Anda di halaman 1dari 22

PRESPEKTIF

SOSIOLOGIS
TERHADAP
HUKUM
LINGKUNGAN
Dr. Affila, SH.M.Hum
Definisi Perspektif Sosiologi
Di dalam setiap ilmu pengetahuan, senantiasa ada perspektif atau imajinasi
tertentu, di dalam sosiologis hal itu disebut itu disebut perspektif atau
imajinasi sosiologis (dalam bahasa asing : “Social Perspektive” atau
“Sociological Imagination”).

Perspektif sosiologi juga dapat dikatakan sebagai pola pengamatan


ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang kehidupan masyarakat dengan segala
aspek atau proses sosial kehidupan di dalamnya.
Perspektif Sosiologi terhadap Hukum
Lingkungan
Hukum lingkungan hidup dikatakan Munadjat
sebagai suatu konsep studi lingkungan hidup yang
mengkhususkan pada ilmu hukum. Perspektif
sosiologi terhadap hukum lingkungan dapat dilihat
dari aturan ataupun kaidah hukum yang mengatur
terhadap bagaimana masyarakat harus bersikap dan
bertingkah laku terhadap lingkungan hidup.
Perspektif Sosiologi terhadap Hukum
Lingkungan
Perspektif sosiologis penegakan hukum lingkungan akan membantu pemahaman
terhadap hukum didalam konteks sosialnya, konsep-konsep sosiologi hukum juga
dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas
hukum lingkungan dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial
maupun sarana mengubah masyrakat agar mau bersama-sama menjaga dan
melestarikan lingkungan. Perspektif sosiologis akan memberi berbagai alternatif
kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi
terhadap efektifitas penrapan hukum lingkungan dalam masyarakat.
Perspektif Sosiologis
Hukum secara sosiologis adalah penting, dan merupakan suatu lembaga
kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai ,
kaidah-kaidah dan pola-pola prikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-
kebutuhan pokok manusia.
Beberapa pendapat mengenai perspektif sosiologi mengenai hukum, menurut
para ahli sosiologi, yaitu:
1. Max Weber
2. Eugen Ehrlich
Max Weber
Weber memandang hukum sebagai suatu
kumpulan norma-norma atau aturan-aturan yang
dikombinasikan dengan konsensus dan
penggunaan paksaan kekerasan. Hukum
merupakan kesepakatan yang valid dalam suatu
kelompok tertentu (consensually valid in a group)
dan merupakan jaminan (guaranted) melalui suatu
perlengkapan pemaksa (coercive apparatus).
Tindakan sosial menurut Weber adalah setiap
tindakan individu yang ditujukan kepada individu,
atau kelompok lain yang memiliki makna yang
bersifat subjektif.
Tindakan Sosial Terhadap Hukum
Secara umum, masyarakat awalnya tidak paham
terhadap hukum. Bahkan, masyarakat tidak
mengetahui adanya hukum tersebut sehingga
masyarakat masih tidak dapat menaati peraturan.
Dengan adanya sosialisasi/penyuluhan hukum yang
dilakukan terhadap masyarakat, diharapkan dapat
membantu masyarakat menjadi paham sehingga dapat
menjadi masyarakat yang taat kepada aturan hukum
yang berlaku.
Tindakan Sosial Terhadap Hukum Lingkungan
Sama halnya dengan Hukum Lingkungan, ketidakpahaman dan ketidaktahuan
masyarakat tentang adanya peraturan yang mengatur mengenai lingkungan
hidup sehingga menyebabkan banyak kasus pencemaran ataupun kerusaakan
lingkungan. Dengan adanya sosialisasi/penyuluhan hukum mengenai hukum
lingkungan, diharapkan dapat mewujudkan tujuan hukum lingkungan yaitu
mengatur tindakan manusia terhadap lingkungan. Jika masyarakat patuh dan
taat terhadap Hukum Lingkungan, maka hal tersebut dapat dikategorikan
sebagai salah satu langkah yang tepat untuk melestarikan lingkungan serta
mengelola lingkungan dengan baik.
Eugen Ehrlich
Eugen Ehrlich menyatakan bahwa hukum positif
hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat. Ehrlich mengatakan,
bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah
terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-
keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum,
akan tetapi justru terletak dalam masyarakat itu
sendiri.
Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum
Lingkungan
Kesadaran hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya, pada
hakikatnya manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena manusia
memiliki hubungan sosiologis maupun biologis secara langsung dengan lingkungan
hidup dimana dia berada, sejak dia lahir sampai meninggal dunia. Namun
kesadaran hukum masih dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial,
budaya dan lain-lain.
Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum
Lingkungan
Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya strategis untuk menumbuhkan
kesadaran hukum tersebut, baik dari sisi mental manusianya maupun dari segi
kebijakan. Kesadaran masyarakat untuk menaati hukum lingkungan harus terus
ditingkatkan baik melalui diri sendiri terhadap warga di sekitar maupun sosialisasi
yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk warga di setiap daerah di Indonesia.
Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum
Lingkungan
Sosialiasi ataupun penyuluhan hukum dapat dilakukan secara langsung maupun
secara tidak langsung. Penyuluhan hukum secara langsung yaitu penyuluhan
hukum yang berhadapan langsung dengan masyarakat, misalnya dengan berdiskusi
ataupun ceramah. Sedangkan penyuluhan hukum secara tidak langsung yaitu
penyuluhan hukum yang dilakukan dengan cara tidak berhadapan langsung
dengan masyarakat melainkan melalui media perantara, seperti televisi, radio,
bahan bacaan maupun melalui pesan moral yang ada pada film.
Latar Belakang Hukum Lingkungan
Internasional
Sebelum terjadi perkembangan mengenai Hukum
Lingkungan Internasional, masyarakat dunia belum
menaruh perhatian mengenai masalah lingkungan.
Pada tahun 1962, masyarakat dunia mulai
menyadari pentingnya masalah lingkungan karena
peringatan Rachel Carson mengenai bahaya
penggunaan insektida dan isu-isu lingkungan
lainnya. Perkembangan Hukum Lingkungan ini
ditandai dengan terbentuknya Konferensi
Stockholm 1972.
Hasil Konferensi Stockholm 1972
Konferensi Stockholm 1972 ini menghasilkan beberapa dokumen penting bagi awal perkembangan hukum lingkungan
internasional, yaitu:
a) Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia (Declaration on the Human Environment ) yang terdiri dari 26 prinsip;
b) Rencana Aksi (Action Plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi;
c) Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan untuk menunjang
d) pelaksanaan Rencana Aksi tersebut yang terdiri atas:
• Dewan Pengurus (Governing Council) Program Lingkungan Hidup;
• Sekretariat yang diketuai oleh seorang Direktur Eksekutif;
• Dana Lingkungan Hidup;
e) Badan Koordinasi lingkungan hidup atau UNEP (United Nations Environmental Program) yang berkedudukan di
Nairobi Kenya.
f) Konferensi menetapkan setiap tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup Sedunia” (World Environment Day).
Masalah Hukum Lingkungan Internasional
Kesadaran lingkungan global telah memperoleh perkembangan yang luar biasa.
Namun perbedaan kepentingan negara yang satu dengan negara yang lain
bahkan kelompok regional yang satu dengan kelompok regional yang lain telah
menjadi kendala kerjasama global. Hal ini dibuktikan dengan sulitnya diperoleh
jumlah ratifikasi dari sejumlah negara yang secara minimal diperlukan agar
konvensi dapat berlakun efektif. Sebagai contoh, Cartagena Protocol 2000 baru
menjadi hukum lingkungan internasional yang berlaku efektif (enter into force)
setelah berlangsung 5 tahun.
Kajian Kritis Terhadap Penegakan Hukum
Lingkungan
a. Ketentuan yang Tidak Terintegrasi
Ketentuan yang Tidak Terintegrasi di Indonesia, ketentuan pengelolaan lingkungan hidup
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut pasal 125 UU Nomor 32 Tahun 2009 dengan berlakunya UUini maka UU Nomor 23
Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku. Didalam Pasal 124 Undang - Undang 32 Tahun 2009
dinyatakan bahwa:"Pada saat Undang-Undang ini berlaku,semua peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68...) dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
b. Ketidaksiapan Lembaga
Penegakan hukum lingkungan memberi hasil apabila hukum tersebut ditegakkan oleh
kelembagaan yang memang benar-benar siap dari segi kemampuan,dan sarana (fasilitas)
untuk menegakkan hukum lingkungan secara adil berdasarkan prinsip equality before the
law, semua sama di depan hukum. Pertanyaannya, apakah secara kelembagaan aparat
penegak hukum lingkungan di negeri kita (baik di tingkat pusat maupun di daerah) benar-
benar telah mempersiapkan sumberdaya manusia dan fasilitasnya secara mantap? Sebagai
contoh kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara yang luasan hutannya
semakin berkurang dari tahun ke tahun. Laju deforestasi mengalami perlipatan dari tahun
ke tahun.
Apabila dianalisis dari aspek kelembagaan maka tidak efektifnya upaya konservasi karena
pemanfaatan hutan untuk tujuan komersil di satu sisi dan perlindungan hutan di sisi lain,
berada dalam kewenangan lembaga yang sama yaitu Kementerian Kehutanan. Dalam posisi
seperti itu tentu ada persoalan dilematis. Di satu sisi, sebuah Kementerian dituntut negara
untuk dapat memberikan secara ekonomis tetapi di sisi lain, Kementerian yang
bersangkutan juga dituntut untuk melakukan perlindungan hutan sebagai upaya
penyelamatan lingkungan.
c. Pemerintahan Belum Berbasis Kebenaran Ekologis
Bencana alam yang terjadi beberapa waktu terakhir, terjadi antara lain karena orientasi
berpikir kita yang menyangkal kebenaran ekologis (ecological truth). Kebenaran ekologis
adalah kebenaran yang didasarkan pada sesuatu yang diyakini bahwa, manusia adalah bagian
dari proses ekologis. Tanpa alam, tanpa makhluk hidup lain, manusia tidak akan dapat
bertahan hidup. Kalau manusia melakukan perusakan alam, niscaya akan terjadi gangguan
kehidupan dan akan berdampak pada ekonomi. Kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat
pasti akan berpengaruh pada stabilitas politik penyelenggaraan negara.
Inilah basis kebenaran ekologis. Perilaku yang tidak memperhatikan kebenaran ekologis
menunjukkan dominannya pandangan antroposentrisme. Antroposentrisme adalah
pandangan tentang hubungan manusia dengan lingkungan hidup, yang menempatkan
kepentingan manusia sebagai pusatnya. Secara ekstrem, pandangan antroposentrisme
menolak keberadaan nilai-nilai intrinsik alam. Muncullah kemudian sikap dan perilaku
eksploitatif tanpa kepedulian terhadap alam dengan segala isinya. Manusia mengingkari
kebenaran-kebenaran ekologis dan akibatnya terjadilah pemanasan global, bencana banjir,
tanah longsor dan lainnya.
Oleh karena itu, penyelenggaraan kepemerintahan yang menyangkal kebenaran ekologis
harus segera diakhiri. Tentu disini dibutuhkan tindakan konkret. Maka pembenahan
kelembagaan, aturan hukum dan peningkatan wawasan tentang ancaman kerusakan
lingkungan, menjadi keharusan.
Ciri kepemerintahan seperti itulah yang harus dipenuhi untuk menuju penyelenggaraan
demokrasi berbasis kebenaran ekologis. Kebenaran ekologis, sebagai realita yang tak
terbantahkan harus menjadi dasar pertimbangan penyelenggaraan kepemerintahan di
masa kini. Mengingat makin kritisnya kondisi lingkungan yang bisa mengancam kehidupan,
maka sudah saatnya dilakukan pengintegrasian dimensi lingkungan hidup dalam
penyelenggaraan demokrasi di negara kita.
Yang harus dilakukan :
1. Mempertegas Kewenangan
2. Memperkuat Peran Kelembagaan
3. Pengembangan Kapasitas Sumber Daya
4. Mendorong Tumbuhnya Dukungan Legislatif dan Eksekutif
5. Pengembangan Sistem Monitoring dan Evaluasi
6. Peningkatan peran serta masyarakat

Anda mungkin juga menyukai