Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA MUSKULOSKLETAL

Disusun Oleh: Dinda Sayyidatun Dwi Novita Effi Alisma Ella Mariana Erlinda Antikasari Faiz Harisandy Farida Rani S Fika Nur K Galih Saputro ( P27220011 019 ) ( P27220011 020 ) ( P27220011 021 ) ( P27220011 022 ) ( P27220011 023 ) ( P27220011 024 ) ( P27220011 025 ) ( P27220011 026 ) ( P27220011 027 )

DIII KEPERAWATAN REGULER POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA

2013

Trauma Muskuloskletal

A. Pengertian Sistem Muskuloskletal Sistem muskuloskeletal adalah suatu sistem yang terdiri dari tulang, otot, kartilago, ligamen, tendon, fascia, bursae, dan persendian (Depkes, 1995: 3). Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah satu sebab. Penyebab trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga, dan rumah tangga. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung misalnya benturan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah. Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang

utuh, kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang (Reeves, Charlene, 2001: 248). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). Rusaknya kontinuitas tulang ini dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis (Anonim, 2011).

B. Klasifikasi Trauma Muskuloskletal 1. Fraktur Fraktur atau fraktur adalah diskontuinitas dari jaringan tulang yang disebabkan oleh adanya ruda paksa yang timbul secara mendadak. Angka kejadian trauma pada sistem muskuloskeletal meningkat sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat, seperti akibat olahraga dan kecelakaan.

Resiko trauma sistem muskuloskletal terjadi juga sejalan dengan adanya faktor degeneratif akibat peningkatan usia. Fraktur dapat berupa fraktur terbuka denagn ujung tulang menembus kulit, atau dapat beruba fraktur tertutup tanpa adanya fragmen tulang yang mengalami kontak dengan dunia luar. Ujung fragmen tulang yang patah bersifat sangat tajam dan berbahaya bagi jaringan lunak disekitarnya. Saraf dan pembuluh darah biasanya ada didekat tulang, melintasi sisi fleksor dari sendi, atau dibawah kulit (pada tangan dan kaki), sehingga sering ikut terkena apabila terjadi patah, atau karena adanya tekanan karena edema dan hematom. Fraktur tertutup dapat sama bahayanya dengan fraktur tebuka, karena jaringan lunak yang cidera seringkali mengeluarkan darah yang cukup banyak. Fraktur tertutup pada salah satu paha dapat mengakibatkan kehilangan darah sampai dengan 1liter, sehingga fraktur bilateral pada paha dapat membahayakan jiwa. Fraktur panggul dapat mengakibatkan perdarahan luas pada rongga perut atau retroperitoneal. Panggul biasanya mengalami fraktur pada beberapa tempat dan dapat menyebabkan kehilangan banyak darah (sampai dengan 500cc) pada setiap daerah yang patah. Fraktur panggul dapat merobek kandung kemih atau pembuluh darah besar di sekitar panggul. Kedua struktur ini dapat mengakibatkan perdarahan yang mematikan. Fraktur terbuka memiliki resiko terjadinya kontaminasi disamping kehilangan darah. Apabila ujung fragmen tulang dimasukkan kembali saat dilakukan reposisi, maka akan terjadi resiko masuknya ikut bakteri melalui ujung fragmen tulang yang terkontaminasi. Infeksi yang timbul dapat menghambat proses regenerasi tulang dan dapat mengakibatkan kematian apabila terjadi sepsis.

