Anda di halaman 1dari 6

Abstrak Tujuan Kejang demam adalah kejadian kejang yang paling umum pada masa anak-anak, terjadi pada

2-5% anak. Sekitar 1/3 anak-anak ini memiliki rekurensi selama infeksi demam

berikutnya. Masalah neurologis tiba-tiba ini sangat menakutkan dan secara emosional traumatik bagi orang tua sehingga beberapa dokter berupaya untuk mencegah rekurensi dari kejang demam dengan meresepkan obat-obatan yang berbeda. Bahan dan Metode Uji klinis acak ini pada 85 anak sehat, berusia 6 bulan sampai 5 tahun, yang belum pernah dirawat sebelumnya. Anak-anak ini menerima secara acak baik diazepam oral 0.33 mg/kg/TDS untuk dua hari selama kejadian demam) atau Phenobarbital oral berkelanjutan (35mg/kg /24 jam). Hasil Pada akhirnya 64 pasien menyelesaikan studi ini dan difollow up sekitar 13 bulan (12-18 bulan). Tingkat rekurensi dari kejang demam adalah 18.2% pada kelompok diazepam 32.3% pada kelompok; perbedaan secara statistik tidak signifikan (p=0.16). Kesimpulan Tidak ada perbedaan yang signifikan antara diazepam oral intermiten dan Phenobarbital oral berkelanjtan untuk pencegahan kejang demam

Perbandingan antara Diazepam dan Phenobarbial dalam Pencegahan Kejang Demam: Percobaan Klinis Pendahuluan Kejang demam didefinisikan sebagai kejang yang terjadi yang berhubungan dengan demam pada anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, akan tetapi tanpa keterlibatan infeksis sistem saraf pusat atau penyebab kejang lain, dan yang bukan diawali oleh riwayat kejang afebril. Kejang demam diklasifikasikan menjadi sederhana atau kompleks. Kejang demam sederhana terjadi pada sekitar 85% dari semua kejang demam. Kejang kompleks biasanya terjadi lebih dari 15 menit, fokal, mungkin terjadi berulang pada hari yang sama, dan mungkin terjadi kondisi mengantuk postictal yang lama atau dihubungkan dengan kelainan neurologis postictal. Walaupun kejang demam jinak dan akibat ke saraf tidak butruk, masalah neurologis yang tibatiba ini merupakan hal yang menakutkan dan membuat trauma secara emosional terhadap orang tua yang kadang-kadang berpikir bahwa anak mereka dapat meninggal sewaktu-waktu saat kejang terjadi. Sekitar 30% - 40% dari anak-anak yang mengalami kejang demam akan mengalami kejadian ulang, tetapi kurang dari 10% yang akan mengalami tiga sampai lebih pengulangan. Prognosis yang baik dari kebanyakan pasien dengan kejang demam mengurangi kebutuhan pengobatan profilaksis dengan agen antikonvulsan, dan pengobatan profilaksis intermiten kelihatannya menjadi sebuah pendekatan yang rasional. Beberapa studi

memperlihatkan bahwa pemberian kebutuhan Phenobarbital harian (5-8 mg/kg/hari untuk anakanak 2 tahun dan 3-5 mg/kg/hari untuk anak di bawah 2 tahun) ) atau asam valproic (10-15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi) efektif untuk mencegah kejang demam. Efek lanjut dari Phenobarbital meliputi gangguan tidur sementara,rasa kantuk pada siang hari, banyak bicara, kurangnya perhatian, hiperaktivitas, menurunnya daya ingat, dan ketidakseimbangan fungsi kognitif. Diazepam, ketika diberikan secara intermiten baik melalui rektal atau oral dengan doses yang cukup (0,3 0,5 mg/kg, maksimum 10 mg) saat onset demam, telah terbukti untuk mencegah rekurensi dari kejang demam. Potensi kekurangan dari pengobatan Diazepam intermiten adalah bahwa beberapa kejang terjadi sebelum demam disadari. Efek lanjut dari pengobatan Diazepam meliputi letargi, rasa kantuk, ataksia,rasa pusing, bicara tidak jelas, bradikardi, hipotensi dan depresi pernapasan.

