Anda di halaman 1dari 125

STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI PADI MELALUI PROGRAM INTENSIFIKASI PADI AEROB TERKENDALI BERBASIS ORGANIK (IPAT-BO) DIKABUPATEN GOWA

OLEH : MARYANI PAGASSINGI N P M. 2009.01.017

PROGRAM MAGISTER (S2) MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA MAKASSAR 2011

ABSTRAK

MARYANI PAGASSINGI: 2009 01 17 STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI PADI MELALUI PROGRAM INTENSIFIKASI PADI AEROB TERKENDALI BERBASIS ORGANIK (IPAT-BO) DI KABUPATEN GOWA. Pembimbing : Dr. Muhammad Firdaus, MBA.M.Si. Dra.Frida Chairunisa, M.Si. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya pengelolaan perubahan pemerintah Kabupaten Gowauntuk mendukung inplementasi Program teknologi IPAT-BO sebagai strategi peningkatan produksi Padi. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kwalitatif yang datanya diperoleh, baik dari study lapangan (field investigation), wawancara, maupun dari hasil pengumpulan data sekunder. Keberhasilan dari Program Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO), maka perlu dilanjutkan sehingga melibatkan jumlah kelompok tani dan luas tanam yang lebih besar. Keterlibatan semua stake holders secara aktif harus mampu menjamin terbentuknya perilaku yang dan membekukannya agar perilaku baru tetap terjaga dikalangan petani. Penyuluhan perlu dilakukan secara rutin dan berkesinambungan kepada petani sehingga petani dapat memahami akan manfaat teknologi IPAT-BO ini. Upaya Pemerintah Kabupaten Gowa untuk merubah/mengalihkan sikap (mindset) petani melalui proses manajemen Perubahan yang dimulai dari: Pencairan (Unfreezing), Perpindahan (Moving) dan Pembekuan/Pemantapan (Refreezing) melalui penyuluhan, ceramah dan pembagian brosur, namun masih perlu terus ditingkatkan. Upaya Pemerintah Kabupaten Gowa dalam mengalihkan cara bertani masyarakatnya ke metode Teknologi IPAT-BO, yaitu dengan melaksanakan Sosialisasi Program IPAT-BO melalui beberapa kali pertemuan oleh Agen Perubahan (Agen of Changes) dan mengadakan Demonstrasi Plot (Demplot) di semua Desa. Upaya Pemerintah Kabupaten Gowa dalam mendukung kesinambungan Penerapan Metode IPAT-BO, yaitu Perluasan Areal Tanam IPAT-BO dengan menerapkan semua Paket Teknologi, Demplot dilanjutkan pada setiap Desa, Penyuluhan ditingkatkan, Monitoring dan Evaluasi.

Diperlukan bimbingan dan penyuluhan dalam bentuk kunjungan langsung ke petani dan jadwal kunjungan lebih banyak.sering dan Study banding kepada kelompok yang sudah berhasil. Demplot dilanjutkan pada setiap Desa, Penyuluhan ditingkatkan, Monitoring dan Evaluasi. Pemerintah harus memfasilitasi berbagai kendala yang ada ditengah masyarakat petani, misalnya tersedianya saprodi yang cukup secara tepat waktu dan akses permodalan dan Penyuluhan secara rutin.

ii

DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL.................................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................... KATA PENGANTAR.................... ABSTRAK ............................................................................................................... ABSTRACT ............................................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................................. DAFTAR TABEL......................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... A. Latar Belakang ...................................................................................... B. Fokus Permasalahan............................................................................ C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian............................................. 1. Tujuan Penelitian ............................................................................. 2. Manfaat Penelitian ............................................................................. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... A. Tinjauan Teori dan Konsep Kunci .......................................................... 1. Pengertian Pembangunan Pertanian ................................................. 2. Inovasi/ Adopsi .................................................................................. 3. Manajemen Perubahan ......... ............................................................ 4. Pengertian Intensifikasi Padi Aerob .................................................... 5. Padi Organik ........................................................................................ ii iii iv v . vi vii viii 1 1 14 14 14 14 16 16 16 28 35 41 45 i

iii

B. Model berfikir............................................................................................ C. Pertanyaan Penelitian............................................................................... BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................. A. Metode Penelitian ................. ................................................................ B. Unit Analisis ............ .............................................................................. C. Tehnik Pengumpulan Data ................................................................... D. Prosedur Pengolahan dan Analisis Data ............................................... BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................

47 51 52 52 52 53 54 56 56 56 57 64 66 68 76

A. Profil Lokasi Penelitian................. ...........................................................


1. Letak Geografis ................................................................................... 2. Luas & Pembagian Wilayah................................................................. 3. Keadaan Sarana & Prasarana ...........................................................

B. Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO)......... C. Pengelolaan Perubahan Menuju Inplementasi IPAT-BO.......................
1. Membuang Perilaku Lama (Unfreezing) ............................................ 2. Membentuk Perilaku Baru(Moving)

.....................................

88
97 108 108 108 ix x

3. Pembekuan/ Pemantapan(Refreezing)...................................... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... A. Simpulan.................................................................................... ...... B. Saran ................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... LAMPIRAN....................................................................................................................

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanah Wataala atas limpahan Rahmat dan KaruniaNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis berjudul Strategi Peningkatan Produksi Padi Melalui Program Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) Kabupaten Gowa. Ide mengenai Program Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasisi Organik diilhami oleh potensi yang dimiliki Kabupaten Gowa, dimana kondisi iklim dan mata pencaharian penduduknya. Dalam upaya penyelesaian tesis ini, penulis banyak memperoleh bimbingan, masukan dan arahan dari pembimbing. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ungkapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Makmur, M.Si, Ketua STIA-LAN Makassar. 2. Bapak Dr. Muh. Firdaus, MBA. M.Si. dan Ibu Dra. Frida Chairunisa, M.Si, atas bimbingan, masukan dan arahannya mulai dari penyusunan proposal hingga selesainya tesis ini. 3. Bupati Gowa Bapak H. Ihsan Yasin Limpo,SH. MH., atas bantuan dana serta izin studi yang diberikan kepada penulis, 4. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Gowa Ir. Asriawan Umar, M.Si. atas bantuan dana dan dukungannya.

5.

Kepala Bidang P2HP Ibu Dra. Hj. Sri Mujahidah Tahir, MM. dan Kepala Bidang Tanaman Pangan Bapak Ir.H. Abd.Rauf Bilal, MM. atas dukungan moril dan materil

6.

Selanjutnya, kepada para responden khusus petani dan PPL penulis ucapkan banyak terimakasih atas waktu yang telah dituangkan selama proses wawancara berlangsung.

7.

Kepada rekan-rekan mahasiswa S2 STIA-LAN angkatan 2009, penulis juga mengucapkan terimakasih atas kerjasamanya dan bantuannya selama proses perkuliahan berlangsung. Kepada Suami tercinta, Mukhtar Ninra serta anak-anakku Muhammad Fahmi Muktar dan Abdul Mughni Mukhtar, terimakasih atas pengertian dan cintanya.

8.

Terakhir kepada Ibunda tercinta Hj.St. Rosmiati Daeng Bau dan Ayahanda tercinta H.Pagassingi Daeng Kulle, Ibunda Hj. Tanringai dan kakak-kakak serta adik, terimakasih atas doa dan dukungannya selama ini. Semoga tesis ini ada manfaatnya, terutama untuk mendukung Program

Peningkatan Beras Nasional 2 juta ton serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani di Gowa. Sungguminasa, Maret 2011

Penulis

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.

Prediksi Perkembangan jumlah penduduk dan proyeksi kenaikan kebutuhan beras hingga tahun 2030 di Indonesia.................................... 5 Persentase Tingkat Adopsi Teknologi IPAT-BO MT 2008/2009 di Kabupaten Gowa 13

Luas Daerah dan Pembagian Administrasi Kabupaten Gowa. 59 Penggunaan Tanah di Kabupaten Gowa Tahun 2009. Luas Wilayah, Rumah Tangga, Penduduk dan Jenis Kelamin .. Perbedaan teknik bertani antara cara lama dengan cara baru (IPAT-BO): ................................................................................................. 61 63

85

Tabel 7.

Tingkat Penerapan Tehnologi IPAT BO berdasarkan Jumlah kelompok yang mengadopsi tehnologi IPAT-BO saat demplot dan setelah demplot di Kab. Gowa ...... 99 Tingkat Penerapan Tehnologi IPAT BO berdasarkan Luas Tanam dan Produktivitas saat Demplot dan setelah Demplot di kabupaten Gowa ............................................................................. 103

Tabel 8.

vii

DAFTAR GAMBAR
Kerangka Model berfikir 50 Bupati Gowa saat panen perdana dikelurahan Bt.Ramba kec.Somba Opu 70 Gambar 3. Prof.DR.IR.Tualar Simarmata,MS memberi penyuluhan kepada Babinsa,Babikamtibmas dan PPL71 Gambar 4 Kelompok tani bersama PPL dan Babinsa sementara menyiangi tanaman Padi IPAT-BO .. 74 Gambar 5 Lahan pertanaman dengan Metode IPAT-BO di Kabupaten Gowa Gambar 6 86

Gambar 1. Gambar 2.

Persiapan pesemaian dan cara memindahkan tanaman metode IPAT-BO 90 Pertemuan saat sosialisasi diruang rapat Dinas Pertanian Kab. Gowa ... 92 Gubernur memberikan sambutan saat menghadiri Acara Panen Perdana. 93. Gubernur dan Bupati beserta undangan lainnya saat menghadiri Acara Panen Perdana 94 Seluruh Penyuluh, Babinsa dan kelompok tani sedang mengikutu Acara Sosialisasi yang dibuka oleh Bupati Gowa . Pertemuan/Sosialisasi Program Penngkatan Produksi Padi Melalui Teknologi IPAT-BO .

Gambar 7

Gambar8

Gambar 9

Gambar 10

95 96

Gambar 11

viii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara agraris karena sektor pertanian sebagai

sumber mata pencaharian utama dari mayoritas penduduknya. Kenyataan membuktikan sebagian besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia diperuntukkan sebagai lahan pertanian. Harapan besar bagi kemajuan sektor pertanian dalam menampung jumlah angkatan kerja yang sangat besar karena hampir 50 % dari total angkatan kerja masih menggantungkan nasibnya bekerja di sektor pertanian. Keadaan seperti ini menuntut

kebijakan sector pertanian yang disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan yang terjadi dilapangan dalam mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kesejahteraan bangsa. Krisis ekonomi yang terjadi diawal 1997 berdampak negatitif terhadap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara . Peran sektor pertanian yang

merupakan dasar bagi kelangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan diharapkan mampu memberikan pemecahan bagi bangsa Indonesia. Karena sektor pertanian

mempunyai empat fungsi yang sangat fundamental bagi pembangunan suatu bangsa, yaitu : (1) mencukupi pangan dalam negeri ; (2) penyediaan lapangan kerja dan berusaha; (3) penyediaan bahan baku untuk industry; dan (4) sebagai penghasil Negara.(Profil P2HP, 2007) devisa bagi

Permintaan terhadap beras dari tahun ketahun cenderung naik sejalan dengan laju peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita per tahun serta peralihan sumber karbohidrat dari non beras ke beras. terakhir menunjukkan gejala melandai, penurunan. Sementara produksi padi dalam beberapa tahun bahkan pada tahun-tahun tertentu mengalami

Pelandaian produksi tersebut berkaitan erat dengan sulitnya menaikan

produktivitas padi dilahan-lahan sawah irigasi yang telah bertahun-tahun diberi dosis pupuk anorganik tinggi tanpa mempertimbangkan status kesuburan lahan. Dengan semakin

meningkatnya tuntutan kebutuhan akan pangan khususnya beras, maka upaya peningkatan produktivitas diharapkan terus bergerak dinamis seiring dengan pertumbuhan penduduk, industry pengolahan hasil-hasil pertanian, teknologi serta perkembangan pasar baik domestic maupun global. Laju pertumbuhan produksi padi Sul-sel selama kurun waktu tahun 2001-2006 tercatat sangat lamban, yaitu rata-rata sekitar 0,20 persen per tahun. Sementara itu laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu yang sama yaitu sekitar 1,65 persen per tahun (BPS,2008). Kenyataan ini sangat perlu dipahami dan dicermati mengingat jumlah

penduduk sul-sel terus bertambah dengan laju pertumbuhan yang relatif meningkat sedangkan produksi padi dalam kurun waktu yang sama sangat berfluktuasi.Produksi padi kering giling dalam tahun 2006, berdasarkan angka sementara Badan Statistik (BPS) Provinsi Sul-sel, tercatat sebesar 3.365.508 ton dengan luas panen 719.846 ha. Apabila produksi dibagi dengan luas lahan panen maka akan dihasilkan rata-rata produktivitas.

Indonesia sebagai Negara agraris yang berarti sebagian besar penduduknya hidup dari hasil pertanian. Kondisi alam yang luas dan subur sangat potensial untuk tumbuh dan berkembangnya beraneka ragam komoditi pertanian. Berbagai komoditi pertanian dikembangkan sesuai kondisi alam atau tingkat kesesuain lahan. Dalam tulisan ini akan disoroti tentang komoditi pertanian yang paling banyak dikembangkan oleh petani yakni beras. Begitu besar perhatian pemerintah terhadap peningkatan produksi beras nasional sehingga beras dijadikan sebagai salah satu indicator ketahanan pangan nasional selain jagung. Sejak jaman orde lama sampai zaman orde baru dan sekarang zaman reformasi prioritas pembangunan masih bertumpu pada sektor pertanian utamanya beras. Melihat perjalanan panjang pembangunan pertanian di Indonesia akan sampai kepada pertanyaan sejauh mana kemampuan Indonesia dalam memproduksi beras saat ini. Sudahkan beras menjadi komoditi ekspor yang patut dibanggakan? Ataukah baru dalam tahap swasembada? Ternyata jawabnya adalah jangankan mengekspor beras,

berswasembada saja masih sulit. Lalu kapankah Indonesia menjadi Negara pengekspor beras? Semua ini tergantung kepada focus pemerintah dalam melahirkan kebijakan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan produksi baik dari segi kuantitas yang seiring dengan peningkatan kualitas produksi.

Urgensi kebijakan pemerintah dalam membangun kemandirian pangan Indonesia adalah meningkatkan produksi padi untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk, berkurangnya areal persawahan yang diakibatkan oleh terjadinya pengalihan fungsi dari areal persawahan menjadi areal perkantoran/pertokoan seiring dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan atau pemukiman sebagai akibat pesatnya pertambahan jumlah penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktifitas padi tidaklah cukup untuk menjamin ketersediaan pangan tetapi mencakup pendistribusian terhadap kebutuhan nasional yang terus-menerus meningkat. Dari segi pertumbuhan penduduk disamping jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh tingkat konsumsi makanan pokok yang di Indonesia yaitu; 139 kg/kap/ thn( termasuk pangan, kebutuhan industri,dan pakan ternak. Tingkat konsumsi ini terlalu tinggi untuk ukuran international (Nainggolan,2000) deptan 2007. Sebagai pembanding adalah tingkat konsumsi di Negara lain, seperti Jepang 45/kg/thn, Malaysia 80 /kg/thn, Thailand 90 /kg/thn dan konsumsi rata-rata dunia saat ini adalah56,9 /kg/thn(Simarmata, 2008). Dari gambaran diatas, dapat dipastikan bahwa ketahanan pangan nasional semakin terancam karena pertambahan jumlah penduduk, ketersedian lahan dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Bila diasumsikan dengan tingkat konsumsi beras tetap 139 kg/kap/ thn dan laju pertumbuhan penduduk tahun (2005-2010) sebesar 1,3 %, tahun (20112015) sebesar 1,18% dan 2015-2030 sebesar 0,92% maka diperkirakan kebutuhan konsumsi tahun 2030 sebesar 39,8 juta ton (Tabel 1). Luas panen padi pada tahun 2005

seluas 11,84 juta hektar. Produktifitas nasional sekarang adalah 4,6 ton/Ha Gabah Kering giling(GKG) (Simarmata, 2008). Tabel 1 . Prediksi Perkembangan jumlah penduduk dan proyeksi kenaikan kebutuhan beras hingga tahun 2030 di Indonesia Tahun 2005 2006 2010 2015 2020 2025 2026 2027 2028 2029 2030 Kenaikan Jumlah Tingkat Penduduk Penduduk Konsumsi (%) (juta jiwa) (kg/kap/thn) 1,3 1,3 1,3 1,18 1,06 092 0,92 0,92 0,92 0,92 0,92 218,87 222,19 233,48 247,57 261,01 273,22 275,73 278,27 280,83 283,41 286,02 139,15 139,15 139,15 139,15 139,15 139,15 139,15 139,15 139,15 139,15 139,15 Kebutuhan Beras (juta ton) 30,46 30,92 32,49 34,45 36,32 38,02 38,37 38,72 39,08 39,44 39,80 Kebutuhan GKG (juta ton) 47,08 47,57 49,98 52,99 55,88 58,49 59,03 59,57 60,12 60,67 61,23

Sumber : Nainggolan, 2006 dan Deptan, 2007 Alternatif untuk mengantisipasi masalah ketersediaan dan ketahanan pangan dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Perluasan Areal Panen. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan menggenjot peningkatan luas area panen dari yang sekarang 11,84 juta ha menjadi 22,95 juta ha, atau naik 11,11 juta ha dalam waktu 23 tahun (asumsi rata-rata produktivitas padi tetap, yaitu 4,6 t/ha). Hal ini sangatlah sulit untuk dilakukan karena lahan sawah justru cenderung beralih fungsi ke non pertanian. 2. Intensifikasi Meningkatkan Produksi. Peningkatan produksi dengan intensifikasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas padi dua kali lipat dari sekarang, yaitu dari 4,6 t/ha menjadl 9,2 t/ha. Meningkatkan produktivitas menjadi dua kali lipat dengan pola sawah konvensional sangat sulit. 3. Mengendalikan Pertambahan Jumlah Penduduk. Pengendalian

pertambahan jumlah penduduk berkaitan dengan ketahanan pangan. Pertumbuhan penduduk diharapkan dalam waktu yang relatif singkat dapat diturunkan, bahkan diupayakan menjadi zero growth melalui program keluarga berencana. 4. Diversifikasi Pangan. Penurunan konsumsi beras dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan. Bila luas dan produktivitas tetap, maka kebutuhan beras dari 139 kg/kap/tahun harus diturunkan menjadi 70 kg/kap/thn. Alternatif ini juga tidak mudah dilakukan mengingat kultur bangsa Indonesia. 5. Upaya Terpadu. Permasalahan ketersediaan dan ketahanan pangan sangat kompleks. Konsekuensinya, diperlukan upaya peningkatan produksi dan program ketahanan

pangan melalui perluasan, intensifikasi, diversifikasi pangan dan pengendalian pertambahan jumlah penduduk secara terpadu. Bila tingkat konsumsi sekitar 139 kg beras/kap/thn dan laju pertambahan jumlah penduduk sesuai dengan tabel 1, jumlah penduduk di Indonesia diproyeksikan pada tahun 2030 akan mencapai 286,02 juta jiwa dan kebutuhan beras sekitar 39,8 juta ton (61,23 juta ton GKG). Di sisi lain luas areal panen hanya sekitar 11-12 juta ha dan konversi lahan sawah ke pertanian lainnya atau industri terus berlangsung (alih fungsi lahan sawah sekitar 110.000 ha/thn) (Simarmata,2008). Konsekuensinya, keberlanjutan ketahanan pangan sangat tergantung pada peningkatan produktivitas dan kualitas sumber daya lahan (kualitas dan kesehatan tanah). Jika produktivitas padi saat ini berkisar 4-6 t/ha (rata-rata nasional sekitar 4,54 t/ha pada tahun 2004), maka untuk mempertahankan ketahanan pangan diperlukan teknologi untuk meningkatkan produksi padi menjadi 6-8 t/ha. Bila Indonesia ingin menjadi eksportir beras yang handal, diperlukan terobosan teknologi yang mampu menghasilkan 8-12 t/ha (Simarmata, 2008). Produksi padi nasional yang semula 19,1 juta ton pada tahun 1969 meningkat menjadi 44,9 juta ton pada tahun 1990. Pada kurun waktu yang sama hasil padi meningkat dari 2,4 t/ha menjadi 4,3 t/ha (Gambar 1) (Sisworo, 2007). Secara nasional tampak kenaikan produtivitas dari tahun 1994 hingga sekarang sudah mencapai titik jenuh (leveling off). Saat ini tingkat produktivitas lahan sawah sekitar 4,6 t/ha (Sisworo, 2007).

