Oleh:
Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si
Didukung Oleh:
Medan
Sumatera Utara
2007
Mohon maaf jika penelitian ini kurang sempurna. Jika ingin lebih memahami
nasib rakyat yang tak bertanah, tiada referensi yang bisa memuaskan kecuali
datang, tinggal sejenak, bahkan jika mungkin, hiduplah dengan mereka. Untuk
kawan-kawan di STA, PKPS dan Lentera Rakyat, semoga menjadikan pengalaman
kawan-kawan semakin membatin dalam hidup.
I. Pendahuluan .............................................................................................
II. Sejarah Singkat Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Indonesia
III. Situasi Politik Pertanahan di Indionesia ...................................................
3.1. Dua Periode Masa Permasalahan Pertanahan ....................................
3.2. Babak Baru Politik Pertanahan di Indonesia......................................
IV. Situasi Umum Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu .........................
4.1. Gambaran Umum Wilayah ................................................................
4.2. Sengketa Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu...........................
4.2.1. Gambaran Umum Sengketa Pertanahan.................................
4.2.2. Akar Konflik Pertanahan........................................................
4.2.3. Analisis Tentang Akar Konflik Pertanahan di
Kabupaten Asahan dan labuhan batu .....................................
4.2.4. Upaya-upaya Penyelesaian Sengketa Pertanahan...................
4.2.5. Struktur Sosial Ekonomi Kelompok-Kelompok
Perjuangan Tanah ...................................................................
4.2.6. Keluarga Petani Sebagai Supply Tenaga Kerja Murah ............
4.2.7. Sistem Kelembagaan Penyelesaian Sengketa Pertanahan.......
4.2.8. Tekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi Rakyat..
4.2.9. Konflik Internal Organisasi dan Pelehaman Organisasi
Perlawanan ..............................................................................
V. Kesimpulan dan Masa Depan Reforma Agraria ........................................
VI. Daftar Bacaan ............................................................................................
VII. Lampiran ...................................................................................................
Perubahan yang terjadi malah terbalik dari yang diharapkan oleh rakyat, hal
ini ditunjukkan dengan dijadikannya tanah sebagai faktor produksi. Ketika tanah
menjadi faktor produksi, maka sudah tentu penguasaan dan pengelolaan tanah
ditentukan oleh pihak-pihak yang memiliki akses ke penguasa, modal, dan
kepentingan kapitalisme global yang sudah sangat mengikat pemerintah tanpa
mempertimbangan kondisi rakyat yang sudah tidak lagi bertanah dan diperbudak
di perusahaan-perusahaan perkebunan ataupun bekerja sebagai buruh tani
penggarap tanah-tanah desa yang sudah menjadi milik orang-orang kaya di kota
dan di perdesaan.
Rencana reforma agraria yang dicanangkan dalam Tap MPR tersebut sampai
saat ini masih sekedar slogan-slogan kosong semata. Buktinya sampai saat ini
setelah 6 tahun dicanangkan, belum ada kebijakan yang signifikan mengarah pada
reforma agraria. Memang setahun belakangan pemerintah melalui Presiden sudah
memberi pernyataan tentang mulai dijalankannya reforma agraria. Presiden
menyatakan pemerintah akan menyediakan lahan seluas 8,15 juta hektar yang
diperuntukkan kepada petani penggarap, buruh tani dan penduduk miskin.
Presiden juga telah membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Kepala BPN.
Namun sayangnya sampai saat ini rencana tersebut belum terrealisasi, bahkan
semakin menimbulkan kecurigaan dari banyak kalangan, karena dari sisi
pembiayaan, motif politik maupun tujuannya sangat tidak jelas.
Ada banyak kendala yang ditemui dalam penelitian ini. Selain keterbatasan
waktu dan tenaga lapangan, sulitnya mengakses data ke pemerintahan, ketiadaan
data lengkap dari kelompok-kelompok tani maupun minimnya data skunder
membuat penelitian tidak bisa menggambarkan secara holistik seluruh persoalan
pertanahan. Namun dengan data-data yang telah dikumpulkan peneliti meyakini
pada tahap awal hasil penelitian dan analisis yang dilakukan bisa menjadi acuan
awal bagi pihak-pihak yang memiliki perhatian terhadap isu pertanahan, baik di
Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu maupun Sumatera Utara secara
keseluruhan.
Pada periode 1945 sampai dengan 1960-an juga dikenal sebagai masa revolusi
sosial dan gerakan sosial radikal yang tidak puas dengan plin plannya negara
untuk berpihak kepada rakyat tertindas. Pada saat itu berlangsung gerakan-
Periode 1965 sampai dengan 1980 dapat dikatakan merupakan masa paling
berat yang dirasakan oleh petani penggarap, dikarenakan pada saat itulah stigma
komunisme digunakan oleh pemerintah untuk memperoleh tanah. Pada periode
itu pula muncul tiga undang-undang yang menjadi cikal bakal semakin
menguatnya kapitalisme di Indonesia, yakni keluarnya UU Pokok Kehutanan, UU
Penanaman Modal Asing dan UU Pokok Pertambangan. Untuk melancarkan hal
tersebut, tentu saja pemerintah berusaha memuluskan jalan dengan memberikan
stigma politik terhadap masyarakat terorganisir yang mencoba mempertahankan
haknya.
Ada banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah pada saat itu, mulai
membentuk masyarakat yang apolitis, melakukan pembunuhan terhadap tokoh-
tokoh organisasi yang dianggap berhaluan kiri, mengintimidasi organisasi-
organisasi perlawanan, menarik kembali surat-surat ijin penggarapan lahan yang
sebelumnya dilegitimasi oleh Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, dan
mengambangkan UUPA yang semuanya bermuara pada stabilitas politik dan
mengutamakan pembangunan ekonomi.
Pada saat yang bersamaan, pada periode tersebut (terutama tahun 1970-an)
pertumbuhan perkebunan swasta dan negara (BUMN) mulai berkembang cepat.
Negara sendiri melihat potensi perkebunan semakin besar sehingga nasionalisasi
perkebunan Belanda kemudian diteruskan dengan terbentuknya perusahaan
Aneka Tanaman (ANTAN), Perusahaan Nasional Perkebunan dan kemudian
menjadi PTPN. Besarnya kepentingan pemerintah terhadap perkebunan,
tingginya animo swasta dalam negeri dan asing juga semakin memperburuh
kondisi pertanahan khusususnya di Sumatera Utara. Dengan berbagai cara,
pemerintah kemudian merancang sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan
Tanaman Industri, pola PIR, dan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah
Sepanjang 1980 sampai dengan 1997 hampir tidak terlihat perlawanan yang
berarti dari rakyat mengingat ekonomi menjadi panglima pada saat itu.
