Anda di halaman 1dari 22

Program Studi Psikiatri

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

LAPORAN KASUS

UNITENTIONAL OPIOID
OVERDOSE

Oleh: dr. Uditia Alham Sakti


Dosen Pengampu : Agus Japari dr., M.Kes., Sp.KJ
KRONOLOGI
KASUS
KRONOLOGI KASUS

Seorang pria berusia 36 tahun dengan gangguan penggunaan opioid terlihat di


unit gawat darurat rumah sakit ini selama musim dingin karena overdosis
opioid.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


KRONOLOGI KASUS

4 Tahun Sebelum Evaluasi 1 Tahun Sebelum Evaluasi

Pasien menjalani operasi tangan yang


tidak ditentukan. Hydromorphone Pasien kehilangan pekerjaan dan
diberikan segera setelah prosedur. mencoba berhenti menggunakan
heroin. Ia memakai metadon untuk
Setelah dipulangkan pasien masih mencari menahan rasa ngidam heroin, tetapi
opioid, tetapi beralih ke heroin intravena berhenti setelah 10 hari karena
karena murah dan mudah diperoleh. dengan efek sampingnya, dan kembali
Pasien menyuntikkan 1 – 2 gram per hari. memakai heroin.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


KRONOLOGI KASUS

6 Bulan Sebelum Evaluasi 2 Bulan Sebelum Evaluasi


Pasien bebas dari penjara dan bergabung ke
program rehabilitasi residensial terstruktur.
Pasien kembali berhenti
menggunakan heroin dan Pasien terus berpartisipasi dalam program ini
dirawat di fasilitas rawat dan bebas opioid hingga 3 hari sebelum
evaluasi, ketika dia kembali menggunakan
inap untuk pengobatan heroin intravena.
gejala putus obat. Setelah 2
minggu, dia diperbolehkan Pasien mendapat obat dan mencampurnya
dengan fentanil dari dealer dan mulai
pulang. menyuntikkan 0,5 gram menggunakan jarum
bersih dan filter kapas.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


KRONOLOGI KASUS
Hari Evaluasi

Pasien menyuntik heroin 0,5 gram pada jam 10 pagi, diikuti dengan 0,5 gram lagi sekitar jam 13:30.
Kemudian dia ingat pergi berjalan-jalan di taman dan menelepon seorang teman untuk bertemu.

Jam 14:44, pasien ditemukan pingsan di taman. Teman pasien memberikan nalokson intranasal lalu
menelepon petugas darurat. Sebelum petugas darurat tiba, petugas pemadam kebakaran
memberikan nalokson intranasal dosis kedua.
Pasien tampak sianosis dengan Skala Koma Glasgow 3. Suhu tubuh 35,6°C, nadi 88 kali/menit,
tekanan darah 122/76 mmHg, frekuensi pernapasan 4 kali per menit, dan saturasi oksigen 80%.
Pupil pasien tajam dan napas dangkal. Jalan napas orofaring dipasang. Glukosa darah 164 mg/dL. Beberapa
menit kemudian, pasien sadar, saluran napas orofaring dilepas, laju pernapasan 16 napas per menit.
Oksigen diberi melalui kanula hidung dengan kecepatan 6 L/menit, lalu pasien diangkut dengan ambulans
ke UGD.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


KRONOLOGI KASUS
Hari Evaluasi
Pasien mengaku overdosis tidak disengaja, dan belum pernah mengalami overdosis sebelumnya, serta
mengaku kejadian ini merupakan “wake-up call”, dan bahwa ia memerlukan bantuan untuk mengatasi
kecanduan opioidnya.

Pasien adalah lulusan sekolah menengah dan bekerja sebagai


Pasien kehilangan ibu dan
tukang listrik lalu dipecat.
neneknya baru-baru ini, dan
Pasien belum menikah dan tidak punya anak.
berpikir ia kembali
Riwayat merokok positif, setengah bungkus per hari selama 4
menggunakan opioid akibat
tahun.
stres tersebut.
Riwayat memakai ganja positif saat muda.
Riwayat konsumsi alkohol dan obat terlarang negatif (kecuali
Riwayat penyakit lain negatif.
heroin).
Riwayat pengobatan negatif.
Tidak ada keluarga dengan riwayat depresi, bipolar,
Riwayat alergi negatif.
skizofrenia, demensia, atau bunuh diri.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


KRONOLOGI KASUS
Pupilnya sama, bulat, dan reaktif
Hasil Pemeriksaan terhadap cahaya. Terdapat ronki fokal
tersebar di paru-paru, dan
pemeriksaan selebihnya normal.
Pada pemeriksaan, pasien sepenuhnya Pengukuran gas darah vena: pH 7,29
sadar. Pakaian pasien basah. Tekanan parsial CO2: 68 mmHg
Suhu tubuh: 35,9°C Tekanan parsial O2: <28 mmHg
Denyut nadi: 84 kali/menit Kadar bikarbonat 32 mmol/liter
Tekanan darah: 115/69 mmHg Kelebihan basa: 2,6 mmol/liter.
Frekuensi pernapasan: 16 kali/menit
Saturasi oksigen: 93% Elektrokardiogram menunjukkan
kelainan segmen ST dan gelombang T
yang tidak spesifik dan dinyatakan
normal.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


KRONOLOGI KASUS

Hasil Pemeriksaan

Radiografi dada posisi AP menunjukkan


sefalisasi pembuluh darah paru dan
cairan di fisura minor (panah hitam),
temuan konsisten dengan edema paru
interstisial. Selain itu, terdapat
kekeruhan ruang udara bilateral yang
samar dan tidak merata (panah putih),
temuan yang menunjukkan adanya
aspirasi yang tumpang tindih.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


DIAGNOSIS
BANDING
DIAGNOSIS BANDING

Pneumonitis Aspirasi Pneumonia Aspirasi

Terjadi akibat menghirup sekret


Adalah luka bakar kimia pada orofaring yang menular dan
bronkus yang disebabkan oleh biasanya memiliki perjalanan
inhalasi isi lambung yang steril. penyakit yang lebih lambat.

Pasien biasanya datang dengan Pasien biasanya datang dengan


dispnea akut, ronkhi, dan gejala kelelahan, demam, batuk, dan
hipoksemia, mulai dari ringan sesak napas, gejala yang mirip
hingga mengancam jiwa. dengan gejala community-acquired
pneumonia.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


DIAGNOSIS BANDING
Edema Paru Non-Kardiogenik yang Diinduksi Opioid
Terjadi akibat peningkatan permeabilitas dinding kapiler paru.

Edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik dibedakan berdasarkan riwayat klinis.


Karena pasien ini mengalami overdosis opioid dan tidak memiliki faktor risiko
sindrom koroner akut, maka edema paru kardiogenik bukanlah diagnosis banding
yang tepat.

Sebagian besar dari pasien dengan edema paru nonkardiogenik edema mengalami
overdosis opioid yang mempengaruhi sistem pernapasan, baik langsung atau 4 jam
setelah overdosis, tetapi gejalanya hilang setelah 24 – 48 jam.

DIAGNOSIS: Edema Paru Non-Kardiogenik yang Diinduksi Opioid

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


DISKUSI
PATOLOGI
DISKUSI PATOLOGI
Hasil tes urin pasien:
Tes 1: Negatif terhadap penyalahgunaan narkoba
Kadar kreatinin: 177 mg/dL
Tes 2: negatif untuk buprenorfin, oksikodon, metadon, dan 6-monoasetilmorfin.
Hasil tes darah pasien: ditemukan antibodi terhadap hepatitis C.
Interval 16 jam antara suntikan opioid terakhir pasien dan pengumpulan spesimen urin
mungkin berkontribusi terhadap hasil negatif skrining obat urin.

