Anda di halaman 1dari 34

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala.Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron. Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi.Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup.Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi (2004 Epilepsy.com). B. Identifikasi Masalah Dalam makalah ini penulis akan membahas masalah Epilepsi. Dimana penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak. C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk memberikan sumber ilmu pengetahuan bagi pembaca dan masyarakat umum lainnya.
1

2.

Tujuan Khusus Untuk mengetahui konsep dasar penyakit epilepsi , serta asuhan keperawatan dari epilepsi itu sendiri.

D. Metode Penelitian Dalam pembuatan makalah ini penulis melakukan beberapa studi literatur dan selain itu dengan melakukan searching di internet. E. Sistematika Penulisan Makalah ini terdiri dari empat BAB. BAB I, BAB II, BAB III, dan BAB IV. Dimana BAB I merupakan PENDAHULUAN yang meliputi latar belakang, identifikasi masalah, tujuan baik umum maupun khusus, metode penelitian dan sistematika penulisan. Kemudian BAB II merupakan TINJAUAN TEORI yang dimulai dari Anatomi Fisiologi, Definisi, Epidemiologi, Etiologi, Patofisiologi,

Klasifikasi, Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Diagnostik, Pencegahan, Pengobatan, Penatalaksanaan, Status Epileptikus, Penatalaksanaan Gawat Darurat, dan Prognosis. Berikutnya adalah BAB III yang merupakan Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Gangguan Neurologi dan Sensori Epilepsi. Dan yang terakhir adalah BAB IV yaitu PENUTUP yang berisi Kesimpulan dan Saran.

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Anatomi dan Fisiologi 1. Otak Otak terdapat di dalam rongga tengkorak. Pada perkembangan awal, otak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu otak depan, otak tengah dan otak belakang. Otak depan merupakan bagian terbesar dan disebut serebrum, yang dibagi dalam dua hemisfer, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, oleh fisura longitudinal. Lapisan luar serebrum disebut korteks serebri dan tersusun atas badan abu-abu (badan sel) yang berlipat-lipat yang disebut giri, yang dipisahkan oleh fisura yang disebut sulci. Otakk tengah terletak di antara otak depan dan otak belakang. Panjangnya kira-kira 2 cm dan terdiri atas dua buah pita seperti tangkai dari bahan putih, yang disebut pedunkulus serebeli, yang membawa impuls melewati dan berasal dari otak dan medula spinalis dan empat tonjolan kecil, yang disebut badan kuadrigeminal, yang berperan dalam refleks penglihatan dan pendengaran. Badan pineal terletak di antara dua badan kuadrigeminal bagian atas. Otak belakang terdiri atas tiga bagian : a. Pons, terletak diantara otak tengah bagian atas dan medula oblongata bagian bawah. Pons mengandung serabut saraf yang membawa impuls ke atas dan ke bawah dan beberapa serabut yang menyatu dengan serebelum. b. Medula oblongata, terletak antara pons dibagian atas dan medula spinalis bagian bawah. Struktur ini berisi pusat jantung dan pernapasan dan juga diketahui sebagai pusat vital yang mengontrol jantung dan pernapasan. c. Serebelum, terletak di bagian bawah lobus oksipital serebrum. Serebrum dihubungkan dengan otak tengah, pons, dan medula oblongata oleh tiga serabut pita, yang disebut pedunkulus serebeli inferior medial dan superior. Serebelum bertanggung jawab terhadap
3

koordinasi

aktivitas

otot,

kontrol

tonus

otot,

dan

upaya

mempertahankan postur tubuh. Secara terus menerus, serebelum menerima impuls sensori tentang derajat keregangan otot, posisi sendi, daninformasi dari korteks serebri. Serebelum mengirim informasi ke thalamus dan korteks serebri. Otak tengah, pons dan medula memiliki beberapa fungsi yang sama dan secara keseluruhan sering disubut sebagai batang otak. Area ini juga mengandung nukleus yang berasal dari saraf kranial. 2. Medula Spinalis Medula spinalis berlanjut dengan medula oblongata diatas otak dan merrupakan sistem saraf pusat dibawah otak. Struktur ini berawal pada foramen magnum dan berakhir pada lumbal pertama tulang belakang, dengan panjang sekitar 45cm. Pada ujung bagian bawah, ia berangsur angsur menghilang kedalam suatu bentuk kerucut, yang dinamakan konus medularis dari ujung, tempat filum terminal turun ke kogsigis yang dikelilingi oleh akar saraf, disebut kauda aquina. Medula spinalis memiliki saraf-sarf yang berpasangan. Ketabalannya bervariasi, membengkak pada daerah serviks dan lumbal, dimana kauda memprsarafi daerah tungkai. Medula spinalis bercalah padaa bagian depan dan belakang dan hampir secara utuh terbagi dalam dua sisi seperti serebrum. Medula spinalis terdiri dari masa abu-abu dibagian tengah. Masa putih mengandung serabut yang terletak hanya diantara medula dan otak, tetapi tidak dijaringan tubuh. Medula spinalis mengandung serabut sensorik dan motorik. Serabut motorik : berjalan kebawah dan pusat motorik serebelum dan cerebelum ke sel-sel motorik. Serabut sensorik : berjalan keatas dari sel-sel sensorik ke pussat sensorik di otak. Massa abu-abu, pada irisan melintang, memiliki pola seperti huruf H, dengan dua tonjolan kedepan pada setiap sisi, yang disebut krnu
4

posterior. Saraf kranial merupakan 12 saraf yang muncul pada inti dibatang otak. Beberapa bersifat motorik, beberapa bersifat sensorik, dan beberapa bersifat keduanya. Saraf spinalis ada 31 pasang saraf yang muncul di medula spinalis. Tiap saraf memiliki komponen motorik dan sensorik masingmasing dibagian anterior dan posterior medula, dan dua serabut saraf tersebut berjalan bersama-sama meninggalkan meduula. Siatem saraf otonom, mengendalikan organ-organ internal, bekerja dibawah

kesadaran, tetapi dipengaruhi oleh emosi. Sarf kranial, saraf spinalis, dan sistem saraf otonom yang disebutkan tadi membentuk siatem saraf perifer. 3. Meninges Meninges ialah membran protektif yang melapisi sistem saraf pusat. Ada tiga lapisan meninges, yaitu : a. Lapisan luar, yang disebut durameter, merupakan membran fibrosa kuat yang mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar yang melapisi permukaan dalam tengkorak dan membentuk periosteum. Pada foramen magnum, lapisan ini berlanjut sebagai periosteum pas permukaan luar tengkorak. Lapisan dalam dura menonjol kedalam di titik-titik tertentu untuk membentuk suatu lapisan ganda yang memisahkan bagian-bagian otak dan membantu mempertahankan bagian-bagian tersebut ditempat. b. Lapisan tengah, Araknoid-mater adalah membran halus langsung dibawah dura dan masuk diantara bagian-bagian otak. c. Lapisan dalam, Piameter adalh membran vaskular dan berhubunagn dangan permukaan luar otak dan medula spinalis B. Definisi Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007)
5

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejalagejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang

disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000) Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008) C. Epidemiologi Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001)

memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang. D. Etiologi Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut : a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera. b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan. c. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

d.

Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.

e. f. g.

Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

h.

Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak

1.

Epilepsi Primer (Idiopatik) Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada: a. b. c. d. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,

hiponatremia) e. f. Tumor Otak Kelainan pembuluh darah(Tarwoto, 2007)

2.