Pertumbuhan ekonomi nasional memang cukup tinggi. Namun di sebalik
pertumbuhan tersebut tersimpan ratusan bahkan ribuan masalah pertanahan di
Sumatera Utara. Pecahnya reformasi 1998 dan kejatuhan Soeharto dijadikan
moment kebangkitan perlawanan kelompok-kelompok petani yang haknya telah
dirampas oleh perkebunan. Namun sayangnya perlawanan tersebut selalu
dihadapkan dengan mekanisme penyelesaian secara hukum yang sebenarnya
menjadi titik terlemah rakyat, karena peristiwa politik sudah menghancurkan
segala bukti otentik hak formal masyarakat, dan kurang diutamakannya
kepemilikan tanah ulayat oleh komunitas-komunitas adat.
Salah satu isu politik yang saat ini kembali mencuat ke permukaan setelah
selama puluhan tahun hanya terpendam dalam bentuk sengketa-sengketa di
tingkat lokal adalah politisasi isu pertanahan. Entah memang hanya kebetulan
atau memang sudah menjadi strategi politik rejim, yang pasti pemerintah,
kalangan modal, organisasi non pemerintah maupun rakyat secara umum sudah
mulai ramai berkomentar ataupun melakukan aksi-aksi yang mengusung isu
pertanahan secara nasional.
Jelas atmosfir sosial politik sebelum dan pada saat lahirnya UUPA No. 5
Tahun 1960 tergolong tidak normal. Semangatnya adalah melakukan perubahan
radikal terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan peninggalan kolonial yang
eksploitatif. Namun pada saat dimulainya pembahasan, Indonesia dalam kondisi
baru saja merdeka. Memang pemerintah mencoba melakukan langkah-langkah
percobaan dengan melakukan landreform di Banyumas. Dikarenakan
menunjukkan keberhasilan, kemudian keluarlah Undang-Undang Darurat No 13
Tahun 1948 yang dilanjutkan dengan melakukan landreform di Yogyakarta dan
Surakarta.
Situasi politik yang tidak menentu, seperti agresi militer Belanda I dan II
pada akhir tahun 1948, terjadinya perubahan negara menjadi Republik Indonesia
Serikat, keluarnya Dekrit Presiden yang mengembalikan bentuk negara NKRI dan
sistem pemerintahan parlementer, jatuh bangunnya parlemen pada tahun 1950-
an, maupun pemberontakan-pemberontakan di daerah, seperti pemberontakan
DI/TII, Permesta dan lainnya.
Dukungan partai politik, antara lain dari Partai Komunis Indonesia dan
Partai Nasional Indonesia (PNI) dan NU menjadi kekuatan bagi pemerintah untuk
melaksanakan landreform. Dukungan dari organisasi-organisasi yang terideologis
bukan hanya sampai disitu. Pada tahun 1946 sudah dilakukan sebuah gerakan
yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pencerabutan
kekuatan kapital bersama penguasa-penguasa lokal sebagai representasi dari
kekuatan feodal, terutama di Sumatera Timur, antara lain dengan meruntuhkan
Walaupun pada saat itu negara dalam keadaan labil dimana sistem
pemerintahan yang belum rapi dan efisien, jatuh bangunnya kabinet, dan
kemunculan beberapa pemberontakan di daerah, namun secara prinsip
pemerintah memiliki kemauan politik yang sangat jelas dalam mendorong
berlangsungnya landreform dan agrarian reform. Namun sayangnya niat dan
kemauan politik tersebut terpaksa pelan-pelan mulai melemah ketika berlangsung
Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Selain menyetujui penyerahan
kedaulatan dan rencana pengembalian Irian Barat, ternyata KMB menghasilkan
kesepakatan tentang perkebunan-perkebunan milik swasta Belanda yang telah
diduduki rakyat untuk dikembalikan kepada Belanda. Tentu saja pasal ini
bertolakbelakang dengan statement-statement politik pemerintah sebelumnya
yang serius akan melakukan reformasi agraria.
Lahirnya UUPA pada tahun 1960 yang pada saat itu cukup berpihak kepada
rakyat ternyata tidak banyak membawa perubahan yang berarti sesuai dengan
tujuan awal pembuatan undang-undang tersebut. Hal itu dibuktikan dengan
minimnya aturan-aturan pelaksanaan yang sangat menentukan landreform dan
agrarian reform dapat dilakukan. Menurut beberapa ahli yang pernah melakukan
penelitian pada saat itu, landreform sangat sulit untuk dilakukan disebabkan
beberapa hal, antara lain kendala birokrasi yang masih sangat rumit, pengetahuan
tentang keagrariaan yang belum mencukupi, penguasaan aparat tentang hukum
agraria yang masih minim, penjelasan detail mengenai proses landreform yang
belum lengkap maupun tidak konsistennya peraturan pelaksanaan yang telah
dibuat.
Periode tahun 1960 sampai dengan 1965 pasca keluarnya UUPA merupakan
periode dimana pemerintah mencoba meletakkan dasar landreform. Tingginya
kemauan politik pada saat itu untuk melakukan landreform dan agrarian reform
sebenarnya cukup tinggi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh rejim
Soekarno pada saat itu adalah Undang-Undang Landreform No. 56 Tahun 1960
yang salah satu isinya adalah mendistribusikan tanah maksimal 29 Ha untuk setiap
kepala keluarga petani. Namun kebijakan tersebut terus mendapat kritik karena
tidak menyentuh aspek lainnya, seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan
dan kelautan.
Tentu saja kemauan politik pemerintah pada saat belum dapat dilaksanakan
diakibatkan beberapa kendala politik dan teknis, seperti rumitnya birokrasi,
minimnya pengetahuan tentang mekanisme reforma agraria, situasi politik yang
tidak stabil akibat sistem pemerintah yang belum solid, munculnya
pemberontakan-pemberontakan di daerah maupun masih besarnya kepentingan
modal yang pada saat itu mencoba menancapkan kembali kekuatannya. Namun di
tingkat rakyat tindakan-tindakan penguasaan dan pendudukan lahan telah
dijalankan dengan perlindungan aturan yang masih minim.
Rejim Soekarno memang memiliki kemauan politik yang cukup tegas untuk
menjalankan reforma agraria. Beberapa kebijakan politik juga sudah coba
digulirkan sebagai pedoman dijalankannya reforma agraria, antara lain Undang-
Saat ini malah hampir seluruh pihak sudah gonjang ganjing tentang besarnya
keuntungan yang diperoleh negara dan pemodal untuk pembangunan
perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Semua orang mulai memprediksi
besaran pendapatan dan pertumbuhan ekonomi yang didapat jika pemerintah
membuka lebar-lebar investasi perkebunan kelapa sawit. Menurut pemerintah,
pertumbuhan kelapa sawit Indonesia tahun 2010 akan mencapai 18 juta ton
pertahun, sehingga untuk mencapai target tersebut maka harus ada perluasan
lahan perkebunan 10 sampai 20% di tiap-tiap daerah, antara lain di Sumatera
Utara, Jambi, Riau, Papua, kepulauan Riau, Kalimantan dan Sulawesi.
4.1. Gambaran
Gambaran Umum Wilayah
Dua wilayah Kabupten di Sumatera Utara yang dari sisi sejarah maupun
sampai saat ini menjadi sentra perkembangan perkebunan adalah Kabupaten
Asahan (yang sekarang dipecah menjadi dua, yakni Kabupaten Asahan dan
Kabupaten Batubara) dan Kabupaten Labuhan Batu. Berdasarkan catatan sejarah,
dua kabupaten tersebut termasuk kawasan cuulturgebeid atau wilayah sabuk
perkembangan industri perkebunan Belanda, selain Kabupaten Deli Serdang dan
Serdang Bedagei. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan
perkebunan peninggalan Belanda yang saat ini menjadi perusahaan perkebunan
milik negara (PTPN II, PTPN III dan PTPN IV) maupun perusahaan asing milik
eropa dan Amerika Serikat yang diantaranya diwakili oleh PT Socfindo, PT
London Sumatera, PT Bakrie Sumatera Plantation, dan sebagainya.
Demikian juga dari sisi klimatologi. Curah hujan di dua kabupaten tersebut
rata-rata 100 sampai dengan 120 hari dalam satu tahun atau 1500 sampai 1800 mm
per tahun. Berdasarkan data tersebut, maka Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran secara
umum tentang sengketa pertanahan di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Dua
kabupaten ini dipilih dengan beberapa pertimbangan, diantaranya; di dua
kabupaten tersebut selama ini dikenal sebagai wilayah dengan tingkat sengketa
pertanahan yang cukup tinggi, minimnya proses penyelesaian sengketa
pertanahan yang berlangsung di tempat tersebut, dinamika perjuangan rakyat
yang tinggi, banyaknya perusahaan-perusahaan perkebunan dan sejarah konflik
yang panjang karena terkait dengan masa kolonialisme dan seluruh pergantian
rejim politik yang pernah terjadi.
4.2.1.
4.2.1. Gambaran Umum Konflik Pertanahan
Sayangnya tidak seluruh 136 kasus tersebut yang tercatat, hanya 123 kasus
yang dapat diidentifikasi. Demikian juga dengan di Kabupaten Labuhan Batu.
Menurut catatan, di Kabupaten Labuhan Batu pada tahun 2000 terdapat konflik
lahan sebanyak 100 sengketa pertanahan, namun dari jumlah kasus sengketa
pertanahan tersebut, hanya sebahagian kecil yang muncul ke permukaan karena
adanya proses penguatan dan publikasi dari organisasi non pemerintah, sedangkan
kasus lainnya tanpa proses sama sekali.
Boleh dikatakan data yang diperoleh dari proses penelitian lapangan cukup
menjadi dasar bahwasannya kompleksitas persoalan pertanahan di Kabupaten
Asahan maupun Labuhan Batu cukup tinggi dan melibatkan pihak-pihak yang
selama ini punya peran besar menghancurkan ekonomi rakyat. Dari proses analisis
data, kecamatan dimana sengketa paling banyak adalah di Kecamatan Bandar Pasir
Mandoge, yakni untuk sementara mencapai 22 kasus, kemudian di Kecamatan
Bandar Pulo sebanyak 15 kasus dan di Kecamatan Buntu Pane sebanyak 14 kasus.
Berikut data jumlah kasus sengketa tanah berdasarkan kecamatan.
Satu hal yang menjadi catatan adalah bahwasannya sengketa yang terjadi di
PT SPR memiliki karakteristik tersendiri sehingga jumlah sengketa yang terjadi
sangat tinggi. Wilayah HGU dan kelebihan HGU PT SPR selama ini telah
mengambil lahan Hutan Lindung Tormatutung yang termasuk register 1/A seluas
1300 Ha. Sementara di sekitar kawasan hutan lindung tersebut juga berdiam
banyak komunitas-komunitas setempat yang sudah lama mendiami dan membuka
lahan untuk pertanian. Berdasarkan realitas tersebut, maka PT SPR melanggar dua
hal, pertama melakukan perambahan terhadap hutan yang dilindungi negara dan
juga melanggar hak-hak komunitas lokal yang hidup lama berdampingan dengan
tanah dan hutan.
Persoalan tanah di Asahan dan Labuhan Batu juga tidak selalu terkait dengan
perusahaan perkebunan swasta dan milik negara, sengketa masyarakat dengan
individu, pihak yayasan dan koperasi juga tidak sedikit jumlahnya. Bahkan di
banyak tempat, penguasaan perkebunan milik pribadi juga mulai banyak muncul
ke permukaan. Di Asahan dan Labuhan Batu, usaha keluarga atau pribadi yang
tidak memiliki HGU bisa memiliki tanah lebih dari 10 Ha, bahkan ada yang
mencapai 500 Ha sampai dengan 1000 Ha, seperti terjadi di Kecamatan Aek Loba
dan Bandar Pulau. Namun sengketa antara masyarakat dengan tanah milik pribadi
tersebut masih belum banyak terjadi, karena sebahagian besar tanah pribadi
tersebut dibeli secara sah, walaupun sebenarya sudah menyalahi Undang-Undang
Pokok Agraria yang tidak memperbolehkan kepemilikan pribadi lebih dari 2 Ha.
Secara umum akar sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Asahan dan
juga Labuhan Batu terbagi atas beberapa jenis, yakni:
Kondisi yang hampir bersamaan juga terjadi di Desa Aek Korsik, Kecamatan
Aek Kuasan Kabupaten Asahan. Pada tahun 1950-an masyarakat sudah mulai
membuka lahan di Desa Aek Korsik dengan jumlah lahan kurang lebih 390 Ha.
Dikarenakan sudah lama mengusahai lahan cukup lama, pada tahun 1971
Apa yang terjadi di Aek Korsik hampir bersamaan dengan yang terjadi di
Desa Persiapan Batu Anam, yang dahulu bernama kampung Wonorejo, Desa
Rahuning Kecamatan Bandar Pulo. Kasus ini dikatakan hampir bersamaan
jenisnya dengan yang terjadi di Desa Aek Korsik Kecamata Aek Kuasan. Pada
tahun 1969 kurang lebih 150 masyarakat di Kampung Wonorejo mengelola tanah
negara seluas kurang lebih 350 Ha karena tanah tersebut telah diterlantarkan atau
tidak dikuasai oleh pihak manapun. Sebelumnya tanah tersebut adalah bekas
kawasan pengambilan kayu atau balok yang dilakukan oleh PT Senwat. Kemudian
seorang penduduk bernama Wakijo pada tahun 1971 ditunjuk oleh Pemda Asahan
untuk mengatur pembagian tanah kepada masyarakat dengan dengan luas
Total tanah yang diganti rugi pada saat itu adalah 166 Ha, sedangkan lahan
milik masyarakat yang dikuasai oleh PT Socfindo adalah 366 Ha, sehingga masih
ada 200 Ha yang belum diganti rugi. Pada saat itu pihak perkebunan menyatakan
akan melanjutkan proses ganti rugi kepada masyarakat, namun sebelumnya
menitipkan uang persekot sebesar Rp. 1.660.000,- kepada kepala Desa. Ketika
Kepala Desa Aek Bange diganti, ternyata proses ganti rugi tidak dilaksanakan oleh
perkebunan. Sampai saat ini tanah masih dikuasai oleh perkebunan tanpa ada
kejelasan penyelesaian, baik ganti rugi maupun pengembalian tanah. Tuntutan
dari masyarakat saat ini hanyalah meminta ganti rugi kepada pihak PT Socfindo
Kebun Aek Loba, namun tidak jelas proses penyelesaiannya.
Kasus yang berbeda dari sengketa yang telah dijabarkan adalah yang terjadi
di Dusun Pisang Binaya, Desa Pulo Besar, Kecamatan Simpang Empat. Pada
awalnya di tahun 1973 sampai dengan 1974, kurang lebih 20 kepala keluarga
dipindahkan dari Kampung Tangkahan Padang ke Dusun Pisang Binaya, dengan
alasan bahwasannya Kampung Tangkahan Padang rawan banjir karena berada di
sekitar Daerah Aliran Sungai Asahan. Di Dusun Pisang Binaya sudah disediakan
150 rumah yang kemudian disebut dengan perumnas oleh pemerintah. Pada tahun
1975 masuklah PTP VI yang berkantor pusat di Pabatu membuka perkebunan di
Desa Pulo Besar Kampung Tangkahan Padang dan sekitarnya.
Sebahagian besar sumber sengketa tanah yang terjadi pada periode ini adalah
perusahaan-perusahaan perkebunan asing milik Belanda maupun swasta asing,
seperti PTPN III, PTPN IV, PT Socfindo, PT London Sumatera dan PT SIPEF di
Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Seperti yang terjadi di Desa Sengon Sari,
Desa Aek Bange dan Aek Korsik, Tanah Gambus dan Limapuluh yang berhadapan
dengan PT Socfindo, masyarakat Desa Babussalam Sinar jadi berhadapan dengan
PTPN III Merbau Selatan dan kasus-kasus lainnya.
Periode ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik pada saat itu, terutama
sistem hukum pertanahan yang memang dalam kondisi sangat tidak menentu,
terutama pada saat masa penjajahan Jepang dari tahun 1942 sampai tahun 1945.
Pada saat itu pemerintah fasis Jepang yang sedang menghadapi perang dengan
Amerika Serikat. Untuk mendukung perang, pemerintah Jepang di Indonesia
memberi keleluasaan kepada rakyat untuk membuka lahan maupun menguasai
tanah yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan milik Belanda dan
perusahaan asing lainnya.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, beberapa rencana pun lahir, salah
satunya adalah tentang sistem pengelolaan, kepemilikan dan pengelolahan tanah.
Proses ppenyusunan sistem tersebut tidak mudah dilakukan karena Indonesia
dalam keadaan sangat tidak stabil, antara lain dengan adanya agresi militer
Belanda, pemberontakan di tahun 1950-an, pergantian sistem negara dan jatuh
bangunnya kabinet, sampai dengan gerakan-gerakan politik radikal organisasi-
organisasi massa terideologis.
Selama kurun waktu 1945 sampai 1965 dapat dikatakan sebagai masa-masa
penting peletakan dasar hukum pertanahan maupun keleluasaan rakyat
mendapatkan tanah, karena pada saat itu kemauan pemerintah dan kekuatan-
kekuatan politik cukup mendukung pelaksanaan landreform. Namun sayangnya
kebijakan landreform dan agrarian reform lebih banyak berjalan sendiri-sendiri
dilakukan oleh masyarakat dengan perlindungan kebijakan yang minimal.
Kebutuhan rakyat akan tanah yang mendorong perebutan lahan-lahan
perkebunan kemudian ternyata tidak dilindungi oleh pemerintah. Beberapa
kebijakan kemudian muncul bukan untuk melindungi rakyat yang mencoba
bertahan hidup dengan cara membuka lahan dan menguasai tanah milik bekas
perkebunan, malah membuat kebijakan-kebijakan yang terkesan melindungi
perkebunan-perkebunan asing yang telah dinasionalisasi dengan alasan menjaga
proses pengalihan, antara lain dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 35
Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah
Perkebunan Konsesi, PP 21/1964, Tentang Pembentukan Gabungan Perusahaan
Sejenis Perkebunan Besar, Peraturan Penguasa Perang Pusat No.
Prt/Perppu/041/1958 tentang Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya
atau kuasanya
Satu momentum penting yang terjadi pasca gerakan politik 1965 adalah
penghancuran kekutan-kekuatan politik ideologis yang dianggap mengganggu
negara kesatuan Republik Indonesia, terutama kekuatan organisasi-organisasi
yang berafiliasi dan menjadi underbow PKI. Tragedi ini sebenarnya tidak masuk
akal jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan pada saat gerakan politik
berlangsung, namun jika dilihat tindakan dilakukan pasca penumpasan terhadap
komponen-komponen yang terkait dengan PKI, maka semakin jelas bahwasannya
disebalik keganasan pembasmian PKI tersimpan kepentingan modal yang cukup
besar, salah satunya adalah terhadap penguasaan kembali perusahaan-perusahaan
perkebunan di seluruh Indonesia, terutama di Sumatera Utara.
Pasca 1965, langkah paling awal yang dilakukan oleh rejim Soeharto adalah
mengeluarkan beberapa undang-undang penting, diantaranya adalah Undang-
Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967, Undang-Undang Pertambangan Nomor
11 Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanam Modal Asing Tahun 1967. Jelas
undang-undang ini secara tergesa-gesa dibuat untuk melindungi kepentingan
4.2.4. Upaya-
Upaya-Upaya Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Berdasarkan aturan seperti itu, sebenarnya tidak ada satu celah apapun yang
bisa membuat rakyat terpinggirkan, karena ada syarat, bahwasannya penggarap
tanah perkebunan harus tetap dilindungi dan tidak boleh digusur begitu saja oleh
perkebunan. Namun perlindungan hukum ternyata tidak sesuai dengan realitas di
lapangan, karena ternyata masyarakat penggarap dan petani mengalami
penggusuran dan intimidasi dari penguasa perang, antara lain oleh pelaksana
DWIKORA daerah Sumatera Utara.
Begitu juga saat orde baru berkuasa. Jelas-jelas perlindungan terhadap petani
penggarap juga telah tersedia, antara lain dengan diberlakukannya Surat
Keputusan Panitia Landreform Pripinsi Sumatera Utara No. 961/LR/1969 Tanggal
26 September 1969 Tentang Pedoman Pengosongan Tanag Garapan Rakyat dalam
Areal Perkebunan. Pada peraturan tersebut disebutkan, pengosongan yang
dilakukan harus melalui musyawarah dengan pihak rakyat yang bersangkutan.
Namun tetap saja aturan tersebut tidak mampu melindungi hak-hak rakyat yang
secara ekonomi memang sangat membutuhkan tanah untuk bertahan hidup.
Secara umum, dari 122 kasus sengketa tanah yang terjadi di Asahan maupun
beberapa kasus tanah di Kabupaten Labuhan Batu punya berlatarbelakang sama
dengan konflik tanah lain yang terjadi di Sumatera Utara. Kejelasan akar sengketa
tersebut ternyata tidaklah selaras dengan kejelasan penyelesaiannya. Berdasarkan
penelitian, sengketa pertanahan sangat rumit karena terkait sangat kuat dengan
Tujuh sengketa tanah yang saat ini dihadapi PT Socfindo Kebun Aek Loba
dan PT Socfindo Tanah Gambus tersebut sebenarnya sudah mulai diperjuangkan
mulai tahun 1970-an, namun baru muncul ke permukaan kembali pasca reformasi
tahun 1998 dan menemukan pola perjuangan yang lebih terorganisir pada tahun
2005 ketika bergabung dengan Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR)
Kabupaten Asahan. Kecuali sengketa tanah kelompok Wakidi cs, 6 kelompok
petani lainnya saat ini sedang ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Asahan
melalui keputusan Bupati Asahan Nomor 433-PEM/2005 Tanggal 19 Desember
2005.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh FPTR sebenarnya belum begitu lama
dimulai, yakni pada tahun 2005 yang didukung oleh organiser-organiser
Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia. Sebelum forum lintas kelompok tani
tersebut terbentuk, sebenarnya masing-masing kelompok sudah pernah
melakukan perjuangan, seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Aek
Bange Kecamatan Aek Kuasan berhadapan dengan PT Socfindo Aek Loba.
Sebelum tergabung dalam FPTR masyarakat di Desa Aek Bange yang tanahnya
dirampas oleh PT Socfindo sudah menuntut pengembalian 366 Ha tanah yang
direbut kepada perusahaan dan pemerintah setempat pada tahun 1971. Upaya
tersebut ternyata gagal, malah perusahaan memaksa masyarakat menerima ganti
rugi dengan cara-cara intimidasi (antara lain dengan menuduh masyarakat sebagai
anggota PKI). Dikarenakan dilakukan dengan paksaan, masyarakat pun melepas
seluruh tanah dan menerima ganti rugi 166 Ha dengan bayaran Rp. 10.000,- per
Ha, sedangkan 200 Ha lainnya tidak dibayar.
Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Desa Aek Korsik, Kecamatan
Aek Kuasan yang merampas tanah yang telah dikelola sejak tahun 1950 dan
dimiliki secara syah pada tahun 1971 melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera
Utara Nomor 78/HM/LR/1971. Namun tidak berapa lama kemudian PT Socfindo
menguasai tanah rakyat sehingga masyarakat membuat pengaduan pada tahun
1973 ke Camat dan Bupati dan Dewan perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten
Asahan. Dikarenakan tidak mendapatkan tanggapan, kemudian kembali
Pada tahun 2005 barulah gerakan perjuangan masyarakat Desa Aek Korsik
dan Desa Aek Bange mengkonsolidasikan diri dan bergabung dengan FPTR
bersama dengan kelompok petani di Tanah Gambus dan beberapa kelompok tani
lainnya yang bersengketa dengan perusahaan-perusahaan lain di Kabupaten
Asahan. Perjuangan yang terorganisir melalui FPTR tersebut berhasil
mengumpulkan 25 kelompok tani yang berjuang atas tanahnya dengan jumlah
anggota kurang lebih 4000 KK.
Perkembangan terbaru, yakni pada bulan April dan Mei tahun 2007, kerja
tim ternyata semakin jauh dari harapan. Dari 19 berkas kasus yang diajukan untuk
diselesaikan, 6 berkas tuntutan kelompok yang diutamakan untuk diselesaikan,
ternyata hanya satu kasus yang dibicarakan lebih lanjut, yakni Kasus Kelompok
Maju Lestari, Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan yang
bersengketa dengan PT Socfindo Kabun Aek Loba.
Langkah yang dijalankan oleh Bupati Asahan, mulai dari pembentukan tim,
pembahasan tentang proses penyelesaian yang kemudian dilanjutkan dengan
pembuktian alas hak yang dimiliki masyarakat, kemudian berakhir dengan
penyerahan penyelesaian kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Propinsi Sumatera Utara kemudian direspon secara berbeda oleh pengurus FPTR.
Sebahagian, khususnya pengurus pusat FPTR menganggap tahapan ini adalah
langkah maju dalam penyelesaian sengketa, namun sebahagian besar anggota dan
pengurus masing-masing kelompok sudah curiga dengan proses yang berlangsung.
Hal yang sama juga terjadi terhadap sebuah kelompok tani di Kecamatan
Bandar Pasir Mandoge, yakni Kelompok Tani Inatani Saurmatua Pardembanan
yang tanahnya dirampas oleh PT Jaya Baru Pratama dengan luas tanah sengketa
sebesar kurang lebih 600 Ha. Sudah berkali-kali masyarakat melakukan aksi ke
Kantor Bupati, Komisi A DPRD Kabupaten Asahan, pembentukan tim
penyelesaian dan sebagainya. Kondisi terakhir, kelompok tani mengadakan
pertemuan yan difasilitasi oleh Komisi A DPRD, yang dihadiri oleh BPN dan
perwakilan Bupati Asahan maupun pihak PT Jaya Baru Pratama.
Forum yang sangat diharapkan oleh masyarakat ini ternyata sangat tidak
sesuai dengan tujuan semula, karena tidak ada titik temu antar dua pihak yang
bersengketa. Pihak masyarakat yang ditanya terlebih dahulu sudah mau
menurunkan tuntutan. Dari 600 Ha yang sebenarnya menjadi hak rakyat,
masyarakat hanya meminta pengembalian sebanyak 400 Ha. Ternyata pihak
perusahaan tidak melakukan hal yang sama. Perusahaan pada saat pertemuan
tersebut hanya bersedia memberikan ganti rugi sebesar Rp. 50.000.000,- untuk
seluruh tuntutan kelompok tani. Pertemuan tersebut kemudian diteruskan dengan
pembicaraan secara tertutup antara pihak perusahaan, utusan kelompok tani dan
Camat Bandar Pasir Mandoge. Forum rapat kecil di dalam pertemuan tersebut
juga bernasib sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, yakni tidak
mencapai kesepakatan dikarenakan alasan sepele, yakni utusan pihak perusahaan
yang tidak punya kapasitas mengambil keputusan. Akhirnya pertemuan ditunda
dan akan dilaksanakan setelah pihak direksi PT Jaya Baru Pratama pulang dari
luar negeri.
Dikarenakan kuatnya posisi militer pada saat itu, selama beberapa tahun
perjuangan kelompok-kelompok tani berhenti. Barulah pada tahun 2002 pasca
reformasi perjuangan dimulai kembali dengan dukungan PBHI sebagai
pendamping masyarakat. Setelah beberapa lama perjuangan berlangsung, barulah
pada tahun 2006 kasus dapat diselesaikan. Namun penyelesaian tidak ditangani
oleh pemerintah, baik melalui Bupati, Gubernur maupun BPN daerah dan
propinsi. Malah sengketa diselesaikan oleh Panglima Angkatan Darat dengan
berpegangan kepada bukti-bukti yang dimiliki masyarakat, terutama surat
perjanjian antara masyarakat dengan PUSKOPAD.
Salah seorang pemimpin kelompok tani di Tanah Gambus adalah salah satu
anggota LMRI yang saat ini sudah melakukan tugas-tugasnya. Salah satu kasus
yang saat ini sedang ditangani adalah kelompok tani yang bersengketa dengan PT
Publikasi
Kasus Stop
Pengadilan
Aksi Rembuk/pertemuan di
Kalah/menang tanpa Massa Kecamatan
eksekusi
Pengaduan
Ke Gubernur dan atau Dialog/Rembuk Dialihkan
Aksi Massa Dgn Bupati/DPRD Ke BPN Kabupaten
Pengaduan
Ke Presiden/DPR-RI
TIM Penyelesaian
Stop
Sengketa
Kunjungan
Pembuktia Ke Lokasi Kasus
n alas hak
Rapat Berkala Tim
Penyelesaian
Tanah sengketa
dikeluarkan dari
HGU Dialihkan
Ke BPN Propinsi
Tawaran CD
Stop
Rencana Pengukuran
Pendudukan Tanah sengketa
Tanah
Tidak dijalankan
Kriminalisasi Petani Biaya tidak jelas,
payung hukum tidak
ada
Salah satu contoh menggambarkan hal tersebut adalah kasus sengketa antara
kelompok Maju Lestari dengan PT Socfindo Aek Loba di Desa Aek Korsik
Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan. Dari 30 kalompok tani yang
tergabung dalam Front Pembebasan Tanah Rakyat di Kabupaten Asahan, hanya
kasus ini yang kemudian direkomendasikan oleh tim penyelesaian sengketa tanah
untuk dibahas di Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara.
Alasannya, pada tahun 1971 dan 1972 masyarakat sudah memiliki surat tanah
seluas 390 Ha dalam bentuk surat keterangan landreform dari Gubernur Sumatera
Utara pada tahun 1971 dan 1972.
Menurut salah saorang anggota kelompok Maju Lestari, posisi kasus mereka
tergolong lebih kuat dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya, karena
sudah memegang surat keterangan landreform dari gubernur, sehingga
penyelesaiannya harus diprioritaskan. Jika kasus kelompok Maju Lestari
diselesaikan bersamaan dengan kelompok-kelompok lain yang juga bersengketa
dengan PT Socfindo, maka penyelesaiannya akan lebih sulit, karena alas hak
masing-masing kelompok berbeda-beda.
Pada satu sisi, strategi seperti itu memang cukup efektif, mengingat selama
terjadi sengketa antara rakyat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan
maupun yang terjadi di tingkat nasional, kasus-kasus sengketa pertanahan tidak
Pandangan seperti itu cukup masuk akal mengingat kelompok Maju Lestari
adalah yang memiliki bukti-bukti formal. Namun di sisi lain, mengutamakan satu
kasus yang terkuat dari sisi akan kontraproduktif terhadap kasus-kasus sengketa
lainnya, khususnya bila proses penyelesaian melalui sebuah tim yang dibentuk
pemerintah. Mandat tim yang seharusnya menyelesaikan kasus-kasus sengketa
tanah yang dituntut rakyat kemudian tereduksi oleh landasan-landasan atau
bukti-bukti formal yang pada umumnya memang menjadi titik lemah masyarakat
akibat manipulasi, intimidasi dan penyelewengan sejarah tanah.
No Bukti
1 Adanya ganti rugi yang dilakukan perusahaan terhadap tanah yang
lokasinya berada di lokasi yang sama dengan tanah sengketa
2 Adanya areal perkuburan tanah wakaf di areal HGU
3 Surat Ketua DPRD tentang pengembalian tanah garapan masyarakat
4 Kartu Tanda Pendaftaran sebagai pemakai tanah perkebunan berdasarkan
UU darurat No, 8 Tahun 1954
5 Surat pengakuan saksi dari perusahaan yang mengetahui sah nya
kepemilikan tanah oleh rakyat
6 Peta lokasi tanah yang sebenarnya (bukan versi perusahaan)
7 Adanya sebahagian warga yang telah mendapat tanah penampungan
8 Bukti patok-patok batas tanah yang dahulu pernah dibuat BPN
9 Adanya patok-patok baru (bukan oleh BPN) yang dibuat perusahaan
10 Pengakuan perusahaan lain yang telah memberikan tanah penampungan
kepada rakyat yang tanahnya diambil oleh perusahaan
11 Surat pernyataan kepala desa tentang kepemilikan sah masyarakat atas
tanah sengketa
12 Surat panitia pertimbangan landreform
13 Surat pembayaran pajak tanah
14 Saksi mantan pekerja perusahaan yang melakukan penggusuran
15 Surat penggantian lahan yang dipakai oleh perusahaan perkebunan dari
Bupati
16 Surat Keterangan Landreform oleh Gubernur
17 Surat Keputusan legalisasi tanah yang dikuasai rakyat oleh DPRD
18 Bukti pembayaran pengukuran yang dimiliki rakyat
19 Surat pengumuman dari Badan Musyawarah Daerah Kecamatan Bandar
Pulau tentang Penggantian/pemindahan tanah
Sebahagian besar anggota kelompok tani di Desa Aek Nagaga adalah bekerja
sebagai petani lahan sempit dan buruh tani, sedangkan sisanya bekerja sebagai
buruh di PT London Sumatera, bekerja sebagai pedagang keliling, jualan di rumah
dan menjadi buruh lepas yang bekerja mocok-mocok di kebun milik pribadi pada
saat panen kelapa sawit. Demikian juga dengan ibu-ibu maupun anak perempuan
yang telah dewasa. Banyak diantara mereka bekerja sebagai buruh harian lepas di
perkebunan dengan upah bervariasi, mulai dari Rp. 10.000,- sampai dengan Rp,
30.000,- per hari. Bagi perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL)
di perkebunan tidak memiliki hari kerja yang tetap. Dalam satu bulan maksimal
mereka bisa mendapat 20 Hari Kerja (HK) tergantung dari musim-musim kerja di
perkebunan.
Bagi perempuan, baik istri anggota maupun anak perempuan yang telah
dewasa yang tidak bekerja di perkebunan sebagai BHL, mereka lebih banyak
menghabiskan aktivitas di sekitar rumah. Namun walaupun begitu mereka juga
memiliki aktivitas tambahan, salah satunya adalah mengambil lidi kelapa sawit
yang telah dibersihkan untuk dijual kepada pengumpul. Selain itu, di Desa Aek
Nagaga, rata-rata anggota kelompok (kecuali yang masih bekerja di perkebunan
dan tinggal di permukiman milik perusahaan) memelihara ternak lembu. Rata-
Kondisi yang tidak jauh berbeda, bahkan lebih sulit ditemui pada anggota
kelompok perjuangan yang berada di Desa Teluk Dalam dan Desa Pulau Besar
Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan. Rata-rata anggota dan seluruh
masyarakat bekerja sebagai buruh tani di desa lain. Rata-rata dari masyarakat yang
berjumlah 150 kepala keluarga tersebut hanya mengandalkan pekerjaan di tanah
miliki warga desa lain, yakni Desa Padang Mahondang yang letaknya di seberang
Sungai Asahan karena mereka sama sekali tidak memiliki tanah kecuali tanah
tempat tinggal mereka.
Selain mengelola tanah mereka sendiri yang sempit, petani juga bekerja
mocok-mocok di sawah milik orang lain. Sistemnya ada dua, sebagai buruh tani
ataupun sistem perjanjian pembagian pertiga. Bagi buruh tani yang bekerja di
tanah orang lain, untuk proses menanam padi dalam satu rante penyewa hanya
Pendidikan Keluarga
Rata-rata anak petani anggota kelompok tani yang sudah tamat ataupun
tidak tamat SD bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan, bekerja sebagai
kenek (pendamping) kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh tetap atau buruh
harian lepas di perkebunan, bekerja sebagai kenek truk angkut kelapa sawit,
menggembalakan lembu di areal perkebunan, dan mencari lidi kelapa sawit. Bagi
sebahagian anak petani yang keluar dari kampung, mereka pergi ke kota bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga kota ataupun menjadi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negara-negara tetangga, terutama Malaysia.
Beberapa petani di Desa Sungai Samsu, daerah Poncolan Kecamatan Sei Balei
mengalami hal yang sama. Ada kurang lebih 10 Ha rawa-rawa yang tidak dikelola
oleh perusahaan sehingga kemudian coba dikelola oleh puluhan petani. Ketika
rawa yang dikelola oleh petani tersebut sudah mulai bersih dan di beberapa bagian
sudah mengering, kemudian perusahaan mencoba merebutnya dengan cara me
membeko dan membuat kanal-kanal yang ternyata menutup saluran air ke sawah
yang dikelola masyarakat. Pernah terjadi perlawanan dari masyarakat, namun
tidak begitu lama karena perusahaan secara tegas melarang masyarakat mengelola
tanah tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, sebahagian besar petani yang tinggal di
dalam maupun di sekitar enclave perkebunan adalah petani tak bertanah ataupun
petani gurem yang rata-rata hanya memiliki 2 sampai dengan 5 rante tanah.
Dengan luas tanah seperti itu, maka sudah pasti tidak akan cukup untuk
menghidupi ekonomi keluarga. Untuk itu, keluarga petani, termasuk anggota-
Bagi buruh harian lepas laki-laki pekerjaan yang dilakukan adalah hampir
sama seperti yang dilakukan oleh buruh tetap (SKU) laki-laki, yakni sebagai buruh
pemanen ataupun meruning (menunas) pohon kelapa sawit. Walaupun
melakukan pekerjaan yang persis sama yang dilakukan buruh SKU, namun hak
yang diterima tidaklah sama, karena selain basis borong lebih besar, peralatan
kerja seluruhnya dibebankan kepada buruh dan tidak ada jaminan ataupun
perlindungan apapun. Namun tetap saja beban yang berat dan status yang tidak
jelas tersebut diterima oleh penduduk perkampungan di sekitar perkebunan.
4.2.8.
4.2.8. Tekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi Rakyat
Tekanan Eksternal
Kekuatan posisi dan bukti yang dimiliki rakyat tersebutlah yang kemudian
digunakan oleh perusahaan perkebunan untuk memperlemah rakyat, antara lain
dengan melakukan:
Hal yang patut disayangkan adalah posisi pemerintah yang kemudian tidak
bisa mengambil sikap tegas terhadap permainan yang dilakukan perusahaan. Pada
satu sisi, alasan yang dikemukakan oleh perkebunan selalu alasan yang masuk
akal, seperti; direksi lagi tidak di tempat, belum dibicarakan dalam rapat internal
perusahaan, belum ada komunikasi dengan direksi, belum sempat membicarakan,
direksi tidak di tempat, dan berbagai alasan sepele lainnya. Namun jika alasan-
alasan seperti ini sudah menjadi pola, sebenarnya pemerintah bisa mengambil
sikap. Namun yang terjadi tidaklah demikian, pemerintah malah cenderung
menerima alasan-alasan tersebut tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat
yang harus menunggu dalam jangka waktu yang panjang dan tidak tidak pasti.
Watak perusahaan perkebunan saat ini dengan masa kolonial memang belum
berubah sama sekali, yakni dalam menerapkan strategi pecah belah terhadap
kekuatan-kekuatan rakyat. Hal ini juga terjadi di Asahan, bukan hanya dilakukan
secara langsung oleh perusahaan perkebunan, namun juga dengan cara meminjam
tangan-tangan lembaga swadaya masyarakat maupun pemerintah. Kecenderungan
seperti ini jelas telah terjadi di kelompok-kelompok perjuangan rakyat, sehingga
melemahkan langkah-langkah mendapatkan kembali hak-hak rakyat.
Salah satu pola klasik namun cukup efektif dalam melakukan pecah-belah
perjuangan rakyat adalah dengan cara memberi penawaran kepada salah satu
pihak (biasanya terhadap pihak-pihak yang bisa diajak kompromi, pengurus atau
pemimpin kelompok dan anggota yang memiliki bukti otentik kepemilikan
tanah). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di kelompok tani di Desa
Wonorejo Kecamatan Bandar Pulau. Beberapa kali perusahaan sudah mencoba
menawarkan uang puluhan juta kepada 6 orang anggota kelompok yang sempat
memiliki surat asli kepemilikan tanah untuk memecah kesatuan kelompok.
Situasi yang agak berbeda ada Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU).
Aktivitas diskusi secara formal maupun informal kelompok Maju Bersatu dan
Kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan membuat para anggota cukup
memahami posisi situasi sengketa dan aturan-aturan dasar yang terkait dengan
permasalahan yang mereka hadapi. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat
pertemuan antara organiser atau pengurus SPSU ke kelompok-kelompok sehingga
melalui proses sosialisasi, diskusi pemecahan masalah dan dalam penyusunan
strategi, para anggota memiliki pemahaman terhadap tentang aturan dan
perundangan pertanahan.
4.2.9
4.2.9. Konflik Internal Organisasi dan Pelemahan Organisasi Perlawanan
Periode awal peminggiran rakyat dari tanah sebagai penopang hidup adalah
pada kira-kira tahun 1957 ke atas. Pada saat itu, selain melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda, pemerintah rejim Soekarno juga mulai
menerima perusahaan-perusahaan asing selain Belanda yang mencoba menguasai
kembali perkebunan yang telah mereka tinggalkan sejak pemerintah fasis Jepang
menguasai Indonesia. Pada periode ini, rakyat yang sebelumnya telah mendapat
ijin menggarap tanah perkebunan, membuka hutan untuk pertanian mulai terusik.
Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga melakukan hal yang
sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang tidak
menghormati hak-hak ulayat, yakni dengan mengesampingkan kepemilikan tanah
secara adat. Pemerintah dengan sengaja menggunakan hukum positif dalam
penyelesaian sengketa tanah sehingga kepemilikan komunal yang didasarkan pada
hukum adat selalu dikalahkan dalam sengketa-sengketa tanah.
Memang diakui selama ini masih sangat minim aturan-aturan yang bisa
digunakan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan. Cara paling umum yang
dilakukan ada dua, yakni musyawarah dan melalui pengadilan umum. Cara
pertama adalah yang paling sering dilakukan, sedangkan cara kedua adalah yang
paling disenangi perusahaan dan pemerintah. Walaupun dianggap cara paling
awam sekaligus tidak memberatkan pihak-pihak yang bersengketa, namun
pendekatan musyawarah pendekatan ini cenderung menjebak rakyat dalam alur
yang tidak berbelit dan berakhir dengan ketidakpastian. Sedangkan penyelesaian
melalui hukum sangat menguntungkan perusahaan perkebunan karena bisa
mempengaruhi proses hukum yang dijalankan dan punya ketahanan untuk
menjalani proses hukum dalam jangka waktu panjang.
Perjuangan rakyat semakin sulit ketika ternyata kendala bukan hanya datang
dari ketiadaan perlindungan hukum, rumitnya birokrasi, ketidakjelasan
mekanisme musyawarah yang ditawarkan pemerintah dan mahalnya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan. Kendala juga muncul dari internal organisasi-
organisasi perlawanan, antara lain tentang ketimpangan pemahaman antara
pemimpin dan anggota, tidak berjalannya kerja-kerja konsolodasi kelompok,
macetnya komunikasi internal maupun antar kelompok perlawanan rakyat. Selain
itu rakyat masih mudah terpengaruh dengan tawaran-tawaran perusahaan yang