Anda di halaman 1dari 21

ONTOLOGI

Dosen pengampu: A. K. Prodjosantoso

Oleh: Dyna Natalia (13708251 Eti Wahyuningsih (13708251089) Listika Yusi R. (13708251 Maratus Solihah (13708251 Muhammad Syarif S.A.S. (13708251102) Nurul Hidayati (13708251 Zuher (

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2013

ONTOLOGI

PENGERTIAN ONTOLOGI Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Menurut Soetriono & Hanafie (2007), Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan. Sedangkan menurut Suriasumantri (1993), telah ontologis akan menjawab pertanyaanpertanyaan: 1. Apakah obyek ilmu yang akan ditelaah 2. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut 3. Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan. Menurut Pandangan The Liang Gie, Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan:

Apakah artinya ada, hal ada? Apakah golongan-golongan dari hal yang ada? Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada? Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada ? Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles, ontologi

yaitu teori atau studi tentang being / wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM). Pengertian paling umum pada

ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. Sementara itu Bakker (1992) menyatakan bahwa ontologis bergerak dari dua kutub, yaitu pengalaman akan kenyataan kongkret dan pra-pengertian mengada yang paling umum. Dalam refleksi ontologis kedua kutub itu saling menjelaskan. Atas dasar pengalaman tentang kenyataan akan semakin didasari dan dieksploitasikan arti dan hakikat mengada. Tetapi sebaliknya prapemahaman tentang cakrawala mengada akan semakin menyoroti pengalaman kongkret itu, dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh. Jadi refleksi ontologis berbentuk suatun lingkaran hermenuetis antara pengalaman dan mengada, tanpa mampu dikatakan mana yang lebih dahulu. Dikatakan oleh Bekker bahwa dalam ontologi tidak ada rumus yang tepat, yang ada hanya mungkin sebagai kesimpulan-kesimpulan uraian Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari suatu pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan atau penelitiannya tersebut. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal. Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak dapat menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajiannya.

Hakikat yang dikaji dalam ontologi yaitu: 1. Apakah sesungguhnya hakekat realita yang sebenarnya? 2. Apakah realita yang nampak ini suatu realita materi? 3. Atau ada sesuatu dibalik realita itu? 4. Apakah ada rahasia alam? 5. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap? 6. Apakah hakekat semesta ini bersifat tetap? 7. Apakah realita ini berbentuk satu unsur atau banyak? KEBERADAAN ONTOLOGI Ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar (akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan itu). Jadi dalam ontologi yang dipermasalahkan adalah akar-akarnya hingga sampai menjadi ilmu (Suriasumantri, 1993). Pada saat ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat hokum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejalagejala empiris. Dalam tahap ontologis ini manusia mulai mengambil jarak dari obyek sekitar, tidak seperti yang terjadi dalam dunia mistis, di mana semua obyek berada dalam kesemestaan yang bersifat difus dan tidak jelas batas-batasnya. Manusia mulai memberikan batas-batas yang jelas kepada obyek kehidupan tertentu yang terpisah dengan eksistensi manusia sebagai subyek yang mengamati dan yang menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, dalam tahap ontologis manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, ilmu tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan penalaran. Ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat mengerti hakikat permasalahan yang dihadapi itu. Dengan demikian maka dia dapat memecahkannya. Dalam hal ini pertama-tama ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat kongkret yang terdapat dalam dunia nyata. Secara ontologism, ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia (Suriasumantri, 1993). Hal ini harus kita sadari karena inilah yang memisahkan daerah ilmu dengan agama. Agama

