Anda di halaman 1dari 98

KONFLIK AGRARIA DI KABUPATEN

ASAHAN DAN LABUHAN BATU

Sebuah Gambaran Umum


Tentang Konflik Pertanahan di
Kabupaten Asahan dan
Labuhan Batu

Oleh:
Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si

Didukung Oleh:

Sentra Transformasi Agraria


Kelompok Pelita Sejahtera
Lentera Rakyat

Medan
Sumatera Utara
2007

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 1


Pengantar

Terimakasih saya ucapkan kepada teman-teman dari Sentra Transformasi Agraria,


Lentera Rakyat, Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera dan kawan-kawan yang
memberikan dukungan terhadap selesainya penelitian ini. Didasari oleh kerisauan
terhadap banyaknya kasus-kasus konflik pertanahan yang terjadi di Sumatera
Utara kemudian lahirnlah penelitian ini. Tidak banyak mungkin yang bisa
dipelajari dari hasil penelitian ini, namun ini menjadi titik awal bagi semua pihak
untuk lebih peduli terhadap nasib rakyat dan buruh perkebunan yang nyaris tak
bertanah akibat kerakusan perusahaan-perusahaan perkebunan.

Mohon maaf jika penelitian ini kurang sempurna. Jika ingin lebih memahami
nasib rakyat yang tak bertanah, tiada referensi yang bisa memuaskan kecuali
datang, tinggal sejenak, bahkan jika mungkin, hiduplah dengan mereka. Untuk
kawan-kawan di STA, PKPS dan Lentera Rakyat, semoga menjadikan pengalaman
kawan-kawan semakin membatin dalam hidup.

Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si

Medan, Januari 2006

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 2


Daftar Isi
Isi

I. Pendahuluan .............................................................................................
II. Sejarah Singkat Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Indonesia
III. Situasi Politik Pertanahan di Indionesia ...................................................
3.1. Dua Periode Masa Permasalahan Pertanahan ....................................
3.2. Babak Baru Politik Pertanahan di Indonesia......................................
IV. Situasi Umum Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu .........................
4.1. Gambaran Umum Wilayah ................................................................
4.2. Sengketa Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu...........................
4.2.1. Gambaran Umum Sengketa Pertanahan.................................
4.2.2. Akar Konflik Pertanahan........................................................
4.2.3. Analisis Tentang Akar Konflik Pertanahan di
Kabupaten Asahan dan labuhan batu .....................................
4.2.4. Upaya-upaya Penyelesaian Sengketa Pertanahan...................
4.2.5. Struktur Sosial Ekonomi Kelompok-Kelompok
Perjuangan Tanah ...................................................................
4.2.6. Keluarga Petani Sebagai Supply Tenaga Kerja Murah ............
4.2.7. Sistem Kelembagaan Penyelesaian Sengketa Pertanahan.......
4.2.8. Tekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi Rakyat..
4.2.9. Konflik Internal Organisasi dan Pelehaman Organisasi
Perlawanan ..............................................................................
V. Kesimpulan dan Masa Depan Reforma Agraria ........................................
VI. Daftar Bacaan ............................................................................................
VII. Lampiran ...................................................................................................

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 3


I. Pendahuluan

Tidak dipungkiri sebenarnya struktur ekonomi Indonesia masih berbasis


pertanian. Hal itu dapat dilihat dari data tahun 2002, dari total luas daratan
seluruh Indonesia sebesar kurang lebih 193 juta Ha, urutan kedua setelah kawasan
hutan adalah sektor pertanian, baik itu sawah, tegalan dan perkebunan, yakni
sebesar kurang lebih 37 juta Ha, atau 19% dari total seluruh daratan di Indonesia.
Walaupun saat ini pertumbuhan sektor pertanian mengalami peningkatan namun
ternyata berdampak pada menipisnya luas hutan, baik hutan lindung dan hutan
konservasi. Ironisnya, degradasi hutan tersebut ternyata diakibatkan oleh konversi
hutan secara legal maupun ilegal bagi pertumbuhan industri perkebunan.

Menurut catatan terakhir, sebahagian besar penduduk di Indonesia masih


bermatapencaharian sebagai petani. Pada tahun 2003, kurang lebih 42 juta orang
atau 46,26% dari total penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Namun
besarnya penduduk yang hidupnya tergantung pada pertanian tersebut sangat
tidak didukung oleh ketersediaan tanah sehingga mengakibatkan produktivitas
yang cukup rendah, yakni sebesar 1,68 juta per tahun. Tentu saja rendahnya
produktivitas tersebut punya hubungan yang cukup kuat terhadap rasio petani
dengan luas tanah yang dikelola untuk pertanian. Berdasarkan data yang ada, dari
tahun ke tahun jumlah petani gurem atau hanya mengelola lahan kurang dari 0,5
Ha semakin besar. Mereka yang tergolong sebagai petani gurem tersebut tentu
bukan saja yang menjadi pemilik, namun juga para petani yang harus menyewa
tanah milik petani pemilik lahan luas ataupun penduduk yang bukan petani
namun sekedar mengambil keuntungan dari ketidakjelasan hukum pertanahan.

Pertambahan petani gurem tersebut ternyata tidaklah kecil. Menurut


penelitian, pertambahan jumlah petani gurem tersebut mencapai 2,6% setahun.
Jika pada tahun 1993 jumlah petani gurem sebesar 10,8 juta kepala keluarga, maka
pada tahun 2003 sudah mencapai 13,7 juta kepala keluarga. Ini artinya,
berdasarkan kalkulasi sederhana, maka pada tahun 2007 jumlah petani gurem
sudah mencapai 15,7 juta kepala keluarga. Ini berarti, semakin lama kondisi sektor
pertanian di Indonesia tidaklah semakin membaik, salah satunya disebabkan oleh
semakin menyempitnya lahan yang dikelola oleh petani. Jika kondisi seperti ini
yang terjadi, rasio antara petani dengan tanah semakin kecil, maka produktivitas
pertanian akan semakin kecil dan pemerataan kemiskinan (sharing poverty) akan
terjadi di perdesaan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 4


Selain disebabkan oleh menyempitnya lahan yang dapat dikelola oleh petani,
tentu saja sebenarnya rendahnya produktivitas pertanian dan kemiskinan petani
di perdesaan dilatarbelakangi oleh kebijakan dan sistem ekonomi yang tidak
memihak kepada petani miskin atau petani gurem. Berdasarkan seluruh
latarbelakang yang ada, sistem penguasaan dan pengelolaan lahan dianggap
menjadi faktor penentu kemiskinan petani.

Pentingnya tanah bagi kesejahteraan rakyat secara umum, khususnya petani


sudah dijadikan landasan ekonomi negara. Sejak masa kolonial, era pemerintahan
Soekarno, rejim pemerintahan Soeharto sampai saat ini tanah tetap menjadi
sumberdaya utama pembangunan. Namun sayangnya sumberdaya alam,
khususnya ketersediaan lahan atau tanah juga dikuasai secara timpang sehingga
menimbulkan sengketa terbesar di Indonesia. Sejak Soekarno berkuasa sampai saat
ini tanah tetap menjadi rebutan pihak-pihak yang saling berkepentingan dan
akhirnya merugikan mayoritas rakyat, terutama petani yang kelangsungan
hidupnya sangat tergantung dengan tanah.

Dapat dikatakan sejarah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah di


Indonesia sudah lebih dari umur republik ini. Para pengritik dari kalangan
organisasi non pemerintah, ilmuan berhaluan sosialistik maupun fungsionalisme
menyatakan situasi tersebut disebabkan oleh kesalahan disetiap rejim yang tidak
memiliki kemampuan politik dalam menjalankan landreform dan reforma agraria
seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu
melakukannya. Sebahagian lagi memiliki analisis tentang terlalu kuatnya
kepentingan modal sehingga menjadikan negara tidak memungkinkan untuk lepas
dari kekuatan kapital yang sudah ratusan tahun memberi keuntungan kepada para
pemburu rente pertanahan.

Di sisi lain sebenarnya pemerintah sudah memiliki beberapa momentum


penting dalam meletakkan dasar sistem penguasaan dan pengelolaan tanah
ataupun membangun hukum pertanahan yang berkeadilan. Kemerdekaan tahun
1945, lahirnya UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, pembentukan Badan
Pertanahan Nasional, Keluarnya Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 maupun
pertemuan-pertemuan tingkat nasional dan internasional dalam rangka
penyusunan kebijakan pertanahan. Seluruh tahapan-tahapan tersebut dilewatkan

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 5


sia-sia tanpa perubahan yang berarti terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan
tanah yang lebih adil.

Perubahan yang terjadi malah terbalik dari yang diharapkan oleh rakyat, hal
ini ditunjukkan dengan dijadikannya tanah sebagai faktor produksi. Ketika tanah
menjadi faktor produksi, maka sudah tentu penguasaan dan pengelolaan tanah
ditentukan oleh pihak-pihak yang memiliki akses ke penguasa, modal, dan
kepentingan kapitalisme global yang sudah sangat mengikat pemerintah tanpa
mempertimbangan kondisi rakyat yang sudah tidak lagi bertanah dan diperbudak
di perusahaan-perusahaan perkebunan ataupun bekerja sebagai buruh tani
penggarap tanah-tanah desa yang sudah menjadi milik orang-orang kaya di kota
dan di perdesaan.

Ketidakseriusan dari pemerintah dalam menata sistem penguasaan dan


pengelolaan tanah tersebut dapat dilihat dari jumlah konflik tanah yang terjadi di
Indonesia. Menurut catatan dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada
tahun 2004, per tahun 2001 saja telah tercatat ada 1753 sengketa tanah di seluruh
Indonesia yang melibatkan 1.189.482 keluarga dan 10.892.203 ha tanah. Tentu
saja angka ini sangat luarbiasa dibandingkan dengan jumlah sengketa tanah yang
diselesaikan oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah yang terjadi di Kabupaten
Asahan. Dari kurang lebih 300 sengketa lahan yang tercatat dan seratusan
sengketa yang pernah muncul ke permukaan, sampai tahun 2006 hanya satu kasus
yang diselesaikan dalam bentuk ganti rugi tanah dan satu kasus yang berakhir
dengan pengembalian tanah kepada masyarakat. Itu pun tidak seluruhnya
memuaskan. Penyelesaian ganti rugi hanya terjadi pada sengketa yang melibatkan
satu keluarga dan luas tanah yang tidak lebih dari 8 hektar, dan penyelesaian
dengan pengembalian tanah tidak dilakukan oleh mekanisme yang diatur
pemerintah, namun melalui institusi-institusi militer sebagai induk dari
perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat.

Secara nasional analisis terhadap situasi pertanahan di Indonesia sudah


banyak mengemuka ke permukaan. Seperti yang disampaikan dalam Tap MPR RI
No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam. Disitu dinyatakan ada empat permasalahan agraria di Indonesia, yakni
kepemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkonsistensi
hukum serta kerusakan sumberdaya alam. Demikian juga dari sisi sektor
pertanian. Permasalahan pertanian terdiri atas semakin sempitnya penguasaan

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 6


tanah, kesulitan membendung konversi ke penggunaan pertanian, konflik
penguasaan, fragmentasi tanah dan sebagainya. Semua persoalan-persoalan
tersebut menjadi dasar rencana reforma agraria pemerintah.

Rencana reforma agraria yang dicanangkan dalam Tap MPR tersebut sampai
saat ini masih sekedar slogan-slogan kosong semata. Buktinya sampai saat ini
setelah 6 tahun dicanangkan, belum ada kebijakan yang signifikan mengarah pada
reforma agraria. Memang setahun belakangan pemerintah melalui Presiden sudah
memberi pernyataan tentang mulai dijalankannya reforma agraria. Presiden
menyatakan pemerintah akan menyediakan lahan seluas 8,15 juta hektar yang
diperuntukkan kepada petani penggarap, buruh tani dan penduduk miskin.
Presiden juga telah membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Kepala BPN.
Namun sayangnya sampai saat ini rencana tersebut belum terrealisasi, bahkan
semakin menimbulkan kecurigaan dari banyak kalangan, karena dari sisi
pembiayaan, motif politik maupun tujuannya sangat tidak jelas.

Rencana untuk melakukan pembaharuan agraria tersebut tampaknya


semakin tidak jelas karena ternyata pemerintah seperti memiliki agenda baru
terselubung yang sebenarya menipu masyarakat. Berbarengan dengan statement
pembaharuan agraria yang dikeluarkan pemerintah, ternyata pembahasan tentang
perpanjangan HGU dari 25 tahun dan 30 tahun menjadi 60 tahun dan dapat
diperpanjang 45 tahun dijalankan. Belum lagi masalah pembiayaan pembaharuan
agraria yang katanya selain berasal dari APBN, juga dibiayai oleh Bank Swasta
maupun negara dan Bank Asing, seperti Deutsche Bank dan Commonwealth
Bank. Hal ini jelas-jelas rencana penipuan yang pada akhirnya akan kembali
menjebak rakyat.

Beberapa realitas yang dijelaskan di atas hanya sebahagian kecil dari


kompleksitas persoalan yang terkait dengan sistem penguasaan dan pengelolaan di
negeri ini. Dua kawasan yang menjadi representasi rumitnya masalah pertanahan
tersebut terjadi di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Dua wilayah tersebut
sangat sarat dengan berbagai persoalan pertanahan, antara lain tingginya intensitas
sengketa, rumitnya penerapan hukum pertanahan, besarnya kepentingan modal
yakni investasi dan perkembangan industri perkebunan maupun dinamika
perlawanan rakyat. Hal itulah yang mendasari penelitian ini dilakukan di dua
wilayah administratif tersebut.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 7


Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yakni; membuat gambaran secara
umum tentang sistem penguasaan dan pengelolaan tanah, sengketa pertanahan
yang terjadi, situasi sosial ekonomi kelompok-kelompok perlawanan maupun
pitensi-potensi pemberdayaan yang memungkinkan dilakukan dalam rangka
reforma agraria. Pendekatan utama dalam penelitian adalah pengamatan secara
langsung terhadap kondisi penguasaan dan pengelolaan tanah dengan
menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, studi literatur maupun
studi dokumentasi.

Ada banyak kendala yang ditemui dalam penelitian ini. Selain keterbatasan
waktu dan tenaga lapangan, sulitnya mengakses data ke pemerintahan, ketiadaan
data lengkap dari kelompok-kelompok tani maupun minimnya data skunder
membuat penelitian tidak bisa menggambarkan secara holistik seluruh persoalan
pertanahan. Namun dengan data-data yang telah dikumpulkan peneliti meyakini
pada tahap awal hasil penelitian dan analisis yang dilakukan bisa menjadi acuan
awal bagi pihak-pihak yang memiliki perhatian terhadap isu pertanahan, baik di
Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu maupun Sumatera Utara secara
keseluruhan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 8


II. Sejarah Singkat Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Indonesia

Secara umum konflik pertanahan di Sumatera Utara, khususnya di


Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik
nasional, terutama pergantian rejim kekuasaan, terutama dari rejim Soekarno ke
rejim orde baru. Pergantian rejim tersebut tentu diwarnai dengan peristiwa-
peristiwa politik yang latarbelakang kemunculan dan dampak yang ditimbulkan
punya hubungan yang sangat kuat dengan kemudian dimanfaatkan oleh rejim
yang berkuasa untuk mengumpulkan sumberdaya sebesar-besarnya, termasuk
penguasaan lahan.

Begitu pentingnya penguasaan lahan atau tanah dalam sistem politik


sehingga dalam sebuah rejim berbagai pihak punya kepentingan besar untuk
menguasainya. Pada era kepemimpinan nasional Soekarno, tanah dianggap sebagai
syarat penting terjadinya revolusi, dikarenakan, tanpa landreform, revolusi
diibaratkan gedung tanpa alas, pohon tanpa batang ataupun sama saja dengan
omong besar. Apa yang diungkapkan oleh Soekarno tersebut dianggap sebagai
representasi ideologis Sosialisme Indonesia. Tanah dianggap oleh Soekarno sebagai
hak milik petani dan penggarap tanah, dan tidak dapat dijadikan alat penghisapan
kepada pihak manapun, terutama kepada petani.

Pemikiran seperti itulah yang kemudian mengilhami Soekarno untuk


mendorong keluarnya kebijakan umum tentang pertanahan, yakni Undang
Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA No. 5 Tahun 1960).
Undang-Undang ini pada pokoknya adalah bertujuan melakukan penataan
kembali kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan tanah yang dianggap selama
ratusan tahun tidak membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Tujuan tersebut pemerataan melalui penataan pengelolaan dan penguasaan


tanah tersebut tentu saja merupakan impian yang jika diterapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama petani yang sebelumnya mengalami
ketertindasan oleh pengusaha-pengusaha perkebunan, tuan tanah dan penguasa
politik. Namun sayangnya, kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana sampai saat
ini.

Sebelum Belanda keluar dari Indonesia, sistem penguasaan, kepemilikan dan


pengelolaan tanah diatur oleh hukum agraria kolonial yang dikenal dengan nama

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 9


Agrarische Wet yang mulai diberlakukan pada tahun 1870. Tentu saja hukum
agraria tersebut sama sekali tidak bertujuan membangun keadilan penguasaan dan
pengelolaan tanah, namun sekedar meluluskan kepentingan investasi dan
liberalisme penguasaan lahan di wilayah jajahan.

Keluarnya hukum agraria tersebut kemudian mulai dimanfaatkan oleh


pemerintahan kolonial Belanda dan pengusaha-pengusaha di Eropa maupun
Amerika. Berama-ramai kemudian mereka menanamkan modalnya di bidang
usaha perkebunan yang pada saat itu sedang booming. Jika sebelumnya
pengusaha-pengusaha perkebunan mengalami kesulitan mendapatkan lahan
perkebunan dalam jumlah luasan besar dan jangka waktu lama, maka
diberlakukannya Agrarische Wet, maka kendala-kendala memperoleh lahan
tersebut mulai hilang dan pengusaha perkebunan dapat memperluas lahan
perkebunan dengan mudah.

Jika sebelum Agrarische Wet diberlakukan sistem tanam paksa cultuur


stelsel, maka diberlakukannya hukum agraria kolonial maka pengusaha di Hindia
Belanda dimungkinkan untuk memperoleh hak persewaan dan pengelolaan secara
lebih leluasa melalui sistem hak erfpacht dan hak eigendom. Tragisnya,
pemberlakuan hukum agraris tersebut ternyata telah merampas kepemilikan
tanah komunal rakyat, baik yang dikelola oleh masyarakat adat maupun petani
penggarap. Salah satu aturan yang dianggap merugikan tersebut adalah
diberlakukannya Domein Verklaring, dimana dinyatakan bahwa negara berhak
atas tanah yang tidak bisa dibuktikan oleh pihak lain.

Fungsi Domein Verklaring tersebut jelas merugikan rakyat, karena


sebahagian besar tanah dikelola secara komunal oleh masyarakat adat. Hal ini
berbeda dengan kepemilikan raja ataupun sultan yang pada saat itu sudah tunduk
kepada Belanda, sehingga hak-haknya diakui oleh pemerintah kolonial. Hal itu
terjadi saat Sultan Deli memberikan konsesi kepada pengusaha perkebunan yang
sebenarya menjadi hak datuk-datuk kepala suku Batak Karo. Pelanggaran hak
tersebut kemudian menimbulkan konflik diantara masyarakat adat dengan pihak
perkebunan.

Sampai masa Indonesia merdeka, praksis sebenarnya tidak ada perubahan


apapun dalam sistem hukum pertanahan. Perubahan hanya terjadi ketika Jepang
masuk namun tanpa diiringi dengan perubahan sistem hukum pertanahan. Jepang

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 10


hanya memanfaatkan situasi kekacaubalauan sistem hukum bagi kepentingan
perang mereka. Masyarakat pun kemudian memanfaatkan kondisi dengan
menggarap sebahagian lahan perkebunan dan lahan tak bertuan, sedangkan
pengusaha-pengusaha perkebunan meninggalkan Indonesia dan menelantarkan
perkebunan yang telah mereka bangun.

Masa pendudukan Jepang yang pendek tersebut ternyata tidak membawa


perubahan yang lebih terhadap masyarakat. Tidak ada perubahan sistem yang
terjadi, karena Jepang hanya memberi toleransi kepada petani dan masyarakat
umum untuk menduduki lahan perkebunan dan membuka lahan-lahan pertanian
baru. Namun pasca 1945, pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwasannya
penataan ulang kepemilikan lahan menjadi syarat penting perbaikan negara.
Kemudian pada tahun 1948 terbentuklah panitia yang menggodok tersusunnya
hukum pertanahan yang baru menggantikan hukum agraria kolonial.

Panitia tersebut bekerja lambat dan terseok-seok akibat revolusi fisik,


pergantian sistem negara dan kabinet, sehingga barulah pada tahun 1960 UUPA
secara resmi disyahkan oleh DPR. Namun keluarnya produk hukum agraria
tersebut ternyata tidak serta-merta mampu merubah sistem penguasaan dan
pengelolaan tanah, karena Indonesia terikat dengan Konferensi Meja Bundar
(KMB) yang salah satu pernjanjiannya adalah adanya perlindungan dan
pengakuan terhadap bekas-bekas perkebunan milik Belanda dan swasta asing
lainnya.

Sejak pendudukan Jepang sampai menjelang dengan keluarnya UUPA No. 5


Tahun 1960 diakui sebagai sebuah masa dimana pemerintah menghadapi dilema.
Di satu sisi, Sosialisme dijadikan pegangan pimpinan nasional dalam melaksanakan
pembaharuan agraria, namun di sisi lain pemerintah harus mentaati pasal-pasal
KMB yang melindungi perkebunan milik Belanda. Namun diakibatkan belum
adanya hukum yang tegas mengatur sistem penguasaan tanah, maka rejim yang
berkuasa (baik masa pendudukan Jepang maupun Republik Indonesia Serikat dan
NKRI) mentoleransi penggarapan dan pendudukan lahan perkebunan maupun
pembukaan lahan baru.

Pada periode 1945 sampai dengan 1960-an juga dikenal sebagai masa revolusi
sosial dan gerakan sosial radikal yang tidak puas dengan plin plannya negara
untuk berpihak kepada rakyat tertindas. Pada saat itu berlangsung gerakan-

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 11


gerakan terideologi yang mencoba melepas kepentingan-kepentingan pengusaha
perkebunan Belanda dan asing lainnya yang berkolaborasi dengan penguasa-
penguasa lokal untuk kembali menancapkan kepentingannya di perkebunan-
perkebunan yang telah mereka tinggalkan. Namun gerakan radikal tersebut
mendapat tentangan dari gerakan militer separatisme yang mencoba membolisasi
massa merebut perkebunan-perkebunan, khususnya di Sumatera timur.

Usaha masuknya perkebunan Belanda dan asing lainnya sebahagian


mengalami keberhasilan. Walaupun disertai dengan gantirugi, pergantian lahan
dan sebagainya, tetap saja tidak memuaskan masyarakat yang merasa berhak atas
pendudukan lahan yang telah dilakukan. Dikarenakan semakin meluasnya
penggarapan lahan perkebunan, kemudian pemerintah mengeluarkan beberapa
kebijakan tegas pelarangan pendudukan lahan bagi yang tidak berhak.

Keluarnya peraturan-peraturan pelarangan tersebut ternyata tidak berjalan


efektif ketika pemerintah melakukan nasionalisasi perkebunan, infrastruktur dan
fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh Belanda pada tahun 1958, yang juga kemudian
menjadi pintu masuknya militer dalam menguasai aset-aset nasionalisasi. Namun
selama proses perumusan hukum agraria berjalan, rakyat sendiri sudah tidak sabar
menunggu dan semakin beratnya beban ekonomi pada saat itu, pendudukan lahan
perkebunan dan pembukaan lahan terus berlangsung, terutama setelah didukung
oleh pemerintah melalui Undang-Undang Darurat No. 8 tahun 1954 Tentang
Pemakaian Tanah Perkebunan Untuk Rakyat. Demikian juga pasca keluarnya
UUPA tahun 1960. Ketiadaan aturan pelaksanaan UUPA membuat undang-
undang tersebut tidak dapat dilaksanakan, selain ketiadaan ahli-ahli agraria.

Seperti yang terlah dijelaskan di atas, ketidaktegasan pemerintah yang


plinplan menjalankan landreform berdasarkan UUPA No. 5 Tahun 1960, masih
kuatnya Belanda yang mendorong separatisme dan mengikat pemerintah dengan
KMB, besarnya kepentingan petani dan masyarakat adat atas tanah menjadi kunci
persoalan sengketa agraria. Akibat dari kebingungan tersebut, pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang saling tumpang tindih dan bertolak belakang. Di
satu sisi landasan filosofi dan ideologi UUPA sangat berpihak kepada masyarakat
tertindas, terutama petani. Namun di sisi lain pemerintah tidak berani dan
tampaknya tidak memiliki kapasitas dalam mengatur proses landreform berjalan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 12


Ketika kekuatan masyarakat semakin besar dalam melepas kepentingan
Belanda dan modal asing muncullnya momentum politik yang kemudian
membuyarkan proses landreform di Indonesia. Walaupun di tingkat perundangan
tidak banyak perubahan, namun pada prakteknya di lapangan penyingkiran hak
masyarakat adat dan petani atas tanah semakin dipersempit. Upaya-upaya politik
dalam bentuk intimidasi pada masa orde baru telah merampas hak yang
sebelumnya sudah dilindungi, terutama dialami oleh petani yang di cap berhaluan
kiri oleh pemerintah.

Periode 1965 sampai dengan 1980 dapat dikatakan merupakan masa paling
berat yang dirasakan oleh petani penggarap, dikarenakan pada saat itulah stigma
komunisme digunakan oleh pemerintah untuk memperoleh tanah. Pada periode
itu pula muncul tiga undang-undang yang menjadi cikal bakal semakin
menguatnya kapitalisme di Indonesia, yakni keluarnya UU Pokok Kehutanan, UU
Penanaman Modal Asing dan UU Pokok Pertambangan. Untuk melancarkan hal
tersebut, tentu saja pemerintah berusaha memuluskan jalan dengan memberikan
stigma politik terhadap masyarakat terorganisir yang mencoba mempertahankan
haknya.

Ada banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah pada saat itu, mulai
membentuk masyarakat yang apolitis, melakukan pembunuhan terhadap tokoh-
tokoh organisasi yang dianggap berhaluan kiri, mengintimidasi organisasi-
organisasi perlawanan, menarik kembali surat-surat ijin penggarapan lahan yang
sebelumnya dilegitimasi oleh Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, dan
mengambangkan UUPA yang semuanya bermuara pada stabilitas politik dan
mengutamakan pembangunan ekonomi.

Pada saat yang bersamaan, pada periode tersebut (terutama tahun 1970-an)
pertumbuhan perkebunan swasta dan negara (BUMN) mulai berkembang cepat.
Negara sendiri melihat potensi perkebunan semakin besar sehingga nasionalisasi
perkebunan Belanda kemudian diteruskan dengan terbentuknya perusahaan
Aneka Tanaman (ANTAN), Perusahaan Nasional Perkebunan dan kemudian
menjadi PTPN. Besarnya kepentingan pemerintah terhadap perkebunan,
tingginya animo swasta dalam negeri dan asing juga semakin memperburuh
kondisi pertanahan khusususnya di Sumatera Utara. Dengan berbagai cara,
pemerintah kemudian merancang sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan
Tanaman Industri, pola PIR, dan menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 13


Propinsi (RTRWP) yang semuanya bermuara pada pengembangan ekonomi
berbasis kehutanan dan perkebunan.

Situasi sistem penguasaan dan pengelolaan pertanahan juga tidak mengalami


perobahan sama sekali, karena UUPA tidak pernah menjadi prioritas bahkan
dipeti-eskan oleh pemerintah. Buktinya, pemerintah malah semakin menegaskan
keberadaan perkebunan-perkebunan asing dengan mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka
Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak Barat atau pemberian Hak
Guna Usaha kepada pihak penguasaha perkebunan.

Keluarnya kebijakan ini jelas mengingkari hakekat lahirnya UUPA. Apalagi


di lapangan, ternyata kebijakan tersebut berjalan jauh menyimpang dari yang
tertulis. Kepentingan politik lebih kuat mempengaruhi dibandingkan ketentuan
hukum dan mekanisme pengambilalihan lahan oleh pemerintah dari petani dan
masyarakat penggarap. Tidak ada proses musyawarah yang terjadi, namun
intimidasi, pengambilalihan sepihak oleh perusahaan perkebunan setelah
mendapatkan ijin dari pemerintah.

Sepanjang 1980 sampai dengan 1997 hampir tidak terlihat perlawanan yang
berarti dari rakyat mengingat ekonomi menjadi panglima pada saat itu.
Pertumbuhan ekonomi nasional memang cukup tinggi. Namun di sebalik
pertumbuhan tersebut tersimpan ratusan bahkan ribuan masalah pertanahan di
Sumatera Utara. Pecahnya reformasi 1998 dan kejatuhan Soeharto dijadikan
moment kebangkitan perlawanan kelompok-kelompok petani yang haknya telah
dirampas oleh perkebunan. Namun sayangnya perlawanan tersebut selalu
dihadapkan dengan mekanisme penyelesaian secara hukum yang sebenarnya
menjadi titik terlemah rakyat, karena peristiwa politik sudah menghancurkan
segala bukti otentik hak formal masyarakat, dan kurang diutamakannya
kepemilikan tanah ulayat oleh komunitas-komunitas adat.

Kini industri perkebunan telah menjadi prioritas negara karena memberikan


kontribusi ekonomi yang luar biasa besar. Rakyat yang mencoba merebut hak nya
tidak punya cukup bukti formal dan kalah cepat dengan perpanjangan HGU
perkebunan besar asing yang rata-rata berakhir tahun 1998. Berbagai mekanisme
penyelesaian berakhir buntu ketika pemerintah dan lembaga-lembaga yang
berwenang selalu mengarahkan penyelesaian melalui proses hukum.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 14


III
III. Situasi Politik Pertanahan di Indonesia

Salah satu isu politik yang saat ini kembali mencuat ke permukaan setelah
selama puluhan tahun hanya terpendam dalam bentuk sengketa-sengketa di
tingkat lokal adalah politisasi isu pertanahan. Entah memang hanya kebetulan
atau memang sudah menjadi strategi politik rejim, yang pasti pemerintah,
kalangan modal, organisasi non pemerintah maupun rakyat secara umum sudah
mulai ramai berkomentar ataupun melakukan aksi-aksi yang mengusung isu
pertanahan secara nasional.

Awalnya adalah statement dari Presiden Soesilo Bambang Yudoyono


bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Kepala BPN tentang rencana
melakukan redistribusi tanah dengan judul reforma agraria. Tentu saja statement
ini disambut secara beragam oleh berbagai pihak. Atas nama mensejahterakan
rakyat, ketahanan pangan dan pendayagunaan lahan, pengurangan kemiskinan
dan pengangguran. Ada tiga topik yang menjadi fokus rencana reforma agraria
yang diungkapkan, yakni masalah kepemilikan tanah, dimana tanah yang dikuasai
oleh negara dapat digunakan oleh petani. Kedua, terkait dengan ketahanan
pangan, dimana akan dikembangkan program yang mampu meningkatkan
kesejahteraan petani dan meningkatkan ketahanan pangan, dan yang ketiga
adalah pendayagunaan lahan-lahan hutan. Menurut pemerintah, ketika ketiga
program ini dijalankan, maka nantinya dapat mengatasi pengangguran dan
kemiskinan.

Rencana tersebut seharusnya memberi angin segar terhadap pihak-pihak


yang punya kepentingan besar jika reforma agraria benar-benar dilakukan,
terutama kelompok-kelompok perjuangan tanah-tanah rakyat yang dirampas oleh
pengusaha maupun penyelewengan kekuasaan oleh pemerintah. Sekali lagi,
statement ini adalah janji yang perlu dibuktikan oleh pemerintah.

Bicara tentang politik pertanahan di Indonesia, maka tidak akan bisa


dilepaskan dari keberadaan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 24 September 1960 sebagai
pengganti undang-undang agraria kolonial yang sudah berlaku selama ratusan
tahun. Begitu pentingya UUPA pada saat itu sehingga pembahasannya
berlangsung selama 12 tahun, yakni mulai tahun 1948 sampai dengan tahun 1960.
Pada saat itu Soekarno memahami bahwasannya hukum agraria kolonial sama

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 15


sekali tidak berpihak kepada rakyat. Tanah sama sekali tidak memiliki fungsi
sosial dan ekonomi bagi masyarakat namun sudah menjadi barang dagangan dan
dijadikan alat untuk mengeksploitasi rakyat. Inilah yang kemudian mendasarinya
untuk melakukan perubahan.

Jelas atmosfir sosial politik sebelum dan pada saat lahirnya UUPA No. 5
Tahun 1960 tergolong tidak normal. Semangatnya adalah melakukan perubahan
radikal terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan peninggalan kolonial yang
eksploitatif. Namun pada saat dimulainya pembahasan, Indonesia dalam kondisi
baru saja merdeka. Memang pemerintah mencoba melakukan langkah-langkah
percobaan dengan melakukan landreform di Banyumas. Dikarenakan
menunjukkan keberhasilan, kemudian keluarlah Undang-Undang Darurat No 13
Tahun 1948 yang dilanjutkan dengan melakukan landreform di Yogyakarta dan
Surakarta.

Situasi politik yang tidak menentu, seperti agresi militer Belanda I dan II
pada akhir tahun 1948, terjadinya perubahan negara menjadi Republik Indonesia
Serikat, keluarnya Dekrit Presiden yang mengembalikan bentuk negara NKRI dan
sistem pemerintahan parlementer, jatuh bangunnya parlemen pada tahun 1950-
an, maupun pemberontakan-pemberontakan di daerah, seperti pemberontakan
DI/TII, Permesta dan lainnya.

Seluruh persoalan tersebut tentunya cukup mempengaruhi proses lahirnya


UUPA. Namun secara substansi, kelahiran undang-undang tersebut pada saat itu
cukup mendapat tanggapan yang positif dari beberapa aliran politik yang
terideologis, terutama oleh Partai Komunis Indonesia, karena dengan adanya
undang-undang tersebut maka sisa-sisa kapitalisme, terutama penguasaha-
pengusaha dan pemerintah kolonial maupun asing tidak lagi menguasai sumber-
sumber hidup rakyat.

Dukungan partai politik, antara lain dari Partai Komunis Indonesia dan
Partai Nasional Indonesia (PNI) dan NU menjadi kekuatan bagi pemerintah untuk
melaksanakan landreform. Dukungan dari organisasi-organisasi yang terideologis
bukan hanya sampai disitu. Pada tahun 1946 sudah dilakukan sebuah gerakan
yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pencerabutan
kekuatan kapital bersama penguasa-penguasa lokal sebagai representasi dari
kekuatan feodal, terutama di Sumatera Timur, antara lain dengan meruntuhkan

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 16


beberapa kerajaa kecil. Proses penghancuran tersebut dikenal dengan revolusi
sosial yang terjadi pada tanggal 3 Maret 1946 yang mengakibatkan Kesultanan
Langkat, Kesultanan Serdang dan Deli, Kesultanan Asahan maupun raja-raja di
Simalungun, dan Labuhan Batu.

Besarnya kekuatan yang mendukung revolusi sosial dan pembaharuan secara


radikal sistem penguasaan, pemilikan dan pengelolaan tanah tersebut semakin
memperkuat pemerintah mengeluarkan UUPA. Melalui Front Nasional yang
dibentuk oleh Soekarno pada tahun 1950-an mobilisasi semakin menguat sehingga
rakyat, terutama petani di Sumatera Timur mendapat dukungan oleh pemerintah
untuk memanfaatkan lahan yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan dan
membuka lahan-lahan baru untuk pertanian.

Walaupun pada saat itu negara dalam keadaan labil dimana sistem
pemerintahan yang belum rapi dan efisien, jatuh bangunnya kabinet, dan
kemunculan beberapa pemberontakan di daerah, namun secara prinsip
pemerintah memiliki kemauan politik yang sangat jelas dalam mendorong
berlangsungnya landreform dan agrarian reform. Namun sayangnya niat dan
kemauan politik tersebut terpaksa pelan-pelan mulai melemah ketika berlangsung
Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Selain menyetujui penyerahan
kedaulatan dan rencana pengembalian Irian Barat, ternyata KMB menghasilkan
kesepakatan tentang perkebunan-perkebunan milik swasta Belanda yang telah
diduduki rakyat untuk dikembalikan kepada Belanda. Tentu saja pasal ini
bertolakbelakang dengan statement-statement politik pemerintah sebelumnya
yang serius akan melakukan reformasi agraria.

Keterikatan Indonesia terhadap KMB kemudian mengalami perubahan


ketika Indonesia yang sebelumnya bernama Republik Indonesia Serikat berubah
kembali menjari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam waktu yang tidak
begitu lama setelah KMB. Namun perubahan tersebut hanya dalam hal bentuk
negara, sedangkan kesepakatan-kesepakatan lain tidak mengalami perubahan. Hal
inilah yang kemudian memancing pemberontakan di beberapa daerah, sehingga
tetap tidak bisa membuat stabil negara.

Pemerintah yang sebelumnya sudah terikat dalam KMB kembali


menguatkan rencana perubahan agraria dan penguatan ekonomi melalui sektor
pertanian. Bersamaan dengan itu juga, pemerintah merasa Belanda tidak konsisten

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 17


dengan kesepakatan tentang pengembalian Irian Barat pasca jajak pendapat.
Setelah 7 tahun KMB Irian Barat tetap tidak dikembalikan ke Indonesia sehingga
memancing pembatalan sepihak. Salah satu tindakan lanjutan dari pembatalan
sepihak tersebut adalah menasionalisasi perkebunan-perkebunan yang kemudian
ternyata pengelolaannya diambil alih oleh militer.

Lahirnya UUPA pada tahun 1960 yang pada saat itu cukup berpihak kepada
rakyat ternyata tidak banyak membawa perubahan yang berarti sesuai dengan
tujuan awal pembuatan undang-undang tersebut. Hal itu dibuktikan dengan
minimnya aturan-aturan pelaksanaan yang sangat menentukan landreform dan
agrarian reform dapat dilakukan. Menurut beberapa ahli yang pernah melakukan
penelitian pada saat itu, landreform sangat sulit untuk dilakukan disebabkan
beberapa hal, antara lain kendala birokrasi yang masih sangat rumit, pengetahuan
tentang keagrariaan yang belum mencukupi, penguasaan aparat tentang hukum
agraria yang masih minim, penjelasan detail mengenai proses landreform yang
belum lengkap maupun tidak konsistennya peraturan pelaksanaan yang telah
dibuat.

Periode tahun 1960 sampai dengan 1965 pasca keluarnya UUPA merupakan
periode dimana pemerintah mencoba meletakkan dasar landreform. Tingginya
kemauan politik pada saat itu untuk melakukan landreform dan agrarian reform
sebenarnya cukup tinggi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh rejim
Soekarno pada saat itu adalah Undang-Undang Landreform No. 56 Tahun 1960
yang salah satu isinya adalah mendistribusikan tanah maksimal 29 Ha untuk setiap
kepala keluarga petani. Namun kebijakan tersebut terus mendapat kritik karena
tidak menyentuh aspek lainnya, seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan
dan kelautan.

3.1. Dua Periode Masa Permasalahan Pertanahan

Boleh dikatakan pemerintah pada masa pasca kemerdekaan sampai sebelum


1965 memiliki kemauan politik yang cukup tinggi terhadap landreform dan
reforma agraria. Hal itu dibuktikan dengan terbentuknya tim atau panitia agraria
yang merumuskan undang-undang pokok agraria, dilakukanya reformasi agraria
skala kecil di beberapa wilayah di Jawa, keluarnya gagasan-gagasan revolusi sosial
dan politik yang selaras dengan prinsip-prinsip reforma agraria dan kemudian
akhirnya dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 18


Seluruh indikator tersebut menjadi penanda bahwasannya secara prinsip
pemerintah memiliki kemauan melakukan reforma agraria. Kekuatan politik pada
saat itu juga cukup mendukung, dimana ideologi sosialisme dan komunisme
mendapat tempat dalam sistem politik. Masyarakat juga memiliki kesempatan
yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam bidang politik dan mengambil bagian
dalam perjuangan-perjuangan yang digariskan oleh masing-masing kekuatan,
terlepas dari ideologi yang dianut. Kebebasan berpartisipasi dalam bidang politik
dan memilih pilihan ideologis tersebutlah kemudian yang mendorong rakyat
untuk melakukan perlawanan-perlawanan di daerah, baik menyangkut perebutan
kekuasaan politik dan pendudukan tanah di daerah-daerah.

Tentu saja kemauan politik pemerintah pada saat belum dapat dilaksanakan
diakibatkan beberapa kendala politik dan teknis, seperti rumitnya birokrasi,
minimnya pengetahuan tentang mekanisme reforma agraria, situasi politik yang
tidak stabil akibat sistem pemerintah yang belum solid, munculnya
pemberontakan-pemberontakan di daerah maupun masih besarnya kepentingan
modal yang pada saat itu mencoba menancapkan kembali kekuatannya. Namun di
tingkat rakyat tindakan-tindakan penguasaan dan pendudukan lahan telah
dijalankan dengan perlindungan aturan yang masih minim.

Pada masa sebelum Indonesia kerja-kerja pendudukan lahan juga sudah


dilakukan oleh rakyat, terutama oleh buruh-buruh perkebunan yang bekerja di
perusahaan perkebunan yang telah ditingalkan oleh Belanda dan swasta asing.
Masa tiga tahun pendudukan Jepang memang benar-benar dimanfaatkan oleh
rakyat untuk menduduki lahan, disamping memang rejim fasis Jepang pada saat
itu memberi toleransi yang cukup besar terhadap rakyat yang mencoba menguasai
tanah untuk kepentingan pertanian. Perkembangan sosial politik seperti itulah
yang kemudian menimbulkan kekhawatiran pihak-pihak pengusaha perkebunan,
sehingga pasca kekalahan Jepang, Belanda dan pengusaha perkebunan yang
menguasai tanah jumlah besar mencoba melindungi perkebunan-perkebunan
mereka, salah satunya dengan meminta kepada pemerintah Indonesia untuk
menjamin keberadaan tanah dan perkebunan mereka.

Rejim Soekarno memang memiliki kemauan politik yang cukup tegas untuk
menjalankan reforma agraria. Beberapa kebijakan politik juga sudah coba
digulirkan sebagai pedoman dijalankannya reforma agraria, antara lain Undang-

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 19


Undang No. 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah Partikelir, maupun
Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian.
Namun diakui pada saat itu pemerintah juga cukup moderat karena mengeluarkan
Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1958 tentang penyelesaian masalah tanah-
tanah perkebunan yang digarap oleh rakyat, Peraturan Pemerintah No 8 Tahun
1953 tentang penyerahan pengelolaan tanah negara kepada menteri dalam negeri
maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1952 tentang pemindahan hak-hak barat
baik berupa tanah maupun benda.

Kebijakan-kebijakan yang disebut terakhir tampaknya jika dilihat dari


semangat landreform yang mulai dicanangkan pada tahun 1946 sudah mulai
melemah. Semangat landreform dan agrarian reform, kebencian dan penolakan
terhadap kapitalisme dan imperealisme mulai mengendur. Hal ini ada
hubungannya dengan tekanan-tekanan dunia internasional melalui konferensi
meja bundar dan kelihaian perusahaan-perusahaan perkebunan non Belanda yang
mencoba bernegosiasi dengan rejim Soekarno. Jika ditarik sedikit ke belakang,
mulai awal tahun 1950 lah pihak-pihak perkebunan yang pernah angkat kaki dari
Indonesia mulai memberanikan diri untuk memasuki lahan-lahan perkebunan
mereka. Pada saat itu jugalah berbagai gejolak politik berupa pemberontakan-
pemberontakan di beberapa daerah kerap terjadi. Pemerintah kemudian
disibukkan dengan aksi-aksi pemadaman pemberontakan yang memakan banyak
biaya dan konsentrasi, sehingga reforma agraria akhirnya terhenti dengan
lahirnya UUPA Tahun 1960.

3.2. Babak Baru Politik Pertanahan di Indonesia

Dua periode penting peletak dasar politik pertanahan di Indonesia, sekaligus


menjadi sumber konflik pertanahan yang marak terjadi saat ini. Kini, sebelum
akar persoalan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan
penguasaan dan pengelolaan tanah, pemerintah mulai membangun babak baru
yang tidak kalah pentingnya dengan apa yang sudah terjadi pada periode-periode
sebelumnya.

Babak baru yang dimaksud pun tampaknya memiliki bermacam-macam


wajah. Satu sisi memperlihatkan wajah populis dengan nama program redistribusi
tanah atau landreform yang rencananya akan membagi-bagikan kurang lebih 8,15
Ha di seluruh Indonesia yang ditujukan terutama untuk petani-petani miskin.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 20


Rencana ini pun mulai dirancang di beberapa Kabupaten, antara lain di Kabupaten
Asahan dan Serdang Bedagai. Namun sampai sekarang rancangan tersebut sama
sekali tidak diketahui masyarakat. Tanpa melibatkan rakyat, pemerintah daerah
mulai membicarakan proses redistribusi tanah yang secara nasional ditangani oleh
BPN, Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan.

Program populis yang sebenarnya bisa menaikkan pamor pemerintah pun


mulai dijalankan. Di Kabupaten Asahan, ada satu kasus sengketa, yakni antara
masyarakat di Desa Gajah dengan perusahaan perkebunan bernama PUSKOPAD.
Walau merupakan hasil perjuangan rakyat, namun kurang lebih 590 Ha tanah
sudah dikuasai oleh rakyat dan dilanjutkan dengan proses sertifikasi dibantu
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Asahan. Namun sayangnya kebijakan
tersebut tidak banyak diketahui oleh rakyat dan belum menyentuh persoalan
terbesar yang saat ini terjadi, yakni tanah-tanah sengketa antara masyarakat
dengan perusahaan perkebunan.

Sebelum rencana tersebut dijalankan secara luas, kini pemerintah sudah


berencana akan mengeluarkan kebijakan baru tentang Undang-Undang
Penanaman Modal, Undang-Undang ketenagakerjaan dan Undang-Undang
perpajakan. Ketiga undang-undang tersebut dilatarbelakangi oleh usaha perbaikan
investasi sehingga menjadikan Indonesia sebagai surga bagi investor. Upaya-upaya
tersebut semakin kuat ketika salah satu komoditi perkebunan, yakni kelapa sawit
mengalami lonjakan yang luarbiasa karena menjadi bahan utama bahan bakar
nabati maupun produk-produk lanjutan kelapa sawit.

Saat ini malah hampir seluruh pihak sudah gonjang ganjing tentang besarnya
keuntungan yang diperoleh negara dan pemodal untuk pembangunan
perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Semua orang mulai memprediksi
besaran pendapatan dan pertumbuhan ekonomi yang didapat jika pemerintah
membuka lebar-lebar investasi perkebunan kelapa sawit. Menurut pemerintah,
pertumbuhan kelapa sawit Indonesia tahun 2010 akan mencapai 18 juta ton
pertahun, sehingga untuk mencapai target tersebut maka harus ada perluasan
lahan perkebunan 10 sampai 20% di tiap-tiap daerah, antara lain di Sumatera
Utara, Jambi, Riau, Papua, kepulauan Riau, Kalimantan dan Sulawesi.

Rencana tersebut nampaknya sangat serius dijalankan pemerintah. Sebagai


buktinya, mulai tahun 2006 pemerintah jor joran memunculkan program

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 21


revitalisasi perkebunan dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang
mendukung program tersebut, antara lain:

1. Peraturan Menteri Pertanian No.33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang


Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.

2. Keputusan Menteri Pertanian No. 490/Kpts/OT. 160/8/2006 tentang


Pembentukan Tim Koordinasi Pelaksanaan Program Revitalisasi Perkebunan.

3. Peraturan Menteri Keuangan No. 117/PMK.06/2006 tentang Kredit


Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.

4. Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan No. 03/Kpts/RC.110/1/07 tentang


Satuan Biaya Pembangunan Kebun Peserta Program Revitalisasi Perkebunan
Tahun 2006/2007.

Selain mengeluarkan kebijakan-kebijakan teknis tersebut, pemerintah juga


sudah mencoba mengutak-atik kebijakan yang lebih umum, salah satunya adalah
Undang-Undang Penanaman Modal. Walaupun mulai tahun 1998 sudah
diperbincangkan, kebijakan memperpanjang HGU, dari yang saat ini hanya 25
sampai 30 tahun, menjadi 60 tahun dan dapat diperpanjang 45 tahun. Tentu saja
rencana ini langsung mendapat penolakan dari kalangan lembaga swadaya
masyarakat yang melihat kebijakan tersebut sangat sarat dengan kepentingan modal
yang berusa melindungi kepentingan mereka akan investasi di Indonesia.

Bukan hanya berencana akan memperpanjang masa kontrak HGU, pemerintah


juga mengeluarkan beberapa jurus agar revitalisasi perkebunan dijalankan.
Pemerintah sekarang membuka lebar-lebar lembaga-lembaga keuangan internasional,
Bank Swasta nasional dan internasional yang berminat membiayai investor
perkebunan. Alhasil, puluhan perbankan internasional dan nasional pun mulai
menyatakan minatnya, seperti Bank BRI yang akan menyalurkan kredit Rp. 12
triliun, Bank Mandiri RP. 11 Triliun, Bank Bukopin Rp. 1 triliun, dan bank-bank
pembangun daerah lain.

Pemerintah benar-benar sangat total dalam mengembangkan perkebunan, selain


mengeluarkan payung hukum melindungi dan memfasilitasi pengembangan
perkebunan, membuka lebar kepada pihak perbankan yang akan membiayai
revitalisasi perkebunan, pemerintah juga berencana akan memperpanjang waktu HGU
hingga menjadi 100 tahun lebih dengan alasan menciptakan keamanan investasi bagi
seluruh penanam modal di bidang perkebunan. Untuk mengimbangi hal tersebut,
pemerintah juga menggulirkan beberapa program yang terkesan populis, yakni
melakukan pensertifikasian tanah kepada rakyat dengan berbagai sumber

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 22


pembiayaan, melakukan redistribusi tanah, dan mengoptimalisasikan peran-peran
pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional dalam membangun ketertiban
penguasaan dan pengelolahan tanah.

Sayangnya kebijakan penciptaan investasi perkebunan dan penciptaaan keadilan


sistem penguasaan dan pengelolaan tanah tersebut saling kontradiktif satu sama lain.
Padahal, tanpa program redistribusi tanah, pemerintah sebenarnya punya banyak
pekerjaan rumah yang belum diselesaikan, yakni penyelesaian tanah sengketa tanah
rakyat dengan pihak perkebunan yang sudah berlangsung puluhan tahun tanpa ada
kejelasan. Tentu saja kebijakan ini malah menimbulkan polemik baru yang lebih
besar tanpa memberi kejelasan tentang kasus-kasus sengketa yang dihadapi rakyat.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 23


IV. Situasi Umum Pertanahan di Kab. Asahan dan Labuhan Batu

4.1. Gambaran
Gambaran Umum Wilayah

Dua wilayah Kabupten di Sumatera Utara yang dari sisi sejarah maupun
sampai saat ini menjadi sentra perkembangan perkebunan adalah Kabupaten
Asahan (yang sekarang dipecah menjadi dua, yakni Kabupaten Asahan dan
Kabupaten Batubara) dan Kabupaten Labuhan Batu. Berdasarkan catatan sejarah,
dua kabupaten tersebut termasuk kawasan cuulturgebeid atau wilayah sabuk
perkembangan industri perkebunan Belanda, selain Kabupaten Deli Serdang dan
Serdang Bedagei. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan
perkebunan peninggalan Belanda yang saat ini menjadi perusahaan perkebunan
milik negara (PTPN II, PTPN III dan PTPN IV) maupun perusahaan asing milik
eropa dan Amerika Serikat yang diantaranya diwakili oleh PT Socfindo, PT
London Sumatera, PT Bakrie Sumatera Plantation, dan sebagainya.

Kini Ada ratusan perusahaan perkebunan di dua Kabupaten tersebut.


Menurut rekapitulasi sementara, di Kabupaten Asahan saja saat ini terdapat
kurang lebih 100 perkebunan diluar perkebunan milik rakyat dan milik pribadi.
Rata-rata perusahaan tersebut adalah perkebunan kelapa sawit dan karet dengan
luas lahan antara 500 sampai dengan 20.000 Ha. Belum lagi di Kabupaten Labuhan
Batu yang juga merupakan salah satu kawasan potensial pengembangan
perkebunan.

Secara geografis, wilayah Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu umumnya


bertopografi dataran, sedikit berbukit dan hanya sebahagian kecil yang
bertopografi perbukitan dan pergunungan. Hampir sama dengan Kabupaten
Labuhan Batu, letak dataran di Kabupaten Asahan sebahagian besar berada di
antara 0 sampai dengan 100 meter di atas permukaan laut, dan hanya sedikit,
yakni di sekitar bagian barat yang berada 100 meter di atas permukaan laut,
sehingga kawasan ini memang cukup memungkinkan untuk menjadi kawasan
perkebunan sehingga tidak membutuhkan biaya yang besar berinvestasi di bidang
pertanian monokultur.

Demikian juga dari sisi klimatologi. Curah hujan di dua kabupaten tersebut
rata-rata 100 sampai dengan 120 hari dalam satu tahun atau 1500 sampai 1800 mm
per tahun. Berdasarkan data tersebut, maka Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 24


cenderung daerah dengan curah hujan normal, dan dalam sejarah memang tidak
pernah mengalami musim kering berkepanjangan, malah di kawasan sekitar
pesisir menjadi wilayah langganan banjir. Disebabkan berbatasan dengan daerah
tanggapan air (catchment area) Danau Toba di sebelah barat, maka dua Kabupaten
ini mendapat keuntungan, karena dialiri oleh beberapa sungai besar, antara lain
sungai Barumun, Sungai Bilah, Sungai Merbau di Labuhan Batu, Sungai Asahan,
Sungai Silau dan sungai-sungai kecil lain di Asahan.

Topografi yang sebahagian besar dataran rendah namun berbatasan dengan


daerah perbukitan dan pergunungan di sebelah barat yang dekat dengan daerah
tangkapan air Danau Toba menjadikan dua kabupaten ini memiliki beberapa
daerah aliran sungai besar yang diidentifikasi menjadi penentu kesuburan tanah,
yakni Daerah Aliran Sungai (DAS) Silau, DAS Asahan, DAS Kualuh, DAS Bilah
dan DAS Barumun, sehingga kehancuran dua Kabupaten ini ditentukan oleh
kerusakan sungai-sungai dan hutan yang berada di atas DAS tersebut.

Di sebelah timur dua kabupaten tersebut dikenal sebagai kawasan dataran


rendah yang kaya akan keanekaragaman hayati dan secara ekologis merupakan
daerah serapan air, seperti hutan mangrove, rawa pasang surut, dan gambut.
Walaupun bukan merupakan kawasan dengan luas hutan mangrove dan gambut
terbesar di Sumatera Utara, namun di dua kabupaten tersebut fungsi rawa, gambut
dan hutan bakau sangat vital sebagai kawasan penyeimbang di timur sebagai
sumber air utama. Namun saat ini jumlah hutan mangrove dan gambut di dua
kabupten tersebut semakin lama semakin menipis akibat konversi lahan untuk
perkebunan yang berlangsung sangat cepat.

Secara demografis jumlah masing-masing penduduk sudah mencapai satu


juta orang dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 0,58% pertahun dan
tingkat kepadatan penduduk rata-rata 214 orang per kilo meter per segi. Secara
kultural, sebahagian besar penduduk di Kabupaten Asahan Adalah etnis Jawa,
disusul suku Batak, Melayu dan lainnya, sedangkan di Kabupaten Labuhan Batu
komposisinya lebih merata, karena daerah Labuhan Batu tergolong kawasan yang
perkembangannya kemudian setelah Kabupaten Asahan, sehingga tingkat migrasi
masuk yang cukup besar.

Berdasarkan agama, mayoritas di dua kabupaten tersebut adalah agama islam


mencapai lebih dari 75%, sedangkan sisanya adalah Protestan, Budha, Hindu dan

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 25


lainnya. Namun jika diteliti berdasarkan data lapangan, dari sejarah proses migrasi
masuk ke dua kabupeten tersebut terbentuk satu pola permukiman yang
cenderung berkelompok berdasarkan etnis dan agama kecuali di permukiman
perkebunan. Di dataran tinggi, yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten
Simalungun, Toba Samosir dan Tapanuli Utara yang berbatasan secara langsung
dengan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu, penduduknya sebahagian besar
beragama Kristen dan Batak, sedangkan yang tinggal di kawasan timur, khususnya
dataran rendah dan pesisir adalah Melayu dan etnis lain yang beragama Islam.

Penggunaan lahan di dua kabupaten tersebut sebahagian besar adalah untuk


perkebunan monokultur, sedangkan untuk perkebunan campuran, sawah irigasi
teknis dan non irigasi, permukiman, hutan, padang/semak/belukar, perairan darat,
tanah kering/tegalan dan sebagainya masing-masing jauh di bawah peruntukan
perkebunan. Seperti di Kabupaten Asahan. Untuk perkebunan monokultur
penggunaan lahan paling besar adalah untuk perkebunan monokultur yakni
sebesar lebih dari 30% sedangkan tanah tegalan atau tanah kering hanya 3% dari
total penggunaan lahan.

Kondisi di Kabupaten Labuhan Batu juga tidak jauh berbeda dengan di


Kabupaten Asahan. Malah di Kabupaten Labuhan Batu potensi konversi hutan,
rawa, tanah kering, lahan gambut dan sebagainya untuk perkebunan monokultur
masih lebih besar, sehingga persentase penggunaan lahan untuk perkebunan akan
semakin besar. Kecenderungan seperti inilah yang dikhawatirkan akan semakin
merusak sistem ekologis dua kabupaten tersebut. Apalagi pada saat ini beberapa
program pemerintah tentang revitalisasi perkebunan semakin gencar dilakukan
sehingga akan semakin mengancam keberadaan hutan dan penggunaan lahan
untuk pertanian, keberadaan lahan gambut, rawa dan sebagainya.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 26


4.2. Sengketa Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran secara
umum tentang sengketa pertanahan di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Dua
kabupaten ini dipilih dengan beberapa pertimbangan, diantaranya; di dua
kabupaten tersebut selama ini dikenal sebagai wilayah dengan tingkat sengketa
pertanahan yang cukup tinggi, minimnya proses penyelesaian sengketa
pertanahan yang berlangsung di tempat tersebut, dinamika perjuangan rakyat
yang tinggi, banyaknya perusahaan-perusahaan perkebunan dan sejarah konflik
yang panjang karena terkait dengan masa kolonialisme dan seluruh pergantian
rejim politik yang pernah terjadi.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebutlah kemudian sengketa pertanahan


di dua kabupaten tersebut menjadi salah satu fokus dalam penelitian ini.

4.2.1.
4.2.1. Gambaran Umum Konflik Pertanahan

Berdasarkan dari hasil rekapitulasi berbagai sumber, baik dari DPRD


Kabupaten dan beberapa kelompok perlawanan, di Kabupaten Asahan saja pada
saat ini terdapat lebih dari 136 kasus pertanahan dengan luas tanah sengketa lebih
dari 30.000 hektar, melibatkan lebih dari 30.000 kepala keluarga atau sekitar
100.000 orang dan terjadi di seluruh Kecamatan di Kabupaten Asahan. Jumlah
kasus tersebut hanyalah sengketa pertanahan yang pernah tercatat di Dewan
Perwakilan Daerah Kabupaten Asahan, ataupun yang pernah diadukan oleh
masyarakat ke dewan legislatif maupun pemerintah Kabupaten Asahan.

Sayangnya tidak seluruh 136 kasus tersebut yang tercatat, hanya 123 kasus
yang dapat diidentifikasi. Demikian juga dengan di Kabupaten Labuhan Batu.
Menurut catatan, di Kabupaten Labuhan Batu pada tahun 2000 terdapat konflik
lahan sebanyak 100 sengketa pertanahan, namun dari jumlah kasus sengketa
pertanahan tersebut, hanya sebahagian kecil yang muncul ke permukaan karena
adanya proses penguatan dan publikasi dari organisasi non pemerintah, sedangkan
kasus lainnya tanpa proses sama sekali.

Berdasarkan identifikasi langsung di lapangan ditambah dengan data-data


yang diperoleh dari kelompok-kelompok petani, secara riil pada saat penelitian
dilakukan telah diperoleh angka 122 kasus. Sengketa pertanahan terjadi di 16

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 27


Kecamatan dari 19 Kecamatan di Kabupaten Asahan, yakni: Kecamatan Bandar
Pulo, Kecamatan Buntu pane, Kecamatan Sei Kepayang, Kecamatan Bandar Pasir
Mandoge, Kecamatan Sei Suka, Kecamatan Air Putih, Kecamatan Simpang Empat,
Kecamatan Air Joman, Kecamatan Limapuluh, Kecamatan Medang Deras,
Kecamatan Aek Kuasan, Kecamatan Pulau Rakyat, Kecamatan Meranti,
Kecamatan Sei Balei, Kecamatan Tanjung Tiram, dan Kecamatan Air Batu.
Sedangkan Kecamatan Kisaran Timur, Kecamatan Kisaran Barat, Kecamatan
Tanjung Balai dan Kecamatan Talawi belum diperoleh informasi.

Boleh dikatakan data yang diperoleh dari proses penelitian lapangan cukup
menjadi dasar bahwasannya kompleksitas persoalan pertanahan di Kabupaten
Asahan maupun Labuhan Batu cukup tinggi dan melibatkan pihak-pihak yang
selama ini punya peran besar menghancurkan ekonomi rakyat. Dari proses analisis
data, kecamatan dimana sengketa paling banyak adalah di Kecamatan Bandar Pasir
Mandoge, yakni untuk sementara mencapai 22 kasus, kemudian di Kecamatan
Bandar Pulo sebanyak 15 kasus dan di Kecamatan Buntu Pane sebanyak 14 kasus.
Berikut data jumlah kasus sengketa tanah berdasarkan kecamatan.

Jumlah Kasus Berdasarkan Kabupaten Asahan

Kecamatan Jumlah Kasus


Kec. Aek Kuasan 4
Kec. Air Batu 7
Kec. Air Joman 3
Kec. Air Putih 4
Kec. B.P.Mandoge 22
Kec. Bandar Pulo 15
Kec. Buntu Pane 14
Kec. Limapuluh 8
Kec. Medang Deras 1
Kec. Meranti 3
Kec. Pulau Rakyat 8
Kec. Sei Balei 3
Kec. Sei Kepayang 5
Kec. Sei Suka 2
Kec. Simpang Empat 8
Kec. Tanjung Tiram 1
Blm teridentifikasi 15
Total 123

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 28


Berdasarkan data di atas kita bisa menyimpulkan beberapa hal. Pertama, kasus
pertanahan paling banyak memang terjadi di kecamatan yang secara geografis
paling luas di Kabupaten Asahan, seperti Kecamatan Bandar Pasir Mandoge,
Kecamatan Bandar Pulo, dan Kecamatan Buntu Pane. Kecamatan Bandar Pulo
sendiri adalah Kecamatan yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten
Labuhan Batu, sedangkan Kecamatan Buntu Pane berbatasan dengan Kabupaten
Simalungun, sedangkan Kecamatan Bandar Pasir Mandoge berbatasan dengan
Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Tapanuli Utara.

Kesimpulan kedua adalah tentang karakteristik wilayah beberapa kecamatan


dimana jumlah konflik sangat tinggi. Kecamatan Bandar Pulo, Bandar Pasir
Mandoge, Buntu Pane, Pulau Rakyat dan beberapa Kecamatan lainnya adalah
wilayah kecamatan dengan jumlah perusahaan perkebunan yang cukup banyak
dan jauh dari Kota Kabupaten. Sebagai contoh adalah Kecamatan Bandar Pasir
Mandoge dan Bandar Pulo yang berjarak lebih dari 40 km dari Kota Kisaran, dan
yang ketiga adalah, bahwasannya wilayah konflik tertinggi adalah Kecamatan
yang bukan daerah pesisir seperti Kecamatan Tanjung Tiram, Kecamatan Medang
Deras, Kecamatan Air Joman dan Kecamatan Tanjung Balai yang wilayahnya
berbatasan secara langsung dengan selat Malaka.

Saat penelitian dilakukan memang data secara detail tentang jumlah


perkebunan di Kabupaten Asahan belum dapat diperoleh. Namun di Kabupaten
Asahan jumlah perusahaan perkebunan didominasi oleh perkebunan swasta
Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN). Rata-rata perusahaan perkebunan PMDN
bukanlah perusahaan-perusahaan yang telah lama berdiri, karena sebahagian
besar berdiri pada tahun 1970-an. Walaupun begitu ada juga beberapa PMDN
yang memiliki sejarah panjang karena asal usul perusahaan adalah milik
perusahaan-perusahaan asing milik eropa dan Amerika Serikat, seperti PT Bakrie
Sumatera Plantation yang sebelumnya adalah perusahaan milik Amerika Serikat.

Berdasarkan karakteristik jenis perusahaan perkebunan, konflik pertanahan


yang terjadi di Asahan adalah perusahaan perkebunan Penanam Modal Dalam
Negeri atau swasta dalam negeri. Menurut data sementara, dari 122 kasus yang
terjadi di Asahan, ada 82 sengketa yang terjadi antara masyarakat, terutama petani
dengan Perusahaan Perkebunan PMDN, sedangkan kasus yang dihadapi oleh
Penanam Modal Asing (PMA) sebanyak 9 kasus. Berikut data lengkap tentang
kasus sengketa pertanahan berdasarkan jenis kepemilikan lahan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 29


Jenis Kepemilikan Jumlah %
PMDN 83 67,3
Individu 13 10.7
BUMN 12 9.8
PMA 9 7,4
Yayasan 3 2,5
Perusahaan Pemda 3 2,5
Total 123 100

Jelas berdasarkan data tersebut, sengketa tanah paling banyak berlangsung di


perusahaan Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN), yakni 67% dari total
sengketa yang terjadi di Kabupaten Asahan. Tentu saja data ini belum termasuk
potensi sengketa yang selama ini masih terpendam akibat ketidakberanian
ataupun ketiadaan pengetahuan masyarakat terhadap alas hak yang dimiliki
perusahaan maupu hak sah yang dipunyai masyarakat. Demikian juga dengan
sengketa tanah yang terjadi pada kepemilikan tanah individu, BUMN, Penanam
Modal Asing (PMA), yayasan maupun perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah
daerah, khususnya propinsi.

Tingginya jumlah sengketa di tiap-tiap perusahaan tersebut ternyata juga


tidak tergantung pada banyaknya kebun atau estate masing-masing perusahaan.
Salah satu contoh adalah PT Sari Persada Raya (PT SPR) yang berlokasi di
Kecamatan Bandar Pasir Mandoge dan PT Asian Agri yang merupakan salah satu
anak perusahaan bidang perkebunan milik Raja Garuda Mas (RGM. Walaupun PT
SPR hanya memiliki satu estate, namun sengketa tanah yang dihadapi oleh
perusahaan tersebut ada 11 kasus, sedangkan di PT Socfindo yang memiliki 8
estate di Kabupaten Asahan terjadi lebih sedikit yakni sebanyak 8 kasus. Data ini
tentunya tidak menggambarkan bahwasannya potensi konflik di PT Socfindo
lebih rendah, karena kemungkinan-kemungkinan terungkapnya sengketa tanah
sangat besar kemungkinan terjadi.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 30


Jumlah Kasus Sengketa Tanah Berdasarkan Perusahaan
Perusahaan

Nama Perusahaan Jumlah Kasus


PT Asian Agri 18
PT BSP 6
PT EMHA 1
PT Inti Palm Sumatera 1
PT JBP 1
PT Karetia dan PT Sijabut 1
PT Kwala Gunung 1
PT Lonsum 2
PT Padasa Enam Utama 10
PT Paduan Karya 2
PT PSU 3
PT Sijabut 1
PT Socfindo 8
PT SPR 11
PT Tinggi Raja 1
PTPN III 5
PTPN IV 7
PUSKOPAD 4

Satu hal yang menjadi catatan adalah bahwasannya sengketa yang terjadi di
PT SPR memiliki karakteristik tersendiri sehingga jumlah sengketa yang terjadi
sangat tinggi. Wilayah HGU dan kelebihan HGU PT SPR selama ini telah
mengambil lahan Hutan Lindung Tormatutung yang termasuk register 1/A seluas
1300 Ha. Sementara di sekitar kawasan hutan lindung tersebut juga berdiam
banyak komunitas-komunitas setempat yang sudah lama mendiami dan membuka
lahan untuk pertanian. Berdasarkan realitas tersebut, maka PT SPR melanggar dua
hal, pertama melakukan perambahan terhadap hutan yang dilindungi negara dan
juga melanggar hak-hak komunitas lokal yang hidup lama berdampingan dengan
tanah dan hutan.

Sebahagian besar kasus sengketa tanah yang terjadi di Asahan maupun di


Kabupaten Labuhan Batu adalah kasus-kasus perampasan tanah miliki rakyat yang
telah dikelola sejak periode tahun 1942 sampai tahun 1965. Kasus-kasus sengketa

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 31


periode ini sarat dengan muatan politis, karena kebanyakan petani adalah berasal
dari organisasi massa dan politik terideologis yang kemudian mendapat intimidasi
jika tidak bersedia menyerahkan tanahnya kepada pemerintah dan perusahaan.
Tipe sengketa kedua adalah yang terjadi di atas tahun 1965 ke atas hingga saat ini.
Pada periode ini, ada dua jenis akar konflik yang terjadi, yakni terkait dengan
perampasan tanah rakyat yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah,
pendudukan tanah terlantar di luar HGU perusahaan, manipulasi tanah PIR yang
kemudian dikuasai oleh pejabat-pejabat dan perusahaan, penguasaan tanah ulayat,
dan perambahan hutan.

Persoalan tanah di Asahan dan Labuhan Batu juga tidak selalu terkait dengan
perusahaan perkebunan swasta dan milik negara, sengketa masyarakat dengan
individu, pihak yayasan dan koperasi juga tidak sedikit jumlahnya. Bahkan di
banyak tempat, penguasaan perkebunan milik pribadi juga mulai banyak muncul
ke permukaan. Di Asahan dan Labuhan Batu, usaha keluarga atau pribadi yang
tidak memiliki HGU bisa memiliki tanah lebih dari 10 Ha, bahkan ada yang
mencapai 500 Ha sampai dengan 1000 Ha, seperti terjadi di Kecamatan Aek Loba
dan Bandar Pulau. Namun sengketa antara masyarakat dengan tanah milik pribadi
tersebut masih belum banyak terjadi, karena sebahagian besar tanah pribadi
tersebut dibeli secara sah, walaupun sebenarya sudah menyalahi Undang-Undang
Pokok Agraria yang tidak memperbolehkan kepemilikan pribadi lebih dari 2 Ha.

Keterlibatan pejabat-pejabat dalam sengketa tanah juga cukup banyak. Di


beberapa tempat, kalangan mantan pejabat, pejabat yang masih aktif dari
Departemen Perhubungan, Kantor Pemda, Kepolisian dan lainnya juga berperan
dalam sengketa lahan. Di Kecamatan Bandar Pulau, beberapa pejabat dan mantan
pejabat ada yang membeli tanah dengan harga murah dari perusahaan perkebunan
yang sebelumnya telah bersengketa dengan rakyat. Di Bandar Pasir Mandoge,
malah dua perusahaan, yakni PT BSP dan PT JBP, para pejabat malah menjadi
anggota petani yang ikut dalam pola PIR, padalah sebelumnya tanah tersebut
dimiliki oleh rakyat yang kemudian dibeli oleh para pejabat. Tanah yang
sebelumnya menjadi bagian program PIR kemudian dikuasai perusahaan dan
kondisi terakhir menjadi bagian HGU perusahaan perkebunan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 32


4.2.2.
4.2.2. Akar Konflik Pertanahan

Secara umum akar sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Asahan dan
juga Labuhan Batu terbagi atas beberapa jenis, yakni:

1. Perampasan oleh perusahaan terhadap tanah penampungan masyarakat


2. Pengambilalihan tanah rakyat di luar HGU perusahaan
3. Perampasan tanah milik syah masyarakat
4. Penyelewengan pengukuran pada saat awal memperoleh HGU
5. Penggarapan lahan tidur bukan HGU perusahaan oleh masyarakat
6. Perambahan hutan lindung untuk perkebunan
7. Penolakan pembukaan perkebunan oleh masyarakat
8. Pengambilalihan lahan PIR milik masyarakat oleh perusahaan
9. Manipulasi perluasan HGU pada saat perpanjangan atau sebelum perijinan
baru
10. Pengambilalihan tanah milik komunitas ulayat
11. Penyalahgunaan perjanjian penggunaan tanah untuk perkebunan milik
masyarakat oleh perusahaan perkebunan

Sengketa tanah yang terjadi di Propinsi Sumatera Utara, khususnya wilayah


sabuk industri perkebunan jaman Belanda, seperti Kota Medan, Kabupaten Deli
Serdang, Kabupaten Asahan, sebahagian Simalungun, Serdang Bedagai dan
Labuhan Batu sebahagian besar adalah sengketa warisan jaman kolonial,
pendudukan Jepang dan orde kepemimpinan Soekarno. Akar konflik type seperti
ini tergolong yang paling rumit sekaligus sulit mencapai titik temu antara
perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Salah satu contohnya adalah yang terjadi
antara Kelompok Tani Penampungan Desa Sengon Sari Kecamatan Aek Kuasan
dengan PT Socfindo Aek Loba.
Sejak tahun 1947 sekitar 250 masyarakat sudah melakukan penggarapan
tanah terlantar di dusun Aek Nagaga A dan B di Kecamatan Bandar Pulo sampai
tahun 1962. Kemudian pada tahun 1962 Kepala Desa Aek Nagaga
memberitahukan kepada seluruh petani penggarap bahwasannya pihak
perusahaan, yakni Harison (sekarang PT PP London Sumatera Gunung Melayu)
akan mengambilalih seluruh lahan yang digarap oleh petani, baik yang berada di
Desa Aek Nagaga Afdeling I dan Afdeling II. Pada saat itu masyarakat menolak
karena sudah lama mengusahakan lahan yang mereka buka. Pada masa
kepemimpinan Soekarno memang ada sebuah peraturan, bahwasannya

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 33


perusahaan asing yang kembali mengelola perkebunan tidak boleh melanggar
hak-hak petani penggarap yang sudah mengelola tanah yang ditinggalkan oleh
pihak perkebunan maupun tanah yang memang baru dibuka oleh masyarakat.
Berdasarkan aturan tersebutlah kemudian dilakukan musyawarah antara petani
penggarap, pemerintah maupun pihak perusahaan. Dikarenakan tidak adanya
kesepakatan, kemudian kasus diajukan ke Panitia pertimbangan Landreform di
Kabupaten Asahan, yang dilakukan pada saat itu di Kota Tanjung Balai.

Proses yang dijalani melalui panitia landreform akhirnya menghasilkan


beberapa kesimpulan, antara lain; pengembalian tanah yang dikuasai oleh
masyarakat petani kepada pihak perkebunan, yakni PT PP London Sumatera
Kebun Gunung Melayu; petani diberikan tanah pengganti, dimana sebanyak 250
kepala keluarga mendapatkan masing-masing 2 hektar, sehingga total tanah yang
diberikan sebagai tanah pengganti adalah 500 Ha. Lokasi tanah pengganti pada
saat itu adalah di Desa Batu Ampat Sengon Sari; Ganti rugi tanaman milik
masyarakat oleh perkebunan, biaya pindah ditanggung oleh pihak perusahaan.

Ternyata kesepakatan tersebut tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan


perkebunan. Dari 250 kepala keluarga yang dijanjikan mendapatkan lahan
pengganti, ternyata hanya 65 kepala keluarga yang mendapatkan, itu pun hanya 1
Ha per keluarga, sehingga total tanah pengganti yang dimukimi petani hanya 65
Ha, semenetara 435 Ha lagi belum direalisasikan. Kondisi ternyata semakin rumit
ketika pada tahun 1965 terjadi gejolak politik, dan sebahagian besar petani
penggarap pada saat itu menjadi anggota sebuah organisasi petani (Barisan Tani
Indonesia) yang pada saat itu dikategorikan sebagai organisasi terlarang.
Akibatnya banyak petani yang kemudian ditangkap oleh pemerintah berkuasa.
Akibat gejolak politik tersebut dan intimidasi yang dilakukan rejim Soeharto,
kemudian tindak lanjut dari pemberian lahan pengganti pun tidak dilakukan.
Malah pada tahun 1967 PT Socfindo kemudian menduduki dan mengelola tanah
pengganti di Desa Batu Ampat Sengon Sari, sehingga 435 Ha yang dijanjikan PT
PP Lonsum Gunung Melayu pun beralih ke PT Socfindo.

Kondisi yang hampir bersamaan juga terjadi di Desa Aek Korsik, Kecamatan
Aek Kuasan Kabupaten Asahan. Pada tahun 1950-an masyarakat sudah mulai
membuka lahan di Desa Aek Korsik dengan jumlah lahan kurang lebih 390 Ha.
Dikarenakan sudah lama mengusahai lahan cukup lama, pada tahun 1971

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 34


Gubernur Sumatera Utara melakukan proyek landreform dengan memberikan
surat Hak Milik kepada masyarakat dengan nomor SK. 78/HM/LR/1971 pada
tanggal 21 Agustus 1971 sebanyak 347 persil tanah. Tentu saja pada saat itu
masyarakat cukup senang dengan adanya surat tersebut. Namun antara tahun
1972 sampai 1973 masuklah PT Socfindo yang kemudian melakukan perusakan
tanaman masyarakat dan membuat batas-batas tanah yang di klaim sebagai HGU
perusahaan.

Selama beberapa tahun kemudian masyarakat melakukan perjuangan, antara


lain mengadukan penyerobotan tanah tersebut kepada Camat dan Bupati Asahan
pada tahun 1973 dan 1984 dan 1998, namun sama sekali tidak mendapat
tanggapan. Barulah pada tahun 2000, 2003 dan 2005 pemerintah memberi
tanggapan kepada masyarakat dengan melakukan pembuktian di kedua belah
pihak, bahkan pada tahun 1998 menurut masyarakat, lahan yang dituntut untuk
dikembalikan sudah dikeluarkan dari HGU PT Socfindo Kebun Aek Loba. Pada
saat itulah kemudian dilakukan peninjauan lapangan yang dilakukan oleh pihak
pemerintah Propinsi Sumatera Utara, BPPN Sumatera Utara, Pemkab Asahan,
BPN Kabupaten Asahan dan Camat Aek Kuasan.

Selama beberapa tahun perjuangan berlangsung sama sekali tidak


membuahkan hasil. Pada tahun 2006 masyarakat di Aek Korsik bergabung dengan
Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR) hingga pada saat ini. Langkah terakhir
yang dilakukan adalah telah dilakukan beberapa kali perundingan dengan pihak
perusahaan yang ditengahi Pemda Kabupaten Asahan dan Kanwil BPN Propinsi
Sumatera Utara. Beberapa kemungkinan pun sudah mulai dijajaki, antara lain
adanya ganti rugi dari perusahaan terhadap 390 Ha tanah masyarakat.

Apa yang terjadi di Aek Korsik hampir bersamaan dengan yang terjadi di
Desa Persiapan Batu Anam, yang dahulu bernama kampung Wonorejo, Desa
Rahuning Kecamatan Bandar Pulo. Kasus ini dikatakan hampir bersamaan
jenisnya dengan yang terjadi di Desa Aek Korsik Kecamata Aek Kuasan. Pada
tahun 1969 kurang lebih 150 masyarakat di Kampung Wonorejo mengelola tanah
negara seluas kurang lebih 350 Ha karena tanah tersebut telah diterlantarkan atau
tidak dikuasai oleh pihak manapun. Sebelumnya tanah tersebut adalah bekas
kawasan pengambilan kayu atau balok yang dilakukan oleh PT Senwat. Kemudian
seorang penduduk bernama Wakijo pada tahun 1971 ditunjuk oleh Pemda Asahan
untuk mengatur pembagian tanah kepada masyarakat dengan dengan luas

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 35


maksimal 2 Ha per kepala keluarga, sehingga total tanah seluas 350 Ha. Kemudian
masyarakat mengelola tanah tersebut dengan tanaman-tanaman tertentu.
Dikarenakan sudah dikelola masyarakat, maka masyarakat dikenakan pajak dan
dilanjutkan dengan proses pengurusan sertifikat BPN.

Rencana pensertifikatan tersebut kemudian berjalan dengan didahului oleh


pengukuran terhadap 6 orang penduduk dan membuat patok-patok batas pada 350
Ha tanah milik masyarakat. Dengan dasar-dasar pembayaran pajak tersebut, maka
proses pengukuran pun dilakukan yang dilanjutkan dengan proses peresmian yang
dihadiri oleh Bupati Asahan dan pejabat-pejabat pemerintah pada tahun 1974.
Proses pengukuran dan pensertikatan pada saat itu hanya dilakukan pada 6 kepala
keluarga, karena pada saat itu tidak semua masyarakat mampu membayar biaya
sertifikat.

Tidak beberapa lama setelah dilakukan pengukuran dan pembuatan batas-


batas tanah, kemudian masuklah sebuah perusahaan bernama PT Balai Asahan.
Pada saat itu perusahaan membuang dan memindahkan patok-patok batas yang
sebelumnya telah dibuat oleh pihak pemerintah dan BPN Kabupaten Asahan.
Pada saat itu masyarakat sudah menuntut perampasan tanah yang dilakukan
perusahaan, namun tetap saja pada saat itu intimidasi dan tuduhan PKI terhadap
masyarakat yang memprotes perusahaan telah melemahkan perjuangan
masyarakat. Perkebunan saat ini sudah tidak dikelola oleh PT Balai Asahan lagi,
namun sudah dikuasai oleh PT Asian Agri Kebun Gunung Melayu. Namun
sebelumnya selama beberapa tahun perkebunan sempat dikuasai oleh PT
MILANO dengan tetap menguasai 350 Ha tanah milik masyarakat.

Kondisi yang hampir bersamaan juga terjadi pada kelompok perjuangan


tanah, yakni kelompok Tani Kelapa Gading di Desa Aek Bange, Kecamatan Aek
Kuasan Kabupaten Asahan. Lokasi sengketa letaknya tidak begitu jauh dengan
kelompok Maju Lestari di Desa Aek Korsik di Kecamatan Aek Kuasan. Pada
awalnya tanah yang pada saat ini dikuasai oleh PT Socfindo Aek Loba adalah
tanah yang dikelola masyarakat sejak tahun 1950. Setelah 8 tahun dikelola oleh
masyarakat, terjadi pemekaran wilayah desa, sehingga dari yang sebelumnya
masuk Desa Aek bange Ledong Barat, menjadi dua Desa, yakni Desa Aek Bange
dan Desa Ledong Barat. Pada tahun 1967 kemudian pemerintah membuat sebuah
proyek tanaman karet seluas 25 Ha, bahkan pada tahun 1969 pemerintah
memberikan bantuan kepada masyarakat untuk mengembangkan proyek tersebut

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 36


sebesar Rp. 100.000,-. Tidak lama setelah itu, yakni pada tahun 1971 masuklah
perkebunan PT Socfindo Kebun Aek Loba yang membuat batas-batas dalam
bentuk kanal-kanal atau parit di tanah masyarakat. Pada tahun 1972 dilakukan
ganti rugi sebesar RP. 10.000,- per hektar, dan bagi yang menolak akan dituduh
sebagai orang-orang PKI.

Total tanah yang diganti rugi pada saat itu adalah 166 Ha, sedangkan lahan
milik masyarakat yang dikuasai oleh PT Socfindo adalah 366 Ha, sehingga masih
ada 200 Ha yang belum diganti rugi. Pada saat itu pihak perkebunan menyatakan
akan melanjutkan proses ganti rugi kepada masyarakat, namun sebelumnya
menitipkan uang persekot sebesar Rp. 1.660.000,- kepada kepala Desa. Ketika
Kepala Desa Aek Bange diganti, ternyata proses ganti rugi tidak dilaksanakan oleh
perkebunan. Sampai saat ini tanah masih dikuasai oleh perkebunan tanpa ada
kejelasan penyelesaian, baik ganti rugi maupun pengembalian tanah. Tuntutan
dari masyarakat saat ini hanyalah meminta ganti rugi kepada pihak PT Socfindo
Kebun Aek Loba, namun tidak jelas proses penyelesaiannya.

Kasus yang berbeda dari sengketa yang telah dijabarkan adalah yang terjadi
di Dusun Pisang Binaya, Desa Pulo Besar, Kecamatan Simpang Empat. Pada
awalnya di tahun 1973 sampai dengan 1974, kurang lebih 20 kepala keluarga
dipindahkan dari Kampung Tangkahan Padang ke Dusun Pisang Binaya, dengan
alasan bahwasannya Kampung Tangkahan Padang rawan banjir karena berada di
sekitar Daerah Aliran Sungai Asahan. Di Dusun Pisang Binaya sudah disediakan
150 rumah yang kemudian disebut dengan perumnas oleh pemerintah. Pada tahun
1975 masuklah PTP VI yang berkantor pusat di Pabatu membuka perkebunan di
Desa Pulo Besar Kampung Tangkahan Padang dan sekitarnya.

Akibat pemindahan, ternyata berdampak negatif kepada masyarakat.


Sebelumnya masyarakat di Tangkahan Padang memiliki tanah. Pemindahan ke
Pisang Binaya ternyata tidak dilanjutkan dengan pemberian dan penggantian
tanah, sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Barulah pada
tahun 1980, Gubernur Sumatara Utara, yakni E.W.P Tambunan memberikan janji
kepada masyarakat, bahwasannya setiap kepala keluarga akan diberi tanah 1
pancang atau 2 Ha tanah. Namun ternyata janji tersebut tidak terealisasi, bahkan
pada saat bersamaan, PTP VI melakukan pengembangan perkebunan, baik di
Tangkahan Padang maupun di sekitar Pulo Besar.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 37


Pengembangan perkebunan PTP VI ternyata tidak berjalan lama, karena
kurang lebih pertengahan tahun 1980-an dijual ke PT Padasa Enam Utama,
termasuk seluruh tanah di Desa Tangkahan Padang. Akibat semakin sulitnya
ekonomi, tidak adanya tanah di sekitar tempat tinggal, maka sebahagian besar
warga pergi membuka, membeli tanah, bahkan menjadi buruh tani di Desa
Padang Mahondang yang lokasinya di seberang Sungai Asahan. Kesulitan tersebut
bermuara pada rencana untuk menguasai sekitar 800 Ha tanah di dalam HGU PT
Padasa Enam Utama yang diterlantarkan. Menurut masyarsakat, tanah yang
sebahagian besar merupakan rawa yang sudah kering tersebut bukan termasuk
HGU PT Padasa Enam Utama sehingga bisa dikelola oleh masyasrakat. Saat
dilaporkan ke pemerintah, keluarlah ijin lisan bahwasannya rakyat boleh
mengelola tanah yang diterlantarkan selama puluhan tahun tersebut. Pada saat
mendatangi Gubernur dan Kepala Kejaksaan Tingi Propinsi Sumatera Utara, ada
janji dari kedua pejabat tersebut, bahwasannya mereka akan turun ke lapangan
untuk membuktikan bahwasannya tanah tersebut sudah dikelola masyarakat,
sehingga nantinya status pengelolaan lahan akan semakin kuat.

