Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

FARMAKOTERAPI PASIEN SKIZOPRENIA



Disusun oleh:
Hijrofayanti (G1F011054)
Akwila Albert (G1F011056)
Yulia Nur Ulfa (G1F011058)
Inas Khairani (G1F011060)














Laboratorium Farmasi Klinik
Jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2014
KASUS I
SKIZOPRENIA PARANOID

A. SUBJECTIVE
Nama Pasien : Ny. R
Nomer Rekam Medik : 382xxx
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun
Berat badan : -
Tinggi badan : -
Status jaminan : Umum
Alamat : Bobotsari
Tanggal MRS : 26 September
Tanggal KRS : 29 September
Keluhan Umum : -
Riwayat MRS : Gelisah, sulit tidur, ketakutan, diam, mengurung diri, sakit
semenjak ikut pengajian akbar, semenjak 4 tahun yang lalu sering
ikut politik, merasa takut seperti berdosa dan di kejar kejar.
Alergi : -
Riwayat obat : -
Riwayat lifestyle : -
Alergi : -
Diagnosa : Paranoid

B. OBJECTIVE

C. ASSESMENT
1. Etiologi
Skizofrenia yang dapat diidentifikasi pada semua individu yang
didiagnosisdengan kondisi tersebut, saat ini sebagian peneliti dan dokter percaya
bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh factor kerentanan otak ( baik yang diwarisi
maupun diperoleh) dan peristiwa kehidupan (Ikawati, 2011). Studi menunjukan
bahwa genetika,perkembangan janin dalam kandungan, lingkungan
awal,neurobiology, proses psikologis dan factor social merupakan penyebab penting.
Meskipun tidak ada penyebab umum.
Penyebab skizofrenia telah diselidiki dan menghasilkan beraneka ragam
pandangan, tetapi tetap merupakan masalah yang kontroversial. Umumnya para ahli
mencari penyebab skizofrenia dengan mengajukan beberapa pendekatan,
diantaranya pendekatan secara fisiologis.Kemajuan ilmu dalam bidang biokimia
memberikan dasar untuk penelitian yang luas yang menghubungkan faktor-faktor
biokimia dengan skizofrenia. Penelitian yang telah dilakukan memberikan hasil
bahwa penyebab terjadinya skizofrenia karena adanya abnormalitas pada struktur
dan fungsi otak, peningkatan ukuran ventricular otak yang ditemukan pada penderita
skizofrenia. Faktor genetik juga merupakan salah satu penyebab skizofrenia, risiko
terjadinya skizofrenia pada populasi luas adalah 0.6 sampai 1.9%, resiko ini akan
meningkat menjadi 10% pada individu yang mempunyai hubungan biologis, resiko
untuk menjadi skizofrenia akan meningkat menjadi 40% pada individu yang kedua
orang tuanya menderita skizofrenia (Ikawati, 2011).

2. Patofisiologi
Secara terminologi, schizophrenia berarti skizo adalah pecah dan frenia
adalah kepribadian. Scizophrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi perasaan pikir, waham yang aneh,
gangguan persepsi, afek yang abnormal. Meskipun demikian kesadaran yang jernih,
kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu, mengalami hendaya berat dalam
menilai realitas (pekerjaan, sosial dan waktu senggang). Penyebab skizofrenia
sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, walaupun begitu banyak ahli yang
mencoba mengemukakan beberapa teorinya. Menurut Fortinash, penyebab
skizofrenia sebagai berikut:
a. Faktor biologi (teori teori somatogenesis)
Faktor faktor genetic (keturunan)
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang sangat
kuat mempengaruhi resiko seseorang mengalami skizofrenia.
Biochemistry (ketidakseimbangan kimiawi otak)
Beberapa bukti memunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari
ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter yaitu
kimiawi otak yang memungkinkan neuron neuron berkomunikasi satu
sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian bagian tertentu otak
atau dikarenakan sensivitas yang abnormal terhadap dopamine.
Neuroanatomy (abnormalitas struktur otak)
Berbagai teknik imaging, seperti MRI telah membantu para ilmuwan untuk
menemukan abnormalitas structural spesifik pada otak pasien.
b. Teori model keluarga
Beberapa pola asuh kelurga memyebabkan gangguan perkembangan anak.
c. Teori budaya dan lingkungan
Skizofrenia dapat terjadi pada semua status soasial ekonomi tetap seringkali
lebih banyak ditemukan pada kelompok dengan social ekonomi rendah.
d. Teori belajar
Perilaku, perasaan dan cara berpikir seseorang diperoleh dari belajar.
Patofisiologi skizofrenia melibatkan dopaminergik dan serotonergik. Skizofrenia
terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini
mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya
reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau
kombinasi dari faktor tersebut. Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizofrenia :
Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas dopaminergik
Hiperdopaminegia pada meso limbik berkaitan dengan gejala posistif
Hipodopaminergia pada meso kortis dan nigrostriatal bertanggungjawab terhadap
gejala dan gejala ekstrapiramidal.
Terdiri dari 3 fase :
a. Premorbid : semua fungsi masih normal
b. Prodomal : psikotik mulai nyata (isolasi, ansietas, gangguan tidur, curiga).
Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi- fungsi mendasar
(pekerjaan dan rekreasi) dan muncul symptom nonspesifik seperti gangguan tidur,
ansietas, konsentrasi berkurang, dan deficit perilaku. Simptom positif seperti
curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati
menjadi fase psikosis.
c. Psikosis :
Fase Akut : dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya waham, halusinasi,
gangguan proses piker, pikiran kacau. Simptom negative menjadi lebih parah
sampai tak mengurus diri. Berlangsung 4 8 minggu
- Stabilisasi : 6 18 bulan
- Stabil : terlihat residual, berlangsung 2- 6 bulan (Thompson, 2000).
Patofisiologi schizophrenia dihubungkan dengan genetic dan lingkungan. Faktor
genetic dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya schizophrenia.
Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah DA, 5HT, Glutamat,
peptide, norepinefrin (Price, 2006). Pada pasien skizoprenia terjadi hiperreaktivitas
system dopaminergik (hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik berkaitan dengan
gejala positif, dan hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan nigrostriatal
bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal) Reseptor dopamine
yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2) yang akan dijumpai peningkatan densitas
reseptor D2 pada jaringan otak pasien skizoprenia. Peningkatan aktivitas sistem
dopaminergik pada sistem mesolimbik yang bertanggungjawab terhadap gejala positif.
Sedangkan peningkatan aktivitas serotonergik akan menurunkan aktivitas dopaminergik
pada sistem mesocortis yang bertanggung-jawab terhadap gejala negatif (Ikawati, 2009).

Gambar 1. Mekanisme gejala positif dan negatif
(Silbernagl, 2009)
Adapun jalur dopaminergik saraf yang terdiri dari beberapa jalur menurut
(Ikawati,2009), yaitu :
1. Jalur nigrostriatal: dari substantia nigra ke basal ganglia fungsi gerakan, EPS
2. jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik memori, sikap,
kesadaran, proses stimulus
3. jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex kognisi, fungsi
sosial, komunikasi, respons terhadap stress
4. jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary pelepasan
prolaktin.

Gambar 2. Jalur dopaminergik
Dalam anatomi manusia, sistem ekstrapiramidal adalah jaringan saraf yang terletak
di otak yang merupakan bagian dari sistem motor yang terlibat dalam koordinasi
gerakan. Sistem ini disebut "ekstrapiramidal" untuk membedakannya dari saluran
dari korteks motor yang mencapai target mereka dengan melakukan perjalanan
melalui "piramida" dari medula. Para piramidal jalur (kortikospinalis dan beberapa
saluran corticobulbar) langsung dapat innervate motor neuron dari sumsum tulang
belakang atau batang otak (sel tanduk anterior atau inti saraf kranial tertentu),
sedangkan ekstrapiramidal sistem pusat sekitar modulasi dan peraturan (tidak
langsung kontrol) sel tanduk anterior (Ikawati, 2009).
Saluran ekstrapiramidal yang terutama ditemukan dalam formasi reticular pons dan
medula, dan neuron sasaran di sumsum tulang belakang yang terlibat dalam refleks,
penggerak, gerakan kompleks, dan kontrol postural. Ini adalah saluran pada
gilirannya dimodulasi oleh berbagai bagian dari sistem saraf pusat, termasuk
nigrostriatal jalur, ganglia basal, otak kecil, inti vestibular, dan daerah sensorik yang
berbeda dari korteks serebral. Semua peraturan komponen dapat dianggap sebagai
bagian dari sistem ekstrapiramidal, karena mereka memodulasi aktivitas motorik
tanpa langsung innervating motor neuron (Ikawati, 2009).
Pemeriksaan CT scan dan MRI pada penderita schizophrenia menunjukkan atropi
lobus frontalis yang menimbulkan gejala negatif dan kelainan pada hippocampus
yang menyebabkan gangguan memori (Price, 2006).
Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Pada otak terjadi proses
penyampaian pesan secara kimiawi (neurotransmitter) yang akan meneruskan pesan
sekitar otak. Pada penderita skizofrenia, produksi neurotransmitter-dopamin-
berlebihan, sedangkan kadar dopamin tersebut berperan penting pada perasaan
senang dan pengalaman mood yang berbeda. Bila kadar dopamin tidak
seimbang–berlebihan atau kurang– penderita dapat mengalami gejala
positif dan negatif seperti yang disebutkan di atas. Penyebab ketidakseimbangan
dopamin ini masih belum diketahui atau dimengerti sepenuhnya. Pada kenyataannya,
awal terjadinya skizofrenia kemungkinan disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor
tersebut. Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia,
antara lain: sejarah keluarga, tumbuh kembang ditengah-tengah kota,
penyalahgunaan obat seperti amphetamine, stres yang berlebihan, dan komplikasi
kehamilan.
Seringkali pasien yang jelas skizophrenia tidak dapat dimasukkan dengan mudah ke
dalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut ke dalam tipe tak
terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu :
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
- Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
(Maslim, 2003).
Kriteria diagnostic menurut DSM-IV yaitu:
Suatu tipe skizofrenia di mana ditemukan gejala yang memenuhi kriteria
A tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi atau katatonik.
Kriteria Diagnostik A:
Gejala karakteristik: dua atau lebih berikut, masing masing ditemukan untuk
bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati
dengan berhasil):
1) Waham
2) Halusinasi
3) Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau inkoheren)
4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5) Gejala negative yaitu, pendataran afektif, alogia atau tidak ada
kemauan(avolition)
Catatan: hanya satu gejala criteria A yang diperlukan jika waham adalah
kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengkomentari perilaku
atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap satu sama lainnya.
Teori neurokimia tentang skizofrenia berkembang dengan menganalisis efek
antipsikotik dan propspikotik obat pada manusia. Teori ini terutama berpusat pada
peran dopamine dan glutamate pada patofisiologi skizofrenia, walaupun peranan sel
tonin juga mendapat perhatian selama decade terakhir (Ikawati, 2011). Skizofrenia
antara lain disebabkan oleh pembesaran ventrikel otak, penurunan ukuran otak dan
perubahan bentuk otak menjadi asimetri. Psikosis dapat disebabkan oleh adanya
hiper atau hipoaktivitas dari proses dopaminergic pada bagian otak tertentu, hal ini
termasuk adanya gangguan reseptor dopamine (DA). Abnormalitas serotonin (5-HT)
pada penderita skizofrenia diketahui bentuk otaknya abnormal, akan memiliki kadar
serotonin (5-HT) yang lebih tinggi dalam darahnya. Disfungsi glutamatergik terkait
dengan defisiensi aktivitas glutamatergik menunjukan gejala yang mirip dengan
hiperaktivitas dopaminergic dan hal tersebut Nampak dalam skizofrenia.
3. Hubungan Data Laboratorium dengan Diagnosa Skizoprenia Paranoid
Bila terjadi stress, kecemasan, kegelisahan, maka tubuh akan bereaksi secara otomatis
berupa perangsangan hormon dan neurotransmiter, untuk menahan stresor, sehingga
penting untuk mempertahankan kondisi mental dan fisik mahluk hidup. Dalam hal ini stress
akan merangsang pusat hormonal di otak yang bernama hipotalamus (raja endokrin)
(Rippetoe-Kilgore, Mark and Lon, 2006).
penjelasan TD, RR, N meningkat)
Fungsi Hipotalamus adalah mengatur keseimbangan air, suhu tubuh, pertumbuhan
tubuh, rasa lapar, mengontrol marah, nafsu, rasa takut, integrasi respons syaraf
simpatis, mempertahankan homeostasis. Bila syaraf simpatis terangsang maka denyut
nadi dan jantung akan meningkat, aliran darah ke jantung, otak, dan otot pun
meningkat, sehingga tekanan darah pun akan ikut terpengaruhi, pemecahan gula di
hati meningkat sehingga gula darah ikut meningkat di darah. Kortisol yang dikeluarkan
oleh korteks adrenal karena perangsangan hipotalamus, menyebabkan rangsangan
susunan syaraf pusat otak. Tubuh waspada dan menjadi sulit tidur (insomnia)
(Rippetoe-Kilgore, Mark and Lon, 2006).
Menurut Maramis bila kita tidak dapat mengatasinya stress dengan baik, maka akan
muncul gangguan badan atau gangguan jiwa. Sumber stress psikologik adalah masalah
penyesuaian atau keadaan stress yang dapat bersumber pada frustasi, konflik, tekanan atau
krisis. Dalam stress ada yang disebut daya tahan stress atau disebut juga nilai ambang
frustasi (stress/frustation tolerance, frustratic drempel), yang pada setiap orang berbeda-
beda tergantung somato-psiko-sosial orang tersebut (Maramis, 1980:65).

4. DRP
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas
hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan social pasien.
Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs)
adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau
potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical Care
Network Europe., 2006).
Problem Paparan problem
Rekomendasi
( PLAN)
Terapi yang tidak tepat Pada kasus skizofrenia obat
Ampisilin 1gr 3x 1, pada
tanggal 26/9 kurang tepat
digunakan karena pasien tidak
mengalami infeksi.
CPZ lebih bagus untuk gejala
positif skizopren
hLp 5 , n untuk gejala positif.
Dari efek + ngeblok
dopamine(D2).jika dopamine
ditekan akan menyebabkan
peningkaan kadar
ekstrakpiramidal.
Tidak
direkomendasik
an peggunaan
Ampisilin
karena pasien
tidak
mengalami
infeksi.
Risperidon,
2ml/hari,dosis
ditingkatkan
secara
bertahapsetiap 2
hari sampai
tercapai indeks
terapi yang
tepat. Apabila
masih negative
ditingkatkan
lagi dosisnya
4ml sampai
6ml
stabilitasinya.
Risperidone
digunakan
sampai sembuh.
Tiap 6 bln
dimonitoring.
Untuk
mengatasi efek
samping ini
ditambah 3heksi
peridin 1ml/hari
2-3xsehari yang
ditingkatkan
menjadi 2mg 2-
3xsehari selama
3-5 hari,
ditingkatkan
sampai tercapai
dosis terapi.
Neurobat 5000
teteap
digunakan
sebagai terapi
suplemen
mengatasi nyeri
pada saraf.
IVFD D5%
tidak ada
interaksi obat
lain dan
digunakan
sebagai sumber
energy lain.
Interaksi Obat Tidak ada interaksi dilaporan
dari semua obat
Tidak ada interaksi
dilaporan dari
semua obat
Indikasi yang tidak
ditangani
Pasien mengalami insomnia
taetepi tidak diberi terapi
Diazepam 2mg
1xsehari, karena
mengalami
insomnia sedangkan
risperidon sedasinya
ringan.

D. PLAN
1. Tujuan Terapi
2. Terapi Farmakologi
No. NamaObat Regimen Dosis
TanggalPenggunaan
1 2 3 4
1. IVFD D5% 1 x 1 hari v
2. Risperidone Dosisawal : v v v v
2mg/hari,dosisditin
gkatkanbertahapseti
ap 2
harisampaitercapaid
osisterapi
3. Neurobat 5000 3 ml 1 ampul 1
harisampaigejalaak
uthilang.
Dosispemeliharaan:
2-3 x sehari 1 tab
v v v v
4. Triheksifenidil Dosisawal: 1 mg
kemudianditingkatk
anmenjadi 2 mg, 2-
3 x sehariselama 3-
5
hariatausampaiterca
paidosisterapi,
dimonitoringselama
3 bulan,
hentikanbilatidakad
agejala EPS.
v v v v
5. Diazepam 2 mg 3x sehari v v

Catatan :
1. Pada panduan pelayanan medis departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 dan
konsensus WHO disebutkan bahwa pemberian obat triheksifenidil bersama
dengan obat anti psikotik untuk mencegah munculnya EPS harus diawasi dengan
melakukan evaluasi ulang tiap tiga bulan dengan mengurangi dosis
triheksifenidil tersebut sampai hilang. Bila timbul EPS akibat pengurangan dosis
triheksifenidil, dosis dikembalikan ke dosis terapi dan tiap enam bulan
dievaluasi ulang.
2. Bila insomnia masih berlangsung, terapi ditambahkan golongan benzodiazepine.


3. Terapi Nonfarmakologi
1. Terapi Psikososial
Terapi psikososial pada umumnya lebih efektif diberikan pada saat penderita berada dalam
fase perbaikan dibandingkan pada fase akut (Sinaga, 2007). Terapi ini meliputi terapi
perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, dan psikoterapi individual (Kaplan,
1997).
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus
untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa di rumah sakit, dengan demikian
frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara
sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan (Kaplan, 1997).
Terapi perilaku memiliki tiga model pelatihan keterampilan sosial pada penderita
skizofrenia, yaitu (Sinaga, 2007):
1) Model keterampilan dasar
Model keterampilan dasar sering juga disebut dengan istilah keterampilan
motorik,merupakan model pendekatan yang mengidentifikasi disfungsi perilaku
sosial, kemudian dipilah menjadi tugas-tugas yang lebih sederhana, dipelajari
melalui pengulangan, dan elemen-elemen terasebut dikombinasikan menjadi
perbendaharaan fungsional yang lebih lengkap.
2) Model pemecahan masalah sosial
Model pemecahan masalah sosial dilaksanakan melalui modul-modul
pembelajaran seperti manajemen medikasi, manajemen gejala, rekreasi,
percakapan dasar, dan pemeliharaan diri.
3) Cognitive remediation
Penatalaksaanaan gangguan kognitif pada penderita skizofrenia bertujuan
meningkatkan kapasitas individu untuk mempelajari berbagai variasi dari
keterampilan sosial dan dapat hidup mandiri. Strategi penatalaksanaan meliputi
langsung pada defisit kognitif yang mendasari dan terapi kognitif perilaku
terhadap gejala psikotik. Penatalaksanaan langsung terhadap defisit kognitif yang
mendasari meliputi pengulangan latihan, modifikasi instruksi berupa instruksi
lengkap dengan isyarat dan umpan balik segera selama latihan. Sedangkan terapi
kognitif perilaku terhadap gejala psikotik bertujuan mengidentifikasikan gejala
spesifik dan menggunakan strategi coping kognitif untuk mengatasinya.
Contohnya seperti strategi distraksi, reframing, self reinforcement, test realita,
atau tantangan secara verbal. Penderita skizofrenia menggunakan strategi ini
untuk menemukan dan menguji kualitas disfungsi dari keyakinan yang irasional.

b. Psikoterapi individual
Psikoterapi individual yang diberikan pada penderita skizofrenia bertujuan
sebagai promosi terhadap kesembuhan penderita atau mengurangi penderitaan
pasien. Psikoterapi ini terdiri dari fase awal yang difokuskan pada hubungan antara
stres dengan gejala, fase menengah difokuskan pada relaksasi dan kesadaran untuk
mengatasi stres kemudian fase lanjut difokuskan pada inisiatif umum dan
keterampilan di masyarakat dengan mempraktekkan apa yang telah dipelajari
(Kaplan, 1997).
2. Terapi Humanistik
a. Terapi berorintasi keluarga
Prinsip dalam pendekatan psikososial ini adalah bahwa anggota keluarga pasien haus
dilibatkan dan terlibat dalam perlakuan proses kolaboratif sejauh mungkin. Anggota
keluarga umumnya berkontribusi untuk perawatan pasien dan memerlukan pendidikan,
bimbingan, dan dukungan, serta pelatihan membantu mereka mengoptimalkan peran
mereka (Ikawati, 2011).
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam
keadaan remisi parsial. Keluarga tempat pasien skizofrenia kembali seringkali
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari).
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga
adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga
mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur
terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang
sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya (Kaplan, 1997).
Terapi keluarga bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai skizofrenia.
Materi yang diberikan berupa pengenalan tanda-tanda kekambuhan secara dini, peranan
dari pengobatan, dan antisipasi dari efek samping pengobatan, dan peran keluarga terhadap
penderita skizofrenia (Sinaga, 2007).
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi
terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga
adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan angka
relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5-
10 % dengan terapi keluarga (Kaplan, 1997).
b. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan perhatian pada rencana,
masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara
perilaku, terorientasi secara psikodinamika, tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif,
bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia
(Kaplan, 1997).
Terapi kelompok meliputi terapi suportif, terstruktur, dan anggotanya terbatas,
umumnya 3-15 orang. Kelebihan terapi kelompok adalah kesempatan untuk mendapatkan
umpan balik segera dari teman kelompok, dan dapat mengamati respon psikologis,
emosional, dan perilaku penderita skizofrenia terhadap berbagai sifat orang dan masalah
yang timbul (Sinaga, 2007).

4. Monitoring
Obat Monitoring Target
keberhasilan Keberhasilan ESO
IVFD D5% Nilai elektrolit
cairan tubuh
Sakit pada tempat
pemberian,
menyebabkan edema,
hipokalemia,
hipopostemia,
hipomagnesia.
Nilai elektrolit
dalam cairan tubuh
menjadi seimbang.
Risperidone Gejala yang
ditimbulkan akibat
paranoid
Insomnia, agitasi,
sakit kepala, rasa
cemas, kelelahan,
pusing, konsentrasi
terganggu, konstipasi,
dispepsia,
mual/muntah, nyeri
abdominal, gangguan
penglihatan.
Dipantau 3-6
bulan, jika tidak
ada gejala, dosis
diturunkan secara
bertahap hingga
sembuh. Jika
gejala masih ada,
digunakan dosis
awal.
Neurobat 5000 Suplemen untuk
mengobati nyeri
saraf. Pengobatan
penunjang pada
penyakit saraf.
Nyeri saraf dan
gejala yang
dirasakan hilang.
Triheksifenidil Mengurangi gejala
ekstrapiramidal yang
disebabkan oleh
obat SSP
Mulut kering,
penglihatan kabur,
pusing, cemas,
konstipasi, retensi
urin, takikardi, dilatasi
Dipantau selama 3
bulan, jika tidak
ada gejala
ekstrapiramidal
pemberian
pupil, sakit kepala. dihentikan.
Diazepam Gejala sulit tidur Edema, mual dan
konstipasi, gejala-
gejala ekstrapiramidal.
jaundice dan
neutropenia, sakit
kepala, amnesia,
hipotensi, gangguan
visual dan retensi urin.
Gejala sulit tidur
hilang. Digunakan
selama masih sulit
tidur

5. KIE
a. KIE untuk tenaga kesehatan yang merawat pasien
Sediaan yang perlu diinjeksikan pada pasien yaitu IVFD D5% dan Neurobat
5000
Menginformasikan penggunaan terapi obat yang tepat kepada pasien
Memberi rasa nyaman, pelindung dan pembela, communicator mediator dan
rehabilitator.
Mendengarkan dan memberi respon kepada penderita serta berfokus kepada
pasien yang membutuhkan bantuan.
Mengontrol ketenangan, kecemasan dan relaksasi dalam berkomunikasi
dengan pasien.
Memberikan perhatian khusus dan informasi yang jelas sehingga mampu
menjalin hubungan yang baik dengan setiap pasien yang datang mengontrol
penyakitnya.
b. KIE untuk keluarga pasien
Memberi informasi mengenai tata cara minum obat dan frekuensinya
Nama Obat Jadwal
Minum
Jumlah Manfaat Hal yang perlu
diperhatikan
IVFD D5% Pagi 1 x sehari Nilai elektrolit
dalam cairan
tubuh menjadi

seimbang.
Risperidone Malam
Hari
1 tablet 2
mg
Untuk
mengobati
gejala yang
ditimbulkan
akibat paranoid
Ada efek
samping sakit
kepala,
konsentrasi
terganggu,
konstipasi,
dispepsia,
insomnia,
mual/muntah.
Neurobat
5000
1 x sehari
Pagi hari
sampai
gejala akut
hilang.

3 ml 1
ampul
Suplemen untuk
mengobati nyeri
saraf.
Pengobatan
penunjang pada
penyakit saraf.

Triheksifenid
il
3 x sehari
selama 3-5
hari. Pagi,
siang,
malam (8
jam sekali)
1mg
kemudian
ditingkatkan
menjadi 2
mg
Mengurangi
gejala
ekstrapiramidal
(kecemasan,
kesedihan,
paranoid, bicara
cadel, tremor)
yang
disebabkan oleh
obat SSP
Dipantau
selama 3 bulan,
jika tidak ada
gejala
ekstrapiramidal
pemberian
dihentikan.
Diazepam Malam
Hari

1 tablet 2
mg
Menghilangkan
gejala insomnia
Digunakan
selama masih
sulit tidur

Memberikan dukungan emosional pada pasien berupa persepsi dalam
melakukan perawatan di rumah, memberi kasih sayang, semangat, rasa
empati agar dirinya merasa berharga dan kenyamanan akan menurunkan
tingkat stress dan depresi dalam hal faktor penyakit.
Memberi keyakinan untuk sembuh, motivasi untuk minum obat, dan
memberikan pikiran positif pada pengobatan yang dijalani untuk kesembuhan
penyakitnya.
c. KIE untuk pasien
Memberikan jadwal minum obat seperti yang diberikan pada keluarganya.
Memberikan dukungan berupa moril, materi, spiritual, dan dukungan sosial
sehingga pasien termotivasi untuk lebih patuh dalam minum obat.
Membimbing pasien untuk dapat hidup beradaptasi dalam lingkungannya.
Membantu untuk mengatasi dengan mengurangi efek samping dan
membantu terjadinya remisi.
Memberikan edukasi pada pasien saat gejala penyakit datang dan hasil dari
terapinya.
Menjelaskan pentingnya minum obat dengan mengedukasi pasien dan
keluarganya mengenai kemungkinan terjadinya kekambuhan bila
pengobatan tidak dilanjutkan.



Rippetoe-Kilgore, Mark and Lon.Practical Programming for Strength Training . 2006
Maramis W.F., 1980, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press, Surabaya.
Dapus
Ikawati, Zullies, 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.
Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE), 2006, PCNE Classification for Drug related
Problems V5.01
Maslim, Rusdi, 2003, Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III, Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Price, Wilson, 2006, Patofisiologi, Jakarta: EGC
Silbernagl, Stefan, Florian Lang, 2009, Color Atlas of Pathophysiology, Georg Thieme Verlag
KG, Germany.
Ikawati, Zullies, 2009, Zullies Ikawatis Lecture Notes : Skizophrenia. Yogyakarta : UGM
Tambayong, Jan, 2001, Patofisiologi untuk keperawatan, EGC: Jakarta

Kaplan dan Sadock, 1997, Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis
Edisi 7 Jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta.
Sinaga, Benhard Rudyanto, 2007, Skizofrenia dan Diagnosis Banding, FKUI, Jakarta.
Ikawati, Zullies, 2007, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan, Pustaka Adipura,
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai