Anda di halaman 1dari 47

ILMU NEGARA

SIFAT DAN HAKIKAT NEGARA


Mengapa kita perlu membicarakan hakikat negara?
Menurut Leon Duguit, agar kita dapat mengetahui
luasnya kekuasaan negara, serta kebebasan-kebebasan
dari para warga negaranya. Sebab yang menjadi
persoalan pokok di dalam negara itu ialah perimbangan
antara kekuasaan negara di satu pihak dengan
kebebasan dari warga negara di pihak lain.
Menurut Soehino, dalam membicarakan hakikat
negara berarti menggambarkan sifat dari "negara". Di
samping itu, penggambaran hakikat negara akan
bersangkut paut dengan tujuan negara, dengan alasan
bahwa hakikat negara sebagai wadah suatu bangsa
untuk mencapai cita-cita atau tujuan bangsanya.
Negara mempunyai sifat-sifat khusus" yang merupa
kan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan
yang hanya terdapat pada negara saja dan tidak
terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya. Dalam
hal ini, Harold J. Laski mengatakan bahwa, "negara-
negara itu adalah satu persekutuan manusia yang
mengikuti jika perlu dengan tindakan paksaan satu
cara hudup tertentu". Menjelaskan pernyataannya ini,
Laski menambahkan bahwa, "negara sebagai sistem
peraturan peraturan hukum, berubah-ubah bentuknya
menurut sementara dari negara itu". Maksudnya
adalah bahwa sifat memaksa dari negara tercermin
pada sistem peraturan-peraturan hukum yang dibuat
atau dibentuk negara dan harus ditaati oleh warga
negaranya.
Plato yang telah menulis buku berjudul Politeia
(negara), Politikos (ahli negara), Nomoi (Undang-
Undang- mengatakan bahwa sifat-sifat manusia ada
persamaannya dengan sifat-sifat negara.
Hakikat negara menurut Plato diawali dengan
keharusan mengukur luas negara atau disesuaikan
dengan dapat-tidaknya, mampu-tidaknya negara
memelihara kesatuan di dalam negara bersangkutan,
karena negara pada hakikatnya merupakan suatu
keluarga yang besar, Oleh sebab itu, negara tidak boleh
mempunyai luas daerah yang tidak tertentu,

  
Cukup banyak pendapat para pemikir negara dan
hukum mengenai sifat dan hakikat negara, antara lain
F. Oppenheimer dan Leon Duguit yang berpendapat
secara ekstrim bahwa sifat dan hakikat negara
merupakan alat kekuasaan orang-orang atau golongan
yang kuat untuk memerintah orang-orang atau
golongan yang lemah. Berbeda halnya dengan R.
Kranenburg yang mengatakan bahwa sifat dan hakikat
negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang
diciptakan secara sadar oleh sekelompok manusia yang
disebut bangsa, agar dapat mewujudkan kepentingan
dari kelompok manusia tersebut."
Logemann juga ikut berpendapat bahwa
sifat dan hakikat negara adalah suatu
oraganisasi kekuasaan yang memiliki
kewibawaan (gezag) yang dapat memaksakan
kehendaknya kepada semua orang yang
menjadi warga dari organisasi kekuasaan itu
jadi sifatnya memaksakan kehendak,
sedangkan hakikatnya adalah organisasi
kekuasaan yang penuh dengan kewibawaan.
Melalui kekuasaan dan kewibawaannya, maka
negara selalu memaksakan kehendak kepada
warga negara agar tujuan negara tercapai.
Menurut Miriam Budiardjo, umumnya dianggap bahwa
setiap negara mempunyai sifat memaksa, sifat monopoli dan
sifat mencakup semua.
1. Sifat Memaksa. Adanya sifat memaksa ini dimaksudkan
agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan
demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta
dapat mencegah terjadinya anarki. Untuk itu negara
harus memiliki sifat memaksa dalam arti mempunyai
kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal.
Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya.