Di tengah proses perjuangan, pada tahun 1998 ternyata seorang aktivis di


Asahan meminta sejumlah uang kepada masyarakat yang akan mengelola tanah
sehingga tidak seluruh masyarakat mampu memenuhi permintaan tersebut.
Dikarenakan tidak adanya kekuatan masyarakat, maka PT Padasa Enam Utama
kemudian kembali mencabuti patok yang telah dibuat masyarakat dan sekali lagi
menelantarkan tanah tersebut sampai saat ini.

Barulah pada tahun 2005 masyarakat membentuk kelompok-kelompok,


dengan jumlah keseluruhan sebanyak 375 KK. Selama satu tahun masyarakat
berorganisasi dan menggabungkan diri dengan Front Pembebasan Tanah Rakyat
(FPTR), terjadilah kesepakatan untuk menduduki 800 Ha lahan tidur yang tidak
dikelola perkebunan. Selama 2 bulan seluruh masyarakat yang dikoordinatori
FPTR melakukan pembukaan hutan rawa. Namun baru sekitar 200 Ha yang
dibabat, 1 orang ketua kelompok dan 2 orang pengurus pusat FPTR ditangkap dan
dijatuhi hukuman penjara selama 7 bulan. Sejak itulah perlawanan masyarakat
melemah dan hilang samasekali.

Persoalan pertanahan di Labuhan Batu pada prinsipnya tidak jauh berbeda


dengan yang terjadi di Kabupaten Asahan, yakni terkait dengan keberadaan
perkebunan, baik swasta maupun milik negara yang sebelumnya merupakan hasil

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 38


nasionalisasi dari perusahaan perkebunan milik Belanda. Satu kasus yang memiliki
pola yang hampir bersamaan adalah yang terjadi terhadap masyarakat di Desa
Babussalam Sinar Jadi yang tanahnya dirampas oleh PTPN III Kebun Merbau
Selatan. Akar masalah sengketa juga terjadi pada tahun 1950-an (tepatnya tahun
1958) ketika sekitar 110 Kepala keluarga ditempatkan di Desa Babussalam dalam
program transmigrasi. Masing-masing keluarga mendapat 2 Ha tanah untuk
dikerjakan, namun pada tahun 1968 PTPN III Merbau Selatan yang sebelumnya
merupakan perusahaan perkebunan milik Belanda bernama NV Cultuur Merbau
Zuid melakukan perluasan areal dan mengambil tanah yang sebelumnya sudah
dibuka masyarakat dan mendapat ijin dari pemerintah seluas 250 Ha.

Pola sengketa tanah yang hampir bersamaan dengan yang terjadi di


Kampung Pisang Binaya, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan
bersamaan dengan yang terjadi di Dusun Wonosari Desa Sei Tampang, Kecamatan
Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu. Tanah yang sudah dibuka dan dikelola
masyarakat sejak tahun 1980 kemudian dikuasai oleh PT Cisadane Sawit Raya
dengan melakukan intimidasi terhadap warga. Masyarakat di Desa Sei Tarolat
Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu mengalami kasus yan sama.
Kemiskinan dan kebutuhan akan tanah, adanya lahan terlantar yang tidak dikelola
mendorong masyarakat untuk mengusahai kurang lebih 200 Ha. Sengketa di Desa
Tarolat dan Pisang Binaya maupun yang dialami oleh masyarakat di Desa
Pangkatan yang tanahnya dirampas PT Rantau Sinar Karsa dilatarbelakangi oleh
kebutuhan masyarakat akan tanah. Pola ini sebenarnya hampir bersamaan dengan
yang terjadi antara masyarakat dengan PT Socfindo di Kabupaten Asahan, yang
membedakan hanyalah waktu dan rejim yang berkuasa.

4.2.3. Analisis Tentang Akar Konflik Pertanahan di Kabupaten Asahan Dan


Labuhan Batu.

Banyak analisis menyatakan akar konflik pertanahan di Indonesia adalah


disebabkan semakin menyempitnya lahan dibandingkan dengan kebutuhan akan
tanah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, rasio manusia dengan tanah di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan semakin nampak terjadi di Pulau
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun Papua. Berdasarkan sengketa tanah yang
terjadi di Asahan dan Labuhan Batu kebanyakan sengketa tanah adalah kombinasi
antara beberapa faktor, termasuk gejala semakin menyempitnya lahan untuk
masyarakat.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 39


Ratusan sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu
secara umum adalah perampasan tanah masyarakat yang sebahagian besar
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, dan hanya sebahagian kecil
yang disebabkan oleh perambahan hutan, pendudukan lahan yang diterlantarkan
oleh pihak perkebunan maupun sengketa antar individu. Dengan demikian dapat
diambil kesimpulan bahwasannya masyarakat memang sama sekali tidak
mendapat tempat di negeri ini, karena pemerintah cenderung memberi tempat
yang sangat besar kepada investor yang akan menanamkan modalnya di sektor
perkebunan.

Berdasarkan identifikasi terhadap ratusan konflik yang terjadi di Kabupaten


Asahan maupun Labuhan Batu, dari sisi waktu terjadinya sumber konflik dibagi
atas beberapa periode, yakni;

Periode 1942 sampai dengan 1965

Sebahagian besar sumber sengketa tanah yang terjadi pada periode ini adalah
perusahaan-perusahaan perkebunan asing milik Belanda maupun swasta asing,
seperti PTPN III, PTPN IV, PT Socfindo, PT London Sumatera dan PT SIPEF di
Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Seperti yang terjadi di Desa Sengon Sari,
Desa Aek Bange dan Aek Korsik, Tanah Gambus dan Limapuluh yang berhadapan
dengan PT Socfindo, masyarakat Desa Babussalam Sinar jadi berhadapan dengan
PTPN III Merbau Selatan dan kasus-kasus lainnya.

Periode ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik pada saat itu, terutama
sistem hukum pertanahan yang memang dalam kondisi sangat tidak menentu,
terutama pada saat masa penjajahan Jepang dari tahun 1942 sampai tahun 1945.
Pada saat itu pemerintah fasis Jepang yang sedang menghadapi perang dengan
Amerika Serikat. Untuk mendukung perang, pemerintah Jepang di Indonesia
memberi keleluasaan kepada rakyat untuk membuka lahan maupun menguasai
tanah yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan milik Belanda dan
perusahaan asing lainnya.

Pasca keluarnya perusahaan-perusahaan asing tersebutlah kemudian rakyat


merasa memiliki collective perception kembalinya tanah milik rakyat yang telah
dirampas oleh Belanda melalui pemberlakukan Undang-Undang Agraria Kolonial

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 40


tahun 1870. Persepsi seperti inilah yang kemudian mendorong rakyat untuk
membuka dan menduduki lahan yang ditinggalkan perusahaan. Walaupun pada
saat itu pajak bumi yang dikenakan pemerintah fasis Jepang mencapai 40%,
namun tidak meredam pembukaan tanah untuk pertanian oleh masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, beberapa rencana pun lahir, salah
satunya adalah tentang sistem pengelolaan, kepemilikan dan pengelolahan tanah.
Proses ppenyusunan sistem tersebut tidak mudah dilakukan karena Indonesia
dalam keadaan sangat tidak stabil, antara lain dengan adanya agresi militer
Belanda, pemberontakan di tahun 1950-an, pergantian sistem negara dan jatuh
bangunnya kabinet, sampai dengan gerakan-gerakan politik radikal organisasi-
organisasi massa terideologis.

Selama kurun waktu 1945 sampai 1965 dapat dikatakan sebagai masa-masa
penting peletakan dasar hukum pertanahan maupun keleluasaan rakyat
mendapatkan tanah, karena pada saat itu kemauan pemerintah dan kekuatan-
kekuatan politik cukup mendukung pelaksanaan landreform. Namun sayangnya
kebijakan landreform dan agrarian reform lebih banyak berjalan sendiri-sendiri
dilakukan oleh masyarakat dengan perlindungan kebijakan yang minimal.
Kebutuhan rakyat akan tanah yang mendorong perebutan lahan-lahan
perkebunan kemudian ternyata tidak dilindungi oleh pemerintah. Beberapa
kebijakan kemudian muncul bukan untuk melindungi rakyat yang mencoba
bertahan hidup dengan cara membuka lahan dan menguasai tanah milik bekas
perkebunan, malah membuat kebijakan-kebijakan yang terkesan melindungi
perkebunan-perkebunan asing yang telah dinasionalisasi dengan alasan menjaga
proses pengalihan, antara lain dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 35
Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah
Perkebunan Konsesi, PP 21/1964, Tentang Pembentukan Gabungan Perusahaan
Sejenis Perkebunan Besar, Peraturan Penguasa Perang Pusat No.
Prt/Perppu/041/1958 tentang Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya
atau kuasanya

Beberapa kebijakan tersebut tampaknya menjadi penanda bahwasannya


pemerintah memang tidak memiliki konsep yang jelas tentang landreform dan
agrarian reform yang akan dilaksanakan. Namun memang tidak dipungkiri,
kondisi tersebut terjadi dalam konteks situasi keamanan dan politik yang sangat
tidak stabil. Pendudukan dan penguasaan lahan oleh rakyat yang dilakukan sejak

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 41


1942 maupun pasca keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1954 Tentang
Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat ternyata menjadi pemicu utama
sengketa. Pada yang hampir bersamaan memang pemerintah berhadapan dengan
perusahaan-perusahaan milik swasta bukan Belanda yang mencoba memberi
penawaran-penawaran untuk kembali mengoperasikan perkebunan-perkebunan
mereka. Ditambah lagi pada tahun 1957 dan 1958 pemerintah harus memadamkan
Pemberontakan yang salah satunya dimotori oleh Kolonel Simbolon sebagai
Panglima Militer I Sumatera. Gerakan tersebut jika dianalisis tujuannya
bersamaan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan asing khususnya di
Sumatera Timur yang ingin menguasai kembali aset-aset perkebunan.

Periode 1965 Sampai Saat Ini


Menjadikan periode 1965 sampai saat ini sebenarnya telah mendistorsi
tahapan-tahapan penting yang sebenarnya berlangsung mulai dari tahun 1965
hingga tahun 2007. Namun jika dilakukan generalisasi terhadap periode panjang
tersebut, sebenarnya dalam hal keterkaitan dalam sengketa pertanahan, apa yang
terjadi pada periode panjang tersebut adalah satu, yakni bagaimana secara
sistematis kepemilikan dan pengelolaan tanah oleh rakyat dilucuti oleh
pemerintah yang bekerjasama dengan modal.

Satu momentum penting yang terjadi pasca gerakan politik 1965 adalah
penghancuran kekutan-kekuatan politik ideologis yang dianggap mengganggu
negara kesatuan Republik Indonesia, terutama kekuatan organisasi-organisasi
yang berafiliasi dan menjadi underbow PKI. Tragedi ini sebenarnya tidak masuk
akal jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan pada saat gerakan politik
berlangsung, namun jika dilihat tindakan dilakukan pasca penumpasan terhadap
komponen-komponen yang terkait dengan PKI, maka semakin jelas bahwasannya
disebalik keganasan pembasmian PKI tersimpan kepentingan modal yang cukup
besar, salah satunya adalah terhadap penguasaan kembali perusahaan-perusahaan
perkebunan di seluruh Indonesia, terutama di Sumatera Utara.

Pasca 1965, langkah paling awal yang dilakukan oleh rejim Soeharto adalah
mengeluarkan beberapa undang-undang penting, diantaranya adalah Undang-
Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967, Undang-Undang Pertambangan Nomor
11 Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanam Modal Asing Tahun 1967. Jelas
undang-undang ini secara tergesa-gesa dibuat untuk melindungi kepentingan

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 42


pengusaha asing yang aset-asetnya diduduki oleh rakyat. Munculnya beberapa
undang-undang cikal bakal politik ekonomi rejim Soeharto inilah yang kemudian
membuka lebar pintu masuk perusahaan-perusahaan asing, baik yang pernah
menancapkan kukunya di Indonesia, mengeksploitasi sumberdaya alam, terutama
hutan dan bahan mineral.

Kesempatan tersebut tentu tidak disia-siakan oleh pemodal asing maupun


konglomerat-konglomerat yang telah dipelihara sebelumnya. Pasca keluarnya
beberapa undang-undang tersebut kemudian berlimpah ruah lah dana-dana asing,
termasuk lembaga-lembaga keuangan internasional yang bersedia mendukung
pendanaan pembangunan dindonesia, salah satunya adalah dukungan Bank Dunia
dalam pengembangan industri perkebunan kelapa sawit terhadap perusahaan
perkebunan rakyat, swasta dan perkebunan milik negara pada akhir tahun 1960-
an.

Kebijakan yang pro


investor asing (PMA),
penanam modal swasta
dalam negeri (PMDN) dan
Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang bergerak di
bidang perkebunan terus
berlanjut pasca keluarnya
undang-undang pendukung
pembangunan tahun 1967.
Tidak lama kemudian
pemerintah juga
mengeluarkan beberapa
peraturan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 Tentang
Hak Pengusahaan Hutan, hak guna usaha untuk perkebunan, peraturan dan
perundangan tentang perkebunan, sampai dengan aturan-aturan yang
mempermudah investor yang ingin menanamkan modal di Indonesia.

Terbukanya ruang investasi pasca 1967 semakin lama telah menelanjangi


bumi indonesia. Berbagai strategi disediakan oleh pemerintah untuk menarik
investor dan pemodal-pemodal dalam negeri yang memiliki minat tinggi
menanamkan modalnya, terutama di bidang perkebunan. Ada berbagai cara yang

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 43


dilakukan oleh pemerintah, antara lain; membangun sistem pembiayaan yang
menarik bagi pengusaha-pengusaha perkebunan, perbaikan iklim investasi,
menawarkan buruh murah terhadap perusahaan, penyederhanaan birokrasi
investasi, bahkan secara khusus mengeluarkan Keputusan bersama antara Menteri
Pertanian dan Menteri Penggerak Dana Investasi dan Ketua Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Penanaman Modal Asing
Dibidang Perkebunan Kelapa Sawit. Bisa dibayangkan betapa daya tarik tersebut
telah membuat Indonesia, terutama Sumatera Utara menjadi surga pengembangan
industri perkebunan, khususnya perkebunan karet dan kelapa sawit. Namun
sayangnya pertumbuhan sektor perkebunan tersebut meminggirkan hak rakyat
terhadap sumberdaya pokok yakni tanah.

Jika diambil kesimpulan dari pemaparan di atas dan kasus-kasus sengketa


yang terjadi di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Asahan, maka jelas
bahwa sengketa tanah yang terjadi di Asahan dan Labuhan Batu secara umum
tearkait dengan beberapa hal, yakni:

1. Penguasaan, pembukaan dan pengelolaan tanah terutama sejak 1942


sampai 1965 ketika sistem hukum agraria dan politik pertanahan memberi
toleran terhadap kebutuhan rakyat akan tanah, antara lain terhadap lahan
perkebunan yang ditinggalkan dan membuka hutan untuk pertanian.
2. Kebijakan pemerintah pasca 1967 yang merevitalisasi kembali sektor
perkebunan dengan mengambilalih kembali tanah perkebunan yang
ditinggalkan dan memperluas arel perkebunan yang telah dikelola rakyat.
3. Sistem hukum agraria yang tidak jelas, informasi keagrariaan yang sangat
tertutup dan tidak berfungsi optimalnya institusi-institusi pertanahan.

Tiga hasil analisis terhadap akar persoalan sengketa pertanahan di Sumatera


Utara, khususnya di Asahan dan Labuhan Batu tersebut tentu saja tidak menjadi
representasi seluruh situasi sengketa pertanahan yang ada, karena masih ada
faktor-faktor lain, antara lain;
1. Pertarungan kepentingan dan juga ketidakjelasan pembanguan
kewenangan antara pemerintah pusat dan Kabupaten dalam sistem
penguasaan, kepemilikan dan pengelolaan tanah untuk perkebunan
2. Tidak jelasnya sistem penyelesaian sengketa tanah yang jelas,
sehingga konflik tanah yang terjadi menjadi berkepanjangan tanpa
kejelasan penyelesaian

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 44


3. Tidak dilakukannya pemetaan terhadap luas HGU perkebunan,
sehingga perlindungan terhadap hak tanah rakyat sangat rentan

4.2.4. Upaya-
Upaya-Upaya Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Besarnya jumlah sengketa pertanahan di Kabupaten Asahan dan Labuhan


Batu ternyata tidak sebanding dengan kasus yang diselesaikan, baik melalui
musyawarah mufakat antar pihak-pihak yang bertikai maupun melalui
mekanisme pengadilan. Dari jumlah kasus yang selesai tersebut, ternyata jumlah
kasus yang dimenangkan oleh rakyat jumlahnya lebih sedikit lagi. Ini
mengindikasikan bahwasannya banyak yang tidak tertata dalam sistem hukum
agraria, khususnya aturan-aturan atau mekanisme penyelesaian sengketa
pertanahan.

Jauh sebelum keresahan tentang munculnya sengketa agraria seperti yang


terjadi saat ini, pemerintahan rejim orde lama maupun di masa-masa awal orde
Soeharto sudah merasakan kerumitan sengketa pertanahan, terutama yang terjadi
di daerah-daerah dimana perkebunan tumbuh subur. Sejak pemerintahan orde
lama, sebenarnya beberapa cara sudah diantisipasi untuk menghindari terjadinya
sengketa lahan, antara lain dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang
dipandang bisa mengurangi permasalahan agraria. Namun sayangnya kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah malah terkesan menambah
kerumitan yang berujung pada konflik tanah seperti yang terjadi saat ini, antara
lain dengan mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954
Tentang Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat dan Undang-Undang Nomor
51/Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang berhak
atau Kuasanya.

Pada satu sisi kelihatannya Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954


adalah kebijakan pro rakyat. Setelah sekian lama tidak memiliki tanah karena
dijual kepada penguasaha-pengusaha perkebunan, maka mulai tahun 1942 rakyat
mendapatkan momentum untuk memiliki kesempatan hidup dengan menduduki
tanah yang ditinggalkan oleh perkebunan-perkebunan asing dan membuka lahan
baru setelah bebas dari jeratan-jeratan pengusaha yang melarikan diri. Keluarnya
UU Darurat No. 8 Tahun 1954 adalah sebuah aturan yang membuat pendudukan
lahan yang tak terkendali menjadi lebih terkontrol. Kemudian 6 tahun setelah itu,
ketika pendudukan tanah-tanah perkebunan tetap tidak terkontrol, pemerintah

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 45


mengeluarkan UU No. 51/Prp Tahun 1960. Aturan ini jelas pada prinsipnya
berusaha mengatur kekacauan sistem penguasaan dan pengelolaan tanah, namun
ternyata kebijakan tersebut kemudian dimanfaatkan untuk melindungi
pengusaha-pengusaha perkebunan yang menguasai perkebunan yang sebelumnya
porak-poranda karena ditinggalkan.

Khususnya di Sumatera Timur kebijakan yang mengatur kembali sistem


penguasaan dan pengelolaan tanah ditindaklanjuti dengan keluarnya Pedoman
Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1960 Tentang Penyelesaian Sengketa Pemakaian
Tanah Perkebunan di Sumatera Timur. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka bagi
rakyat yang sudah melakukan penggarapan terhadap tanah-tanah perkebunan
akan dilindungi, salah satunya adalah ditempatkannya orang-orang pemakai tanah
perkebunan ke lokasi-lokasi penampungan yang telah disediakan dengan tetap
menjamin kehidupan yang layak.

Berdasarkan aturan seperti itu, sebenarnya tidak ada satu celah apapun yang
bisa membuat rakyat terpinggirkan, karena ada syarat, bahwasannya penggarap
tanah perkebunan harus tetap dilindungi dan tidak boleh digusur begitu saja oleh
perkebunan. Namun perlindungan hukum ternyata tidak sesuai dengan realitas di
lapangan, karena ternyata masyarakat penggarap dan petani mengalami
penggusuran dan intimidasi dari penguasa perang, antara lain oleh pelaksana
DWIKORA daerah Sumatera Utara.

Begitu juga saat orde baru berkuasa. Jelas-jelas perlindungan terhadap petani
penggarap juga telah tersedia, antara lain dengan diberlakukannya Surat
Keputusan Panitia Landreform Pripinsi Sumatera Utara No. 961/LR/1969 Tanggal
26 September 1969 Tentang Pedoman Pengosongan Tanag Garapan Rakyat dalam
Areal Perkebunan. Pada peraturan tersebut disebutkan, pengosongan yang
dilakukan harus melalui musyawarah dengan pihak rakyat yang bersangkutan.
Namun tetap saja aturan tersebut tidak mampu melindungi hak-hak rakyat yang
secara ekonomi memang sangat membutuhkan tanah untuk bertahan hidup.

Secara umum, dari 122 kasus sengketa tanah yang terjadi di Asahan maupun
beberapa kasus tanah di Kabupaten Labuhan Batu punya berlatarbelakang sama
dengan konflik tanah lain yang terjadi di Sumatera Utara. Kejelasan akar sengketa
tersebut ternyata tidaklah selaras dengan kejelasan penyelesaiannya. Berdasarkan
penelitian, sengketa pertanahan sangat rumit karena terkait sangat kuat dengan

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 46


aspek-aspek sosial, budaya, politik maupun pertahanan keamanan. Hal ini jugalah
yang terjadi di Asahan dan Labuhan Batu.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sengketa tanah di Asahan dan


Labuhan Batu punya akar sejarah yang panjang, mulai dari masa kolonial, rejim
orde lama, orde baru dan berlanjut sampai saat ini. Panjangnya waktu tersebut
ternyata terus menemui jalan buntu, sehingga menimbulkan kejenuhan dan
pesimisme di kalangan masyarakat yang tergabung dalam kelompok-kelompok
perjuangan tanah. Contoh paling tepat untuk menggambarkan type kasus sengketa
tanah seperti ini adalah 6 kasus sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat
dengan PT Socfindo di Kabupaten Asahan.

Menurut catatan dari pemerintah Kabupaten Asahan dan sebuah organisasi


perjuangan bernama Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR), ada 7 kasus
sengketa tanah antara kelompok masyarakat dengan PT Socfindo, yakni:

1. Kasus manipulasi HGU dan perampasan tanah rakyat yang tergabung


dalam Kelompok Tani Tanah Perjuangan di Desa Simpang Gambus dengan
PT Socfindo Kebun Tanah Gambus Kecamatan Limapuluh seluas kurang
lebih 483 Ha.
2. Kasus manipulasi HGU dan perampasan tanah rakyat antara Kelompok
Tani Karang Makmur di Desa Tanah Gambus dengan PT Socfindo Kebun
Tanah Gambus Kecamatan Limapuluh seluas kurang lebih 85 Ha.
3. Kasus manipulasi HGU dan perampasan tanah rakyat antara Kelompok
Tani Satu Kata Perjuangan di Desa Tanah Gambus dengan PT Socfindo
Kebun Tanah Gambus Kecamatan Limapuluh seluas 57,69 Ha.
4. Kasus perampasan tanah penampungan 250 kepala keluarga yang
tergabung dalam Kelompok Tani Penampungan Sengon Sari , Desa Sengon
Sari, Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo Kebun Aek Loba seluas
kurang lebih 435 Ha.
5. Kasus manipulasi luas HGU dan perampasan tanah rakyat antara Kelompok
Tani Kelapa Gading di Desa Aek Bange Kecamatan Aek Kuasan, dengan PT
Socfindo Kebun Aek Loba, kurang lebih 360 Ha.
6. Kasus manipulasi luas dan perpanjangan HGU antara Kelompok Tani Maju
Lestari di Desa Aek Korsik, Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo
Kebun Aek Loba, kurang lebih 390 Ha.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 47


7. Kasus perampasan tanah garapan kelompokWakidi dan kawan-kawan di
Desa Sengon Sari, Kecamatan Aek Kuasan dengan PT Socfindo Aek Loba
seluas kurang lebih 675 Ha.

Tujuh sengketa tanah yang saat ini dihadapi PT Socfindo Kebun Aek Loba
dan PT Socfindo Tanah Gambus tersebut sebenarnya sudah mulai diperjuangkan
mulai tahun 1970-an, namun baru muncul ke permukaan kembali pasca reformasi
tahun 1998 dan menemukan pola perjuangan yang lebih terorganisir pada tahun
2005 ketika bergabung dengan Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR)
Kabupaten Asahan. Kecuali sengketa tanah kelompok Wakidi cs, 6 kelompok
petani lainnya saat ini sedang ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Asahan
melalui keputusan Bupati Asahan Nomor 433-PEM/2005 Tanggal 19 Desember
2005.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh FPTR sebenarnya belum begitu lama
dimulai, yakni pada tahun 2005 yang didukung oleh organiser-organiser
Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia. Sebelum forum lintas kelompok tani
tersebut terbentuk, sebenarnya masing-masing kelompok sudah pernah
melakukan perjuangan, seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Aek
Bange Kecamatan Aek Kuasan berhadapan dengan PT Socfindo Aek Loba.
Sebelum tergabung dalam FPTR masyarakat di Desa Aek Bange yang tanahnya
dirampas oleh PT Socfindo sudah menuntut pengembalian 366 Ha tanah yang
direbut kepada perusahaan dan pemerintah setempat pada tahun 1971. Upaya
tersebut ternyata gagal, malah perusahaan memaksa masyarakat menerima ganti
rugi dengan cara-cara intimidasi (antara lain dengan menuduh masyarakat sebagai
anggota PKI). Dikarenakan dilakukan dengan paksaan, masyarakat pun melepas
seluruh tanah dan menerima ganti rugi 166 Ha dengan bayaran Rp. 10.000,- per
Ha, sedangkan 200 Ha lainnya tidak dibayar.

Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Desa Aek Korsik, Kecamatan
Aek Kuasan yang merampas tanah yang telah dikelola sejak tahun 1950 dan
dimiliki secara syah pada tahun 1971 melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera
Utara Nomor 78/HM/LR/1971. Namun tidak berapa lama kemudian PT Socfindo
menguasai tanah rakyat sehingga masyarakat membuat pengaduan pada tahun
1973 ke Camat dan Bupati dan Dewan perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten
Asahan. Dikarenakan tidak mendapatkan tanggapan, kemudian kembali

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 48


masyarakat mengadukan persoalan tanah mereka pada tahun 1984 dan juga pada
tahun 1998, sampai akhirnya ke Gubernur Sumatera Utara.

Beberapa langkah tersebut sama sekali tidak mendapat tanggapan. Pada


tahun 2000 masyarakat kembali menggugat perusahaan dengan mengadukan
kasus mereka ke Kantor Sospol Asahan. Namun tanggapan yang diterima malah
bukan semakin menguatkan, malah menuntut masyarakat untuk mengumpulkan
bukti-bukti atau alas hak yang pernah dimiliki oleh masyarakat. Pengaduan yang
dilakukan pada tahun 2000 tersebut kemudian didiamkan selama 3 tahun,
sehingga baru pada tahun 2003 dilakukan peninjauan lapangan dan plotting oleh
pemerintah dan BPN sesuai dengan peta HGU.

Seluruh upaya tersebut terbukti mengalami kegagalan, bahkan pada tahun


1998, PT Socfindo yang didukung keputusan Badan Pertanahan Nasional pusat
melalui Keputusan Menteri negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
76/HGU/BPN/1997 kemudian memelakukan perpanjangan terhadap seluruh HGU
PT Socfindo di seluruh Kabupaten Asahan sampai dengan tahun 2023 (FPTR,
2005). Jelas-jelas tindakan BPN pada kasus ini telah melangkahi hak rakyat,
karena dalam situasi tanah dalam keadaan sengketa, BPN menyetujui usulan
perusahaan untuk memperpanjang HGU tanpa melihat adanya konflik yang
sedang berlangsung.

Pada tahun 2005 barulah gerakan perjuangan masyarakat Desa Aek Korsik
dan Desa Aek Bange mengkonsolidasikan diri dan bergabung dengan FPTR
bersama dengan kelompok petani di Tanah Gambus dan beberapa kelompok tani
lainnya yang bersengketa dengan perusahaan-perusahaan lain di Kabupaten
Asahan. Perjuangan yang terorganisir melalui FPTR tersebut berhasil
mengumpulkan 25 kelompok tani yang berjuang atas tanahnya dengan jumlah
anggota kurang lebih 4000 KK.

Langkah awal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok petani yang


tergabung dalam FPTR adalah melakukan aksi massa yang diikuti ribuan anggota
pada tanggal 26 September 2005 di Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Asahan.
Ada beberapa tuntutan yang disuarakan oleh massa FPTR pada saat itu, yakni:

1. Segera dibuat peraturan daerah tentang penyelesaian sengketa tanah di


Kabupaten Asahan

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 49


2. Cabut HGU perusahaan-perusahaan BUMN maupun swasta yang tidak
menjalankan peraturan perundang-undangan tentang HGU
3. Segera didistribusikan tanah-tanah terlantar kepada petani
4. Tolak Perpres No, 36 Tahun 2005
5. Dengan segera melakukan penyelesaian kasus sengketa tanah kelompok
tani Front Pembebasan Tanah Rakyat
6. Hentikan intimidasi dan kriminaslisasi kepada rakyat

Pasca aksi massa tersebut kemudian muncullah kesepakatan diantara FPTR,


DPRD dan Bupati Asahan untuk membentuk tim yang berwenang menangani
permasalahan tanah yang dialami kelompok-kelompok yang tergabung dalam
FPTR. Berbagai rapat dan pertemuan pun kemudian dilangsungkan di Kantor
Bupati Asahan dengan mengundang pihak kelompok-kelompok petani, Badan
Pertanahan Nasional Asahan, PT Socfindo dan PT London Sumatera yang
difasilitasi oleh Bupati Asahan. Salah satu upaya yang dilakasanakan pada saat itu
adalah, kelompok-kelompok tani diharuskan mengumpulkan berbagai bukti yang
mendukung tuntutan terhadap tanah yang disengketakan. Pada tanggal 23
Februari 2006 FPTR memberikan 19 berkas kelompok tani yang menuntut
haknya, diantaranya adalah 6 kelompok tani yang bersengketa dengan PT
Socfindo di Kabupaten Asahan.

Pertemuan antara pemerintah, BPN, PT Socfindo dan FPTR kemudian


berlanjut, antara lain pembahasan tentang bukti-bukti, terutama yang dimiliki
masyarakat tanpa berusaha mendorong kepada PT Socfindo untuk juga melakukan
hal yang sama, yakni memberikan bukti-bukti penguasaan atau alas hak
perusahaan. Begitulah proses kerja tim dari tahun 2006 sampai saat ini.
Perkembangan terbaru malah telah memperlihatkan penyimpangan dari tujuan
tim. Jika sebelumnya tim bertugas menyelesaikan 6 kasus tanah dengan PT
Socfindo, ternyata hanya satu kasus yang ditindaklanjuti.

Perkembangan terbaru, yakni pada bulan April dan Mei tahun 2007, kerja
tim ternyata semakin jauh dari harapan. Dari 19 berkas kasus yang diajukan untuk
diselesaikan, 6 berkas tuntutan kelompok yang diutamakan untuk diselesaikan,
ternyata hanya satu kasus yang dibicarakan lebih lanjut, yakni Kasus Kelompok
Maju Lestari, Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan yang
bersengketa dengan PT Socfindo Kabun Aek Loba.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 50


Beberapa kali pembahasan yang dilakukan oleh tim, ternyata sebahagian
besar kasus pertanahan yang diajukan FPTR menemui jalan buntu kecuali kasus
kelompok tani Maju Lestari. Bahkan melalui surat Bupati Asahan Nomor
593/2065, Bupati menyampaikan surat yang ditujukan kepada Kakanwil BPN
Propinsi Sumatera Utara yang isinya antara lain menyatakan, sengketa yang
ditangani tim sudah sangat lama tanpa ada titik penyelesaian, adanya desakan dari
kelompok tani agar sengketa diselesaikan dan pihak perkebunan yang tetap
bertahan dengan mengusulkan sengketa diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Kesimpulannya pada saat itu berdasarkan surat yang dikirim oleh Bupati Asahan,
sengketa tanah memohon kepada Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara untuk
menerima audiensi kelompok tani yang memohon bantuan penyelesaian sengketa.

Langkah yang dijalankan oleh Bupati Asahan, mulai dari pembentukan tim,
pembahasan tentang proses penyelesaian yang kemudian dilanjutkan dengan
pembuktian alas hak yang dimiliki masyarakat, kemudian berakhir dengan
penyerahan penyelesaian kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Propinsi Sumatera Utara kemudian direspon secara berbeda oleh pengurus FPTR.
Sebahagian, khususnya pengurus pusat FPTR menganggap tahapan ini adalah
langkah maju dalam penyelesaian sengketa, namun sebahagian besar anggota dan
pengurus masing-masing kelompok sudah curiga dengan proses yang berlangsung.

Kecurigaan pertama adalah semakin mengkerucutnya sengketa yang akan


diselesaikan. Jika sebelumnya FPTR memberikan 19 berkas kasus dan
mengutamakan 6 kasus kelompok petani yang berhadapan dengan PT Socfindo,
ternyata hanya satu yang ditindaklanjuti. Kecurigaan kedua adalah tentang proses
pembuktian. Pemerintah cenderung lebih memfokuskan diri agar kelompok-
kelompok tani yang harus membuktikan alas hak tanah yang mereka tuntut tanpa
ada upaya untuk memaksa perusahaan juga membuktikan secara formal maupun
di lapangan tentang alas hak mereka. Kecurigaan ketiga adalah surat Bupati
kepada Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara agar bersedia menyelesaikan kasus
yang dihadapi FPTR, dan kecurigaan keempat adalah respon dari DPRD
Kabupaten Asahan, khususnya Komisi A yang dianggap tidak serius dan tidak
memiliki kapasitas, baik dalam mendorong, memaksa Bupati dan memfasilitasi
penyelesaian kasus.

Situasi terakhir proses penyelesaian tampaknya secara awam memang


menunjukkan kemajuan. Hasil rapat terakhir yang dihadiri Humas PT Socfindo,

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 51


pengurus FPTR dan pengurus kelompok tani Maju Lestari yang difasilitasi
Kakanwil BPN Propinsi Sumatera Utara berakhir dengan rencana pengukuran
lapangan. Tuntutan kelompok tani Maju Lestari pada awalnya adalah
pengembalian tanah yang dikuasai perusahaan, namun kemudian mengalami
perubahan. Di antara kelompok tani dan perusahaan sudah mulai muncul
pembicaraan tentang proses ganti rugi, sehingga pengukuran lapangan akan
dilakukan. Namun uniknya, langkah pengukuran tersebut tidak disertai dengan
perumusan hal-hal teknis, seperti pembentukan tim pengukuran, biaya
pengukuran dan sebagainya, sehingga rencana pengukuran lapangan
kemungkinan besar tidak akan terlaksana, jika pun terlaksana maka hasilnya
kemungkinan akan sia-sia.

Hal yang sama juga terjadi terhadap sebuah kelompok tani di Kecamatan
Bandar Pasir Mandoge, yakni Kelompok Tani Inatani Saurmatua Pardembanan
yang tanahnya dirampas oleh PT Jaya Baru Pratama dengan luas tanah sengketa
sebesar kurang lebih 600 Ha. Sudah berkali-kali masyarakat melakukan aksi ke
Kantor Bupati, Komisi A DPRD Kabupaten Asahan, pembentukan tim
penyelesaian dan sebagainya. Kondisi terakhir, kelompok tani mengadakan
pertemuan yan difasilitasi oleh Komisi A DPRD, yang dihadiri oleh BPN dan
perwakilan Bupati Asahan maupun pihak PT Jaya Baru Pratama.

Kedudukan kasus sebenarnya sudah sangat menguatkan kelompok tani,


karena dari sisi sejarah, tanah yang disengketakan adalah tanah ulayat, bukan
tanah garapan seperti yang dianggap perusahaan, pemerintah dan pihak lain,
karena saksi dari kelompok tani yang masih memahami sejarah tanah masih
hidup. Kedua, menurut Komisi A DPRD Kabupaten Asahan, posisi kelompok tani
sebenarnya sudah semakin kuat karena PT Jaya Baru Pratama sama sekali tidak
memiliki HGU, walaupun luas tanah yang mereka kuasai sudah mencapai angka
2000 Ha. Pada pertemuan yang difasilitasi Komisi A tersebut, tidak ada keputusan
yang bisa diambil karena dari pihak perusahaan tidak bisa mengambil kebijakan
apapun, sebab utusan yang hadir pada saat itu bukanlah yang bisa mengambil
keputusan.

Pertemuan tersebut kemudian merekomendasikan pertemuan lanjutan yang


akan dilaksanakan di Kantor Camat Bandar pasir Mandoge pada bulan April tahun
2007. Pertemuan tersebut dihadiri oleh beberapa pihak, antara lain kelompok tani,
pihak SPSU sebagai pendamping, Camat Bandar Pasir Mandoge sebagai tuan

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 52


rumah, BPN kabupaten Asahan, Komisi A DPRD Asahan, pihak perusahaan dan
Muspika Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. Pertemuan ini dilangsungkan dengan
satu tujuan, yakni mencapai kesepakatan bersama tentang penyelesaian kasus,
khususnya pengembalian tanah rakyat.

Forum yang sangat diharapkan oleh masyarakat ini ternyata sangat tidak
sesuai dengan tujuan semula, karena tidak ada titik temu antar dua pihak yang
bersengketa. Pihak masyarakat yang ditanya terlebih dahulu sudah mau
menurunkan tuntutan. Dari 600 Ha yang sebenarnya menjadi hak rakyat,
masyarakat hanya meminta pengembalian sebanyak 400 Ha. Ternyata pihak
perusahaan tidak melakukan hal yang sama. Perusahaan pada saat pertemuan
tersebut hanya bersedia memberikan ganti rugi sebesar Rp. 50.000.000,- untuk
seluruh tuntutan kelompok tani. Pertemuan tersebut kemudian diteruskan dengan
pembicaraan secara tertutup antara pihak perusahaan, utusan kelompok tani dan
Camat Bandar Pasir Mandoge. Forum rapat kecil di dalam pertemuan tersebut
juga bernasib sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, yakni tidak
mencapai kesepakatan dikarenakan alasan sepele, yakni utusan pihak perusahaan
yang tidak punya kapasitas mengambil keputusan. Akhirnya pertemuan ditunda
dan akan dilaksanakan setelah pihak direksi PT Jaya Baru Pratama pulang dari
luar negeri.

Satu-satunya kasus sengketa tanah di Kabupaten Asahan yang dapat


diselesaikan dengan kemenangan masyarakat adalah kasus yang terjadi antara 3
kelompok tani di Desa gajah Kecamatan Sei Balei dengan Koperasi PUSKOPAD
Kodam I Bukit Barisan. Tanah yang disengketakan pada awalnya merupakan
tanah transmigrasi pensiunan tentara angkatan darat (TRANSAD) tahun 1974
yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Sebelum dikuasai oleh
PUSKOPAD, tanah dikuasai oleh penguasaha bermarga Banuarea yang kemudian
dijual kepada PT Bintang Hasea. Dikarenakan tidak sanggup mengelola, kemudian
tanah dijual kepada PUSKOPAD. Namun ternyata warga TRANSAD harus
membayar pembelian tanah dengan cara dicicil selama beberapa tahun dengan
total Rp. 7.000.000,- per kepala keluarga. Sebelum cicilan selesai, tanah dikelola
oleh PUSKOPAD dengan perjanjian, saat sudah luas akan dikembalikan kepada
keluarga TRANSAD.

Ketika perjanjian sudah sampai waktu yang ditentukan, ternyata pihak


PUSKOPAD ingkar janji atau tidak mengembalikan tanah yang seharusnya sudah

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 53


menjadi milik masyarakat. Perjuangan kemudian dilakukan, dimulai pada tahun
1992, diantaranya adalah melakukan aksi massa ke Bupati, Gubernur, BPN, sampai
ke BPN pusat, namun tidak membuahkan hasil. Malah masyarakat pernah
mendapat intimidasi ketika Kodam I Bukit Barisan menjadikan lahan sebagai
lokasi latihan menembak yang tujuannya menakut-nakuti masyarakat sehingga
masyarakat tidak berani memasuki dan menduduki lahan.

Dikarenakan kuatnya posisi militer pada saat itu, selama beberapa tahun
perjuangan kelompok-kelompok tani berhenti. Barulah pada tahun 2002 pasca
reformasi perjuangan dimulai kembali dengan dukungan PBHI sebagai
pendamping masyarakat. Setelah beberapa lama perjuangan berlangsung, barulah
pada tahun 2006 kasus dapat diselesaikan. Namun penyelesaian tidak ditangani
oleh pemerintah, baik melalui Bupati, Gubernur maupun BPN daerah dan
propinsi. Malah sengketa diselesaikan oleh Panglima Angkatan Darat dengan
berpegangan kepada bukti-bukti yang dimiliki masyarakat, terutama surat
perjanjian antara masyarakat dengan PUSKOPAD.

Sengketa tanah lainnya di Kabupaten Asahan tidak seberuntung kelompok-


kelompok petani TRANSAD di Desa Gajah Kecamatan Sei Balei. Seperti yang
dialami oleh Kelompok Tani Betahamu yang juga bersengketa dengan
PUSKOPAD dengan luas tanah sengketa kurang lebih 180 Ha. Kasus ini malah
mengutamakan pendekatan litigasi, sehingga proses penyelesaian mencapai
mahkamah Agung yang kemudian akhirnya mengalahkan tuntutan masyarakat
petani. Nasib yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh kelompok tani
Penampungan Sengon Sari yang kasusnya kemudian ditinggalkan oleh tim
penyelesaian sengketa, masyarakat petani di Labuhan Batu yang memiliki Surat
Keterangan Tanah (SKT) berhadapan dengan PT Sawita Ledong Jaya yang sama
sekali tidak memiliki HGU bahkan beberapa kelompok petani yang mencoba
menggarap tanah terlantar di Desa Pulau Besar Kecamatan Simpang Empat
Kabupaten Asahan maupun yang dialami oleh Kelompok Tani Tanjung Bunga di
Desa Kwala Gunung Kecamatan Limapuluh yang menuntut 180 Ha tanah mereka
yang dikuasai PT Kuala Gunung.

Beberapa kasus yang dijabarkan di atas hanyalah segelintir sengketa yang


menemui jalan buntu ataupun membentur tembok bernama kekuasaan, birokrasi
dan kepentingan modal. Situasi tersebut dapat ketahui dari sikap skeptis dan
pesimis dari pengurus-pengurus kelompok-kelompok petani yang selama ini

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 54


melakukan perlawanan maupun pimpinan-pimpinan organisasi yang menaungi
kelompok-kelompok tani, antara lain Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR),
Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN) dan Serikat Petani Sumatera Utara
(SPSU). Rata-rata mereka menilai, langkah-langkah maupun mekanisme
penyelesaian sengketa tanah yang dijalankan selama ini tidak bisa diharapkan
sama sekali. Ada beberapa alasan yang mereka ungkapkan, antara lain:

1. Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap aparat pemerintah, khususnya


Badan Pertanahan dan Pemerintah Daerah
2. Seringnya pembahasan maupun dialog yang menemui jalan buntu
3. Adanya alasan-alasan teknis dan disengaja agar proses penyelesaian
sengketa tertunda
4. Aparat pemerintah, mulai dari Kepala Desa, Camat, Bupati, Muspida dan
Muspika, maupun kepolisian yang selalu berpihak kepada pengusaha
5. Adanya kebiasan dari birokrasi yang melempar tanggungjawab jika tidak
bisa mengambil keputusan dalam penyelesaian sengketa tanah
6. Sikap dan keputusan legislatif (DPRD), khususnya membidangi masalah
pertanahan yang berubah-ubah atau tidak konsisten
7. Rendahnya kapasitas atau pengetahuan legislatif (DPRD) yang membidangi
masalah pertanahan tentang hukum dan aturan pertanahan
8. Rendahnya kemauan eksekusi hasil kesepakatan, sehingga keputusan-
keputusan yang memenangkan rakyat tidak pernah dieksekusi
9. Kebiasaan-kebiasaan aparat pemerintah yang terus-menerus berjanji
namun tidak ditepati
10. Panjangnya proses penyelesaian sehingga membuat rakyat jenuh dan
pesimis
11. dan lain-lain

Seluruh respon yang muncul dari pemimpin, pengurus dan anggota-anggota


kelompok tani perjuangan tanah tersebut menjadi catatan penting bahwasannya
kerja-kerja perjuangan tanah di Asahan, termasuk juga di Labuhan Batu dalam
kondisi mati suri. Pada satu sisi memang proses atau langkah-langkah yang selama
ini sudah dijalankan memang masih berjalan, antara lain melalui tim penyelesaian
yang dibentuk oleh Bupati, penyelesaian yang difasilitasi DPRD maupun dialog-
dialog di tingkat kecamatan. Namun di sisi lain, respon pengurus dan pemimpin
maupun anggota kelompok petani tersebut kontradiksi terhadap langkah yang
masih diikuti oleh rakyat.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 55


Realitas yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut di permukaan adalah
sikap kontradiktif yang saat ini terjadi di masyarakat. Namun jika dianalisis lebih
dalam, sebenarya yang terjadi adalah rakyat tidak punya pilihan lain dalam
menuntut haknya. Ketidakpercayaan, antipati terhadap pemerintah, ketakutan
terhadap resiko yang muncul akibat perlawanan yang dilakukan mendorong
rakyat untuk tetap menjalani proses yang ditawarkan oleh pemerintah. Sedangkan
cara-cara penyelesaian melalui pengadilan sangat dihindari. Penghindaran
tersebut disebabkan oleh pengalaman bahwasannya pendekatan melalui
pengadilan tidak pernah memenangkan pihak rakyat.

Selain pendekatan formal melalui pengaduan-pengaduan ke legislatif untuk


kemudian dilimpahkan melalui eksekutif, baik bupati, Gubernur, Badan
Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten maupun Propinsi, sengketa-sengketa
pertanahan juga seringkali diupayakan dengan pendekatan-pendekatan intimidatif
dengan menggunakan jaringan-jaringan kekuatan organisasi-organisasi di tingkat
propinsi maupun nasional, seperti yang dilakukan oleh sebuah lembaga bernama
Lembaga Missi Reclaseering Republik Indonesia (LMRI). Organisasi ini
berkedudukan di Jakarta dan memiliki cabang di tingkat propinsi dan kabupaten.
Walau memiliki struktur yang rapi di seluruh Indonesia, lembaga yang baru saja
diresmikan dan tercatat secara formal di lembaran negara, namun keanggotaan di
tingkat kabupaten dan kecamatan masih bersifat individual.
Lembaga Missi Reclaseering Republik Indonesia (LMRI) memiliki fungsi
yang salah satunya adalah memonitoring dan mendorong penyelesaian sengketa
pertanahan yang terjadi di seluruh Indonesia, salah satunya di Kabupaten Asahan.
Anggota-anggotanya bukan saja dari individu-individu bebas, namun yang terjadi
malah termasuk juga pemimpin-pemimpin kelompok petani yang selama ini
melakukan perjuangan. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh kader maupun
anggota LMRI, yakni menemui pihak-pihak yang terakait dengan sengketa,
terutama dari kalangan pemerintah. Tindakan yang dilakukan bukan hanya
sekedar meminta informasi ataupun monitoring terhadap kasus, namun sudah
melakukan upaya-upaya menekan dan mengintimidasi aparat-aparat birokrasi,
kepolisian maupun militer yang dianggap melindungi pengusaha.

Salah seorang pemimpin kelompok tani di Tanah Gambus adalah salah satu
anggota LMRI yang saat ini sudah melakukan tugas-tugasnya. Salah satu kasus
yang saat ini sedang ditangani adalah kelompok tani yang bersengketa dengan PT

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 56


Paduan Karya di Tanjung Tiram. Anggota LMRI rata-rata bergerak sendiri-sendiri.
Berbekal surat tugas dan kartu anggota, kader atau anggota akan mendatangi
pihak-pihak yang bersengketa, memperkenalkan diri, melakukan analisis terhadap
kasus dan membuka kesalahan, penyimpangan ataupun penyelewengan yang
dilakukan oleh aparat-aparat pemerintah, militer yang terlibat maupun kepolisian.
Menurut pengalaman mereka, dengan menunjukkan identitas sebagai anggota
LMRI sudah membuat banyak pihak takut sehingga tidak melakukan kesalahan
atau penyimpangan lagi. Apa yang ditemukan dari lapangan kemudian akan
dilaporkan ke tingkat propinsi maupun pusat. Kemudian pemimpin di tingkat
pusat dan propinsi akan menghubungi pihak-pihak yang dinilai menyimpang dan
menginformasikan beberapa bentuk tindakan yang akan dilakukan jika
penyimpangan tidak dihentikan, antara lain dengan dikoran kan atau melapor ke
petinggi militer (hal itu dimungkinkan, karena pembina LMRI salah satunya
adalah Badan Intelejen Nasional (BIN).

Pada saat penelitian dilakukan, beberapa anggota kelompok tani yang


sekaligus menjadi anggota LMRI punya pandangan yang berbeda tentang strategi
yang dijalankan. Bagi yang optimis, LMRI dianggap lebih memiliki kekuatan
dibandingkan menggunakan pola-pola lama. Namun optimisme tersebut lebih
banyak disebabkan oleh kekecewaan terhadap pemimpin atau pengurus kelompok
tani. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan mereka, bahwa sebenarya
keyakinan terhadap gerakan massa dalam sengketa pertanahan tetap diyakini
menjadi strategi terpenting dalam perjuangan merebut hak tanah.

Pola perjuangan selanjutnya adalah menggunakan tekanan-tekanan politik di


tingkat legislatif. Berdasarkan catatan-catatan perjuangan yang pernah dilakukan
oleh kelompok-kelompok tani di Asahan, peran anggota DPRD yang memiliki
konstituen di wilayah konflik tanah memang cukup besar, malah ada beberapa
kelompok tani yang lahir atas dorongan dari anggota legislatif tersebut. Namun
dorongan tersebut lebih banyak untuk kepentingan membangun kepercayaan
konstituen politik dan kepentingan partai sehingga kurang efektif mendukung
perjuangan kelompok. Bahkan kesan yang diterima kelompok tani malah saat ini
cenderung negatif, karena kalangan legislatif lebih banyak berjanji tanpa ada
jaminan dukungan yang lebih konsisten dan berkepanjangan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 57


BAGAN PROSES DAN LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN
SENGKETA YANG PERNAH DILAKUKAN

Pembentukan Membuat Pengaduan Aksi


Kelompok Kepada Bupati/DPRD Massa

Publikasi
Kasus Stop

Pengadilan
Aksi Rembuk/pertemuan di
Kalah/menang tanpa Massa Kecamatan
eksekusi

Pengaduan
Ke Gubernur dan atau Dialog/Rembuk Dialihkan
Aksi Massa Dgn Bupati/DPRD Ke BPN Kabupaten

Pengaduan
Ke Presiden/DPR-RI
TIM Penyelesaian
Stop
Sengketa
Kunjungan
Pembuktia Ke Lokasi Kasus
n alas hak
Rapat Berkala Tim
Penyelesaian
Tanah sengketa
dikeluarkan dari
HGU Dialihkan
Ke BPN Propinsi
Tawaran CD

Stop

Rencana Pengukuran
Pendudukan Tanah sengketa
Tanah

Tidak dijalankan
Kriminalisasi Petani Biaya tidak jelas,
payung hukum tidak
ada

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 58


Banyak pihak yang menyatakan (terutama pemerintah dan pengusaha),
bahwasannya salah satu kelemahan kelompok-kelompok petani dalam
memperjuangkan haknya adalah minimnya alas hak yang dimiliki oleh rakyat.
Pandangan seperti itu ternyata juga tidak hanya berasal dari pemerintah dan
pengusaha, kalangan kelompok-kelompok tani juga berpendapat sama sehingga
berdampak pada upaya-upaya perjuangan yang dilakukan.

Persepsi ataupun paradigma seperti itulah yang tampaknya dari dahulu


sampai sekarang paling banyak dijadikan landasan perjuangan rakyat melalui
kelompok-kelompok tani saat mencoba menuntut kembali hak atas tanah ataupun
ganti rugi terhadap tanah yang dikuasai oleh pengusaha-pengusaha perkebunan.
Kecenderungan yang sama juga berlangsung terhadap kelompok-kelompok tani di
Kabupaten Asahan dan juga Labuhan Batu, maupun di wilayah-wilayah
perkebunan lainnya. Walaupun tidak menempatkan alas hak sebagai faktor utama,
namun tetap saja bukti-bukti formal tetap sangat menentukan.

Salah satu contoh menggambarkan hal tersebut adalah kasus sengketa antara
kelompok Maju Lestari dengan PT Socfindo Aek Loba di Desa Aek Korsik
Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan. Dari 30 kalompok tani yang
tergabung dalam Front Pembebasan Tanah Rakyat di Kabupaten Asahan, hanya
kasus ini yang kemudian direkomendasikan oleh tim penyelesaian sengketa tanah
untuk dibahas di Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara.
Alasannya, pada tahun 1971 dan 1972 masyarakat sudah memiliki surat tanah
seluas 390 Ha dalam bentuk surat keterangan landreform dari Gubernur Sumatera
Utara pada tahun 1971 dan 1972.

Menurut salah saorang anggota kelompok Maju Lestari, posisi kasus mereka
tergolong lebih kuat dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya, karena
sudah memegang surat keterangan landreform dari gubernur, sehingga
penyelesaiannya harus diprioritaskan. Jika kasus kelompok Maju Lestari
diselesaikan bersamaan dengan kelompok-kelompok lain yang juga bersengketa
dengan PT Socfindo, maka penyelesaiannya akan lebih sulit, karena alas hak
masing-masing kelompok berbeda-beda.

Pada satu sisi, strategi seperti itu memang cukup efektif, mengingat selama
terjadi sengketa antara rakyat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan
maupun yang terjadi di tingkat nasional, kasus-kasus sengketa pertanahan tidak

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 59


dapat diselesaikan dalam sekaligus dalam satu wilayah Kabupaten maupun
Kecamatan, namun ditangani satu-per satu. Demikian juga halnya dengan respon
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Asahan yang menyatakan
ketidaksanggupan pemerintah untuk menyelesaikan kasus dalam jumlah banyak
secara bersamaan, karena pemerintah memiliki keterbatasan personal beban
tugas-tugas pemerintahan.

Pandangan seperti itu cukup masuk akal mengingat kelompok Maju Lestari
adalah yang memiliki bukti-bukti formal. Namun di sisi lain, mengutamakan satu
kasus yang terkuat dari sisi akan kontraproduktif terhadap kasus-kasus sengketa
lainnya, khususnya bila proses penyelesaian melalui sebuah tim yang dibentuk
pemerintah. Mandat tim yang seharusnya menyelesaikan kasus-kasus sengketa
tanah yang dituntut rakyat kemudian tereduksi oleh landasan-landasan atau
bukti-bukti formal yang pada umumnya memang menjadi titik lemah masyarakat
akibat manipulasi, intimidasi dan penyelewengan sejarah tanah.

Lemahnya posisi rakyat tersebutlah yang kemudian sebenarnya harus


menjadi dasar perubahan paradigma perjuangan tanah rakyat. Kelompok-
kelompok perjuangan tanah larut dalam permainan kekuasaan yang berlindung
disebalik aturan-aturan pertanahan legal formal. Bila bukti atau alas hak yang
menjadi kekuatan utama perjuangan, maka kecil kemungkinan kasus-kasus tanah
milik rakyat yang direbut perusahaan tidak akan terselesaikan. Sebagai contoh
adalah beberapa kasus sengketa tanah antara kelompok-kelompok perjuangan di
Desa Teluk Dalam dan Desa Pulau Besar Kecamatan Simpang Empat yang
bersengketa dengan PT Padasa Enam Utama.

Empat kelompok petani yang bersengketa dengan PT Padasa Enam Utama


ini berjuang menggarap kurang lebih 800 Ha tanah yang diklaim sebagai kawasan
HGU perusahaan. Kelompok-kelompok ini jelas tidak memiliki alas hak apapun,
namun hanya menggunakan Undang-Undang Dasar 1945, Prinsip-Prinsip Hak
Asasi Manusia dan UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai dasar bagi rakyat untuk
menggarap tanah. Berdasarkan landasan itulah kemudian dalam perjuangan
selanjutnya, kelompok ini tidak dimasukkan sebagai salah satu kasus yang akan
diselesaikan melalui tim penyelesaian sengketa tanah yang dibentuk oleh Bupati
Asahan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 60


Situasi yang sama juga dialami oleh kelompok-kelompok tani yang tidak
memiliki alas hak resmi, seperti Forum Peduli Desa dan kumpulan-kumpulan
petani penggarap di Desa Tanjung Kaso dan Tanjung Kasori yang menggarap tanah
yang diterlantarkan di sekitar HGU PT Perkebunan Sumatera Utara (sebelumnya
bernama Perusahaan Daerah Perkebunan Sumatera Utara (PD PSU). Berdasarkan
hal itu maka kasus-kasus yang dilandasi oleh penggarapan tanah terlantar,
terutama yang terjadi di tahun 1980-ke atas akan sulit diperjuangkan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 61


Tabel
Bukti-Bukti dan Alas Hak yang Dimiliki Kelompok-Kelompok Perjuangan Tanah

No Bukti
1 Adanya ganti rugi yang dilakukan perusahaan terhadap tanah yang
lokasinya berada di lokasi yang sama dengan tanah sengketa
2 Adanya areal perkuburan tanah wakaf di areal HGU
3 Surat Ketua DPRD tentang pengembalian tanah garapan masyarakat
4 Kartu Tanda Pendaftaran sebagai pemakai tanah perkebunan berdasarkan
UU darurat No, 8 Tahun 1954
5 Surat pengakuan saksi dari perusahaan yang mengetahui sah nya
kepemilikan tanah oleh rakyat
6 Peta lokasi tanah yang sebenarnya (bukan versi perusahaan)
7 Adanya sebahagian warga yang telah mendapat tanah penampungan
8 Bukti patok-patok batas tanah yang dahulu pernah dibuat BPN
9 Adanya patok-patok baru (bukan oleh BPN) yang dibuat perusahaan
10 Pengakuan perusahaan lain yang telah memberikan tanah penampungan
kepada rakyat yang tanahnya diambil oleh perusahaan
11 Surat pernyataan kepala desa tentang kepemilikan sah masyarakat atas
tanah sengketa
12 Surat panitia pertimbangan landreform
13 Surat pembayaran pajak tanah
14 Saksi mantan pekerja perusahaan yang melakukan penggusuran
15 Surat penggantian lahan yang dipakai oleh perusahaan perkebunan dari
Bupati
16 Surat Keterangan Landreform oleh Gubernur
17 Surat Keputusan legalisasi tanah yang dikuasai rakyat oleh DPRD
18 Bukti pembayaran pengukuran yang dimiliki rakyat
19 Surat pengumuman dari Badan Musyawarah Daerah Kecamatan Bandar
Pulau tentang Penggantian/pemindahan tanah

Terlepas apakah paradigma perjuangan yang dilakukan kelompok-kelompok


tani telah mereduksi substansi perjuangan tanah ataupun memoderasi gerakan,
namun penggunaan alas hak sebagai dasar perjuangan masih diyakini sebagai
pilihan paling rasional bagi masyarakat. Kebencian, ketidakpercayaan, dan
kekecewaan atas tindakan pengusaha maupun ketidakberpihakan pemerintah

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 62


ternyata tidak memunculkan kemarahan maupun radikalisme di masyasrakat yang
haknya dirampas. Hal itu tampak dari sikap kebanyakan anggota kelompok
perlawanan yang saat ini memang sudah sangat pasif terhadap perjuangan.

4.2.5. Struktur Sosial Ekonomi


Ekonomi Kelompok-
Kelompok-Kelompok Perjuangan Tanah

Sebahagian besar kelompok-kelompok perjuangan tanah tinggal di kawasan-


kawasan dalam maupun di luar enclave perkebunan. Anggota kelompok yang
masih tinggal di dalam enclave perkebunan adalah masyarakat yang masih
bertahan karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah tidak adanya tanah
penggantian yang diberikan perusahaan seperti yang telah disepakati oleh
perusahaan maupun pemerintah. Hal ini terjadi di Desa Aek Nagaga, Kecamatan
Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Dari 250 KK yang dijanjikan untuk menempati
tanah penampungan dan diberikan 2 Ha per KK, hanya kurang lebih 65 KK yang
sudah dipindahkan namun hanya mendapatkan 1 Ha per KK. Sedangkan
sebahagian besar petani, yakni 185 KK masih menempat tempat tinggal mereka di
dalam areal PT London Sumatera Kebun Gunung Melayu.

Sebahagian besar anggota kelompok tani di Desa Aek Nagaga adalah bekerja
sebagai petani lahan sempit dan buruh tani, sedangkan sisanya bekerja sebagai
buruh di PT London Sumatera, bekerja sebagai pedagang keliling, jualan di rumah
dan menjadi buruh lepas yang bekerja mocok-mocok di kebun milik pribadi pada
saat panen kelapa sawit. Demikian juga dengan ibu-ibu maupun anak perempuan
yang telah dewasa. Banyak diantara mereka bekerja sebagai buruh harian lepas di
perkebunan dengan upah bervariasi, mulai dari Rp. 10.000,- sampai dengan Rp,
30.000,- per hari. Bagi perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL)
di perkebunan tidak memiliki hari kerja yang tetap. Dalam satu bulan maksimal
mereka bisa mendapat 20 Hari Kerja (HK) tergantung dari musim-musim kerja di
perkebunan.

Bagi perempuan, baik istri anggota maupun anak perempuan yang telah
dewasa yang tidak bekerja di perkebunan sebagai BHL, mereka lebih banyak
menghabiskan aktivitas di sekitar rumah. Namun walaupun begitu mereka juga
memiliki aktivitas tambahan, salah satunya adalah mengambil lidi kelapa sawit
yang telah dibersihkan untuk dijual kepada pengumpul. Selain itu, di Desa Aek
Nagaga, rata-rata anggota kelompok (kecuali yang masih bekerja di perkebunan
dan tinggal di permukiman milik perusahaan) memelihara ternak lembu. Rata-

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 63


rata mereka memiliki 2 sampai dengan 6 ekor lembu yang dipelihara di dalam
kandang yang lokasinya di belakang rumah.

Memang tidak seluruh anggota kelompok secara ekonomi dalam keadaan


sulit. Bagi beberapa anggota kelompok kondisi ekonominya sudah membaik,
namun hal itu dikarenakan adanya lahan yang mereka miliki di kawasan-kawasan
yang jauh dari permukiman mereka, bahkan ada yang memiliki tanah seluas 3
sampai 4 Ha di daerah Bagan Batu dan Provinsi Riau. Mereka mendapatkan tanah
tersebut dengan dua cara, yakni membuka lahan hutan dan dengan cara membeli.

Kondisi yang tidak jauh berbeda, bahkan lebih sulit ditemui pada anggota
kelompok perjuangan yang berada di Desa Teluk Dalam dan Desa Pulau Besar
Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan. Rata-rata anggota dan seluruh
masyarakat bekerja sebagai buruh tani di desa lain. Rata-rata dari masyarakat yang
berjumlah 150 kepala keluarga tersebut hanya mengandalkan pekerjaan di tanah
miliki warga desa lain, yakni Desa Padang Mahondang yang letaknya di seberang
Sungai Asahan karena mereka sama sekali tidak memiliki tanah kecuali tanah
tempat tinggal mereka.

Di kawasan Kecamatan Sei Balei sebahagian besar penduduk, termasuk


anggota kelompok juga adalah petani gurem yang hanya memiliki 2 rante sampai
5 rante, yang ditanami coklat dan beberapa pohon kelapa sawit. Agar dapat
memenuhi kebutuhan keluarga, mereka juga bekerja sebagai buruh tani di lahan
sawah milik orang lain yang rata-rata bukan penduduk setempat. Bagi keluarga
yang memiliki 3 rante tanah, maka jika hasilnya bagus, tidak ada hama, pupuk
cukup dan tidak banjir bisa menghasilkan 10 goni atau 1 ton padi. Pada saat
penelitian padi dihargai Rp. 2500,- per kg, sehingga dalam satu kali panen bisa
menghasilkan Rp. 2.500.000,-. Namun jumlah tersebut tetap tidak cukup bagi
ekonomi keluarga, karena biaya produksi, seperti untuk pemupukan, bibit, obat,
tenaga dan sebagainya mencapai Rp. 600.000,-, sehingga dalam masa 1 kali panen
(4 bulan) satu orang keluarga hanya mendapat penghasilan Rp. 475.000,- dalam
satu bulan.

Selain mengelola tanah mereka sendiri yang sempit, petani juga bekerja
mocok-mocok di sawah milik orang lain. Sistemnya ada dua, sebagai buruh tani
ataupun sistem perjanjian pembagian pertiga. Bagi buruh tani yang bekerja di
tanah orang lain, untuk proses menanam padi dalam satu rante penyewa hanya

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 64


mendapat Rp. 15.000,-. Sedangkan dengan sistem pertiga, dalam satu kali panen,
buruh tani menerima 2/3 dari seluruh hasil, sedangkan pemilik mendapatkan 1/3
hasil. Pembagian tersebut sebenarnya sangat tidak adil, karena semua biaya
produksi ditanggung oleh penyewa. Jika terjadi gagal panen, banjir, hama tikus
dan tidak mendapat pupuk dan berdampak pada penurunan produksi, maka
seluruhnya ditanggung oleh petani penyewa.

Untuk menambah penghasilan, keluarga petani, baik anggota kelompok


maupun bukan anggota kelompok petani perjuangan mencari pekerjaan lain,
seperti ngomben atau pekerjaan merontokkan padi, ataupun mengambil sisa-sisa
padi yang jatuh setelah panen hanya untuk mendapatkan satu dua ikat padi untuk
kemudian mereka konsumsi sendiri. Bagi para suami, penghasilan tambahan
mereka dapatkan dari bekerja mocok-mocok di perkebunan milik pribadi, seperti
nonjok atau mendodos kelapa sawit milik orang lain. Kadang-kadang juga
ngomben atau teser pada saat panen.

Pendidikan Keluarga

Rata-rata pendidikan keluarga kelompok-kelompok tani bahkan seluruh


warga yang tinggal di sekitar kawasan perkebunan sangat rendah, yakni hanya
sampai SD (Sekolah Dasar) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Keluarga-
keluarga petani rata-rata memiliki 3 sampai 5 anak yang hanya bisa menamatkan
pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Rendahnya tingkat pendidikan
tersebut membuat anak-anak keluarga petani tidak memiliki banyak alternatif
dalam hidup. Bagi anak petani yang sudah tamat SD atau SMP, walau masih
berumur 12 sampai 15 tahun sudah harus bekerja untuk menambah pendapatan
keluarga ataupun sekedar untuk jajan sendiri.

Rata-rata anak petani anggota kelompok tani yang sudah tamat ataupun
tidak tamat SD bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan, bekerja sebagai
kenek (pendamping) kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh tetap atau buruh
harian lepas di perkebunan, bekerja sebagai kenek truk angkut kelapa sawit,
menggembalakan lembu di areal perkebunan, dan mencari lidi kelapa sawit. Bagi
sebahagian anak petani yang keluar dari kampung, mereka pergi ke kota bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga kota ataupun menjadi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negara-negara tetangga, terutama Malaysia.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 65


Diakibatkan cepatnya anak-anak petani bekerja, maka tingkat kedewasaan
anak-anak pun lebih cepat dari anak-anak di kota. Bagi anak petani yang sudah
dianggap cukup umur (15 tahun ke atas) maka jika tidak berangkat ke kota akan
cepat-cepat dinikahkan agar hidupnya dapat lebih cepat mandiri dan tidak lagi
ditanggung oleh orang tua. Kecenderungan seperti itu memang marak terjadi di
masyarkat petani yang tinggal di sekitar perkebunan. Untuk bekerja sebagai buruh
tetap di perkebunan kemungkinannya sangat kecil, karena rata-rata saat ini yang
bisa masuk menjadi buruh tetap adalah orang-orang yang memiliki hubungan
dengan pegawai maupun staff perkebunan, sehingga tidak memungkinkan anak-
anak petani untuk mendapat pekerjaan di perkebunan.

Dapat dikatakan posisi petani yang tinggal di enclave perkebunan posisinya


memang sangat terjepit. Selain posisi permukiman petani memang benar-benar
berada di dalam areal perkebunan, tanah yang mereka miliki adalah hanya
sekedar tapak permukiman yang sering kali memang masih bagian dari tanah yang
disengketakan. Sebenarnya masih banyak tanah kosong yang tidak dikelola
perusahaan perkebunan karena terdiri atas tanah rawa-rawa dan luasnya pun
tidak begitu banyak. Namun untuk mengolah lahan rawa tersebut tidaklah mudah
dilakukan karena petani harus berhadapan dengan pihak perkebunan.

Beberapa petani di Desa Sungai Samsu, daerah Poncolan Kecamatan Sei Balei
mengalami hal yang sama. Ada kurang lebih 10 Ha rawa-rawa yang tidak dikelola
oleh perusahaan sehingga kemudian coba dikelola oleh puluhan petani. Ketika
rawa yang dikelola oleh petani tersebut sudah mulai bersih dan di beberapa bagian
sudah mengering, kemudian perusahaan mencoba merebutnya dengan cara me
membeko dan membuat kanal-kanal yang ternyata menutup saluran air ke sawah
yang dikelola masyarakat. Pernah terjadi perlawanan dari masyarakat, namun
tidak begitu lama karena perusahaan secara tegas melarang masyarakat mengelola
tanah tersebut.

4.2.6. Keluarga Petani Sebagai Supply Tenaga Kerja Murah

Seperti yang telah dijelaskan di atas, sebahagian besar petani yang tinggal di
dalam maupun di sekitar enclave perkebunan adalah petani tak bertanah ataupun
petani gurem yang rata-rata hanya memiliki 2 sampai dengan 5 rante tanah.
Dengan luas tanah seperti itu, maka sudah pasti tidak akan cukup untuk
menghidupi ekonomi keluarga. Untuk itu, keluarga petani, termasuk anggota-

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 66


anggota kelompok tani yang sedang berjuang merebut haknya melakukan
beberapa cara agar bisa bertahan hidup. Sebahagian petani memang sudah jauh-
jauh hari mencari jalan keluar atas kesulitan yang mereka hadapi, antara lain
dengan membeli tanah yang jauh dari permukiman mereka, bahkan sampai di luar
propinsi, namun sebahagian besar bernasib lebih buruk. Tidak ada pilihan bagi
petani-petani miskin yang ada di sekitar perkebunan selain bertahan di
permukiman mereka sambil menunggu keberhasilan perjuangan atas tanah
mereka.

Ada beberapa strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh petani-petani


yang tinggal di sekitar perkebunan. Selain mengelola tanah yang berada jauh dari
permukiman mereka, petani juga banyak yang memelihara ternak, terutama
lembu, seperti yang terjadi di Desa Aek Nagaga, Kecamatan Bandar Pulau
Kebupaten Asahan. Daerah ini dikenal sebagai daerah sumber ternak di Asahan,
karena sebahagian besar memiliki ternak lembu. Sebahagian besar warga memang
dapat dikatakan memiliki ternak lembu, yakni rata-rata memiliki 2 sampai 5 ekor.
Pada awalnya sebahagian besar warga ketika memulai beternak lembu
menggunakan sistem maro atau setengah-setengah. Sistem tersebut harus diawali
oleh adanya lembu milik orang lain (biasanya warga di kota kecamatan, atau di
kota Asahan) yang menanamkan modalnya dalam bentuk seekor atau sepasang
lembu. Ketika lembu tersebut beranak seekor, maka lembu tersebut dianggap
milik bersama, namun ketika beranak lagi, maka satu ekor lembu menjadi milik si
penggembala. Lama-kelamaan sistem tersebut berkembang, sehingga rata-rata
warga di Desa Sengon Sari dan Desa Aek Nagaga memiliki ternak, terutama
lembu.

Cara lain yang dilakukan petani anggota-anggota kelompok rakyat pejuang


tanah adalah bekerja sebagai buruh tani. Namun hal ini hanya bisa dilakukan jika
di sekitar desa mereka terdapat desa-desa dimana perkebunan tidak ada. Desa-desa
dimana perkebunan tidak ada kondisi ekonomi petani malah lebih baik
dibandingkan desa yang posisinya berada di dalam enclave perkebunan, hal itu
tampak dari kondisi rumah-rumah penduduknya. Di Desa Pulau Besar, Desa
Teluk Dalam, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh tani di Desa
Padang Mahondang yang lokasinya cukup jauh dan berada di Kecamatan Pulau
Raja. Sebahagian dari mereka ada yang bekerja di lahan orang lain dengan
menerima upah, dan ada juga yang menyewa tanah. Walau sebahagian kecil
petani ada juga yang sempat membeli tanah di Desa Padang Mahondang, namun

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 67


statusnya sangat rentan, karena bukan penduduk lokal, sehingga sering sekali
terjadi perebutan diantara warga Padang Mahondang dengan warga diluar desa
yang memiliki tanah di desa tersebut.

Beberapa cara bertahan hidup yang dilakukan oleh warga di sekitar


perkebunan seperti yang dijelaskan di atas adalah matapencaharian yang tidak
mengganggu sekaligus tidak tidak berhubungan dengan pihak perkebunan.
Namun salah satu pilihan petani agar dapat bertahan hidup adalah dengan bekerja
sebagai buruh harian lepas di perkebunan. Realitas seperti ini tampaknya biasa-
biasa saja bagi banyak orang, karena memang tekanan ekonomi mendorong rakyat
untuk melakukan apapun, termasuk bekerja di perusahaan perkebunan. Namun
jika dianalisis lebih dalam, sebenarnya keberadaan permukiman petani di dalam
enclave perkebunan adalah sumber tenagakerja yang murah dan mudah
dipekerjakan diperkebunan.

Posisi permukiman yang berada di dalam maupun di sekitar perkebunan,


ketiadaan tanah, sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, dan
sebagainya tampak sebagai sebuah situasi yang dikondisikan. Jika dahulu pada
jaman kolonial buruh perkebunan didatangkan dari Pulau Jawa dan sulit untuk
dipertahankan, maka pada saat ini perkebunan tidak harus berusaha keras, karena
tenagakerja sudah tersedia dan kapan saja dapat diperas oleh perkebunan.
Perusahaan perkebunan tidak harus mendatangkan lagi buruh untuk melakukan
proses produksi karena di kawasan terdekatnya terdapat permukiman penduduk
miskin yang setiap saat bisa direkrut.

Penggunaan pekerja yang berasal dari permukiman penduduk yang tinggal


di perkampungan sekitar perkebunan tersebut tentu sangat efisien. Pertama,
dengan mempekerjakan penduduk di sekitar perkebunan, perusahaan tidak harus
menyediakan alat transportasi, karena warga perkampungan memang tinggal di
dalam areal perkebunan. Kedua, kemiskinan penduduk perkampungan tidak
menyulitkan buruh merekrut pekerja, karena memang warga perkampungan tidak
banyak punya pilihan pekerjaan, sehingga tawaran bekerja di perkebunan
dianggap rejeki yang tidak bisa dilepas. Namun sayangnya pekerjaan yang
diberikan perusahaan terhadap warga perkampungan di sekitar perkebunan
adalah pekerjaan jenis harian lepas atau buruh tidak tetap yang sama sekali
statusnya tidak pasti. Pekerjaan yang dilakukan bagi perempuan adalah mboyan,
seperti membersihkan piringan, membabat gawangan, meracun menggunakan

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 68


zat-zat kimia, memupuk, bahkan membersihkan parit atau jalan di sekitar
perkebunan.

Bagi buruh harian lepas laki-laki pekerjaan yang dilakukan adalah hampir
sama seperti yang dilakukan oleh buruh tetap (SKU) laki-laki, yakni sebagai buruh
pemanen ataupun meruning (menunas) pohon kelapa sawit. Walaupun
melakukan pekerjaan yang persis sama yang dilakukan buruh SKU, namun hak
yang diterima tidaklah sama, karena selain basis borong lebih besar, peralatan
kerja seluruhnya dibebankan kepada buruh dan tidak ada jaminan ataupun
perlindungan apapun. Namun tetap saja beban yang berat dan status yang tidak
jelas tersebut diterima oleh penduduk perkampungan di sekitar perkebunan.

Situasi yang digambarkan di atas adalah realitas di seluruh perkampungan


yang berada di dalam maupun di sekitar enclave perkebunan. Hal yang sama juga
dialami oleh anggota kelompok-kelompok pejuang tanah dimana penelitian ini
dilakukan, bahkan ada sebahagian anggota yang menjadi pekerja lepas di
perusahaan perkebunan yang bersengketa dengan mereka sehingga membuat
perjuangan sering terhenti. Realitas seperti itu menjadikan perusahaan
perkebunan akan semakin tumbuh subur di seluruh kawasan Sumatera Utara,
karena warga yang tinggal di perkampungan dan anggota kelompok perjuangan
telah menjadi sumber tenagakerja murah yang mudah diperoleh kapanpun
perkebunan membutuhkan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 69


4.2.7.
4.2.7. Sistem Kelembagaan Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Banyaknya jumlah sengketa pertanahan di Asahan maupun di Labuhan Batu


sebenarnya tidak seimbang dibandingkan dengan keberadaan organisasi maupun
kelompok-kelompok perlawanan yang ada. Dalam proses identifikasi di lapangan
maupun data-data skunder yang dimiliki beberapa kelompok, malah saat ini
perlawanan semakin melemah disebabkan oleh beberapa faktor, baik diakibatkan
oleh tekanan eksternal kelompok-kelompok perlawanan maupun dari internal
organisasi.

Memahami kelompok-kelompok perlawanan perjuangan tanah di Asahan


maupun di Labuhan Batu harus menggunakan beberapa kacamata. Dengan kata
lain, harus ada fleksibilitas penilaian secara subyektif dan objektif secara
berimbang, sebab jika menggunakan satu perspektif, maka penilaian subyektif
akan merusak realitas yang sebenarnya harus diungkap dalam penelitian ini.

Dari sudut pandang ideologi apapun gerakan perjuangan tanah di Asahan


dan Labuhan Batu, bahkan kemungkinan di seluruh Sumatera Utara, maka
kelompok ataupun organisasi-organisasi yang ada digolongkan sebagai gerakan
pragmatis, sebab tujuan utama perjuangan adalah bagaimana mendapatkan hak
atas tanah yang dimiliki tanpa punya orientasi jangka panjang atas penguasaan
tanah yang mereka perjuangkan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh kecil
kemenangan perjuangan yang kemudian memunculkan rasa puas sehingga tidak
kritis terhadap beberapa kemungkinan yang kontraproduktif terhadap
kemenangan yang diperoleh.

Sebelum memasuki analisis terhadap perjuangan kelompok-kelompok


maupun organisasi perjuangan tanah yang ada di Asahan dan sedikit di Labuhan
Batu, terlebih dahulu digambarkan sisi keberadaan organisasi-organisasi tersebut.

Di Kabupaten Asahan saat ini secara umum terdapat 4 (empat) organisasi


besar yang merupakan kumpulan kelompok-kelompok perjuangan dari seluruh
wilayah Asahan, yakni:

1. Front Pembebasan Tanah Rakyat (FPTR)


Front Pembebasan Tanah Rakyat atau disingkat dengan FPTR adalah sebuah
organisasi perlawanan yang didirikan pada tahun 2005. Organisasi ini pada

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 70


awalnya merupakan kelompok maupun embrio kelompok yang disatukan oleh
organiser PBHI di beberapa kecamatan. Namun sebelum FPTR terbentuk,
sebenarnya perlawanan masing-masing kelompok sudah pernah dilakukan atas
nama orang per orang, diantaranya individu-individu yang pernah dididik oleh
partai, terutama Partai Demokrasi Indonesia yang kemudian dilanjutkan oleh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Front Pembebasan Tanah Rakyat adalah sebuah organisasi independen


dengan memiliki 5 tujuan, yakni:

1. Mewujudkan pembebasan terhadap tanah rakyat yang dirampas


2. Sebagai media perjuangan bersama bagi kelompok-kelompok tani yang
tanahnya dirampas
3. Mewujudkan pembebasan terhadap penindasan dan kesewenang-
wenangan yang terjadi terhadap lahan-lahan masyarakat petani
4. Melakukan usaha utnuk menghentikan segala bentuk intimidasi dan
kekerasan yang terjadi terahadap petani, sebagai akibat dari proses
perjuangan yang sedang dilakukan
5. Mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan tanah terlantar
maupun yang diterlantarkan oleh perusahaan kepada rakyat untuk
mengerjakan menjadi lahan produktif

Pada saat penelitian ini dilakukan, FPTR berkedudukan di Kota Kisaran


dengan anggota yang tersebar di 13 Kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan,
yakni:

1 Kecamatan Aek Kuasan 7 Kecamatan Bandar Pasir Mandoge


2 Kecamatan Bandar Pulau 8 Kecamatan Buntu Pane
3 Kecamatan Pulau Rakyat 9 Kecamatan Kisaran Timur
4 Kecamatan Air Batu 10 Kecamatan Sei Balei
5 Kecamatan Simpang Empat 11 Kecamatan Limapuluh
6 Kecamatan Sei Kepayang 12 Kecamatan Air Putih
13 Kecamatan Sei Suka

Di 13 Kecamatan tersebut saat ini di dalam FPTR bernaung 32 kelompok.


Masing-masing kelompok memiliki jumlah anggota bervariasi. Pada tahun 2005
FPTR mengklaim telah memiliki anggota sebanyak 4500 KK, belum termasuk

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 71


anggota keluarga dari tiap-tiap anggota, sehingga jika satu keluarga minimal
memiliki 4-5 orang, maka massa FPTR di atas kertas bisa mencapai 18.000 hingga
kurang lebih 22.000 orang.

2. Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN)


Yayasan Buruh Tani dan Nelayan merupakan sebuah organisasi yang berpusat
di Kota Medan dan memiliki Cabang di beberapa Kabupaten di Sumatera Utara
dengan Ketua mantan anggota DPRD Sumatera Utara, yakni Patawi Bowi. Tidak
ada catatan jumlah anggota ataupun jumlah kelompok yang terdaftar di YBTN
sehingga menyulitkan mengetahui kerja-kerja yang dilakukan organisasi. Menurut
pengakuan Supardi Tampubolon sebagai Ketua Cabang YBTN di Kabupaten
Asahan, ada 5000 anggota YBTN, yang tersebar di setiap desa, karena basis
kelompok yang berada di bawah naungan YBTN adalah berdasarkan desa.

Saat penelitian dilakukan aktivitas YBTN hampir dikatakan mengalami


kevakuman. Beberapa kasus pertanahan yang sebelumnya didampingi YBTN tidak
lagi ditangani diakibatkan banyaknya kelompok-kelompok perjuangan yang
kemudian berpindah ke organisasi lain akibat sistem keanggotaan yang fleksibel
dan tidak rapinya administrasi organisasi. Secara struktural, YBTN memiliki
Dewan Pimpinan Pusat di Medan, sedangkan di Kabupaten disebut Dewan
Pimpinan Cabang. Di tingkat kecamatan dinamakan Dewan Perwakilan
Kecamatan dan tiap kelompok ada di tiap-tiap desa.

3. Aliansi Kelompok Tani Asahan (AKTA)


Aliansi Kelompok Tani Asahan berdiri pada tahun 1998 oleh Zasnis Sulung
Marpaung yang pada saat itu merupakan salah satu pendiri LBH Pos Asahan.
Pendirian AKTA bersamaan dengan pemilihan Bupati Asahan Risuddin, sehingga
dianggap sebagai strategi mobilisasi massa untuk kepentingan politik. Sampai saat
ini AKTA masih aktif melakukan perjuangan melalui kelompok-kelompok dan
forum kelompok, khususnya dalam kasus-kasus kehutanan. Dikarenakan
berbentuk aliansi, maka AKTA bukan hanya menaungi kelompok-kelompok,
namun juga forum atau kumpulan kelompok-kelompok tani, seperti Gabungan
Kelompok Tani Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (Gerhan).

Menurut catatan terakhir, AKTA mengklaim memiliki hampir 4000 anggota


yang berasal dari 49 kelompok tani hampir di seluruh Kecamtan yang ada di
Kabupaten Asahan. Sebagai tokoh di Asahan, tentu saja Zasnis Sulungs Marpaung,

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 72


AKTA lahir dari kelompok-kelompok yang sebahagian merupakan dampingan
LBH sebelumnya sehingga pendekatan-pendekatan perjuangan khas lembaga
bantuan hukum menjadi strategi utama.

4. Serikat Petani Sumatera Utara


Serikat Petani Sumatera Utara adalah organisasi yang tergolong sudah lama
melakukan kerja-kerja pergerakan mendukung perjuangan tanah rakyat di
Kabupaten Asahan. Saat ini sulit menentukan kelompok-kelompok yang
tergabung di dalam SPSU, karena ada banyak sebenarya kelompok-kelompok
SPSU yang keluar dari SPSU dan memasuki organisasi lain, seperti AKTA, FPTR,
YBTN ataupun berjuang secara mandiri bersama dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat yang ada di Kabupaten Asahan.

Salah satu lokasi konsentrasi pengorganisasian SPSU adalah di Kecamatan


Bandar Pasir Mandoge. Di Kecamatan tersebut SPSU fokus menangani dua
kelompok tani, yakni kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan yang
bersengketa dengan PT Jaya Baru Pratama (PT JBP) dan Kelompok Maju Bersatu
yang berhadapan dengan PT Bakrie Sumatera Plantation di Desa Sei Kopas.
Kelompok-kelompok dampingan SPSU yang lain di Bandar Pulau, Limapuluh, Sei
Balei dan kecamatan lainnya mengalami stagnasi.

Secara organisasional SPSU dapat dikatakan mengalami kemunduran.


Pengurus-pengurus pusat yang baru saja terpilih dalam kongres pada tahun 2006
juga belum melakukan aktivitas, sehingga secara defakto SPSU hanya
mendampingi dua kelompok di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. Namun
sebelumnya SPSU merupakan kelompok pergerakan petani terbesar di Asahan, hal
ini dibuktikan dari banyaknya kelompok-kelompok perjuangan di Asahan yang
pernah mendapat dampingan bahkan dibentuk oleh SPSU. Di Bandar Pulau
sendiri masih ada satu kelompok yang menjalankan program ekonomi sejenis
koperasi. Namun anggota-anggota kelompok usaha tersebut tidak selalu sebagai
anggota kelompok perjuangan tanah, karena keanggotaan usaha ekonomi
dibedakan dengan kelompok perjuangan.

Selain ke empat organisasi tersebut, perjuangan rakyat untuk menuntut hak-


hak atas tanah yang direbut perusahaan perkebunan juga tidak hanya melalui
organisasi-organisasi dengan type di atas. Ada banyak juga kelompok-kelompok
rakyat yang melakukan perjuangan tanpa bergabung dengan SPSU, YBTN, AKTA

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 73


dan FPTR. Kelompok-kelompok tersebut berjuang melalui lembaga-lembaga
bantuan hukum yang ada di Kisaran ataupun melalui kantor-kantor pengacara
untuk menempuh penyelesaian melalui pengadilan, sedangkan kelompok-
kelompok perjuangan lain ada yang mendapat dukungan dari Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) di Kisaran yang sampai saat ini menurut catatan sudah
mencapai 300 lembaga.

4.2.8.
4.2.8. Tekanan Eksternal dan Kendala Internal Organisasi Rakyat

Keberadaan kelompok dan organisasi-organisasi perlawanan rakyat merebut


kembali haknya seperti yang terjadi di Kabupaten Asahan bagaimanapun juga
telah tercatat sebagai bagian dari sejarah perjuangan rakyat atas keserakahan dan
carut-marutnya kepastian hukum agraria di Indonesia. Namun dalam catatan
sejarah tersebut tertera pula bagaimana sulitnya rakyat menyatukan diri dalam
gerakan yang lebih massif untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Dapat dikatakan perjuangan rakyat atas hak-hak tanah tidak hanya


mengalami stagnasi, namun mundur secara perlahan. Istilah bahwasannya
kehancuran organisasi perjuangan berakar dari persoalan-persoalan kecil atau
sepele mungkin tepat ditujukan pada kelompok-kelompok perjuangan di Asahan,
walaupun pengaruh dari luar, khususnya penghancuran oleh pengusaha dan
pemerintah juga tidak bisa dilepaskan sama sekali.

Tekanan Eksternal

Perjuangan rakyat, khususnya kelompok-kelompok perlawanan tanah tentu


saja tidak pernah berjalan mulus, karena pengusaha perkebunan yang merampas
tanah rakyat tidak akan tinggal diam dengan langkah-langkah yang dilakukan
organisasi rakyat. Berdasarkan kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi di
Kabupaten Asahan, perusahaan perkebunan memang harus melakukan berbagai
cara untuk melemahkan gerakan rakyat disebabkan memang posisi dan tuntutan-
tuntutan rakyat memang sangat kuat, karena selain memiliki alat-alat bukti yang
sangat kuat, apa yang dilakukan masyarakat juga dilindungi secara hukum. Hal
itulah sebenarnya yang paling ditakuti oleh perusahaan-perusahaan perkebunan
sehingga mencari berbagai macam cara untuk melemahkan organisasi perlawanan
rakyat.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 74


Berdasarkan pengalaman perjuangan yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok masyarakat, selama menuntut hak-haknya, baik melalui aksi, dialog
dengan pemerintah, proses pengadilan, maupun pendudukan lahan, sangat sulit
bagi perusahaan perkebunan untuk bisa mengesampingkan ataupun
mementahkan argumentasi dan bukti-bukti yang dimiliki masyarakat. Berbagai
proses dialog, negosiasi dalam pertemuan maupun aksi pendudukan lahan,
perusahaan malah lebih sering diam tanpa argumentasi dan menjadikan
pemerintah sebagai juru bicara perusahaan. Menurut kelompok-kelompok
perjuangan, hal ini menunjukkan bahwasannya pihak perkebunan tidak memiliki
kekuatan untuk beradu argumentasi maupun bukti-bukti.

Kekuatan posisi dan bukti yang dimiliki rakyat tersebutlah yang kemudian
digunakan oleh perusahaan perkebunan untuk memperlemah rakyat, antara lain
dengan melakukan:

Posisi Pasif dalam Proses Dialog


Tindakan ini adalah yang paling sering dilakukan oleh perusahaan,
khususnya utusan yang dikirim oleh pihak perkebunan. Sering kali dalam
pertemuan, dialog, rapat tim ataupun negosiasi lapangan yang difasilitasi atau
dimediasi oleh pemerintah, utusan yang dikirim adalah yang tidak memiliki
kapasitas untuk mengambil keputusan, seperti mengirim Kepala, wakil maupun
staff hubungan masyarakat, ataupun manager kebun/estate. Mereka-mereka yang
mewakili perusahaan dalam proses pertemuan, dialog, negosiasi maupun rapat tim
penyelesaian sengketa seperti yang dibentuk oleh Bupati Asahan adalah orang-
orang yang tidak bisa mengambil keputusan apapun.

Beberapa sengketa tanah, misalnya 6 kasus yang diajukan FPTR melawan PT


Socfindo juga mengalami hal yang sama. Ke enam kasus yang menjadi tema
pembahasan dan harus diselesaikan oleh tim yang dibentuk Bupati Asahan
berjalan tertatih-tatih. Sejak dibentuk pada tahun 2006 hingga saat ini tim belum
membuahkan hasil. Demikian juga dengan beberapa kasus di Kecamatan Bandar
Pasir Mandoge antara masyarakat dengan PT BSP, PTPN IV, PT Sari Persada Raya
dan PT Jaya Baru Pratama (PT JBP). Pertemuan demi pertemuan dilakukan
sehingga tampaknya sudah sampai akhir penyelesaian. Kasus terakhir adalah yang
dialami kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan berhadapan dengan PT JBP.
Walaupun pada pembicaraan sebelumnya di DPRD Asahan sudah ada kesepakatan
akan dibicarakan negosiasi pengembalian ataupun ganti rugi tanah, tetap saja

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 75


pertemuan mengalami kebuntuan hanya karena pihak humas PT JBP tidak bisa
mengambil keputusan sehingga harus menunggu direksi yang sedang di luar
negeri.

Tentunya alasan seperti itu sangatlah dibuat-buat. Beberapa kali pertemuan


sebelumnya sebenarya pihak perusahaan sudah mengetahui tahapan penyelesaian
yang sedang dijalankan. Ketika pada saat pertemuan perusahaan tidak bisa
mengambil keputusan, ini jelas sudah bentuk permainan dari perusahaan yang
sama sekali tidak memiliki HGU atas kurang lebih 2000 Ha lahan yang mereka
kuasai.

Hal yang patut disayangkan adalah posisi pemerintah yang kemudian tidak
bisa mengambil sikap tegas terhadap permainan yang dilakukan perusahaan. Pada
satu sisi, alasan yang dikemukakan oleh perkebunan selalu alasan yang masuk
akal, seperti; direksi lagi tidak di tempat, belum dibicarakan dalam rapat internal
perusahaan, belum ada komunikasi dengan direksi, belum sempat membicarakan,
direksi tidak di tempat, dan berbagai alasan sepele lainnya. Namun jika alasan-
alasan seperti ini sudah menjadi pola, sebenarnya pemerintah bisa mengambil
sikap. Namun yang terjadi tidaklah demikian, pemerintah malah cenderung
menerima alasan-alasan tersebut tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat
yang harus menunggu dalam jangka waktu yang panjang dan tidak tidak pasti.

Ketidakpastian terhadap mekanisme penyelesaian, berbelit-belitnya proses


penyelesaian, terkendalanya penyelesaian akibat persoalan-persoalan teknis juga
sangat mengganggu tingkat kesabaran anggota maupun pengurus kelompok
perjuangan petani. Dalam jangka waktu tertentu kemungkinan rakyat masih sabar
dan belum sadar akan permainan tersebut, namun terus berulangnya kendala-
kendala tersebut membuat anggota maupun pengurus kelompok rakyat
mengalami kejenuhan sehingga berdampak terhadap daya tahan perjuangan.

Kendala-kendala teknis yang selalu dijadikan alasan penundaan penyelesaian


sengketa pertanahan jelas bukan persoalan sepele jika diperhatikan dari
pengalaman yang dialami oleh rakyat. Apa yang dilakukan oleh perusahaan
perkebunan merupakan strategi mempermainkan ekspektasi atau harapan
masyarakat. Ketika mendengar bahwasannya akan diadakan pertemuan, baik yang
difasilitasi oleh legislatif maupun pemerintah daerah (Bupati dan Camat), maka
akan melambungkan harapan masyarakat. Ada harapan dan kepercayaan di

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 76


kelompok-kelompok bahwa sengketa akan selesai, namun ketika harapan tidak
terjadi, maka kekecewaaan akan terjadi. Hal itu berlangsung terus menerus
sehingga menghancurkan tingkat kepercayaan dan keyakinan akan selesainya
sengketa.

Tugas Fasilitator atau Eksekutor


Eksekutor

Persoalan lain yang juga berpengaruh terhadap proses penyelesaian sengketa


pertanahan adalah ketidakjelasan posisi pemerintah, dalam hal ini pemerintah
tingkat Kabupaten, maupun Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Keputusan
Presiden No. 34 Tahun 2003 , yakni pada Pasal 2 ayat 2 point c disebutkan dengan
jelas bahwasannya pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam
penyelesaikan sengketa tanah garapan. Berdasarkan aturan ini, jelas pemerintah
daerah adalah pihak yang memegang dua fungsi, yakni sebagai fasilitator maupun
eksekutir. Sebagai fasilitator, pemerintah daerah berwenang menyusun normal,
standar dan mekanisme ketatalaksanaan berbagai sumberdaya yang diperlukan
untuk melaksanakan seperti yang tercantum dalam penyelesaian sengketa tanah.
Selain menjadi fasilitator, pemerintah juga menjadi eksekutor. Masih dari Kepres
No. 34 Tahun 2003, yang dimaksud dengan menyelesaikan adalah sampai sengketa
antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan tuntas, bukan malah
mengambang dan semakin berkepanjangan seperti yang terjadi selama ini.

Berdasarkan Kepres No. 34 Tahun 2003 sebenarnya sudah jelas bahwasannya


pemerintah daerah yang didukung oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di
tingkat kabupaten/kota memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa. Namun
yang menjadi persoalan, ternyata kewenangan yang dimiliki pemerintah
kabupaten/kota tersebut telah dimanfaatkan menjadi mekanisme mengaburkan
(bukan menyelesaikan), karena hanya menggunakan dua mekanisme, yakni
musyawarah, jika tidak diselesaikan akan dilanjutkan melalui pengadilan.

Seharusnya, yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun BPN bukan


sekedar mempertemukan pihak-pihak bertikai dalam mekanisme musyawarah
mufakat. Jika memang bukti-bukti atau alas hak yang dimiliki sama-sama kuat,
mungkin hal itu bisa dilakukan, namun dalam banyak kasus pertanahan, pihak
perusahaan perkebunan dalam posisi lemah, bahkan telah melanggar hukum,
seperti tidak memiliki HGU, arel perkebunan yang sudah mengambil sebahagian
bahkan keseluruhan tanah rakyat (yang dibuktikan dengan surat-surat milik

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 77


rakyat), bahkan ketiadaan ijin lokasi perkebunan. Berdasarkan kondisi ini
sebenarnya pemerintah sudah bisa mengambil beberapa keputusan dalam proses
musyawarah. Kenyataannya hal itu tidak pernah dilakukan. Malah pemerintah
(yang juga didukung oleh kelompok-kelompok perlawanan) untuk melakukan
pengukuran ulang. Memang mekanisme pengukuran adalah salah satu bukti
terkuat untuk membuktikan sengketa kepemilikan, namun sebenarnya ini adalah
strategi mengarahkan pada kebuntuan penyelesaian, sebab untuk melakukan
pengukuran lahan dibutuhkan dana dan mekanisme baru yang sama besarnya
dengan penyelesaian sengketa.

Dalam kasus yang dihadapi oleh Kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan


di Kecamatan bandar pasir Mandoge, sebenarnya pemerintah harus melakukan
pembuktian terlebihdahulu terhadap ketiadaan HGU PT JBP, sehingga menjadi
jelas bahwasannya siapa yang telah melanggar hukum. Ketika hal itu sudah
dibuktikan, maka pemerintah tentu bisa mengambil tindakan yang diperlukan
sesuai dengan peraturan yang berlaku, setelah itu barulah dibicarakan tentang
tuntutan masyarakat.

Pecah Belah Kelompok Perlawanan

Watak perusahaan perkebunan saat ini dengan masa kolonial memang belum
berubah sama sekali, yakni dalam menerapkan strategi pecah belah terhadap
kekuatan-kekuatan rakyat. Hal ini juga terjadi di Asahan, bukan hanya dilakukan
secara langsung oleh perusahaan perkebunan, namun juga dengan cara meminjam
tangan-tangan lembaga swadaya masyarakat maupun pemerintah. Kecenderungan
seperti ini jelas telah terjadi di kelompok-kelompok perjuangan rakyat, sehingga
melemahkan langkah-langkah mendapatkan kembali hak-hak rakyat.

Salah satu pola klasik namun cukup efektif dalam melakukan pecah-belah
perjuangan rakyat adalah dengan cara memberi penawaran kepada salah satu
pihak (biasanya terhadap pihak-pihak yang bisa diajak kompromi, pengurus atau
pemimpin kelompok dan anggota yang memiliki bukti otentik kepemilikan
tanah). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di kelompok tani di Desa
Wonorejo Kecamatan Bandar Pulau. Beberapa kali perusahaan sudah mencoba
menawarkan uang puluhan juta kepada 6 orang anggota kelompok yang sempat
memiliki surat asli kepemilikan tanah untuk memecah kesatuan kelompok.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 78


Masih pada pola yang sama, perusahaan juga dalam kasus PT Socfindo
melakukan pecah belah kelompok dengan cara menyelesaikan kasus dengan luas
tanah terkecil yang menjadi sengketa. Memang sebenarnya dalam strategi
perjuangan dibutuhkan kemenangan-kemenangan kecil rakyat untuk
menumbuhkan kepercayaan diri dan keyakinan akan kekuatan rakyat, namun
pada prakteknya, pasca penyelesaian ataupun ganti rugi perusahaan dan
pemerintah menitipkan pesan agar kelompok rakyat yang mendapatkan hak nya
untuk tutup mulut rapat-rapat dan tidak lagi bergabung dengan kelompok-
kelompok lainnya. Ketika hal ini terjadi, maka akan memunculkan kekecewaan
terhadap kelompok lain yang pernah sama-sama berjuang dengan kelompok yang
dimenangkan oleh perusahaan.

Strategi selanjutnya adalah dengan memberi janji-janji penyelesaian kepada


kelompok tertentu dan memperlakukan secara khusus sebuah kasus. Pola seperti
ini cukup efektif dilakukan untuk memunculkan kecurigaan diantara beberapa
kelompok maupun beberapa orang dalam satu kelompok. Tahap awal yang
dilakukan adalah dengan membina hubungan dan komunikasi khusus, kemudian
pada saatnya akan diambangkan kembali. Pada kasus di Desa Aek Korsik, Sengon
Sari dan Aek Nagaga yang berhadapan dengan PT Socfindo hal ini dilakukan. Di
Aek Nagaga, pemerintah dan perusahaan sering mengundang beberapa orang
tertentu untuk membicarakan proses penyelesaian sengketa. Dalam pertemuan
tersebut biasanya perusahaan menyatakan akan memberi perlakuan khusus
sehingga penyelesaian akan cepat selesai. Ketika hal ini didengar oleh kelompok
lain, maka muncul kecemburuan bahkan ketidak percayaan.

Pada umumnya cara-cara ini cukup efektif memunculkan kehancuran


kepercayaan sesama anggota dan antar kelompok yang tergabung dalam satu
forum perjuangan rakyat. Tujuan utama dari perusahaan adalah melemahkan
kelompok, sehingga sudah dapat dipastikan janji-janji perusahaan tidak pernah
direalisasikan. Hal ini terjadi pada kelompok Wakidi dan kawan-kawan yang
bersengketa dengan PT Socfindo Aek Loba. Perusahaan menawarkan kepada
beberapa orang untuk melakukan pertemuan secara informal. Ironisnya, beberapa
anggota kelompok yakin bahwasannya mekanisme pembicaraan informal bisa
menyelesaikan masalah. Saat hal ini didengar oleh kelompok atau anggota lain,
maka reaksi yang muncul pun bervariasi. Ada yang percaya dan yakin dengan
pendekatan tersebut, ada yang mulai cemburu, ada sebahagian yang curiga adanya
permainan antara beberapa orang dengan perusahaan, bahkan bagi anggota yang

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 79


sudah memiliki pengalaman akan membiarkan hal itu terjadi karena sudah
mengerti muara pembicaraan informal tersebut.

Pengetahuan Rakyat Terhadap Hukum Pertanahan

Patut diakui, pengetahuan pengurus atau pemimpin organisasi perlawanan


terhadap hukum pertanahan sudah sangat baik. Mereka menguasai hampir
keseluruhan undang-undang dan peraturan yang terkait dengan masalah
pertanahan, khususnya tentang aturan dan perundangan yang mendukung
penyelesaian sengketa pertanahan. Pengetahuan tersebut rata-rata diperoleh
melalui pengalaman dan diskusi dengan banyak pihak, baik kalangan LSM, BPN,
legislatif maupun pemerintah. Demikian juga dengan tingkat pemahaman
pemimpin terhadap substansi hukum dan sosial ekonomi tanah. Sisi-sisi keadilan
pertanahan, hak tanah yang dimiliki masyarakat maupun sejarah pertanahan.

Pengetahuan dan pemahaman tersebut ternyata sangat jauh berbeda dengan


pemahaman dan pengetahuan anggota kelompok. Jika pengurus dan pemimpin
sering membaca undang-undang dan aturan pertanahan, malah sebahagian besar
anggota sama sekali tidak pernah membaca UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai
undang-undang paling pokok yang mengatur pertanahan. Berdasarkan
pengamatan dapat diketahui bahwasannya jarak yang lebar antara pengetahuan
dan pemahaman pemimpin dan anggota tersebut disebabkan minimnya
keterlibatan anggota dalam proses perjuangan.

Rendahnya keterlibatan anggota dalam proses penyelesaian sengketa secara


umum disebabkan oleh dua hal. Pertama, anggota pada umumnya sibuk dengan
pekerjaan sehari-hari, baik sebagai buruh di perkebunan, buruh tani, petani lahan
sempit maupun pekerjaan sampingan lainnya sehingga menyulitkan untuk
diikutsertakan dalam setiap tahapan yang dilalui dalam penyelesaian sengketa.
Memang diakui mobilitas pemimpin kelompok memang harus sangat tinggi,
karena harus secara aktif menghubungi dan mengunjungi banyak pihak yang
mendukung rakyat diluar dari pemerintah. Selain itu, pemimpin atau pengurus
organisasi harus juga aktif mendesak pemerintah dan perusahaan untuk segera
menindaklanjuti kesepakatan, karena jika hanya menunggu dan pasif, maka
biasanya akan dilupakan oleh pemerintah dan pihak perkebunan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 80


Aktivitas-aktivitas tersebutlah yang selama bertahun-tahun dijalankan
pengurus atau pemimpin kelompok, sehingga mengharuskan adanya peningkatan
pengetahuan dan pemahaman tentang aturan dan perundangan pertanahan. Apa
yang dialami oleh pengurus dan pemimpin kelompok rakyat berbeda jauh dengan
para anggota yang sangat pasif dan hanya menunggu pemimpin untuk
mensosialisasikan informasi atau perkembangan terbaru dari sengketa. Akibat
minimnya aktivitas yang dilakukan oleh para anggota, maka keinginan
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum agraria menjadi
sangat rendah. Intinya, para anggota hanya menunggu perkembangan terbaru dan
sesekali memberi iuran atau keperluan logistik (terutama dana) untuk tugas-tugas
pemimpin.

Minimnya pengetahuan dan pemahaman anggota tentang peraturan dan


perundnag-undangan pertanahan juga disebabkan oleh minimnya diskusi yang
dilakukan di tingkat kelompok. Sejak kelompok terbentuk, diskusi di tingkat
kelompok sangat minim dilakukan, jikapun dilakukan hanya ketika menyangkut
hal-hal yang mendesak, sedangkan diskusi dalam upaya peningkatan pengetahuan
tidak pernah dilakukan. Menurut beberapa ketua kelompok tani, ketiadaan diskusi
tersebut bukan semata disebabkan tidak adanya inisiatif dari pengurus atau
pemimpin, namun lebih dikarenakan banyaknya anggota yang menganggap hal
itu tidak penting. Pengurus kelompok di mata anggota adalah orang-orang pintar
yang berbeda dengan anggota yang rata-rata memang sama sekali tidak
mengetahui tentang peraturan dan perundang-undangan pertanahan.

Rendahnya pengetahuan dan pemahaman rakyat tersebut ternyata


membawa dampak pada stagnasi organisasi. Seperti yang terjadi di FPTR sebagai
organisasi petani yang besar di Asahan. Dari 32 lebih kelompok tani yang
tergabung dalam FPTR, hanya 19 kelompok yang kasusnya dimasukkan ke tim
penyelesaian sengketa pertanahan yang dibentuk oleh Bupati Asahan. Dari 19
berkas yang dimasukkan tersebut, ternyata hanya 6 kasus yang kemudian menjadi
konsentrasi penyelesaian, karena berhadapan dengan satu perusahaan
perkebunan, yakni PT Socfindo. Ternyata dari 6 kasus tersebut, saat ini hanya 1
kasus, yakni Kelompok Maju Lestari di Desa Aek Korsik Kecamatan Aek Kuasan
yang direkomendasikan dibicarakan sampai ke Kanwil BPN Propinsi Sumatera
Utara.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 81


Seluruh anggota FPTR rata-rata sudah mengetahui bahwa aksi yang
dilakukan ribuan massa pada tahun 2005 telah berbuah dibentuknya tim oleh
Bupati Asahan. Namun yang tidak diketahui oleh anggota adalah tentang kondisi
terakhir, tentang tidak adanya kelanjutan pembicaraan 18 kasus lain yang pernah
dimasukkan ke dalam tim bentukan bupati tersebut. Di tingkat pengurus FPTR
sendiri sebenarnya hal itu sudah menjadi masalah, sebab masing-masing pengurus
berasal dari kelompok-kelompok yang berbeda, di kecamatan yang berbeda
dengan karakter sengketa yang berbeda. Memfokuskan pada satu konflik untuk
bisa diselesaikan pada satu sisi merupakan strategi membangun keyakinan akan
perjuangan. Namun di sisi lain, telah muncul kecemburuan dan ketidakseriusan
pengurus lain yang merasa kelompok atau sengketa yang mereka hadapi telah
ditinggalkan oleh organisasi.

Situasi yang agak berbeda ada Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU).
Aktivitas diskusi secara formal maupun informal kelompok Maju Bersatu dan
Kelompok Saurmatua Inatani Pardembanan membuat para anggota cukup
memahami posisi situasi sengketa dan aturan-aturan dasar yang terkait dengan
permasalahan yang mereka hadapi. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat
pertemuan antara organiser atau pengurus SPSU ke kelompok-kelompok sehingga
melalui proses sosialisasi, diskusi pemecahan masalah dan dalam penyusunan
strategi, para anggota memiliki pemahaman terhadap tentang aturan dan
perundangan pertanahan.

4.2.9
4.2.9. Konflik Internal Organisasi dan Pelemahan Organisasi Perlawanan

Semakin lemahnya seluruh kelompok-kelompok dan organisasi rakyat juga


dipengaruhi adanya konflik internal diantara anggota dalam kelompok, antara
pemimpin kelompok, pemimpin kelompok petani dengan pemimpin organisasi
secara keseluruhan, maupun antar organisasi di level struktur yang lebih tinggi.
Akar konflik tersebut sangat bervariasi, namun yang paling mendominasi adalah
hal-hal sepele, sedangkan hal lainnya adalah terkait dengan perbedaan strategi
dan komunikasi.

Ungkapan bahwasannya lemah atau kehancuran kelompok-kelompok rakyat


disebabkan oleh persoalan-persoalan kecil sangat mungkin terjadi bagi kelompok-
kelompok dan organisasi perjuangan di Asahan, khususnya Front Pembebasan
Tanah Rakyat (FPTR) dan Yayasan Buruh Tani dan Nelayan (YBTN). Hal-hal

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 82


kecil yang memunculkan konflik tersebut ternyata sangat mengganggu organisasi
sehingga menyebabkan stagnasi aktivitas keorganisasian. Ada beberapa masalah
yang dianggap oleh anggota maupun pemimpin kelompok memunculkan konflik,
yakni:

1. Tidak adanya transparansi keuangan kelompok


2. Anggota atau pemimpin kelompok yang memiliki kedekatan pribadi
dengan pihak perusahaan perkebunan
3. Pengurus atau pemimpin sakit hati karena dicurigai oleh anggota
4. Terlalu tingginya harapan anggota terhadap pengurus atau pemimpin
organisasi
5. Adanya isu tentang pertemuan-pertemuan tersembunyi atau secara khusus
antara anggota/pengurus dengan pemerintah
6. Minimnya perhatian atau keperdulian anggota terhadap pemimpin
kelompok
7. Tidak berjalannya sosialisasi perkembangan perjuangan
8. Hubungan yang terlalu dekat antara pemimpin kelompok dengan beberapa
anggota
9. Ketidakjelasan laporan pengutipan iuran
10. Anggapan tentang lambatnya kerja-kerja pengurus/pemimpin kelompok
11. Sebahagian orang di dalam kelompok yang terlalu banyak berkorban,
sedangkan yang lain merasa tidak mau tau dengan upaya-upaya organisasi
12. Sebuah kelompok petani yang merasa ditinggalkan
13. Perbedaan status sosial ekonomi
14. dll

Beberapa faktor penyebab tersebut muncul dan berkembang secara perlahan,


kemudian terakumulasi sehingga menimbulkan kekecewaan dan
ketidakpercayaan antara pengurus dengan anggota, anggota dengan pemimpin
kelompok, Salah satu faktor yang cukup besar adalah munculnya isu adanya
pertemuan rahasia atau tersembunyi antara segelintir atau satu orang
pengurus/anggota kelompok dengan pemerintah. Menurut seorang pemimpin
yang dicurigai melakukan hal tersebut, ia diundang secara khusus karena dianggap
memiliki pengetahuan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Namun menurut
anggota atau pemimpin kelompok lain, tindakan ini dianggap melewati
kewenangan dan tidak berdiskusi terlebih dahulu dengan pemimpin organisasi.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 83


Menurut anggota atau pemimpin kelompok yang mengetahui hal ini, telah
ada terjadi perjanjian-perjanjian khusus antara anggota atau pemimpin yang
melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah dan akan meninggalkan
perjuangan kelompok. Demikian juga dengan adanya seorang pemimpin yang
merasa dicurigai oleh anggota. Situasi seperti ini banyak menimbulkan sakit hati
pada pengurus dan tidak mau lagi melakukan kerja-kerja organisasi. Dampaknya,
pemimpin tidak lagi aktif melakukan perjuangan karena dia merasa, apapun yang
dilakukan pemimpin tetap akan dicurigai oleh anggota.

Di luar persoalan-persoalan di atas, konflik juga disebabkan oleh perbedaan


strategi perjuangan, khususnya terjadi antar organisasi di tingkat Kabupaten.
Menurut salah seorang pemimpin organisasi, yang dilakukan oleh sebuah
kelompok rakyat sudah tidak sesuai dengan langkah-langkah yang seharusnya
dijalankan. Menurutnya, sebuah organisasi harus melihat terlebih dahulu kasus
mana yang harus diperjuangkan, mana yang harus ditinggalkan. Sengketa yang
pantas untuk diperjuangkan adalah yang memiliki alas hak yang kuat sehingga
perjuangan tidak menjadi sia-sia. Demikian juga dengan perbedaan antara
perjuangan melalui negosiasi, lobby dan surat menyurat. Menurut seorang
pengurus, langkah paling tepat yang dilakukan adalah terlebih dahulu mengirim
surat kepada pihak-pihak berwenang, antara lain kepada pemerintah daerah,
propinsi, BPN Kabupaten dan Provinsi, kepada Presiden, perusahaan dan
sebagainya. Langkah tersebut kemudian dilanjutkan dengan dialog pengurus
organisasi untuk membicarakan penyelesaian sambil melakukan publikasi melalui
media.

Langkah-langkah seperti itu dianggap tidak efektif oleh kelompok atau


organisasi lain, karena berdasarkan pengalamannya, dialog, pertemuan, negosiasi
dengan pemerintah dan perkebunan adalah sia-sia, sehingga yang paling
diperlukan adalah membangun kekuatan massa menunjukkan kekuatan agar
pemerintah dan perkebunan memperhitungkan kekuatan rakyat. Namun
sayangnya, pandangan yang kedua ini tidak selalu mendapat respon dari para
anggota, sehingga pilihan kekuatan massa yang kemudian tidak terlaksana
dianggap sebagai isapan jempol saja oleh organisasi lain.

Seluruh persoalan-persoalan konflik internal tersebut sebenarnya sangat


biasa dalam organisasi rakyat. Namun yang membuat masalah semakin rumit
adalah ketiadaan komunikasi diantara anggota, pengurus dengan anggota, antar

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 84


pengurus dalam sebuah organisasi, maupun antara pengurus organisasi dengan
pemipin organisasi rakyat lainnya. Sampai saat ini, hampir tidak ada pertemuan di
tingkat basis kelompok maupun antar organisasi rakyat. Memang ada organisasi
rakyat yang mencoba membangun kekuatan bersama dengan membentuk aliansi
perjuangan tanah rakyat. Namun pemikiran tersebut belum mendapat respon
karena masih tingginya ego organisasi. Ego tersebut ditenggarai oleh kecurigaan
bahwasannya di tiap-tiap organisasi memiliki kepentingan dan dilatarbelakangi
oleh tujuan yang berbeda. Komunikasi tersebutlah yang sampai saat ini mandeg,
sehingga persoalan-persoalan yang memicu konflik internal kelompok maupun
internal organ perlawanan petani semakin subur dan merusak organisasi.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 85


IV. Kesimpulan dan Masa Depan Reforma Agraria

Sistem penguasaan dan pengelolaan tanah di Sumatera Utara, terutama di


Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu, baik dari sisi kebijakan maupun sengketa-
sengketa yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang politik
pertanahan sejak pra kemerdekaan hingga saat ini. Ini artinya, kompleksitas
sengketa dan berbagai kendala-kendala perubahan yang terjadi berakar dari
pergolakan dan dinamika politik yang berlangsung pada saat itu hingga sekarang,
ditambah dengan peran modal yang semakin kuat mencengkeram sistem
penguasaan tanah di Indonesia.

Pasca kemerdekaan tahun 1945, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk


melakukan perubahan sistem penguasaan tanah kolonial yang menjadi sumber
penghisapan rakyat oleh modal milik Belanda dan Swasta asing. Di samping itu,
peran kepemimpinan nasional pada saat itu memang cukup kuat yang didorong
oleh kekuatan-kekuatan politik terideologi, baik di tingkat nasional maupun di di
kalangan rakyat yang sudah tidak sabar dengan penindasan yang berlangsung.
Namun sayangnya rencana berdaulatnya tanah untuk rakyat tidak terlaksana
akibat tidak konsistennya kepemimpinan nasional, masuknya kekuatan militer,
dan yang paling penting adalah penghancuran secara sistematis kekuatan rakyat
dan perampasan hak-hak politik pasca 1965.

Sejak itu, sistem politik Indonesia diprioritaskan pada pertumbuhan


ekonomi, dimana seluruh sarana-sarana investasi dibuka se lebar-lebarnya, antara
lain dengan keluarnya undang-undang penanaman modal asing, kehutanan dan
pertambangan pada tahun 1967. Pasca keluarnya kebijakan tersebut, sistem
penguasaan dan pengelolaan tanah pun mundur ke masa kolonial, walaupun
dalam versi yang berbeda, dimana tanah dijadikan komoditas ekonomi. Dengan
paradigma pembangunan seperti itu, rakyat pun perlahan-lahan mulai terpinggir.

Periode awal peminggiran rakyat dari tanah sebagai penopang hidup adalah
pada kira-kira tahun 1957 ke atas. Pada saat itu, selain melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda, pemerintah rejim Soekarno juga mulai
menerima perusahaan-perusahaan asing selain Belanda yang mencoba menguasai
kembali perkebunan yang telah mereka tinggalkan sejak pemerintah fasis Jepang
menguasai Indonesia. Pada periode ini, rakyat yang sebelumnya telah mendapat
ijin menggarap tanah perkebunan, membuka hutan untuk pertanian mulai terusik.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 86


Walaupun pemerintah memberi perlindungan melalui Undang-Undang Darurat
No. 8 Tahun 1954 yang menyatakan pemerintah (melalui gubernur) diberi tugas
menyelesaikan penyelesaian masalah tanah dengan perusahaan tanpa merugikan
masyarakat.

Sayangnya, upaya perlindungan terhadap rakyat yang telah menggarap tanah


tersebut pun tidak berlangsung lama. Munculnya gejolak politik tahun 1965
menjadi titik balik kehancuran kekuatan rakyat, karena pemerintah dan
perusahaan perkebunan kemudian ingkar janji dan tidak melanjutkan penggantian
tanah atau pemindahan rakyat ke kawasan baru sesuai perjanjian dengan pihak
perkebunan. Rakyat yang menolak kemudian diintimidasi dan distigmatisasi
sebagai anggota organisasi terlarang. Ketakutan pun muncul, dan rakyat tidak
berani menuntut hak-hak yang telah direbut oleh perkebunan.

Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga melakukan hal yang
sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang tidak
menghormati hak-hak ulayat, yakni dengan mengesampingkan kepemilikan tanah
secara adat. Pemerintah dengan sengaja menggunakan hukum positif dalam
penyelesaian sengketa tanah sehingga kepemilikan komunal yang didasarkan pada
hukum adat selalu dikalahkan dalam sengketa-sengketa tanah.

Keluarnya undang-undang dan segala aturan yang mendukung pertumbuhan


ekonomi melalui pengutamaan investasi pun menjadi momentum kedua akar
konflik. Rakyat yang telah mengelola tanah sejak lama pun kemudian digusur atas
nama hak guna usaha. Perkebunan dan pemerintah sengaja memanfaatkan
ketiadaan alas-alas hak formal atas tanah guna dijadikan perkebunan-perkebunan
swasta dan negara dalam skala luas.

Pada tahun 1970-an sampai1980-an pun situasi semakin sulit bagi


masyarakat. Investasi perkebunan yang membutuhkan tanah dalam luasan besar
pun menghalalkan segala cara, terutama mengkonversi tanah pertanian rakyat
untuk perkebunan karet dan kelapa sawit. Rakyat pun harus keluar dari tanah
yang telah puluhan tahun ditempati, digantikan oleh hamparan perkebunan.
Selama puluhan tahun pun rakyat kemudian diam diakibatkan politik
mengambang dan kuatnya hegemoni kekuasaan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 87


Barulah pasca 1998 rakyat bergolak kembali, salah satunya adalah
perjuangan-perjuangan rakyat. Namun kali ini bukan hanya rakyat yang tanahnya
pernah dirampas oleh perusahaan yang melakukan perlawanan, masyarakat tak
bertanah, petani miskin yang tinggal di sekitar perkebunan dan hutan pun
menuntut hak-hak atas tanah dengan dasar keadilan sosial, hak-hak sipil dan
kemiskinan, sehingga wajar saja jumlah sengketa tanah pada tahun 2006, kasus
pertanahan di Indonesia sudah mencapai angka 2800 kasus.

Sayangnya, tingginya jumlah sengketa tanah tersebut tidak dibarengi dengan


keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan sengketa-sengketa tersebut. Di
Kabupaten Asahan saja saat ini sudah terjadi 122 kasus tanah yang belum
terselesaikan, belum lagi potensi konflik yang akan muncul akibat revitalisasi
perkebunan yang akan terjadi di masa yang akan datang akibat lambatnya
penanganan konflik tersebut, terjadi gejolak-gejolak di masyarakat dan akhirnya
berwujud pada hancurnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang
dianggap terlalu berpihak kepada perusahaan perkebunan.

Memang diakui selama ini masih sangat minim aturan-aturan yang bisa
digunakan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan. Cara paling umum yang
dilakukan ada dua, yakni musyawarah dan melalui pengadilan umum. Cara
pertama adalah yang paling sering dilakukan, sedangkan cara kedua adalah yang
paling disenangi perusahaan dan pemerintah. Walaupun dianggap cara paling
awam sekaligus tidak memberatkan pihak-pihak yang bersengketa, namun
pendekatan musyawarah pendekatan ini cenderung menjebak rakyat dalam alur
yang tidak berbelit dan berakhir dengan ketidakpastian. Sedangkan penyelesaian
melalui hukum sangat menguntungkan perusahaan perkebunan karena bisa
mempengaruhi proses hukum yang dijalankan dan punya ketahanan untuk
menjalani proses hukum dalam jangka waktu panjang.

Perjuangan rakyat semakin sulit ketika ternyata kendala bukan hanya datang
dari ketiadaan perlindungan hukum, rumitnya birokrasi, ketidakjelasan
mekanisme musyawarah yang ditawarkan pemerintah dan mahalnya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan. Kendala juga muncul dari internal organisasi-
organisasi perlawanan, antara lain tentang ketimpangan pemahaman antara
pemimpin dan anggota, tidak berjalannya kerja-kerja konsolodasi kelompok,
macetnya komunikasi internal maupun antar kelompok perlawanan rakyat. Selain
itu rakyat masih mudah terpengaruh dengan tawaran-tawaran perusahaan yang

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 88


cenderung memecah kelompok dengan membangun prasangka, kecemburuan,
curiga dan egoisme antar kelompok.

Masa Depan Reforma Agraria

Keluarnya pernyataan-pernyataan presiden tentang akan dilakukannya


reforma agraria sangat menyegarkan untuk didengarkan dalam kondisi dimana
masyarakat semakin terpinggir. Ketika modal semakin menguat mencengkram
segala sisi negeri ini, pemerintah seakan menemukan kembali semangat reforma
agraria yang pernah digulirkan pemerintah rejim Soekarno. Namun jika dilihat
dari realitas di lapangan, tampaknya kecenderungan ke arah itu masih sangat jauh.

Di beberapa pemerintah kabupaten saat ini sudah mulai dibicarakan tentang


program landreform, bahkan di Asahan sudah dalam bentuk proyek percontohan,
walaupun objek tanah landreform bukan tanah negara, namun jelas-jelas tanah
milik rakyat yang dirampas perkebunan. Tentu saja rakyat senang dengan
program tersebut, karena lelahnya berjuang sudah menampakkan hasil. Sayangnya
kemenangan tersebut dinodai dengan ketidakjelasan pembiayaan sertifikasi dan
permintaan 15% oleh pemerintah dari tanah yang dimenangkan untuk
membangun fasilitas umum.

Rapat-rapat yang dilakukan pemerintah juga sangat tertutup. Beberapa kali


pertemuan pemerintah daerah tidak pernah mengikutsertakan masyarakat,
padahal suara rakyat adalah yang paling penting dalam proses perencanaan
landreform. Selain itu, landreform yang dicontohkan pemerintah ternyata tidak
diikuti dengan penguatan kapasitas rakyat. Di beberapa tempat, seperti di Asahan
dan Deli Serdang, landreform dibiarkan terlepas tanpa dilanjutkan dengan
reforma agraria, sehingga tanah yang dimenangkan rakyat kemudian dijual kepada
pihak lain yang bukan petani. Malah pemerintah, dalam hal ini Pemda Kabupaten
dan BPN membuka lebar-lebar pihak Bank dan perusahaan-perusahaan besar
untuk menjadi penjamin dan bapak angkat usaha masyarakat. Satu sisi ini langkah
baik, namun jika dilihat pengalaman sebelumnya, baik itu program bapak angkat,
Program Inti Rakyat (PIR), dan kredit lunak terhadap petani tidak berhasil
mengangkat ekonomi masyarakat, malah membuat rakyat semakin terjebak dalam
hutang sehingga terpaksa menjual tanahnya.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 89


Belum lagi dilihat dari kriteria-kriteria yang akan disusun untuk pelaksanaan
landreform. Sampai saat ini belum jelas untuk siapa tanah yang akan
didistribusikan, dan status tanah seperti apa yang akan dibagikan ke masyarakat.
Belum jelas bagaimana status kurang lebih 50.000 Ha tanah sengketa, lebih dari
25.000 kepala keluarga dan tidak kurang dari 125.000 orang yang saat ini sedang
berjuang mendapatkan hak-hak hidup di Kabupaten Asahan. Demikian juga di
Kabupaten Labuhan Batu, Deli Serdang, Langkat, Simalungun, dan Serdang
Bedagai yang selama ini menjadi sentra perkembangan perkebunan. Kondisinya
tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten Asahan.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 90


DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, Deforestasi dan Degradasi Hutan, 2005


Arnoldo Contreras-Hermosilla, Forest Trends dan Chip Fay, ICRAF:
‘Memperkokoh pengelolaan hutan di Indonesia melalui pembaruan
penguasaan tanah: Masalah dan kerangka kerja’, yang diluncurkan dan
dibedah oleh Working Group Tenure dan ICRAF di Gedung Manggala
Wanabhakti, Jakarta, 19 Desember 2005.
Basarsyah, Tuanku, Luckman, Sinar, Reinterpretasi dan Reposisi Terhadap Adat
dan Tradisi? Kasus Melayu Islam Beraja di Serdang, Medan, 2003.
Bachriadi, Dianto, Conversion or Occupation?, The Possibility of Returning Local
Communities, Control Over Forest Lands in Indonesia, Jakarta, 2005.
FPTR, Expos Sengketa Tanah Rakyat yang dirampas oleh PT Socfindo Aek Loba,
Bandar Pulau, 2005.
Goenadi, Didiek, H., Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit di
Indonesia, Tim Tanaman Perkebunan Besar, Jakarta, 2005.
Hutagalung. Arie, S., Endang Pandamdari, Irene Eka Sihombing, Workshop
Proceeding, Summary Of Workshop Discussion On Customary Land And
Land Disputes, Jakarta, 2002.
Wiradi, Gunawan, Latar Belakang Lahirnya UUPA 1960 dan Eksistensinya selama
46 Tahun: Antara Gagasan dan Tindakan, Rumahkiri, Jakarta, 2003.
Wiradi, Gunawan, Masalah Perkebunan dalam Konteks Reforma Agraria: Mencari
Pegangan di Tengah Ketidakpastian, Rumahkiri, 2003.
Kalo, Syafruddin, Perbedaan Persepesi Mengenai Penguasaan Tana dan Akibatnya
Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur, Program Studi Hukum
Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 2003.
Kartodihardjo, Hariadi, Agus Supriono, Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap
Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan
Perkebunan di Indonesia, Center International Forestry Research, Jakarta,
2000.
Managara, R., Sektor Pertanian Menanggung Beban Berat dalam Menciptakan
Kesempatan Kerja, Jakarta, 2004.

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 91


Nasikun, Industrialisasi Kelapa Sawit Dalam Perspektif Sosial Budaya, Suatu
Kerangka Konseptual, Majalah EkonomiTahun XIVNo.2 Agustus 2004.
Parlindungan, Chalisah, Tanah Terlantar Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 36 Tahun 1998 an Permasalahan yang Terdapat di
Lapangan, Fakultas Hukum bagian Hukum Administrasi negara,
Universitas Sumatera, 2002.
Radjagukguk, Erman, Perlunya Reformasi UUPA, dalam
http://www.transparansi.or.id.
Rizal, Syamsul, Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA,
Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara,
Medan, 2003.
Sadikin, Tantangan Reforma Agraria: Sebuah Tinjauan Awal, Rumah Kiri
Indonesia, 2004.
Susila, Wayan, R., Liberalisasi perdagangan Pada Sub Sektor Perkebunan: Dampak
Upaya mengantisipasinya, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2004
Syahyuti, Kebijakan Lahan Abadi Untuk Pertanian Sulit Diwujudkan, Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dalam Analisis
Kebijakan Pertanian, Vol, 4 No.2 Juni 2006, Bogor, 2006.
Syahyuti, Kendala Pelaksanaan Landreform di Indonesia: Analisis Terhadap
Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan
Reforma Agraria, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian, Dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 22 No. 2
Desember 2004, Bogor, 2004.

Media Massa dan Website


www.kontan-online No. 18 Tahun xi, 5 Februari 2007
Kompas, Kamis, 28 September 2006
Harian Global, Jumat 27 April 2007
Kompas, 16 Juni 2006
TEMPO Interaktif, 18 Desember 2006.
Bisnis Indonesia : 24 Januari 2007

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 92


Waspada, 13 April 2007
Medan Bisnis, 27 April 2007
Bisnis Indonesia, Januari 2007
www.Pemkab-Asahan.go.id

Peraturan dan Perundang-


Perundang-undangan
Undang-Undang No 28 Tahun 1956, Tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan
Hak Tanah-Tanah Perkebunan.
Peraturan Pemerintah No. P 38/1963, Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum
yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
Peraturan Pemerintah No. 21/1964, Tentang Pembentukan Gabungan Perusahaan
Sejenis Perkebunan besar.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.146/Kpts-II/2000 Tentang
Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan Untuk
Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia, No, 34 Tahun 2003 Tentang kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-Undang Republik ahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Undang0Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 Tentang Penyelesaian Soal
Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat
Perpu No. 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang
Berhak atau Kuasanya

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 93


Lampiran
DATA KONFLIK PERTANAHAN
DI KAB ASAHAN DAN LABUHAN BATU

1. Kelompok Tani Tanah Perjuangan Desa Simpang Gambus dengan PT Socfindo


Kebun Tanah Gambus, Kecamatan Limapuluh
2 Kelompok Tani Karang Makmur dengan PT Socfindo Tanah Gambus, Desa
Tanah Gambus, Kecamatan Limapuluh
3 Kelompok tani Satu Kata Perjuangan dengan PT Socfindo Kebun Tanah
Gambus, Desa Tanah Gambus, Kecamatan Limapuluh
4 Kelompok Tani Penampungan Sengon Sari dengan PT Socfindo Aek Loba,
Desa Sengon Sari Kecamatan Aek Kuasan
5 Kelompok Tani Kelapa Gading dengan PT Socfindo Kebun Aek Loba, Desa
Aek Bange, Kecamatan Aek Kuasan
6 Kelompok tani Maju Lestari dengan PT Socfindo, Desa Aek Korsik, Kecamatan
Aek Kuasan
7 Kelompok tani Wakidi cs dengan PT Socfindo Aek Loba, Desa Sengon Sari,
Kec. Aek Kuasan
8 Kelompok Tani bambu Runcing dengan PP Lonsum Gunung Melayu
Kecamatan Bandar Pulo
9 Kelompok Tani Batu Anam Dusun Margodadi Desa Batu Anam Kecamatan
Bandar Pulo dengan PT Asian Agri Gunung Melayu dan PT Balai Asahan
10 Kelompok Tani Warga Juang dengan PT Padasa Enam Utama Kebun Teluk
Dalam, Kecamatan Simpang Empat
11 Kelompok Tani Perjuangan dengan PT Padasa Enam Utamam Desa Teluk
Dalam, Kecamatan Simpang empat
12 Kelompok Tani Inti Juang dengan PT Padasa Enam Utama Kebun Teluk
Dalam, kecamatan Simpang Empat
13 Kelompok Tani Pro Reformasi dengan PT Padasa Enam Utama Kebun Teluk
Dalam, Dusun Tangkahan Padang, Desa Teluk Dalam Kecamatan Simpang
Empat
14 Kelompok Tani Sepakat dengan PT Padasa Enam Utama, Kebun Teluk Dalam
dusun Pulau Besar Desa Teluk Dalam Kecamatan Simpang Empat
15 Kelompok Tani Wasura dengan PTPN III Kebun Pulo Raja Desa Persatuan
Kecamatan Pulau Rakyat
16 Kelompok Tani Pomparan Raja Putcuri Bintang dengan PTPN III Kecamatan
Bandar Pulo (tanah penampungan 83 KK
17 Kelompok Tani Lansia dengan PTPN III Kebun Sei Dadap, Desa Sei Dadap
Kecamatan Air Batu
18 Kelompok Tani Masyarakat titi Gambang (YBTN) dengan PTPN III Sei Silau,
Desa Sei Silau Kecamatan Buntu Pane

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 94


19 Kelompok Tani YBTN Buntu Pane dengan PTPN III Sei Silau, Desa Sei Silau
Barat, Sei Silau Timur, Sei Silau Maraja, Sei Silau Tua dan Desa Prapat Janji
Kecamatan Buntu Pane
20 Kelompok Tani Liang Natolpus dengan PTPN IV Desa Suka Makmur
Kecamatan B.P Mandoge
21 Kelompok Tani M Idris dengan PT Sari Persada Raya Desa Huta Padang,
Kecamatan B.P Mandoge
22 Kelompok Tani Maju Bersatu dengan PT Bakrie Sumatera Plantation, Desa Sei
Kopas, Kecamatan B.P Mandoge
23 Kelompok Tani TPKM, basri Lubis dengan PT BSP, Desa Huta Padang
24 Kelompok Tani Ina Tani Saur Matua Pardembanan dengan PT Jaya Baru
Pratama di Desa Sei Kopas, Kecamatan B.P Mandoge
25 Kelompok Tani Reformasi dengan PT Karetia dan PT Sijabut desa Sijabut
Kecamatan Air Batu
26 Kelompok Tani Tempayang (Gundaling) dengan PT Perkebunan Sumatera
Utara Tanjung Kasau, Desa Tanjung Kasau, Kecamatan Sei Suka
27 Kelompok Tani Tanjung Bunga dengan PT Kwala Gunung seluas 180 Ha, Desa
Kwala Gunung Kecamatan Limapuluh
28 Kelompok Tani Betahamu desa Gajah dengan Koperasi PUSKOPAD Kodam I
BB, Desa Gajah, Kecamatan Sei Balei
29 Kelompok Tani Suka Makmur dengan PT Tinggi Raja Desa Tinggi Raja
Kecamatan Air Batu
30 Kelompok Tani Sadar Sempurna Desa Pembangunan Kecamatan Sei Kepayang
31 Kelompok Tani Anggota KUD Tridharma dengan Pengusaha AAN Manurung
dan H Zul di Desa Bangun Kecamatan Pulau Rakyat
32 Kelompok Tani Desa Lubuk Besar dengan Ramdas Naidu dan SM Situmorang
atas tanah bekas lapangan terbang
33 Kelompok Tani Dos Ni Roha dengan Aki als dan Riadi, Warga Tebing Tinggi,
Dusun Hutarau/Sigombar Gombur Desa Gonting Malaha Kecamatan bandar
Pulau
34 Kelompok Tani 7 Marga dengan PT RGM Gunung Melayu di Kecamatan
Buntu Pane
35 Kelompok Tani Ujung Masihi dengan PT RGM Gunung Melayu desa
Sidomulyo Kecamatan Buntu Pane
36 Kelompok Tani Miskin Sepi Lawas dengan PT RGM Gunung Melayu desa
Batu Anam Kecamatan bandar Pulau
37 Kelompok Tani Tunas Buana Karya Bangsa dengan PT RGM Gunung Melayu
Desa Batu Anam Kecamatan Bandar Pulau
38 Kelompok Tani Harapan Jaya dengan PT Asian Agri RGM Gunung Melayu
Kecamatan Bandar Pulau
39 Kelompok Tani Reformasi Damai dengan PT Asian Agri/RGM Gunung
Melayu, Desa Sidomulyo Kecamatan Buntu Pane

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 95


40 Kelompok Tani Tangkisan Meriam dengan PT Asian Agri/RGM Gunung
Melayu Desa Batu Anam Kecamatan bandar Pulau
41 Kelompok Tani Masyarakat Pinggol Toba/Gonting Malaha dengan PT Asian
Agri/RGM Gunung Melayu desa Gonting Malaha Kecamatan Bandar Pulo
42 Kelompok Perjuangan Petani Wonorejo dengan PT Asian Agri/RGM Gunung
Melayu Desa Batu Anam Kecamatan Bandar Pulau
43 Kelompok Tani Wonorejo Batu Anam dengan PT Asian Agri/RGM desa Batu
Anam, Kecamatan Bandar Pualu
44 Kelompok masyarkat Petani penggarap dengan Pihak PTPN IV Kebun Sei
Kopas Kecamatan B.P Mandoge
45 Kelompok Tani Dr Sama Douglas dengan PT Sari Persada Raya, Kecamatan
B.P Mandoge
46 Kelompok Tani Mardi Rahayu dengan PP Lonsum Kebun Dolok, Desa Sumber
Padi Kecamatan Limapuluh
47 Front Perduli desa dan Masyarakat penggarap di Desa Tanjung Kasori dengan
PT Perkebunan Sumatera Utara
48 Kelompok tani Sapilpil Bolon, Kecamatan BP. Mandoge
49 Masyarakat Desa Sinuhil dengan PT SPR
50 Masyarat Desa Tanjung Tonga-Tonga dengan PT SPR
51 Masyarakat Tani Surungan Batu dengan PT SPR di BP. Mandoge
52 Masyarakat Silo Hataran dengan PT SPR di BP. Mandoge
53 Masyarakat Tiga Lungon dengan PT SPR di BP. Mandoge
54 Masyarakat marhasing dengan PT SPR di BP. Mandoge
55 Masyarakat Desa Aeknatolu di BP. Mandoge
56 Kelompok Tani KOPASUS
57 Kelompok Tani Kembang Serang
58 Kelompok Tani Dos Ni Roha dengan PT Padasa Enam Utama
59 Kelompok Tani Batu Anam di Desa Rahuning
60 Kelompok Tani Paduan Karya Desa Bagan Baru, Kec. Tanjung Tiram
61 Kelompok Tani DOLMAR Desa Lobu Rappa
62 Kelompok Tani Kasturi TOP Pulau Rakyat
63 Kelompok Tani Nila Jaya Desa Bagan Asahan
64 Kelompok Tani Mandiri Desa Padang Mahondang
65 Kelompok Tani Sidorukun Desa Airjoman
66 Kelompok Tani Pirlok Silo Jawa
67 Kelompok Tani Medang Agung Desa pagurawan
68 Kelompok Tani Manggrove Lestari Desa pematang Sei Baru
69 Kelompok tani Wana Lestari Desa Gonting Malaha
70 Kelompok Tani Jaga Wana Lestari Desa Gonting Malaha
71 Kelompok Tani Gombur Lestari, Desa Gonting Malaha
72 Kelompok Tani TOR Sisalaen Desa Buntu Maraja
73 Kelompok Tani Maraja Lestari Desa Buntu Maraja
74 Kelompok Tani Cinta Mardongan Desa Buntu Maraja

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 96


75 Kelompok Tani Elas Marpedan Desa Buntu Maraja
76 Kelompok tani Logu Lestari Desa Buntu Maraja
77 Kelompok tani Dambuan Raki Desa Silojawa
78 Kelompok Tani Teratai Indah desa Terusan tengah
79 Kelompok tani Gunung Lestari Desa Buntu Maraja
80 Kelompok Tani Sugapa Lestari Desa Buntu Maraja
81 Kelompok Tani Gorat Lestari Desa Buntu Maraja
82 Kelompok tani Ketapang, Desa Padang Mahondang
83 Kelompok tani Perintis, Desa padang Mahondang
84 Kelompok Tani Suka Taruna Baru Desa Rawang Pasar IV
85 Kelompok Tani Makmur Desa Rawang V
86 Kelompok Tani Anggiat Maju Desa Pematang Pao
87 Kelompok Tani Mawar Desa Panca Arga Meranti
88 Kelompok Tani Gabema, Kecamatan Sei Balei
89 Kelompok tani KSM Maduma Desa Kwala Sikasim
90 Kelompok Tani Maduma, Air Putih Sei Balei
91 Kelompok Tani Suka Makmur Desa pulau Besar
92 Kelompok Tani Maju Desa Rawang pasar V
93 Kelompok Tani KSM Pulau Maria desa Pulau Maria
94 Kelompok Tani Anugerah Tani Desa Rawang Lama
95 Kelompok Tani Serasi Desa Pematang Rambe
96 Kelompok Tani Rukun Sari dengan PT EMHA di Desa Sipare-pare Kecamatan
Air Putih
97 Makmur Panjaitan dengan Usman Sitorus
98 Tanah Persawahan POLRI dengan Hendrik (Jitwang)
99 Masyarakat Kelompok Tani Dos Tahi dengan Dailami dan Amiruddin
100 masyarakat Kiri Mudik Sei Masehi Masundung Rahuning Dengan PT Asian
Agri/RGM Desa Batu Anam Kec. Bandar Pulau
101 Kelompok Tani Mandiri Desa Padang Mahondang dengan IPP Paroki Santo
Pius Keuskupan Agung Medan
102 Burhanuddin Sitorus dengan PTPN IV B.P Mandoge, Desa BP Mandoge
103 Ishak Siregar dengan PT Perkebunan Sumatera Utara di Desa Laut Tador Kec
Sei Suka
104 Amanto CS dengan PT BSP di Dusun III Gedangan, Kecamatan Meranti
105 M Syafii Sitorus dengan PTPN IV Airbatu
106 Arisman Cs dengan PT Sijabut, Desa Danau Sijabut
107 Karmin Cs dengan PTPN IV Airbatu, Piasa Ulu Kecamatan Buntu Pane
108 Kelompok Tani Reformasi desa Tanjung Kubah dengan Lucas Saragih di Desa
Tanjung Kubah Kecamatan Air Putih
109 Kelompok Tani Saroha dengan PTPN IV Sei Kopas Kecamatan B.P Mandoge
110 Ubah Pardede dengan Aki alias Raidi di Dusun Hutarau Gonting Malaha
Kecamatan Bandar Pulau

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 97


111 Masyarakat Desa Bangun Baru, Sei Paham dan Pertahanan dengan pemerintah
dan H Adlin Siddin
112 Koperasi Karyawan Pulo Raja dengan Aan Manurung dan PT Asian Agri di
Desa Bangun dan Desa Persatuan Kecamatan Pulau Rakyat
113 Kelompok Anak Manjae dengan Suhaimi Siagian di Desa Simpang Gambus
Kecamatan Limapuluh
114 Jaffar Siddik dengan PT Socfindo
115 Kelompok Tani Gotong Royong penggarap lahan tidur di Desa padang
mahondang Kecamatan Pulau Rakyat
116 Kelompok tani Dos Ni Roha dengan PT Padasa Enam Utama, Desa Teluk
Dalam Kecamatan Simpang empat
117 Kelompok Tani Sepakat Tani dengan PTPN IV Sei Kopas di Desa Sei Kopas
Kecamatan B.P Mandoge
118 Kelompok tani Lubuk Besar dengan SM Aritonang, Ramdas naidu dan Santa
Dewi di Desa Lubuk Besar Kecamatan Limapuluh
119 Kelompok Masyarakat petani dengan PT Paduan Karya Desa bagan Baru, di
Tanjung Tiram
120 Kelompok Tani Karya Makmur dengan PT Inti Palm Sumatera Desa
Pembangunan dan Desa Sei Paham, Kecamatan Sei Kapayang
121 Kasus perambahan Hutan Lindung Tormatutung
122 Kasus Perambahan hutan lindung Tormatutung
123 Warga Desa Sungai Samsu, Kampung Araruna dengan PUSKOPAD

Situasi Pertanahan di Asahan dan Labuhan Batu 98

Anda mungkin juga menyukai