Klasifikasi Fraktur : a) Berdasarkan tipe dan luasnya lokasi yang fraktur a. Fraktur complete Fraktur yang luas sehingga tulang terbagi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain sehingga mengenai seluruh kortek b. Fraktur Incomplete Fraktur dengan garis frakturnya tidak menyeberang, sehingga tidak mengenal kortek, biasanya sering terjadi pada anak-anak. b) Berdasarkan perluasan kerusakan jaringan tulang dan adanya hubungan dengan dunia luar. a. Fraktur terbuka (Compound Fraktur) Fraktur yang kerusakkannya mengenai kulit sampai tulang, sehingga mengakibatkan luka terbuka. Ujung tulang yang patah berhubungan dengan dunia luar. Fraktur terbuka diklasifikasikan menjadi : a) Fraktur terbuka grade I : Fraktur disertai luka terbuka kurang dari 2 cm. b) Fraktur terbuka grade II : Fraktur disertai luka terbuka 2-6 cm. c) Fraktur terbuka grade III : Terjadi kerusakan kulit , otot, jaringan saraf, pembuluh darah dan ada luka terbuka lebih dari 6 cm. Grade III akan diklasifikasikan lagi menjadi Grade IIIa, IIIb, dan IIIc. b. Fraktur tertutup (simple). Tidak terjadi kerusakkan kulit dan tidak ada luka, ujung tulang yang patah tidak ada hubungan dengan dunia luar. a) Berdasarkan hubungan antar ujung fragmen tulang yang patah.

Fraktur complete (fraktur sempurna). Fraktur kedua ujung fragmen tulang terpisah (tidak ada hubungan). Fraktur Incomplete (fraktur tidak sempurna). Kedua ujung fragmen tulang masih ada hubungan. b) Berdasarkan banyaknya fragmen tulang yang patah Simple fraktur. Fraktur yang terjadi pada satu tempat (terdiri 2 fragmen). Multiple fraktur. Fraktur yang terjadi lebih dari satu tempat (lebih dari 2 fragmen) Community fraktur. Banyak garis fraktur (remuk) Splinter. Sebagian tulang ada yang terlepas c) Berdasarkan bentuk garis fraktur Tranversal (bentuk garis fraktur melintang) Oblique (bentuk garis fraktur miring) Spiral (bentuk garis fraktur melingkar) Longitudinal (bentuk garis fraktur memanjang secara luas) d) Berdasarkan kedudukan fragmen tulang Tidak adanya dislokasi Adanya dislokasi fragmen tulang Dislokasi at axim (Membentuk sudut) Dislokasi at lotus (Fragmen tulang berjauhan) Dislokasi at longitudinal (Fragmen tulang berjauhan memanjang) Dislokasi at lotus cum contraction num (Fragmen tulang berjauhan dan memendek) 2. DISLOKASI Dislokasi adalah keluarnya kepala sendi dari mangkok sendi atau keluarnya ujung tulang dari sendi yang disebabkan oleh peregangan yang melebihi batas normal elastisitas sendi. Penderita yang mengalami

dislokasi biasanya merasakan nyeri hebat pada area cidera. Dislokasi mudah didiagnosis karena perubahan anatomisnya cukup jelas. Dislokasi pada sendi-sendi besar walaupun bukan cidera yang mengancam jiwa, merupakan kasus gawat darurat karena adanya kerusakan neurovascular yang apabila tidak segera dilakukan pertolongan dapat diakhiri dengan amputasi. Sulit untuk menentukan apakah suatu dislokasi juga disertai dengan patah tulang. Sangat penting untuk memeriksa gerakan, sensasi dan sirkulasi pada daerah distal cidera. Penatalaksanaan dilapangan pada fase pre hospitalisasi yang dapat dilakukan adalah melakukan pembidaian pada posisi dimana penderita ditemukan. 3. AMPUTASI Cidera ini seringkali menimbulkan kecacatan dan bahkan dapat mengancam jiwa karena dapat terjadi perdarahan masif, namun perdarahan tersebut dapat dikontrol dengan melakukan balut tekan pada ujung stump (daerah puntung). Puntung harus ditutup dengan kassa steril dan lembab, kemudian diikat dengan pembalut elastik untuk memberikan penekanan yang sama pada keseluruhan permukaan puntung. Jika perdarahan masih belum terkontrol dapat dilakukan tourniquet pada proksimal cidera. Namun sedapat mungkin penggunaan tourniquet ini dihindari karena dapat menimbulkan risiko gangguan vaskularisasi. Dalam beberapa kasus, proses reimplantasi dapat dilakukan. Untuk itu disarankan potongan amputir untuk dicari dan dibawa ke sarana pelayanan kesehatan. Hal ini sering kali diabaikan. Padahal bagian tersebut dapat digunakan sebagai bahan cangkok atau grofing. Reimplantasi dilakukan pada situasi tertentu saja, oleh karena itu kita tidak perlu memberitahu dan atau menjanjikan penderita bahwa akan dilakukan reimplantasi. Bagian kecil potongan tubuh yang ditemukan diletakkan didalam kantung plastik, untuk kemudian dimasukkan ke dalam kantung atau wadah yang lebih besar yang telah diisi dengan air dan es. Tidak dianjurkan untuk menggunakan es saja, dan sangat tidak

dianjurkan penggunaan dry es. Proses pendinginan ini dapat menghambat proses kimiawi dan viabilitas jaringan antara 4 sampai dengan 18 jam.

4. Cidera Jaringan Lunak 1) Cidera jaringan lunak tertutup Yaitu cidera jaringan lunak tanpa disertai adanya incontinuitas jaringan kulit. Tanda dan gejala khas adalah tampak adanya memar/jejas pada daerah cidera. Waspadai apabila terdapat jejas yang cukup luas. Prinsip penatalaksanaan darurat adalah dengan teknis R-IC-E, yaitu Rest (istirahatkan area cidera), Ice (kompres dengan es pada fase akut sampai dengan 24 jam pertama), Compress (lakukan penekanan pada titik-titik penekanan antara area cidera dengan jantung), Elevation (elevasikan atau tinggikan area yang cidera). Apabila tidak mau mengambil resiko, imobilisasi dan fiksasi dengan bidai dapat dilakukan. 2) Cidera jaringan lunak terbuka Dapat diklasifikasikan antara lain : a. Luka abrasi/serut : akibat gesekan atau terkelupasnya bagian terluar kulit, sangat sakit, perdarahan ringan b. Luka lacerasi : luka cukup dalam, pinggir luka bergerigi tidak teratur, penyembuhan lama c. Luka sayat : luka cukup dalam disebabkan oleh benda tajam, tepi luka rata d. Luka avulsi : luka robeknya jaringan kutan sampai dengan subkutan hingga mengelupas, bentuk tidak beraturan e. Luka amputir : ada bagian tubuh yang tercerai f. Luka tusuk dan luka tembus : benda tajam atau tembakan Tindakan yang dapat dilakukan pada fase akut pre hospitalisasi antara lain kenali jenis perdarahan (arterial atau vena), tutup luka

dengan kassa steril atau kain bersih dan bebat dengan hati-hati. Bahan kontaminan yang besar harus diambil terlebih dahulu atau lakukan irigasi dengan air yang mengalir. Perdarahan biasanya dapat dikendalikan dengan balut tekan atau bidai pneumatik. Sedapat mungkin hindari pemakaian tourniquet, terutama pada kasus-kasus luka amputir. Tindakan pada fase intra hospitalisasi dapat dilakukan pembersihan luka dengan irigasi menggunakan larutan normal saline (NS). Bersihkan bahan kontaminan sebersih mungkin. Berikan cairan antiseptik pada luka. Bilamana perlu dilakukan tindakan penjahitan luka sesuai dengan standar operating prosedur yang berlaku. 3) Luka tusuk dengan benda tertancap Merupakan suatu keadaan luka tusuk dimana benda masih tertancap. Jangan mencabut benda yang masih menancap di tubuh. Stabilkan dengan menggunakan bantalan yang besar supaya benda tersebut tidak bergerak. Evakuasi benda yang menancap akan dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kedudukan benda tersebut di dalam tuuh dan jaringan atau organ mana saja yang terpapar.

5. Cidera Neurovaskuler Saraf dan atau pembuluh darah biasanya saling berdampingan dan berada di dekat tulang, melintasi sisi fleksor dari sendi. Kedua organ ini dapat cidera secara bersamaan, sehingga dapat terjadi gangguan sensasi dan atau sirkulasi, terutama pada daerah distal cidera, baik akibat robekan, pembengkakan, atau penekanan benda asing dan fragmen tulang yang seringkali menjadi penyebab utama cidera ini. Pemeriksaan nadi, fungsi motorik dan sensorik selalu dilakukan sebelum dan sesudah dilakukannya manipulasi anggota gerak yang mengalami trauma, pemasangan bidai ataupun traksi. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya cidera neurovaskuler.