Baru-baru ini di Iran, dua metode secara umum telah dipraktekkan untuk pencegahan kejang demam: 1. Penggunaan intermitan dari Diazepam oral selama terjadi demam interkuren 2. Pemberian per hari berkelanjutan dari Phenobarbital oral untuk satu periode waktu. Tiap dari dua metode ini memiliki keuntungan masing-masing dan ketidaknyamanan. Sebagai contoh, penggunaan diazepam secara intermiten dan mengarah pada fobia demam pad orang tua dan penggunaan berkelanjutan dari Phenobarbital dapat mengakibatkan kurangnya perhatian sementara dan masalah perilaku pada anak-anak. Tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas dari pemberian diazepam secara oral dibandingkan dengan Phenobarbital oral berkelanjutan untuk mengurangi rekurensi dari kejang demam pada anak. Bahan dan Metode Studi prospektif ini mengambil tempat di rumah sakit anak Mofid selama 2 tahun dari September 2000 sampai Desember 2001. Anak-anak dengan kejadian kejang demam yang pertama kali dimasukkan jika mereka berusia 6 bulan sampai 5 tahun; jika mereka tidak memiliki riwayat penyakit neurologis; dan jika hanya mengalami salah satu dari syarat di bawah ini: 1. Usia kurang dari 1 tahun pada saat terkena kejang pertama kali; 2. Suhu tubuh kurang dari 39 C saat kejadian 3. Riwayat keluarga dari epilepsi pada derajat pertama relatif Penggunaan berkelanjutan pengobatan profilaksis pada kasus-kasus ini dapat dibenarkan sehubungan dengan meningkatkanya resiko rekurensi kejang demam. Studi diazepam dan phenobarbital ini dilakukan secara acak. Pengobatan diresepkan dan bagan monitoring tertulis dijelaskan kepada orang tua selama perawatan pada kejang pertama. Orang tua merekam jumlah hari dengan suhu lebih dari 38 C dan jumlah hari pemberian diazepam pada lembar khusus. Mereka juga merekam penerimaan anak terhadap pengobatan (mudah, sulit). Profilaksis oral adalah salah satu dari di bawah ini:

A- Diazepam, berdasarkan berat tubuh dari anak (0.33 mg/kg tiap 8 jam), selama tiap episode demam, selama 48 jam. B- Phenobarbital berdsarkan berat tubuh dari anak (3-5 mg/kg, dibagi dalam dua dosis harian) selama 1 tahun Pencatat secara acak menetapkan tiap anak menjadi kelompok A atau B dan dokter yang mengikuti anak-anak ini tidak mengetahui pengacakan. Telepon setiap bulan menindak lanjuti dilakukan dengan tujuan memastikan kepatuhan para orang tua. Perbandingan antara dua kelompok dianalisis dengan independent-sample t-tests untuk variabel kuantitatif dan tes X2 untuk variabel kategori. Nilai P adalah 0.05 yang mana dianggap signifikan secara statsistik. Hasil Terdapat 85 anak yang memenuhi semua kriteria. Dua puluh satu anak dieksklusi karena tidak ada informasi lanjut yang didapatkan setelah evaluasi awal. Adapun laporan ini berdasar pada sisa 64 anak yang dapat diikuti lebih lanjut. Tiga puluh tiga anak diberikan Diazepam dan 31 anak diberikan Phenobarbital. Tidak ada perbedaan pada usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dari kejang dan karakteristik dari kejang pertama antara kelompok Diazepam dan Phenobarbital (Tabel 1). Waktu penindaklanjutan antara 12-18 bulan. Waktu rata-rata Follow up pada kelompok Diazepam dan Phenobarbital adalah masing-masing 12,6 dan 13,7 bulan. Tidak (18.2%) pada kelompok

terdapat perbedaan signifikan antara dua kelompok. Enam anak

diazepam dan 10 anak (32.3%) pada kelompok plasebo, memiliki rekurensi (perbedaan tidak signifikan P=0.16). Kajian resiko dengan variabel-variabel lain (usia, tipe kejang) tidak menunjukkan hasil yang signifkan.

Tabel 1, Karakteristik anak (usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dari kejang demam dan epilepsi dan tipe kejang demam) pada dua kelompk Kelom pok Variasi Usia (bulan/SD) Jenis Kelamin (L/P) Familial febrile seizure (%) Familial non febrile seizure(%) Kejang komplekss Kelompok Phenobarbital 31 Nilai P 33 anak 23.7 /13.4 10/3 19 (57.6%) 3 (9.1%) 1 Anak 23 /13.4 18/1 13 (41.9%) 2 (6.6%) 4 NS* NS NS NS NS