Pendekatan yang dilakukan hingga saat ini adalah peningkatan produktivitas tanaman padi melalui program intensifikasi (panca usahatani) dengan bertumpu pada penggunaan input eksternal secara intensif (pupuk anorganik dan pestisida). Untuk mencapai produktivitas sekitar 4-6 t/ha diperlukan pemupukan dengan 200-400 kg Urea/ha, 100-200 kg SP-36/ha dan 100-150 kg KCl/ha dan air irigasi yang sangat boros (Deptan, 2007; Simarmata et a/., 2007). Penggunaan pupuk N secara intensif akan memacu mineralisasi bahan organik tanah sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kadar Corganik dalam tanah. Hasil berbagai kajian menunjukkan bahwa kadar C-organik pada lahan-lahan sawah dl sentra produksi padi umumnya sudah rendah (< 2%). Berdasarkan indikator kesehatan tanah, maka lahan sawah dengan kadar C-organik < 2% termasuk kategori sakit. Akibatnya, walaupun dosis pupuk anorganik ditingkatkan, tetapi tidak memberikan kenaikan hasil yang signifikan. Bahkan indikasi kenaikan produktivitas padi dengan pemupukan yang intensif (bertumpu pada penggunaan pupuk buatan) sudah mencapai titik jenuh (levelling off) dan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kesehatan tanah sawah (Simarmata, 2007). Kemajuan dalam bidang teknologi dan peningkatan taraf hidup semakin mendorong kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Kekhawatiran akan pencemaran lingkungan akibat penggunaan berbagai bahan buatan terutama penggunaan pestisida dan pupuk anorganik sintetik (pupuk kimia) serta mismanagemen sumber daya lahan terus meningkat. Kondisi tersebut melahirkan berbagai solusi dengan pertanian ramah

lingkungan, antara lain adalah pertanian ekologis, pertanian ekologis terpadu, permakultur, pertanian berkelanjutan, low input sustainable agriculture (LISA), low external input sustainable agriculture (LEISA) pertanian organik (organic farming/organic

agriculture/okologischer Landbau/Biologischer Landbau) (IFOAM. 2000: Simarmata, 2007). Kenaikan produksi dan produktivitas dari tahun ketahun selama 3 tahun terakhir, karena adanya Program Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas) yang dilakukan oleh Pemerintah dan Masyarakat petani Kabupaten Gowa tahun 2006 sehingga produksi padi ada yang bisa mencapai di atas 7 ton/ha (GKP). Dalam program Gerbang Emas dicirikan bahwa petani tidak menerima uang dari BRI, tetapi menerima sarana produksi (benih, pupuk dan Pestisida) dari penyalur dan pengembalian pinjaman dalam bentuk gabah yang disetor kepada Bulog melalui mitranya sesuai besarnya pinjaman setiap petani dari BRI, selanjutnya Bulog yang membayar kepada BRI. Pada tahun 2007 yang lalu Kabupaten Gowa ingin meningkatkani produksi dan produktivitas padi Kabupaten Gowa bisa meningkat diatas 7 %. Keberhasilan Kabupaten Gowa ini dapat menyumbang konstribusi Peningkatan Produksi Beras yang dicanangkan oleh Departemen Pertanian 2 juta ton melalui program P2BN. Tahun 2008 Kabupaten Gowa masih dapat meningkatkan produksi di atas 7 %.

Menurut .Simarmata., produksi padi dapat diperoleh dengan perbaikan teknologi budidaya, dengan mengadopsi sebuah teknologi baru yang dikenal dengan Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) , dimana untuk memperkenalkan kepada masyarakat khususnya petani/kelompok tani Pemerintah mengadakan Demplot di 8 kecamatan seluas 15 Ha pada Musim Tanam Gadu 2008, Penanaman Perdana dihadiri oleh Bapak Bupati dan Bapak Prof. DR. Ir. Simarmata sebagai penemu dari teknologi IPAT sedangkan panen perdana oleh Bapak Gubernur. Teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) merupakan sistem produksi yang diperkenalkan oleh Pemerintah kabupaten Gowa sejak Musim Tanam 2008 (April-September) seluas 15 Ha sebagai percontohan (Demonstrasi Plot). Penanaman Perdana Oleh Bapak Bupati dan dihadiri langsung Bapak Prof. Dr.Ir.Tinulaar Simarmata beserta rombongan, sedang panen Perdana oleh Bapak Gubernur Provinsi Sulawesi selatan. Sistem IPAT ini bersifat holistik (terpadu) dengan menitikberatkan pemanfaatan kekuatan biologis tanah (soil biological power), managemen tanaman, pemupukan (spesifik lokalita) dan tata air secara terpadu dan terencana untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran padi dengan optimal. Simarmata (2008) melaporkan Hasil kaji terap IPAT-BO dengan berbagai jenis varietas padi pada beberapa lokasi Jawa Barat (kab. Bandung, Sumedang, Garut, Karawang dan kab. lainnya), Jawa Tengah (kab. Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Purworejo, Magelang, Semarang dan kab. Lainnya) Jawa Timur (kab. Tulung Agung, Blitar, Mojokerto, Jombang,

10

Madiun, Ponorogo, dll), Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur (kab. Kupang, Rote Ndao, dan kab. Bajawa) dan Sumatera Utara (kab. Serdang Bedagai, Deli Serdang dan kab. lainnya) yang ternyata mampu menghasilkan padi 8-12 t/ha (peningkatan hasil rata-rata berkisar 50-150% dibandingkan dengan sistem anaerob). Menurutnya pada lahan sawah yang relatif baik (produksi 6-8 t/ha) kenaikan produksi berkisar 50-100% sedangkan pada lahan yang kurang subur (produksi 3-5 t/ha) kenaikan produksi mencapai 100-200%. Selain itu, dikemukakan pula bahwa IPAT-BO sebagai sistem produksi yang holistik dapat mengadopsi berbagai teknik penanaman padi seperti tanam benih langsung (Tabela), Jajar Legowo dan lain-lainnya. Penggunaan pupuk organik dan pengendalian tata udara tanah agar berada dalam kondisi aerob, ternyata mampu meningkatkan keanekaragaman hayati biota tanah dan memacu pertumbuhan sistem perakaran. Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Gowa mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menunjang program pembangunan daerah pada umumnya terutama dalam upaya memperkokoh pertahanan penyediaan stok pangan lokal maupun nasional dengan harapan akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Oleh karena strategi peningkatan produksi padi melalui program IPAT-BO diharapkan dapat memaksimalkan seluruh potensi yang hingga kini belum dikelola secara maksimal. Namun demikian Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk melaksanakan perubahan khususnya pembangunan pertanian, dalam hal ini peningkatan

11

produksi padi seperti telah dijelaskan terdahulu, masih terkendala oleh beberapa hal; Pertama, untuk merubah pola pikir dan perilaku petani tidaklah mudah disebabkan sifat yang dimiliki petani terutama dalam mengadopsi sebuah teknologi baru sangat hati-hati. Kepala Dinas Pertanian kabupaten Gowa menyatakan , kelompok tani kalau hanya mendengar belum yakin. Hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap tingkat adopsi suatu inovasi yang akan membantu petani dalam mengatasi berbagai masalah dan kesenjangan produksi yang timbul dalam melaksanakan usaha taninya, Kedua, Kesenjangan dapat disebabkan antara potensi hasil dengan kenyataan yang diperoleh petani yang disebabkan karena tehnologi yang dianjurkan tidak dapat ditransfer oleh petani, perbedaan kondisi lingkungan juga karena adanya kendala biologis dan sosial ekonomi. Kendala biologi berupa varietas (masih ada petani kadang tidak menggunakan benih berlabel yang dianjurkan), pengendalian hama dan penyakit secara terpadu.. Tabel 2 menunjukkan tingkat Adopsi IPAT-BO dikabupaten Gowa Musim Tanam 2008-2009 dapat dilihat sebagai berikut:

12

Tabel 2. Persentase Tingkat Adopsi Teknologi IPAT-BO MT


NO KECAMATAN DESA/ KELURAHAN KELOMPOK TANI

2008/2009 di kabupaten Gowa


LUAS TANAM IPAT(Ha) %

LUAS Tanam(Ha)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Bonto Nompo 18 Barombong 9 BT. Marannu 12 Bajeng Barat 10 Bajeng 14 Pallangga 18 Biringbulu 11 Tompo Bulu 8 Tombolopao 7 Pattallassang 5 Tinggimoncong 5 Parigi 5 Bungaya 6 Parangloe 6 BT. Nompo Sel 9 Somba Opu 11 BT. Lempangan 8 Manuju 6 JUMLAH 168 Sumber: Diperta Gowa,2009

18 9 12 10 14 18 11 8 7 5 5 5 6 6 9 11 8 6 168

4.047 2.903 1.824 2.570 4.969 4.765 1.722 4.054 3.341 3.400 2.578 2.116 2.880 2.415 2.686 2.150 2.788 2.351 53.549

36 18 24 20 28 36 22 16 14 10 10 10 12 12 18 22 16 12 336

0.89 0.62 1.32 0.78 0.56 0.75 1.28 0.39 0.42 0.29 0.39 0.47 0.42 0.50 0.67 1.02 0.58 0.51 11.862

Dari table 2 diatas terlihat bahwa luas tanam yang menggunakan teknologi IPATBO hanya 336 ha (11,86 %) dari luas lahan yang berpotensi ditanami padi (53.549ha). Hal ini selain disebabkan beberapa kendala yang telah diuraikan diatas juga disebabkan keterbatasan modal petani dan mahalnya harga pupuk, sehingga petani cenderung menerapkan teknologi budidaya tidak sesuai dengan acuan rekomendasi yang ada. Oleh karena itu dalam penelitian ini membahas potensi dan perkembangan lahan sawah, IPAT-

13

BO di Kabupaten Gowa serta mengevaluasi kinerja petani didalam menggunakan input produksi sehingga diperoleh gambaran pencapaian produksi yang optimal. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang [upaya pengelolaan perubahan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Gowa untuk meningkatkan produktivitas padi melalui intensifikasi padi IPAT-BO B. Fokus Permasalahan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, dirumuskan permasalahan, yakni : Bagaimana upaya pengelolaan perubahan pemerintah Kabupaten Gowa untuk mendukung Insplementasi Program teknologi IPAT-BO sebagai Strategi peningkatan produksi Padi ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya pengelolaan perubahan pemerintah Kabupaten Gowa untuk mendukung inplementasi Program Teknologi IPAT_BO sebagai strategi peningkatan produksi Padi. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat akademik Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan mengenai implementasi program pembangunan dibidang pertanian yang dilakukan oleh

14

pemerintah

daerah,

dan

bagaimana

mengelola

perubahan

kearah

implementasinya. b. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini akan bermanfaat terutama bagi pihak pemerintah Kabupaten Gowa, dalam menyusun strategi peningkatan Produksi padi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnyab petani.

15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Teori dan Konsep Kunci
1. Program Pembangunan Pembangunan adalah proses untuk menuju perbaikan yang dicapai oleh masyarakat disegala bidang, pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang

menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang ( Sukirno,2007-11). Dalam penyelenggaraan pembangunan khususnya pembangunan daerah di kabupaten Gowa diprioritaskan pada pembangunan pertanian. Pembangunan Daerah itu sendiri bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat didaerah yang serasi dan terpadu baik antar sektor maupun pembangunan dengan perencanaan oleh daerah secara efektif dan efesien menuju tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata diseluruh tanah air (Kartasasmita,1996). Sedangkan pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani , menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Pemerintaah melaksanakan fungsi sebagai stimulator dan fasilitator yang

16

mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi dan sosial para petani agar memberi manfaat bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Dalam tahun 2005-2010 pembangunan pertanian Kabupaten Gowa diarahkan untuk mencapai visi yaitu Terwujudnya Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sebagai Sektor Andalan Yang Berorientasi Agribisnis Menuju Sejahtera. Visi sebagai cara pandang yang jauh ke depan menuntut kemampuan dari pengambil keputusan untuk merangkai berbagai kegiatan yang efektif dan efesien untuk mencapai tujuan. Oleh karena peranan manajemen strategis dalam mengelola segenap potensi dan memanfaatkan segenap peluang akan menjadi hal yang sangat penting. Manajemen Strategi mempunyai banyak defenisi, di antaranya yang Masyarakat

dikemukakakan oleh Nawawi (2003:148-149) adalah sebagai berikut : 1) Manajemen strategic adalah proses atau rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar atau menyeluruh, disertai penetapan cara melaksanakannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran didalam suatu organisasi, untuk mencapai tujuan. 2) Manajemen strategis adalah usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang muncul guna mencapai yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan.

17

3) Manajemen strategic adalah arus keputusan dan tindakan yang mengarah pada pengembangan suatu strategi atau strategi-strategi yang efektif mencapai tujuan organisasi. 4) Manajemen strategik adalah perencanaan berskala besar (disebut perencanaan strategic, biasanya disingkat menjadi RENSTRA) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (disebut visi), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinakan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut misi), dalam usaha menghasilkan sesuatu (perencanaan operasional untuk menghasilkan barang dan//atau jasa serta pelayanan) yang berkualitas, dengan diarahkan kepada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut tujuan strategik) dan berbagai sasaran (tujuan operasional) organisasi. Pengertian yang cukup luas (pengertian keempat) menunjukan bahwa manajemen strategic merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak (bersama-sama) kearah yang sama pula. Komponen pertama adalah RENSTRA dengan unsur-unsurnya yang terdiri dari visi, misi, tujuan strategic dan strategi utama (induk) organisasi. Komponen kedua adalah perencanaan operasional dengan unsuruntuk membantu

unsurnya adalah sasaran atau tujuan operasionalnya, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijakan

18

situsional, jaringan kerja (net work) internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik. Seperti halnya dengan manajemen strategik, RENSTRA juga memiliki beberapa defenisi. Dalam modul 2 Sosialisasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) yang diterbitkan oleh LAN-BPKP dalam Riyadi dan Bratakusumah (2004:279) dinyatakan bahwa RENSTRA merupakan proses secara sistematis yang berkelanjutan dari pembuatan keputusan yang beresiko, dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya pengetahuan

antisipatif, mengorganisasi secara sistematis usaha-usaha melaksanakan keputusan tersebut dan mengukur hasilnya melalui umpan balik yang terorganisasi dan sistematis. Lebih lanjut Riyadi dan Bratakusumah (2004:290) mengemukakan bahwa RENSTRA pada dasarnya adalah proses perumusan keputusan yang akan dilaksanakan untuk perieode tertentu dengan memperhatikan prinsip-prinsip antisipatif dari kondisi lingkungan strategis guna memelihara eksisternsi organisasi secara berkelanjutan. RENSTRA merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan mempertimbangkan potensi, peluang dan kendala yang ada atau mungkin timbul. Rencana strategic dipandang sebagai suatu konsep perencanaan yang cenderung dibutuhkan dan banyak digunakan oleh suatu organisasi karena memiliki fungsi pola pemikiran yang menggambarkan rangkaian sistematis dari :

19

1. Visi yang jelas untuk apa organisasi dibangun 2. Misi yang menggambarkan berbagai aktivitas komprehensif dengan memberikan dorongan kearah mana organisasi akan dibawa dan bagaimana caranya. 3. Tujuan dan ssasaran yang menjadi pedoman organisasi dalam jangka waktu tertentu. Di dalam Learning Product lAN (2003:7-8), RENSTRA dimulai dengan merumuskan visi dan misi organisasi, dan juga nilai-nilai yang mendasari dalam meraih visi dan misi organisasi dan juga nilai-nilai yang mendasari dalam melaksanakan misi. Selanjutnya dalam rangka formulasi rencana strategic yang mencerminkan perwujudan pandangan ideal dan hal-hal yang harus dicapai dimasa yang akan datang diperlukan penguasaan informasi tentang masalah masalah dalam lingkungan internal dan eksternal melalui pencernaan dan asumsi organisasi. Pencermatan tersebut dikenal sebagai Pencermatan Lingkungan Internal (PLI) dan Pencermatan Lingkungan Eksternal (PLE) serta kesimpulan Asumsi Faktor Internal (KAFI) dan Kesimpulan Asumsi Faktor Eksternal (KAFE). Langkah berikutnya adalah merumuskan tujuan dan sasaran organisasi serta strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut.. Untuk lebih jelasnya berikut diuraikan tahap-tahap manajemen strategis sebagai berikut:

20

a. Proses analisis dimulai dengan menetukan visi yang mempunyai beberapa pengertian antara lain: 1) Visi adalah pernyataan tentang tujuan organisasi yang diekspresikan dalam produk dalam pelayanan yang ditawarkan, kebutuhan yang dapat ditanggulangi, kelompok masyarakat yang dilayani, serta aspirasi dan citacita masa depan (Kotler dalam Nawawi, 2003:155). 2) Visi adalah suatu pandangan yang jauh kedepan tentang organisasi, tujuantujuan organisasi dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Dirgantoro,2004:24). b. Misi juga memiliki banyak pengertian sebagai berikut: 1) Misi merupakan pernyataan yang menetapkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Pernyataan misi membawa organisasi kepada suatu focus. Misi menjelaskan mengapa organisasi itu ada, apa yang dilakukannya dan bagaimana cara melakukannya (Learning Product LAN, 2003:12.. 2) Misi merupakan sesuatu yang dirumuskan untuk menggerakkan organisasi, menggambarkan arah kemana organisasi akan dibawa. Pergerakan organisasi melalui misi harus mengarah pada pencapaian visi sehingga tergambarkan apa sebenarnya yang ingin dicapai, bagaimana mencapainya, dengan apa melakukannya dan siapa yang betanggung jawab. Rumusan misi hendaknya berupa strategi atau tindakan yang akan dilakukan, namun

21

masih bersifat umum belum spesifik dan belum operasional (Riyadi dan Bratakusumah, 2004:302) 3) Menentukan nilai-nilai yang mendasari dalam meraih visi dan misi

dalamLearning Product LAN (2003:13) dikemukakan bahwa nilai adalah sikap atau perilaku dalam rangka mencapai visi. Sikap terhadap orang lain dalam organisasi, sikap menghargai pelanggan, masyarakat, sikap orang bergerak mencapai visi. 4) Pencermatan Lingkungan Internal (PLI) merupakan kajian tentang kekuatan dan kelemahan organisasi saat ini dan berpotensi akan muncul dimasa yang akan dating. Sementara itu Pencermatan Lingkungan Eksternal (PLE)

merupakan kajian tentang dan peluang saat ini yang berpotensi akan muncul dimasa depan. Hal ini penting untuk menyusun dan menetapkan

perencanaan strategis organisasi kedepan. 5) Selanjutnya PLI menghasilkan Kesimpulan Analisis Faktor Internal (KAFI) dan PLE menghasilkan Kesimpulan Analisis Faktor Eksternal (KAFE) yang merupakan konklusi tentang fakta-fakta lingkungan serta terhadap kemitraan organisasi dengan dunia luarnya (Learning Product LAN, 2003:14-15). 6) Tujuan, memiliki beberapa defenisi antara lain: a. Tujuan merupakan target yang bersifat kuantitatif dari suatu organisasi dan pencapaian target-target ini merupakan ukuran dari keberhasilan

22

kinerja faktor-faktor penentu keberhasilan suatu organisasi.

Tujuan

organisasi pada dasarnya untuk jangka panjang dengan tugas yang harus diselenggarakan selama waktu itu dan akan mengarahkan kinerja organisasi (Learning Product LAN, 2003:22). b. Tujuan merupakan penjabaran/implementasidari pernyataan. Tujuan

adalah sesuatu (apa) yang akan dicapai atau dihasilkan pada jangka waktu 1 (satu) sampai dengan 5(lima) tahunan (Inpres No. 7 tahun 1999). 7) Sasaran Organisasi mempunyai pengertian sebagai berikut: a. Sasaran adalah penjabaran dari tujuan, yaitu sesuatu yang akan dicapai/dihasilkan oleh instansi pemerintah dalam jangka waktu dalam bentuk kuantitatif sehingga dapat diukur (Inpres No. 7 tahun 1999). b. Dalam Learning Product LAN (2003:23,28), sasaran organisasi merupakan penggambaran hal yang ingin diwujudkan melalui tindakantindakan yang diambil organiasasi guna mencapai tujuan. Untuk

menentukan sasran organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan organisasi, digunakan criteria SMART sebagai berikut : 1. Spesifik (Specific), sasaran harus menggambarkan hasil spesifik yang diinginkan bukan cara pencapaiannya. Sasaran harus

memberikan arah dan tolok ukur yang jelas sehingga dapat dijadikan landasan untuk penyusunan strategi dan kegiatan yang spesifik pula.

23

2. Dapat diukur (Measureable), sasaran harus terukur dan dapat dipergunakan untuk memastikan apa dan kapan pencapaiannya. Akuntabilitas harus ditanamkan kedalam proses perencanaan. Oleh karenanya metodologi untuk mengukur pencapaian sasaran harus ditetapkan sebelum kegiatan yang terkait dengan sasaran tersebut dilaksanakan. 3. Dapat dicapai (Attainable), apabila sasaran harus dijadikan standar keberhasilan, maka sasaran harus menantang, namun tidak boleh mengandung target yang tidak layak. 4. Realistis (Realistic), berorientasi pada hasil, sasaran harus menspesifikasikan hasil yang ingin dicapai, contoh; menyediakan asistensi teknis bagi 50 industri kulit yang berorientasi eksport. 5. Ada jangka waktu tertentu untuk nencapainya (Time bound). Dapat dicapai dalam waktu satu tahun atau berlaku pada masa sekarang . Sasaran akan lebih mudah dikelola dan dapat lebih serasi dengan proses anggaran apabila dibuatbya sesuai dengan batas-batas tahun fiscal. c. Sasaran organisasi merupakan spesifikasi dari tujuan. ialah harus Maksudnya

bahwa untuk dapat mencapai tujuan tersebut, terlebih dahulu dicapai sasaran-sasaran yang ditetapkan. Dengan

24

demikian, sasaran merupakan tindakan yang akan dilakukan untuk menginplementasikan RENSTRA (Riyadi dan Bratakusumah,

2003:305). Dalam pedoman AKIP yang dikeluarkan oleh LAN-RI, rencana tindakan terbagi dalam tiga komponen yaitu kebijakan organisasi, program dan kegiatan. Suatu kebijakan harus dijabarkan dalam program, dan setiap program harus dijabarkan dalam beberapa kegiatan. Secara lebih jelas pengertian kebijakan, program dan kegiatan dinyatakan dalam Learning Product LAN (2003:24-25) sebagai berikut: 1). Kebijakan Kebijakan adalah pedoman pelaksanaan tindakan-tindakan tertentu. Kebijakan merupakan kumpulan keputusan-keputusan yaitu : a) Menentukan secara teliti bagaimana strategi akan dilaksanakan. b) Mengatur suatu mekanisme tindakan lanjutan untuk pelaksanaan pencapaian tujuan. c) Menciptakan kebijakan dimana setiap pejabat dan pelaksana di organisasi mengetahui apakah memperoleh dukungan untuk bekerja dan

mengimplementasikan keputusan

25

2). Program a) Program kerja operasional merupakan upaya untuk implementasi strategi organisasi. b) Proses penentuan jumlah dan jenis sumberdaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan suatu rencana. c) Program operasional merupakan penjabaran riil tentang langkah-langkah diambil untuk menjabarkan kebijakan. d) Program operasional dapat bersifat jangka panjang dan menengah (3-5 tahun atau bersifat tahunan saja). e) Program kerja operasional tidak terlepas dari kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya. f) Program kerja operasional didasarkan atas perumusan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan yang telah ditetapkan. 3). Kegiatan Kegiatan (aktivitas) instansi pemerintah merupakan penjabaran dari program operasional yang telah dibuat oleh organisasi tersebut, kegiatan tersebut berdimensi tidak lebih dari satu tahun. Kegiatan tahunan ini menjadi bahan untuk evaluasi dan memperbaiki program kerja operasional instansi pemerintah yang berdimensi lima tahunan. yang

26

Selanjutnya akan diuraikan beberapa manfaat RENSTRA. Riyadi dan Bratakusumah (2004:308) menyimpulkan dari beberapa pendapat para ahli mengenai manfaat RENSTRA adalah sebagai berikut : a. Sebagai alat bagi pimpinan dan seluruh jajaran organisasi untuk membangun arah tujuan organisasi dalam jangka panjang. b. Mendorong sistem kerja yang efektif dan efisien dengan membangun acuan kerja yang jelas melalui sistem prioritas dan tahapan-tahapan kerja. c. Menciptakan rasa tanggung jawab dan mendorong komitmen dari seluruh anggota organisasi pada semua tingkatan. d. Senantiasa mendorong organisasi untuk berorientasi kepada hasil yang harus diraih di masa depan, agar eksistensi organisasi tetap terpelihara melalui strategi yang rasional dan logis. e. Menjadi alat komunikasi dan koordinasi kerja yang efektif untuk senantiasa mengarah pada tujuan yang sama. Mengembangkan sifat fleksibel dengan senantiasa melihat dan menganalisis berbagai perkembangan dalam lingkungan strategis yang dimungkinkan akan mempengaruhi organisasi. f. Memberikan jaminan yang konkrit, jelas dan logis, baik kepada lingkungan internal maupun ekseternal, dalam kaitannya dengan aktivitas organisasi (pelayanan). Membangun sifat antisipatif dan korektif terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi, sehingga akan mendorong sifat proaktif dalam bergerak. Langkah-langkah

27

antisifatif menjadi bagian dari sistem kerja yang efektif dan efesien yang berorientasi pada hasil dan pendapatan petani. Sistem kerja yang baru dan bersifat antisifatip dengan menggunakan tehnologi untuk menunjang pencapain tujuan adalah suatu produk inovasi. Aplikasi dari temuan baru yang diterima dan dilaksanakan sesuai petunjuk dikenal dengan adopsi. 2. Inovasi/Adopsi

Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk membantu petani dalam meningkatkan pendapatannya antara lain : 1. Mengembangkan tehnologi baru yang dapat diadopsi petani pada kondisi lingkungan tertentu, 2. Membantu memahami memberikan pengaruh pengertian kepada pembuat lingkungan kebijaksanaan petani pada untuk proses

modifikasi

kondisi

pengambilan keputusan dalam memilih tehnologi produksi sesuai dengan komoditas yang dikehendaki (Heriyanto, 1993). Dalam proses difusi inovasi memiliki unsur yang dikemukakan oleh Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1981) adalah inovasi yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu kepada anggota suatu sistem sosial. Inovasi adalah suatu gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Kebaruan inovasi diukur secara subyektif, menurut pandangan individu yang

28

menangkapnya. Jika sesuatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi (bagi orang itu). Baru dalam inovatif tidak berarti harus baru sama sekali. Suatu inovasi mungkin telah lama diketahui oleh seseorang beberapa waktu yang lalu ( yaitu ketika ia dikenal dengan ide itu) tetapi ia belum mengembangkan sikap suka atau tidak suka terhadapnya, apakah ia menerima atau menolaknya (Hanafi.1981). Suatu inovasi yang akan disebarkan kedalam suatu sistem sosial memiliki sifat-sifat yang dapat menentukan adopsi atau tidaknya inovasi tersebut. Bila sifat-sifat inovasi tersebut sesuai dengan kondisi petani, maka inovasi tersebut akan cepat teradopsi dan begitu pula sebaliknya. Sifat- sifat inivasi yang dimaksud yaitu; 1. Keuntungan relatif, adalah tindakan dari ide yang baru yang dianggap suatu yang lebih baik dari pada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkatan keuntungan relatif ini seringkali dinyatakan dalam bentuk keuntungan ekonomi. 2. Kompabilitas adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. 3. Kompleksitas, adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan. Suatu mungkin dapat digolongkan kedalam kontinum rumit dan sederhana. 4. Triabilitas, adalah suatu tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dalam skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba akan memperkecil resiko adopter.

29

5.

Observabilitas, adalah tingkat dimana hasil-hasil inovasi tertentu mudah dilihat oleh orang lain. Hasil inovasi-inovasi tertentu mudah dilihat dan dikomunikasikan kepada orang lain sedangkan beberapa lainnya tidak. Selain itu adopsi inovasi dipengaruhi pula oleh : (1) Type keputusan inovasi, (2)

Sifat saluran komunikasi yang digunakan (3) Ciri-ciri sistem sosial dan (4) Gencarnya agen pembaharu dan mempromosikan inovasi (Rogers dan Shoemaker, dalam hanafi (1987). Mardikanto (1984) mengemukakan bahwa agar suatu inovasi dapat diterima oleh sasaran maka inovasi tersebut harus memiliki keunggulan seperti keuntungan relatif dan biaya penerapan murah. Selanjutnya Mohaymin Sovan (1985) dalam Heriyanto (1993) menjelaskan bahwa kemungkinan petani menerima atau menggunakan suatu teknologi baru sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan keberhasilan usahataninya pada masa sebelumnya. Jika petani berhasil dalam usaha taninya, maka akan lebih percaya diri dan menguatkan kemampuan modal yang dimilikinya sehingga akan lebih muda menerima tehnologi baru. Hal ini akan berlaku sebaliknya bila petani kurang berhasil dalam usaha taninya. Ini berarti bahwa penolakan suatu tehnologi baru bukan semata-mata karena petani tersebut ortodok melainkan kemungkinan tehnologi tersebut tidak dapat menyatu dengan kondisi petani. Ini dapat diartikan bahwa penolakan terhadap suatu tehnologi bukan karena petani bersifat konservatif atau ketidaktahuan akan tetapi karena petani membawa

pembaruan tersebut kedalam pertimbangan antara kemungkinan peningkatan pendapatan dan resiko kegagalan yang akan dihadapi.

30

Rogers dan Shoemaker (1987) menyatkan bahwa model proses keputusan inovasi yang harus dilalui oleh seorang petani dalam mengadopsi suatu inovasi terdiri dari empat tahap, yaitu; 2. Pengenalan, dimana seseorang mengetahui dan menerima informasi tentang adanya suatu inovasi namun informasi tersebut masih bersifat terbatas, 3. Persuasi, Dimana seseorang membentuk suatu sikap berkenan atau tidak terhadap suatu inovasi 4. Keputusan, dimana seseorang dapat mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi 5. Konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Tingkat kecepatan adopsi dapat diartikan sebagai tingkat kecepatan penerimaan suatu inovasi oleh pengguna yang biasanya diukur berdasarkan jumlah yang mengadopsi inovasi pada kurun waktu tertentu. Selain faktor tersebut diatas, maka ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat penerapan teknologi yaitu : 1. Umur Umur petani akan mempengaruhi kemampuan pisik bekerja dan cara berfikir. Beberapa bukti menunjukkan bahwa petani yang relatif tua biasanya lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat tertentu.

31

Salcedo dan Syawal (1987) mengemukakan bahwa petani yang umurnya relatif lebih muda cenderung lebih senang menerima petunjuk yang ada kaitannya dengan kegiatan usahatani, dalam hubungan ini Baruadi (1993) menemukan bahwa variable umur menunjukkan pengaruh sikap terhadap modernisasi pertanian dan tingkat adopsi inovasi petani pada tehnologi budidaya padi. 2. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan umumnya mempengaruhi cara berfikir petani. Pendidikan yang relatif tinggi akan lebih mudah memahami suatu inovasi dibandingkan dengan petani yang berpendidikan rendah. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Pentingnya pendidikan bagi petani telah dijadikan sebagai salah satu syarat pelancar bagi pembangunan pertanian (Mosher,1985). 3. Jumlah tanggungan keluarga Jumlah tanggungan keluarga petani dapat menggambarkan besarnya kebutuhan yang harus disediakan oleh kepala keluarga guna kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Disamping itu, dengan jumlah tanggungan keluarga yang besar akan dapat menyediakan tenaga kerja keluarga yang besar pula.

32

Pacu (1977) dan Batten (1973) dalam Surjadi (1983) mengatakan bahwa jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh nyata jika dihubungkan dengan tingkat penerimaan petani tentang tehnologi baru, hal sesuai dengan pendapat Castro (1987) dan Surjadi (1983) yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi. 4. Luas Lahan Usahatani Luas lahan usaha tani mempengaruhi cara-cara berproduksi petani. Pada usaha tani yang relatif kecil, petani sukar mengusahakan cabang usaha taninya yang bermacam-macam dan sukar memilih kombinasi-kombinasi cabang usaha tani yang paling menguntungkan . Luas lahan merupakan salah satu faktor penentu besarnya tingkat pendapatan petani. Ukuran luas lahan selalu berhubungan positif dengan tingkat adopsi petani. Semakin luas lahan usaha tani biasanya semakin cepat mengadopsi, karena memiliki kemampuan ekonomi lebih baik. 5. Pengalaman berusaha tani Pengalaman berusahatani dapat menentukan berhasil tidaknya petani dalam mengelola usahatani. Sebab dari pengalaman itulah dapat menjadi guru dan pettunjuk dalam melakukan kegiatan selanjutnya. Lamanya berusahatani seseorang akan mempengaruhi tingkat keberhasilan didalam menerapkan

33

tehnologi baru. Dengan pengalaman yang dimiliki oleh seorang petani akan mempercepat suatu penerimaan ide baru. Perubahan perilaku yangdiupayakan melalui penyuluhan pertanian pada diri petani umumnya berjalan dengan lambat, hal ini disebabkan tingkat pengetahuan, kecakapan dan mental petani masih rendah serta hal-hal yang disampaikan hanya akan diterima dan diterapkan setelah para petani mendapat gambaran nyata bahwa hal-hal baru yang diterima dari penyuluh akan berguna dan memberi keuntungan ( Kartasapoetra, 1993). 6. Tingkat Ekspose Tehnologi Salah satu motivasi agar petani merasa diperhatikan adalah dengan mengikutsertakan dalam pelatihan penyegaran/kursus baik yang

disaelenggarakan oleh kelompok tani maupun oleh aparatur pembina/penyuluh (anonym,1981). Pelatihan diharapkan agar peserta (Petani) dapat memecahkan masalah dengan belajar dari pengalaman kelompok tani yang sudah berhasil. Tingkat ekspose tehnologi dimaksudkan sebagai frekuensi keikutsertaan dalam penyuluhan/pelatihan. Semakin tinggi tingkat ekspose maka semakin tinggi pula kesempatan untuk mendapatkan informasi dan inovasi baru.

34

3. Manejemen Perubahan
Manajemen perubuhan adalah suatu proses secara sistematis dalam

menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk memengaruhi perubahan pada orang yang akan terkena dampak dari proses tersebut (Potts dan LaMarsh, dalam Wibowo 2007:193). Manajemen perubahan ditujukan untuk memberikan solusi bisnis yang diperlukan dengan sukses dengan cara yang terorganisasi dan dengan metode melalui pengelolaan dampak perubahan pada orang yang terlibat di dalamnya. Karena IPAT-BO merupakan suatu inovasi baru di bidang pertanian yang penerapannya memerlukan upaya pengelolaan perubahan dari cara bertanam yang tidak efisien ke cara yang lebih efisien maka strategi impementasi program IPAT-BO bisa diteliti dengan menggunakan kerangka pikir manajemen perubahan. Perubahan sudah merupakan fenomena global yang tidak bisa dibendung. Beberapa kejadian yang dihadapi organisasi antara lain adalah restrukturisasi, merger, divestasi dan akuisisi, penurunan kesempatan kerja dan ekspansi internasional dengan segala konsekwensinya (Pasmore, 1994:3). Perubahan organisasional bukanlah proses sederhana. Perubahan organisasional adalah mengenai mengubah kinerja organisasi lebih jelas ikatan antara apa yang kita lakukan dengan hasilnya, lebih banyak energi, komitmen dan kesenangan selama proses

35

perubahan. Kita memulai dan setiap usaha perubahan dengan perbaikan kinerja sebagai tujuan (Pasmore, 1994:15). Dengan demikian, perubahan adalah membuat sesuatu menjadi berbeda (Robbins, 2001:542). Perubahan tersebut merupakan perubahan organisasional yang merupakan transformasi secara terencana atau tidak terencana di dalam struktur organisasi tehnologi dan atau orang (Covenberg dan Baron, 2003:590) Potts dan Lamarsh (2004:36), perubahan merupakan pergeseran dari keadaan sekarang suatu organisasi menuju pada keadaan yang diinginkan dimasa depan. Perubahan dari keadaan sekarang tersebut dilihat dari struktur, proses, orang dan budaya. Perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari karena kuatnya dorongan eksternal dan karena adanya kebutuhan internal. Perubahan juga berpeluang menghadapi resistensi, baik individual maupun organisasional. Namun demikian resistensi bukannya merupakan sesuatu yang tidak dapat diatasi. Transparansi, komunikasi dan pengikut sertaan semua pihak yang terlibat dengan perubahan akan dapat mengurangi resistensi terhadap adanya perubahan. Namun, sebelum mengimplementasikan perubahan, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan (Pottsdan LaMarsh, 2004:40), yaitu sebagai berikut: a. Bagaimana kita mengetahui adanya sesuatu yang salah pada keadaan sekarang ini? b. Aspek apa dari keadaan sekarang ini yang tidak dapat tetap sama? c. Seberapa serius masalahnya?

36

Fulan (2004;43) memberikan lima butir kunci tentang perubahan, yaitu sebagai

berikut : a. Perubahan bersifat cepat dan non linier sehingga dapat menimbulkan suasana berantakan. Akan tetapi, perubahan juga menawarkan potensi besar untuk terobosan kreatif. Paradoks yang timbul adalah bahwa tranformasi tidak mungkin terjadi tanpa kekacauan. b. Kebanyakan perubahan dalam setiap sistem terjadi sebagai respon terhadap kekacauan dalam sistem lingkungan internal dan eksternal. Apabila respon terhadap gangguan dilakukan segera dan bersifat reflektif, seringkali tidak dapat dikelola, dan masalah lain justru dapat timbul akibatnya. Masalah juga dapat timbul ketika seseorang berusaha mengelola dan memanage perubahan. c. Faktor rasional dalam organisasi termasuk strategi dan individual, cara pendekatan, dan masalah; persahabatan dan perseteruan yang terjadi mempengaruhi sub sistem; dan faktor politik seperti kekuasaan dan kewenangan, perlindungan dan kompetisi atas sumber daya. d. Stake holder utama dan budaya organisasi menjadi pertimbangan pertama untuk perubahan organisasional. e. Perubahan tidak dapat dimanage atau dikelola atau dikontrol. Akan tetapi dapat dipahami dan mungkin memberi petunjuk. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Drucker bahwa kita tidak sekedar mengelola perubahan tetapi menciptakan perubahan.