6. Strain dan Sprain Strain (terkilir otot atau tendon) dan sprain (terkilir ligamen sendi) terjadi akibat adanya pereganggan dan atau pembebanan yang berlebihan terhadap ambang batas toleransi yang dapat diterima organ tubuh tersebut. Pertolongan dapat menggunakan teknis RICE dengan pendinginan pada 24-48 jam pertama, dan dilanjutkan pemberian kompres hangat. Di lapangan seringkali cidera ini tidak dapat dibedakan dengan patah tulang. Apabila tidak mau mengambil resiko, lakukan penanganan sesuai dengan penanganan fraktur antara lain lakukan imobilisasi dan fiksasi menggunakan bidai.

7. Sindroma Kompartemen Sindroma kompartemen adalah peningkatan tekanan dalam kompartemen (osteofascial compartement) yang dapat mengakibatkan gangguan aliran darah kapiler dan iskemik seluler. Sering pada tungkai bawah dan lengan bawah. Sindroma kompartemen disebabkan kondisi internal (dari dalam) atau external yang dapat mengakibatkan penekanan pada saraf, otot, pembuluh darah yang berlebihan dan bila dibiarkan akan terjadi volkmon ischaemic contracture. Proses ini biasanya terjadi dalam beberapa jam. Tanda yang khas adalah terjadinya 5P pada area cidera dan bagian distal cidera, yaitu pain (nyeri), pallor (pucat), pulselessness (hilangnya nadi), parestesia (kesemutan), dan paralisis (kelumpuhan). Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan adalah dengan tindakan open fasciotomy untuk mengurangi tekanan intra muscular.

C. Etiologi Menurut Apley & Solomon (1995: 239), etiologi yang menyebabkan fraktur adalah sebagai berikut: 1. Traumatik Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pukulan, penghancuran, penekukan,

penarikan. Bila terkena kekuatan langsung tulang patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunakpun juga rusak. 2. Kelelahan atau tekanan berulang-ulang Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain, akibat tekanan yang berulang-ulang. Keadaan ini paling banyak ditemukan pada tibia fibula, terutama pada atlit, penari. 3. Kelemahan dan abnormal pada tulang (patologis) Fraktur dapat terjadi pada tekanan yang normal jika tulang itu lemah atau tulang itu sangat rapuh. Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cidera olah raga. Trauma bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan langsung apabila terjadi benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, dan secara tidak langsung apabila titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan (Rahmad, 1996 ).

Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu : 1. Cedera traumatik Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh : a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula. c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.

2. Fraktur Patologik Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut : a. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif. b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri. c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah. 3. Secara spontan : Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

D. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Penderita Trauma Sistem Muskuluskeletal 1. PEMBALUTAN Pembalutan atau pembebatan adalah penutupan suatu bagian tubuh yang cedera dengan bahan tertentu dan dengan tujuan tertentu. Tujuan pembebatan adalah sebagai penahan ( menahan penutup luka, menahan pita traksi kulit, menahan bidai, menahan bagian tubuh yang cidera dari gerakan dan gesekan serta menahan rambut kepala ditempat, melindungi bagian tubuh yang cedera, mengkontrol laju perdarahan, dan mengurangi bengkak. Prasyarat pemasangan bebat adalah :

1. Usahakan penderita nyaman posisinya, pasang pembalut setelah perdarahan berhenti ( kecuali balut tekan) 2. Tahan dan balut bagian yang cedera 3. Pembalut harus lebih lebar dari luka, ujung pembalut jangan terurai, usahakan simpul beban tidak mengganggu kenyamanan penderita. 4. Balutan harus rapat rapi jangan terlalu erat, karena dapat mengganggu sirkulasi. Untuk anggota gerak balut dari distal menuju proksimal untuk mengurangi bendungan pembuluh darah. Pembalutan melingkar dada balut saat inhalasi dan jangan membalut melingkari leher. 5. Jangan terlalu kendor sehingga mudah tergesar atau lepas 6. Jangan menutup ujung jari kecuali ada luka didaerah itu. Ujungujung jari dibiarkan terbuka untuk mengetahui adanya gangguan sirkulasi. Macam-macam bahan pembebatan : 1. Pembebat segitiga (mitella), dapat digunakan biasa, tourniquet, penahan bidai/ penyangga ( sling) 2. Pembebat bentuk pita (kassa/ verban gulung, pembalut elastik, pembalut gips) 3. Pembalut oklusif/ pembalut tiga sisi/ ACS (asherman chest seal) untuk penanganan trauma thoraks 4. Plester

2. PEMBIDAIAN Pembidaian adalah pemasangan alat untuk mempertahankan tulang pada klien dengan patah tulang baik terbuka maupun tertutup., tata laksana patah tulang dan dislokasi yang sesuai akan mengurangi sensasi nyeri, kecacatan, dan komplikasi yang berat. Penatalaksanaan fase akut

atau pre-hospital dilakukan dengan tujuan untuk melakukan imobilisasi dan fiksasi area cidera. Tujuan pembidaian : 1. Mencegah ergerakan tulang yang atah 2. Mengurangi nyeri 3. Mencegah cidera yang lebih berat 4. Mengistirahatkan daerah atah tulang 5. Mengurangi perdarahan Macam-macam bidai : 1. Rigid / semi rigid splint, (bidai kaku/ keras), contoh : bidai kayu, bidai logam, spine board, dsb 2. Soft splint, contoh air splint, PSAG (pneumatic anti shock garmet), vacum splint, dsb 3. traksi 4. gips

Prosedur pembidaian: 1. lakukan primary suervey, ABC harus dalam kondisi stabil 2. kontrol adanya perdarahan , terutama perdarahan mayor 3. apabila pasien sadar : informasi adanya nyeri 4. paparkan area yang akan dilakukan pembidaia 5. periksa dan catat PMS (pulse, motor, sensasi) pada daerag distal cidera sebelum dan sesudah tindakan 6. pada angulasi yang besar pulselessness lakukan penarikan secara gentle dengan kekuatan maksimal 10 pon. Bila ada teraa ada tahanan jangan di teruskan 7. luka terbuka tutup dengan kasa steril. Pasang bidai pada sisi yang tidak terdapat luka untuk menghindari nekrosis karena penekakan.

Pada kasus fraktur terbuka jangan berusaha memasukkan fragmen tulang yan keluar 8. pada kasus fraktur bidai harus mencakup dua sendi yangmengapi tulang yang cidera. Pada kasus dislokasi bidaiharus mencakup dua tulang yang mengapit sendi yang cidera 9. berikan bantalan yang lunak untuk kenyamanan dan mengurangi penekanan pada kulit 10. bila ada cidera lain yang mengancam jiwa, pembidaian dapat di tunda setelah penatalaksanaan cidera yang mengancam jiwa tersebut. Apabila penderita stabil, bidai sebelum melakukan ambulasi penderita bila ragu-ragu apakah ada fraktur atau tidak sebaiknya bidai untuk pencegahan

Penatalaksanaan Darurat Penderita Trauma Sistem Muskuluskeletal Di RS Berikut ini akan diuraikan beberapa tindakan yang dilakukan dalam penanggulangan trauma sistem muskuloskeletal di rumah sakit. 1. Penyumbatan jalan napas dapat diatasi dengan alat hisap dan pemasangan intubasi trakeal atau kalau perlu dilakukan trakeostomi. 2. Perdarahan luka : bila penggunaan balut tekan perdarahan masih tetap terjadi, dilakukan eksplorasi untuk mencari sumbernya, kemudian di klem. 3. Syok : tanda tanda syok dinilai kembali, meliputi : denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, dan tingkat kesadarannya. Jika ditemukan adanya tanda tanda tersebut segera dilakukan pemasangan infus, diambil contoh darah klien untuk menentukan golongan darahnya. Pada syok yang berat dipasang Central Venous Pressure (CVP). Sementara menunggu darah, dapat diberikan cairan- cairan berupa glukose dan NACL, plasma atau plasma expander untuk pertolongan sementara. 4. Fraktur / Dislokasi : perlu dilakukan pemeriksaan lebih teliti, karena kemungkinan masih ada daerah daerah lain yang belum di periksa. Sering pada fraktur multipel salah satu daerah yang patah tidak

terdiagnosis, karena pemeriksaan yang kurang teliti. Pada daerah yang belum dipasang bidai, sebelum dilakukan X-ray dipasang dulu bidai untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak, kecuali untuk memudahkan pembuatan foto dalam beberapa proyeksi. Pada fraktur tertutup : ada beberapa metode pengobatan, yaitu sebagai berikut : a. Hanya bersifat proteksi saja tanpa memerlukan tindakan reposisi atau imobilisasi. Cara ini digunakan pda fraktur yang stabil atau sedikit displacement. Kompresi fraktur dari tulang belakang, impacted frakture dari bagian proksimal humerus. Caranya : dengan mengistirahatkan anggota gerak yang cedera. Contoh pada lengan atas cukup dipasang sling. Pada anggota gerak bawah dipakai tongkat (kurk/crutch).

b.

Imobilisasi dengan external splinting ( tanpa reposisi ). 1) Biasanya digunakan dengan bahan bahan gips (plaster of paris). 2) External splinting tanpa reposisi digunakan pada frakture yanng undisplaced. 3) Splinting ini penting untuk memberikan imobilisasi yang baik supaya bony union dapat tercapai.

c.

Reposisi tertutup dengan manipulasi dan diikuti imobilisasi. Ini dilakukan pada frakture displaced. Reposisi tertutup dilakukan dengan anastesi umum, regional atau lokal. Untuk

mempertahankan hasil-hasil reposisi dipakai imobilisasi plaster of paris. d. Reposisi tertutup dngan continous traction.

e.

Open reduction and fixation (ORIF). Open reduction dilakukan apabila dengan reposisi tertutup hasilnya tidak memuaskan. Contoh : fraktur intraartikuler dengan reposisi tertutup, bentuk sendi tidak mungkin dapat dengan sempurna. Hal ini dapat dilakukan tindakan ORIF.

Asuhan Keperawatan Trauma Muskuloskletal 1. Pengkajian Pengkajian pada pasien trauma sistem muskuluskeletal meliputi nama, umur, pekerjaan dan jenis kelamin ( Lukman & Ningsih, 2009 ). a. Keluhan Utama Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal biasa mengeluhkan nyeri, nyeri yang sering dirasakan adalah nyeri tajam dan keluhan semakin parah jika ada pergerakan. Meskipun demikian keluhan nyeri pada tulang biasanya tumpul dan dalam yang juga mengakibatkan gangguan pergerakan. b. Riwayat Penyakit a) Riwayat penyakit sekarang Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal mengidentifikasikan rasa nyeri, kejang atau kekakuan yang dirasakan pada saat mengalami trauma b) Riwayat penyakit dahulu Pasien atau penderita mengidentifikasikan atau menjelaskan awal terjadinya trauma sistem muskuloskeletal. c) Riwayat penyakit keluarga Pasien atau penderita menjelaskan ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejadian yang sama seperti dirinya atau tidak. c. Pemeriksaan Fisik Seluruh pakaian penderita harus dibuka agar dapat dilakukan pemeriksaan yang baik. Pemeriksaan penderita cedera ekskremitas mempunyai 3 tujuan: menemukan masalah mengancam jiwa (primary survey), menemukan masalah yang mengancam ekstremitas (secondary survey), dan pemerikasaan tulang secara sistematis untuk menghindari luputnya trauma muskuloskeletal yang lain ( re-evaluasi berlanjut ). 1) Primary survey A : airway + cervical spine control B C D E : breating : circulation +control of hemorhaghe : disablity dan kontrol fungsi-fungsi neurologis : exposure ( paparkan area yang cidera)

2) Secondary survey S : symptom ( tanda dan gejala yang dapat dikaji) A M P L : allergies (riwayat alergi) :medications (riwayat pengobatan) : past medical history (riwayat penyakit lain) : last orale intake ( asupan makan/ minum terakhir)

E : event before incident (kejadian pra bencana ) 3) Pemeriksaan fisik secara menyeluruh ( head to toe) dengan fokus pemeriksaan pada area yang cidera. Meliputi pemeriksaan DCAPBTLS (deformity, contosio, abrations, penetration, burns, tenderness, laceration, swelling) dan 5P ( pain, pallor, pulselessness, parestesia dan paralisis), periksa ada tidaknya kestabilan dan krepitasi, periksa ada tidaknya nyeri pada semua sendi, periksa dan catat PMS ( pulse, motorik, sensasi). 4) Pemeriksaan fisik secara sistemik Pemeriksaan fisik pada trauma sistem muskuluskletal merupakan pengumpulan data tentang kondisi system dan kemampuan fungsional diperoleh melalui inspeksi, palpasi dan pengukuran sebagai berikut : a) Skeletal Catat penyimpangan dari structur normal menjadi defrmitas tulang, perbedaan panjang, bentuk, amputasi Identifikasi pergerakan abnormal dan krepitasi b) Sendi Identifikasi bengkak yang dapat menunjukkan adanya inflamasi atau effuse Catat deformiotas yang berhubungan dengan kontraktur atau dislokasi Evaluasi stabilitas yang mungkin berubah Gambarkan rom baik aktif maupun pasif c) Otot Inspeksi ukuran dan contour otot Kaji koordinasi gerakan Palpasi tonus otot Kaji kekuatan otot baik dengan evaluasi sepintas dengan jabat tangan atau dengan mengukur skala criteria yaitu 0

untuk tidak ada kontraksi sampai 5 = normal rom dapat melawan penuh gaya gravitasi Ukur lingkar untuk mencatat peningkatan pembengkakan atau perdarahan atau pengecilan karena atropi. identifikasi klonus yang abnormal d) Neurovaskuler Kaji status sirkulasi pada extremitas dengan mencatat warna kulit, suhu, nadi perifer, capillary refill, nyeri Kaji status neurology Tes reflek Catat penyebaan rambut dan keadaan kuku e) Kulit inspeksi truma injury (luka, memar) kaji kondisi kronis (dermatitis, stasis ulcer) 2. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan sekunder terhadap pembedahan. b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. 3. Intervensi Keperawatan a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan sekunder terhadap pembedahan. Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi. Kriteria Hasil : Nyeri hilang atau berkurang Intervensi Rasional 1. Evaluasi keluhan nyeri, 1. Untuk mengetahui tingkat lokasi, karakteristik dan nyeri yang dirasakan pasien intensitas nyeri 2. Agar membantu pasien 2. Memberikan posisi senyaman untuk merasakan kenyamanan mungkin pada pasien dan mempercepat proses penyembuhan pasien. 3. Untuk membantu pasien 3. Mengajarkan teknik relaksasi menghilangkan cemas dan nafas dalam. takut yang dirasakan pasien. 4. Membantu pasien 4. Kolaborasi pemberian menghilangkan rasa nyeri analgesik. yang dirasakan.

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Tujuan : Klien dapat melakukan gerak dan ambulasi. Kriteria Hasil : Meningkatkan / mempertahankan / mamperhatikan morilisasi pada tingkat paling tinggi. Intervensi Rasional 1. Observasi tingkat mobilisasi. 1. Untuk mengetahui rentang gerak yang dapat dilakukan 2. Membantu/intruksikan klien oleh pasien. untuk latihan gerak aktif pasif 2. Meningkatkan dan pada ekstremitas yang sakit mempertahankan kekuatan maupun yang tidak sakit. otot dan rentang gerak pasien. 3. Mendekatkan alat-alat yang dibutuhkan klien.. 3. Membantu pasien dalam 4. Kolaborasi dengan ahli pemenuhan aktifitasnya. fisioterapi dalam pemberian 4. Membantu pasien dalam terapi. melakukan rentang gerak untuk pemenuhan aktifitas dan imobilisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Apley, Braham & Soloman.1995. Buku Ajar Orthopedi Dan Fraktur Sistem Apley Edisi 7. Jakarta : Widya Medika

Lukman. Ns dan Ningsih Nurna. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem muskuloskeletal . Jakarta : Penerbit Salemba Medika. Roesyie, mega.2013. Askep Muskuloskeletal , online, (http://megaroesyiners.blogspot.com/, diakses pada 2 oktober 2013 ).

Taylor .M Cynthia. 2010. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai