Anda di halaman 1dari 7

1.

PENGERTIAN
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh
bakteri Bordetella pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta,
whooping cough, batuk rejan, batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2000).
Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang
saluran nafas yang menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-
tubi, berakhir dengan inspirasi berbising. (Ramali, 2003).
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang
sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk
yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi.
(Rampengan, 1993)

2. PATOFISIOLOGI
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara
pernafasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan.
Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui
empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit
sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan
Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella
pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan
epitel saluran nafas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak
terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan
menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal
dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan
karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan
B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target
kemudian menghasilkan sub unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim
membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek
mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi
perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah
dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek
memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga
akan menurunkn konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia
jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada
permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga
mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia,
H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mucus akan
menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah
akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak
apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa
kurangnya efek antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang
Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak
menghasilkan toksin pertussis.
Cara penularan pertusis, melalui:
- Droplet infection
- Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
- Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui
percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.
- Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang
dicemari kuman-kuman penyakit tersebut.
Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita pertusis dapat
menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk
dimulai.

3. DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnose pertusis yaitu :
a. Pemeriksaan sputum
b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
c. ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum
terhadap “filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis
(TP). nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam
penentuan seropositif oleh karena menggambarkan respon imun
primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG
langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif
dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif
daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak
terlihat sesudah imunisasi pertussis.
d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut
selama stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
e. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)
f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis
pada apus nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
g. Polymerase chain reaction (PCR) assay memiliki keuntungan
sensitivitasnya lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
h. Foto toraks
Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild interstitial
edema) dengan berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi, mild
peribronchial cuffing, atau empiema. Konsolidasi (consolidation)
merupakan indikasi adanya infeksi bakteri sekunder atau pertussis
pneumonia (jarang). Adakalanya pneumothorax, pneumomediastinum,
atau udara di jaringan yang lunak dapat terlihat.
Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-
tanda vital (vital signs) yang normal. Vital signs ini meliputi: tekanan
darah, nadi, heart rate, respiration rate, dan suhu tubuh.

4. PENATALAKSANAAN
Menurut Garna, et.al. (2005), terapi pertusis adalah :
a) Suportif
- Isolasi (1-2 minggu).
- Mencegah faktor yang merangsang batuk (debu, asap rokok).
- Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi.
- Oksigen bila sesak nafas.
- Pengisapan lendir.
- Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dengan kortikosteroid
(betametason) dan salbutamol (albuterol).
b) Eradikasi bakteri
Pilihan obat yang dapat diberikan adalah :
- Eritromisin
Dosis: 40-50 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 2 gram/hari, p.o.,
dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.
- Klaritromisin
Dosis: 15-20 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 1 gram/hari, p.o.,
dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari.
- Azitromisin
Dosis: 10 mg/Kg berat badan/hari, sehari 1x, p.o., dibagi selama 5
hari.
- Kotrimoksasol
Dosis: 50 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 2 dosis, selama
14 hari.
- Ampisilin
Dosis: 100 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 4 dosis selama
14 hari.
Sedangkan Guinto-Ocampo (2006) mengusulkan penatalaksanaan pertusis
sebagai berikut :
1) Antibiotik
a. Erythromycin
- Nama Dagang di Amerika: EES, E-Mycin, Eryc, Ery-Tab,
Erythrocin.
- Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi
disosiasi peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-
dependent protein synthesis berhenti.
- Dosis dewasa:
250 mg (erythromycin stearate/base) atau 400 mg
(ethylsuccinate) PO q6h 1 h ac, atau 500 mg (stearate/base)
q12h.
Alternatif lainnya, 333 mg (stearate/base) q8h, dapat
ditingkatkan hingga 4 g/hari tergantung dari beratnya infeksi.
- Dosis anak-anak
40-50 mg/kg/hari (stearate/base) PO dibagi qid; tidak melebihi
2 g/hari. Garam estolate dapat digunakan pada bayi karena
penyerapan yang lebih efektif.
b. Azithromycin
- Nama Dagang di Amerika: Zithromax
- Mekanisme kerja:
- Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi
disosiasi peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-
dependent protein synthesis berhenti.
- Dosis dewasa:
- 500 mg PO pada hari pertama, lalu 250 mg/hari selama 4 hari
berikutnya (total 5 hari)
- Dosis anak-anak
- 10-12mg/kg/hari PO selama 5 hari.
c. Clarithromycin
- Nama Dagang di Amerika: Biaxin
- Mekanisme kerja
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi
disosiasi peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-
dependent protein synthesis berhenti.
- Dosis dewasa:
500 PO bid untuk 7-10 hari.
- Dosis anak-anak
15-20 mg/kg PO dibagi bid selama 5-7 hari; tidak melebihi
g/hari.
d. Trimethoprin-sulfamethoxazole
- Nama Dagang di Amerika:Bactrim, Septra, Cotrim
- Mekanisme kerja:
- Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghambat
sintesis dihydrofolic acid. Obat alternatif, namun
kemanjurannya (efficacy) belum terbukti untuk pertusis.
- Dosis dewasa:
- 160 mg (trimethoprim component) / 800 mg (sulfamethoxazole
component) PO bid selama 7-10 hari (misalnya: 1 DS tab bid)
- Dosis anak-anak
- <2 bulan: kontraindikasi.
- >2 bulan: 6-10 mg/kg/hari (berdasarkan komponen
trimethoprim) PO dibagi q12h untuk 7-10 hari.
2) Vaksin
Imunisasi aktif meningkatkan kekuatan melawan (resistance)
infeksi. Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang
bertindak sebagai antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi
antibodi dengan specific protective properties.
Semua anak berusia kurang dari 7 tahun haruslah menerima vaksin
pertusis. Di Amerika Serikat, vaksin pertusis acellular
direkomendasikan dan biasanya dikombinasikan dengan diphtheria and
tetanus toxoids (DTaP). Vaksin tidak dapat mencegah pertusis
seluruhnya, namun terbukti dapat memperingan durasi dan tingkat
keparahan pertusis.
a. DtaP
- Nama Dagang di Amerika: Tripedia, Certiva, Infanrix.
- Dosis Dewasa:
0,5 mL IM toksoid tetanus dan difteri (Td) dan dosis menurut
riwayat vaksin.
- Dosis anak-anak
0,5 mL IM pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun.
7-18 tahun jadwal catch-up untuk imunisasi primer: 0,5 mL IM
Td untuk 3 dosis. Berilah jarak 4 minggu di antara dosis pertama
dan kedua, dan 6 bulan di antara dosis kedua dan ketiga; ikuti
dengan dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga (boleh
mengganti Tdap untuk dosis jika usia sesuai)
- Dosis booster remaja (10-18 tahun): Tdap 0,5 mL IM sekali,
dosis tunggal.
b. Tdap
- Nama Dagang di Amerika: Adacel, Boostrix.
- Dosis dewasa:
0,5 mL IM sekali sebagai dosis tunggal, diberikan melalui
musculus deltoideus. Booster dengan Td direkomendasikan
q10y
Lebih dari 65 tahun: tidak diindikasikan.
- Dosis anak-anak
<10 tahun: tidak diindikasikan.
10-18 tahun: diberikan sesuai dengan dosis dewasa.
Pertussis-specific immune globulin merupakan produk
investigational yang mungkin efektif untuk mengurangi batuk
paroksismal namun masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.

5. DIAGNOSA MEDIS
Diagnosa yang bisa muncul pada kasus pertusis :
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi mucus.
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan tidak adekuatnya
ventilasi.
3) Hyperthermy berhubungan dengan infeksi salurn nafas.
4) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi-ventilasi.
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
6) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake klien yang
kurang.
7) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual muntah.

Anda mungkin juga menyukai