berbeda dengan ilmu, mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar pengalaman manusia, baik sebelum manusia ini berada di muka bumi sebagaimana manusia diciptakan maupun sesudah kematian manusia, seperti yang terjadi setelah adanya kebangkitan kembali. Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapi juga menyebabkan perbedaan metode. Ini harus diketahui dengan benar untuk dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa mengetahui hal ini maka mudah sekali kita terjatuh dalam kebingungan. Padahal dengan menguasai hakikat ilmu dan agama secara baik, akan memungkinkan pengetahuan berkembang lebih sempurna, karena kedua pengetahuan itu justru saling melengkapi. Pada satu pihak agama akan memberikan landasan moral bagi aksiologi keilmuan, sedangkan di pihak lain ilmu akan memperdalam keyakinan beragama. Menanggapi kenyataan yang terdalam Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat yang tertua di antara segenap filsuf Barat yang kita kelan ialah orang Yunani yang bijak dan arif yang bernama Thales. Atas perenungannya terhadap air yang terdapat dimana-mana, ia sempai pada kesimpulan bahwa air merupakan subtansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang penting bagi kita sesungguhnya bukanlah ajaran-ajarannya yang mengatakan bahwa air itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu subtansi belaka. Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Disinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaan yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, danging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai subtansi-subtansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada pemeliharaan antara kenampakan (appearance) dangan kenyataan (reality). Jarang terjadi sekali, si polon (orang kebanyakan) umpamanya, menjadi sadar apa yang secara selayang pandang tampak sabagai makanan yang sedap, namun setelah dicicipinya ternyata sebatang lilin dan sama sekali bukan makanan. Jika kita menginginkan suatu istilah yang dapat diterapkan kepada orang kebanyakan semacam itu, kiranya mereka dapat dinamakan para penganut paham pluralisme yang bersahaja di bidang ontologi. Dikatakan bersahaja kerena

segala sesuatu di pandang dalam keadaan yang wajar. Dikatakan penganut paham pluralisme kerena perpendirian ada banyak subtansi yang terdalam. Istilah-istilah dasar dalam bidang ontologi Sebagaimana telah dikatakan filsafat dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang bertugas sebagai alat yang membahas segala sesuatu. Sesuai dengan pendapat ini, maka usaha pertama untuk memahami ontologi ialah menyusun daftar dan memberikan keterangan mengenai sejumlah istilah dasar yang digunakan di dalamnya. Di antara istilah-istilah terpenting yang terdapat dalam bidang antologi ialah: yang-ada (being), kenyataan (reality), eksistensi (existence), perubahan (change), tunggal (one), jamak (many). Pertama-tama akan dibahas adalah isi atau makna yang terkandung oleh istilah-istilah tersebut, termasuk di dalamnya, sejumlah pernyatan yang menggunakan istilah-istilah tadi. Aspek Ontologi (Hakekat Jenis Ilmu Pengetahuan) Ontologi, dalam bahasa Inggris ontology, berakar dari bahasa yunani on berarti ada, dan ontos berarti keberadaan. Sedangkan logos berarti pemikiran. Jadi, antologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaan. Selanjutnya menurut A.R. Lacey, antologi diartikan sebagai a central part of metaphisics (bagian sentral dari metafisika). Sedangkan metafisika diartikan sebagai that which comes after physics,the study of nature in generla. (hal yang hadir setelah fisika,..study umum mengenai alam). Dalam metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam semesta ini berhakikat monistik atau pluralistic, bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah alam semesta ini merupakan kesungguhan (actual) atau kemungkinan (potency). Beberapa karekteristik ontologi seperti diungkapkan oleh Bagus, antara lain dapat disederhanakan sebagai berikut: 1. Ontologi adalah study tentang arti ada dan berada, tentang cirri -ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendirinya, menurut bentuknya yang paling abstrak. 2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan katagori-katagori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan, dan sebagainya

3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada, yaitu yang satu, yang absolute, bentuk abadi, sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-nya. 4. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya. Seperti telah diungkap diatas, hakikat abstrak atau jenis menentukan kesatuan (kesamaan) dari berbagai macam jenis, bentuk dan sifat hal-hal atau barang-barang yang berbeda-beda dan terpisah-pisah. Perbedaan dan keterpisahan dari orang-orang bernama Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya, terikat dalam satu kesamaan sebagai manusia. Manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda lain yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, tyersatukan dengan kesamaan jenis sebagai makhluk. Jadi, hakikat jenis dapat dipahami sebagai titik sifat abstrak tertinggi daripada sesuatu hal (an ultimate nature of a thing). Pada titik abstrak tertinggi inilah segala macam perbedaan dan keterpisahan menyatu dalam subtansi dalam filsafat, study mengenai hakikat jenis atau hakikat abstrak ini masuk kedalam bidang metafisika umum (general metaphisics) atau ontology. Oleh sebab itu, pembahasan tentang hakikat jenis ilmu pengetahuan berarti membahas ilmu pengetahuan secara ontologis. Persoalannya adalah sejauh mana fakta perbedaan dan keterpisahan ilmu pengetahuan ini merupakan kesungguhan (actus) atau kemungkinan (potency), dalam arti seharusnya ilmu pengetahuan itu tentang pluralistic atau monolistik? Secara ontologis, artinya secara metafisika umum, objek materi yang dipelajari didalam pluralitas ilmu pengetahuan, bersifat monistik pada tingkat yang paling abstrak. Seluruh objek materi pluralitas ilmu pengetahuan, seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan zat kebendaan berada pada tingkat abstrak tertinggi yaitu dalam kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk. Kenyataan itu mendasari dan menentukan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pluralitas ilmu pengetahuan berhakikat satu, yaitu dalam kesatuan objek materinya. Disamping objek materi, keradaan ilmu pengetahuan juga lebih ditentukan oleh objek forma. Objek forma ini sering dipahami sebagai sudut atau titik pandang (point of view), selanjutnya menentukan ruang lingkup study (scope of the study). Berdasarkan ruang lingkup studi inilah selanjutnya ilmu pengetahuan berkembang menjadi plural, berbeda-beda dan cenderung saling terpisah antara satu dengan yang lain. Berdasarkan pada objek forma, selanjutnya ilmu pengetahuan cenderung dikembangkan menjadi plural sesuai dengan jumlah

dan jenis bagian yang ada didalam objek meteri. Dari objek materi yang sama dapat menimbulkan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang plural dan berbeda-beda. Dari objek materi manusia, misalnya: melahirkan ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu pendidikan dengan ranting-rantingnya. Dari objek materi alam, melahirkan ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu biologi, dan matematika dengan ranting-rantingnya. Jadi secara ontologis, hakikat pluralitas ilmu pengetahuan menurut perbedaan objek forma itu tetap dalam kesatuan system, baik interdisipliner maupun multidisipliner. Interdisipliner artinya keterkaitan antar pluralitas ilmu pengetahuan dalam objek materi yang sama, dan multidisipliner artinya keterkaitan antar pluralitas ilmu pengetahuan dalam objek materi yang berbeda. Berdasarkan kedua system tersebut, perbedaan antar ilmu pengetahuan justru mendapatkan validitasnya, tetapi secara ontologis pemisahan atas perbedaan ilmu pengetahuan yang berbeda-beda berkonsekuensi negatif berupa perilaku disorder (pengrusakan) terhadap realitas kehidupan .disamping, pendekatan kuantitatif menurut objek materi dan objek forma terhadap pemecahan masalah hakikat ilmu pengetahuan, secara ontologis masih ada pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif, persoalan yang sama, yaitu aspek ontologi ilmu pengetahuan dengan persoalan hakikat keberadaan pluralitas ilmu pengetahuan, dapat digolongkan kedalam tingkat-tingkat abstrak universal, teoretis potensial dan kongkret fungsional. Pada tingkat abstrak universal, pluralitas ilmu pengetahuan tidak tampak. Pada tingka ini yang menampak adalah ilmu pengetahuan itu satu dalam jenis, sifat dan bentuknya didalam ilmu pengetahuan filsafat. Karena filsafat memandang suatu objek materi menurut seluruh segi atau sudut yang ada didalamnya.dari keseluruhan segi itulah filsafat mempersoalakan nilai kebenaran hakiki objek materinay, yaitu kebenaran universal yang berlaku bagi semua ilmu pengetahuan yang berbeda dalam jenis, sifat dan dalam bentuk yang bagaimanapun. Lebih dari itu, bagi filsafat, perbedaan objek materi itu hanyalah bersifat aksidental, bukan substansial. Bagaimanapun perbedaan objek materi, tetap dalam satu system yang tak terpisahkan, yaitu tak terpisahkan dalam substansi mutlak (causa prima). Didalam causa prima inilah kebenaran universal tertinggi yang bersifat demikian, maka meliputi pluralitas kebenaran, dan berfungsi sebagai sumber dari segala sumber kebenaran. Selanjutnya, pada tingkat teoreti potencial, pluralitas ilmu pengetahuan mulai tampak. Pada tingkat teoretis, boleh jadi pluralitas ilmu pengetahuan masih berada dalam satu kesatuan

system. Suatu teori berlaku bagi banyak jenis ilmu pengetahuan serumpun, tetapi tidak berlaku bagi banyak jenis ilmu pengetahuanyang berlainan rumpun. Teori ilmu pengetahuan social, cenderung tidak dapat digunakan dalam rumpun ilmu pengetahuan alam, karena perbedaan watak objek materi. Manusia dan masyarakat, sebagai objek materi ilmu pengetahuan social, berpotensi labil dan cenderung berubah-ubah, sedangkan badan-badan benda sebagai objek materi ilmu pengetahuan alam berpotensi stabil dan cenderung tetap. Karena itu, teori ilmu pengetahuan sosial cenderung berubah-ubah menurut dinamika eksistensi kehidupan manusia dan masyarakat, dan teori ilmu pengetahuan alam cenderung bersifat tetap. Kemudian, pada tingkat praktis fungsional, pluralitas ilmu pengetahuan justru mendapatkan legalitas akademik. Karena pada tingkat ini, ilmu pengetahuan dituntut untuk memberikan kontribusi praktis secara langsung terhadap upaya reproduksi demi kelangsungan eksistensi kehidupan manusia. Pada tingkat ini, kebenaran teoretis potensial disusun dalam suatu system tekhnologis, sehingga membentuk tekhnologi yang siap memproduksi barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan manusia dan masyarakat. Pada tingkat praktis fungsional ini, pluralitas dalam hal perbedaan dan keterpisahan ilmu pengetahuan, tersatukan dalam suatu system tekhnologi, yang semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan eksistensi kehidupan. Metafisika Dalam bahasa Inggris berakar dari bahasa Yunani on berarti ada dan ontos berarti keberadaan, logos berarti pemikiran Lorens Bagus : 2000). Ontologi menurut A.R. Lacey, ontologi berarti a central part of metaphisics (bagian sentral dari metafisika) sedangkan metafisika diartikan sebagai that which comes after physics, the study of nature in general (hal yang hadir setelah fisika, studi umum mengenai alam). Berdasarkan asal katabya Metafisika dapat diartikan (Bahasa Yunani: (meta) = setelah atau di balik, (phsika) = hal-hal di alam) adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang ada, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan,

metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini: 1. Aliran monoisme. Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Aliran ini terbagi menjadi dua aliran lagi yaitu materialisme dan idealisme a. Idealisme Teori ini mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu yang tampak dan terwujud nyata dalam indrawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia idea. Barkeley menyatakan bahwa satusatunya realitas yang sesungguhnya ialah aku yang subyektif spiritual, sedangkan Immanuel Kant mengatakan bahwa obyek pengalaman kita, yaitu yang ada dalam ruang dan waktu, tidak lain daripada penampilan dari yang tak memiliki konsistensi independen di luar pemikiran kita dan hal ini ditegaskan pula oleh Friedrich Hegel bahwa segala sesuatu yang ada adalah bentuk dari satu pikiran. b. Materialisme Materilaisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Baginya, yang ada sesungguhnya adalah keberadaan yang semata-mata bersifat material atau sama sekali tergantung pada material. Jadi realitas yang sesungguhnya adalah lambing kebendaan dan segala sesuatu yang mengatasi alam kebendaan. Oleh sebab itu seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara materialistis. 2. Dualisme Dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe fundamental yang berbeda dan tak dapat direduksikan kepada yang lainnya. Kedua tipe fundamental dari substansi itu ialah material dan mental. Dengan demikian dualism mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis.

3. Naturalisme Kejadian sebagai katagori pokok.William R. Dennis seorang penganut paham naturalisme dewasa ini mengatakan, naturelisme modern-ketika berpendirian bahwa apa yang di namakan kenyataan pasti bersifat kealaman-beranggapan bahwa katagori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan ialah kejadian. Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa. Hanya satuan-satuan semacam itulah yang merupakan satu-satunya penyusun dasar bagi segenap hal yang ada. Yang nyata pasti bereksistensi. Ada dua macam kesimpulan yang segera dapat ditarik dari pendirian di atas. Pertama, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang dan waktu tidak mungkin merupakan kenyataan. Kedua apa pun yang di anggap tidak mungkin untuk ditangani dengan menggunakan metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam, tidak mungkin merupakan kenyataan. Ini bukan hanya berarti bahwa yang bereksistensi bukan merupakan himpunan bawahan dari kenyataan melainkan bahwa kedua himpunan tersebut persis sama artinya. 4. Agnostisisme Agnotisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang Yang-Mutlak; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang dapat diverifikasi. Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur skeptisisme. Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu) dan a (tidak). Arti harfiahnya seseorang yang tidak mengetahui. Agnostisisme tidak sinonim dengan ateisme. 5. Supernaturalisme Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Dari paham Supernatural ini lahirlah tafsiran-tafsiran cabang seperti Animisme, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.

6. Pluralisme. Aliran ini berpendapat bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Plurarisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur. Unsur yang dimaksud adalah tanah, air, api dan udara. 7. Nihilisme. Aliran ini berpendapat bahwa tidak ada sesuatu pun yang eksis. Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Pandangan Grogias (483- 360 SM) yang memberikan tiga proporsi realitas: Pertama: tidak ada sesuatupun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua: bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat kita ketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan it sumber ilusi. Ketiga: sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. 8. Aliran yang Bersahaja Kebanyakan orang setidak-tidaknya mengadakan pembedaan antara barang-barang yang dapat dilihat, diraba, yang tidak bersifat kejasmanian atau yang dipahamkan jiwa. Kadang kadang orang kebanyakan menjumpai mereka yang berpendirian bahwa sesungguhnya jiwa itu tidak ada, yang ada dalam kenyataannya ialah barang kejasmanian, pendirian yang demikian ini tidak begitu diperhatikan, demi pertimbangan keselamatan diri mereka. Tapi kadang mereka sangat resah akan ajaran-ajaran semacam itu. Mungkin mereka sesekali memaki-maki dengan keras para penganut paham materialisme tersebut. 9. Aliran Kuantitatif dan Kualitatif Dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan, kenyataan itu tunggal atau jamak? yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan itu? yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan tertentu, segenap masalah dibidang ontologi dapat dikembalikan kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat umum, seperti bagaimanakah cara kita hendak membicarakan kenyataan. Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum

mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata. Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat. Keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada. Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan/ditelaah secara: a. Metodis; menggunakan cara ilmiah b. Sistematis; saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu kesatuan. c. Koheren; unsur-unsurnya harus bertautan; tidak boleh mengandung unsur yang bertentangan. d. Rasional; harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar/logis. e. Komprehensif; melihat objek tidak hanya dari satu sisi saja melainkan secara keseluruhan. f. Radikal; diuraikan sampai akar persoalannya. g. Universal; muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku dimana saja. Asumsi Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian. Sebuah contoh

asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa.. penjajahan diatas bumitidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna. Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan. Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data. Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain; Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat dalam suatu entimen . Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005): 1. Deterministik. Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. 2. Pilihan Bebas Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan.

Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu. 3. Probabilistik Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi. Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya. Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang.

Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan. Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini? Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis Asumsi ini harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya bukan bagaimana keadaan yang seharusnya. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif. Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda: Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsepkosep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada. Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung pada persepsi individu. Sebagai misal secara khusus dalam metodologi ilmu sosial, terdapat dua asumsi berbeda dalam membicarakan tentang sifat masyarakat sosial. Asumsi ini sangat penting dalam menentukan pendekatan terhadap masalahmasalah yang berhubungan dengan konflik, perubahan dan pemaksaan dalam masyarakat. Asumsi yang berbeda ini tercermin dalam dua teori: 1. Order: Asumsi ini lebih diterima secara umum oleh para ahli ilmu sosial. Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat:

Relatif stabil. Terintegrasi dengan baik. Elemen dari masyarakat itu memiliki fungsi masingmasing dan saling berkoordinasi. Struktur sosial tercipta berdasarkan konsensus, bukan pemaksaan (coercion ) Konflik

Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat : Mengalami perubahan di banyak aspek Mengalami konflik di banyak aspek.

