Anda di halaman 1dari 35

PROBLEMATIKA DAN IMPLIKASI HUKUM

KEBERADAAN ‘ASAS LEGALITAS’ dan


‘LIVING LAW’ DALAM PERSPEKTIF
PEMBARUAN HUKUM PADA KUHP
BARU

Time the
crime was
committed
Prof. Dr. Deni SB Yuherawan, S.H.,M.S.
Dosen FH Universitas Trunojoyo Madura

Disampaikan pada Webinar Nasional tentang "Perbandingan KUHP Lama dengan KUHP Baru dan
berbagai permasalahannya“, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia
(APDHI) Wilayah Sumatera, pada hari Rabu tanggal 31 Januari 2024
Pasal 1 KUHP Baru
• Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai
sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas
Ayat 1 kekuatan peraturan pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelum
Scr substansial sama dengan perbuatan dilakukan.
Pasal 1 ayat (1) KUHP Lama
1. ASAS LEGALITAS
2. Prinsip ‘LEX TEMPORIS DELICTI’ (‘LARANGAN BERLAKU
SURUT/PRINSIP NON-RETROAKTIF)

• Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang


Ayat 2
digunakan analogi

Prinsip Non-Analogi Expressive verbis: salah 1


makna Asas Legalitas
Penjelasan Pasal 1 KUHP Baru

• Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang menentukan bahwa suatu


perbuatan merupakan Tindak Pidana jika ditentukan oleh atau
didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-

Ayat 1
undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-Undang dan Peraturan
Daerah. Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh
karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman
pidana harus sudah ada sebelum Tindak Pidana dilakukan. Hal ini berarti
bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.

Prinsip NON-RETROAKTIF

• Yang dimaksud dengan "analogi' adalah penafsiran dengan cara


memberlakukan suatu ketentuan pidana terhadap kejadian atau
peristiwa yang tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit

Ayat 2 dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah dengan cara


menyamakan atau mengumpamakan kejadian atau peristiwa
tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam
Undang-Undang dan Peraturan Daerah.

Prinsip NON-ANALOGI
Pasal 2 KUHP Baru

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum
Ayat 1 yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
‘walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang’ ini.

Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan
Ayat 2 sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, serta asas hukum umum yang
diakui masyarakat bangsa-bangsa.

Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam
Ayat 3 masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 2 KUHP Baru

Yang dimaksud dengan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah hukum adat yang
menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang
Ayat 1 hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih
berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat
keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur
mengenai Tindak Pidana Adat tersebut.

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘berlaku dalam tempat hukum itu hidup’ adalah
Ayat 2 berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Adat di daerah tersebut. Ayat ini
mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui
oleh Undang-Undang ini.

Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan
Ayat 3 hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah
KUHP BARU

STATUTE CRIMINAL LAW atau PERUUAN PIDANA

• Ayat 1: Asas Legalitas; Statute


Pasal 1 Criminal Law (UU Pidana); Prinsip
non-retroaktif
KUHP Baru • Ayat 2: Prinsip-non analogi

• Ayat 1: berlakunya living criminal Law


Pasal 2 • Ayat 2: kriteria pemberlakuan
• Ayat 3: tata cara dan kriteria living (criminal)

KUHP Baru
law diatur dengan Peraturan Pemerintah
(perlu penjelasan)

LIVING CRIMINAL LAW atau Hkm Pidana yg hidup dlm masy


Gagasan Hukum

KUHP
• NULLUM CRIMEN SINE POENA
LEGALI
• Nullum delictum, nulla poena sine

LAMA praevia legi poenali

Nulla Poena Sine Lege; Nulla Poena Sine Crimen;


Nulla Crimen Sine Lege; Lex Scripta; Lex certa; Lex Stricta;
Lex Praevia

KUHP • NULLUM CRIMEN SINE POENA


• Nullum delictum nulla poena sine praevea

BARU iure poenali

UU Nomor 1 Tahun 2023: KUHP Baru


Dari jalan YANG SAMA kemudian
Lintasan Sejarah… BerSIMPANG jalan

Berasal dari SATU • Living/Customary Criminal


NULLUM CRIMEN NULLUM law
• Anglo-American Family
SINE POENA CRIMEN (Common Law System)
(hampir semua • Anglo-american
sistem hukum): SINE POENA
Sistem Arbitrium
Judicis (hakim yang
mengkualifikasi suatu
perbuatan sebagai
tindak pidana dan
NULLUM • Statute criminal law
• Romano-Germanic family
ancaman pidana) CRIMEN (Civil Law System);
HUKUM KEBIASAAN
INDONESIA
SINE POENA • Eropa Kontinental

Hukum ADAT LEGALI


Kebijakan Pembaruan KUHP BARU:
Dari NULLUM CRIMEN SINE POENA LEGALI menjadi NULLUM CRIMEN SINE POENA dan
NULLUM CRIMEN SINE IURE

Pasal 1
KUHP
Baru
NULLU
M NULLA
CRIMEN POENA
SINE SINE
POENA IURE
Pasal 2
Living law must align itself
KUHP
with statute criminal law
Baru
Catatan ‘HUKUM YANG HIDUP DALAM MASY’
Kecil penyusun harus selaras dengan UU pidana
KUHP…
KELEMAHAN ASAS LEGALITAS dan UU PIDANA
• Tidak ada satu pun perbuatan yang dapat dituntut secara pidana, jika
TIDAK DILARANG OLEH UU PIDANA (crimina exraordinaria),
meskipun perbuatan tsb benar-benar jahat dan merugikan korban. Inilah
kelemahan ontologis dan aksiologis Asas Legalitas.
• Jika yang terjadi adalah crimina extraordinaria, Asas Legalitas tidak
memberikan nilai manfaat apa pun. Krn Asas Legalitas melarang
menuntut crimina extraordinaria.
• Dalam hal terjadi Tindak Pidana (yg dilarang UU Pidana), maka ada
keharusan untuk menuntut semua pelaku tindak pidana dengan
menggunakan prinsip lex temporis delicti. Tetapi dengan alasan
tertentu, scr faktual , Penuntut Umum seringkali tidak menuntut
beberapa pelaku pada beberapa tindak pidana tertentu (PILIH-
TEBANG).
IMPLIKASI HUKUM BERLAKUNYA
‘HUKUM YANG HIDUP DALAM MASY’
(LIVING CRIMINAL LAW)
Pasal 2 KUHP Baru

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum
Ayat 1 yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
‘walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang’ ini.

Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan
Ayat 2 sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, serta asas hukum umum yang
diakui masyarakat bangsa-bangsa.

Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam
Ayat 3 masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Implikasi Hukum Pemberlakuan Pasal 2 ayat (1)
KUHP Baru
• Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana ‘walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-
Undang’ ini.
• Frasa ‘Tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam Undang-Undang ini’ berimplikasi bahwa ‘hukum yang hidup dalam
masyarakat’ ( Living criminal law) diberlakukan sebagai dasar pengkualifikasian
patut tidaknya suatu perbuatan ditetapkan sebagai Tindak Pidana Adat.
• Frasa ‘Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak
mengurangi’ berimplikasi bahwa undang-undang pidana bukan satu-satunya
dasar untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana (adat).
Implikasi Hukum Pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru
• ‘Hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah hukum adat yang menentukan bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di
dalam masyarakat dalam pasal ini merupakan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. ‘Living criminal law’ merup hukum
tidak tertulis, berlaku dan berkembang bersama masy
• Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat, Peraturan Daerah
mengatur mengenai Tindak Pidana Adat tersebut. Keberadaan dan fungsi Perda, akan dibahas
bersamaan dengan Pasal 2 ayat (3) KUHP Baru.
• Frasa ’hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah hukum adat. Pertanyaannya: apakah
"hukum yang hidup dalam masyarakat” MEMANG SAMA ATAU SETARA dengan hukum
adat? Apakah ada perbedaan substansial? Jika memang nama dan substansinya sama, mengapa
tidak langsung menggunakan nama Hukum Adat, sehingga tidak perlu lagi berputar-putar?
Daripada harus berputar-putar menjlentrehkan hukum yang hidup dalam masyarakat segala, toh
akhirnya kembali ke nomen klatur Hukum Adat. Seharusnya rumusan Pasal 2 ayat (1) KUHP
Baru sbb: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya HUKUM ADAT (sbg revisi dari: hukum yang hidup dalam masyarakat , yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana ‘walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
Undang-Undang’ ini.
Implikasi Hukum Pemberlakuan Pasal 2 ayat (2) KUHP Baru

• Makna ‘berlaku dalam tempat hukum itu hidup’ bahwa ‘hukum yang hidup
dalam masyarakat’ berada di lingkungan tempat tersebut, bersifat lokalitas
(setempat), sehingga terdapat banyak lingkungan berlakunya ‘living
criminal law’;
• Makna ‘sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini’, menegaskan
bahwa harus tetap berbentuk ‘tidak tertulis’ (‘unwritten law’);
• Makna ‘sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD
1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat
bangsa-bangsa, terdapat keharusan bahwa ‘hukum yang hidup dalam
masyarakat’ (‘living criminal law’) tidak boleh bertentangan dengan
‘nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila’, UUD 1945, hak asasi
manusia, serta ‘asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Implikasi Hukum Berlakunya Pasal 2 ayat (2) KUHP Baru

 Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta asas
hukum umum yang diakui masy bangsa-bangsa merupakan norma kritis (batu uji) terhadap
berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Selama ‘hukum yang hidup dalam
masyarakat’ tidak bertentangan dengan ‘nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD
1945, hak asasi manusia’, serta asas hukum umum yang diakui masy bangsa-bangsa, maka
‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ dianggap memiliki daya berlaku.
 Problematika: apakah sudah ada gagasan hukum yang relatif komprehensif dan konsisten
dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta ‘Asas hukum umum yang diakui
masyarakat bangsa-bangsa’ yang dapat dijadikan sbg norma kritis (batu uji) terhadap
keberlakuan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Problematika ini menimbulkan
persoalan, meskipun dalam perspektif statis, apalagi jika harus bersifat dinamis.
 Berikutnya, apakah penyusunan perUUan pidana berikutnya harus didasarkan pada nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta Asas hukum umum
yang diakui masy bangsa-bangsa’?
Implikasi Hukum Berlakunya Pasal 2 ayat (3) KUHP Baru
(terkait PP dan Perda)
• Pasal 2 ayat (3) KUHP Baru: “Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan
hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
• Penjelasan Pasal 2 ayat (3) KUHP Baru: Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini
merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam
masyarakat dalam Peraturan Daerah.
• Sebelumnya, pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru: “Untuk memperkuat
keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah
mengatur mengenai Tindak Pidana Adat tersebut”.
• Diksi yang perlu dicermati: ‘Peraturan Pemerintah’ ; ‘Peraturan Daerah’;
‘menetapkan’; mengatur; menguatkan;
• Apakah fungsi Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah tersebut bersifat
meng’hukumpositif’kan (enact) living criminal law; sebagai fungsi konstitutif atau
sekedar kebijakan ‘ascertaining’ ; konstatering; fungsi deklaratif, sebagai
pernyataan penegasan, bahwa keberadaan hukum adat tetap seperti apa adanya.
ISU KRUSIAL
• The term "positive law" connotes statutes, i.e.,
law that has been enacted by a duty authorized
legislature’,
Enact • Fungsi konstitutif (membentuk hukum Positif).
• Living law berubah menjadi hukum tertulis

• a process of ascertaining: a process to self-stating


customary law by the owners of the law to be
ascertained, namely the people and the traditional
Ascertaining leaders as the custodians of customary law.
• Fungsi deklaratif (pernyataan)
• Tetap sebagai Hukum Tidak Tertulis
Implikasi Hukum Berlakunya Pasal 2 ayat
(3) KUHP Baru (terkait PP dan Perda)
Jika kebijakan yang dilakukan adalah meng’hukumpositif’kan
‘living criminal law’, maka telah terjadi ‘CONTRADICTIO IN
TERMINIS’ (pertentangan arti), ‘CONCEPTUAL GAP’
(kesenjangan konsep), bahkan ‘CONCEPTUAL
CONTRADICTION’ (pertentangan konsep), yang berimplikasi
pada pengebirian ‘living criminal law’, bahkan menghilangkan
entitas ‘living criminal law’ sebagai hukum yang tidak tertulis yang
begitu diugemi oleh Pasal 2 KUHP Baru
Implikasi Hukum
Adanya 2 (dua) Perbuatan
IMPLIKASI 2 (dua) KONSEP PERBUATAN

1. Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi


pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan
peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan
Tindak Pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
2. Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang
digunakan analogi.

Perbuatan Yang
Dilarang • Penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru
• Pasal 597 KUHP Baru
(Tindak Pidana
Adat?)
Tindak Pidana (Pasal 12 KUHP Baru)
• Ayat (1): Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-
undangan diancam dengan sanksi pidana dan/ atau tindakan.
• Ayat (2): “Untuk dinyatakan sebagai ‘Tindak Pidana’, suatu perbuatan yang
diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-
undangan ‘harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat)”.
• Ayat (3): “Setiap ‘Tindak Pidana’selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada
alasan pembenar”.
• Penjelasan pasal 12 KUHP Baru menyatakan: ‘cukup jelas’.
• Persoalan krusial adalah apa makna ‘harus bersifat melawan hukum’ atau
‘bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living criminal
law)’? Bukankah Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (1) KUHP Baru, sudah
menegaskan jika konsep tindak pidana merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan perundang-undangan pidana.
Tindak Pidana (Pasal 12 KUHP Baru)
• Terkait dengan frasa ‘harus bersifat melawan hukum’, ilmu hukum
pidana mengajarkan tentang ‘sifat melawan hukum formil’ dan ‘sifat
melawan hukum materiil’. Jika kualifikasi tindak pidana dalam
konteks bersifat melawan hukum formil (bertentangan dengan
perundang-undangan pidana), memang begitulah konsep tindak
pidana.
• Menjadi aneh jika konsep tindak pidana merupakan perbuatan yang
bersifat melawan hukum materiil, dan semakin aneh lagi, jika konsep
tindak pidana merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Perbuatan yang Dilarang (TINDAK PIDANA ADAT)

Pasal 597 KUHP (Baru)


1) Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam
dengan pidana;
2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemenuhan
kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f.
• Penjelasan Pasal 597 KUHP Baru menyatakan: ”Yang dimaksud dengan
"perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang" mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1).
Perbuatan yang Dilarang (TINDAK PIDANA ADAT)
• Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana ‘walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang’ ini.
• Penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru:
Yang dimaksud dengan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ adalah hukum adat yang menentukan bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di dalam masyarakat
dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut,
Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana Adat tersebut.
• Dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 597 KUHP Baru: Menegaskan 2 (dua) hal penting, yaitu: (1) ‘hukum
yang hidup dalam masyarakat’ adalah hukum adat; dan (2) ‘perbuatan yang dilarang karena bertentangan
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan ‘Tindak Pidana Adat’. Perlu kejelasan, apakah
nomenklatur perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah ‘perbuatan
yang dilarang’ atau ‘tindak pidana adat’. Perlu penjelasan yang proporsional tentang hal ini.
• Problematika: Kembali kpd konsep ‘tindak pidana’, Jika ‘Tindak Pidana Adat’ atau ‘Perbuatan Yang
Dilarang’ merup perbuatan yg bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan ‘hukum yang hidup
dalam masyarakat’, bagaimana dengan konsep ‘tindak pidana’ yang juga ‘bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat’? Diskursus yang semakin menarik.
PERUBAHAN SISTEM HUKUM PIDANA
INDONESIA
1. Sistem dan Sumber Hukum Pidana;
2. Sistem Peradilan Pidana;
3. Penerapan Hukum Pidana; dan
4. Pola pikir Aparat Penegak Hukum.
 1. Sistem dan Sumber Hukum Pidana

• Dengan berlakunya Pasal 1 dan 2 KUHP Baru, sistem hukum


pidana terdiri dari ‘sistem hukum perundang-undangan
pidana’ (statute criminal law system) dan ‘sistem hukum yang
hidup dalam masyarakat (living criminal law system);
• Sumber hukum pidana terdiri dari ‘statute criminal law’ dan
‘living criminal law’, yang mempunyai mempunyai karakter
hukum yang berbeda;
• Masing-masing mempunyai daya berlaku dan ruang lingkup
yang berbeda.
 1. Sistem dan Sumber Hukum Pidana
• Sumber Hukum pidana terdiri dari perUUan Pidana (statute criminal law)
atau hukum pidana yang hidup dalam masyarakat (living criminal law).
• Problematika hukum: apa dan bagaimana hukum pidana yang hidup dalam
masyarakat (living criminal law), yang dapat digunakan untuk menentukan
bahwa perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai ‘tindak pidana
adat , yang patut dan dapat dipidana (berdasarkan living criminal law)?
• Praktik hukum pidana di Indonesia, dengan sejak berlakunya KUHP lama
sampai sekarang belum terbiasa dengan substansi hukum yang diberi nama
‘hukum pidana yang hidup dalam masyarakat’ (living criminal law).
 2. Sistem Peradilan Pidana (SPP)
• Sistem peradilan pidana didasarkan pada perundang-undangan
pidana dan hukum yang hidup dalam masyarakat (criminal
justice system based on statute and living criminal law);
• SPP Indonesia menganut dual track system, yaitu didasarkan
PerUUan Pidana (based on statute criminal law) dan (based on
living criminal law);
 3. Penerapan UU Pidana
• Praktik hukum pidana dilakukan dengan cara:
1. Proses konkritisasi atau memberlakukan undang-undang pidana (bersifat
umum) terhadap kasus hukum tertentu (yang bersifat khusus);
2. Pola pikir deduktif. Memosisikan ketentuan hukum dalam pasal-pasal
undang-undang pidana sebagai ‘premisa mayor’, kemudian memosisikan
perbuatan pelaku sebagai ‘premisa minor’; yang kemudian menyusun
kesimpulan (‘konklusi’) berkaitan dengan bertentangan tidaknya perbuatan
tersebut terhadap undang-undang pidana yang bersangkutan.
3. Keberadaan dan fungsi Hakim adalah memeriksa dan memutus perkara
hanya berdasarkan undang-undang pidana. Keberadaan dan fungsi hakim
konsekuensi logis dari asas ’nullum crimen sine poena legali’ dengan
adagium’de rechter is bounche de la loi’ (hakim harus menyuarakan apa
yang diinginkan oleh undang-undang). Hakim hanya sebagai penerap
undang-undang.
 3. Penerapan UU Pidana
• Dilakukan dengan cara:
1. Mencari ketentuan hukum: mencari aturan hukum yang relevan dengan
kasus hukum yang ada;
2. Menafsirkan ketentuan hukum: menafsirkan makna ketentuan hukum
yang telah ditemukan agar sesuai dengan makna ketika ketentuan
hukum tersebut dibentuk atau pada saat untuk memenuhi
perkembangan kebutuhan masyarakat;
3. Menemukan kaidah hukum: menetapkan pilihan di antara beberapa
kaidah hukum yang sesuai dengan kasus hukum yang akan diputus;
dan
4. Menerapkan kaidah hukum: menerapkan kaidah hukum yang telah
ditemukan terhadap kasus hukum yang akan diputus.
 3. Penerapan Living Criminal Law
Problematika mendasar yaitu: wujud living criminal law yang tidak
tertulis, sehingga sulit untuk dipahami, apalagi hendak diterapkan.
Belum ada pedoman tentang cara yang harus digunakan untuk
memahami, mengidentifikasi, dan menerapkan living criminal law.
Kita perlu berpikir keras untuk itu.
Pernyataan Wamenkumham: karena diatur dalam Perda, maka yang
melaksanakan adalah SATPOL PP, bukan Polisi.
Apakah perlu mengadaptasi Peradilan Swapraja di Indonesia;
Perjalalanan masih Panjang….
 4. Pola Pikir Aparat Penegak Hukum
• Aparat penegak hukum harus segera meningggalkan faham ‘legisme’
dan pola pikir ‘legalistik-formal’. Aparat penegak hukum harus mulai
berpikir ‘yuridis-koheren’, yaitu:
1. Memahami bahwa hukum terdiri dari hukum tertulis (written law) dan
hukum tidak tertulis (unwritten law);
2. Hukum terdiri dari statute criminal law dan living criminal law.
3. Memahami hukum tidak lagi sebatas harus ‘correct’ (tepat) dan
‘certain’ (pasti), tetapi juga harus ‘just’ (adil).
4. Memosisikan statute criminal law dan living criminal law sebagai
batu uji untuk menilai dan mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai
tindak pidana atau tindak pidana adat.
 4. Pola Pikir Aparat Penegak Hukum

• Untuk ‘statute criminal law’, pola pikir aparat penegak


hukum sudah terbentuk sekian lama untuk praktik penerapan
statute criminal law, sehingga mudah
mengimplementasikannya;
• Untuk ‘living criminal law’, aparat penegak hukum baru
dalam taraf belajar praktik menerapkan hukum yang
berbentuk living criminal law. Akan terjadi kegagapan untuk
mengimplementasikan ‘living criminal law’ dalam praktik
hukum.
Mator Sakalangkong
dan
Semoga Bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai