Anda di halaman 1dari 99

BUKU AJAR

PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU


Andi Detti Yunianti


Musrizal Muin




Diterbitkan oleh
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
2009
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. RUANG LINGKUP ........................................................................ 1
B. BAHAN TUGAS DAN DISKUSI ................................................ 3
C. LATIHAN .................................................................................... 4
D. BAHAN PENGAYAAN ............................................................ 4

BAB II PERTUMBUHAN POHON DAN ONTOGENI SEL ............ 11
A. PERTUMBUHAN POHON ............................................................ 11
B. PERTUMBUHAN BATANG DEWASA .................................... 16
C. ONTOGENI SEL ......................................................................... 19
D. BAHAN DISKUSI ......................................................................... 22
E. BAHAN PENGAYAAN ............................................................ 22
C. LATIHAN SOAL ......................................................................... 34

BAB III KUALITAS KAYU DAN PERLAKUAN SILVIKULTUR .. 35
A. KUALITAS KAYU .......................................................................... 35
B. INDIKATOR KUALITAS KAYU .................................................. 36
C. PERLAKUAN SILVIKULTUR .................................................. 42
D. BAHAN DISKUSI ......................................................................... 45
E. BAHAN PENGAYAAN ............................................................ 46
C. LATIHAN SOAL ......................................................................... 50



ii
BAB IV VARIABILITAS KAYU .............................................................. 51
A. VARIASI ARAH HORISONTAL .................................................. 52
B. VARIASI ARAH VERTIKAL .................................................. 59
D. BAHAN DISKUSI ......................................................................... 63
E. BAHAN PENGAYAAN ............................................................ 63
C. LATIHAN SOAL ......................................................................... 63

BAB V SYARAT KUALITAS PRODUK KEHUTANAN ........................... 64
A. PENGENALAN SIFAT-SIFAT KAYU ....................................... 64
B. SYARAT KUALITAS KAYU ................................................... 65
C. MENENTUKAN KUALITAS PRODUK ....................................... 69
D. BAHAN DISKUSI ......................................................................... 69
E. BAHAN PENGAYAAN ............................................................ 70

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 93











iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur disampikan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan hidayah-Nya
sehingga buku ajar mata kuliah Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu ini dapat
diselesaikan. Buku ini disusun oleh Tim Pengajar untuk menjadi salah satu sumber
belajar bagi mahasiswa di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Sebagai
sumber belajar, buku ini disusun dengan menggunakan rumusan bab per bab dengan
tujuan khusus masing-masing. Buku ini memuat aspek-aspek pertumbuhan pohon
dan ontogeni sel, kualitas kayu dan perlakuan silvikultur, variabilitas kayu, dan
syarat kualitas produk kehutanan.
Walaupun buku ini hanya menyangkut aspek-aspek umum dari pertumbuhan
pohon dan kualitas kayu, penulis berharap buku ajar ini dapat menjadi buku
pegangan mahasiswa Program Sarjana dalam menempuh studi dan mengembangkan
pengetahuan di Fakultas Kehutanan. Beberapa bahan pengayaan didalam buku ini
juga diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
berhubungan dengan pertumbuhan pohon dan kualitas kayu atau dalam
mengembangkan ilmu secara spesifik. Dengan selesainya buku ajar ini, penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Fakultas atas bantuan
dana yang disediakan.


Penulis


1
BAB I
PENDAHULUAN

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran
tentang pentingnya memahami hubungan antara pertumbuhan dan kualitas kayu.
Tujuan Khusus: Secara khusus bagian ini bertujuan untuk memberikan kemampuan
kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan bahwa penanaman pohon bukan semata-
mata untuk mengejar kuantitas tetapi juga perlu mempertimbangkan kualitas kayu
yang dihasilkan.
A. RUANG LINGKUP
Pohon tidak berbeda dengan tanaman lain dalam hal bahwa kedua kelompok
ini bertambah tinggi dengan pertambahan umurnya. Bedanya adalah bahwa pohon
memiliki kemampuan untuk mempertahankan pertumbuhannya dalam jangka waktu
bertahun-tahun dan memperbanyak lapisan-lapisan pertumbuhannya dalam arah
tinggi dan diameter. Hasil utama dari proses pertumbuhan berupa kayu telah
dimanfaatkan dan menjadi bagian dari kebutuhan manusia sejak lama, bahkan sejak
hasil hutan tersebut dikenal manusia. Dari kayu, manusia dapat memproduksi
berbagai produk untuk bermacam-macam keperluan dalam berbagai bidang
kehidupan. Dalam pemanfaatannya, kayu yang diambil dari pohon dapat digunakan
langsung sebagaimana adanya. Kayu juga dapat digergaji dan dibentuk untuk
menjadi bahan konstruksi. Dari kayu pula dibuat produk-produk panel/ komposit,
kertas, dan bahan energi. Apabila besarnya manfaat dan kegunaan kayu tersebut
dilihat secara lebih seksama, maka sudah seharusnyalah kalau semua orang yang
terlibat dari sejak ditanam hingga digunakan perlu berfikir dan bertindak secara
komprehensif. Dengan kata lain, barang siapa dalam aktivitasnya, baik langsung
maupun tidak langsung, terlibat dalam pengurusan pohon dan kayunya harus dapat
2
memahami, menjelaskan, dan menganalisis hubungan antara pertumbuhan dan
kualitas kayu. Dengan demikian, usaha-usaha yang dilakukan memiliki arti bagi
banyak pihak.
Untuk memenuhi tuntutan komprehensif seperti dikemukakan di atas masih
memerlukan usaha-usaha mendasar dalam bentuk pengembangan pengetahuan,
khususnya yang berhubungan dengan interaksi antara kegiatan penanaman pohon
dan pemanfaatan kayu. Apa yang umum terjadi saat ini adalah terjadinya pemisahan
antara orang yang bekerja dalam kegiatan seperti penanaman dan pemeliharaan
pohon (forester) dengan orang yang bekerja sebagai pembuat berbagai produk kayu
(manufacturer). Kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya, forester bekerja
bertahun-tahun untuk meningkatkan produksi kayu. Dalam aktivitasnya, berbagai
teknik dan usaha dikembangkan agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik, membuat suatu kawasan menjadi hijau, dan dapat menghasilkan kayu
dalam jumlah yang besar. Pada sisi lain, manufacturer juga secara terus menerus
meningkatkan teknologi pengolahan agar kayu-kayu yang dihasilkan dapat diolah
dengan baik agar terjadi efisiensi produksi. Dengan demikian sangat disayangkan
bahwa pada skala yang luas, setiap orang dari kelompok tersebut hanya bekerja
sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan yang diinginkan masing-masing tanpa
memperhatikan kepentingan dan keterbatasan satu sama lain. Pihak foresters sangat
senang dan puas apabila mereka mampu membuat pertumbuhan tanaman
berlangsung dengan baik dan cepat. Demikian pula halnya dengan pihak
manufacturers yang sangat bangga dengan kemajuan teknologi pengolahan kayunya.
Kedua pihak tersebut jarang atau bahkan tidak memperhatikan kalau pertumbuhan
pohon yang baik dan cepat tidak selamanya cocok untuk tujuan penggunaan industri
tertentu dan teknologi industri perkayuan yang maju tidak selamanya bermuara pada
nilai produksi kayu yang tinggi.
3
Kondisi seperti dikemukakan di atas tidak jarang membuat produksi kayu
yang banyak dari hutan tidak banyak memberikan manfaat karena kayu yang
dihasilkan tersebut tidak sesuai dengan keinginan pihak industri. Apa yang terjadi
dalam keadaan seperti itu adalah inefisiensi manfaat, baik dari aspek ekologi maupun
aspek ekonomi. Pembahasan-pembahasan yang dimuat dalam buku ini diharapkan
dapat memberikan dasar-dasar pemahaman kepada mahasiswa program sarjana
kehutanan bahwa penanaman bukan semata-mata untuk mengejar kuantitas tetapi
juga sangat perlu memperhatikan kualitas hasil. Lebih lanjut, mahasiswa juga
diharapkan dapat menganalisis situasi pertumbuhan suatu jenis pohon dalam
hubungannya dengan pendugaan kualitas kayu yang dihasilkan. Pada skala yang
lebih luas, buku ajar ini dapat dijadikan acuan bagi pemenuhan kepentingan dua
pihak (foresters dan manufacturers) dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
pengembangan tanaman kehutanan dan diversifikasi produk hasil hutan.

B. BAHAN TUGAS DAN DISKUSI

Pada bagian ini, mahasiswa secara sendiri-sendiri diminta untuk memperhatikan
sekelompok pohon yang tumbuh di dalam kampus Unhas dan mengidentifikasi
keadaan pertumbuhan batang dan cabangnya. Pada waktu pertemuan berikutnya,
diskusi dalam kelas dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Peserta mata kuliah dibagi atas tiga kelompok
2. Setiap kelompok memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal
kelompoknya untuk mengidentifikasi hal-hal atau keadaan yang berhubungan
dengan pertumbuhan pohon, produktivitas kayu, dan kualitas kayu yang
dihasilkan.
3. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas
untuk ditanggapi oleh kelompok lainnya.
4
4. Setiap mahasiswa membuat tulisan mengenai pentingnya pengetahuan tentang
kualitas kayu bagi sarjana kehutanan
C. LATIHAN
J elaskan pentingnya pengetahuan tentang kualitas kayu bagi sarjana kehutanan !

D. BAHAN PENGAYAAN
Sebagai referensi untuk dapat mengerjakan tugas dan diskusi seperti dikemukakan di
atas, berikut diberikan suatu paper yang ditulis oleh Muhdi, Program Ilmu
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, tentang PENGARUH
ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU (2004
Digitized by USU digital library)

I. PENDAHULUAN

Laju pertumbuhan pohon dan macam pohon apa yang tumbuh di suatu lokasi
tergantung atas faktor tapak atau tempat tumbuh (Syafii Manan, 1992 dalam Manual
Kehutanan). Lebih lanjut disampaikan bahwa tapak adalah sebuah tempat dipandang
dari segi faktor-faktor ekologi dalam hubungan kemampuannya untuk menghasilkan
hutan atau vegetasi lainnya, atau dengan kata lain gabungan kondisi biotik, iklim dan
tanah dari sebuah tempat. Faktor iklim dan keadaan tanah merupakan faktor dominan
dalam pertumbuhan tanaman. Iklim terdiri atas unsur-unsur temperatur, kelembaban
udara, intensitas cahaya dan angin, sedangkan keadaan tanah meliputi sifatsifat fisik
tanah, biologi dan kelembaban tanah. Respon tanaman sebagai akibat faktor
lingkungan terlihat pada penampilan fisiologi dan morfologi tanaman. Berdasarkan
formasi klimatis tipe hutan terdiri dari tipe hutan tropika, hutan musim dan hutan
gambut, sedangkan berdasarkan formasi edafis terdiri dari tipe hutan rawa, hutan
payau dan hutan pantai.
5
II. KLASIFIKASI TIPE HUTAN BERDASARKAN FORMASI KLIMATIS

