Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Pengertian HAM Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). 1.2 Sejarah lahirnya HAM Menurut penyelidikan ilmu pengetahuan, sejarah hak-hak asasi manusia itu barulah tumbuh dan berkembang pada waktu hak-hak asasi itu oleh manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan suatu masyarakat atau Negara (state). Pada hakikatnya persoalan mengenai hak-hak asasi itu berkisar pada hubungan antara manusia sebagai individu dan masyarkat. Sebab, manakala suatu Negara semakin kuat dan meluas, secara terpaksa ia akan mengintervensi lingkungan hak-hak pribadi yang mengakibatkan hak-hak pribadi itu semakin berkurang. Maka pada saat yang sama terjadilah persengketaan antara individu dan kekuasaan Negara. Pada saat itu pula perlindungan terhadap hak-hak individu yang bersifat asasi itu sangat dibutuhkan. Bila ditelusuri lebih jauh ke belakang sejarah lahirnya HAM, umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa cikal bakal HAM itu sebenarnya telah ada sejak lahirnya Magna Charta 1215 di Kerajaan Inggris. Di dalam Magna Charta itu disebutkan antara lain bahwa raja yang memiliki kekuasaan absolute dapat dibatasi kekuasaannya dan dimintai pertanggungjawabannya di muka hukum. Semangat Magna Charta inilah yang kemudian melahirkan undang-undang dalam Kerajaan Inggris tahun 1689 yang dikenal dengan undang-undang hak (Bill of Right). Peristiwa ini dianggap sebuah keberhasilan rakyat Inggris melawan kecongkakan Raja John, sehingga timbul sebuah adigium yang berintikan manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adigium ini memperkuat dorongan timbulnya Negara hukum dan demokrasi yang mengakui dan menjamin asas persamaan dan kebebasan sebagai warga Negara. Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 1945 ) dan periode setelah Kemerdekaan ( 1945 sekarang ). A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 1945 ) Boedi Oetomo, telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa.
1

Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri. Sarekat Islam, menekankan pada usaha usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial. Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu isu yang berkenan dengan alat produksi. Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan. Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan. Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara. B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 sekarang ) a) Periode 1945 1950 Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. b) Periode 1950 1959 Periode 1950 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami pasang dan menikmati bulan madu kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai partai politik dengan beragam ideologinya masing masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. c) Periode 1959 1966 Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden
2

melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. d) Periode 1966 1998 Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak hak Asasi Manusia dan Hak hak serta Kewajiban Warganegara. Pada sekitar awal tahun 1970-an sampai akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia. e) Periode 1998 sekarang Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia.

BAB II LATAR BELAKANG


2.1 Hak atas kebebasan pribadi Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta hak beragama merupakan hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun baik oleh Pemerintah atau pihak manapun yang dianggap mempunyai kekuasaan atas hal tersebut. Dalam makalah ini kita akan membahas tentang contoh masalah yang sering terjadi di kehidupan nyata saat ini dan bagaimana pola pikir kita terutama sebagai mahasiswa dalam menanggapi hal ini. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Bagian kelima pasal 20-27 berisi tentang hak atas kebebasan pribadi seperti yang tertulis di bawah ini : Pasal 20 1. Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba. 2. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang. Pasal 21 Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya. Pasal 22 1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 23 1. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. 2. Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronikdengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Pasal 24 1. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. 2. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembagaswadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannyapemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan,penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan. Pasal 25
4

Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 1. Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya. 2. Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan. Pasal 27 1. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. 2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Rumusan Masalah 1. Tersebarnya video porno yang melibatkan 3 artis, yaitu Luna Maya, Ariel dan Cut Tari di tengah-tengah masyarakat. Perilaku hubungan seksual di antara dua orang dewasa atas dasar persetujuan merupakan sesuatu yang sangat pribadi sifatnya seperti di kamar tidur, merupakan ranah privat yang tak dapat diintervensi oleh siapa pun, termasuk negara. Selama hubungan seksual atau pembuatan film seks untuk keperluan pribadi berada dalam ranah privat, hal itu tidak bisa dihukum karena tak mengganggu kesusilaan publik. Hak atas kebebasan pribadi ini dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 butir (g) bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Selain konstitusi, jaminan hak atas pribadi diperkuat oleh Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005. Dalam instrumen ini dikatakan bahwa setiap orang berhak perlindungan atas pribadi dan keluarga dari serangan terhadap kehormatan serta reputasi. Menurut KUHP Pidana Indonesia, perzinaan adalah hubungan seksual di antara dua orang dewasa yang kedua atau salah satunya telah kawin. Perzinaan adalah delik aduan, sehingga pidananya hanya bisa diproses berdasarkan aduan suami atau istri yang tercemar. Maka, bila yang bermain dalam video seks tersebut adalah lajang dan/atau tidak ada aduan dari pasangannya, mereka tidak dapat dipidana. Linda Amelia Sari, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menegaskan, penyebar video porno ini harus mendapat sanksi tegas dan harus ditindak, diproses secara hukum. Menurut Pasal 13 UU Pornografi, yang terkena pidana adalah pengunduh dan penyebar video seks tersebut. Sehingga tidak relevan untuk mencari tahu apakah benar orang dalam video tersebut adalah Ariel atau bukan. Mereka melakukannya di ruang pribadi untuk koleksi pribadi, sehingga tidak mengganggu kesusilaan publik. Yang perlu dicari tahu adalah pengunduh dan penyebarnya. 2. Perkawinan beda agama di Indonesia Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 Undang-Undang tentang HAM merupakan penjabaran dari Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Dalam ketentuan Pasal-Pasal di atas, hak beragama dan hak kebebasan pribadi merupakan hak yang tidak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Pemerintah atau pihak manapun tidak dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan hak asasi manusia dan kebebasan dasar tersebut.
6

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat (1) UndangUndang tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Pasal 16 DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) mengatur mengenai hak untuk menikah yang dituangkan pada 3 ayat : (1) laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian; (2) perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai; dan (3) keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara. Pembatasan yang diberikan negara Indonesia terhadap hak dan kebebasan dalam pernikahan dengan sangat bertentangan ketentuan yang sudah diatur dalam DUHAM yang telah diratifikasi serta dalam UUD Tahun 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia sendiri. Latar belakang pembentukan Undang-Undang tentang Perkawinan yang melibatkan berbagai unsur kepentingan, antara lain unsur Pemerintah dan unsur agama, menyebabkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya menjadi bersifat memihak terhadap golongan mayoritas. Indonesia yang merupakan negara dengan latar belakang masyarakat yang berbedabeda hendaknya menempatkan suatu peraturan sebgai payung hukum bagi seluruh lapisan masyarakat, baik bagi golongan mayoritas maupun bagi golongan minoritas. Sebagai negara yang multi-agama, Indonesia tidak akan pernah bisa memaksakan rakyatnya untuk selalu menikah dengan pasangan yang mempunyai agama atau keyakinan yang sama.

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Hak asasi manusia bukan merupakan ketentuan yang hanya tertulis dalam setiap peraturan saja. Indonesia sebagai negara anggota PBB juga seharusnya tidak hanya ikut berlomba untuk meratifikasi setiap konvensi internasional tentang HAM. HAM harus diwujudkan secara nyata, dimana prinsip-prinsip HAM tersebut harus dimasukkan ke dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia. Pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi dan menegakkan HAM yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa ada batasan dan diskriminasi. Pemerintah tidak mempunyai dibenarkan mengintervensi kebebasan beragama ke dalam hukum nasional yang salah satunya adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Perkawinan.

REFERENSI 1. Perkawinan beda agama di Indonesia dalam Hak Asasi Manusia Oleh : SERAFINA SHINTA DEWI (Perancang Peraturan Perundang-undangan Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY) 2. Koran Tempo online (Senin, 28 Juni 2010) 3. http://storastory.blogspot.com 4. Makalah HAM & Rule of Law Oleh : Danis Ryanto (MANAJEMEN INFORMATIKA, AMIK BINA SRIWIJAYA 2011) 5. http://www.docstoc.com/docs/48109004/Sejarah-HAM 6. UUD REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

Anda mungkin juga menyukai