2. Regulasi. Setiap elemen dari masyarakat memiliki kontribusi ke arah disintegrasi Perbedaan order versus konflik ini cenderung ditinggalkan dan digantikan oleh regulation (regulasi) versus radical change (perubahan radikal). Pandangan yang bersifat regulasi lebih terkait pada bagaimana masyarakat cenderung menjadi sebuah kesatuan dan adanya kebutuhan akan regulasi. Pandangan perubahan radikal berfokus kepada bagaimana terciptanya perubahan radikal, konflk, dominasi dan kontradiksi. Penelaahan suatu ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji permasalahan dalam masyarakat, terlebih entitas lokal, perlu menggunakan pilihan asumsi yang tepat. Bidang kajian ilmu ekonomi pembangunan perlu melihat kondisi aspek kemasyarakatan secara detil. Kesalahan penggunaan asumsi akan memberikan dampak negatif bagi obyek penelitian, yaitu masyarakat dari obyek pengetahuan tersebut. Dengan demikian, kebijakan sebagai langkah akhir dari penelitian mengenai proses pembangunan masyarakat tersebut menjadi bias dan tidak tepat. Peluang Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Probabilitas merupakan salah satu konsep yang sering kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, aplikasinya tidaklah terbatas hanya pada percakapan keseharian tersebut, namun juga mencakup wilayah konversasi yang lebih serius dan refleksif, yaitu sains. Dengan kata lain, probabilitas acapkali digunakan sebagai perangkat eksplanasi ilmiah. Hal ini seolah-olah dijustifikasi oleh Carl Hempel, salah satu filsuf sains utama pada abad 20, ketika dalam karya monumentalnya, Philosophy of Natural Science, mengakui adanya dua jenis wujud hukum yang berperan di dalam eksplanasi ilmiah, yaitu hukum yang universal (laws of universal form) dan hukum yang probabilistik (laws of probabilistic form). Mari kita perhatikan keterangan dari Hempel berikut ini, scientific hypotheses in the form of statistical probability statements can be, and are, tested by examining the long-run

relative frequencies of the outcomes concerned, and the confirmation of such hypotheses is then judged, broadly speaking, in terms of the closeness of the agreement between hypothetical probabilities and observed frequencies. Konsepsi probabilitas sebagai ekspresi kontingensi tidaklah memberikan implikasi semacam itu. Tidaklah bertentangan dengan klaim kontingensi jika objek yang dianggap kontingen itu amat jarang muncul atau bahkan tidak muncul sama sekali dalam aktualitas kehidupan. Seorang theis bisa mengatakan, mujikzat itu mungkin akan dialami oleh saya, dan meyakininya secara valid walaupun hingga ajalnya ia tidak pernah menikmati mujikzat tersebut. Dengan kata lain, benar-salahnya suatu klaim kontingensi itu tidak ditentukan oleh jumlah aktualisasi dari posibilitas yang ada. Konsepsi ini tentang probabilitas bukannya tidak memiliki kemampuan prediksi sama sekali, hanya saja yang ia bisa berikan adalah prediksi negatif belaka (tentang apa yang tidak akan terjadi), bukan prediksi positif (tentang apa yang akan terjadi). Probabilitas yang dipahami oleh Hempel di atas merupakan pemahaman probabilitas yang umum dipakai di dalam eksplanasi ilmiah. Akan tetapi, sebagaimana telah diuraikan tadi, pada pemahaman semacam itu probabilitas memiliki muatan ontologis yang berbeda daripada yang dimiliki oleh konsep probabilitas yang umum digunakan di dalam matematika, yaitu kontingensi. Perbedaan itu sendiri tidak harus menjadi masalah apabila muatan ontologis yang berbeda itu yang memungkinkan dilakukannya prediksi positif dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal sehat. Apa kiranya isi muatan itu? Yang pasti ia berada di luar struktur necessity-contingency. Konsep probabilitas di sini tidak dapat dikatakan sebagai ekspresi kontingensi belaka. Yang ditegaskan lebih kuat daripada kontingensi, karena ada kriteria actuality yang menjadi syarat. Akan tetapi, ia juga bukanlah ekspresi necessity, mengingat deviasi secara acak selalu dimungkinkan. Jadi, ketika dikatakan di sini bahwa probabilitas a terhadap b adalah 7/10 atau 70 %, yang dimaksud bukanlah bahwa relasi kontingen antara a dan b adalah 70 persen daripada totalitas relasi kontingen yang dimiliki antara a dan b. Lalu apa? Tampaknya yang paling masuk akal untuk dimaksud oleh klaim itu adalah bahwa antara a dan b terdapat tendensi untuk berelasi sebesar 70 persen. Framework tendensi ini hanya dapat sungguh-sungguh menjadi intelligible ketika setiap objek dipandang sebagai person, yaitu entitas yang memiliki karakter dan kapasitas reflektif (tak peduli seberapa minimnya). Karakter menerangkan stabilitas dari pola-pola relasi

