24
Sloka tersebut menjelaskan bahwa Yaja merupakan korban suci yang dipersembahkan kepada siapa pun yang patut menerimanya, dimana pemberian itu disertai dengan ketulusan hati, cinta kasih, dan kepercayaan yang membathin demi kesejahteraan bersama dan kedamaian abadi. a. Dasar Pelaksanaan Upakra-Upacra(Yaja) Hakikat hidup dan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena hidup dan kehidupan seseorang tergantung daripada hidup dan kehidupan dengan sesamanya. Itulah yang menyebabkan setiap insan hamba Tuhan yang sadar akan kehidupannya sebagai umat beragama untuk selalu ingin berkorban, saling tolong menolong dan saling memberi secara timbal balik. Tingginya tarap kehidupan manusia ditandai oleh budhi pekertinya, tingkah laku, dan pengorbanannya demi kepentingan umum dan kesejahteraan dunia, bahkan sampai rela mengorbankan jiwa raganya. Dan ini dilakukannya dengan ketulusan, keikhlasan, dan dengan niat hati yang suci demi kesentosaan serta dengan lebih meningkatkan kwalitas raddh dan bhaktinya kepada Yang Maha Kuasa/Sanghyang Widhi Wasa. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra disebutkan : Agnon prastha hutih samyang, adityam upastistate, adityayate wretir, wreste rsnam tatah pryah. Artinya : Persembahan yang dipersembahkan ke dalam api suci, akan mencapai matahari, dari matahari turunlah hujan, dari hujan maka tumbuhlah makanan, dari makanan mahkluk hidup mendapatkan hidupnya. Sloka tersebut menjelaskan bahwa dari makananlah manusia dapat mempertahankan hidupnya, makanan tumbuh karena adanya pancaran sinar Matahari yang mengabkibatkan menguapnya titik-titik air di Samudera, yang kemudian turun menjadi hujan. Demikian siklus kehidupan ini, yang selalu dilandasi oleh adanya pengorbanan yang tulus ikhlas (Yaja). b. Tujuan Melakukan Yaja. Semua perbuatan tentu memiliki tujuan, tanpa tujuan semua perbuatan ibarat perahu tanpa kendali sehingga terO bang-ambing tidak menentu. Begitu pula halnya dengan kita melakukan Yaja, sudah barang tentu memiliki tujuan, yang pasti disini adalah dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang bahagia, dan sejahtera, lahir maupun bahtin. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra VI.35 menyebutkan bahwa pikiran (manah) baru dapat ditujukan kepada kelepasan setelah manusia membayar hutang moral (rna), yakni kepada Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa, orang tua/leluhur, dan kepada para maharsi. Untuk membayar hutang moral tersebut, manusia memiliki kewajiban moral pula untuk membayarnya melalui korban suci (Yaja). Hutang moral kepada Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa diwujudkan dalam bentuk Dewa Yaja dan Bhta Yaja, hutang moral kepada orang tua/leluhur di wujudkan dalam bentuk Pitra Yaja dan Manusa Yaja, sedangkan hutang moral kepada para maharsi diwujudkan dalam bentuk Rsi Yaja. Disamping itu pula tujuan kita melaksanakan upakra-upacra (Yaja), pertama : sebagai pengejawantahan ajaran agama, melalui bentuk simbol-simbol (niyasa) agar mudah dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh umat Hindu dalam rangka meningkatkan kemantapan diri didalam pelaksanaan kegiatan keagamaan itu sendiri. Kedua, sebagai ungkapan rasa terima kasih, karena pada hakikatnya manusia tidak dapat lepas dari ketergantungan dengan yang lain. Ada tiga jenis ketergantungan manusia, yakni ketergantungan manusia dengan Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa yang telah menciptakan kehidupan, memelihara, dan memberi kebutuhan hidup. Kemudian ketergantungan kepada orang tua/leluhur yang telah melahirkan, mengasuh, dan membesarkannya, selanjutnya ketergantungan yang ketiga adalah ketergantungan kepada para maharsi yang telah memberikan ilmu pengetahuan suci untuk membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan menuju suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia lahir bathin. Kemudian tujuan yang ketiga kita melaksanakan upakraupacra (Yaja) adalah untuk meningkatkan kualitas diri melalui proses penyucian diri dengan menumbuhkan rasa keikhlasan dengan mengurangi keakuan, dalam bentuk byakala, prayascita, dan lain sebagainya. Dan tujuan keempat adalah meningkatkan kesucian Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, melalui upacra Caru, Tawur Agung dan Penglukatan.
File: I Wayan Sudarma 4 STAH @ 2008 25
B.
Upakra Bebantenan Dan Makna Simbolisnya a. Landasan Filosofis. Banten atau bebantenan merupakan ciri khas yang unik bagi masyarakat Hindu di Bali, dan ini dikaitkan dengan daya cipta masyarakat setempat, yang memiliki nilai religius, magis, yang mengandung nilai budaya seni dan adat. Banten membuat orang menjadi terpesona karena daya seni yang ditampilkannya dengan berbagai keindahan dalam penataan sebuah karya spiritual, sebagai sarana untuk mendekatkan diri penyembah dengan yang disembah yakni Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa. Dalam kitab Bhagawad Gita disebutkan bahwa dunia mengalir dari tubuhKu. Dunia Aku jadikan dengan pengorbanan diriKu. Manusia Aku jadikan atas dasar hukum Yaja, karena itu manusia wajib melakukan Yaja. Barang siapa tidak melakukan Yaja adalah dosa. Yaja yang paling mulia adalah penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada-Ku. Pernyataan inilah yang kemudian menggerakkan kegiatan keagamaan dalam bentuk Upakra bebantenan. Banten atau bebantenan sesungguhnya dalam penataannya merupakan perwujudan Manu (manusia) yang dikorbankan kepada Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa. Karena itu pula, dalam mempersembahkan banten kehadapan Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa, disusun atas dasar konsep triangga, sehingga ada banten yang berkedudukan sebagai utama angga atau hulu (kaja atau kangin), kemudian madya angga atau bagian badan (tengah) dan nista angga atau bagian kaki yakni di teben (kelod kauh). Dalam filsafat Samkhya disebutkan bahwa dunia terdiri dari dua unsur yakni purusa dan pradana (prakerti). Purusa merupakan jiwa alam semesta, sedangkan pradana atau prakerti merupakan unsur jasmani yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhtadan Panca Tan Matra. Konsepsi ini pula yang melandasi dalam pembuatan banten khususnya dilihat dari unsurunsur banten, terutama untuk banten yang berfungsi sebagai hulu atau linggih Sanghyang Widhi Wasa misalnya banten Suci, Catur atau Dewa-dewi, dan Daksina. b. Banten sebagai simbol penyerahan diri secara total. Mengingat banten merupakan perwujudan dari manusia, maka dengan demikian banten memiliki makna sebagai simbol penyerahan diri manusia secara totalitas, yang didasari ketulusan hati dan niat yang suci. Hal ini tercermin dari tatuasannya (potongannya), yang menunjukkan keindahan seni yang ditampilkan, menyimbolkan perasaan cinta kasih dan bakti yang demikian agungnya sehingga melahirkan getaran hati dan pikiran untuk mempersembahkan yang terbaik dan termulia kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa sebagai pemberi anugrah berupa kesejukan kepada sang pemuja. Dunia ini tercipta karena adanya unsur purusa dan pradana (prakerti). Pradana (prakerti) sebagai unsur jasmani terdiri dari unsur Panca Maha Bhtayakni dari unsur apah, teja, pretiwi, bayu dan akasa. Kelima inilah yang membentuk unsur-unsur banten terutama untuk banten hulu (lingga Sanghyang Widhi Wasa). Dari kelima unsur inilah kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk unsur. Unsur kehidupan dalam air (apah) ada dua jenisnya, yakni air tawar dan air laut. Mahkluk hidup diair tawar misalnya ikan nyalian, lele, yuyu, udang, kakul dan sebagainya, sedangkan yang hidup diair laut ikan teri (gerang), teripang, ikan pari (be pai). Unsur kehidupan dalam tanah (pertiwi), misalnya kacangkacangan dan ini termasuk jenis pala gantung, sedangkan umbi-umbian tergolong jenis pala bungkah. Kemudian yang mewakili unsur akasa, adalah binatang buruan, sedangkan yang mewakili unsur teja, adalah asap, dupa dan lain-lain. Semua disusun demikian indahnya yang samar-samar menggambar Manu atau manusia. Dalam memilih unsur-unsur tersebut sebagai bahan banten tidak terlepas dari prinsip nama dan rupa.
26
Karena banten merupakan wujud Manu atau manusia, maka dalam menata unsur-unsur materinyapun hendaknya disesuaikan, misalnya dapat dilihat pada banten gebogan, kakinya disimbolkan dengan dulang atau bokoran, badannya disimbolkan dengan raka-raka, jajan, penek dan ayam panggangnya, sedangkan kepalanya disimbolkan dalam bentuk jejahitan berupa kepet-kepetan. Sehingga dalam menempatkan atau meletakkan ayam panggang, tidak boleh dipuncak banten gebogan melainkan pada bagian badan dekat dengan dulang (bokoran). Jadi, bila kita perhatikan secara seksama dari ketiga bagian yang menggambarkan kaki, badan dan kepala (hulu) yang ditandai dengan canang pelausan atau kepet-kepetan, maka dalam penggunaan kembangpun hendaknya dipilih yang dapat memberikan arO a yang demikian harum, seharum hati sang pemuja dalam melakukan bakti persembahan. c. Arti dan fungsi Upakra bebantenan. Seperti telah diketahui bahwa Upakra mempunyai bentuk dan nama yang sangat banyak dengan susunannya cukup rumit jika dilihat secara sepintas, apalagi bila tidak dipahami secara rinci yang akan membuat kita semakin bingung, Suatu contoh dalam hal membuat Upakra bebantenan canang, apakah itu canang genten, canang sari, canang gantal, canang pengraos maupun lainnya. Begitupun halnya dengan Upakra bebantenan sayut, ada sayut pengambean, sayut sida karya, sida purna dan lain sebagainya. Yang patut untuk kita ketahui dan perhatikan disini adalah bagaimana menyusunnya, jenis materinya dan kegunakan dari Upakra bebantenan tersebut serta tingat Upacra yang akan dibuat. Namun secara umum Upakra bebantenan memiliki arti dan fungsinya dalam kita melakukan bakti persembahan, antara lain : a) Upakra bebantenan merupakan cetusan hati, untuk menyatakan rasa terima kasih baik itu kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, maupun manifestasiNya. b) Upakra bebantenan adalah sebagai alat konsentrasi dari pikiran kita untuk memuja Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai suatu contoh bilamana seseorang tengah membuat atau menyusun Upakra (bebantenan) maka ia akan membayangkan kemana akan dibawa atau kepada siapa Upakra bebantenan tersebut akan dipersembahkan. Oleh karena itu wajar, bila orang tua menasehati agar pada waktu membuat banten tidak melontarkan kata-kata yang tidak mengenakkan, marah-marah dan lain sebagainya. c) Sebagai perwujudan dari pada Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa beserta manifesatsiNya dan juga orang yang akan di-Upacrai, misalnya daksina palinggih, kewangen, puspa (sekah) sanggah urip dan lain sebagainya. d) Upakra bebantenan dapat dipergunakan sebagai alat penyucian, misalnya dengan mempergunakan banten prayascita, durmanggala, byakala, penyeneng dan pesucian serta lain sebagainya. C. TINGKATAN UPAKRA-UPACRA (YAJA) a. Tingkatan Upakra-Upacra (Yaja). Dalam pelaksanaan Yaja, keikhlasan merupakan kata kunci untuk mencapai keberhasilan dan mendapatkan kepuasan rohani. Besar kecilnya Upacra diatur dalam tingkatan-tingkatan yang telah ditentukan dalam kitab Mpu Lutuk dan disesuaikan pula menurut tempat, waktu dan keadaan serta kesucian (desa, kala, patra dan kesucian). Dalam kitab/lontar Mpu Lutuk lebih menekankan mengenai besar kecilnya Upakra bebantenan di Sanggah Surya, sedangkan dalam kitab/lontarWraspati kalpa mengatur tentang banten ayaban di balai pesambyangan dan Bhagawan Yogis Wara menjelaskan tentang Upakra bebantenan lembaran. Adapun mengenai tingkatan Upakra/Upacra.Yaja dibagi dalam tiga tingkatan yakni : a) Tingkat Nista/Kanistama (sederhana). Tingkat nista ini dibagi pula dalam tiga bagian.
File: I Wayan Sudarma 4 STAH @ 2008 27
b)
Kanistaning Kanistama yakni Upacra yang paling kecil dari tingkatan Upacra terkecil. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Pras Daksina. Madyaning Kanistama yakni Upacra yang lebih besar dari tingkatan Upacra yang terkecil. Disanggar pesaksi (Surya) memakai banten Suci. Utamaning Kanistama yakni Upacra yang lebih besar dari tingkatan Upacra yang tergolong madyaning nista. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Dewa - Dewi.
Tingkat madya (menengah). Tingkat menengah ini dibagi tiga bagian. Kanistaning madyama yakni Upacra yang paling kecil dari tingkatan Upacra yang menengah. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Dewa-Dewi. Madyaning madyama yakni Upacra yang lebih besar dari tingkatan Upacra yang tergolong nistaning madya. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur rebah. Utamaning madyama yakni Upacra yang lebih besar dari tingkatan Upacra yang tergolong madyaning madya. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur Niri dan banten dibawah/sor sanggar pesaksi menggunakan Caru lantaran memakai Angsa. Tingkat utama (yang paling besar/utama) juga dibagi dalam tiga bagian. Kanistaning utama yakni Upacra yang paling kecil dari tingkatan Upacra yang besar/utama. Disanggar pesaksi (Surya) sama dengan yang ada pada tingkatan Upacra Utamaning madya. Madyaning utama yakni Upacra yang lebih besar dari tingkatan Upacra yang tergolong madyaning utama. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur Muka, sedangkan banten dibawah sanggar pesaksi (Surya) menggunakan Caru lantara memakai Kambing. Utamaning utama yakni Upacra yang lebih besar diantara Upacra-Upacra Yaja lainnya. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur Kumba, sedangkan banten dibawah/sor sanggar pesaksi (Surya) menggunakan Caru lantaran memakai Kerbau. Pada umumnya Upacra apapun yang dilaksanakan oleh umat Hindu selalu berpedO an pada tingkatan-tingkatan Upacra yang telah ditentukan. Besar atau kecil bukan berarti yang besar dan utama itu yang baik, dan sebaliknya, akan tetapi Upakra bebantenan yang besar itu memerlukan materi yang banyak, sedangkan dalam Upacra yang kecil memerlukan bahan materi yang sedikit bahkan mungkin sangat sederhana, seperti hanya dengan dupa, bunga, dan air. Dan juga bukan Upakra bebantenan yang besar akan mendapatkan pahala yang besar, atau sebaliknya akan tetapi semuanya tergantung dari keikhlasan, kesucian dan niat hati yang luhur, yang terpenting baimana dapat menampilkan banten yang segar. Disamping itu pula tingkatan Upacra yang ada, dan tertuang dalam kitab/lontar Mpu Lutuk merupakan suatu ukuran yang tentunya disesuai dengan kemampuan atau strata sosial dari masing-masing orang dalam masyarakat. Dalam tingkatan Upakra dan Upacra yang ada dan tertuang dalam lontar Mpu Lutuk tersebut diatas maka batasan yang menjadi kewenangan para Pemangku (Pinandita) dalam menyelesaikan Upacra-Yaja, menurut Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu, menyebutkan adalah sampai dengan medudus alit, sesuai dengan tingkat pewintenannya dan juga atas penugrahan sang Nabe. Bila kita mengacu pada Keputusan Kesatuan Tafsir Maha Saba PHDI, maka pengertian pedudusan alit adalah sampai tingkat Madyaning Nista, yakni Upacra yang lebih besar dari tingkatan Upacra terkecil dimana di Sanggar Pesaksi (Surya) memakai Banten Suci. Dan ini sesuai yang tertuang dalam lontar Mpu Lutuk. Sedangkan pengertian pedudusan agung adalah Upacra tingkat Utamaning Nista, yakni Upacra yang lebih besar dari tingkat Madyaning Nista, dimana di Sanggar pesaksi (Surya) menggunakan banten Dewa-Dewi, dan juga banten Catur. Pada tingkatan ini, dilaksanakan oleh para Sulinggih atau Pandita.
c)
Alasnya memakai wakul / srembeng / katung yang terbuat dari janur / slepan / blarak, kemudian di dalamnya diisi tampak, uang, porosan / base tempel, beras secukupnya, sebutir kelapa yang telah dibersihkan, 7 buah kojong yang masing-masing berisi kluwek, kemiri, bumbu-bumbuan, kacang-kacangan, telor itik mentah 1, papeselan (5 jenis dedaunan seperti : daun salak, daun durian, daun nangka, daun manggis dan daun duku) dan buah-buahan (pisang). Kelapa disisipi benang berwarna putih, memakai sampyan payasan atau sampyan pusung, canang sari dan sesari daksina : adalah simbol stana Tuhan, simbol makro kosmos Gambar :
b. Peras Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras kemudian disusun di atasnya beras, benang dan base tempel serta uang. Diisi buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah, rerasmen (lauk pauk) yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah jenis banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida)
Gambar :
29
c.Soda / Ajuman Alasnya tamas / aledan : berisi buah, pisang, kue dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah, rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampyan plaus / petangas, canang sari Soda / ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan / kokoh. Gambar :
d.
Ketipat Kelanan
Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang, ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen dialasi tri kona ditambah 1 butir telor mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya sadripu sehingga ada keseimbangan. e.Penyeneng / Tehenan / Pabuat
30
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan adalah jejaitan yang berfungsi sebagai alat untuk nuntun, menurunkan prabhawa Hyang Widhi (antena receiver) Mantra : O kaki penyeneng nini panyeneng kajenengan iru sanghyang Brahma Wisnu Iswara Chandra Lintang terang gona O Shri ya namah swaha f. Pasucian/ Pangresikan Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok (kue rengginang dibakar hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan minyak wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan, sisir terbuat dari janur dan cerin dari janur. Mantra Pasucian/Pangresikan: O asta sastra empu sarining visesa Tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel Cuntakaning pebhaktyaning hulun O sanut sang kala pegat Pegat rampung sahananing visesa O shri Devi bhatrimsa yogini ya namah O gagana murcha ya namah svaha. g. Segehan
Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona dan masing-masing berisi nasi dengan lauk pauk bawang, jahe, garam.
Pejati Katur ring Sanghyang Catur Lokaphala : 1. 2. Peras : kepada Sanghyang Iswara Daksina : kepada Sanghyang Brahma
31
3. 4. h. 1. 2. 3. 4.
Tipat : kepada Sanghyang Wisnu Soda : kepada Sanghyang Mahadewa Beberapa makna filosfis dalam pejati Srembeng / wakul / srobong / katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tampak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro Porosan / base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma Kelapa simbol pawitra (air keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang
Tuhan kosmos (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur) dan Mahadewa (plawa) terdiri dari 7 lapisan sapta loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kluwek lambang pradhana / prakerti / unsur kebendaan / perempuan Kemiri lambang purusa / unsur kejiwaan / laki-laki Papeselan lambang Panca Dewata ; daun duku : Iswara; daun manggis : Brahma; daun Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga) Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam
proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja 11. Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab 12. 13. 14. 15. Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona) Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, Daun plawa lambang kesejukan
lambang cetusan perasaan benih-benih kesucian lambang pawitra / amertha saksi dan pendetanya Yaja
Tri kona : upti, sthiti, pralina Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga)
32
murni/ananda)
i.
Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan) O Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) O Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram Prajapatir yogayusyam Balam astu teja paranam Guhyanam triganam trigunatmakam O namaste bhagavan Agni Namaste bhagavan Harih Namaste bhagavan Isa Sarva bhaksa utasanam Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam. O Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute O Naividyam Brahma Visnuca Bhoktam Deva Mahesvaram Sarva Vyadi Na Labhate Sarva Karyanta Siddhantam. O Jayarte Jaya mapnuyap Ya Sakti Yasa Apnoti Siddhi Sakalam Apnuyap Paramasiva Labhate ya namah svaha j. Mantra Canang Sari O Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) O tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha O shri Deva Devi Sukla ya namah svaha k. Mantra ngayabang upakara O Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) O Deva Bhatyam Maha Sukham Bojanam Parama Saamerthan Deva Baksya Mahatustam Boktra Laksana Karanam O Bhuktyantu Sarva Ta Deva Bhuktyantu Triloka Natha Sagenah Sapari Varah Savarga Sada Sidha Sah O Deva Boktra Laksana ya namah Deva Tripti Laksana ya namah Treptya Paramesvara ya namah svaha l. Mantra Peras O Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati) O Paca wara bhawet Brahma Visnu sapta wara waca Sad wara Isvara Devasca Asta wara iva jnana O kra muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.
File: I Wayan Sudarma 4 STAH @ 2008 33
i.
m. Mantra Segehan O Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati) O Atma Tattvtma suddha mm svaha O svasti-svasti sarva bhta suka pradhana ya namah svaha O nti nti nti O . n. Mantra Metabuh Arak Berem O ebek segara, ebek danu Ebek banyu premananing hulun ya namah swaha.
E. Penutup Demikian kupasan banten (upakra) baik cara membuat, kegunaan maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma Anak Mula Keto, di masa yang akan datang. Dan yang terpenting para Orang tua (sebagai Guru) dapat menjadi sumber tauladan bagi angoota keluarga terutama anak-anaknya, dengan memberikan pelatihan secara konfrehensif sebagai bentuk kepedulian akan tradisi Veda yang penuh dengan Nyasa/simbol, serta dalam penerapan Sistem Pembelajaran Tuntas. Dengan demikian akan terlahir peserta didik yang memiliki kualifikasi kecerdasan IQ (kecerdasan intelek), EQ (kecerdasan emosional), SQ (kecerdasan spiritual), ESTQ (kecerdasan estetika) sehingga eksistensi kita sebagai manusia Hindu tidak akan memudar. O nti nti nti O
34
Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.
Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam Lontar Yaja Prakrti disebutkan: sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana artinya: semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata jati mendapat awalan pa. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Paca Yaja.
35
Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Daksina Banten Peras, Banten Ajuman/Soda Ketupat Kelanan Penyeneng/Tehenan/Pabuat Pesucian Pesucian Segehan alit
Daun/Plawa; lambang kesejukan. Bunga; lambang cetusan perasaan Bija; lambang benih-benih kesucian. Air; lambang pawitra, amertha Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Ketupat Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan: Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
Siapa yang menerima Banten pejati ? Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
Peras kepada Sanghyang Isvara Daksina kepada Sanghyang Brahma Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
36
Mengenai rerasmen: Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan. Mengenai buah-buahan; Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan. Mengenai Kue/Jajan: Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan. Mengenai bahan porosan: Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya
kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan
Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma Anak Mula Keto, di masa yang akan datang.
Reactions:
0 comments
Post a Comment
37
Om Awighnam Astu
Labels
artikel klir bali (48) Berita (24) Bhisama (14) do'a Mantra (3) Ghanta Yoga (10) Jyotisa Wariga Dewasa AYu (6) karma phala (3) Leak Bali (5) Lontar Bali (36) mantra (7) meditasi (4) nyepi (2) panca yadnya (4) renungan Dharma (1) Tutur (36) tutur sastra weda (6) Veda (22) warna (3)
Blog Archive
o o o o
2010 (237) December (12) November (5) August (20) July (29) Kupasan Lontar Kanda Pat - Catur Sanak mantra Kupasan Lontar Kanda Pat - Catur Sanak Arti posisi kepala saat tidur kumpulan mantra bali Lontar Usada Kacacar 58a 63a Lontar Usada Kacacar 47b 57b Lontar Usada Kacacar 38b 47a
38
o o o o o
Lontar Usada Kacacar 29a 37b Lontar Usada Kacacar 20a 28a Lontar Usada Kacacar 11a - 19b Lontar Usada Kacacar 1b - 10b Lontar Usada Cukildaki 42b - 50a Lontar Usada Cukildaki 24a - 41a Lontar Usada Cukildaki 24a - 30b Lontar Usada Cukildaki 15a - 23b Lontar Usada Cukildaki 8a - 14b Lontar Usada Cukildaki 1b - 7b Lontar Usada Buduh 10b - 13a Lontar Usada Buduh 1b - 10a Ilmu Kewisesan Pengiwa Leak Desti Proses Belajar Nge-Leak Tingkatan ilmu Leak di Bali Praktek Leak itu di Kuburan atau Tempat Angker? Leak - ilmu Spiritual tingkat tinggi warisan leluh... Pis Arjuna, salah satu uang magis di masyarakat ba... Banten Pejati - Cara Membuat Dan Kajian Filosofis Banten - Cara Membuat Dan Kajian Filosofis part.2 Daksina - Cara Membuat Dan Kajian Filosofis Banten - Cara Membuat Dan Kajian Filosofis June (5) May (17) April (71) March (64) February (14)
About Me
BUDEE Reiki practitioner since 2006, be next learn and training about it, like meditation etc related to esoteric. VIEW MY COMPLETE PROFILE
My Blog List
39
Esoteric Worlds
doa mantra untuk sehari hari 1 year ago
Hindu-bali
Vishnu - A Symbolic Appreciation part 1 1 year ago
my Twitter
40
41
42