Kelompok Diazepam

Pembahasan Tujuan studi ini adalah untuk menyusun dua praktek klinis yang umum dari dokter di Iran untuk pencegahan rekurensi kejang demam. Salah satu hasil yang penting dari penelitian ini adalah tidak ada dari metode-metode ini yang benar-benar menghentikan timbulnya kembali kejang demam. Walaupun secara jumlah, rekurensi kejang demam menurun pada anak-anak yang menerima diazepam secara intermiten, tetapi secara statistik tidak ada perbedaan yang terjadi antara dua kelompok ini. Kami tidak menemukan tinjauan pustaka yang membahas studi yang membandingkan dua obat-obatan ini; memang pada beberapa percobaan diazepam dan Phenobarbital; sendiri atau dalam perbandingan dengan metode lain untuk profilaksis kejang demam dipelajari. Pada percobaan acak dari diazepam dengan plasebo untuk pencegahan kejang demam, Antrent dan temannya tidak menemukan perbedaan antara dua kelompok ini. Tetapi penulis menyatakan masalah besar adalah ketidakpatuhan keluarga dalam beberapa kelompok membuat hasil tidak akurat. Rosemane menemukan 82% penurunan pada probabilitas rekurensi kejang demam pada anak yang menggunakan diazepam dan plasebo pada kontrol. Pada studi yang lebih baru yang dilakukan Verrotti dan kawan-kawan di Italia, rekurensi kejang demam terjadi pada 11,1% anak yang menggunakan diazepam secara intermiten dengan 30,7% pada yang tidak menggunakan pengobatan apapun. Semua oeulis ini menyebutkan beberapa ketidaknyamananm dari metode ini, hal yang paling penting, pemberian diazepam yang terlambar beberapa jam oleh orangtua setelah mulainya demam. Letargi, ataksia dan hipotonia

adalah efek samping yang relatif. Rose W. dan kawan-kawan melakukan percobaan terkontrol di india yang termasuk clobazam yang intermiten bisa menjadi seefektif diazepam dan dengan efek samping yang lebih rendah seperti ataksia. Ketika phenobarbital digunakan secara berkelanjutan, tidak ada kekhawatiran terjadinya demam yang tiba-tiba yang bisa tidak diperhatikan oleh orang tua, seperti dalam kelompok diazepam; karena tingkat pengobatan terapi jangka panjang telah dicapai yang mana mencegah kejang. Masalah utama ketika meresepkan phenobarbital adanya ketidakpatuhan keluarga dan ketidakseimbangan kognitif yang ringan pada penggunaan jangka panjang. Mamelle dan Ngware dalam uji terapi acak yang terpisah mengkonfirmasi efikasi dari penggunaan Phenobarbital yang berkelanjutan dengan dosis 4-5 mg/kg per hari untuk pencegahan kejang demam. Salah satu kekuatan dari studi ini adalah uji serum phenobarbital pada anak yang menerimanya. Pengukuran seperti itu dapat dengan mudah memisahkan kasuskasus ketidakpatuhan dari yang menerima Phenobarbital secara reguler dengan dosis yang tepat. Keseluruhan terdapat 20% - 30% tingkat rekurensi kejang demam, terlepas dari faktor resikonya. Studi sebelumnya menggunakan yang menggunakan Phenobarbital dilaporkan rata-rata menurunkan rekurensi 4% 13%. Pada studi ini, kami menemukan 32% tingkat rekurensi yang mana kelihatannya mirip dengan alamiahnya penyakit (tanpa intervensi). Penjelasannya adalah bahwa pasien kami memiliki setidaknya satu faktor resiko dari rekurensi kejang demam dan kadang dua atau tiga. Sesungguhnya 20-30% tingkat rekurensi terlepas ada atau tidaknya faktor resiko. Kami tidak mengukur tingkat serum Phenobarbital pada pasien-pasien kami, sehingga masalah dari ketidakpatuhan keluarga tetap sebuah faktor penting yang menjelaskan tingginya tingkat rekurensi secara relatif. Efek negatif dari Phenobarbital pada perilaku dan kognisi membatasi penggunaan harian di banyak negara. Pada tinjauan pustaka kami, kami tidak menemukan studi desain yang mirip dibandingkan dua metode ini, tetapi setiap praktik telah menunjukkan efikasi untuk mengurangi kekambuhan kejang demam. Berdasarkan perbedaan nyata di anata dua metode ini, uji double blind trial tidak dapat dibuat. Dua batasan dari studi kami adalah yang pertama waktu follow up relatif pendek dan kedua tidak mengukur tingkat serum Phenobarbital, yang seharusnya diaplikasikan pada penelitian yang akan datang pada masalah ini. Berdasarkan efek samping kognitif dari Phenobarbital, jika seorang dokter telah merencanakan terapi obat untuk pencegahan kejang demam, kami merekomendasikan diazepam intermiten selama demam terjadi.

Anda mungkin juga menyukai