1). Hutan Hujan Tropika
Tipe hutan ini terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B, jenis tanah
didominir oleh jenis litosol, alluvial dan regosol dan berjarak relatif jauh dengan
pantai. Terdiri dari :
- Hutan hujan tropika bawah (0-1000 m dpl). Hutan ini didominir oleh famili
Dipterocarpaceae, terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica,
Dryobalanops dan Cotilobium. J enis lain yang dijumpai adalah dari famili
Lauraceae, Myrtaceae, Myristicae dan Ebenaceae.
- Hutan hujan tropika tengah (1000-3300 m dpl). Hutan ini umumnya
didominir oleh genus Quercus, Catanopsis dan Nothogus. Di Aceh dan
Sumatera Utara terdapat Pinus merkusii dan di J awa Tengah terdapat
Albizia motana. Di Sulawesi terdapat kelompok Agathis sp dan Podocarpus
dan di J awa Timur terdapat kelompok Casuarina spp.
- Hutan hujan tropika atas (3300-4100 m dpl). Umumnya merupakan
kelompok-kelompok yang terpisah-pisah oleh padang rumput dan belukar.
Di Irian J aya terdapat jenis Dacrydium, Libercedrus dan Podocarpus.

2). Hutan Musim
Tipe hutan ini dijumpai pada daerah yang memiliki tipe iklim C dan D.
- Hutan musim bawah (0-1000 m dpl). J enis pohon yang merupakan ciri khas
hutan ini di J awa, diantaranya adalah jenis Tectona grandis, Acacia
leucoploea, Azideracta indica dan Caesalpinia dugiana. Di kepulauan
Nusa Tenggara terdapat Eucalyptus alba, Santalum album, sedangkan di
Maluku dan Irian J aya dijumpai adanya jenis Melaleuca leucadendron,
Eucalyptus spp dan Timonius ceppycus.
6
- Hutan musim tengah dan atas (1000-4100 m dpl). J enis-jenis yang
merupakan ciri khas untuk tipe hutan ini adalah di J awa Tengah dan J awa
Timur Casuarina junghuiana dan Indonesia Timar Eucalyptus spp. Dan di
Sumatera Pinus merkusii.

3). Hutan Gambut
Hutan ini terletak pada daerah yang mempunyai iklim tipe A dan B dengan jenis
tanah organosol yang memiliki gambut setebal 50 cm atau lebih. Di Indonesia
terdapat di sepanjang Sungai Barito, Kalimantan Selatan dan Irian J aya bagian
Selatan. J enis pohon yang mendominasi diantaranya adalah Alstonia spp, Dyera spp,
Diospyros serta Myrestica. Di Sumatera Selatan dan di Kalimantan banyak dijumpai
je nis Gonystylus spp.

III. KLASIFIKASI TIPE HUTAN BERDASARKAN FORMASI EDAFIS

1). Hutan Rawa
Tipe hutan ini dapat dijumpai pada daerah-daerah yang selalu tergenang air, tidak
terpengaruh oleh iklim. Pada umumnya terletak di belakang hutan payau dengan
jenis tanah alluvial. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon yang mencapai 40 m
dan terdiri atas banyak lapisan tajuk.

2). Hutan payau
Penyebaran hutan ini terdapat pada daerah-daerah pantai yang selalu teratur
tergenang oleh air laut dan terpengaruh pasang surut. J enis pohon utama adalah
Avecenia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp dan Bruguera spp.

3). Hutan pantai
Terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai, tidak terpengaruh oleh iklim,
7
tanah berpasir dan berbatu-batu dan terletak di garis pasang tertinggi.
J enis pohon yang terdapat diantaranya adalah Barringtonia speciosa, Terminalia
cattapa, Callophyllum inophylum, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia dan
Pisonia grandis.

IV. POHON YANG BIASA HIDUP DI ELEVASI TINGGI DI TANAM DI
ELEVASI RENDAH

Seperti telah disinggung di atas bahwa faktor lingkungan berpengaruh terhadap
penampilan fisiologis tanaman dan morfologi tanaman. Tanaman yang biasa hidup di
daerah elevasi tinggi adalah jenis yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi
iklim yang temperaturnya rendah, kelembaban tinggi dan intensitas matahari kurang.
Faktor-faktor ini berpengaruh terhadap fotosintesis dan kegiatan fisiologi lainnya.
Untuk itu morfologi tanaman juga menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dengan
maksud agar proses fisiologi tanaman dapat berjalan dengan optimal. Bentuk
morfologi tanaman yang nyata untuk jenis tanaman yang biasa hidup di daerah tinggi
adalah bentuk daunnya kecil, batang pohon tinggi dan tajuk berbentuk kerucut. Ciri-
ciri ini identik dengan cirri-ciri jenis pohon konifer atau daun jarum. Untuk itu jenis
vegetasi pada daerah elevasi tinggi banyak didominasi oleh jenis daun jarum. J umlah
daun jarum pada suatu pohon jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan
jumlah daun pada jenis pohon daun lebar. J umlah daun yang banyak tersebut
memungkinkan jumlah klorofil dan luas penampang permukaan daun menjadi
banyak, sehingga pohon tersebut mampu memanfaatkan intensitas sinar matahari
yang tidak terlalu tinggi untuk kegiatan fotosintesis secara optimal. Temperatur yang
rendah dan kelembaban yang tinggi, akan menyebabkan proses transpirasi
(penguapan) terhambat, sedangkan di sisi lain jumlah air yang terserap oleh akar dan
digunakan untuk proses metabolisme banyak. Dengan jumlah penampang daun yang
8
besar tersebut serta bentuk tajuk yang kerucut akan membantu percepatan proses
penguapan, sehingga proses penguapan dapat berlangsung dengan baik.

Kondisi lain pada daerah yang memiliki elevasi tinggi adalah jumlah konsentrasi
CO2 yang relatif lebih kecil bila dibandingkan pada daerah yang lebih rendah.
Padahal CO2 adalah bahan baku dalam proses fotosintesis untuk diubah menjadi
karbohidrat. Dengan jumlah klorofil yang banyak, maka dapat dimungkinkan jumlah
CO2 yang tertangkap juga lebih banyak, sehingga hasil fotosintesis juga menjadi
banyak.

Dengan kondisi tersebut di atas maka jenis konifer mempunyai daerah sebaran hidup
berdasarkan ketinggian tempat yang beragam bila dibandingkan dengan jenis daun
lebar. Sebagai contoh adalah jenis pohon Agathis spp (damar) yang mampu hidup
dengan baik mulai ketinggian 10 m dpl sampai 1650 m dpl.

Berdasarkan uraian dan data pertumbuhan jenis damar pada berbagai elevasi, maka
jenis pohon yang biasa hidup di elevasi tinggi ditanam di elevasi yang rendah, pohon
tersebut masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan, pada
daerah yang rendah temperatur lebih panas, kelembaban lebih rendah dan intensitas
sinar matahari lebih besar. Kayu daun jarum akan memanfaatkan intensitas sinar
matahari sesuai kebutuhannya, maksudnya bila terlalu lebih maka akan dimanfaatkan
sesuai dengan kemampuan klorofil yang dimilikinya.

V. POHON YANG BIASA HIDUP DI ELEVASI RENDAH DITANAM DI
ELEVASI TINGGI

Tidak demikian halnya bila pohon biasa hidup di elevasi rendah, kemudian ditanam
di elevasi tinggi, maka jenis pohon ini pertumbuhannya akan menjadi lambat. Hal ini
9
disebabkan karena pohon yang biasa hidup di daerah elevasi rendah dengan kondisi
iklim yang umumnya temperatur tinggi, kelembaban rendah dan intensitas sinar
matahari besar, memiliki kepekaan menangkap sinar mat ahari yang lebih rendah.
Sehingga bila ditanam pada elevasi tinggi yang memiliki intensitas sinar matahari
rendah akan sangat mengganggu kegiatan fotosintesisnya, sehingga pertumbuhannya
juga akan lebih lambat.

Dari beberapa data persen kayu teras jenis kayu matoa menurut daerah iklim dan
kelas ketinggian tempat yang dikemukakan dapat diketahui bahwa semakin tinggi
elevasinya maka jumlah prosentase kayu terasnya semakin besar. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan pembentukan sel baru yang berasal dari pembelahan
adalah sangat lambat dan yang lebih banyak terjadi adalah proses penuaan sel. Di
dalam kayu teras semua sel-sel penyusunnya adalah sel yang sudah mati dan tidak
mengalami penambahan besarnya sel. Lebih lanjut dapatlah diketahui bahwa riap
atau pertambahan volume pohon juga kecil atau pertumbuhannya lebih lambat bila
dibandingkan pada daerah yang ketinggiannya lebih rendah. J enis matoa adalah salah
satu contoh jenis tanaman daun lebar, yang pada umumnya hidup baik pada daerah
yang elevasi rendah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa bila jenis pohon yang
biasa hidup di elevasi rendah kemudian ditanam pada daerah yang elevasinya lebih
tinggi, maka pertumbuhannya akan menjadi lambat.

VI. KESIMPULAN

1. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap penampilan fisiologis tanaman dan
morfologi tanaman.
2. Tanaman yang biasa hidup di daerah elevasi tinggi adalah jenis yang mampu
menyesuaikan diri dengan kondisi iklim yang temperaturnya rendah, kelembaban
10
tinggi dan intensitas matahari kurang. Faktor-faktor ini berpengaruh terhadap
fotosintesis dan kegiatan fisiologi lainnya.
3. Bila pohon biasa hidup di elevasi rendah, kemudian ditanam di elevasi tinggi,
maka jenis pohon ini pertumbuhannya akan menjadi lambat. Hal ini disebabkan
karena pohon yang biasa hidup di daerah elevasi rendah dengan kondisi iklim
yang umumnya temperatur tinggi, kelembaban rendah dan intensitas sinar
matahari besar, memiliki kepekaan menangkap sinar matahari yang lebih rendah.
11
BAB II
PERTUMBUHAN POHON DAN ONTOGENI SEL

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran
bagaimana pohon tumbuh dan menyusun sel-selnya.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus bertujuan untuk memberikan kemampuan
kepada mahasiswa untuk menjelaskan dan memerinci tahap-tahap pertumbuhan
pohon dan perkembangan sel, termasuk menggambarkan batang yang sedang
berkembang.

A. PERTUMBUHAN POHON

Pohon adalah tumbuhan berkayu yang mencapai tinggi sekurang-kurangnya 6
meter pada saat dewasa di lokasi tertentu dan biasanya (tidak selalu) memiliki batang
tunggal (Panshin and de Zeeuw, 1980). Sedangkan tumbuhan berkayu adalah
tumbuhan yang mempunyai ciri-ciri : (1) Tumbuhan bersaluran (vascular plant)
yaitu memiliki jaringan pengangkutan khusus, yang terdiri atas xylem (kayu) dan
phloem (kulit), (2) Tumbuhan perennial yaitu tumbuhan yang hidupnya lebih dari
dua tahun, (3) Tumbuhan berkayu memiliki batang yang hidup dari tahun ke tahun,
(4) Tumbuhan berkayu tertentu, termasuk semua kayu perdagangan, melakukan
penebalan sekunder, yaitu menambah besarnya batang dengan menambah besarnya
diameter pohon.
Dalam pengertian botanis, kayu adalah suatu bahan yang merupakan bahan
mentah yang berasal dari proses metabolisme organisme hidup yaitu tumbuhan-
tumbuhan yang berbentuk pohon. Pohon sebagai penghasil kayu dalam sistem
botanis diklasifikasikan dalam divisi spermatophyta. Divisi spermatophyta dibagi ke
dalam dua sub-divisi, yaitu Gimnospermae dan Angiospermae. Perbedaan utama dari
12
kedua sub-divisi ini adalah terutama dari bijinya. Gimnospermae berbiji telanjang
sedangkan Angiospermae berbiji tertutup oleh bakal buah.
Pertumbuhan merupakan hasil dari interaksi berbagai proses fisilogis dan
untuk mengetahui mengapa pertumbuhan pohon berbeda pada berbagai variasi
keadaan lingkungan dan perlakuan diperlukan pengertian bagaimana proses
fisiologis dipengaruhi oleh lingkungan (Thojib, 1988). Proses fisiologis adalah
fotosintesa, respirasi dan transpirasi. Pada dasarnya, pohon tumbuh melalui dua jalur
pertumbuhan yaitu pertumbuhan primer dan pertumbuhan sekunder. Pertumbuhan
primer adalah pertumbuhan yang membuat batang menjadi panjang dan membuat
cabang karena adanya titik tumbuh apical diujung pohon. J aringan yang terbentuk
oleh titik tumbuh apikal disebut jaringan primer. Pertumbuhan sekunder adalah
pertumbuhan yang membuat diameter batang menjadi besar. Penambahan besarnya
batang dilakukan melalui kegiatan lapisan tumbuh yang disebut kambium. Kambium
terletak di antara bagian luar kayu dan bagian dalam kulit. Kambium membentuk
kayu baru dan kulit baru setiap tahun dan berkembang di antara kayu dan kulit yang
dibentuk terdahulu. J aringan yang terbentuk oleh meristem lateral disebut jaringan
sekunder. Pertumbuhan sekunder tidak membentuk tipe sel baru dan merubah
struktur kayu, karena yang bertanggug jawab pada hal tersebut adalah pertumbuhan
primer. Secara lebih rinci bagaimana kayu tumbuh dapat dilihat pada Gambar 1.