Unsur paksa dari negara juga dapat dilihat misalnya pada
ketentuan tentang pajak. Setiap warga negara harus
membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban
ini dapat dikenakan denda, atau disita harta miliknya
atau di beberapa negara bagkan dapat dikenai hukuman
kurungan.
2. SifatMonopoli. Negara mempunyai sifat
monopoli dalam mene tapkan tujuan
bersama dari masyarakat. Dalam
rangka ini, negara dapat menyatakan
bahwa suatu aliran kepercayaan atau
aliran politik tertentu dilarang hidup
dan disebarluaskan, karena dianggap
bertentangan dengan tujuan
masyarakat
3. Sifat Mencakup Semua (all-encompassing, all-
embracing) Semua peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh negara berlaku
untuk semua orang tanpa kecuali. Keadaan
demikian memang perlu, sebab kalau seorang
dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas
negara, maka usaha negara ke arah tercapainya
masya rakat yang dicita-citakan akan gagal.
Lagi pula, menjadi warga negara tidak
berdasarkan kemauan sendiri (involuntary
member ship) dan hal ini yang membedakan
negara dengan asosiasi lain, di mana
keanggotaan dalam asosiasi lain bersifat
sementara.
TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA
A. TUJUAN NEGARA
Setiap negara mempunyai tujuan-tujuan tertentu.
Apa yang menjadi tujuan bagi suatu negara ataupun ke
arah mana suatu organisasi negara ditujukan
merupakan masalah penting, sebab dengan tujuan
inilah yang menjadi pedoman betapa negara disusun
dan dikendalikan serta bagaimana kehidupan
rakyatnya diatur sesuai dengan tujuan itu. Tujuan
negara dalam hal ini dapat pula diartikan sebagai visi
negara, yang secara umum ditujukan untuk mencip
takan kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan
bagi rakyatnya (bonum publicum, common good,
common wealth).
Pernyataan di atas sejalan dengan
pendapat Aristoteles yang mengatakan
bahwa:
"Negara itu dimaksudkan untuk
kepentingan warga negaranya, supaya
mereka itu dapat hidup baik dan
bahagia. Negara itu merupakan satu
kesatuan yang tujuannya untuk
mencapai kebaikan yang tertinggi, yaitu
kesempurnaan diri manusia sebagai
anggota negara."
Negara sebagai sebuah persekutuan,
dalam pandangan Aristoteles, harus
mempunyai tujuan tertentu.
Lebih luas lagi, Dente Alighieri
berpendapat bahwa, "Tujuan negara
adalah untuk menyelenggarakan
perdamaian dunia dengan jalan
mengadakan undang-undang yang sama
bagi semua umat".
Apa yang dikatakan Dente mengenai
perdamaian dunia ini, dapat ditafsirkan
dalam dua makna, yaitu:
a) Perdamaian
dunia sebagai alam fana
yang merupa kan lawan akhirat;
ataukah
b) Perdamaiandunia sebagai suatu uni
versum di muka bumi ini.
Dalam pandangan Epicurus, tujuan negara
adalah menyelenggarakan ketertiban dan
keamanan, dan untuk terselenggaranya
ketertiban dan keamanan, maka setiap orang
harus menundukkan din kepada pemerintah.
Di samping negara itu bertujuan untuk menye
lenggarakan ketertiban dan keamanan,
menurut Epicurus, negara juga bertujuan
untuk menyelenggarakan kepentingan
perseorangan yakni keenakan (kesenangan)
pribadi, baik yang bersifat materialistis
maupun keenakan yang bersifat kejiwaan dan
kerohanian.
Thomas Aquinas berpendapat bahwa tujuan negara
identik dengan tujuan manusia. Tujuan manusia
adalah untuk mencapai kemuliaan pribadi, yaitu
kemuliaan abadi pada waktu sesudah manusia mati
(bukan kemuliaan abadi yang bersifat keduniawian).
Sedangkan tugas negara adalah memberi kesempatan
bagi manusia agar tuntutan dari Gereja dapat
dilaksanakan, yang berarti bahwa negara harus
menyeleng garakan keamanan dan perdamaian agar
masing-masing orang dapat menjalankan tugasnya
sesuai dengan bakatnya dalam suasana keten teraman.
