menyetorkan pajak yang dipungut tersebut ke kas
negara.
Secara administratif, PPN dipungut dengan menggunakan bukti yang disebut
Faktur Pajak. Setiap perusahaan (sebagai Pengusaha Kena Pajak) diwajibkan
membuat faktur pajak, selambat-lambatnya pada akhir bulan berikut setelah bulan
terjadinya transaksi atau saat penerimaan uang, mana yang lebih dulu.
Contoh Kasus

Penjualan Tunai
Apabila penjualan barang/jasa dilakukan secara tunai, maka perusahaan harus segera
menerbitkan faktur pajak, karena pembeli yang membayar tunai pada umumnya akan keberatan
(tidak bersedia) untuk menerima faktur pajak yang tertunda. Bagi perusahaan (penjual), faktur
pajak merupakan dasar pencatatan PPN Keluaran yang dipungut.
Contoh 1 :
Pada tanggal 1 Juli 1999, PT Karimata menjual secara tunai Barang Kena Pajak seharga
Rp 5.390.000 (setelah dikurangi potongan harga), ditambah PPN 10%. Transaksi tersebut
akan dicatat oleh perusahaan sebagai berikut :
Kas Rp5.929.000

Penjualan Rp5.390.000
PPN Keluaran Rp 539.000
Contoh Kasus
Penjualan Kredit
Dilihat dari sisi perpajakan, karena faktur pajak belum diterbitkan, meskipun
barang/jasa telah diserahkan, PPN belum terutang sehingga belum perlu dicatat. Tetapi di
sisi lain, ditinjau dari prinsip akuntansi, saat penyerahan barang/jasa merupakan salah satu
saat pengakuan pendapatan atau pelepasan aktiva. Pencatatan PPN Keluaran seharusnya
mempertimbangkan kedua hal tersebut.

Contoh 2 :
Pada tanggal 1 Juli 1999, PT Karimata menjual secara kredit Barang Kena Pajak seharga
Rp 5.390.000 (setelah dikurangi potongan harga), ditambah PPN 10%. Barang telah dise-
rahkan pada tanggal tersebut, tetapi faktur pajak belum dibuat. Transaksi tersebut akan
dicatat oleh perusahaan sebagai berikut :
Piutang dagang Rp 5.929.000
Penjualan Rp 5.390.000
PPN Keluaran belum difakturkan Rp 539.000

Jika pada tanggal 1 Agustus 1999 faktur pajak dibuat dan diserahkan kepada pembeli,
maka perusahaan harus melakukan pencatatan berikut :
PPN Keluaran belum difakturkan Rp 539.000
PPN Keluaran Rp 539.000
Contoh Kasus
Retur Penjualan
Barang yang diterima kembali dari pembeli (karena rusak atau sebab-sebab lain),
merupa-kan suatu pembatalan dan pengurangan jumlah penjualan. Oleh karena itu, PPN
atas barang tersebut menjadi tidak terutang. Dengan kata lain, retur penjualan akan
mengurangi PPN Keluaran. Retur penjualan dapat terjadi pada saat faktur pajak belum
dibuat, atau setelah faktur pajak dibuat.

Contoh 1:
Pada tanggal 1 Juli 1999, PT Karimata menjual secara kredit Barang Kena Pajak seharga
Rp 5.390.000 (setelah dikurangi potongan harga) ditambah PPN. Barang telah diserahkan
pada tanggal tersebut, tetapi faktur pajak belum dibuat. Transaksi ini dicatat seperti
dalam contoh 2.

Pada tanggal 20 Juli 1999 (di mana faktur pajak belum dibuat), terjadi retur penjualan
atas barang yang berharga Rp 700.000. Atas transaksi retur penjualan ini, perusahaan
harus mencatat :
Retur Penjualan Rp 700.000
PPN Keluaran belum difakturkan Rp 70.000
Piutang dagang Rp 770.000
Contoh Kasus
Jika pada tanggal 1 Agustus 1999 perusahaan menerbitkan faktur pajak, maka
perusahaan cukup mencantumkan jumlah penjualan setelah dikurangi dengan retur
penjualan. Demiki-an pula PPN-nya. Pada contoh ini, jumlah penjualan dan PPN
Keluaran yang dicantumkan dalam faktur pajak adalah sebagai berikut :
Harga jual (jumlah penjualan) Rp 4.690.000
PPN : 10% x Rp 100.000
Rp 469.000


Jumlah yang dibebankan kepada pembeli
Rp 5.159.000
Atas diterbitkannya faktur pajak ini, perusahaan (sebagai penjual) harus mencatat
sebagai berikut :
PPN Keluaran belum difakturkan Rp 469.000
PPN Keluaran Rp 469.000
Apabila retur penjualan terjadi pada tanggal 10 Agustus 1999 (di mana faktur pajak telah
dibuat), maka pencatatan yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah :
Retur Penjualan Rp 700.000
PPN Keluaran Rp 70.000
Piutang dagang Rp 770.000
Kesimpulan

• Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-undang PPh Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun

• Pengakuan pendapatan/penghasilan dengan mengacu pada tingkat penyelesaian dari


suatu transaksi sering disebut sebagai metode presentase penyelesaian.Dengan
metode ini, pendapatan diakui dalam periode akuntansi pada saat jasa
diberikan.Pengakuan

• Jenis pencatatan pengakuan pendapatan ada 2, yaitu : dasar akrual dan dasar kas

• Ada empat dasar pengukuran yang digunakan dalam akuntansi, yaitu: Harga
pertukaran masa lalu (Historical Cost), Harga pertukaran pembelian (Current
Purchase Exchange), Harga pertukaran penjualan (Current Sale Exchange), Harga
pertukaran masa mendatang (Future Exchange).

Anda mungkin juga menyukai