pada entitas itu; stabilitas yang diekpresikan oleh term tendensi, dan refleksivitas menjelaskan terjadinya sejumlah penyimpangan dari pola-pola tersebut. Singkatnya, framework tendensi merupakan turunan dari apa yang Wilfred Sellar namakan the framework of persons. Kalau analisis ini memang tepat, maka tidak bisa dipungkiri bahwa konsep probabilitas yang ada di benak Hempel itu mengimplikasikan komitmen ontologis terhadap ontologi person tersebut. Yang krusial untuk diperhatikan adalah bahwa komitmen ontologis terhadap the framework of persons itu tidak dapat disandingkan secara koheren dengan komitmen terhadap struktur necessity-contingency. Ironi dari proposal Hempel di awal tulisan ini akan dua jenis hukum ilmiah (hukum universal dan hukum probabilistik) ialah bahwa, sebagaimana kita bisa lihat sekarang, yang sesungguhnya diajukan adalah tuntutan terhadap kita untuk memilih satu di antara dua skema ontologi yang masing-masing terbuka untuk diambil. Ontologi persons juga punya nilai survivalitas. Sellar bahkan melihat skema ontologis inilah yang diakrabi pertama kali oleh manusia dalam menghadapi dunia, sehingga ontologi itu ia namakan the original image.[8] Soal akuntabilitas klaim-klaim yang diturunkannya, usaha limitasi empiris ala Hempel dan Popper dapat dilihat sebagai wujud upaya refinery atas ontologi itu. Meskipun demikian, refinery empiris semacam itu sesungguhnya tidaklah cukup, bahkan tidak relevan, bagi setiap eksplanasi, termasuk eksplanasi probabilistik, yang mengandalkan the framework of persons itu. Yang menjadi tuntutan esensial dari muatan ontologis yang terkandung pada eksplanasi semacam itu adalah keterangan akan tujuan (purpose) apa yang dilayani oleh si objek eksplanasi melalui aksi-nya. Eksplanasi berdasarkan ontologi persons dengan sendirinya adalah eksplanasi melalui struktur belief-desire. Konsekuensi ini, ketika disadari, akan menimbulkan problem yang amat besar bagi penggunaan klaim-klaim probabilitas yang berbasis ontologi persons itu, karena pembicaraan tentang tujuan yang hendak dicapai oleh suatu objek seperti dadu melalui gerak dan kondisi akhirnya merupakan objek spekulasi yang hanya pantas untuk dilakukan oleh para occultist; para penganut keyakinan akan hantu dan alam gaib. Tak heran jika di antara anggota komunitas ilmiah, pembicaraan itu sudah lama ditetapkan sebagai tidak relevan, tidak pantas, bahkan memalukan, untuk dilakukan. Tetapi, dengan menggunakan eksplanasi probabilistik, yang memiliki muatan ontologis yang berbeda dari posibilitas, komunitas ilmiah tanpa disadari justru sedang menjerumuskan dirinya ke dalam konversasi yang selevel dengan konversasi akan makhluk-makhluk gaib itu. Untungnya, keterjerumusan itu bukanlah suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh ilmu pengetahuan. Ia

hanya perlu meninggalkan konsep probabilitas yang selama ini populer dipakai; yang berbasiskan ontologi persons. Kesimpulan Dari Pembahasan yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan : a) Ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. b) Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang ada, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. c) Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian. d) Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. e) Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base. Dengan demikian, ontologi

merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. f) Di samping itu ada juga aspek-aspek permasalahan ontologi yang sangat nyata pada kejadian sebagai kategori pokok, menurut William R. Dennis seorang pengenut paham naturalisme dewasa bahwa kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan ialah kejadian.

Anda mungkin juga menyukai