Jadi, tujuan negara adalah memberi kemungkinan
kepada manusia agar dapat mencapai kemuliaan
pribadi.
Menurut seorang filsuf Jerman yang bernama
George Hegel (1770 1831), negara adalah
person yang mempunyai kemampuan sendiri
dalam mengejar pelaksanaan "idee" umum. Ia
memelihara dan menyempurnakan diri sendiri,
maka kewajiban tertinggi manusia adalah
menjadi warga negara sesuai dengan undang-
undangan. Kaum diktator menganut paham,
negara itu sendiri sebagai tujuan. Warganya
mesti mengorbankan apa saja yang
diperintahkan pemegang kuasa. Jadi
penjelmaannya ialah negara kekuasaan."
Salah seorang tokoh yang meletakkan dasar
pemikiran tujuan negara berdasarkan teori
kekuasaan negara adalah Shang Yang (Menteri
Tiongkok 523-428 SM) yang dikenal pula dengan
nama Lord Shang. Shang Yang mendambakan
pemerintahan negara yang kuat untuk
menyelesaikan kenyataan yang memprihatinkan.
Untuk itu Shang Yang mengemukakan bahwa di
dalam setiap negara terdapat subjek yang selalu
berhadapan dan bertentangan, yaitu pemerintah
dan rakyat.
Apabila yang satunya kuat, maka yang lainnya tentu
lemah. Shang Yang lebih memilih pemerintahlah
(negara) yang harus lebih kuat daripada pihak rakyat,
supaya tidak terjadi kekacauan dan anarkis, karena itu
pemerintah harus selalu berusaha supaya ia lebih kuat
daripada rakyat." Dalam hal ini Shang Yang berkata, "a
weak people means a strong state and a strong state
means a weak people. Therefore a country, which has
the right way, is concerned with weaking people".
(Rakyat lemah berarti negara kuat, dan apabila negara
kuat berarti rakyat lemah. Oleh sebab itu bagi negara
yang mempunyai tujuan yang betul, hendaklah
bertindak melemahkan rakyat)."
Niccolo Machiavelli (seorang diplomat
Florence, Italia) menggagas teori tujuan negara
yang oleh para ahli mirip dengan pendapat
Lord Shang, yakni negara harus lebih kuat
daripada rakyatnya. Hanya penekanan
Machiavelli adalah lebih pada kebesaran dan
kehormatan negara, yakni kekuasaan negara
hanya sekadar perantara saja (sasaran antara),
sedangkan tujuan akhirnya (tujuan utama) dan
tertinggi adalah terciptanya kebesaran dan
kehormatan negara.
 " Machiavelli mengam barkan karakteristik negara
pada sifat-sifat raja. Seorang penguasa (raja) harus
mempunyai dua sifat, di satu pihak harus cerdik
seperti kancil, supaya bisa menipu di mana saja, dan
kalau akan ditipu dia sudah tahu sebelumnya. Di
samping itu, seorang raja harus berani seperti sing
supaya bisa menakut-nakuti musuhnya." Menurut
Niccolo Machiavelli, raja atau pimpinan negara bisa
berbuat apa saja asalkan tujuan bi tercapai, yang
dikenal dengan ungkapan het doel heilight de
middelen (menghalalkan segala cara untuk mencapai
suatu tujuan)."
Jadi, tampaknya kekuasaan negara bagi
Machiavelli merupakan tujuan negara yang
tidak sebenarnya (oneigenlijke staatsdoel),
semen tara tujuan yang sebenarnya (eigenlijke
staatsdoel) adalah kebesaran dan kehormatan
negara. Dari pendapat Machiavelli ini
diketahui bahwa tujuan negara itu ada 2 (dua),
yakni: (1) Tujuan primer negara (tujuan negara
yang sebenarnya); dan (2) Tujuan sekunder
negara (tujuan negara yang bukan sebenarnya).
Menurut Plato, tujuan negara yang
sebenarnya adalah untuk mengetahui atau
mencapai atau mengenal idea yang
sesungguhnya, sedang yang dapat mengetahui
atau mencapai idea yang sesungguhnya itu
hanyalah ahli-ahli filsafat saja. Maka dari itu,
pimpinan dengan atau pemerintahan negara
sebaiknya harus dipegang oleh ahli-ahli filsafat
saja. Dapat dimaknai bahwa gagasan Plato ini
sungguh sangat ideal dalam implementasinya,
terutama apabila dilihat pada kenyataan
negara-negara sekarang.
Selanjutnya menurut Benedictus de
Spinoza, tujuan negara adalah untuk
menyelenggarakan perdamaian, ketentraman,
dan menghilangkan ketakutan. Sehingga untuk
mencapai tujuan itu, warga negara harus
menaati segala peraturan dan undang-undang
negara. Jika tidak demikian, keadaan alamiah
(tanpa negara) akan timbul kembali. Dengan
demikian, kekuasaan negara harus mutlak
terhadap warga negaranya.
B. FUNGSI NEGARA
Adanya pelbagai idiologi yang menjadi yang melingkupi
berbagai negara, sehingga menyebabkan banyaknya teori fungsi
negara. Menurut Jacobsen dan Lipman dalam bukunya yang
berjudul Political Science terdapat tidak kurang delapan teori
tentang fungsi negara, yaitu:
a) An archism (anarkisme);
b) Individualism (individualisme);
c) Socialism (sosialisme);
d) Communism (komunisme);
e) syndicalism (sindikalisme);
f) Guild socialism (sosialisme serikat buruh);
g) Fascism (fasisme);
h) Empirical colectivism (kolektivisme empiris).
1. Anarkisme-Nihilisme
Kata "anarkisme" berasal dari kata-kata dalam bahasa
Yunani Kuno: "a/an" (tanpa) dan "archia" (penguasa atau
pemerintah), sehingga dapat diartikan bahwa "anarkisme"
adalah suatu paham yang menganut idea "non rule". Menurut
ajaran ini, manusia dalam kodratnya bersifat baik dan berbudi
luhur, akan tetapi menjadi rusak budi pekertinya ketika
adanya negara. Karena itu sesungguhnya manusia tidak
memerlukan negara dengan pemerintahannya yang
menggunakan alat-alat pemaksa untuk menyelenggarakan dan
memelihara keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.
Keamanan dan ketertiban menurut ajaran anarkisme ini,
sesungguhnya dapat terpelihara tanpa paksaan oleh negara.
Bahkan sebaliknya, muncul kepincangan dalam masyarakat
yang disebabkan oleh terlalu banyaknya campur tangan negara
dalam kehidupan individu dalam masyarakat.
Menurut ajaran anarkisme, fungsi negara adalah untuk
memlihara keamanan saja. Sedangkan fungsi-fungsi lainnya dapat
diserahkan kepada bentuk-bentuk asosiasi individu manusia yang
didirikan secara sukarela dan yang tidak menggunakan sesuatu
paksaan. Pada pokok nya, ajaran anarkisme ini tidak
menghendaki adanya pengaturan yang dianggapnya sebagai
pembelengguan dan pengekangan terhadap kebebasan individu,
dan karena itu negara sebagai organisasi paksaan harus
dihilangkan. Menurut Winkler Prins":
"Het anarchisme streeft naar een rechtvaardige samenleving door de
denkbaar grootste autonomie der individuen en volledige
afwezigheid van elke regeerdwang."
(Anarkisme menuju kepada masyarakat yang adil melalui otonomi
dari masing-masing individu yang seluas mungkin sejauh kemam
puan daya pikir manusia dan kepada penghapusan sama sekali
paksaan oleh negara)
Masyarakat yang dikehendaki ajaran anarkisme adalah suatu
masyarakat tanpa negara, tanpa pemerintahan dengan segala alat-
alat pemaksanya, dan tidak ada undang-undang ataupun
peraturan peraturan hidup (peraturan perundang-undangan
ataupun living law) lainnya, karena undang-undang dan peraturan
perundang-undangan dimaksud akan mengurangi kebebasan
manusia.
Bentuk yang paling ekstrim dari aliran anarkisme adalah
ajaran "nihilisme", karena aliran ini ingin "menihil (nol, kosong,
tiada)-kan", ingin melenyapkan, menghapuskan, meniadakan
segala macam pengekangan-juga termasuk pengekangan yang
bersumber pada nilai nilai agama, etik dan moral. Aliran nihilisme
ini terdapat di Rusia pada sekitar pertengahan abad ke-19 dan
ditujukan untuk melenyapkan kekuasaan Tsar Rusia dengan
terus menerus melakukan teror terhadap para pemegang
kekuasaan, antara lain dengan membunuh Tsar. Sehingga dalam
ajaran nihilisme ini, negara dianggap bersifat negatif dan karena
itu negara dipandang bukan saja tidak perlu, akan tetapi lebih
dari itu "negara harus dilenyapkan".
2. Individualisme-Liberalisme
Secara etimologis, istilah "individualisme" berasal dari
dua kata bahasa Latin, yaitu "in" (tidak) dan "dividuus"
(terbagi). Karena itu arti "individu" yang sebenarnya adalah
"wujud yang tidak dapat dibagi". Akan tetapi kemudian kata
"individu" itu dipakai sebagai sebutan untuk sesuatu
kesatuan yang terkecil, yang karena kecilnya itu tidak dapat
dibagi lagi. Dalam pengertian dewasa ini, perkataan individu
menunjuk kepada kesatuan terkecil di dalam masyarakat,
yakni manusia sebagai perse orangan, manusia sebagai
orang seorang, manusia sebagai pribadi tunggal. Dalam
ajaran individualisme yang diselidiki bukanlah manusia
sebagai makhluk biologis, melainkan sebagai anggota
masyarakat dengan tabiat dan tingkah lakunya dalam
pergaulan hidup, yakni sebagai makhluk sosial.
Individualisme adalah salah satu ajaran yang
menempatkan kepentingan individu sebagai pusat
tujuan hidup manusia. Kepentingan individu dapat
berupa kekayaan, keselamatan, kesejahteraan dan
kemakmuran seseorang, sehingga ajaran
individualisme ini sifatnya sangat individual-sentris.
Menurut ajaran ini, yang paling baik mengetahui
kepentingan-kepentingan individu adalah individu-
individu itu sendiri. Oleh sebab itu, perjuangan
manusia untuk memenuhi kepentingan individualnya
akan lebih tepat, lebih efektif, dan lebih efisien
bilamana seluruhnya diserahkan kepada individu-
individu sendiri. Justru itu setiap orang harus diberi
kebebasan dan kemerdekaan seluas-luasnya untuk
memperjuangkan kepentingan masing-masing tersebut.
Fungsi negara dalam konsepsi
individualisme harus ditujukan kepada
terpenuhinya kepentingan individu-individu.
Karena itu, negara seperti juga lembaga
kemasyarakatan lainnya, tidak merupakan "end
in itself' atau tujuan pokok dan tidak
merupakan "ultimate goal" atau tujuan akhir,
melainkan hanya merupakan sarana atau alat
ataupun "jembatan emas" belaka bagi usaha
manusia untuk mencapai kepentingan-
kepentingan individualnya.
Fungsi negara harus dibatasi kepada hanya
mengusahakan adanya iklim dan kesempatan yang
sebaik mungkin bagi perjuangan hidup semua orang
untuk mengejar kepentingannya masing-masing,
sehingga fungsi negara adalah hanya menjaga
keamanan dan ketertiban saja supaya orang-orang
tidak saling mengganggu dan tidak saling menghalangi
dalam perjuangan hidupnya masing-masing dan
penggunaan hak-haknya masing-masing. Negara tidak
boleh terlalu banyak ikut campur dalam urusan
individu, bahkan sebaliknya harus memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya kepada setiap orang
dalam perjuangan hidupnya itu dan memberikan
keleluasaan kepada individu untuk mengembangkan
bakat dan hasrat individualnya serta ekspresi
kepribadiannya.
Karena itu, ajaran individualisme tidak terlepas dari
paham yang sangat mementingkan dan menjunjung tinggi
"liberty", artinya kebebasan dan kemerdekaan seseorang,
yakni ajaran liberalisme. Bahkan dapat dikatakan bahwa
liberalisme dan individualisme itu satu hal saja, akan tetapi
ditinjau dari sudut yang berlainan, merupakan "both sides of
one coin" (dua sisi dari satu mata uang). Semboyan yang
berlaku bagi para penganut ajaran individualisme-
liberalisme adalah "the less government the better", yakni
bahwa makin sedikit negara menjalankan pemerintahan
adalah makin baik, makin sedikit negara mengadakan
pengaturan mengenai kepentingan orang makin baik, sebab
memerintah ataupun mengatur berarti ikut campur dalam
urusan orang, sedangkan ikut campur dalam urusan orang
berarti mengganggu dan mengurangi kebebasan orang
(individu).
3. Sosialisme-Komunisme
Perkataan "sosialisme" berasal dari bahasa Latin "socius",
yang berarti "kawan" atau "teman". Dari kata "socius"
tersebut diturunkan ke dalam berbagai istilah, antara lain
kata "society" (Inggris), yang artinya kelompok orang-orang
atau masyarakat sebagai tempat orang-orang tersebut
"hidup berkawan", "hidup berteman", atau dengan perkataan
lain "hidup bersama".
Berlawanan dengan ajaran individualisme yang berpusat
pada kepentingan individu-individu, maka ajaran sosialisme
bersifat society sentris, dalam arti bahwa oleh ajaran
sosialisme yang lebih dipentingkan alias adalah keseluruhan
masyarakat dan bukan individu masing-masing, terlebih-
lebih dalam bidang kehidupan ekonomi.
Dalam hal ini, maka paham sosialisme merupakan
salah satu bagian dari paham "kolektivisme" sebagai
suatu paham yang menjadikan kolektivitas sebagai
pusat tujuan hidup manusia dan beranggapan bahwa
kolektivitaslah yang di dalam segala segi kehidupan
manusia harus diutamakan dan didahulukan. Demi
kepentingan kolektif, maka kepentingan individu harus
dikesampingkan, bahkan jika perlu harus dikorbankan.
Kolektivitas itu dapat berupa ras, agama, bangsa,
negara ataupun masyarakat. Bilamana prioritas utama
harus diberikan kepada kolektivitas yang berupa
masyarakat dan individu harus menyingkir dahulu,
maka paham itu disebut paham sosialisme.
Berbeda dengan sosialisme (utopia), oleh Karl Marx
dan Freidrich Enggels yang menggagas "manifesto
komunis" mengatakan bahwa harapan dan angan-
angan kaum sosialis kuno sama sekali tidak dapat
berhasil sebab tidak berdasarkan realitas sejarah. Ia
mencoba membukti kan secara dialektik bahwa di
dalam jalan dan perkembangan sejarah struktur dan
sifat lembaga-lembaga sosial dan politik di setiap
negara ditentukan hanya oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi yang merupakan bangunan dasar bagi
bangsa-bangsa yang bersangkutan. Perhubungan
perhubungan antar-manusia di dalam masyarakat
diatur dan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang
semata-mata bersifat materil.
Perbedaan yang pokok antara sosialisme dan komunisme adalah sebagai
berikut:
a) Sosialisme menghendaki bahwa yang harus dijadikan milik bersama
dalam masyarakat hanya alat-alat produksi yang penting-penting saja
yang mengenai hajat hidup orang banyak. Partai-partai sosialis di
negara-negara bebas (yakni di luar negara-negara komunis) hanya
menginginkan nasionalisasi atas sektor-sektor industri yang amat
penting dan vital saja. Sosialisme berpendapat bahwa benda benda
lainnya, demikian pula usaha-usaha industri kecil dan menengah,
hendaknya tetap dijalankan oleh swasta sebagai usaha bebas.
Komunisme tidak mengakui adanya pemilikan perseorangan atas
segala macam alat produksi dan kapital. Yang ada hanya pemilikan
oleh negara dari semua alat produksi itu. Bahkan semua benda
lainnya yang bukan alat produksi pun harus dijadikan milik bersama
atau milik negara. Dengan demikian, hak privat atas segala benda pun
harus dihapuskan. Komunisme dengan demikian memberikan bobot
yang terlalu berlebihan kepada kolektivitas masyarakat, sehingga
individu-individu dianggap tidak lebih daripada hanya onderdil-
onderdil belaka dari mesin raksasa "masyarakat".
b) Kaum sosialis menganggap adanya negara tetap perlu, bahkan
fungsi negara adalah luas sekali sebagai pengatur seluruh
kehidupan masyarakat supaya tujuan sosialisme dapat tercapai,
yaitu peme rataan penghasilan bagi setiap anggota masyarakat,
sehingga semua orang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya dengan cukup. Kaum komunisme menganggap negara
sebagai alat pemeras yang dipergunakan oleh kelas orang-orang
ekonomi kuat untuk menggencet kelas-kelas masyarakat
lainnya yang dikuasai mereka atau sebagai alat dominasi dari
kelas ekonomi yang sedang berkuasa terhadap semua golongan
masyarakat lainnya. Bilamana tujuan komunisme, yakni
lenyapnya kelas-kelas, telah tercapai, maka karena tidak ada
lagi kelas ekonomi kuat yang memerlukan alat pemaksa untuk
menekan kelas-kelas yang lain, fungsi negara akan lenyap,
bahkan eksistensi negarapun melalui proses "fading away",
artinya makin lama makin kabur, akan berakhir dengan
sendirinya secara berangsur-angsur.
4. Fasisme-Naziisme
Kata "fasisme" berasal dari bahasa
Latin "fascis". Suatu fascis di zaman
Romawi Kuno adalah suatu benda yang
terdiri dari seikat tongkat-tongkat kayu
dengan sebilah kapak di tengah-
tengahnya. Benda-benda tersebut biasa
dipikul orang di depan para penguasa
Romawi sebagai suatu lambang
kekuasaannya.
Oleh Mussolini simbol itu dipergunakan
untuk melambangkan suatu sistem politik di
Italia di bawah pimpinannya yang ternyata
dapat bertahan dari tahun 1922 hingga tahun
1943 setelah Mussolini dibunuh oleh para
partisan yang melawannya. Gerakan fasisme
mulai dilancar kan dengan pimpinan Mussolini
di tahun 1919 dan ditujukan untuk menentang
perjanjian damai setelah Perang Dunia I. Di
samping itu diarahkan pula terhadap golongan-
golongan kiri yang oleh Mussolini dianggap
sebagai penyebab hancumnya kehidupan
ekonomi di Italia.
Segera gerakan fasisme ini menjadi suatu gerakan
politik yang ternyata dapat merebut kekuasaan
pemerintahan pada tahun 1922 tanpa menghapuskan
secara formal bentuk pemerintahan monarki yang dewasa
itu berlaku dan juga tanpa mengganggu kedudukan Paus
di Roma (Vatikan). Pemerintahan di bawah pimpinan
Mussolini yang berdasarkan faham fasisme yang bersifat
otoriter-diktatorial kemudian dijadikan sistem politik yang
permanen dengan menggunakan slogan "Credere, obbe-
dire, combattere", yang berarti "percayalah, tunduklah,
berjuanglah". Slogan menunjukkan bahwa para pengikut
pemerintah kaum fasis ini harus dipercayakan sebulat-
bulatnya kepada Mussolini sebagai "Il Duce" (baca: il
duci) atau "sang pemimpin" dan melaksana kan tanpa
ragu-ragu dan tanpa sikap kritis serta tanpa reserve pula
segala diperintahkannya.
Istilah "nazisme" berasal dari perkataan "nazi" yang sebenarnya
merupakan suatu akronim atau singkatan dari perkataan dalam
bahasa Jerman "National Sozialismus", suatu ideologi dari partai
politik NSDAP (National Sozialistische Deutsche Arbieter Partei) yang
sejak 1920 dipimpin oleh Adolf Hitler, seorang mantan sersan
dalam tentara Jerman. Partai tersebut berhasil memperoleh
kekuasaan dan kemudian menyusun suatu sistem pemerintahan
yang otoriter-diktatorial, Program sosialisme nasional menurut
paham Hitler itu adalah untuk mendirikan negara yang totaliter
dan untuk perluasan daerah (wilayah) kekuasaan Jerman dengan
menerapkan teori geopolitik, yakni dengan tujuan memperluas
"lebensraum" (ruang hidup) bagi bangsa Jerman dengan jalan
memperluas wilayah negara. Dan untuk tujuan itu segala
kepentingan individu, bahkan nyawanya sebagai miliknya yang
paling berharga sekalipun, harus disubordinasikan, harus
ditundukkan kepada kepen tingan negara. Tiada aspek apapun dari
kehidupan masyarakat yang tidak diawasi oleh negara.
Dalam ajaran fasisme dan naziisme
menunjukkan ciri-ciri: negara dianggap sebagai
suatu kolektivitas yang memiliki kekuasaan
mutlak Titik tolak timbulnya negara adalah
kesatuan-kesatuan kelompok masyarakat,
sehingga dengan demikian negara menganggap
dirinya sebagai wakil masyarakat dan bukan
mewakili individu-individu yang dipersatuan di
dalam masyarakat itu; Yang penting adalah kolek
tivitasnya yang berbentuk negara, individu-
individunya sendiri dianggap tidak penting.
Sebagaimana ucapan Adolf Hitler: "Du bist nichts,
dein land ist alles" (kamu tidak mempunyai arti
apa-apa, negaramulah yang berarti segala-
galanya).
Di samping teori fungsi negara menurut
ajaran-ajaran di atas, penulis ingin
memaparkan fungsi-fungsi negara menurut
pendapat para ahli sebagai berikut:
1. John Locke; membagi fungsi negara atas tiga
fungsi, yaitu:
a) Fungsi Legislatif, untuk membuat peraturan;
b) Fungsi eksekutif, untuk melaksanakan
peraturan; dan
c) Fungsi federatif, untuk mengurusi urusan
luar negeri dan urusan perang dan damai.
2. Baron Montesquieu, membagi fungsi negara
atas:
a) Fungsi legislatif, membuat undang-undang:
b) Fungsi eksekutif, melaksana kan undang-
undang;
c) Fungsi yudikatif, mengawasi agar semua
peraturan ditaati (fungsi mengadili). Teori ini
dikenal dengan teori Trias Politica, masing-
masing fungsi ini dipisahkan satu sama lain
3. Van Vollenhoven, membagi fungsin negara
atas:
a) Regeling (membuat peraturan);
b) Bestuur (menyelengarakan pemerintahan);
c) Rechtspraak (fungsi mengadili); dan
d) Politie (fungsi ketertiban dan keamanan).
Teori ini dikenal sebagai “catur praja”
4. Goodnow, fungsi negara ada dua, yaitu:
a) Policy making, yakni kebijakan negara pada waktu tertentu,
untuk seluruh masyarakat.
b) Policy executing, yakni kebijakan yang harus dilaksanakan
untuk mencapai policy making. Ajaran Goodnow inilah yang
dikenal dengan teori "Dwipraja" (dichotomy).
5. Moh. Kusnardi, fungsi negara diuraikan sebagai berikut: (a)
Melaksanakan penertiban (law and order). Untuk mencapai
tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam
masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban.
Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.
(b) Menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Dewasa ini fungsi kesejahteraan dan kemakmuran menjadi
sangat penting. Setiap negara mencoba untuk
melaksanakan/mempertinggi kehidupan rakyatnya, meluaskan
taraf ekonomi dan kehidupan masyarakat.
Di samping pendapat-pendapat di atas, ada
juga pendapat Socrates mengenai fungsi
negara, yakni mengatakan bahwa fungsi negara
adalah menciptakan hukum, yang harus
dilakukan oleh para pemimpin, atau para
penguasa yang dipilih secara saksama oleh
rakyat. Socrates menentang keras mengenai
apa yang dianggapnya bertentangan dengan
ajarannya, yakni menaati undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai