88 353 1 PB
88 353 1 PB
guarantee for them to loyal to the company. Especially for low involvement product, consumers tends to variety seeking activity in purchase processing. Because the products have low risk to the consumers. Or although consumers are not really nvolved, they go through a decision process in buying due to their in sufficient experiences or variety seeking behavior. Key word : variety seeking, consumers loyalty PENDAHULUAN Saat ini tingkat persaingan dimiliki. Penelitian ini penting dilakukan karena tujuan mengenai menentukan pelanggan ketika perusahaan maka mengejar informasi yang loyalitas
organisasi bisnis sangat tinggi. Untuk bisa bertahan organisasi harus bisa menghasilkan produk bernilai superior dan pelayanan yang berkualitas sehingga pelanggan akan merasa puas dan
tersebut
permasalahan
penting yang harus dijawab. Loyalitas muncul karena adanya suatu rasa kepercayaan dari pelanggan setelah menggunakan suatu produk. Kepuasan pelanggan terjadi apabila harapan pelanggan sesuai dengan apa yang dialami dan dirasakannya, bahkan melebihi harapannya (Westbrook, 1980). Pada saat perusahaan tidak mampu untuk memenuhi keinginan dan harapan
menjadi loyal. Loyalitas merupakan aset bernilai yang dapat memberikan profit besar bagi perusahaan karena dapat membantu perusahaan dalam
memperoleh keuntungan kompetitifnya. Dengan memahami konsep loyalitas maka perusahaan akan terdorong untuk secara terus menerus menciptakan dan menjaga loyalitas pelanggan yang
tersebut konsumen
maka
kemungkinan akan
besar
varied behavior (motivasi ekstrinsik). Dalam melakukan juga variety dipengaruhi seeking oleh
mengalami
ketidakpuasan sehingga mereka akan mencari alternatif lain (variety seeking) pada konsumsi berikutnya yang dirasa dapat memenuhi Faktor keinginan lain dan yang
konsumen
kebutuhan mereka akan variasi yaitu konsumen yang memiliki kebutuhan untuk variasi tinggi akan lebih mudah dalam mencari variasi (Van Trijp dalam Sivakumaran, 2002). Perbedaan kategori produk
harapannya.
konsumen dalam mengkonsumsi produk guna memenuhi kebutuhan sehingga konsumen akan mencari variasi yang diwujudkan dengan beralih pada
mempunyai pengaruh yang berbeda pada variety seeking. Menurut Chintagunta (1998) variety keputusan seeking untuk melakukan oleh
dipengaruhi
alternatif lain, termasuk beralih merek dan menghindari perilaku yang biasanya (Orth, 2005). Beralih merek (brand switching) dapat terjadi karena variety seeking (Van Trijp et al., 1996).
pembelian individu yang telah lalu. Variety seeking menunjukkan bahwa konsumen mencari variasi selama atribut tertentu menandai suatu merek atau objek. Pembelian suatu merek akan menyebabkan kebosanan terhadap
Menurut Van Trijp et al., (1996) berdasarkan pada motivasi untuk beralih merek, variety seeking dibedakan
atribut yang dimiliki berkaitan dengan merek yang telah lalu. Konsekuensinya kemungkinan konsumen akan lebih
menjadi dua yaitu true variety seeking behavior (motivasi intrinsik) dan derived
atribut tertentu tersebut pada kesempatan pembelian berikutnya. Variety seeking merupakan bentuk ketidakterikatan
pilihan pada suatu item tertentu (Menon dan Kahn, 1995). Produk-produk pembeliannya bersifat rutin yang dan
VARIETY SEEKING DAN BRAND SWITCHING Menurut Raju (1980) variety seeking adalah perilaku yang tidak disebabkan oleh ketidakpuasan semata. Individu yang melakukan variety seeking tidak selalu disebabkan terhadap oleh merek
memiliki keterlibatan rendah dalam pengambilan keputusan pembelian perlu mempertimbangkan variety seeking.
Alasan yang mendasari hal tersebut adalah ketika konsumsi dilakukan secara berulang-ulang maka kemungkinan akan mengarah kebosanan pada kejenuhan atau
ketidakpuasan
sebelumnya. Perilaku variety seeking muncul pada saat konsumen merasa terpenuhi atau bosan pada karakteristik produk yang dikonsumsi sebelumnya. Perilaku variety seeking dapat
sehingga
konsumen
disebabkan oleh kebosanan pada atribut produk (McAlister,1982). Individu berbeda dalam tingkat kebosanannya, individu yang memiliki kebutuhan untuk mencari variasi akan lebih mungkin untuk berperilaku variety seeking daripada individu yang memiliki
McAlister, 1982). Di samping itu, perilaku variety seeking jarang terjadi pada produk atau service yang memiliki tingkat keterlibatan tinggi (Van Trijp et al., 1996). Variety seeking hanya terjadi pada produk keterlibatan rendah dan
kebutuhan
mencari
variasi
rendah
intra individual dan perbedaan inter individual. Teori intra individual fokus pada sifat produk. Inman (2001) dalam studinya menggunakan teori sensory spesific dengan satiety perasaan. yang Hasil berhubungan penelitian
(Steenkamp dan Baumgartner, 1992). Menurut (2002) variasi Sivakumaran konsumen disebabkan dan Kannan
yang oleh
melakukan kebutuhan
mereka untuk variasi, konsumen dengan kebutuhan yang tinggi untuk variasi akan lebih mudah dalam mencari variasi lain. Konsumen yang mencari variasi diasumsikan tidak memperoleh manfaat apapun dari kebiasaan (pengulangan) pembelian yang dilakukan (Bawa, 1990). Variety Seeking merupakan bentuk
tersebut menemukan bahwa konsumen lebih menyukai variety seeking dalam produk yang berinteraksi dengan
perasaan (sense) mereka. Van Trijp et al., (1996) menguji pengaruh tingkatan karakteristik mengidentifikasi berpengaruh pada produk faktor perilaku dan yang variety
ketidakterikatan pilihan pada suatu item tertentu (Menon dan Kahn, 1995). Konsumen terkadang membuat pilihan yang bervariasi bahkan pada saat dimana satu alternatif pilihan yang mendominasi (Ratner, 2006). Terdapat beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan perilaku variety seeking yang dapat dilihat dari dua perspektif berbeda yaitu perbedaan
dipersepsikan, fitur hedonik, kekuatan preferensi dan histori pembelian. Teori yang menjelaskan tentang perbedaan inter individual antara lain yaitu Optimal Stimulation Level (OSL) (Menon dan Kahn, 1995; Steenkamp dan Baumgartner, 1992; Van Trijp et al.,
1996) dan Dynamic Attribute Satiation (DAS) (Chen dan Paliwoda, 2004). Kedua model tersebut dihubungkan
semua kemungkinan situasi dan dari waktu ke waktu (Menon dan Kahn, 1995). Menurut Chen dan Paliwoda (2004) berdasarkan pada konsep OSL maka setiap orang akan mengarah pada tingkatan ideal dari stimulus. Tingkatan stimulus ini ditentukan oleh hal-hal baru, kejutan, perubahan, ambiguitas, dan
dengan persoalan yang berbeda namun menggunakan dasar pemikiran yang sama yaitu konsumen merasa bosan atau terpenuhi tertentu (satiation) pada suatu dengan item atribut yang
mengarahkan mereka untuk mencari variasi pada item yang lain. Dasar hubungan teori antara OSL stimulasi adalah yang
kompleksitas, ketidakpastian
ketidaksesuaian yang
dihubungkan
dengan stimulus atau situasi. Pada saat stimulasi rendah (di bawah tingkatan optimal) individu merasa bosan dan berkeinginan stimulasi. Menurut McAlister (1982) model DAS menjelaskan bahwa konsumen yang merasa jenuh pada atribut dari alternatif pilihan akan memungkinkan konsumen tersebut lebih sedikit dalam melakukan pembelian kembali. Variety seeking pada atribut dilakukan untuk meningkatkan incongruity. Incongruity untuk meningkatkan
individu untuk stimulasi sesuai fungsi U shaped dengan intermediate tingkatan stimulasi memuaskan yang diterima (Steenkamp sangat dan
Baumgartner, 1992). Tingkatan ideal dari stimulus menjelaskan sejumlah rangsangan yang disukai oleh konsumen secara umum, dari semua kemungkinan sumber internal dan eksternal di antara
adalah suatu keadaan dari berbagai ketidakselarasan, ketidakkonsistenan ketidakcocokan, atau kombinasi
