Time the
crime was
committed
Prof. Dr. Deni SB Yuherawan, S.H.,M.S.
Dosen FH Universitas Trunojoyo Madura
Disampaikan pada Webinar Nasional tentang "Perbandingan KUHP Lama dengan KUHP Baru dan
berbagai permasalahannya“, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia
(APDHI) Wilayah Sumatera, pada hari Rabu tanggal 31 Januari 2024
Pasal 1 KUHP Baru
• Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai
sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas
Ayat 1 kekuatan peraturan pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelum
Scr substansial sama dengan perbuatan dilakukan.
Pasal 1 ayat (1) KUHP Lama
1. ASAS LEGALITAS
2. Prinsip ‘LEX TEMPORIS DELICTI’ (‘LARANGAN BERLAKU
SURUT/PRINSIP NON-RETROAKTIF)
Ayat 1
undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-Undang dan Peraturan
Daerah. Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh
karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman
pidana harus sudah ada sebelum Tindak Pidana dilakukan. Hal ini berarti
bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Prinsip NON-RETROAKTIF
Prinsip NON-ANALOGI
Pasal 2 KUHP Baru
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum
Ayat 1 yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
‘walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang’ ini.
Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan
Ayat 2 sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, serta asas hukum umum yang
diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam
Ayat 3 masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 2 KUHP Baru
Yang dimaksud dengan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah hukum adat yang
menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang
Ayat 1 hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih
berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat
keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur
mengenai Tindak Pidana Adat tersebut.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘berlaku dalam tempat hukum itu hidup’ adalah
Ayat 2 berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Adat di daerah tersebut. Ayat ini
mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui
oleh Undang-Undang ini.
Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan
Ayat 3 hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah
KUHP BARU
KUHP Baru
law diatur dengan Peraturan Pemerintah
(perlu penjelasan)
KUHP
• NULLUM CRIMEN SINE POENA
LEGALI
• Nullum delictum, nulla poena sine
Pasal 1
KUHP
Baru
NULLU
M NULLA
CRIMEN POENA
SINE SINE
POENA IURE
Pasal 2
Living law must align itself
KUHP
with statute criminal law
Baru
Catatan ‘HUKUM YANG HIDUP DALAM MASY’
Kecil penyusun harus selaras dengan UU pidana
KUHP…
KELEMAHAN ASAS LEGALITAS dan UU PIDANA
• Tidak ada satu pun perbuatan yang dapat dituntut secara pidana, jika
TIDAK DILARANG OLEH UU PIDANA (crimina exraordinaria),
meskipun perbuatan tsb benar-benar jahat dan merugikan korban. Inilah
kelemahan ontologis dan aksiologis Asas Legalitas.
• Jika yang terjadi adalah crimina extraordinaria, Asas Legalitas tidak
memberikan nilai manfaat apa pun. Krn Asas Legalitas melarang
menuntut crimina extraordinaria.
• Dalam hal terjadi Tindak Pidana (yg dilarang UU Pidana), maka ada
keharusan untuk menuntut semua pelaku tindak pidana dengan
menggunakan prinsip lex temporis delicti. Tetapi dengan alasan
tertentu, scr faktual , Penuntut Umum seringkali tidak menuntut
beberapa pelaku pada beberapa tindak pidana tertentu (PILIH-
TEBANG).
IMPLIKASI HUKUM BERLAKUNYA
‘HUKUM YANG HIDUP DALAM MASY’
(LIVING CRIMINAL LAW)
Pasal 2 KUHP Baru
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum
Ayat 1 yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
‘walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang’ ini.
Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan
Ayat 2 sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, serta asas hukum umum yang
diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam
Ayat 3 masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Implikasi Hukum Pemberlakuan Pasal 2 ayat (1)
KUHP Baru
• Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana ‘walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-
Undang’ ini.
• Frasa ‘Tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam Undang-Undang ini’ berimplikasi bahwa ‘hukum yang hidup dalam
masyarakat’ ( Living criminal law) diberlakukan sebagai dasar pengkualifikasian
patut tidaknya suatu perbuatan ditetapkan sebagai Tindak Pidana Adat.
• Frasa ‘Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak
mengurangi’ berimplikasi bahwa undang-undang pidana bukan satu-satunya
dasar untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana (adat).
Implikasi Hukum Pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru
• ‘Hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah hukum adat yang menentukan bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di
dalam masyarakat dalam pasal ini merupakan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. ‘Living criminal law’ merup hukum
tidak tertulis, berlaku dan berkembang bersama masy
• Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat, Peraturan Daerah
mengatur mengenai Tindak Pidana Adat tersebut. Keberadaan dan fungsi Perda, akan dibahas
bersamaan dengan Pasal 2 ayat (3) KUHP Baru.
• Frasa ’hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah hukum adat. Pertanyaannya: apakah
"hukum yang hidup dalam masyarakat” MEMANG SAMA ATAU SETARA dengan hukum
adat? Apakah ada perbedaan substansial? Jika memang nama dan substansinya sama, mengapa
tidak langsung menggunakan nama Hukum Adat, sehingga tidak perlu lagi berputar-putar?
Daripada harus berputar-putar menjlentrehkan hukum yang hidup dalam masyarakat segala, toh
akhirnya kembali ke nomen klatur Hukum Adat. Seharusnya rumusan Pasal 2 ayat (1) KUHP
Baru sbb: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya HUKUM ADAT (sbg revisi dari: hukum yang hidup dalam masyarakat , yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana ‘walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
Undang-Undang’ ini.
Implikasi Hukum Pemberlakuan Pasal 2 ayat (2) KUHP Baru
• Makna ‘berlaku dalam tempat hukum itu hidup’ bahwa ‘hukum yang hidup
dalam masyarakat’ berada di lingkungan tempat tersebut, bersifat lokalitas
(setempat), sehingga terdapat banyak lingkungan berlakunya ‘living
criminal law’;
• Makna ‘sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini’, menegaskan
bahwa harus tetap berbentuk ‘tidak tertulis’ (‘unwritten law’);
• Makna ‘sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD
1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat
bangsa-bangsa, terdapat keharusan bahwa ‘hukum yang hidup dalam
masyarakat’ (‘living criminal law’) tidak boleh bertentangan dengan
‘nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila’, UUD 1945, hak asasi
manusia, serta ‘asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Implikasi Hukum Berlakunya Pasal 2 ayat (2) KUHP Baru
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta asas
hukum umum yang diakui masy bangsa-bangsa merupakan norma kritis (batu uji) terhadap
berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Selama ‘hukum yang hidup dalam
masyarakat’ tidak bertentangan dengan ‘nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD
1945, hak asasi manusia’, serta asas hukum umum yang diakui masy bangsa-bangsa, maka
‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ dianggap memiliki daya berlaku.
Problematika: apakah sudah ada gagasan hukum yang relatif komprehensif dan konsisten
dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta ‘Asas hukum umum yang diakui
masyarakat bangsa-bangsa’ yang dapat dijadikan sbg norma kritis (batu uji) terhadap
keberlakuan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Problematika ini menimbulkan
persoalan, meskipun dalam perspektif statis, apalagi jika harus bersifat dinamis.
Berikutnya, apakah penyusunan perUUan pidana berikutnya harus didasarkan pada nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta Asas hukum umum
yang diakui masy bangsa-bangsa’?
Implikasi Hukum Berlakunya Pasal 2 ayat (3) KUHP Baru
(terkait PP dan Perda)
• Pasal 2 ayat (3) KUHP Baru: “Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan
hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
• Penjelasan Pasal 2 ayat (3) KUHP Baru: Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini
merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam
masyarakat dalam Peraturan Daerah.
• Sebelumnya, pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru: “Untuk memperkuat
keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah
mengatur mengenai Tindak Pidana Adat tersebut”.
• Diksi yang perlu dicermati: ‘Peraturan Pemerintah’ ; ‘Peraturan Daerah’;
‘menetapkan’; mengatur; menguatkan;
• Apakah fungsi Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah tersebut bersifat
meng’hukumpositif’kan (enact) living criminal law; sebagai fungsi konstitutif atau
sekedar kebijakan ‘ascertaining’ ; konstatering; fungsi deklaratif, sebagai
pernyataan penegasan, bahwa keberadaan hukum adat tetap seperti apa adanya.
ISU KRUSIAL
• The term "positive law" connotes statutes, i.e.,
law that has been enacted by a duty authorized
legislature’,
Enact • Fungsi konstitutif (membentuk hukum Positif).
• Living law berubah menjadi hukum tertulis
Perbuatan Yang
Dilarang • Penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru
• Pasal 597 KUHP Baru
(Tindak Pidana
Adat?)
Tindak Pidana (Pasal 12 KUHP Baru)
• Ayat (1): Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-
undangan diancam dengan sanksi pidana dan/ atau tindakan.
• Ayat (2): “Untuk dinyatakan sebagai ‘Tindak Pidana’, suatu perbuatan yang
diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-
undangan ‘harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat)”.
• Ayat (3): “Setiap ‘Tindak Pidana’selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada
alasan pembenar”.
• Penjelasan pasal 12 KUHP Baru menyatakan: ‘cukup jelas’.
• Persoalan krusial adalah apa makna ‘harus bersifat melawan hukum’ atau
‘bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living criminal
law)’? Bukankah Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (1) KUHP Baru, sudah
menegaskan jika konsep tindak pidana merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan perundang-undangan pidana.
Tindak Pidana (Pasal 12 KUHP Baru)
• Terkait dengan frasa ‘harus bersifat melawan hukum’, ilmu hukum
pidana mengajarkan tentang ‘sifat melawan hukum formil’ dan ‘sifat
melawan hukum materiil’. Jika kualifikasi tindak pidana dalam
konteks bersifat melawan hukum formil (bertentangan dengan
perundang-undangan pidana), memang begitulah konsep tindak
pidana.
• Menjadi aneh jika konsep tindak pidana merupakan perbuatan yang
bersifat melawan hukum materiil, dan semakin aneh lagi, jika konsep
tindak pidana merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Perbuatan yang Dilarang (TINDAK PIDANA ADAT)