Namun, karena pengujian ini memiliki batas deteksi yang sangat rendah, kemungkinan besar
6-monoasetilmorfin terdeteksi dalam sampel urin jika pasien telah menggunakan heroin sore
sebelumnya; ketidakhadirannya menunjukkan bahwa dosis tersebut mengandung sejumlah
besar opioid yang berbeda.
Selama kunjungan ke rumah sakit ini beberapa bulan kemudian, pengujian spesimen cairan
mulut dari pasien ini positif mengandung fentanil, yang kemungkinan besar menunjukkan
penggunaan obat tersebut baru-baru ini.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


DISKUSI
MANAJEMEN
PENYAKIT
DISKUSI MANAJEMEN
PENYAKIT
Tingkat kematian akibat overdosis obat meningkat tajam di beberapa negara. Di
Massachusetts, angkanya meningkat 35% dari tahun 2014 hingga 2015.

Paparan pertama pasien terhadap opioid kemungkinan besar terjadi 4 tahun sebelum
overdosisnya, ketika dia menerima hidromorfon yang diresepkan oleh dokter untuk
manajemen nyeri setelah operasi tangan. Pencegahan utama kecanduan opioid adalah
pembatasan paparan pasien terhadap opioid yang diresepkan dokter, dimulai dari pertemuan
pertama. Seharusnya awalnya pasien diberikan obat anti nyeri lebih dulu, jika gagal lalu
diberikan opioid.

Jika opioid diresepkan, rencana pengobatan yang pasti harus didiskusikan dengan pasien, baik
dosis maupun durasi peresepan opioid pertama harus dibatasi, karena dosis opioid akan
semakin bertambah. Pasien yang sudah menggunakan opioid seharusnya dianggap berisiko
kemungkinan overdosis, dan upaya pencegahan sekunder dapat dimulai.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


DISKUSI MANAJEMEN
PENYAKIT
Ketika seorang pasien datang dengan dugaan overdosis opioid, jalan nafas
harus dievaluasi (dan dukungan jalan nafas diberikan, jika perlu) dan
nalokson harus diberikan. Setelah status pernafasan sudah stabil, dilakukan
pemeriksaan fisik yang menyeluruh.

Tujuan dari pemberian nalokson adalah untuk mengembalikan ventilasi yang


memadai, bukan untuk membalikkan semua efek opioid dan berpotensi
memicu penghentian obat.

Furosemide diberikan, setelah itu kebutuhan oksigen tambahan menurun


tetapi tetap ada. Pasien dirawat di rumah sakit; keesokan paginya, temuan
abnormal di paru-paru telah teratasi.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


DISKUSI MANAJEMEN
PENYAKIT

Radiografi dada posisi PA dan lateral, diperoleh 20 jam setelah presentasi, menunjukkan bukti
resolusi edema paru. Kekeruhan nodular yang tersebar masih ada (tanda panah), dan temuan ini
menimbulkan kekhawatiran tentang pneumonia aspirasi.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


DISKUSI MANAJEMEN
PENYAKIT

7 bulan setelah keluar, pasien kembali ke rumah sakit untuk menjalani perawatan
dengan dokter perawatan primer. Dia melaporkan bahwa dia baru-baru ini
berpartisipasi dalam program perawatan kecanduan rawat inap dan rawat jalan di
rumah sakit lain dan bahwa dia tidak menggunakan heroin selama 6 bulan. Selain
pengobatan berkelanjutan terhadap gangguan penggunaan opioidnya, rencana
perawatannya mencakup rujukan ke spesialis untuk pengobatan infeksi virus hepatitis
C.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


DIAGNOSIS AKHIR
DIAGNOSIS AKHIR

Overdosis opioid yang tidak


Edema paru nonkardiogenik
disengaja, mungkin dari heroin
yang diinduksi opioid.
yang dicampur dengan fentanil.

DEPARTEMEN PSIKIATRI FK UNHAS


LAPORAN KASUS

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai