Anda di halaman 1dari 8

Relasi antara Sustainable Development, CSR dan Comdev : sebuah tinjauan terhadap CSR PT Unilever Indonesia Tbk.

Konsep Sustainable Development dan Perkembangannya Ide tentang sustainability atau suatu keberlanjutan pada dasarnya berakar dari pemikiran yang menyuarakan kesadaran untuk menjaga lingkungan dari kerusakan agar tetap bisa mendukung keberlangsungan hidup manusia (Kingsbury 2004 : 289). Dalam aspek pembangunan, ide berkelanjutan disadur dan menjadi bentuk terbaru dari rangkaian ide tentang pembangunan. Kingsbury menjelaskan posisi ide tersebut di ranah pembangunan. As a consequence of the high costs of development, in environmental as well as other terms, there has increasingly been discussion about appropriate development and sustainable development, two ideas that often overlap. What is commonly referred to as appropriate development is where the level of technology is suitable for the needs and conditions of the area undergoing the process of development and does not require environmentally destructive or economically unsustainable industry. Sustainable development similarly means the idea that development can be sustained primarily in ecological terms, but also economically, politically, and socially. (Kingsbury 2004 :283)

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ini pada awalnya didefinisikan secara umum oleh World Commision on Economic Development (WCED) sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Tetapi definisi ini kurang operasional. Kemudian Ismail Seragaldin dari World Bank mengemukakan definisi yang lebih operasional, yaitu pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari jumlah total kapital--sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik, personal-- yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya minimal sama (Seragaldin 1996). Setelah itu, Daly (dalam Jalal 2011), menjelaskan keberlanjutan tersebut berupa piramida yang didasari oleh Environment, Economy,

Society dan Well-Being sebagai puncak. Menurut Daly, tanpa berfungsinya sistem alam, semua akan runtuh, tanpa berfungsinya sistem ekonomi, masyarakat tidak akan maju, dan tanpa berfungsinya sistem sosial, masyarakat tidak bisa berkembang. Oleh karena itulah tiga sistem tersebut harus berjalan secara seimbang untuk menciptakan kebaikan yang berkelanjutan.

Ide Sustainable Development dalam Corporate Social Responsibility (CSR)

Di sisi lain, pelaku bisnis, terutama perusahaan-perusahaan raksasa multinasional sedang berupaya memperbaiki citranya yang serakah dan merugikan banyak pihak melalui pengungkapan nilai-nilai kebajikan melalui media yang mereka sebut sebagai tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Sosial Responsibility/CSR). CSR memuat nilai etika bisnis yang menunjukkan perilaku etis dari perusahaan. Etika bisnis tersebut dianggap sudah ada sejak lama, namun resminya konsep CSR baru didefinisikan sejak tahun 1953 dalam buku Social Responsibility of Bussinesmen yang ditulis Howard Browen (Sukada dkk 2007:xiv). Pada awalnya, bentuk CSR yang paling umum adalah pemberian bantuan terhadap organisasi-organisasi lokal dan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Pendekatan CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan ini pada umumnya dilakukan secara ad-hoc, partial, dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini hanya sekadar do good danto look good, berbuat baik agar terlihat baik. Perusahaan yang melakukannya termasuk dalam kategori perusahaan impresif, yang lebih mementingkan tebar pesona (promosi) ketimbang tebar karya (pemberdayaan) (Suharto, 2008). Seiring dengan perkembangan ide sustainability development, dunia usaha pun mulai menyerapnya ke dalam kebijakan bisnis mereka, terutama dipahami sebagai upaya keberlanjutan dari keuntungan yang bisa mereka peroleh (Kingsbury 2004 : 289). Adopsi prinsip sustainability development kemudian menelurkan gagasan bussines sustainabilityatau corporate

sustainability yang merupakan pengakuan dan pengintegrasian tujuan dunia bisnis dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Wilson 2002 dalam Sukada dkk 2007:35). Kebijakan tersebut melihat peran potensial perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut : For the business enterprise, sustainable development means adopting business strategies and activities that meet the needs of the enterprise and its stakeholders today while protecting, sustaining and enhancing the human and natural resources that will be needed in the future. (Business Strategy for Sustainable Development (IISD), 1992 dalam Jalal 2011) If sustainable development is to achieve its potential, it must be integrated into the planning and measurement systems of business enterprises. (Robert Steele, AtKisson Group International dalam Jalal 2011)

Ide tentang sustainable development juga menjadi inspirasi bagi John Elkington dalam melahirkan prinsip utamatriple bottom line, yakni relasi yang seimbang antara profit, people, and

planet dalam manajemen perusahaan. Perusahaan dituntut tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people) (Elkington 1998 dalam Suharto 2008). Prinsip triple bottom line inilah yang kemudian menjadi tempat berpijak bagi konsep CSR yang modern, karena itu, konsep CSR yang modern dianggap sebagai pembumian gagasan besar pembangunan berkelanjutan (Sukada dkk 2007: 8). Sejarah panjang yang mempertemukan konsep dan praktik dari CSR dan sustainable development dapat kita lihat dari gambar di bawah ini yang merupakan time-line yang disarikan oleh Loew (2004 dalam Jalal 2011).

Gambar 1 : Pertautan Sustainable Development dan CSR (sumber : Loew 2004 dalam Jalal 2011)

Pengadopsian prinsip triple bottom line tersebut pada akhirnya membuat pemahaman akan CSR semakin kompleks dan terukur. Oleh karena itulah, dengan meliputi beragam sudut pandang dalam satu definisi terbuka tentang CSR, Blowfield and Frynas (2005, dalam Fynas 2009 : 6) mengajukan pemikirannya tentang CSR sebagai suatu istilah yang memayungi beragam teori dan praktik dari (a) tanggungjawab perusahaan terhadap dampak operasionalnya bagi masyarakat dan lingkungan alam, (b) perilaku bertanggungjawab dari perusahaan dalam berbisnis dengan shareholder (pemilik saham) danstakeholder (karyawan, pemasok/supply chain, dll), dan (c) kebutuhan bisnis untuk mengelola hubungan perusahaan dengan masyarakat

luas, apakah untuk alasan menjaga kepentingan bisnis maupun untuk alasan kebaikan bagi masyarakat. Lembaga standarisasi International Standard Organization (ISO) turut menguatkan pemahaman tersebut dengan memberikan batasan pada CSR sebagai: Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships. (ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility dalam Jalal 2011)

ISO 26000 menempatkan CSR sebagai pendekatakan yang integrative dan holistik, serta saling ketergantungan antara ruang lingkup CSR dengan core business perusahaan. Adapun ruang lingkup CSR yang menjadi standar dari ISO 26000 adalah the environment, community involvelment and development, human rights, labour practices, fair operating

practices dan consumer issues. Relasi antara ruang lingkup CSR tersebut dapat dilihat dari gambar yang sertakan dalam lampiran ISO 26000 (dalam Jalal 2011).

Gambar 2 : Cakupan CSR (sumber ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility dalam Jalal 2011)

Praktik CSR melalui Community Development (comdev) Implikasi dari pedoman ISO 26000 tersebut membuat prinsip-prinsip good corporate governance, yang menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR. CSR yang baik memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency,

accountability dan responsibility, secara harmonis, karena perbedaan mendasar diantara keempat prinsip. Tiga prinsip pertama cenderung pemegang bersifat shareholders-driven, saham perusahaan. karena lebih itu,

memerhatikan

kepentingan

Sementara

prinsip responsibility lebih mencerminkanstakeholders-driven, karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa

bagi stakeholdersperusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu. Dalam prinsipresponsibility ini pendekatan community development semakin banyak diterapkan karena lebih mendekati

konsepempowerment dan sustainable development (Supomo dalam Suharto 2008) Berdasarkan tinjauan dari beberapa peneliti, pelaksanaan CSR di negara berkembang lebih cenderung ke arah program comdev (lihat Kemp 2001, Susanto 2007, Sukada dkk 2007, Mursitama
dkk 2011). Seperti contoh, Lembaga Konsultan A+ CSR Indonesia (2009), menyatakan bahwa

program comdev adalah praktik CSR paling populer di Indonesia karena dianggap sebagai langkah strategis perusahaan berkontribusi positif bagi pembangunan rakyat Indonesia. Oleh karena itulah CSR saat ini memiliki peran penting dalam kancah pembangunan internasional. Di Negara berkembang, aktivitas-aktivitas CSR mengutamakan pengembangan aspek pendidikan, kesehatan dan kesejahteran masyarakat di level lokal melalui program comdev. Bahkan melalui CSR ini perusahaan juga berkomitmen untuk berperan serta pada pencapaian United Nations Millennium Development Goals (MDGs) (Fynas 2009 : 103). Akan tetapi, studi yang dilakukan oleh Jalal (2011) menunjukkan bahwa memang hanya comdev yang menjadi sorotan CSR di negara berkembang. Sementara itu di negara maju, CSR lebih kompleks, dengan tekanan ke banyak hal seperti perilaku bisnis berektika, HAM, hak buruh, anti korupsi dan kepedulian lingkungan. Kemudian, penelitian tersebut juga menemukan bahwa filantropi perusahaan adalah bentuk CSR yang memang paling umum dilakukan di negara

maju maupun negara berkembang. Ilustrasi dari penelitian tersebut dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

Gambar 3 : Penekanan CSR yang berbeda di negara maju dan negara berkembang (sumber : Kiroyan 2008 dalam Jalal 2011)

Selain itu, ISO 26000 juga menyarankan kegiatan CSR perlu diintegrasikan ke dalam inti bisnis yang dilakukan perusahaan, dengan tujuan bisa memberikan keuntungan bagi perusahaan (Sukada dkk, 2007). Sebagai bentuk keseimbangan dari profit, people dan planet, tidak dapat dipungkiri, perusahaan sebagai entitas bisnis turut menyertakan kepentingan mereka dalam aktivitas CSR-nya. Hal itu, dapat diwujudkan 2006). Menurut melalui Sukada dkk

penerapan comdev pada stakeholdersperusahaan (Charolinda

(2007:97), program comdev penting dilakukan pada stakeholders, terutama pada komuniti lokal sekitar perusahaan atau komuniti yang menjadi pemasok bahan baku (supply chain) bagi perusahaan, karena mereka memiliki peranan yang menentukan bagi kelangsungan hidup perusahaan, yakni memberi dukungan untuk menjaga keamanan dan kesinambungan operasional perusahaan. Dengan program comdev diharapkan terjadinya peningkatan kapasitas dan

partisipasi stakeholders dalam bekerjasama dengan perusahaan (Pardede & Finnahari, 2007 : 208). Dalam program CSR, jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan. Sebagai

contoh, penelitian Supomo (2004) menunjukkan perusahaan ekstraksi seperti PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar

sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Kemudian stakeholders dalam skala prioritas bagi perusahaan manufaktur produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya. Selain itu, studi Susanto (2007), menunjukkan bahwa Unilever juga termasuk perusahaan manufaktur yang menempatkan supplier bahan baku

sebagaistakeholders prioritasnya.

Praktik comdev sebagai CSR yang dilakukan oleh PT Unilever Indonesia Prioritas program comdev terhadap pemasok (supplier) tersebut merupakan salah satu cara yang ditempuh Unilever dalam mengembangkan kriteria pertanian yang berkelanjutan atau yang disebut dengan The Unilever Sustainable Agricultural Code (Unilever SAC). Unilever SAC ini mencakup praktek-praktek yang harus dipenuhi seluruh pemasok termasuk petani, sebagai acuan praktek pertanian yang berkelanjutan. Parameter yang tercakup dalam Unilever SAC adalah : perbaikan secara terus menerus, Agrokimia dan bahan bakar, Tanah, Air, Keanekaragaman Hayati, Energi, Limbah, Modal Sosial dan Sumber Daya Manusia, Kesejahteraan Hewan, Rantai pasok dan perekonomian petani, dan pelaksanaan pelatihan (Sumber:Kabar Tani edisi 07/2011).

Unilever SAC ini merupakan perwujudan misi Unilever Sustainable Living Plan (Misi ini
mencakup (1) peningkatan kesehatan dan kesejahteraan; (2) pengurangan dampak lingkungan; (3) peningkatan penghidupan), yang akan dicapai pada tahun 2020 sebagai komitmen Unilever pada tujuan

pembangunan berkelanjutan. Sesuai dengan kode tersebut, Unilever mengajak partisipasi pemasok dan juga petani untuk mengadopsi praktek pertanian yang berkelanjutan di lahan pertanian mereka. Di Indonesia, Unilever SAC akan diterapkan untuk komoditi kedele hitam, gula kelapa, teh, lalu komodii lainnya secara bertahap (Kabar Tani, edisi 07/April 2011). Terkait dengan itu studi Susanto (2007), terhadap CSR PT Unilever Indonesia menunjukkan bahwa pembentukan Yayasan Unilever Indonesia Peduli (YUI) bertujuan untuk menciptakan lembaga khusus yang menjalankan aktivitas CSR Unilever. Dalam pelaksanaan CSR, YUI bekerjsama dengan berbagai kalangan masyarakat, baik dari LSM, pemerintah, lembaga pendidikan, maupun kalangan bisnis. Salah satu prinsip CSR Unilever yang utama

adalah membangun sinergi kesuksesan bagi stakeholder (sebagai dampak rantai nilai). Dalam CSR terhadap supplier, Unilever menerapkan Supplier Quality Management

Programme (SQMP) guna meningkatkan kinerja dalam setiap rantai pasoknya. Selain itu, studi Radyati (2008), yang meneliti program comdev petani kedelai hitam sebagai pemasok bagi produksi Kecap Bango untuk PT Unilever Indonesia menemukan tujuan program ini adalah untuk menjaga keberlanjutan rantai pasok kedelai hitam yang berkualitas. Program ini menjalankan strategi pemberdayaan yang memberikan peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan pada kelompok tani binaan agar bisa menciptakan dan memelihara varietas kedelai hitam unggulan. Dalam program ini, ada dua prinsip utama yang menjaga keberlanjutannya, yaitu ; (1) adanya peran Unilever sebagai penjamin ketersediaan pasar bagi petani, (2) adanya aspek technical assistance dalam pelaksanaan comdev, yakni melalui kerjasama antara Unilever (YUI), perguruan tinggi (Universitas Gadjah Mada), LSM pemberdayaan (Persada, Spektra dan FIELD) dan pemda setempat (Radyati, 2008 : 94-96).

Anda mungkin juga menyukai