Anda di halaman 1dari 16

ISOLASI SEL LIMFOSIT

Oleh : Golongan P2; Kelompok 1 Nurul Agustina Chandradewi Mila Kharisma Jian Septian Ayu Cahyaning Wulan Didiet Rayadi F24090042 F24090043 F24090046 F24090130 F24061503

Dosen Asisten Praktikum

: Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si : Dede Saputra, S.Pi, M.Si Umi Kulsum, S.TP

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zat-zat gizi maupun zat non gizi dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk menjalankan aktivitas biologisnya. Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral merupakan komponen yang harus terdapat dalam diet setiap hari. Selain itu terdapat komponen non gizi yang dapat memberikan sifat fungsional terhadap fungsi tubuh, seperti antioksidan. Pengaruh dari zat gizi maupun zat non gizi terhadap tubuh dapat diteliti dengan menggunakan hewan percobaan yang diberi ransum (makanan) yang disesuaikan dengan tujuan pengujian. Hewan percobaan yang paling sering digunakan sebagai objek penelitian adalah tikus putih. Sistem pencernaan yang hampir serupa antara tikus dan manusia akan mampu menjelaskan efek dari pemberian ransum terhadap kadar limfosit pada limpa tikus. Tikus percobaan yang digunakan adalah tikus putih albino, Sprague Dawley. Zat non gizi seperti antioksidan juga diperlukan untuk melawan radikal bebas, baik yang masuk dari luar tubuh maupun yang terbentuk akibat metabolisme. Salah satu sumber antioksidan yang banyak diteliti adalah secang. Ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L.) hasil penapisan mengandung lima senyawa aktif yang terkait dengan flavonoid baik sebagai antioksidan primer maupun antioksidan sekunder (Safitri, 2002). Telah diketahui ternyata flavonoid yang terdapat dalam ekstrak kayu secang memiliki sejumlah kemampuan yaitu dapat meredam atau menghambat pembentukan radikal bebas hidroksil, anion superoksida, radikal peroksil, radikal alkoksil, singlet oksigen, hidrogen peroksida (Shahidi 1999; Miller 2002). Antioksidan akan melindungi membran sel limfosit, yang sebagian besar tersusun atas asam lemak tak jenuh, dari reaksi oksidasi oleh senyawa radikal bebas, sehingga kerusakan dapat dihindari. (Darma et al., 2008). Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda dengan mengenali antigen melalui reseptor antigen. Limfosit berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-15 m, dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limpa dan timus (Ganong 1990). Sel limfosit baik penghasil

maupun penstimulur antibodi dibentuk dalam kelenjar timus dan sumsum tulang. Sel ini merupakan 30% dari semua sel leukosit yang beredar dalam darah manusia dewasa (Bratawidjaya, 1994). Untuk mengetahui jumlah sel limfosit pada organ dalam tubuh tikus, terutama organ limphoid, dapat dilakukan dengan menghitung banyaknya sel yang hidup. Penghitungan sel dilakukan pada hemasitometer melalui teknik pewarnaan dengan larutan tryphan blue. Sel yang hidup dan aktif akan terlihat mengkilap akibat adanya aktifitas dalam sel limfosit sedangkan sel yang mati akan terlihat berwarna biru. Kerusakan membran pada sellimfosit, yang antara lain dapat disebabkan oleh senyawa-senyawa radikal, berdampak pada penurunan responnya, antara lain penurunan proliferasi limfosit. Proliferasi limfosit merupakan penanda adanya fase aktivasi dari respon imun tubuh. Proliferasi limfosit ini berupa peningkatan produksi limfoblas yang kemudian akan menjadi limfosit di limpa. Secara makroskopis dapat terlihat dengan adanya pembesaran organ-organ limfoid. Limpa merupakan salah satu organ limfoid perifer dan bagian dari sistem imun (Khasanah 2009). Aktivitas proliferasi limfosit merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status imunitas karena proliferasi limfosit menunjukkan kemampuan dasar dari sistem imun (Roitt 1991). Untuk dapat berproliferasi dan menghasilkan sel efektor atau sel imunokompeten, membrane sel limfosit harus berada dalam kondisi utuh. Hal ini disebabkan karena proliferasi sel bermula dari kontak antara membran sel dengan antigen atau dengan molekul aktivator lain. Keutuhan membran sel sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan antioksidan karena sifat komponen makromolekul pada membran yang mudah teroksidasi yaitu protein dan asam lemak tidak jenuh (Krinsky 1992, Meydaniet al 1995). Banyak bahan pangan yang diteliti mengenai aktivitasnya sebagai imunostimulan, beberapa diantaranya dipercaya mampu menstimulasi proliferasi sel limfosit untuk meningkatkan sistem imunitas. Secang merupakan bahan pangan yang memiliki komponen fenolik yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Oleh karena itu, dalam percobaan ini akan dianalisis pengaruh pengkonsumsian protein dan air

secang sebagai sumber antioksidan terhadap proliferase sel limfosit pada tikus percobaan. 1.2 Tujuan Mengetahui pengaruh pemberian protein ransum terhadap jumlah proliferasi limfosit pada tikus percobaan.

2. METODOLOGI

2.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam praktikum ini terdiri dari sarung tangan disposable, botol semprot alkohol, alat bedah steril autoklaf, syringe, transfer pipet disposable steril, cawan petri steril, botol steril, chamber, pipet mikro, tabung sentrifus teril (15 ml), rak tabung sentrifus, microplate 96 well, tip mikropipet, cell counter, kapas, kertas, tissue, timbangan analitik, aluminium foil, hemasitometer, sentrifus, stopwatch, mikroskop, dan cover glass. 2.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limpa tikus (perlakuan ransum protein), alcohol 70%, RPMI standar sterilisasi dingin, NH4Cl 0,85% steril otoklaf , kloroform, dan larutan biru trifan. 2.3 Prosedur Praktikum ini menggunakan sampel tikus yang telah diberi berbagai macam perlakuan ransum. Tikus diterminasi kemudian dibedah untuk diambil organ limpanya. Pengambilan organ limpa dari badan tikus dilakukan dengan cepat untuk menjaga limpa agar tetap steril. Limpa yang didapat kemudian di masukkan ke dalam botol steril berisi larutan 3 ml RPMI standar steril yang telah diketahui berat totalnya dan diberi label. Botol yang sudah berisi limpa ditimbang kembali untuk mengetahui bobot limpa tikus. Penghancuran limpa tikus dimulai secara bersamaan dengan sampel limpa tikus yang lain. Penghancuran tersebut dilakukan di dalam cawan petri steril berisi 5 ml larutan RPMI standar dengan menggunakan ujung belakang syringe steril hingga halus. Hancuran limpa yang sudah halus dipindahkan ke dalam tabung sentrifus steril dengan menggunakan pipet steril. Sentrifus hancuran limpa dilakukan dengan kecepatan putaran 2500 rpm selama 10 menit. Supernatan limpa dibuang secara perlahan dan endapan limpa dijentik-jentikkan hingga

terpisah. Endapan pellet sel kemudian diberi NH4Cl 0,85% sebanyak 2ml dengan menggunakan pipet mikro. Pemberian NH4Cl 0,85% dilakukan selama tepat dua menit sejak NH4Cl 0,85% diteteskan ke dalam tabung sentrifus berisi endapan pellet sel tersebut. Setelah tepat dua menit, sebanyak 3 ml RPMI standar kembali dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan kemudian dilakukan sentrifus kedua dengan kecepatan dan durasi yang sama (2500 rpm; 10 menit). Bagian supernatan hasil pemisahan dibuang perlahan dan endapan pellet sel dijentik-jentikkan. Ditambahkan 5 ml RPMI standar steril untuk pemisahan tahap ketiga dengan menggunakan sentifus selama 10 menit, 2500 rpm. Bagian supernatan hasil sentrifus ketiga dibuang dan bagian endapan pellet sel dijentik-jenitikkan. Endapan pellet sel dicampurkan dengan 3 ml RPMI standard hingga homogen. Sebanyak 50 l suspensi endapan pellet sel tersebut dipipet dan dipindahkan ke dalam microplate 96 well. Zat pewarna berupa larutan biru trifan sebanyak 150 l ditambahkan ke dalam microplate 96 well yang telah berisi suspensi endapan pellet sel tersebut dengan menggunakan ujung pipet mikro yang berbeda. Campuran tersebut kemudian dituangkan ke dalam hemasitometer melalui sisi pinggir hemasitometer secara perlahan. Perhitungan sel limfosit hidup dilakukan dengan cepat di bawah mikroskop cahaya karena sel limfosit akan mati bila terlalu lama kontak dengan zat pewarna. Sel limfosit yang hidup akan tampak bening. Perhitungan dilakukan dengan menghitung rata-rata jumlah sel limfosit hidup yang berada di dalam dua kuadran hemasitometer yang bersilangan. Tikus Terminasi dengan menggunakan kloroform Penyemprotan badan tikus menggunakan alcohol 70% Pembedahan tikus Pengambilan organ limpa tikus Organ limpa tikus dalam botol steril berisi RPMI standar Timbang Botol steril 3 ml RPMI standar steril dingin Botol steril berisi RPMI standar Timbang

Cawan petri steril berisi 5 ml RPMI standar steril Gambar 1 Diagram alir prosedur pengambilan organ limpa tikus. Organ limpa tikus Penghancuran limpa tikus Suspensi hancuran limpa tikus Dipindahkan ke dalam tabung sentrifus steril menggunakan pipet steril Sentrifus (2500 rpm; 10 menit) Supernatan Endapan pellet sel limfosit Dijentik-jentikkan 2 ml NH4Cl 0,85% 2 menit

Sentrifus (2500 rpm; 10 menit) Supernatan Endapan pellet sel limfosit Dijentik-jentikkan 5 ml RPMI standar steril Sentrifus (2500 rpm; 10 menit) Supernatan Endapan pellet sel limfosit Dijentik-jentikkan 3 ml RPMI standar steril Dihomogenkan Suspensi sel limfosit tikus

Gambar 2 Diagram alir prosedur pembuatan suspensi sel limfosit tikus.

50 l suspensi sel limfosit tikus

150 l larutan trifan blue

Microplate 96 well Dipipet ke hemasitometer Perhitungan sel limfosit menggunakam mikroskop

Jumlah sel limfosit/ml Gambar 3 Diagram alir prosedur perhitungan jumlah sel limfosit tikus.

3. DATA HASIL PERCOBAAN Berikut data hasil perhitungan sel limfosit tikus yang diberi perlakuan ransum non protein, ransum protein tepung tempe, ransum standar kasein, dan ransum standar dengan tambahan minuman antioksidan ekstrak kayu secang, beserta contoh perhitungannya. Tabel 1. Jumlah sel limfosit tikus yang diberi perlakuan ransum non protein
Tikus ke1 2 3 4 5 6 W Organ (gr) Limpa Hati Ginjal Jumlah sel limfosit Kuadran 1 119 48 588 18 Kuadran 2 98 51 617 26 Ratarata 108,5 49,5 602,5 22 Jumlah sel limfosit/ml 4,34 x 106 1,98 x 106 2,41 x 107 8,80 x 105 7,83 x 106

0,1505 2,8568 0,7212 0,1206 2,3398 0,6453 0,1090 2,9895 0,7025 0,1143 2,7269 0,6136 0,1298 2,7894 0,6078 0,1473 2,7460 0,6911 Rata-rata sel limfosit

Tabel 2. Jumlah sel limfosit tikus percobaan yang diberi perlakuan ransum protein tepung tempe
Tikus ke1 2 3 4 5 6 W Organ (gr) Limpa 0,2061 0,1571 0,1762 0,1714 0,1545 0,2180 Hati 2,9224 3,2397 3,5576 3,0359 3,2047 3,8039 Ginjal 0,7218 0,6020 0,7361 0,8142 0,7380 0,8277 Jumlah sel limfosit Kuadran 1 164 208 368 175 Kuadran 2 123 206 212 184 Ratarata 143,5 207 290 179,5 Jumlah sel limfosit/ml

5,74 x 106 8,28 x 106 1,16 x 107 7,18 x 106 8,20 x 106

Rata-rata sel limfosit

Tabel 3. Jumlah sel limfosit tikus perlakuan ransum standar dan minuman ekstrak secang
Tikus ke1 2 3 4 5 6 W Organ (gr) Limpa Hati Ginjal Jumlah sel limfosit Kuadran Kuadran Rata1 2 rata 108 59 29 88 50 20 98 54,5 24,5 Jumlah sel limfosit/ml 3,92 x 106 2,18 x 106 9,80 x 105

0,2192 4,0100 1,0200 0,2200 3,9607 0,9249 0,2305 3,6111 0,8770 0,2502 4,1549 0,9123 4,0619 1,0354 4,0061 0,8749 Rata-rata sel limfosit

2,36 x 106

Tabel 4. Jumlah sel limfosit tikus yang diberi perlakuan ransum standar (kasein)
Tikus ke1 2 3 4 5 6 W Organ (gr) Limpa Hati Ginjal Jumlah sel limfosit Kuadran Kuadran Rata1 2 rata 1058 2156 1787,5 Jumlah sel limfosit/ml

0,1912 4,0898 1,0200 0,2259 3,4906 0,9249 0,1949 4,1597 0,8770 0,2502 3,7735 0,9123 0,1994 3,8039 1,0354 0,2205 3,4338 0,8749 Rata-rata sel limfosit

4,23 x 107 8,62 x 107 7,15 x 107

6,67 x 107

Contoh Perhitungan: Tikus ke-2 perlakuan ransum protein tepung tempe FP = Jumlah sel limfosit =4 = rata-rata sel limfosit x FP x 104 = 143,5x 4 x 104 = 5.740.000/ml = 5,74 x 106/ml

4. PEMBAHASAN Limfosit adalah bagian dari sel darah putih (leucocytes) yang tidak memiliki granula dalam sitoplasma dan meruransum sel kunci dalam proses imun spesifik (meliputi respon imun seluler dan humoral) untuk mengenali antigen melalui reseptor antigen (Kuby 2007). Limfosit terdapat dalam darah serta organ limfoid misalnya limfa, kelenjar limfa, dan timus. Limfosit mempunyai reseptor antigen yang beragam, tetapi setiap limfosit hanya dapat mengenal satu antigen sehingga dalam proses imun, limfosit saling bekerja sama untuk mengeliminasi berbagai antigen yang masuk kedalam tubuh. Berdasarkan fungsinya terdapat tiga kelompok sel limfosit yaitu limfosit sel B, sel T dan sel NK (Roitt 2001). Sel B dan T memiliki reseptor pada permukaan yang mampu mengenali antigen tertentu, termasuk dalam sistem pertahanan spesifik sedangkan sel NK tidak mempunyai reseptor untuk mengenali antigen termasuk sistem pertahanan non spesifik (Kuby 2007). Pengamatan terhadap jumlah sel limfosit yang diisolasi dari organ limfa pada percobaan ini dilakukan terhadap tikus putih. Tikus percobaan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan berumur sekitar enam minggu, memiliki berat badan 49-62 gram, berjumlah 24 ekor tikus. Tikus putih dikandangkan pada jenis kandang biasa secara individual. Kadang terbuat dari bahan plastik. Kondisi gelap terang kandang secara alami atau tidak ada pengaturan lampu 12 jam gelap dan 12 jam terang serta tidak ada pengaturan suhu. Namun, menurut Puspaningrum (2003), suhu optimum ruangan untuk tikus percobaan berkisar 22 oC - 24 oC. Tikus putih mengalami masa adaptasi selama tiga hari. Masa adaptasi bertujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru atau lingkungan laboratorium, mengamati apakah tikus terus digunakan atau tidak dalam percobaan misalnya tidak sakit dan berperilaku normal dan menyeragamkan kondisi tikus sebelum diberi perlakuan (Puspaningrum, 2003). Selama masa adaptasi semua tikus diperlakukan sama, diberi makan ransum standar dan air. Penggunaan ransum standar ini disebabkan sumber protein yang dianjurkan sebesar 20%. Protein ini sangat penting untuk

pertumbuhan, mengganti sel-sel yang rusak, penting bagi ketersediaan hormon, enzim, protein darah, protein yang terlibat dalam replikasi, transkripsi dan perbaikan DNA serta sistem pertahanan tubuh (imunitas). Ransum yang diberikan pada tikus dalam bentuk bubuk, berjumlah 12 gram/ekor/hari. Pemberian ransum dalam jumlah 20 gram/ekor/hari sudah mencukupi kebutuhan konsumsi ransum tikus perhari untuk berat badan diatas 250 gram dan untuk menentukan jumlah ransum riil yang dikonsumsi setiap harinya (Puspaningrum, 2003). Ransum dan minum yang diberikan pada tikus setiap hari pada waktu yang sama yaitu pukul 10.00 WIB. Hal ini bertujuan untuk mengurangi variabilitas tikus. Ransum sisa ditimbang setiap hari untuk mengetahui konsumsi riil setiap hari. Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap dua hari yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan kesehatan tikus percobaan. Pembersihan kandang dilakukan setiap kondisi kandang kelihatan basah. Pada akhir masa adaptasi tikus putih dikelompokan ke dalam empat kelompok tikus sebagai perlakuan terdiri dari: (1) kelompok standar (STD) yaitu diberi ransum dengan sumber protein tepung kasein; (2) kelompok perlakuan protein (SOY) yaitu diberi ransum dengan sumber protein tepung tempe; (3) kelompok non protein (NON) yaitu tidak diberi ransum dengan sumber protein; dan (4) kelompok perlakuan antioksidan (SPL) yaitu diberi ransum dengan sumber protein tepung kasein dan minuman ekstrak kayu secang. Masing-masing kelompok tikus terdiri dari enam ekor sehingga jumlah tikus yang digunakan dalam percobaan ini sebanyak 24 ekor. Pemberian ransum sesuai kelompok tikus ini dilakukan selama 13 hari. Setelah 13 hari, keempat golongan tikus ini kemudian didisikasi untuk diketahui bobot organ hati, limfa, dan ginjalnya, serta mengisolasi sel limfosit dari organ limfa sekaligus menghitung jumlahnya. Penentuan proliferasi limfosit pada organ limfa ini disebabkan organ limfa meruransum organ limfoid sekunder. Organ limfoid sekunder ini memiliki fungsi menangkap dan mempresentasikan antigen dengan efektif, sel B dan sel T sudah dalam keadaan matang sehingga sudah siap untuk berproliferasi dan berdiferensiasi dan meruransum tempat utama produksi antibodi. Organ limfa juga meruransum tempat untuk saringan darah atau

mikroba darah dibersihkan dalam limfa dan tempat respon imun utama terhadap antigen asal darah. Isolasi sel limfosit dilakukan dengan melisis sel eritrosit dan pencucian dengan medium RPMI sehingga didapatkan suspensi sel limfosit. Perhitungan sel limfosit limfa menggunakan metode biru trifan, hemasitometer dan mikroskop 400 kali. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan jumlah sel yang hidup atau mati. Sel yang hidup tidak akan mengalami kerusakan membran sel sehingga biru trifan yang diberikan tidak dapat masuk ke dalam sel. Sel yang hidup akan tampak berbentuk bulat utuh dan bening. Pada sel yang mati terjadi sebaliknya, membran sel rusak, biru trifan dapat masuk kedalam sel sehingga sel mengkerut dan berwarna kebiruan (seperti warna biru trifan). Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, tikus putih dengan ransum standar dan minuman air putih memiliki jumlah sel limfosit terbanyak yaitu 6,67 x 107 sel /ml, kemudian diikuti oleh tikus putih dengan ransum tepung tempe dan minuman air putih sebanyak 8,20 x 10 6 sel/ml, tikus putih dengan ransum nonprotein dan minuman air putih sebanyak 7,83 x 106 sel/ml, dan tikus putih dengan ransum standar dan minuman ekstrak kayu secang sebanyak 2,36 x 106 sel/ml. Ransum standar menggunakan kasein sebagai sumber proteinnya. Tikus putih dengan ransum standar memiliki jumlah limfosit terbanyak karena kasein merupakan salah satu immunomodulator, dimana tripeptida dari kappa-kasein terbukti mampu meningkatkan proliferasi dari sel limfosit manusia secara in vivo dan C-terminal dari beta-kasein yang mengandung beta-casokinin-10 juga membuktikan hal yang sama pada tikus (Sofia et.al 2007). Sel limfosit terbentuk dari protein yang diserap oleh tubuh sehingga bioavabilitas protein di dalam pangan mampu mempengaruhi proliferasi sel limfosit. Ransum standar (kasein) memiliki bioavabilitas terbesar dibandingkan dengan jenis ransum lainnya. Ransum nonprotein tidak memiliki sumber protein yang mampu digunakan untuk proliferasi sel limfosit. Ransum tepung tempe memiliki sejumlah protein, tetapi bioavabilitasnya lebih rendah apabila dibandingkan dengan ransum standar kasein. Hal ini yang mengakibatkan jumlah sel limfosit pada ransum protein dan ransum nonprotein lebih rendah.

Proliferasi sel limfosit juga dapat ditingkatkan dengan penambahan senyawa antioksidan (Holinesti 2009). Antioksidan mampu melindungi membran sel limfosit agar tidak mudah rusak oleh radikal bebas atau serangan bakteri (Batubara et.al 2009). Antioksidan yang diberikan terhadap tikus putih pada percobaan ini adalah minuman ekstrak kayu secang. Ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L.) mengandung lima senyawa aktif yang terkait dengan flavonoid baik sebagai antioksidan primer maupun antioksidan sekunder (Safitri 2002). Antikosidan brazilein dari kayu secang terdapat sekitar 70,1 113 mg/l ekstrak kayu secang (Holinesti 2009). Tingginya bioavalabilitas kasein sebagai ransum standar serta aktivitas antioksidan ekstrak kayu secang seharusnya menyebabkan tikus kelompok SPL mengalami peningkatan jumlah sel limfosit yang paling signifikan dibandingkan dengan ketiga ransum lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan tikus kelompok SPL memiliki jumlah sel limfosit terndah sehingga masih belum mewakili keadaan sebenarnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penggunaan pewarna trifan biru pada saat pengamatan sel yang bersifat toksik telah membunuh sel limfosit yang masih hidup. Proliferasi sel limfosit juga dapat diamati dari bobot limfa (Puspaningrum 2003). Berdasarkan data yang didapat, diperoleh tikus dengan ransum standar baik dengan minuman secang maupun minuman air putih memiliki berat yang hampir sama yaitu (0,1912-0,2502) gram, berikutnya diikuti oleh tikus dengan ransum tepung tempe sebesar (0,1545-0,2180) gram, dan tikus ransum nonprotein (0,1090-0,1505) gram. Data pengamatan bobot limfa ini dapat membuktikan bahwa hasil perhitungan sel limfosit di atas belum mewakili keadaan yang sebenarnya. Hasil pengamatan terhadap bobot organ hati dan ginjal serupa dengan organ limfa. Hal ini disebabkan oleh kandungan gizi yang berbeda dari ransum yang diberikan. Ransum dengan kandungan gizi terendah adalah ransum nonprotein, sedangkan ransum tepung tempe dan kasein mengandung protein, namun protein tepung tempe memiliki bioavalabilitas yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan bioavailabilitas protein kasein.

5. KESIMPULAN Ransum standar (kasein) memiliki bioavabilitas terbesar dibandingkan dengan jenis ransum lainnya. Ransum nonprotein tidak memiliki sumber protein yang mampu digunakan untuk proliferasi sel limfosit. Ransum tepung tempe memiliki sejumlah protein, tetapi bioavabilitasnya lebih rendah apabila dibandingkan dengan ransum standar kasein. Hal ini yang mengakibatkan jumlah sel limfosit tikus yang diberikan ransum protein tepung tempe dan ransum nonprotein lebih rendah. 6. DAFTAR PUSTAKA Batubara I. et.al. 2009. Screening anti-acne potency of Indonesian medical plants: anti-bacterial, lipaseinhibition and antioxidant capacity. J. Wood Sci. 55: 230-235. Baratawijaya KG. 2006. Imonologi Dasar. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Celik I, Tulece Y, Ozok N. 2002. Effects of Indoleacetic Acid and Kinetin on Lipid Peroxidation Levels in Various Rat Tissues. Turky J. Biol 26:193196. Darma A.P., Pratama, R.H., Sukamdi, D.P., (2008). Mengungkap Potensi Tersembunyi Kedelai Sebagai Agen Kemopreventif yang Potensial. Yogyakarta: UGM. Ganong WF. 1990. Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran. Jakarta : EGC. Holinesti R. 2009. Studi pemanfaatan pigmen brazilein kayu secang sebagai pewarna alami sertastabilitasnya pada model pangan. J. Pend. dan Keluarga UNP 1(2): 11-22. Khasanah N. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jintan Hitam (Nigella Sativa) Terhadap ResponProliferasi Limfosit Limpa Mencit Balb/C Yang Diinfeksi Salmonella Typhimurium. LaporanAkhir Penelitian Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Krineky, I. 1992. Mechanism of Action of Biologi Antioxidants. The Society for Experimental Biologyan Medicine.Boston, Massachussets.

Kuby J. 1992. Immunology. WH Freeman and Company. New York. Meydani, S.N., Wu D, Santos, M.S., Hoyek, M.G. 1995. Antioxidant and immune response in agedperson overview of present avidience. Am .J. Clin. Nutr. 62, 1462 S- 1476 S. Miller, A. L. 2002. Antioxidant Flavonoid Structure Function and Clinical Usage. Puspaningrum R. 2003. Pengaruh Ekstrak Kayu Secang Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Limpa Tikusdan Sel Kanker K-562 Secara In Vitro. [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut PertanianBogor, Bogor. Roitt, I. 1991. Essential Immunology. London: Blockwell Scientific Publication. Safitri, R. 2002. Karakterisasi Sifat Antioksidan In Vitro Beberapa Senyawa Yang Terkandung DalamTumbuhan Secang (Caesalpinia sappan L.). Disertasi. Program Pasca Sarjana UniversitasPadjadjaran. Bandung. Shahidi, F. 1996. Natural Antioxidants. Chemistry, Health Effects, and Applicatins. AOCS Press.Champaign. Illionis. Sofia V et.al. 2007. Caseins as Source of Bioactive Peptides. Universadide Catolica de Portuguesa, Porto.

Anda mungkin juga menyukai