karakteristik individu dalam mencari variasi dan karakteristik kategori produk. Brand switching merupakan pola pembelian yang ditunjukkan dengan perubahan atau pergantian dari satu merek ke merek yang lain. Disamping disebabkan oleh variety seeking, brand switching juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, diantaranya yaitu harga, inconvinience, kegagalan pelayanan inti, kegagalan pelayanan encounter,
kesemuanya tersebut yang dirasakan oleh konsumen. Variety seeking dapat dibedakan menjadi dua yaitu true variety seeking behavior dan derived varied behavior (Van Trijp et al., 1996). True variety seeking behavior merupakan motivasi internal yaitu perilaku beralih
(switching) yang dilakukan hanya untuk mencari variasi dan disebabkan oleh faktor intrinsik, sedangkan derived
persaingan usaha dan persoalan etika (Keaveney, 1995). Hoyer dan Ridgway (1984) berpendapat bahwa keputusan konsumen untuk brand switching juga dipengaruhi oleh strategi keputusan, faktor situasional dan normatif, merek untuk
varied behavior merupakan motivasi eksternal yaitu lebih disebabkan karena faktor ekstrinsik. Menurut Van Trijp et al., (1996) variety seeking dapat
terhadap strategi
diidentifikasi menjadi faktor penentu dalam brand switching. Brand switching yang terjadi karena variety seeking merupakan fungsi dari perbedaan
dalam penelitiannya
utama dari keefektifan pemasaran merek dan ukuran parsial bahwa salah ekuitas variety merek seeking dari
demikian menyebabkan merek yang sama-membeli sekumpulan merek yang sama, disamping pengaruh situasi dan usaha pemasaran yang potensial perilaku Loyalitas
menemukan merupakan
satu
bentuk
beberapa tipe pembelian konsumen. Tipe pembelian konsumen yang lain adalah switcher, loyals dan habituals. Switchers terjadi pada produk dengan keterlibatan dan resiko yang rendah, sedangkan loyal terjadi pada produk dengan keterlibatan tinggi dan tingkat resiko sedang. Habit dapat didefinisikan sebagai perilaku berulang yang terjadi karena
menyebabkan (Taylor et
merupakan terhadap
menguntungkan menghasilkan
merek
yang
pembelian yang berulang (Anderson dan Srinivasan, 2003). Konsep loyalitas muncul pertama kali di tahun 1940an. Pada awalnya loyalitas diajukan sebagai konstruk uni-
keterbatasan atau tidak adanya pencarian informasi dan evaluasi alternatif yang dipilih (Assael, 2001).
VARIETY SEEKING DAN LOYALITAS PELANGGAN Loyalitas adalah kesanggupan untuk membeli kembali suatu produk/ jasa yang lebih disukai secara konsisten di masa yang akan datang, dengan
dimensional, yang dihubungkan dengan perspektif pengukuran yang digunakan oleh beberapa peneliti. Dua pemisahan konsep loyalitas ditingkatkan yaitu
preferensi merek yang mengarah pada attitudinal loyalty dan share of market
yang mengarah pada behavioral loyalty (Thiele, 2005). Menurut Thiele (2005) hampir 30 tahun setelah loyalitas muncul terlebih dahulu dalam literatur penelitian diajukan bahwa loyalitas menjadi lebih komplek dan menekankan pada
objek (misal: merek, toko, pelayanan atau perusahaan) ditunjukkan behavioral yang oleh atau
kecenderungan attitudinal
menguntungkan
terhadap objek tersebut (East et al., 2005). Menurut Thiele dan Mackay (2001) untuk mengukur loyalitas
dikombinasikan dan mengarah pada composite loyalty. Definisi composite loyalty memperhatikan bahwa loyalitas seharusnya selalu menekankan pada perilaku menguntungkan, niat dan
banyak dimensi dan dipelajari dengan menggunakan pendekatan behavioral, attitudinal behavioral dan composite. pada Definisi aspek
pembelian ulang. Sebelum tahun 1997 penelitian loyalitas mempertimbangkan tiga tipe loyalitas yang berbeda yaitu attitudinal loyalty, behavioral loyalty dan composite loyalty (Thiele, 2006). Terminologi loyalitas pelanggan dan loyalitas merek tidak berbeda dan dapat digunakan saling menggantikan (Darsono dan Junaedi, 2006; Thiele dan Mackay, 2001). Loyalitas terhadap suatu
didasarkan
perilaku pembelian ulang, frekuensi pembelian dan jumlah beralih merek. Sementara attitudinal dihubungkan
dengan sikap konsumen, preferensi dan disposisi terhadap merek (Day, 1969; Zins, 2001). Composite loyalty
menyatakan bahwa loyalitas sebagai kombinasi dari dimensi attitudinal dan behavioral (Day, 1969; Zins, 2001).
Pengukuran loyalitas mengarah pada beberapa hal yaitu pembelian ulang, preferensi, komitmen, ingatan (retention) dan kesetiaan. Terdapat tiga perspektif konseptual yang digunakan untuk mendefinisikan loyalitas
adalah kecenderungan konsumen ke arah suatu merek sebagai fungsi dari psikologis. Loyalitas ini meliputi pilihan dan komitmen pada suatu merek (Fitzgibbon dan White, 2005). Konsep attitudinal bahwa loyalty konsumen
pelanggan yaitu (Dimitriades, 2006): 1. Perspektif perspective). merupakan perilaku (behavioral perilaku pembelian,
menyimpulkan
terlibat dalam penyelesaian masalah perilaku keterlibatan merek yang luas dan perbandingan atribut,
Perspektif loyalitas
meneliti tentang perilaku pembelian ulang dan didasarkan pada sejarah pembelian pelanggan. Perspektif ini menekankan pada pembelian yang telah lalu daripada pembelian yang akan datang. Menurut Fitzgibbon dan White (2005) behavioral loyalty terjadi ketika konsumen membeli ulang produk atau service, tetapi tidak perlu memiliki sikap yang menguntungkan terhadap merek. 2. Perspektif perspective). sikap (attitudinal loyalty
mengarah pada preferensi merek yang kuat (Bennett dan Thiele, 2002). 3. Kombinasi (composite perspective). Perspektif definisi ini mengkombinasikan dan
loyalitas attitudinal
behavioral
Loyalitas sebagai kombinasi relative attitude dan behavioral loyalty dapat dibagi ke dalam empat kategori yaitu
Attitudinal
meliputi
(Dick
dan
Basu
dalam
Huddleston et al., 2004): 1. No loyalty (tidak loyal) merupakan kombinasi relative attitude yang rendah dan tidak ada loyalitas. 2. Spurious loyalty terjadi pada saat
memiliki
komitmen yang kuat untuk memiliki niat melakukan menghindari pembelian setiap kembali bujukan dan dari
loyalitas
tidak
di
dukung
attitudinal. Konsep ini untuk kasus niat membeli kembali). pembelian ulang tanpa sikap yang kuat. 3. Latent loyalty terjadi pada saat digunakan relative attitude tinggi dan loyalitas kecenderungan konsumen yang loyal rendah atau tidak ada sama sekali. yaitu: 4. Loyalitas merupakan hasil dari 1. Konsumen relative attitude yang kuat dan merek cenderung lebih percaya diri loyalitas yang tinggi. terhadap pilihannya. Loyalitas terbentuk melalui 2. Konsumen langkah-langkah yang hirarkis. Menurut merek juga lebih mungkin loyal McMullan dan Gilmore (2003) terdapat terhadap toko. empat langkah dalam mengembangkan loyalitas cognitive pelanggan yaitu 1) fase 3. Konsumen yang loyal lebih yang loyal terhadap yang loyal terhadap untuk menunjukkan Menurut Assael (2001) terdapat beberapa karakteristik yang dapat
(berhubungan
dengan
10
rentang yang lebih tinggi dalam pembeliannya. 4. Kelompok konsumen yang minoritas cenderung merek. SIMPULAN lebih loyal terhadap
konsumen dalam proses pembelian dan tingkat resiko juga rendah, seperti rumah makan, sabun mandi, shampoo, dan pasta gigi. Implikasi bagi pemasar sebaiknya membiarkan konsumen
memilih. Pemasar yang baik seharusnya menawarkan Pilihan terhadap produk yang konsumen, bukan menjual produk dan berulang akan mengurangi stimulus memaksa konsumen untuk membelinya. potensial konsumen dalam melakukan pembelian karena pilihan tidak lagi baru DAFTAR PUSTAKA atau komplek bagi konsumen. Hal ini mengarah pada persepsi kebosanan dan konsumen akan berusaha untuk Andaleeb, S.S. and Conway, C. (2006), Customer Satisfaction in The Restaurant Industry: An Examination of the TransactionSpecific Model, Journal of Services Marketing, Vol. 20, No. 1, pp. 3-11. Assael, berbeda. Beralihnya pada merek lain merupakan hasil dari kebutuhan H. (2001), Consumer Behaviour & Marketing Action, 6thed. Singapore: Thompson Learning. alternatif pilihan bagi
konsumen untuk mengurangi kebosanan atau kebutuhan untuk stimulus sensorik dengan mencari variasi. Produk-produk yang rentan dengan variety seeking adalah produk-produk yang mempunyai tingkat keterlibatan rendah bagi
Aydin, S., Ozer, Gokhan and Omer, A. (2005), Customer Loyalty and The Effect of Switching Costs as A Moderator Variable. Vol. 23, No. 1, pp. 89-103.
Bawa, K. (1990), Modeling Inertia and Variety Seeking Tendencies in Brand Choice Behavior,
11
Marketing Science, Vol. 9, No. 3, pp. 263-278. Chen, J. and Paliwoda, S. (2004), The Influence of Company Name in Consumer Variety Seeking, Brand Management, Vol. 11, No. 3, pp. 219-231. Chintagunta, P.K. (1998), Inertia and Variety Seeking in a Model of Brand Purchase Timing, Marketing Science, Vol. 17, No. 3, pp. 253-270. East, R., Gendall, P., Hammond, K. and Lomax, W. (2005), Consumer Loyalty: Singular, Additive or Interactive, Australasian Marketing Journal, Vol. 13, No. 2, pp.10-26. Evans, G. (2002), Measuring and Managing Customer Value, Work Study, Vol. 51, No. 3, pp.134-139. Fitzgibbon, C. and White, L. (2005), The Role of Attitudinal Loyalty in The Development of Customer Relationship Management Strategy Within Service Firms, Journal of Financial Service Marketing, Vol. 9, No. 3, pp. 214-230. Fornell, C. (1992), A National Customer Satisfaction Barometer: The Swedish Experience, Journal of Marketing, Vol. 56, pp. 6-21. Fornell, C., Johnson, M.D., Anderson, E.W., Cha, J. and Bryant, B.E. (1996), The American Customer Satisfaction Index: Nature,
Purpose, and Findings, Journal of Marketing, Vol. 60, No. 4, pp. 7-18. Huddleston, P., Whipple, J. and VanAuken, A. (2004), Food Store Loyalty: Application of A Consumer Loyalty Framework, Journal of Targeting, Measurement and Analysis for Marketing, Vol.12, No. 3, pp. 213-230. Inman, J.J. (2001), The Role of Sensory-Spesific Satiety in Attribute-Level Variety Seeking, Journal of Consumer Research, Vol. 28, pp. 105-120. Iwasaki, Y., and Havitz, M.E. (2004), Examining Relationships Between Leisure Involvement, Psychological Commitment and Loyalty to a Recreation Agency, Journal of Leisure Research, Vol. 36, No. 1, pp. 45-72. Jensen, J.M and Hansen, T. (2006), An Empirical Examination of Brand Loyalty, Journal of Product and Brand Management, Vol. 15, No.7, pp. 442-449. Johnson, M.D., Herrmann, A. and Huber, F. (2006), The Evolution of Loyalty Intentions, Journal of Marketing, Vol. 70, pp. 122132. Joseph Yu, C.M., Wu, L.Y., Chiao, Y.C. and Tai, H.S. (2005), Perceived Quality, Customer Satisfaction, and Customer Loyalty: The Case of Lexus in Taiwan, Total Quality Management, Vol. 16, No. 6, pp. 707-719. 12
Kantamneni, S.P. and Coulson, K.R. (1996), Measuring Perceived Value: Scale Development and Research Findings From Consumer Survey, The Journal of Marketing Management, Vol. 6, No. 2, pp. 72-86. Keaveney, M.S. (1995), Switching Behavior Industries: An Study, Journal of Vol. 59, pp. 71-82. Consumer in Service Exploratory Marketing,
Loyalty-An Integrative Research of Financial Services Industry in Taiwan, Journal of Services Research, Vol. 4, No. 1, pp. 5791. Luarn, P. and Lin, H.S. (2003), A Customer Loyalty Model For EService Context, Journal of Electronic Commerce Research, Vol. 4, No. 4, pp. 156-167. McAlister, L. (1982), A Dynamic Attribute Satiation Model of Variety Seeking Behavior, Journal of Consumer Reearch, Vol. 9, pp. 141-150. McMullan, R. and Gilmore, A. (2003), The Conceptual Development of Customer Loyalty Measurement: A Proposed Scale, Journal of Targeting, Measurement and Analysis for Marketing, Vol. 11, No. 3, pp. 230-243. Menon, S. and Kahn, B.E. (1995), The Impact of Context on Variety Seeking in Product Choices, Journal of Consumer Research, Vol. 22, pp. 285-295. Pura, Minna (2005), Linking Perceived Value and Loyalty in LocationBased Mobile Services, Managing Service Quality, Vol. 15, No. 6, pp. 509-538. Raju, P.S. (1980), Optimum Stimulation Level: Its Relationship to Personality, Demographic, and Exploratory Behavior, Journal of Consumer Research, Vol. 12, No. 7, pp. 272-281. 13
Keiningham, T.L., Aksoy, L., Andreassen, T.W., Bruce, C. and Barry, J.W. (2006), Call Center Satisfaction and Customer Retention in a Co-Branded Service Context, Managing Service Quality, Vol. 16, No. 3, pp. 269-289. Kotler, P. and K. Keller (2006), Marketing Management, 12 th ed. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.
Lai, T.L. (2004), Service Quality and Perceived Values Impact on Satisfaction, Intention and Usage of Short Message Service (SMS), Information System Frontiers, Vol. 6, No. 4, pp. 353368. Lewis, B.R. and Soureli, M. (2006), The Antecedents of Consumer Loyalty in Retail Banking, Journal of Consumer Behavior, Vol. 5, pp. 15-31. Liang C.J. and Wang W.H. (2004), Attributes, Benefits, Customer Satisfaction and Behavioral
Ratner, R.R (2006), A Variety Of Explanations for Variety Seeking Behaviors: Physiological Needs, Memory Processe, and Primed Rules, Advances in Consumer Research, Vol. 33, pp. 529-531. Rauyruen, P. and Miller, K.E. (2007), Relationship Quality as A Predictor of B2B Customer Loyalty, Journal of Business Research, Vol. 60, pp. 21-31. Roehm, J.R., Harper, A. and Roehm, M.L. (2005), Revisiting The Effect of Positive Mood on Variety Seeking, Journal of Consumer Research, Vol. 32, pp. 330-336. Roig, J.C.F., Garcia J.S., Tena, M.A.M. and Monzonis, J.L. (2006), Customer Perceived Value in Banking Services, International Journal of Bank Marketing, Vol. 24. No. 5, pp 266-283. Sivakumaran, B. and Kannan, P. K. (2002), Consideration Sets Under Variety Seeking Conditions: An Experimental Investigation, Advances in Consumer Research, Vol. 29, pp. 209-210. Taylor, S.A., Celuch, K. and Stephen G. (2004), The Importance of Brand Equity To Customer Loyalty, Journal of Product and
Brand Management, Vol. 13, No.4, pp. 217-227. Thiele, S.R. (2005), Exploring Loyal Qualities: Assesing SurveyBased Loyalty Measures, Journal of Services Marketing, Vol.19, No. 7, pp. 492-500. Thiele, S.R. and Mackay, M.M. (2001), Assesing the Performance of Brand Loyalty Measures, Journal of Services Marketing, Vol. 15, No. 7, pp. 529-546. Van Trijp, H.C.M., W.D. Hoyer and J.J. Inman (1996), Why Switch? Product Category-Level Explanations For True Variety Seeking Behavior, Journal of Marketing Research, Vol.XXXIII, August, pp.281292. Yu, T.T.and Dean, A. (2001), The Contribution of Emotional Satisfaction To Consumer Loyalty, International Journal of Service Industry Management, Vol. 12, No. 3, pp. 234-250. Zins, A.H. (2001), Relatives Attitudes and Commitment in Customer Loyalty Models-Some Experiences in The Commercial Airline Industry, International Journal of Service Industry Management, Vol. 12, No. 3, pp. 269-294.
14