37

Lewin (dalam Sulaksana U;2004) menyatakan bahwa Perubahan menuju tingkat kinerja kelompok yang lebih tinggi sering berlangsung secara temporal saja, apabila muncul penentangan, keadaan kelompok akan segera kembali ketingkat sebelumnya, Ini menandakan bahwa tidaklah memadai hanya dengan mendefenisikan tujuan perubahan terencana dalam hal kinerja kelompok sebagai tercapainya tataran lain. Kepermanenan (permanency) pada tataran baru, atau kepermanenan untuk jangka waktu yang diinginkan sebaiknya ikut dijadikan tujuan. Karena itu, perubahan yang berhasil mencakup tiga aspek: Unfreezing (jika dibutuhkan) tingkatan sekarang, perpindahan (moving) ke tingkatan baru, dan refreezing tingkatan baru tersebut. Karena setiap tingkatan ditentukan oleh medan kekuatan (force field), kepermanenan bermakna bahwa force field yang baru dipertahankan sedemikian rupa agar relatif aman terhadap perubahan. Jadi bagi Lewin, perubahan yang berhasil mencakup tiga langkah : Pencairan (unfreezing) tingkatan sekarang, Perpindahan (moving) ke tingkatan baru, Pembekuan/pemantapan (refreezing) tingkatan baru tersebut. Sebelum perilaku baru sukses diadopsi, maka perilaku lama harus dibuang. Baru setelah itu, perilaku baru dapat diterima. Inti pendekatan ini adalah keyakinan bahwa kemauan dari change adopter (subjek perubahan) merupakan unsur penting, baik dalam

38

membuang perilaku lama,pencairan dan perpindahan ke perilaku baru. Sekali lagi, pada tingkatan-tingkatan ini dibutuhkan adanya rasa membutuhkan (felt-need). Rasa membutuhkan bukanlah satu-satunya persamaan antara model Tiga Langkah dengan penelitian Tindakan Nyata. Bahkan, kita dapat melihat bahwa kedua langkah pertama model tiga langkah , yaitu pencairan (unfreezing) dan (moving), secara garis besar sama dengan Penelitian Tindakan Nyata. Ini dapat dilihat dari teknik-teknik yang digunakan. Pencairan (unfreezing) meliputi upaya-upaya memperlemah daya kekuatan yang membentuk perilaku organisasi masa kini. Menurut Rubin, pencairan (unfreezing) memerlukan beberapa bentuk pertemuan konfrontatif atau proses re-edukasi bagi mereka yang terkait perubahan. Ini dapat diraih melalui pembangunan tim atau bentuk

pengembangan manajemen (PO) lainnya, di mana masalah yang ingin dipecahkan (dirubah) dianalisa, atau dipaparkan data-datanya, untuk bahwa didalamnya terdapat permasalahan serius. Inti aktifitas-aktifitas ini adalah untuk membuat semua pihak yang terkait agar merasa yakin diperlukannya perubahan. Pencairan (unfreezing) jelas sama dengan unsure riset dalam Penelitian Tindakan Nyata, dan demikian pula dengan langkah berikutnya, perpindahan, identik dengan unsure tindakan. Perpindahan (moving), dalam prakteknya, mencakup tindakan atas hasil langkah pertama. Setelah menganalisa situasi sekarang, mengidentifikasi alternative-

39

alternatif tindakan, dan memilih yang paling sesuai, kemudian diperlukan tindakan untuk perpindahan menuju ke situasi yang lebih baik. Ini membutuhkan pengembangan perilaku, nilai dan sikap-sikap baru melalui perubahan struktur dan proses organisasi. Kunci

utamanya adalah bagaimana cara memastikan pelaksanaannya agar mereka yang terkait tidak, setelah jangka waktu tertentu, kembali pada cara-cara lama. Pemantapan (refreezing) merupakan langkah terakhir dalam model Tiga Langkah dan menjadi titik perbedaan dengan Penelitian Tindakan Nyata. Pemantapan (refreezing) berupaya menciptakan kestabilan dalam organisasi pada tingkat ekuilibrium baru dan memastikan bahwa cara-cara baru relatif terjaga dari langkah mundur (regression). Kestabilan ini sering dicapai melalui penggunaan mekanisme pendukung yang secara positif menguatkan cara kerja baru, yang mencakup: proses-proses sosialisasi, seperti rekrutmen dan induksi, sistem imbalan, dan penguatan budaya melalui penciptaan normanorma perilaku baru. Dari pengertian dan rumusan beberapa ahli tentang perubahan maka penulis menggunakan landasan teori dari KurtLewin. Menurut penulis, keberhasilan dari suatu perubahan inovatif dan penerimaannya akan berhasil dengan menerapkan model tiga langkah yang dikembangkan oleh Lewin.

40

4. Pengertian Intensifikasi Padi Aerob


Peningkatan produksi pangan juga dapat dilakukan dengan intensifikasi. yaitu IPAT-BO (Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik), juga mengubah cara menanam padi tergenang (anaerob) menjadi tidak tergenang (aerob). Intesifikasi dengan IPAT-BO memanfaatkan kekuatan biologis tanah untuk ikut membantu intensifikasi. Contohnya, cacing tanah dapat membuka jalan tol untuk air dan unsur hara untuk memudahkan penyerapan nutrisi. Pilar metode IPAT-BO yang lain adalah pemanfaatan tanah sebagai sistem hidup, yaitu tempat di mana pabrik pupuk berada. IPAT-BO memiliki sedikit perbedaan yaitu pada hal penanaman benih. IPATBO menyarankan untuk menanam tiga benih dalam satu lubang. Penanaman tiga benih ini juga harus diberi jarak, sekitar 5 cm dari satu benih ke benih lainnya. IPAT-BO juga mengendalikan pemupukan dengan prinsip: berorientasi hasil dengan LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture), pemupukan terpadu dengan sistem online (sesuai dengan kondisi pertanian), dan manajemen pemupukan (Simarmata, 2007; 52). Pengujian berbagai varietas padi di Jawa Timur dengan metode IPAT-BO telah mampu menunjukkan hasil yang memuaskan. Jika panen metode IPAT mampu menghasilkan 10-16 ton per hektar. Kenaikan produksi padi dengan metode IPAT-BO dibandingkan dengan metode konvensional disebabkan oleh meningkatnya zona perakaran hingga 4-10 kali, jumlah anakan bermalai hingga 60-80 malai per rumpun, panjang malai

41

30-35 cm, jumlah gabah 200-300 butir per malai, dan meningkatnya biota tanah yang menguntungkan. Metode IPAT-BO juga memiliki keuntungan pada hal penghematan air (hingga 75%), penghematan bibit (20-25%), penghematan pupuk anorganik dan pestisida, serta panen yang lebih awal, yaitu sekitar 7-10 hari. Setelah pemaparan dua metode intensifikasi di atas, pertanyaan yang mungkin muncul: metode apa yang lebih baik diterapkan di Indonesia. Metode intensifikasi padi sawah dengan sistem tergenang (anaerob) selama ini tidak saja menyebabkan tak berfungsinya kekuatan biologis tanah, tetapi juga menghambat perkembangan sistem perakaran padi. Biota tanah yang aerob tak dapat berkembang dan diperkirakan hanya sekitar 25% yang berkembang optimal. Akibatnya, potensi hasil berbagai varietas padi selama ini hanya 78 ton/ha, sementara dengan IPAT-BO bisa di atas 20 ton/ha. Dibandingkan sistem konvesnsional, keunggulan IPAT-BO di antaranya adalah hemat air 25%, hemat bibit 25%, hemat pupuk kimia 50%, dan panen lebih awal 710 hari. Pertumbuhan dan hasil padi pun mengagumkan, jumlah anakan 60100/rumpun dan malai berisi 5080/rumpun. Simarmata (2007; 58), menambahkan, teknologi IPAT-BO bisa dimanfaatkan untuk membangun kemandirian pangan. Sebab, untuk bisa swasembada dengan luas panen

42

hanya sekitar 11 juta ha, petani harus mampu meningkatkan produktivitas padi nasional dari 46 ton/ha menjadi 68 ton/ha. Sementara bila ingin menjadi eksportir beras,

produktivitas padi harus didongkrak menjadi 812 ton/ha. Dengan menerapkan IPAT-BO terbukti produktivitas padi meningkat sesuai yang diharapkan, tandasnya. Sutarto Alimoesa dalam Simarmata (2007; 61), teknologi IPAT-BO merupakan salah satu teknologi yang bisa dikembangkan dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, asalkan kondisi airnya bisa diatur. Walau begitu, lanjut dia, sistem tersebut tidak akan dipaksakan diterapkan di semua wilayah di Indonesia karena tidak ada teknologi yang sama untuk seluruh wilayah. Hal itu bergantung pada variasi jenis tanah, ketersediaan air, iklim, dan juga sosial budaya masyarakat setempat. Yang jelas, teknologi merupakan pilihan bagi pengguna. Jika teknologi itu baik dan memberikan keuntungan, tentu petani tak enggan menerapkannya. Oleh sebab itu, menjadi tugas pemerintah, para pakar, dan swasta untuk menyediakan berbagai acuan teknologi yang dapat meningkatkan produksi padi. Metode Intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) perlu dikembangkan secara massal karena terbukti meningkatkan produktivitas hasil panen padi hingga tiga kali lipat. Hasil kaji terap 2006-2007, intensifikasi padi aerob terkendali dengan berbagai varietas padi di beberapa lokasi Jabar dan Jatim mampu menghasilkan padi 10-16 ton per

43

hektar atau naik rata-rata 50-150 persen dibanding dengan sistem konvensional (anaerob).Untuk membangun kemandirian dan ketahanan pangan atau swasembada beras maka dari produksi 4-6 ton per hektar (luas panen total saat ini 5,5 juta hektar) harus mampu ditingkatkan produktivitasnya menjadi 6-8 ton per hektar.. Metode intensifikasi padi sawah dengan sistem tergenang (anaerob) selama ini tidak saja menyebabkan tak berfungsinya kekuatan biologis tanah, tetapi juga menghambat perkembangan sistem perakaran tanam padi.Biota tanah yang aerob tak dapat berkembang dan diperkirakan hanya sekitar 25 persen perakaran tanaman padi yang berkembang optimal, sehingga potensi hasil berbagai varietas padi selama ini hanya 7-8 ton per hektar, sementara dengan IPAT potensinya di atas 20 ton per hektar, katanya. Keunggulan lain dari metode IPAT-BO ini, ujarnya, adalah hemat air yakni hanya 25 persen dari sawah konvensional sehingga sesuai bahkan untuk musim kering, hemat bibit 20-25 persen, hemat pupuk dan hemat pestisida, sedangkan panen bisa lebih awal 7-10 hari, ujarnya.Dengan metode konvensional butuh bibit 20-30 kg per hektar, untuk IPAT hanya 5-7 kg per hektar. Pupuk yang sebelumnya butuh 300kg urea per hektar, 100kg KCl, 100kg SP36 dikurangi saja 50 persen lalu ditambah pupuk organik seperti kompos jerami dan pupuk kandang. (Anonim, 2009; 31).

44

6.

Padi Organik

Padi organik adalah padi yang disahkan oleh sebuah badan independen, untuk ditanam dan diolah menurut standar organik yang ditetapkan. Walau tidak ada satu definisi pun untuk organik, kebanyakan definisi memiliki elemen umum. Misalnya, organik sebagaimana digunakan pada kebanyakan tanaman sawah yang umumnya berarti bahwa: 1. Tidak ada pestisida dan pupuk dari bahan kimia sintetis atau buatan yang telah digunakan. 2. Kesuburan tanah dipelihara melalui proses alami seperti penanaman tumbuhan penutup dan/atau penggunaan pupuk kandang yang dikompos dan limbah tumbuhan. 3. Tanaman dirotasikan di sawah untuk menghindari penanaman tanaman yang sama dari tahun ke tahun di sawah yang sama. 4. Pergantian bentuk-bentuk bukan-kimia dari pengendalian hama digunakan untuk mengendalikan serangga, penyakit dan gulma misalnya serangga yang bermanfaat untuk memangsa hama, jerami setengah busuk untuk menekan gulma, dan lain-lain. Produk organik terutama di pasar-pasar maju biasanya menerima harga yang lebih tinggi. Produk organik juga sering dianggap sebagai memiliki manfaat kesehatan yang lebih besar. . Produk hanya dapat disertifikasi organik bila produk ditanam di lahan yang telah bebas dari zat-zat terlarang (misalnya, pestisida dan pupuk kimia buatan) selama tiga tahun sebelum sertifikasi (Anonim, 2004; 61).

45

Yang terlibat dalam penanaman padi organik adalah : 1. Harus mengikuti standar ketat untuk produksi dan pengolahan yang ditetapkan oleh badan sertifikasi. 2. Harus membuat dan menyerahkan rencana tahunan yang memperlihatkan bahwa Anda akan memenuhi persyaratan produksi dan pengolahan dari badan sertifikasi. 3. Produk hanya dapat disertifikasi organik bila produk ditanam di lahan yang telah bebas dari zat-zat terlarang (misalnya, pestisida dan pupuk kimia buatan) selama tiga tahun sebelum sertifikasi. 4. Tantangan utama dari penanaman padi awalnya berkaitan dengan pengelolaan hara dan pengendalian gulma. Contoh utama mencakup: a. Nitrogen biasanya disediakan melalui penanaman leguminosa penutup tanah. b. Pupuk dari tulang merupakan sumber fosfor murah yang baik (dengan kadar sekitar 12%). Hal ini cepatberfungsi dan berlangsung sampai 6 bulan. Sumber lain adalah dari Rock Phosphate, yang memiliki rasio 33%. Dengan Rock Phosphate Anda hanya akan mendapatkan sekitar 10% pada tahun pertama karena lamban fungsinya dan berlangsung selama 3-5 tahun. c. Jerami dan pupuk kandang merupakan sumber kalium yang baik. Kalium dapat berkadar tinggi dalam air irigasi.

46

d. Gulma dapat dikurangi melalui perataan lahan yang baik, pengelolaan air, pengolahan tanah, dan rotasi tanaman. e. Sebagian besar serangga dan penyakit dapat dikendalikan melalui penggunaan varietas yang tepat. Faktor-faktor lain yang harus pertimbangkan dalam memproduksi padi organik adalah (1). Menentukan pasar potensial (harga dan ukuran) untuk produk yang diusulkan, (2). Menentukan apakah input yang diperlukan cukup tersedia untuk membuat usaha tersebut bersifat ekonomis, (3). Menentukan apakah produk mencukupi permintaan pasar secara tepat waktu dengan kualitas yang diinginkan, (4). Menentukan kebutuhan fasilitas, persyaratan modal dan pembiayaan, biaya dan laba potensial. (5). Menganalisis kebutuhan dan biaya infrastruktur dalam memastikan pengadaan produk yang kontinyu dan tepat waktu dan (6).Mekanisme sertifikasi diperlukan (Anonim, 2009; 2)

B. Model Berfikir
Pada tahun 2008 Pemerintah Kabupaten Gowa bekerjasama dengan Universitas Padjajaran Bandung dalamm rangka uji coba teknologi andalan yang sudah terbukti mampu mencapai hasil tersebut di atas dengan mengurai teknologi peningkatan produksi padi metode IPAT (Intensifikasi Padi Aerob Terkendali berbasis Organik. Teknologi Peningkatan produksi padi metode IPAT-BO merupakan solusi yang tepat dan bertumpu pada pemanfaatan dan pengelolaan kekuatan daya tanah (Soil Biolgel Power) secara terpadu untuk meningkatkan produktivitas tanaman yang ramah lingkungan petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan

47

kehidupannya dibidang pertanian. Peranan petani sebagai pengelola usahatani berfungsi mengambil keputusan dalam mengorganisir faktor produksi yang sesuai dengan pilihannya dan beberapa kebijakan produksi yang diketahui (Fadholi Hermanto, 1993). Strategi peningkatan produksi padi melalui Program IPAT-BO akan tercapai, tergantung pada keputusan petani. Berapa jumlah Sumber Daya (Input) yang akan mereka gunakan seperti luas lahan yang dipakai, berapa banyaknya benih, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja dan lain-lain (soekartawi, 1994). Berhubung obyek penelitian sebagian besar adalah kelompok,dimana Lewin menolak gagasan bahwa individu dapat dipahami hanya dalam kaitannya dengan kepribadian individualnya. Benang merah karya-karyanya menyiratkan pandangan bahwa kelompok dimana si individu tergabung merupakan dasar persepsi, perasaan dan tindakan individu tersebut. Lewin berupaya memahami dan menjelaskan saling ketergantungan antara individu dan kelompok, serta daya-daya kekuatan yang menjaga status quo kelompok. Selain itu, ia mengembangkan konsep teori medan (field theory). Saat bicara tentang Dinamika Kelompok, ia menyatakan bahwa untuk memahami situasi apapun: Kita perlu memandang situasi masa masa kini----status quo----sebagai sesuatu hal yang dibentukkan oleh kondisi-kondisi atau daya-daya kekuatan tertentu. Lewin mempercayai bahwa

perilaku kelompok merupakan seperangkat interaksi simbolik rumit dan daya-daya yang menciptakan medan (field) atau lingkungan kelompok. Daya-daya ini tidak hanya

48

mempengaruhi struktur kelompok, namun juga mengubah perilaku individual. Menurut Lewin, perilaku individu pada titik waktu tertentu ditentukan oleh intensitas dan valensi (baik daya kekuatan positif ataupun negatif) dari kekuatan yang mempengaruhi pribadi tersebut. Lewin menyatakan bahwa jika seseorang bisa mengidentifikasikan,

merencanakan dan menentukan potensi daya-daya kekuatan ini, maka kita tidak hanya sekedar paham mengapa individu dan kelompok berperilaku tertentu, namun juga daya kekuatan apa yang harus dilemahkan atau diperkuat agar dapat membawa perubahan. Namun Lewin percaya bahwa walau field itu memang ada dan bisa diukur, namun field tersebut juga terus-menerus berubah (flux). Karena itu ia menegaskan bahwa suatu

kelompok tak pernah berada dalam keadaan equilibrum yang stabil, namun selalu berada dalam proses saling adaptasi yang dia namakan sebagai quasi-stasionary equilibrum, yaitu tidak, pernah stabil sepenuhnya, namun juga tetap menunjukkan kekonstanan sampai

tingkat tertentu dalam hal perilaku dan keyakina pokok.

49

Berdasarkan hal tersebut di susun model berfikir sebagai berikut:


Strategi/ Kerangka Peningkatan Produksi Padi Berbasis Organik

Implementasi Metode IPAT-BO

Proses Perubahan Membuang Perilaku bertani yang Lama (Pencairan) Perpindahan ke Perilaku bertani yang baru (Moving) Kerangka Model Berfikir Pemantapan/Pembekuan Perilaku bertani yang Baru

Peningkatan Produksi Padi

Gambar 1. Kerangka Model Berfikir

50

C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan model berfikir dan tujuan yang ingin dicapai, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Upaya Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian Kabupaten Gowa dalam mengubah mindset petani untuk menerima IPAT-BO? 2. Bagaimana upaya pemerintah Kabupaten Gowa dalam mengalihkan cara bertani masyarakatnya ke metode teknologi IPATBO? 3. Bagaimana upaya pemerintah Kabupaten Gowa dalam mendukung kesinambungan penerapan metode IPAT-BO?

51

BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dikemukakan, maka penelitian ini diarahkan untuk melihat gambaran strategi peningkatan Produksi padi melalui Intensifikasi padi Aerob terkendali berbasis organic (IPAT-BO) dikabupaten Gowa, sehingga jenis penelitian ini bersifat deskriptif, yakni menggambarkan sesuatu yang sedang berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari sesuatu gejala tertentu. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kwalitatif yang akan menggambarkan upaya pengelolaan perubahan menuju penerapan IPAT-BO dalam rangka peningkatan produksi padi di Kabupaten Gowa. B. Unit Analisis Dalam penelitian ini dilakukan pada Dinas Pertanian Kabupaten Gowa , dengan menggunakan metode pengamatan, metode wawancara dan dokumentasi. Adapun yang menjadi obyek/ unit analisis penelitian ini adalah : Kebijakan, pengelolaan Perubahan dalam rangka Mengimplementasikan kepada petani. Upaya manajemen Perubahan yang dilakukan. IPAT-BO

52

C. Teknik Pengumpulan Data Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari: 1. Data Primer, yaitu data yang pengumpulannya diambil dari responden secara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan mengenai kegiatan-kegiatan usahatani padi yang dilakukan. 2. Data sekunder, yaitu data yang pengumpulannya dilakukan dengan cara mengambil data-data yang berhubungan dengan penelitian dari instansi-instansi terkait. Untuk memperoleh data dan informasi yang sebanyak-banyaknya dalam penelitian ini ditempuh beberapa cara atau langkah. Prosedur yang ditempuh sedapat mungkin

menggunakan Teknik yang dapat menjaring data berdasarkan jenis data yang diharapkan. Dalam penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2008:63) terdapat beberapa jenis tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu : 1. Metode Pengamatan (Observasi), yaitu berupa pengamatan langsung yang dilakukan oleh peneliti dengan harapan untuk memperoleh sebanyak mungkin data yang dapat digunakan untuk mempertajam analisis atas obyek tersebut dan menghubungkan dengan data hasil wawancara.. 2. Metode Wawancara (Interview), yaitu Tanya jawab (face to face) secara mendalam antara peneliti dengan informan kunci. Materi wawancara tetap dalam kerangka topic penelitian karena dipandu dengan pedoman interview.

53

3.

Dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan dokumen yang memuat data sekunder yang diangap relevan dari Dinas Pertanian Kabupaten Gowa atau SKPD lain yang memiliki dokumen terkait.

D.

Prosedur Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan data Dalam penelitian kwalitatif Prosedur Pengolahan Data merupakan prosedur yang

menyajikan serangkaian Informasi secara Objektif dan Rasional tentang data/fakta yang ditemui dalam penelitian di lapangan. Untuk memperoleh informasi penelitian yang l e b i h r a s i o n a l d a n o b ye k t i f ya n g telah terkumpul diolah sesuai dengan kebutuhan penulisan tesis., kemudian di analisis dengan metode kualitatif. Dan diolah dengan menelaah seluruh data hasil catatan di lapangan dengan membuat rangkuman dalam bentuk uraian yang sistematis. 2. Analisis Data Sesuai dengan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui upaya pengelolaan perubahan , Pemerintah Kabupaten Gowa untuk mendukung inplementasi program teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO), dimana Analisis data yang digunakan dalam Penelitian kualitatif ini menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif merupakan proses penyusunan data untuk memudahkan penafsirannya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian kwalitatif biasanya berbentuk data deskriftif yaitu data yang berbentuk uraian yang memaparkan keadaan obyek yang diteliti

54

berdasarkan fakta-fakta aktual atau sesuai kenyataan di lapangan sehingga menuntut pemaparan peneliti secara lebih mendalam terhadap makna yangn terkandung didalamnya untuk memperoleh gambaran Strategi Peningkatan Produksi padi melalui program Intensifiksi padi aersob terkendali berbasis organic (IPAT-BO) di kabupaten Gowa tersebut pada masing-masing sub variabel (unfreezing), mulai membuang Perilaku cara bertani yang lama

perpindahan ke Perilaku bertani yang baru (moving) sampai kepada

Pemantapan/pembekuan perilaku bertani yang baru (refreezing).

55

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Profil Lokasi Penelitian Mengingat ini adalah penelitian kualitatif, maka konteks memegang peranan penting dalam membantu menginterpretasi data. Agar hasil penelitan bisa dikontekstualkan, maka pada bagian awal ini perlu digambarkan karakteristik Kabupaten Gowa, yaitu wilayah dimana IPAT-BO diterapkan. 1. Letak Geografis Kabupaten gowa berada pada 120 38.16 Bujur Timur dari Jakarta dan 50 33.6 Bujur Timur dari Kutub Utara. Sedangkan letak wilayah administrasinya antara 120 33.19 hingga 130 15.17 Bujur Timur dan 50 5 hingga 50 34.7 Lintang Selatan dari Jakarta. Sebagai kabupaten yang berada di daerah selatan dari sulawesi selatan merupakan daerah otonom yang berbatasan dengan tujuh kabupaten yaitu: Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat :Kota Makassar, Kab Maros :Kab Sinjai, Kab Bulukumba dan Kab Bantaeng :Kab Takalar dan Kab Jeneponto :Kota Makassar dan Kab Takalar

Sehubungan dengan letak tersebut, maka kabupaten Gowa dikenal dua musim tanam yaitu Musim Tanam Kemarau (Gadu) pada bulan April September dan Musim

56

Tanam Hujan (Rendengan) bulan Oktober Maret. Curah hujan rata-rata 2000 3000 mm/th, suhu udara pada dataran rendah 22 o C 25oC dan dataran tinggi 180C 210 C. Kondisi seperti inilah inilah yang mendukung kabupaten Gowa sehingga bisa menanam padi 2 kali dan palawija 1 kali per tahun pada sawah irigasi teknis. Sedangkan pada sawah tadah hujan dapat ditanami padi 1 kali dan palawija 2 kali pertahun. Untuk lahan kering dimanfaatkan untuk komoditi jagung, ubi kayu, kacang tanah, sayaur-sayuran dan buah-buahan. 2. a. Luas dan Pembagian Wilayah Wilayah Administrasi pemerintah Wilayah administrasi kabupaten gowa terdiri dari 18 kecamatan dan 167 Desa/ kelurahan dengan luas1.883,33 kilo meter persegi atau sama dengan 3,01 persen dari luas wilayah propinsi Sulawesi Selatan. Dari total luas wilayah 35,30% mempunyai kemiringan tanah diatas 40% yaitu pada wilayah kecamatan Parangloe, Tinggi Monjong, Bongaya, Tompobulu. Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar merupakan dataran tinggi yaitu sekitar 72,26%. Ada wilayah kecamatan yang merupakan dataran tinggi yaitu Parangloe, Mamuju, Tinggi Moncong, Tompobulu, Parigi, Bongaya, Bontolempangan, dan Biringbulu dari total luas wilayah 35,30% Kabupaten Gowa di ibukota sungguminasa merupakan satuan wilayah pemerintah dan sebagai suatu kawasan yang dapat diandalkan karena secara fisik daerah ini cenderung

57

lengkap dengan keberadaan luas hamparan di daerah dataran rendah dan dataran tinggi sehingga dapat memungkinkan untuk pengembangan komoditi tanaman pangan dan hortikultura. Secara geografis, daerah ini mempunyai keunggulan tertentu karena posisinya yang berbatasan langsung dengan kota makassar yang berfungsi sebagai pusat pelayanana Kawasan Timur Indonesia, sehingga Kabupaten Gowa akan senantiasa membayangi setiap perkembangan dan kemajuan pembangunan yang dicapai Propinsi Sulawesi Selatan dan kota Makassar sebagai ibukotanya. Berbagai aspek yang dapat memberikan makna penting bagi Kabupaten Gowa dalam hubungannyadengan letaknya yang strategis dari ibukota propinsi yaitu: Berfungsi sebagai pemasok kebutuhan bahan pokok bagi kota makassar. Memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat mendukung kelancaran perekonomian dan pembangunan kota Makassar. Sebagai alternatif pemukiman baru akibat meningkatnya kebutuhan akan pemukiman (papan). Pada bagian timur membentang gunung Bawakaraeng serta bagian tenggara gunung Lompobattang yang potensial untuk pengembangan tanaman hortikultura dan parawisata, sedangkan bagian barat merupakan daerah dataran rendah yang subur dan cocok untuk pengembangan tanaman pangan yang dapat meningkatkan perekonomian dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kab Gowa.

58

Kabupaten Gowa sebagian wilayahnya dilalui oleh sungai-sungai yang cukup besar, satu diantaranya adalah sungai Jeneberang yang panjangnya sekitar 90 km yang sekaligus sumber utama dari DAM serbaguna bili-bili. Untuk lebih jelasnya, rincian luas daerah dan pembagian administrasi tahun 2009 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Luas Daerah dan Pembagian Administrasi Kabupaten Gowa


No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13. 14. 15. 16. 17. 18. Kecamatan Bontonompo Bontonompo selatan Bajeng Bajeng barat Pallangga Barombong Sombaopu Bontomarannu Patallassang Parangloe Mamuju Tinggimoncong Tombolo Pao Parigi Bungaya Bonto lempangan Tompo Bulu Biring bulu Jumlah Luas (Km) 30,39 29,24 60,09 19,04 48,24 20,67 28,09 52,63 84,96 221,26 91,90 142,87 251,82 132,76 175,53 142,46 132,54 218,84 1883,33 Perse n (%) 1,61 1,55 3,19 1,01 2,56 1,10 1,49 2,79 4,51 11,75 4,88 7,59 13,37 7,55 9,32 7,56 7,04 11,62 100,00 Ibukota kecamatan Barombong Bontoramba Limbung Borimatangkasa Cambaya Kanjilo Sungguminasa Borong loe Pattallassang Lonna Bilalang Malino Tamaona Parigi Sapaya Bontoloe Malakaji Lauwa Banyaknya Desa dan kelurahan 14 9 14 7 16 7 14 9 8 7 7 7 9 5 7 8 8 11 167

Sumber : BPS Kabupaten Gowa, 2010

59

b. Jenis dan Penggunaan Tanah Jenis tanah yang bervariasi memungkinkan untuk tumbuh berbagai jenis komoditi, baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan. Hal ini menguntungkan bagi petani di kabupaten Gowa yang meliputi berbagai ragam jenis tanah. Adapun jenis tanah di daerah ini adalah sebagai berikut (Dinas petanian tanaman pangan dan hortikultura Kabupaten Gowa, 2005).yaitu Alluvial pada dataran rendah, Andosol pada dataran bergunung dan Latosol pada daerah berbukit Penggunaan lahan di Kabupaten Gowa dapat di bedakan menjadi lahan kering dan lahan sawah. Pemanfaatan lahan kering meliputi bangunan dan pekarangan, tegalan/ kebun, ladang, hutan, dan lain sebagainya. Sedangkan lahan sawah meliputi sawah berpengairan/ berigasi baik secara teknis, semi teknis maupun sederhana dan sawah tadah hujan. Untuk lebih jelasnya, penggunaan tanah di kabupaten Gowa dapat di lihat pada tabel berikut ini.

60

Tabel 4. Penggunaan Tanah di Kabupaten Gowa Tahun 2009

No. 1

Penggunaan Lahan Sawah Irigasi teknis Irigasi teknis Irigasi Sederhana Tadah Hujan Lahan Kering Tegalan/Ladang Perkebunan Pekarangan Hutan Lain-lain Total

Luas (Ha) 32.174 11.577 4.075 6.221 10.301 79.563 160.838 8.356 10.369 63.534 13,062 1.883,33 Km2

Persentase (%) 17,08

42,25

3 4

33,74 6,93 100

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Gowa

Tabel sebelumnya menunjukkan bahwa luas penggunaan lahan kering mencapai 42,25 % dan sekitar 17,80% merupakan lahan sawah. Sedangkan 33,74 %) merupakan kawasan hutan serta 6,93 % digunakan untuk lain-lainnya dari luas keseluruhan wilayah kabupaten Gowa. 1. Keadaan Iklim Seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, kabupaten Gowa hanya dikenal dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Biasanya musim kemarau dimulai pada bulan Juni hingga September, sedangkan musim hujan dimulai pada bulan

61

desember hingga maret. Keadaan seperti ini berganti setiap tahun setelah melewati masa peralihan, yaitu bulan April-Mei dan bulan Oktober-November. 2. Curah Hujan Curah Hujan di suatu daerah antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan geografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Kabupaten Gowa termasuk tipe iklim C dan D (Smith-Ferguson) dengan rata-rata curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun. Suhu udara pada dataran rendah 20o c-25oc dan dataran tinggi 18o c-21oc. 3. Penduduk Dilihat dari jumlah penduduknya, kabupaten Gowa termasuk kabupaten terbesar ketiga di Sulawesi Selatan setelah Makassar dan kabupaten Bone. Berdasarkan hasil sunsenas 2009 penduduk kab. Gowa tercatat 605,876 jiwa dan terjadi pertambahan penduduk penduduk 1,89 % dari tahun 2008. Dari total jumlah penduduk terdiri 138,256 kepala keluarga, dimana 86,866 kepala keluarga (62,83%) adalah petani. Menurut jenis kelamin, laki-laki sebanyak 295,104 jiwa dan perempuan 310,772 jiwa, penyebarannya pada setiap kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut.

62

Tabel 5. Luas Wilayah, Rumah Tangga, Penduduk dan Jenis Kelamin.


No Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Bontonompo Bt.nompo selatan Bajeng Bajeng barat Pallangga Barombong Luas wilayah (Km) 30,39 29,24 60,09 19,04 48,24 20,67 28,09 52,63 84,96 221,26 91,90 142,87 251,82 132,76 175,53 142,46 132,54 218,84 Jumlah rumah tangga 8.492 5.181 13.683 4.805 17.819 5.957 26.272 6.241 4.177 3.706 3.319 4.914 5.483 3.446 4.125 4.102 7.188 5.409 Jumlah penduduk 39.936 27.617 58.213 22.281 83.076 32.762 97.921 28.081 19.780 16.235 14.586 20.911 27.457 13.534 18.818 17.106 31.993 35.613 Jenis kelamin Laki-laki 19.182 13.383 28.393 10.619 39.885 16.268 48.697 13.723 9.645 8.068 7.023 10.366 13.469 6.448 8.747 8.346 15.396 17.446 295.104 perempuan 20.754 14.234 29.820 11.668 43.191 16.494 46.224 14.358 10.135 8.167 7.563 10.545 13.988 7.086 10.071 8.760 16.547 18.176 310.772

7. 8. 9. 10. 11. 12 13. 14. 15. 16. 17. 18.

1883,33 138.256 605.876 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten. Gowa Th.2010

Sombaopu Bontomarannu Patallassang Parangloe Mamuju Tinggimoncong Tombolo Pao Parigi Bungaya Bt. lempangan Tompo Bulu Biring bulu Jumlah

3. Keadaan Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana di daerah ini sudah memadai dimana untuk mencapai setiap kecamatan dapat ditempuh dengan semua kendaraan baik kendaraan roda dua maupun roda empat, tetapi untuk fasilitas jalannya belum memadai. Keadaan jalan yang seperti ini sangat menghambat penduduknya untuk memasarkan produk hasil olahannya ke kota atau ke pasar. Para konsumen yang ingin membeli produk ini juga akan merasa malas jika keadaan

63

jalannya belum memadai sehingga baik dari pengusaha amaupun konsumen terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk pengangkutan hasil produksinya ke kota atau ke pasar. Sarana dan prasarana pendidikan sudah cukup memadai dan sudah sesuai dengan program wajib belajar 9 tahun sekolah yaitu sampai jenjang SLTP. Dikabupaten Gowa diketahui lebih awal memprogramkan pendidikan Gratis sampai jenjang SLTA, dan hampir disetiap kecamatan sudah dibangun Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA).. Untuk sarana dan prasarana pertanian yang digunakan untuk mengelola usahatani padi khususnya yang menggunakan metode IPAT-BO yang diawali dengan pengolahan lahan/tanah dengan membajak atau menggunakan traktor, alat ini sudah cukup tersedia dikelompok tani yang selain berasal dari bantuan pemerintah kabupaten Gowa yang berlangsung sejak tahun 2001 secara rutin tiap tahun sampai tahun 2010 juga swadaya petani sendiri. Begitu pula dengan sarana prasarana yang berupa infra struktur irigasi pengaiiran yang sudah tersedia sampai kepada jaringan tersier untuk menjamin ketersediaan air bagi pertanaman padi dan komoditi lainnya, pada daerah dataran Tinggi telah dibangun beberapa Bak Penampungan (Embung) untuk menampung air yang selain berasal dari air hujan jika musim hujan juga bersumber dari beberapa mata air pegunungan, Embung ini dimaksudkan untuk mengairi pertanaman sekitarnya dimusim kemarau (gadu)... Adapun sarana prasarana lainnya yang lebih spesifik yang digunakan dalam menanam padi yaitu caplak,digunakan sebagai alat bantu untuk mengatur jarak tanam yang

64

membeadakan dengan cara lama yaitu menggunakan tali sebelum menanam dengan membentangkan tali tersebut yang bertujuan untuk mangatur jarak tanam, sedang caplak tersebut dibuat sendiri oleh petani dan berfungsi sebagai alat tanam dengan jarak tanam 30 X 30 cm atau 35 X 35 cm. Selain Sarana Produksi berupa peralatan tersebut diatas juga dibutuhkan Benih unggul berlabel yang sebagian merupakan bantuan dari pemerintah pusat, Pupuk kandang kering atau Kompos dan pupuk ABG (Amazing Bio Growth) yang kegunaannya untuk mencampur pupuk anorganik yang jumlahnya setenganh dari cara tanam lama.

Ketersediaan benih, Tipologi lahan, Alsintan (seperti Peralatan pengolahan tanah, Alat Penanaman dan Pemeliharaan, serta alat panen) sudah tersedia dikalangan petani.

65

B. Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO).

Selanjutnya, perlu digambarkan hakekat dari IPAT-BO yang merupakan inovasi dalam praktek bertani yang memerlukan manajemen perubahan agar bisa

diimplementasikan. Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) adalah sistem produksi holistik dan terencana (By design) dengan menitik beratkan pemanfaatan kekuatan biologis tanah (pabrik pupuk alami) dan tanaman untuk melipat gandakan hasil padi. Dalam melaksanakan metode IPAT-BO ada Empat pilar pendukung IPAT-BO 1. Perubahan ekologis sawah dari tergenang (anaerob) menjadi tidak tergenang (aerob) menaikkan potensi hasil secara spektakuler, dimana; ~Perkembangan sistem perakaran akan berkembang ~ Keanekaragaman hayati (biodiversitas) akan bertambah. 2. Tanah sebagai Bio reaktor/pabrik pupuk alami ~ Anaerob : mengakibatkan biota tanah terhambat/mati. ~ Aerob 3. : kehidupan dan keanekaragaman biota tanah berkembang

Pemanfaatan kekuatan biologis tanah (soil Biological Power) ~ Pupuk hayati dan agen hayati (pabrik pupuk alami) ~ Dekomposer ~ Penghasil fitohormon ~ Perkembangan sistem perakaran ~ Perbaikan kualitas dan kesehatan tanah

66

4.

Pendekatan Produksi sebagai sistem secara holistik dan terencana bukan partial. Adapun Konsep Pemupukan padi IPAT-BO yang diharapkan :

1.

Berorientasi hasil (output oriented) dengan LEISA ~ Tetapkan target produksi yang akan dicapai ~ Memupuk adalah memasok bahan baku (hara makro dan mikro) yang diperlukan

tanaman sebagai mesin biologis dalam jumlah dan komposisi yang tepat untuk mencapai tingkat hasil diinginkan (target). 2. Pemupukan terpadu, yaitu : ~ Perpaduan ~ Pupuk organik : kompos jerami dan pupuk kandang ~Pupuk hayati : ABG Bios, pupuk Bio (ABG-BIO), konsorsium penambat N dan pelarut P, penghasil fitohorman dan agen hayati. ~ Biostimulan : ABG D dan ABG-B ~ Pupuk anorganik : UREA, SP 36, KCL. 3. Manajemen pemupukan ~ Fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman ~ Dosis dan komposisi pupuk ~ Spesifik lokalita ~ Pemupukan berimbang ~ Indikator pertumbuhan tanaman (LCCatau BWD

67

Ada beberapa IPAT-BO dengan bionutrisi ABG yang informan sudah memahaminya yakni: 1. Hemat air 2. Hemat pupuk organik 3. Hemat bibit sekitar 70 % 4. Hemat pestisida 5. Produktivitas tinggi, yakni 8 15 ton/ha 6. Panen lebih awal (5 10 hari) 7. Penerapan yang mudah bagi para petani. Keberhasilan program IPAT-BO ABG, sangat bergantung pada : 1. Pengolahan lahan 2. Pemilihan benih (seleksi benih) 3. Penanaman bibit yang muda (umur 8 15 hari) 4. Teknik penanaman dan pengaturan jarak tanam 5. Pengaturan air atau sistem irigasi 6. Pemeliharaan dan perawatan 7. Pemupukan C. PENGELOLAAN PERUBAHAN MENUJU INPLEMENTASI IPAT-BO Pemerintah dalam upaya memperkenalkan sebuah inovasi baru dalam hal ini Teknolgi IPAT-BO dikabupaten Gowa melibatkan beberapa unsur terkait, yang berfungsi sebagai

68

agen perubahan mulai dari pucuk pimpinan di tingkat kabupaten sampai pelaku usaha (petani) yakni : a) Bupati sendiri sebagai Pengambil Kebijakan Strategic Pembangunan dan pemerintahan dan Pelayanan Masyarakat di Kabupaten Gowa. Bapak Bupati

sebagai pemrakarsa dari program ini selalu bersama-sama dengan Muspida mengawal langsung pelaksanaan Program tersebut mulai dari tahap sosialisasi Bapak Bupati yang membuka sampai kepada Panen bahkan sampai menghitung jumlah malai dan Bulir padi Bapak Bupati selalu menyertai dan berada ditengahtengah masyarakat khususnya petani dikabupaten Gowa, bahkan pada saat panen perdana program IPAT-BO MT 2008-2009 di kelurahan Bontoramba kecamatan Somba Opu kabupaten Gowa, dimana saat itu dihadiri oleh Bapak Wakil Gubernur Sulawesi selatan Bapak Ir. H.Agus Arifin Numang, Msi, Kasdam VII Wirabuana Brigjen TNI Wibiwo beserta undangan lainnya, Bupati menyatakan Jika hasil ubinan hari ini mencapai target, hari ini juga program IPAT-BO ini dicanangkan agar diterapkan sepenuhnya oleh petani di kabupaten Gowa.

69

Gambar 2. Bupati Gowa saat panen perdana dikelurahan Bt.Ramba Kec. Somba Opu

Sumber: Seputar Indonesia, tanggal 3 April 2009 hal 16 b) Dinas Pertanian sebagai stake holder menangani mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai kepada pengawasan, Tugas Dinas Pertanian sebagai pemegang tolok ukur program IPAT-BO tersebut adalah mempersiapkan/identifikasi CPCL (Calom Petani Calon Lahan), mengadakan koordinasi dengan beberapa pihak terkait seperti produsen Benih, produsen pupuk, Dinas PSDA, dan melakukan persiapan dilapangan, sambil memfasilitasi pelatihan bagi penyuluh dan Babinsa yang diadakan oleh PT.Satu Mitra Sejati dan beberapa tugas lainnya yang terkait dengan program tersebut.

70

c) Prof.Dr. Tualar Simarmata dari Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran sebagai Pakar/Penemu Teknologi IPAT-BO, memberikan penyuluhan kepada Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Babinsa yang sebelumnya telah melakukan ekspose didepan Bupati dan unsur terkait lainnya. Gambar 3 Prof. Dr. Ir. Tualar Simarmata,MS.. memberi penyuluihan kepada Babinsa, Babinkamtibmas dan PPL

Sumber: Harian Fajar, Rabu 8 April 2009 hal 23

d) PT. Satu Mitra Sejati Jakarta selain berfungsi sebagai penyandang dana dari teknologi IPAT-BO juga sekaligus sebagai Penyedia Pupuk ABG (Amazing Bio Growth) membuka kios pupuk ABG dikabupaten Gowa dan sekaligus

menyediakan tenaga ahli yang tinggal dilokasi/kab.Gowa untuk bersama-sama dengan PPL mensosialisasikaan pemanfaatan teknologi IPAT-BO termaasuk teknik pemupukannya yang merupakan cara baru karena harus menggunakan pupuk ABG tersebut yang terdiri dari 6 jenis pupuk yang harus digunakan.

71

e) Penyuluh Pertanian Lapangan sebagai petugas teknis dilapangan, mendampingi petani dalam melaksanakan program IPAT-BO sehingga kegiatan usaha tani padinya dilaksanakan sesuai dengan anjuran disamping itu aktif mencari informasi tentang masalah-masalah pertanian dan sedapat mungkin bisa memberikan solusi sebagai perpanjangan tangan Dinas Pertanian dilapangan. Penyuluh juga aktif

mengikuti pelatihan/kursus-kursus yang berkaitan dengan peningkatan Sumber Daya manusia. Dalam melaksanakan penyuluhan pada masing-masing wilayah setiap Penyuluh harus mengatur/membuat jadwal kunjungan ke kelompok minimal satu kali seminggu mengadakan pertemuan dengan kelompok tani yang selain menyampaikan informasi sekaligus sedang dilaksanakan. f) Kodim 1409/Gowa (Babinsa) membantu pemerintah kabupaten Gowa dibidang pertanian khususnya dalam mengembangkan teknologi IPAT-BO dengan mengikuti perkembangan pertanaman yang

melibatkan seluruh Babinsa bersama PPL dan kelompok tani. Keterlibatan Kodim 1409 Gowa dalam program ini adalah kebijakan yang ditempuh oleh Bapak Bupati Gowa agar anggota TNI yang bertugas sebagai Babinsa didesa dan selalu bersama-sama dengan masyarakat untuk ikut terlibat langsung kelapangan bersama-sama dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) mendampingi petani dalam menjalankan Uasaha tani padi dengan metode IPAT-BO karena anggota TNI yang bertugas di desa sangat dekat dan senantiasa bersama-

72

sama petani sepanjang hari di desa karrena tugasnya sebagai Babinsa. Oleh sebab itu sehingga Bapak Bupati menempuh kebijakan untuk memanfaatkan anggota Kodim (Babinsa) dan dengan ikhlas serta semangat berdasarkan program Bakti TNI membangun untuk kesejahteraan rakyat mereka menyambut kebijakan tersebut untuk bersama-sama melaksanakan program IPAT-BO. Kerjasama antara Dinas Pertanian dengan Kodim 1409 bukan yang pertama kali hal serupa pernah terjalin beberapa tahun silam pada saat berlangsung Program Intensifikasi Padi Bio-M yang dilaksanakan Dinas Pertanian bekerjasama dengan Kodim 1409 Gowa.dalam menerapkan teknologi Padi Bio-M yang pada tahun 2005. mengetahui tentang adanya suatu inovasi baru berupa teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas padi yang dikenal dengan nama Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis dan menyaksikan langsung hasil nyata dari produktivitas mengadopsi yang diawali dengan melaksanakan

Organik (IPAT-BO) petani bersedia

untuk

Demonstrasi Plot sebanyak 2 ha setiap kelompok yang terdiri dari 8 kecamatan masing-masing diwakili oleh satu kelompok, khusus didataran rendah dan satu hektar untuk kecamatan Tompobulu mewakili dataran tinggi. Berikut ini dapat dilihat lokasi areal pertanaman salah satu Kelompok pelaksana Program Demplot yang berada di Kecamatan Somba Opu

Kelurahan Bontoramba adalah merupakan Inovasi baru waktu itu.

73

Kelompok tani/ sebagai pelaksana langsung usahatani setelah mengetahui tentang adanya suatu inovasi baru berupa teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas padi yang dikenal dengan Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) dan menyaksikan langsung sekaligus sebagai pelaku peserta Demplot yang dengan semangat mereka bersedia untuk melanjutkan sistem budidaya tanaman padi dengan menggunakan metode IPAT-BO meskipun harus membiayai sendiri usahatani padi tersebut. Dengan mengawali dengan melaksanakan 2 hektar setiap kelompok yang terdiri dari 8 kecamatan masing-masing satu kelompok tani khusus untuk dataran rendah dan satu hektar untuk kecamatan Tompobulu mewakili dataran tinggi. Untuk melihat kegiatan petani bersama PPL dan Babinsa melakukan pemeliharaan tanaman seperti nampak dalam gambar sementara menyiangi tanaman padi yang ditanam dengan menggunakan metode IPAT-BO seperti gambar 3 dibawah ini :

74

Gambar 4 : Kelompok tani bersama PPL dan Babinsa sementara menyiangi tanaman PadiIPAT-BO

Sumber:Harian Fajar Rabu,8 April 2009 hal 23 Kegiatan diawali dengan pelatihan para Babinsa, babinkamtibmas dan PPL, selanjutnya penyuluhan kepada seluruh kelompok tani di kabupaten Gowa. Adapun yang menjadi tugas dan fungsi dari ketujuh agen perubahan tersebut diatas dalam menjalankan peranannya adalah berusaha untuk merubah/mengalihkan sikap (mindset) petani itu sendiri dengan mengacu kepada teory Kurt Lewin mengenai manajemen perubahan yang terdiri dari tiga langkah berikut:

75

1. Membuang Perilaku Lama (unfreezing) Perilaku lama dari seorang petani dalam mengelola usaha taninya adalah serangkaian tindakan/perbuatan dan pendapat dari seorang petani yang diyakini akan memberikan produktifitas yang maksimal dalam mengelola usaha taninya. Pola pikir petani yang cenderung sangat konservatif adalah ciri dari petani pada umumnya. Hal ini terlihat dari proses pengelolaan usaha tani sejak awal bertanam hingga pengelolaan pasca panennya. Peningkatan produktivitas usahatani padi sawah sangat erat dengan mutu intensifikasi yang dilakukan oleh petani dalam mengelola usahatani padinya. Mutu

intensifikasi sangat dipengaruhi oleh sejauh mana petani mengetahui inovasi baru dan membandingkan dengan kondisi ideal yang diharapkan . Upaya untuk menuju ke kondisi ideal atau terciptanya kondisi usaha tani yang lebih baik dari kondisi usaha tani yang dijalankan selama ini tentu harus dibarengi oleh kesiapan petani untuk melakukan perubahan dalam manajemen usaha taninya. Perubahan perilaku petani dalam mengelola usaha taninya tentu bukan merupakan hal yang gampang karena akan diikuti oleh perasaan atau kekuatiran bahwa perubahan itu belum tentu memberikan hasil yang baik atau bahkan bisa berakibat fatal dengan menurunnya produktifitas.

76

Kesediaan seorang petani untuk menerima suatu perubahan adalah tahap awal untuk meninggalkan perilaku lama yang selama ini ditekuninya. Berbagai perilaku lama seorang petani dalam mengelola usaha taninya khususnya untuk petani padi dapat dilihat dalam uraian berikut : 1. Jumlah benih untuk setiap hektarnya adalah 25-30 Kg 2. Penanaman dilakukan setelah bibit berumur 21-25 hari. 3. Jarak tanam adalah 20X25 Cm atau 25X25 Cm. 4. Cara tanam mundur ke belakang 5. Jumlah bibit 3-5 batang untuk satu lubang. 6. Sistim pengairan adalah digenangi 7. Pemupukan dengan menggunakan pupuk kimia sepenuhnya,misalnya KCL dan lain-lain, 8. Hasil perkembangan anakan maksimal 20 batang untuk satu rumpun. 9. Produktifitas hanya 5-6 ton per hektarnya. Dari wawancara yang diakukan dengan petani dan informasi yang diperoleh dari informan serta sumber-sumber data sekunder dapat diketahui beberapa alasan mengapa petani belum mengadopsi IPAT-BO Teknologi rumit, yang menganggap bahwa teknologi IPAT-BO rumit sehingga petani masih berfikir untuk mengadopsi IPAT-BO, Dari hasil wawancara dengan informan SP36, ZA,

77

, mereka berpendapat bahwa teknologi dengan metode IPAT-BO ini rumit karena mulai dari pesemaian diperlukan perlakuan khusus diawali dengan mengumpulkan jerami.untuk memanfaatkan jerami ditumpuk kemudian disiram dengan inokulan dekomposer untuk mempercepat penguraian jerami menjadi pupuk organik (kompos) dilanjutkan dengan Pengolahan dan penataan lahan, tahap seleksi benih dan pembuatan pesemaian, pemberian pupuk yang dicampur dengan berbagai macam/jenis pupuk ABG, membutuhkan pemeliharaan dan pengelolaan tata airnya harus selalu dikontorl sedang yang tidak

menganggap bahwa teknologi IPAT-BO rumit, atau yang berpendapat bahwa teknologi IPAT-BO tidak rumit, mereka bersedia untuk mengadopsi teknologi tersebut, menurut informan yang telah diwawancara oleh peneliti mereka (petani) dapat mentransfer

teknologi metode IPAT-BO karena memang didasari dengan kemauan untuk memperoleh hasil yang lebih banyak dan selain itu juga dilatarbelakangi oleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi, usia lebih muda dibandingkan dengan informan yang sebelumnya menganggap teknologi IPAT-BO rumit. Membutuhkan perhatian penuh selama pertanaman, dari beberapa petani sebagai informan yang penulis wawancarai berpendapat bahwa Teknologi IPAT-BO membutuhkan waktu pemeliharaan yang lebih dari biasanya terutama untuk pengaturan air karena harus diatur sesuai kebutuhan tanaman kapan harus dialiri dan kapan harus dibuang airnya. Dimana petani di Kabupaten Gowa umumnya mempunyai pekerjaan sambilan yang setelah menanam ditinggal untuk mencari nafkah diluar, yang menurut pengakuan dari Kelompok

78

tani Tompobalang I, kebiasaan mereka setelah menanam padi pergi menjual buah-buahan dari hasil kebunnya sendiri dan juga dari hasil tanaman pekarangannya, selain itu ada juga responden yang setelah menanam mencari kerja sebagai buruh bangunan, buruh

pelabuhan, pagandeng,. Sedangkan petani/kelompok tani yang tidak menganggap sebagai kendala karena mereka adalah petani yang tidak memiliki aktifitas lain jadi semata-mata mengurus sawah, jadi petani tersebut telah mengadopsi teknologi IPAT-BO meskipun informan lainnya menganggap biaya IPAT-BO mahal. Tingkat Pengetahuan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) masih terbatas, dikalangan Penyuluh masih ada yang tingkat pengetahuannya masih belum menguasai betul tentang inovasi IPAT-BO tersebut sedangkan penyuluh dalam hal ini PPL adalah tempat petani untuk bertanya dalam menjalankan/mengelola usahataninya Nah upaya Pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan maupun skill tenaga penyuluh yaitu dengan memberikan Pelatihan kepada seluruh Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan khusus materi tentang teknologi IPAT-BO ini dalam ruangan/gedung sebanyak 3 (tiga) kali namun untuk praktek dilapangan setiap saat kapan penyuluh lapang membutuhkan informasi tenaga ahli/teknis dari PT. Satu Mitra Sejati selalu siap untuk memberikan informasi karena tenaga teknis tersebut tinggal dilokasi selama 3 (tiga) bulan untuk mendampingi PPL, Babinsa, dan petani., meskipun masih ada Penyuluh yang belum menguasai/mampu mentransfer ilmu pengetahuan khususnya teknologi IPAT-BO tersebut dan pernyataan ini diungkapkan oleh ketua KTNA tingkat kabupaten yang beranggapan

79

demikian meskipun beberapa diantara informan yang tidak berpendapat bahwa tingkat pengetahuan PPL masih terbatas, Biaya mahal. Dari beberapa informan yang diwawancara secara mendalam oleh peneliti, sebagian yang mengiyakan dan belum mengadopsi IPAT-BO dengan alasan biaya mahal, karena teknologi IPAT-BO ini membutuhkan tambahan pupuk yang masih awam bagi petani yaitu pupuk ABG yang merupakan singkatan dari Amazing Bio Growth yang terdiri dari beberapa jenis peruntukan dan kegunaannya, dimana Total Biaya Keseluruhan untuk satu hektaar adalah sebesar Rp 5.977.450,- (Lima Juta Sembilan Ratus Tujuh Puluh Tujuh Ribu Empat Ratus Lima Puluh Rupiah) sedangkan Produksi yang dihasilkan dengan produksi rata-rata 8.270 Kg dikalikan dengan harga gabah terendah Rp 2.000,- dapat mencapai Rp 16.540.000,- (Enam Belas Juta Lima Ratus Empat Puluh Ribu Rupiah) dikurangan dengan biaya produksi , maka keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 10.562.550,- (Sepuluh Juta Lima Ratus Enam Puluh Dua Ribu Lima Ratus Lima Puluh Rupiah) yang untuk lebih rinci hasil Analisa Usahatani Metode IPAT-BO dapat dilihat pada lampiran 1. Sedang hasil produksi dengan cara lama yang hanya mampu menghasilkan produksi sekitar 4,5 ton dikalikan dengan Rp 2.000,- hasilnya dalam rupiah Rp

9.000.000,- dikurangi dengan biaya produksi Rp 4.383.000,- maka pendapatan yang dapat diperoleh hanya Rp 4.617.000,- (Empat Juta Enam Ratus Tujuh Belas Ribu Rupiah). Oleh karena itu jika kita melihat selisih dari Income yang dapat diperoleh jauh lebih besar jumlahnya sistem/metode IPAT-BO dibandingkan dengan cara lama yang menggunakan

80

jumlah Benih dan pupuk Organik dalam jumlah yang berlebihan, sedang informan lainnya tidak menganggapnya mahal. Informan yang mengatakan mahal karena sejumlah sarana produksi seperti pupuk berimbang harus disiapkan untuk dan diberikan sesuai dengan jenis pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman untuk pertumbuhan dan kebutuhan padi tersebut. Kelompok petani ini membandingkan dengan kebiasaan lamanya yang hanya memberikan 1-2 jenis pupuk saja, sedangkan untuk usahatani padi metode IPAT-BO membutuhkan beberapa macam dan jenis pupuk namun pemakaian pupuk anorganiknya dapat ditekan sampai 50%, hemat bibit sampai 70% dan hemat air dan produktivitasnya lebih tinggi , meskipun kesebelas responden ini telah mengadopsi teknologi IPAT-BO namun menurut mereka kendalanya terletak pada waktu pemeliharaan yang dibutuhkan oleh metode IPAT-BO sedang informan tersebut mempunyai kesibukan/aktivitas lain selain sebagai petani tetapi juga sebagai buruh harian yang tak kalah pentingnya karena harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya sebelum tiba waktu panen jadi mereka belum bisa memelihara pertanaman padinya secara optimal. Ketidaktahuan tentang IPAT-BO, ada sebagian kecil petani yang ditemui dan diwawancara oleh peneliti yang mengaku belum tahu tentang adanya sebuah teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas padi, hal ini disebabkan informan yang bersangkutan tidak aktif mengikuti pertemuan yang diadakan secara berkala, malah mereka mendengar kata IPAT-BO saat peneliti mewawancara informan tersebut. Meskipun

Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sudah berupaya untuk selalu menyampaikan informasi

81

baru kepada petani baik melalui pertemuan rutin maupun mendatangi/berkunjung langsung kerumah petani atau kelompok tani, namun tetap masih ada petani yang kekurangan informasi padahal sebagai seorang petani harusnya petani sendirilah yang aktif mencari informasi. Model petani yang seperti ini memang sulit untuk melaksanakan/mengadopsi sebuah inovasi seperti IPAT-BO karena mereka tergolong kurang perduli dengan lingkungan atau perkembangan yang ada, sedang sebagian besar dari petani yang

diwawancara mengakui kalau mereka mengetahui tentang adaanya metode baru yang dikenal dengan Teknologi IPAT-BO dari petugas pertanian dan sudah mengadopsi dengan .harapan dapat meningkatkan produksi usahatani padi yang mereka usahakan. Iklim Adapun alasan yang terakhir mengapa masih ada beberapa petani yang belum mengadopsi IPAT-BO yakni disebabkan oleh faktor iklim dimana yang beralasan tidak mengadopsi IPAT-BO disebabkan faktor iklim, mereka ini memiliki lahan tadah hujan yang hanya menanam saat musim rendengan (hujan) dimana metode IPAT-BO hanya diairi saat dianggap membutuhkan air sedang hujan turun tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Oleh karena itu petani yang mengadopsi teknologi IPAT-BO pada daerah atau yang lahannya tergolong lahan tadah hujan lebih sedikit atau terbatas yang dapat mengadopsi teknologi tersebut dibandingkan dengan lahan yang beririgasi teknis. Sedangkan sebagian besar petani lainnya yang tidak mempersoalkan masalah iklim karena mereka memiliki lahan sawah irigasi teknologi IPAT-BO. yang pengairannya mudah diatur jadi mereka ikut mengadopsi

82

Kesediaan petani untuk menerima suatu perubahan akan lebih banyak ditentukan oleh hasil nyata yang dilihat pada suatu lahan yang kondisi pisik dan topografi yang sama dengan lahan yang dimiliki namun dapat memberikan produktifitas yang lebih tinggi. Hal ini sekaligus akan mendorong petani uantuk mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan produktifitas. Adapun usaha pemerintah untuk menunjukkan secara nyata perbedaan produktivitas lahan antara cara lama dengan cara IPAT-BO yaitu dengan mengadakan Demonstrasi Plot (Demplot) disetiap desa, dimana setiap tanam perdana dan

panen perdana dikumpulkan/diundang semua masyarakat terutama pada lokasi tersebut dan sekitarnya juga dihadirkan tokoh masyarakat, bahkan pada saat Demplot ditingkat Kabupaten dihadiri langsung oleh Pakar/penemu teknologi IPAT-BO bapak Prof.Dr.Tualar Simarmata dan tim dari UNPAD, Bapak Gubernur dan wakil Gubernur, PANGLIMA KODAM VII Wirabuana, Kapolda, Kepala Dinas Pertanian Prop. Sul_Sel beserta stafnya, Bupati dan Wakil Bupati, dan Unsur Muspida, serta beberapa unsur terkait lainnya. Pada waktu acara panen perdana yang dipanen langsung oleh bapak Gubernur dan rombongan diambil ubinannya kemudian ditimbang dan hasilnya langsung diumumkan diacara panen tersebut. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada masyarakat khususnya petani

manfaat teknologi IPAT-BO agar mereka lebih yakin dan berminat untuk mengadopsinya. Selain Demplot tersebut yang merupakan salah satu cara pemerintah menunjukkan

perbedaan hasil yang dicapai dengan menggunakan teknologi tersebut, juga penyuluhan yang dapat berbentuk ceramah, penyebaran Brosur, dan pertemuan rutin kelompok tani.

83

Kebiasaan-kebiasaan lama diatas seperti menghambur benih berlebihan karena selalu dihantui perasaan tidak cukup atau khawatir banyak benih yang tidak tumbuh sehingga sikap petani menghambur benih dipesemaian terlalu banyak/berlebihan sehingga sering banyak bibit yang akhirnya tidak terpakai dan terbuang percuma , begitu pula dengan pemakaian pupuk anorganik yang tidak sesuai dengan rekomendasi terkadang petani hanya menggunakan satu jenis pupuk seperti pupuk Urea saja dengan dosis yang berlebihan karena cara atau teknik pemupukan dilakukan seenaknya seperti kebiasaan yang sejak lama yang merupakan sistem atau cara lama yang selama ini dilakukan oleh petani diupayakan oleh pemerintah kabupaten Gowa untuk meninggaalkan cara lama dan segera beralih/mengadopsi inovasi yang sementara diprogramkan yakni Intensifikasi Padi aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) Untuk melihat lebih jelas mengenai perbedaan teknik bertani antara cara lama dengan cara baru (IPAT-BO) dapat dilihat dalam tabel berikut:

84

Tabel 6 Perbedaan teknik bertani antara cara lama dengan cara baru (IPAT-BO):
No 1 2 3 4 5 Teknik Bertani Volume benih per hektar Umur tanam bibit Cara tanam Jumlah bibit Pemupukan Cara lama 25-30 kg 21-25 hari Mundur kebelakang 3-5 batang perlubang Pakai pupuk UREA,SP36,KCl, dan ZA Digenangi Max. 20 btg per rumpun Sama dengan deskripsi IPAT-BO 10-15 kg 19-12 hari Maju kedepan 1 batang perlubang Pakai pupuk UREA dan ABG

6 7 8

Pemberian air Jumlah anakan Umur tanam

Terputus-putus (macakmacak) 40 batang per rumpun Lebih pendek 1 minggu Dari deskripsi Bisa sampai 9 ton/ha, bahkan diatasnya sepanjang teknologi diterapkan.

9 Produktivitas 5 6 ton/ha

Sumber : Dinas Pertanian Kab.Gowa tahun 2009

85

Gambar 5: Lahan pertanaman dengan Metode IPAT-BO dikabupaten Gowa

Sumber : Dokumentasi Dinas Pertanian 2010 Terbukti produktivitas cara IPAT-BO dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dari segi anakan, karena IPAT-BO banyak anakannya maka produktivitasnya tinggi. Dari beberapa perilaku dengan cara lama yang disebutkan diatas terbukti tidak mampu memberikan hasil yang maksimal. Oleh karena itu kemampuan untuk mendorong perubahan perilaku berusaha tani dari seorang petani sangat dipengaruhi sejauh mana pemahaman terhadap suatu penemuan baru mampu memberikan harapan yang lebih baik bagi usaha taninya. Pemerintah dalam hal ini sebagai agent of change harus mampu

86

memberikan pemahaman terhadap nilai positif dari penemuan yang baru. Keberhasilan untuk mempengaruhi petani dalam mengadopsi suatu hasil inovasi akan membentuk perilaku baru dalam pengelolaan usaha tani. Untuk mengalihkan petani dari cara lama ke IPAT-BO, maka pemerintah menempuh beberapa cara berikut; a. Melakukan Sosialisasi Program IPAT-BO melalui rapat koordinasi yang dipimpin oleh Bapak Bupati dihadiri oleh stake holder yang terkait. Dalam pertemuan ini Bupati menyampaikan adanya maksud dari PT. Satu Mitra Sejati sebagai penyandang dana dari sebuah teknologi baru yang telah ditemukan oleh Prof.Dr. Ir. Tualar Simarmata untuk mengadakan Demplot sebagai tahap awal soaialisasi IPATBO di kabupaten Gowa. b. Pertemuan berikutnya berlangsung dibaruga Karaeng Galesong Pada Senin, 3 Maret 2008 pukul 09.00, bertempat di Baruga Karaeng Galesong kantor bupati Gowa di Sungguminasa oleh PT. Satu Mitra Sejati dari Jakarta disampaikan oleh Prof. Dr. Tualar Simarmata dosen Fakultas Pertnian UNPAD. Dihadiri bapak Bupati, Camat, Kepala Desa/Lurah, KTNA kabupaten 8 (delapan) kecamatan. c. Pertemuan ketiga pada hari Jumat, 28 Maret 2008 dimulai pukul 13.00 wita, bertempat diruang rapat Kantor Dinas Pertanian kab.Gowa dimana pesertanya adalah Kacadis dan koordinator Penyuluh Pertanian sekabupaten Gowa.

87

Guna mendengarkan ekspose yang akan disampaikan oleh Prof. Tuaalar Simarmata selaku Penemu teknologi. Setelah ekspose tersebut beberapa kali diadakan

pertemuan untuk membahas beberapa hal yang berhubungan dengan pelaksanaan Program IPAT-BO, mulai dari persiapan Calon Petani-Calon Lokasi, Sarana Prasarana sampai kepada persiapan Acara Tanam Perdana untuk Musim Tanam (MT) 2008 sebagai tahap awal Demplot.

Membentuk perilaku baru (moving)

Perilaku baru terbentuk dari sistem atau rangkaian proses untuk meyakinkan seorang petani untuk berpindah ke sistem pengelolaan usaha tani yang lebih maju. Perilaku baru ini lahir dari suatu kajian dan penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang berhasil menemukan suatu perlakuan yang mampu meningkatkan produktifitas pertanian. Beberapa perlakuan baru yang merupakan hasil kaji terap teknologi dari fakultas Pertanian Universitas Padjajaran Bandung yang dikenal dengan beberapa perlakuan baru, yaitu: 1. Jumlah benih sebanyak10-15 Kg per hektarnya. Jumlah bibit yang lebih sedikit akan mengurangi biaya pengadaan bibit hingga 50% dan ini berarti menekan biaya produksi. IPAT-BO dengan

88

2. Umur bibit pesemaian adalah 10-12 hari dan Sesudah itu di tanam. Hal ini ternyata mampu memberikan kesempatan yang lebih besar pada setiap batang padi untuk memperbanyak anakan. 3. Jarak tanam 30X30 Cm membantu menekan penggunaan jumlah bibit dan memberikan untuk masuknya Sinar matahari hingga anakan yang terkecil 4. Cara tanam dengan maju ke depan agar pertemuan garis tidak diinjak. 5. Sistem pengairan macak-macak (terputus) memungkinkan tanah dan tanaman untuk memenuhi kebutuhan oksigen lebih banyak. 6. Pemupukan secara berimbang dengan perbandingan yang disesuaikan dengan kondisi setiap lahan. 7. Jumlah anakan hingga 40 pada setiap rumpunnya. 8. Umur tanam lebih pendek satu minggu dari deskriktif. 9. Produktifitas gabah Kering Panen hingga 9 Ton Per hektar. Berikut ini dapat dilihat persiapan dan model pesemaian teknologi dengan cara baru metode IPAT-BO seperti dalam gambar dibawah ini :

89

Gambar 6 : Persiapan pesemaian dan cara memindahkan tanaman metode IPAT-BO

Gambar diatas memperlihatkan Pesemaian dilapangan dengan bedengan (pembatas bambu) dan pemindahan bibit ke pelepah pisang atau baki (a), pesemaian dengan bedengan beralas plastik (b), dan persemaian dengan sungkup jaring untuk mencegah serangan sundep awal (c). Cara pembentukan perilaku lainnya adalah dengan menugaskan PPL untuk secara intensif mendapingi petani. Memfasilitasi kelompok tani dalam penyediaan Sarana produksi seperti Benih berlabel yang bersubsidi, pupuk organik yang bersubsidi dengan jalan kelompok memasukkan Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK)

90

Mencermati perlakuan diatas, maka secara matematis telah mampu menekan biaya produksi dengan produktifitas yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu semakin cepat masyarakat tani untuk mengadopsi suatu inovasi akan mempercepat juga peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri. Cepat atau lambatnya petani dalam penerimaan suatu inovasi sangat ditentukan oleh pihak-pihak yang telibat dalam kegiatan pengelolaan usaha tani yaitu pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian sebagai stake holder yang terlibat langsung dan swasta. Sejauh mana pemerintah mampu melakukan perubahan mindset petani dari bercocok tanam lama kecara bercocok tanam yang baru dengan menggunakan teknologi baru (IPAT-BO), maka beberapa cara yang ditempuh Pemerintah seperti berikut: a) Melakukan sosialisasi sampai tingkat kecamatan dan tingkat kelurahan/desa, dimana untuk tingkat desa/kelurahan diadakan masing-masing didesa/kelurahannya. b) Pelaaksanaan Demplot tahap awal yang dilaksanakan pada 8 kecamatan yang terdiri dari 7 kecamatan masing-masing seluas 2 hekatar untuk kecamatan yang berada di dataran rendah dan 1 hektar untuk daerah yang mewakili dataran tinggi. Acara Tanam Perdana untuk pelaksanaan Demplot tahap awal yang dilaksanakan di desa Moncobalang kecamatan Barombong kelompok tani Tompobalang I dihadiri oleh Bapak Bupati dan MUSPIDA, Prof. Tualar Simarmata beserta rombongan dari Universitas Padjajaran Bandung, serta beberapa undangan lainnya. Upaya diatas dimaksudkan agar petani dapat menyaksikan langsung perlakuan untuk sebuah teknologi baru yang dikenal dengan IPAT-BO dan diharapkan petani mau

91

membuang/meninggalkan cara bertani yang lama dan berpindah atau beralih keperilaku yang baru (moving). c) Sementara pertanaman pada beberapa lokasi Demplot diadakan pertemuan, rapat koordinasi, pelatihan bagi petugas yang terdiri dari Penyuluh Pertanian Lapangan, Babinsa, dan kontak tani yang salah satu pertemuan yang diadakan di ruang rapat Dinas Pertanian dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Gambar 7 : Pertemuan saat sosialisasi diruang rapat Dinas Pertanian kab. Gowa

Sumber : Dokumentasi Dinas Pertanian Gowa 2010 d) Panen Perdana IPAT-BO MT. 2008 dilaksanakan pada hari kamis, 7 agustus 2008, lokasi kelompok tani Anasappu desa Bontobiraeng selatan kecamatan Bontonompo dihadiri Gubernur Sulawesi selatan dan beberapa pejabat lainnya. Dilokasi inilah

92

Bapak Gubernur melalui Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi mengambil kebijakan untuk mengalokasikan Anggaran APBD Tk.I. untuk mendukung kegiatan Demplot yang dilaksanakan dikabupaten Gowa dan mengembangkan kesemua Desa yang ada dikabupaten Gowa masing masing seluas 2 hektar tiap desa, sehingga Demplot dapat berlanjut ke Musim Tanam berikutnya yakni MT 2008-2009 dan dibiayai oleh Pemerintah propinsi Sulawesi selatan. Gambar 8: Gubernur memberikan sambutan saat menghadiri Acara Panen Perdana

Sumber : Dokumentasi dinas Pertanian 2010

93

Gambar 9: Gubernur dan Bupati beserta undangan lainnya saat menghadiri Acara Panen Perdana

Sumber: Dokumentasi Dinas Pertanian Gowa 2010 e) Penyuluhan secara rutin kepada petani melalui kelompok tani, dimana jumlah penyuluh seluruhnya 167 orang penyuluh yang bertugas disetiap desa/kelurahan, dan selain PPL ada petugas dari PT. SMS sebagai petugas teknis dilapangan kerjasama dengan PPL. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan//pengetahuan petani diberikan bahan bacaan tentang IPAT- BO.

94

Gambar 10: Seluruh Penyuluh, Babinsa dan kelompok tani sedang mengikutu Acara Sosialisasi yang dibuka oleh Bupati Gowa

Sumber :Dokumentasi Dinas Pertanian 2010 f). Pelaksanaan demonstrasi/percontohan pada setiap desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Gowa. Dapat meningkatkan produktivitas dari 4-5.kw/ha menjadi diatas 9..kw/ha dan hal tersebut dapat memotivasi petani untuk segera beralih dari kebiasaan lama ke teknologi IPAT-BO yang sudah memberikan bukti nyata dapat meningkatkan produktivitas g).. Menjalin kerjasama dengan Kodim 1409 Gowa sebagai penggerak dan memberikan motivasi dan bimbingan kepada petani. Dalam hal ini anggota Kodim yang bertugas

95

sebagai Babinsa bekerjasama dengan PPL dari Dinas Pertanian mendampingi petani dalam melaksanakan usaha taninya dengan memanfaatkan teknologi IPAT-BO tersebut yang terlebih dahulu anggota Kodim sudah dilatih oleh PT. SMS untuk mendampingi Penyuluh pertanian bersama-sama membina kelompok tani/petani. Semua Babinsa dilibatkan untuk membina petani di areal demplot yang ada didesa binaannya bekerjasama dengan Penyuluh Pertanian Lapangan. Gambar 11: Pertemuan/Sosialisasi Program Peningkatan Produksi Padi Melalui Teknologi IPAT-BO

Sumber : Dokumentasi Dinas Pertanian 2010

96

3.Pembekuan /Pemantapan (Refreezing) Pembekuan atau pemantapan yang merupakan langkah terakhir dari model tiga langkah dari teori Kurt Lewin, berupaya menciptakan kestabilan untuk memantapkan kebiasaan baru berupa Inovasi teknologi baru yakni Program Intensifikasi Padi Aerob Terkendali-Berbasis Organik (IPAT-BO). Pemerintah belum sampai ketahap pembekuan atau pemantapan (Refreezing) melainkan masih pada tahap moving (perpindahan) oleh sebab itu maka pemerintah sebagai agen perubahan merencanakan : 1. Perluasan areal IPAT-BO dengan upaya menerapkan semua paket teknologi IPAT-BO yang terdiri dari berbagai komponen: Penggunaan Benih Berlabel; Jumlah Benih 10 15 kg/ha; Tanam Tandar Jajar 2 Arah; Sistem Tanam Kembar (Twin Seed) dan Legowo; Sistem Pemberian Air terputus-putus(macak-macak); Penggunaan Pupuk Organik dan Penggunaan ABG. 2. Percontohan dilanjutkan pada setiap Desa. 3. Penyuluhan ditingkatkan 4. Penanganan Pasca Panen 5. Perlu diberikan hadiah yang melaksanakan IPAT-BO dengan menerapkan semua Paket Teknologi yang dianjurkan. 6. Yang belum melaksanakan diberikan Motivasi dan Penyuluhan secara rutin. 7. Metode IPAT-BO diharapkan dapat meningkatkan Produksi dan Produktivitas Padi di Kabupaten Gowa dalam rangka Swasembada Pangan Berkelanjutan.

97

Keberadaan tehnologi IPAT BO sudah mulai mendapatkan tempat dihati masyarakat petani disekitar demplot. Hasil panen yang jauh lebih tinggi dari lahan tanam non IPAT-BO mendorong untuk mengadopsi paket tehnologi baru ini. Semakin tingginya animo masyarakat untuk berubah terlihat dari perubahan jumlah kelompok tani yang selalu bertambah dari setiap musim tanam. Untuk melihat tingkat keberhasilan Program pemerintah sebagai Adopter dalam mengalihkan perilaku petani dari cara lama ke cara baru dan sekaligus memantapkan /membekukan agar tidak lagi kembali ke kebiasaan lama, maka dapat dilihat dari

Peningkatan Jumlah Petani /Kelompok tani yang menerapkan teknologi dengan metode IPAT-BO dengan membandingkan saat program Demplot sedang berlangsung (MT 20082009) dengan setelah Demplot (MT. 2009 dan MT.2009-2010) dapat dilihat pada tabel 8.

98

Tabel 7. Tingkat Penerapan Tehnologi IPAT BO berdasarkan jumlah kelompok yang mengadopsi tehnologi IPAT-BO saat demplot dan setelah demplot di Kab. Gowa Jumlah kelompok setelah demplot MT MT 2009 % % 2009 /201 0 22 7,6 23 7,9 10 9,5 10 9,5 13 11,2 15 12,9 17 13,4 17 13,4 16 6,7 16 6,7 16 6,4 16 6,4 12 2,8 12 2,8 15 4,8 15 4,8 8 4,4 8 4,4 21 16,3 7 5,4 5 3,3 5 3,3 10 12,1 10 12,1 6 3,7 6 3,7 15 25,4 15 25,4 10 4,5 10 4,5 14 13,3 14 13,3 8 8,2 8 8,2 6 6,4 8 8,6 230 7,3 221 7,0

No

Kecamatan

Jumlah Klp. Saat Demplot MT 2008 18 9 12 10 14 18 11 8 7 5 5 5 6 6 9 11 8 6 168

Total
Klp.

Tani 290 105 116 127 239 251 414 314 183 129 148 83 163 59 220 105 98 93 3137

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Bonto nompo Barombong Bt.marannu Bajeng barat Bajeng Pallangga Biringbulu Tompo bulu Tombolopao Pattallassang Tg. Moncong Parigi Bungaya Parangloe Bt.nompo sel Somba opu Bt.lempangan Manuju JUMLAH

Diolah dari data Primer Dinas Pertanian Kab.Gowa

Pada tabel 8, menunjukkan jumlah kelompok tani yang mengikuti Penerapan awal Program IPAT-BO di kabupaten Gowa yang merupakan tahap sosialisasi yang kedua yakni MT 2008-2009 dengan jumlah kelompok tani sebanyak 168 kelompok yang merupakan

99

representasi dari seluruh desa dan kelurahan yang ada di kabupaten Gowa yang jumlahnya sebanyak 168 Desa. Pada Musim Tanam 2009 yang dikenal dengan musim gadu (Kemarau) jumlah kelompok tani yang mengikuti program IPAT_BO semakin banyak dari 168 kelompok pada musim tanam sebelumnya menjadi 230 Kelompok Tani atau terjadi peningkatan sebesar 7,3%. Meskipun ada beberapa kecamatan yang berada pada dataran tinggi seperti Biringbulu, Tompobulu, Tinggimoncong, Parigi, Bungaya, dan Botolempangan tidak menunjukkan adanya peningkatan jumlah kelompok yang mengadopsi teknologi IPAT-BO disebabkan pada daerah dataran tinggi tersebut jumlah kelompok tani yang mengelola Usahatani Padi tidak banyak jumlahnya, umumnya daerah dataran tinggi seperti Biringbulu, Tompobulu, Bungaya, dan Botolempangan iklimnya lebih cocok berusahatani Jagung sebagai tanaman andalan, sedangkan untuk kecamatan Tinggimoncong dan Parigi petaninya lebih dominan berusahatani dibidang Hortikultura seperti Kentang, wortel, Kubis, Markisa dan beberapa komoditi unggulan sayuran lainnya sebagai tanaman unggulan. Jadi meskipun jumlah kelompok tani yang mengadopsi metode dengan

teknologi IPAT-BO tersebut menunjukkan angka Konstan namun bukan berarti program tersebut tidak berhasil karena kondisi klimatologi daerah tersebut sebahagian lahannya lebih cocok dengan budidaya hortikultura. Hal ini membuktikan bahwa manfaat program yang dijalankan melalui demplot menunjukkan keberhasilan dalam melakukan perubahan perilaku usaha tani lama ke perilaku usaha tani yang baru yang menganut paket tehnologi

100

yang berbasis organik. Musim Tanam ini juga didukung oleh iklim yang bertepatan dengan musim gadu. Pada musim tanam gadu kelompok tani lebih mudah untuk mengatur sistem pengairan. Debet air pada pintu kontrol dan distribusi air relatif konstan sehingga petani lebih mudah mengatur air hingga ke lahan tanam sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pengaturan air yang baik sangat menentukan keberhasilan program ini. Pada musim tanam 2009/2010 terjadi penurunan jumlah kelompok tani yang

mengikuti program IPAT BO dari 230 pada musim tanam 2009 menjadi 221 pada musim tanam 2009/2010 atau terjadi penurunan sekitar 0,3%. Penurunan ini disebabkan oleh kondisi iklim yang bertepatan dengan musim hujan yang merupakan kondisi rawan banjir bagi wilayah-wilayah tertentu. Pada lahan tani yang berada di kawasan rawan banjir sistim pengairan lebih dominan dikendalikan oleh sejauh mana luapan air akan menutupi areal pertanian. Wilayah ini terletak di Kec. Pattallassang yang pada musim tanam ini tidak ditanami karena kena banjir, meskipun animo masyrakat taninya besar untuk mengadopsi inovasi baru seperti metode IPAT-BO tersebut yang terbukti pada musim tanam Gadu mengalami peningkatan jumlah kelompok tani yang mengadosi naik menjadi 21 kelompok yang awalnya sewaktu program Demplot berjalanMusim Tanam 2008-2009 atau dikenal dengan musim Rendengan (Hujan) hanya 5 kelompok tani namun karena keberhasilan pemerintah sebagai Agen of Change dalam upaya melakukan perubahan untuk meninggalkan cara bertanam yang lama beralih ke cara baru sehingga petani bisa

menerima perubahan tersebut, namun karena faktor iklim/cuaca dimana kecamatan

101

Pattallassang mempunyai lahan yang merupakan daerah rawan banjir sehingga pada musim tanam berikutnya MT 2009-2010.petani kesulitan untuk menerapkan teknologi IPAT-BO pada lahan yang tergenang air. Sedang beberapa kecamatan lainnya memperlihatkan

peningkatan diatas 75 % seperti kecamatan Bajeng Barat, yang menurut responden yang peneliti wawancara anggota kelompok tani dikecamatan Bajeng Barat menyambut baik adanya teknologi IPAT-BO yang diharapkan dapat meningkatkan produksi padi yang akan berdampak peningkatan kesejahteraan petani. Menurut responden dari kecamatan Bajeng Barat yang kebetulan produsen pupuk organik yang diproduksi oleh kelompok tani Bontoramba Jaya, petani dikecamatan Bajeng Barat tergolong cepat dalam

menerima/mengadopsi teknologi IPAT-BO karena kebetulan pada saat diadakan Demplot sebagai tahap sosialisasi memperoleh hasil diatas 8 ton per hektar dibarengi dengan ketersediaan pupuk organik karena kecamatan Bajeng Barat sebagai produsennya. Adapun untuk melihat keberhasilan/implementasi dari Program Teknologi IPATBO sebagai strategi peningkatan produksi padi di kabupaten Gowa selain peningkatan jumlah kelompok yang mengadopsi teknologi tersebut seperti telah diuraikan tabel 8 diatas maka dapat pula dilihat pada meningkatnya Luas lahan dan peningkatan Produktivitas yang dicapai setelah program berlangsung dengan pada saat adanya program berupa Demplot. Hal ini dapat dilihat pada tabel 9 yang berisikan tentang peningkatan Luas Tanam dan Peningkatan Produktivitas yang dicapai untuk seluruh kecamatan sebagai berikut :

102

Tabel 8. Tingkat Penerapan Tehnologi IPAT BO berdasarkan Luas Tanam dan Produktivitas saat Demplot dan setelah Demplot dikabupaten Gowa
Saat demplot MT 2008-2009
L.Tanam (Ha) Produksi (KW/Ha)

No

Kecamatan

Setelah Demplot MT 2009 MT 2009-2010


L.Tanam (Ha) Produksi (KW/Ha) L.Tanam (Ha) Produksi (KW/Ha)

Bonto nompo 2 Barombong 3 Bt.marannu 4 Bajeng barat 5 Bajeng 6 Pallangga 7 Biringbulu 8 Tompo bulu 9 Tombolopao 10 Pattallassang 11 Tinggimoncon 12 Parigi 13 Bungaya 14 Parangloe 15 Bt.nompo sel 16 Somba opu 17 Bt.lempangan 18 Manuju Jumlah

36 18 24 20 28 36 22 16 14 10 10 10 12 12 18 22 16 12 336

82.1 80.8 112.8 86.1 89.1 74.9 77.7 77.9 95.3 82.0 75.40 80.00 69.0 77.00 81.6 80.00 59.30 79.40 1460.4

36 18 28 27 31. 201.64 24 16.4 8 300 7 14.5 12 32.2 20 24 8.5 60 868,24

85.1 82.0 120 82.85 90.01 83.45 80.00 47.78 70.75 77.40 72.80 71.90 72.00 77.57 82.00 85,0 53.37 76.18 1410,16

18 18 31 25 32 199.60 25 19.25 16 66 8 22 14,1 74.7 23 24 14.5 160 817,15

90,00 85,00 123,00 92.85 92.00 76.80 80.50 60.95 73.87 78.57 65.20 75.20 72,00 79.40 85.00 85,00 51.43 77.42 1444,19

Di olah dari data Primer Dinas Pertanian Kab.Gowa

Tingkat adopsi inovasi juga ditunjukkan dengan semakin bertambahnya luas tanam pada setiap kecamatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 9. Yang menunjukkan bahwa telah terjadi penambahan luas tanam dan peningkatan jumlah produktivitas pada setiap musim tanam. Kecamatan Bontomarannu meskipun Luas tanam selama 3 musim tanam hanya menunjukkan peningkatan luas lahan yang tidak terlalu tinggi namun mampu memperlihatkan produktivitas yang menggembirakan karena mampu menghasilkan diatas 100 kw/ha atau diatas 10 Ton per hektarnya ini menandakan keseriusan petani dalam

103

menerapkan teknologi yang dianjurkan betul-betul dilaksanakan sesuai anjuran begitu pula yang terjadi pada 5 kecamatan yang menunjukkan peningkatan luas tanam yang sangat tinggi Bertambahnya luas tanam menunjukkan bahwa kehadiran Program ini mulai dirasakan oleh masyarakat. Motivasi kelompok tani untuk mengikuti Program IPAT-BO mulai dirasakan sebagai suatu kebutuhan setelah melihat hasil nyata dilapangan. Kelompok kelompok yang berdomisili disekitar demplot akhirnya secara sukarela mengambil keputusan untuk merubah perilaku usaha tani yang lama dan mengikuti perilaku usaha tani yang baru. Dengan terbangunnya mindset baru dikalangan petani akan semakin memudahkan agen pembaharu (Agent Of Change) dalam mengarahkan ke suatu perilaku baru yang diyakini lebih produktif. Kesadaran seperti ini juga akan lebih dalam proses pembekuan karena semangat adopsinya lahir dari dalam diri petani itu sendiri. Tabel 9, memperlihatkan bahwa produktifitas yang dicapai rata-rata menunjukkan peningkatan pada sebagian besar luasan tanam pada setiap kecamatan. Adapaun hasil yang diperoleh kecamatan Bajeng Barat yang ditunjukkan pada saat Demplot yakni MT 20082009 luas tanam hanya 20 ha meningkat menjadi 27 ha pada MT 2009 dan di musim Tanam 2009-2010 menjadi 25 ha. Untuk kecamatan Pallangga saat Demplot (MT 20082009) seluas 36 ha, setelah Demp;ot MT 2009 meningkat drastis menjadi 201,64 ha dan pada Musim Tanam 2009-2010 seluas 199,6o ha. Untuk kecamatan Pattallassang luas tanam saat Demplot hanya 10 ha dan setelah Demp;ot yakni dimusim tanam 2009 (Gadu) meningkat menjadi 300 ha sedang untuk Musim Tanam berikutnya yakni MT 2009-2010 yang dikenal dengan musim hujan luas pertanaman berkurang menjadi 66 ha. Hal ini disebabkan pada kecamatan Pattallassang

memiliki beberapa lahan sawah yang rawan banjir dan disaat musim hujan sering terendam

104

air olehnya itu agak sulit untuk menerapkan teknologi IPAT-BO tersebut pada lahan seperti itu karena dalam teknlogi tersebut pengairannya sistem macak-macak/tidak tergenang (Aerob). Kecamatan Parangloe hanya 12 ha pada saat Demplot berlangsung yakni MT.20082009 dan setelah Demplot pada musim Gadu MT 2009 bertambah luas tanamnya menjadi 32,2 ha begitu pula untuk musim tanam selanjutnya yakni pada saat musim hujan atau Rendengan MT 2009-2010 meningkat lagi menjadi 74,7 ha, hal ini dimungkinkan karena kecamatan Parangloe sebagian lahan sawahnya berada pada ketinggian sehingga dapat memanfaatkan musim hujan dengan sebaik=baiknya. Terakhir kecamatan Manuju di MT 2008-2009 saat program Demplot berlangsung luas pertanamannya hanya 12 ha dan meningkat menjadi 60 ha setelah program berlangsung pada MT 2009 sedangkan untuk musim tanam rendengan MT 2009-2010 meningkat lagi menjadi 160 ha, peningkatan jumlah Luas Tanam tersebut disebabkan konsi lahan pertanamannya sama dengan kecamatan Parangloe bahwa berada pada ketinggian karena kecamatan Manuju adalah merupakan pemekaran dari kecamatan Parangloe yang menurut responden (Abbas) petani dikecamatan Manuju dan Parangloe memang dapat berharap banyak akan memperoleh hasil produksi dari padi pada saat Musim Rendengan (hujan). Selanjutnya mengenai tingkat Produktivitas yang dicapai untuk kecamatan Bajeng Barat saat Demplot (MT.2008-2009) sebanyak 86,1 kw/ha dan setelah Demplot pada musim tanam 2009 hasil yang diperoleh berkurang menjadi 82,85 kw/ha disebabkan dalam musim tanam tersebut di kecamatan bajeng Barat ada serangan hama Tikus namun tidak terlalu berarti karena cepat bisa diantisipasi. Musim Tanam berikutnya yakni dimusim

tanam 2009-2010 produktivitas dapat dicapai rata-rata 92,85 kw/ha. Kemudian kecamatan

105

Pallangga produktivitas yang dicapai saat Demploy musim tanam 2008-2009 sebesar 74,9 kw/ha, setelah Demplot MT2009 (Gadu) produtivitas mencapai 83,45 kw/ha sedang

dimusim tanam 2009-2010 produktivitas sedikit menurun yakni 76,80 kw/.ha, hal ini disebabkan beberapa lahan pertanaman yang juga sering tersendam banjir, olehnya itu dibeberapa areal pertaanaman tidak dapat memberikan hasil yang maksimal. Kecamatan Pattallassang menghasilkan produktivitas rata-rata 82,0 kw/ha pada saat berlangsung Demplot MT 2008-2009, dan setelah Demplot untuk musim tanam Gadu MT 2009 produktivitasnya 77,40 kw/ha dan 78,57 kw/ha untuk musim tanam Rendengan MT 2009-2010. Produktivitas yang dicapai selama dua musim tanam setelah Demplot kurang dibandingkan pada saat Demplot namun tidak terlalu berarti karena sebelum Demplot yakni pada saat petani masih menggunakan cara/teknologi sebelumnya produktivitas yang dicapai maksimal hanya sekitar 7,00 kw/ha. Jadi petani dikecamatan Pattallassang menerima baik inovasi yang diterapkan pemerintah karena dianggap dapat meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya petani dikecamatan Pattallassang dan Kabupaten Gowa pada umumnya. Kecamatan Parangloe untuk Musim Tanam 2008-2009 pada saat Demplot

berlangsung menghasilkan produktivitas sebesar 77,00kw/ha dan setelah Demplot pada musim tanam Gadu MT 2009 menghasilkan produktivitas 77,57 kw/ha kemudian untuk musim rendengan MT 2009-2010 menjadi 79,40 kw/ha. Terakhir kecamatan Manuju saat Demplot berlangsung Musim Tanam 2008-2009 produktivitas yang diperoleh sebesar 79,40 kw/ha dan setelah Demplot MT 2009 produktivitas yang dicapai sejumlah 76,18 kw/ha dan pada musim tanam 2009-2010 sebesar 77,42 kw/ha. Tabel 9 diatas memperlihatkan bahwa baik Luas Tanam maupun Produktivitas yang dicapai rata-rata menunjukkan peningkatan

106

pada sebahagian besar luas tanam dan produktivitas setiap kecamatan, sehingga secara umum baik Luas Tanam maupun Produktivitas dikabupaten Gowa mengalami peningkatan sebagaimana terlihat pada tabel 9 diatas saat Demplot musim tanam 2008-2009 luas tanam 336 ha dengan produktivitas rata-rata 81,36 kw/ha dan setelah Demplot musim tanam Gadu MT 2009 Luas Tanam meningkat menjadi 964,24 ha dengan Produktivitas rata-rata 77,23 kw/ha dan untuk musim tanam berikutnya Luas tanam meningkat lagi 1.010,05 ha untuk seluruh kecamatan dengan rata-rata produktivitas perkecamatan yaitu 80,23kw/ha. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses perubahan khususnya dalam langkah ketiga (Terakhir) dari model teori Kurt Lewin yaitu Pemantapan (Refreezing) yakni upaya menciptakan kestabilan dalam organisasi pada tingkat equilibrium baru dan memastikan bahwa cara-cara baru relative terjaga dari langkah mundur. Kestabilan ini dapat tercapai berkat upaya yang dilakukan oleh agen of change melalui sosialisasi, Demonstrasi, dan penyuluhan yang terus menerus guna memantapkan perilaku baru dan tidak akan kembali lagi cara-cara lama yang telah ditinggalkan.

107

BAB. V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Upaya Pemerintah Kabupaten Gowa untuk merubah/mengalihkan sikap (mindset) petani melalui proses manajemen Perubahan yang dimulai dari: Pencairan (Unfreezing), Perpindahan (Moving) dan Pembekuan/Pemantapan (Refreezing) melalui penyuluhan, ceramah dan pembagian brosur, namun masih perlu terus ditingkatkan. 2. Upaya Pemerintah Kabupaten Gowa dalam mengalihkan cara bertani

masyarakatnya ke metode Teknologi IPAT-BO, yaitu dengan melaksanakan Sosialisasi Program IPAT-BO melalui beberapa kali pertemuan oleh Agen Perubahan (Agen of Changes) dan mengadakan Demonstrasi Plot (Demplot) di semua Desa. 3. Upaya Pemerintah Kabupaten Gowa dalam mendukung kesinambungan Penerapan Metode IPAT-BO, yaitu Perluasan Areal Tanam IPAT-BO dengan menerapkan semua Paket Teknologi, Demplot dilanjutkan pada setiap Desa, Penyuluhan ditingkatkan, Monitoring dan Evaluasi. B. Saran Diperlukan bimbingan dan penyuluhan dalam bentuk kunjungan langsung ke petani dan jadwal kunjungan lebih banyak.sering dan Study banding kepada kelompok yang sudah berhasil.

108

Demplot dilanjutkan pada setiap Desa, Penyuluhan ditingkatkan, Monitoring dan Evaluasi.

Pemerintah harus memfasilitasi berbagai kendala yang ada ditengah masyarakat petani, misalnya tersedianya saprodi yang cukup secara tepat waktu dan akses permodalan dan Penyuluhan secara rutin.

109

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syamsuddin, 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung Adiwilaga A, 1982. Ilmu Usahatani. Penerbit Alumni, Bandung. Andoko, A, 2005. Budidaya Padi Secara Organik , Penebar Swadaya, Jakarta. Bungin, Burhan.,2008,Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya, Kencana. Jakarta. Busthanul, Arifin, Ph.D, 2001. Jakarta. Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia, Erlangga,

Deptan, 2003. Evaluasi Musim Tanam 2002/2003 dan Pemantapan Rencana Tanam Musim Tanam 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Jakarta. Dunn, William N, 1998. (terjemahan) Samodra Wibawa dkk, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Effendi.S, 1976. Pupuk dan Pemupukan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gitosudarmo, 2001. Manajemen Strategis, Edisi Pertama Yokyakarta, BPFE. Haming, Murdifing and Nurnajamuddin, Mahfud (2005), Manajemen Produksi Modern, Jakarta Bumi Aksara. Firdaus, M.2009, Manajemen Agribisnis,Jakarta, Bumi Aksara. Hasibuan, M., 2008, Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Jakarta, Bumi Aksara. ------, 2000,Manajemen Sumber daya Manusia, Jakarta, Bumi Aksara. Kartasasmita, Ginanjar, 1996 Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Cetakan I, Jakarta Pustaka Cidesindo.

110

Kumorotomo, W.dan Margono,SA., 2004,Sistem Informasi Manajemen, Jogyakarta, Gadjah MadaUniversity Press. Simarmata. T,2007, Berswasembada dan Menjadi Reeksprtir Beras, Teknologi Melipatgandakan Produksii Padi dengan Sistem Intesifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) Univertitas Padjajaran Bandung .,2007, Perkembangan Teknologi untuk Meningkatkan Produksi Padi di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Industri Pertanian 2007, Bogor Institut Pertanian Bogor. ----------,2008,Teknologi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) untuk melipat gandakan Produksi Padi dan Mempercepat Pencapaian Kedaulatan Pangan di Indonesia Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Biologi Tanah pada Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Bandung Singarimbun dan effendi, 2005. Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES. Sisworo. H, 2007 Revolusi Hijau dan Swasembada Beras. Jakarta Departemen Pertanian. Siswanto, 2008,Pengantar Manajemen, Jakarta, Bumi Aksara. Sudirman dan Widjinarko. T,.2004,Akip dan Pengukuran Kinerja: Bahan Ajar Diklatpim Tingkat III, Lembaga Administrasi Negara- Republik Indonesia, Jakarta Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, Alfabeta. Sukirno S, 2007,Ekonomi Pembangunan Proses,Masalah, dan Dasar Kebijakan, Jakarta, Prenada Media Group. Soetomo, 2009, Pembangunan Masyarakat, Yogjakarta, Pustaka Belajar. Siagian, Sondang P.,2007,Manajemen Stratejik, Jakarta, Bumi Aksara. Sulaksana, U, (2004), Manajemen Perubahan,Yogyakarta, Pustaka Belajar.

111

Sztompka P, (2008), Sosiologi Perubahan sosial, Jakarta Prenada. Wibowo, 2007. Manajemen Perubahan, Jakarta Rajagrafindo Persada. Winardi, 2005, Manajemen Prubahan, Jakarta, Prenada Media Group. Wiraatmadja S, (1983) Pokok pokok Penyuluhan Pertanian, Jakarta Yasaguna.

112

Dokumen-Dokumen Lain Anonim, 1981. Dasar-Dasar Pembinaan Kelompok Tani Dalam Intensifikasi Tanaman Pangan, Satuan Pengendali Bimas, Jakarta. , 1990. Monitoring dan Evaluasi (Sistem Monitoring dan Evaluasi Proyek-Proyek Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Deptan, Jakarta. , 1999. Agronomika, Majalah Pertanian Vol.1 No. 1. Yayasan Peragi, Jakarta , 2000. Departemen Pertanian Masalah dan Tantangan Pembangunan. ,2001. Kebijakan Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, Jakarta. , 2002. Petunjuk Teknis Proyek Peningkatan Mutu Intensifikasi Padi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Gowa. , 2003. Teknologi Pengembangan Pertanian Organik, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar. 2005. Perlu Gerakan http//:www.eFeedGrain.com. Nasional Penggunaan Pupuk Organik,

, 2005. Pertanian Organik http//:www.beritabumi.com.

Berkembang

Pesat

di

Seluruh

Dunia,

, 2005. Produk Pertanian Organik Lebih Sehat Daripada Anorganik, http//:www.eFeedGrain.com. , 2006. Stardec, Pengaktif Mikroba Tanah Pengurai Bahan Organik, Lembah Hijau Multifarm, http//:www.lembahhijau.com. , 2006. Modul Manajemen Usahatani, Universitas Muhammadiyah, Malang. , 2009. Metode IPAT-BO. Tingkatkan Padi Tiga Kali Lipat, http//aborganik, Wordpress.com/2007/11/08/metode-ipat-bo-tingkatkan-produktivitas-padi-tiga-kalilipat (akses 20 November 2009).

113

, 2009. Padi Organik, Informasi Ringkas Teknologi Padi, http//:balitpa, Litbang Deptan, go.id. , 2009. Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Pertanian, www.indonet.co.id. , 2009. Laporan Pelaksanaan Demonstrasi IPAT _BO dan Biotech, Kab, Gowa. Dinas Pertanian , 2010. Prospek Pertanian Organik di Indonesia, www.agribisnis.go.id.

114

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

N a ma a Tempat / Tanggal Lahir Alamat

: Maryani Pagassingi : Gowa / 02 April 1968 : Bumi Jenetallasa Permai A4/16 Cambaya, Kab. Gowa, Telepon (0411)842360

Status Perkawinan Suami Anak

: Kawin : Mukhtar Ninra, S.Sos. : 1. Muhammad Fahmi Mukhtar (Makassar, 05 Agustus 2000) 7. Abdul Mughni Mukhtar (Makassar, 15 Januari 2003)

Nama Instansi Alamat Instansi Jabatan

: Dinas Pertanian Kabupaten Gowa : Jl. Mesjid Raya No. 30 Sungguminasa : Kepala Seksi Pemanfaatan Sumber Daya Bidang Pengolaham dan Pemasaran Hasil Pertanian

Pangkat / Golongan Riwayat Pendidikan

: Penata Tk. I / III-d :Tamat SD Tahun 1981 di SDN Inpres Limbung Tamat SMP Tahun 1984 di SMP Negeri I Limbung Tamat SMA Tahun 1987 di SMA Negeri I Limbung

115

Sarjana (S1) Tahun 1994 Fakultas Pertanian UMI Tahun 2009 sebagai Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi STIA LAN Makassar Riwayat Pekerjaan : 1. Pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 1999 pada golongan ruang III/a. 2. Pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil Tahun 2000 pada golongan III/a 3. Diangkat sebagai Pj. Kepala Seksi Alsintan Tahun 2001 pada golongan III/a 4. Diangkat sebagai Kepala Seksi Pemanfaatan Sumber Daya Tahun 2009 pada golongan III/d sampai sekarang.

116

Anda mungkin juga menyukai