Anda di halaman 1dari 5

Streptomycin dan pembagian kategori 1.

Streptomisin a) Bentuk sediaan obat Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang mengandung 1 atau 5 g zat. Kadar larutan tergantung dari cara pemberian yang direncanakan; dan cara penyuntikan tergantung dari jenis dan lokasi infeksi. Suntikan IM merupakan cara yang paling sering diberikan. Dosis total sehari berkisar 1-2 g (15-25 mg/kg BB); 500 mg - 1 g disuntikkan setiap 12 jam. Untuk infeksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 g dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Dosis untuk anak ialah 20-30 mg/kgBB sehari, dibagi untuk dua kali penyuntikkan. b) Farmakokinetik a. Absorbsi Streptomisin diserap di tempat-tempat suntikan, kemudian hampir seluruhnya berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang berada di eritrosit (Istiantoro,2009). b. Distribusi Streptomisin menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikat protein plasma

(Istiantoro,2009). c. Metabolisme Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan sangat memanjang pada gagal ginjal. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu (Istiantoro,2009). d. Ekskresi Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomerolus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian besar jumlah ini diekskresi dalam waktu 12 jam (Istiantoro,2009). c) Farmakodinamik

Dosis dewasa normal adalah 1g/hari (15 mg/kg/hari). Jika bersihan kreatinin kurang dari 30 mL/menit atau pasien menjalani hemodialisis, dosisnyua menjadi 15 mg/kg dua atau tiga kali seminggu. Kebanyakan basil tuberkel dihambat oleh strsptomisin dengan kadar sebesar 1-10 mcg/ml in vitro (Chambers, Henry F., 2011). Obat streptomisin in vitro bersifat bakteriosid dan bakteriostatik terhadap bakteri tuberculosis. Kadar serendah 0,4 mikro gram/ mL sudah dapat menghambat pertumbuhan kuman. Mikrobakterium atipik fotokromatogen, skotokromatogen, nokromatogen, dan spesies yang tumbuh cepat tidak peka terhadap streptomisin. Semua populasi besar basil tuberkel mengandung beberapa mutan yang resisten terhadap streptomisin. Rata-rata, 1 dalam 108 basil tuberkel diperkirakan menjadi resisten terhadap streptomisin pada kadar 10-100 mcg/mL. Resistensi terjadi akibat mutisi titik pada gen rpsL yang mengode rRNA ribosomal 16S, yang mengubah lokasi oengkatan ribosomal (Chambers, Henry F., 2011). Penetrasi strreptomisin kedalam sel buruk, dan obat ini aktif terutama pada basil tuberkel ekstrasel. Sterptomisin melintasi sawar darah otak dan mencapai kadar terapeutik bila meninges meradang (Chambers, Henry F., 2011). d) Indikasi Penderita TB berat yang mengancam nyawa, seperti meningitis dan penyakit diseminata, dan terapi infeksi yang resisten terhadap obat lain (Chambers, Henry F., 2011). e) Kontraindikasi Ibu hamil, pasien usia lanjut, orang dewasa yang memiliki ukuran tubuh kecil, dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Chambers, Henry F., 2011). f) Interaksi obat Interaksi dapat terjadi dengan obat penghambat neuromuscular berupa potensial penghambatan. Selain itu interaksi juga terjadi dengan obat lain yang juga bersifat ototoksik. Dan yang bersifat nefrotoksik (Chambers, Henry F., 2011).

g) Efek Samping obat Streptomisin bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Vertigo dan tuli merupakan efek samping yang paling sering terjadi dan dapat bersifat permanen. Toksisitasnya bergantung pada dosis, dan risikonya meningkat pada usia lanjut (Chambers, Henry F., 2011).

Pembagian kategori OAT Terdiri dari obat lini pertama dan obat lini kedua Obat lini pertama 1. Lini pertama : a. Rifampisin (R) b. INH (H) c. Pirazinamid (Z) d. Etambutol (E) e. Streptomisin (S) (Setiabudi, Riyanto dkk. 2007) 2. Lini kedua : a. suntikan ( kanamisin, kapreomisin, amikasin ) b. fuorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin) c. tionamid ( etionamid, protionamid ) d. sikloserin e. paraaminosalisilat (Setiabudi, Riyanto dkk. 2007) Panduan OAT yang digunakan di Indonesia WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) a) Kategori I: 1. 2HRZE/4H3R3 2. 2HRZE/4HR 3. 2HRZE/6HE Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus:

1. TB Paru BTA (+) kasus baru 2. TB Paru BTA (-), R (+) lesi luas / sakit berat 3. TB ekstra paru (Depkes RI, 2009) b) Kategori II: 1. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 2. 2HRZES/HRZE/5HRE (Depkes RI, 2009) Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus pasien BTA (+) yang telah diobati sebelumnya: 2. Pasien kambuh 3. Pasien gagal 4. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) (Depkes RI, 2009) c) Kategori III: 1. 2HRZ/4H3R3 2. 2HRZ/4HR 3. 2HRZ/6HE Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus: 1. Penderita baru BTA (-), Ro (+) sakit ringan 2. TB ekstra paru sakit ringan (KGB, pleuritis unilateral, kulit, tulang, sendi, kelenjar adrenal ) (DEPKES RI, 2009) d) Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia: 1. Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3. 2. Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3 Panduan OAT Sisipan : HRZE OAT Anak : 2HRZ/4HR

Dapus Chambers, Henry F. 2011. Obat Antimikobakterium dalam Farmakologi Dasar & Klinik. Jakarta: EGC. Istiantoro,Yati H.dan Rianto S. 2009. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis 9. Jakarta: DEPKES RI Setiabudi, Riyanto dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI; Hal. 613-620.

Anda mungkin juga menyukai