Epilepsi Sekunder (Simtomatik) Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk
7

cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma. E. Patofisiologi 1. Patofisiologi Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut : a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan. c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA). d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi ini kelainan depolarisasi neuron. Gangguan berlebihan

keseimbangan

menyebabkan

peningkatan

neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
8

energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin. 2. Pathway
Tidak seimbang ion

kejang Tidak seimbang asam basa atau elektrolit

Neurotransmiter

hipopolarisasi

Asetilkolin

Depolarisasi

F. Klasifikasi 1. Sawan Parsial adalah sawan sawan yang berada dalam satu daerah cerebral cortex. Ada tipe-tipe umum pada sawan parsial:

a.

Sawan parsial sederhana Anak dalam keadaan bangun dan terjaga. Gejala bervariasi tergantung pada bagian apa dari otak yang terlibat. Gejala tersebut termasuk gerakan menyentak pada salah satu bagian tubuh.Gejala emosional seperti ketakutan yang tidak jelas, muak atau mencium bau yang tidak ada.

b.

Sawan parsial kompleks Dalam tipe ini anak kehilangan kesadaran akan sekeliling dan tidak responsif ataupun hanya setengah responsif. Ada pandangan kosong, gerakan mengunyah, menelan berkali-kali, atau aktifitas tidak beraturan lainnya. Mengikuti sawan anak tidak mengingat akan apa yang telah terjadi. Anak menjadi bingung atau mengucapkan katakatanya secara ragu-ragu, berkeliling, mengmbil pakaiannya atau mengulangi kata-kata atau frase yang tidak tepat.Gejala ini mirip dengan sawan absence, tetapi diikuti dengan aktifitas yang tidak beraturan.

2.

Sawan Umum melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi, terjadi kekakuan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik), disertai dengan penurunan kesadaran. Sawan umum terdiri dari : a. b. c. d. e. f. g. Sawan lena Sawan tonik-klonik Sawan tonik Sawan klonik Sawan mioklonik Sawan atonik Sawan tak tergolongkan

10

G. Manifestasi Klinis 1. Sawan Parsial (lokal, fokal) a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal, dengan gejala motorik: Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson. Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh. Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo. Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuktusuk jarum. Visual : terlihat cahaya Auditoris : terdengar sesuatu Olfaktoris : terhidu sesuatu Gustatoris : terkecap sesuatu Disertai vertigo

Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil). Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat. Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya.
11

Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi. Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah. Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut. Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar. Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll. b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran) Serangan parsial kompleks diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
-

Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.

Hanya dengan penurunan kesadaran Dengan automatisme: 1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik) 2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum. 3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum. 4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
12

2.

Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif) a. Sawan lena (absence) Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama menit dan biasanya dijumpai pada anak. Hanya penurunan kesadaran Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral. Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai. Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang. Dengan automatisme Dengan komponen autonom. Lena tak khas (atipical absence)

Dapat disertai: b. Gangguan tonus yang lebih jelas. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

Sawan Mioklonik Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

13

c.

Sawan Klonik Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

d.

Sawan Tonik Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.

e.

Sawan Tonik-Klonik Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

f.

Sawan atonik Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.

14

g.

Sawan Tak Tergolongkan Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

H. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pungsi Lumbar Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi. a. b. c. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher) Mengalami complex partial seizure Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya) d. e. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat) Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal. f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun Pada anak dengan usia >18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan. 2. EEG (electroencephalogram) EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan
15

bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi. 3. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin. 4. Neuroimaging Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya. a. CT Scan, untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral b. c. Magnetik resonance imaging (MRI) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah. 5. Pemeriksaan fisik Inspeksi : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada gusi, purpura, memar, pembengkakan. Palpasi : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen. Perkusi Auskultasi : perkusi pada bagian thorak dan abdomen. : bunyi jantung, suara napas, bising usus.

16

6.

Pemeriksaan psikologis dan psikiatris Tidak jarang anak yang menderita epilepsi mempunyai tingkat kecerdasan yang rendah (retardasi mental), gangguan tingkah laku (bihaviour disorders), gangguan emosi, hiperaktif.Hal ini harus mendapat perhatian yang wajar, agar anak dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Hubungan antara penderita dengan orang tuanya juga perlu mendapat perhatian, yaitu apakah tyerdapat proteksi berlebihan, rejeksi atau overanxiety. Bila perlu dapat diminta bantuan dari psikolog atau psikiater.

I.

Pencegahan Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi.Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan.Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini. Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan : 1. Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya selama serangan mendadak,
17

menyisipkan

benda

di

mulutnya

kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak. 2. Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga. 3. Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut jika si anak tak bernapas. J. Pengobatan Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th.Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali. Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.Keterbelakangan mental di kemudian hari.Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.

18

K. Penatalaksanaan 1. Pembedahan Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler 2. Farmakoterapi Anti konvulsion untuk mengontrol kejang. Jenis obat yang sering digunakan : Obat 1 2 Fenobarbital Dilatin (difenilhidantoin) Bentuk Kejang Semua bentuk kejang Dosis mg/kgbb/hari 3-8

Semua bentuk kejang kecuali 5-10 bangkitan petit mal, mioklonik atau akinetik.

Mysoline (primidon)

Semua bentuk kejang kecuali petit 12-25 mal

4 5 6 7 8 9

Zarotin (etosuksinit) Diazepam Diamox (asetasolamid) Prednison Dexametasone Adrenokortikotropin

Petit mal Semua bentuk kejang Semua bentuk kejang Spasme infantil Spasme infantil Spasme infantil

20-60 0,2-0,5 10-90 2-3 0,2-0,3 2-4

a.

Phenobarbital (luminal). Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

b.

Primidone (mysolin) Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan

phenyletylmalonamid. c. Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin). Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH.Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus
19

temporalis. Tak berhasiat terhadap petit mal. Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah. d. Carbamazine (tegretol). Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan

pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik. Sifat ini

menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku. Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati. e. Diazepam. Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.). Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal. f. Nitrazepam (Inogadon). Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus. g. Ethosuximide (zarontine). Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal h. Na-valproat (dopakene) Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak. Efek samping mual, muntah, anorexia i. Acetazolamide (diamox). Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH

20

otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi. j. ACTH Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil. L. Status Epileptikus Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit atau serangkaian serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali. Terapi awal diarahkan untuk menunjang dan mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan jalan napas yang adekuat, pemberian oksigen, dan terapi hidrasi, serta dilanjutkan dengan pemberian diazepam (Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per rektum merupakan preparat yang sederhana, efektif, dan aman, untuk penatalaksanaan epilepsi sebelum masuk rumah sakit. Lorazepam (Ativan) dapat menggantikan diazepam IV sebagai obat pilihan. Preparat ini memiliki masa kerja yang lebih panjang dan lebih sedikit menyebabkan gawat napas pada anak-anak di atas usia 2 tahun. Merupakan keadaan kedaruratan medis yang memerlukan intervensi segera untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal napas, dan kematian. M. Penatalaksanaan gawat darurat Selama kejang/waktu episode kejang : 1. 2. 3. Lakukan pendekatan dengan tenang Jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak Letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak tersedia kepala anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri. 4. Jangan : a. b. Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan Memasukkan apapun ke dalam mulut anak
21

c. 5. 6. 7. 8. 9.

Memberikan makanan atau minuman

Longgarkan pakaian yang ketat Lepaskan kacamata Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu sisi

Setelah kejang : 1. 2. 3. Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang) Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah. Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat. 4. Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan 5. 6. 7. Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan refleks menelan pulih 8. 9. Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi)

N. Prognosis Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami kejang bergantung pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat keluarga serta riwayat penyakit. Pasien epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi. Meskipun minum obat dengan teratur.Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan
22

tonik klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah relaps sesudah remisi. Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain usia 16 tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi, mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG menunjukkan kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan kejang menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang. Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada dilaporkan sebelumnya.Mayoritas anak kemungkinan tidak

mengalami gangguan intelektual.Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah memiliki riwayat

keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas neurologik, atau menderita penyakit serius yang berulang.

23

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN EPILEPSI PADA ANAK

A. Pengkajian 1. Identitas Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. 2. Riwayat penyakit sekarang Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul. 3. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan. 4. Riwayat kehamilan dan kelahiran. Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah 5. Riwayat penyakit keluarga Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.

24

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya. 1. Selama serangan : a. b. c. d. Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan. Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena. Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai. Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik. e. f. g. h. i. j. Apakah pasien menggigit lidah. Apakah mulut berbuih. Apakah ada inkontinen urin. Apakah bibir atau muka berubah warna. Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi. Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya. 2. Sesudah serangan a. Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara b. c. Apakah ada perubahan dalam gerakan. Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan. d. Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung. e. 3. Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.

Riwayat sebelum serangan a. b. Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi. Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar. c. Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual.
25

4.

Riwayat Penyakit a. b. c. d. Sejak kapan serangan terjadi. Pada usia berapa serangan pertama. Frekuensi serangan. Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional. e. Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang. f. g. h. Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak Apakah makan obat-obat tertentu Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Pemeriksaan fisik 1. Aktivitas / istirahat Gejala : Keletihan, kelemahan umum. Keterbatasan dalam aktivitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat . Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot. 2. Sirkulasi Gejala : Iktal : Hypertensi, peningkatan nadi, sianosis. Postiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan. 3. Integritas ego Gejala : Stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan / atau penanganan. Peka rangsang; perasaan tidak ada harapan / tidak berdaya. Perubahan dalam berhubungan. Tanda : Pelebaran rentang respons emosional. 4. Eliminasi Gejala : Inkontinensia episodik. Tanda : Iktal : peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.

26

Postiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik urine / fekal). 5. Makanan / cairan Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang. Tanda : Kerusakan jaringan lunak / gigi (cedera selama kejang). Hyperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka panjang). 6. Neurosensori Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi serebral. Adanya aura (rangsangan visual, auditorius, area halusinogenik). Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area parestese / paralisis. Tanda : Karakteristik kejang : kejang umum, kejang parsial (kompleks), kejang parsial (sederhana). 7. Nyeri / kenyamanan Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode postiktal. Nyeri abnormal paroksismal selama fase iktal. Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati-hati. Perubahan tonus otot. Tingkah laku gelisah / distraksi. 8. Pernafasan Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat; peningkatan sekresi mukus. Fase postiktal : apnea. 9. Keamanan Gejala : Riwayat terjatuh / trauma, fraktur, adanya alergi. Tanda : Trauma pada jaringan lunak / ekimosis. Penurunan kekuatan / tonus otot secara menyeluruh. 10. Interaksi sosial Gejala : Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau lingkungan sosialnya. Pembatasan / penghindaran terhadap kontak sosial.

27

11. Penyuluhan / pembelajaran Gejala : Adanya riwayat epilepsi pada keluarga. Penggunaan / ketergantungan obat (termasuk alkohol) B. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan: klien secara non verbal, menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami, menangis, wajah meringis. 2. Risiko tinggi terhadap trauma / penghentian pernafasan berhubungan dengan perubahan kesadaran; kelemahan; kehilangan koordinasi otot besar atau kecil. 3. Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler; obstruksi trakeobronkial. 4. Gangguan harga diri / identitas diri berhubungan dengan persepsi tidak terkontrol, stigma berkenaan dengan kondisi ditandai dengan takut penolakan, perubahan persepsi tentang diri, kurang mengikuti / tidak berpartisipasi pada terapi. 5. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, salah interpretasi informasi, kurang mengingat, ditandai dengan : kurang mengikuti aturan obat, pertanyaan, kurang kontrol aktivitas kejang. 6. Risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kerusakan sel otak dan aktivitas kejang sekunder terhadap epilepsi. C. Intervensi 1. Dx 1 : nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan: klien secara non verbal, menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami, menangis, wajah meringis. Intervensi: a. Kaji PQRST dengan menggunakan media gambar
28

Rasional: pengkajian yang benar akan membantu dalam menentukan tindakan keperawatan selanjutnya b. Berikan posisi yang nyaman sesuai kebutuhan Rasional: posisi yang nyaman dapat memberikan relaksasai otot c. Berikan lingkungan yang nyaman bagi klien Rasional: rangsang yang berlebihan dari lingkungan dapat

memperberat rasa nyeri. d. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien Rasional: kehadiran keluarga dapat memberikan efek psikologis anak untuk mengurangi nyeri e. Kolaborasi untuk pemberian obat analgesik Rasional: obat analgesik dapat meminimalkan rasa nyeri. 2. Dx 2 : risiko tinggi terhadap trauma / penghentian pernafasan

berhubungan dengan perubahan kesadaran, kelemahan kehilangan koordinasi otot besar atau kecil. Intervensi : a. Gali bersama-sama klien berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang. Rasional : alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain (seperti kurang tidur, lampu yang terlalu terang, menonton televisi terlalu lama) dapat meningkatkan aktivitas otak, yang selanjutnya meningkatkan resiko terjadinya kejang. b. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur rendah. Rasional : mengurangi trauma saat kejang (sering / umum) terjadi selama pasien berada di tempat tidur. c. Tinggallah bersama pasien dalam waktu beberapa lama selama / setelah kejang. Rasional : meningkatkan keamanan pasien.

29

d.

Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi / lamanya aktivitas motorik, hilang kesadaran, inkontinensia, dan lain-lain) dan berapa kali terjadi (frekuensi / kekambuhannya). Rasional : membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena.

3.

Dx 3 : risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler; obstruksi trakeobronkial. Intervensi : a. Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal. Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring. b. Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang. Rasional : meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas. c. Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen. Rasional : untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada. d. Masukkan spatel lidah / jalan nafas buatan atau gulungan benda lunak sesuai dengan indikasi. Rasional : jika memasukkannya di awal untuk membuka rahang, alat ini untuk mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan lendir atau memberi sokongan terhadap pernafasan jika diperlukan. e. Lakukan penghisapan sesuai indikasi. Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia. f. Kolaborasi dalam pemberian tambahan oksigen. Rasional : dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
30

4.

Dx 4 : gangguan harga diri / identitas diri berhubungan dengan persepsi tidak terkontrol, stigma berkenaan dengan kondisi ditandai dengan takut penolakan, perubahan persepsi tentang diri, kurang mengikuti / tidak berpartisipasi pada terapi. Intervensi : a. Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik, persepsi diri terhadap penanganan yang dilakukannya. Anjurkan untuk

mengungkapkan perasaannya. Rasional : reaksi yang ada bervariasi diantara individu dan pengetahuan / pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya akan mempengaruhi penerimaan terhadap aturan pengobatan. b. Identifikasi / antisipasi kemungkinan reaksi orang pada keadaan penyakitnya. Rasional : memberikan kesempatan untuk berespons pada proses pemecahan masalah dan memberikan tindakan kontrol terhadap situasi yang dihadapi. c. Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang telah diperoleh atau yang akan dicapai selanjutnya dan kekuatan yang dimilikinya. Rasional : memfokuskan pada asfek positif dapat membantu untuk menghilangkan perasaan dari kegagalan atau kesadaran terhadap diri sendiri dan membentuk pasien mulai menerima penanganan terhadap penyakitnya. d. Diskusikan rujukan kepada psikoterapi dengan pasien atau orang terdekat. Rasional : kejang mempunyai pengaruh yang besar pada harga diri seseorang dan pasien / orang terdekat dapat merasa berdosa atas keterbatasan penerimaaan terhadap dirinya dan stigma masyarakat. Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri. 5. Dx 5 : cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan
31

kurang pemajanan, salah interpretasi informasi, kurang menginat, ditandai dengan : kurang mengikuti aturan obat, pertanyaan, kurang kontrol aktivitas kejang. Intervensi : a. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit dan perlunya pengobatan / penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai prosedur. Rasional : memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat ditangani dalam cara hidup yang normal. b. Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat sesuai petunjuk, dan tidak menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis. Rasional : tidak adanya pemahaman terhadap obat-obatan yang didapat merupakan penyebab dari kejang yang terus menerus tanpa henti. c. Anjurkan pasien untuk memakai gelang / semacam petunjuk yang memberitahukan bahwa anda adalah penderita epilepsi. Rasional : mempercepat penanganan dan menentukan diagnosa dalam keadaan darurat. d. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet yang adekuat, istirahat yang cukup, latihan yang cukup dan hindari bahaya alkohol, kafein dan obat yang dapat menstimulasi kejang. Rasional : aktivitas yang sedang dan teratur dapat membantu menurunkan / mengendalikan faktor-faktor predisposisi yang meningkatkan perasaan sehat dan kemampuan koping yang baik dan juga meningkatkan harga diri. 6. Dx 6 : risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kerusakan sel otak dan aktivitas kejang sekunder terhadap epilepsi.

32

Intervensi: a. Ajarkan orang tua tentang tugas perkembangan yang sesuai dengan kelompok usia. Rasional : memberikan gambaran tentang pola perkembangan anak sesuai dengan perkembangan di kelompok usianya. b. Observasi dan berikan kesempatan pada anak untuk memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia. Rasional : mengetahui sejauh mana perkembangan anak yang dapat dicapai dan membandingkan dengan pola perkembangan sesuai kelompok usia perkembangan. D. Evaluasi 1. Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri yang dialami, klien tidak menangis lagi dan wajah klien tampak ceria. 2. RR dalam batas normal sesuai umur. Nadi dalam batas normal sesuai umur 3. Persepsi mulai terkontrol dan pasien dapat mengikuti / berpartisipasi pada terapi 4. Mengikuti aturan pengobatan dan bisa mengontrol aktivitas kejang. Serta menunjukkan wajah yang tidak tegang. 5. Pertumbuhan dan perkembangan tidak terganggu

33

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Epilepsi adalah suatu kondisi sistem saraf pusat dengan ciri adanya serangan kambuhan (sawan) yang secara temporer berakibat pada kesadaran, gerakan dan sensasi seseorang. Penyebab penyakit ini pada sebagian besar kasus tidak diketahui. Namun, ada beberapa faktor atau kondisi tertentu yang dapat dihubungkan dengan epilepsi antara lain: infeksi atau sakit yang diderita ibu yang berakibat pada perkembangan janin selama kehamilan, luka selama proses kelahiran, tumor otak, luka pada otak, toksin (racun) lingkungan seperti serbuk timah, infeksi seperti meningitis (radang pada selaput otak) atau encephalitis (radang otak), perkembangan otak yang tidak normal, sejumlah kondisi genetik, gangguan metabolisme yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan pada unsur-unsur dalam darah atau

ketidaknormalan irama jantung. Epilepsi secara genetis biasanya bukan merupakan penyakit turunan, meskipun kerentanan akan serangan penyakit ini terdapat dalam keluarga dan sawan bisa terjadi sebagai ciri dari sejumlah kondisi turunan. B. Saran Seorang perawat harus mengetahui konsep dasar penyakit dari epilepsi dan mampu meningkatkan pelayanan kesehatan terutama pada penyakit epilepsi. Selain itu perawat juga harus mampu berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya maupun keluarga pasien agar memudahkan proses perawatan dan mempercepat proses penyembuhan.

34

Anda mungkin juga menyukai