13


Gambar 1. J aringan Pertumbuhan Tanaman (Brown et al, 1949)

Pada irisan pertama (A) dari titik tumbuh apikal terbentuk jaringan
promeristem yang bertugas membelah diri secara cepat dengan tanpa mengalami
diferensiasi. Metode pembelahan yang dilakukan mengikuti prinsip tunica-corpus
dimana tunica (bagian pinggir) membelah dengan cara antiklinal yaitu pembelahan
14
dengan bidang belah tegak lurus pada permukaan, sedangkan corpus (bagian dalam)
membelah dengan cara periklinal yaitu pembelahan dengan bidang belah sejajar
dengan permukaan. J aringan dermatogen yang berfungsi sebagai pelapis luar
berkembang pada bagian tepi dari jaringan promeristem.
Pada irisan kedua (B), sudah terjadi diferensiasi sel hasil pembelahan
promeristem. Sisi luar sebagai pelindung masih dilakukan oleh dermatogen,
sedangkan bagian tengah terjadi perkembangan, perubahan bentuk, dan ukuran serta
isi sehingga diperoleh jaringan pleromo sebagai inti dan periblem disebelah luarnya.
Ketiga jaringan merupakan awal perbedaan (induk) dari diferensiasi jaringan
dibawahnya walaupun secara phisiologi dan morphologi tidak berbeda.
Pada irisan ketiga (C), epidermis yang berkembang dari dermatogen
menutupi sisi bagian luar. Bagian dalam (plerome) bertambah dewasa menjadi stele,
sedangkan periblem berkembang menjadi cortex. Pada bagian stele mulai
berkembang jaringan vaskular yaitu xylem primer (bagian stele) dan phloem primer
(bagian cortex). Terdapat kambium diantara xylem primer dan phloem primer.
Pada irisan keempat (D), akibat pertumbuhan sekunder telah terjadi
pertambahan diameter pohon yang dilakukan oleh kambium dengan membentuk
xylem sekunder (bagian dalam) dan phloem sekunder (bagian luar) sehingga jaringan
yang melakukan diffrensiasi lebih sempurna. Aktifitas pada bagian stele mulai
berkurang bahkan mati, biasanya disebut hati (pith). Setelah pith terdapat xylem
primer yang terdesak akibat perkembangan kambium ke arah dalam yang
membentuk xylem sekunder. Perkembangan kambium ke arah luar membentuk
phloem sekunder, berbatasan dengan cortex terdapat phloem primer. Setelah cortex
dibagian luar terdapat epidermis yang telah mengalami perpecahan jaringan akibat
pertumbuhan sekunder (pertambahan diameter) dan terbentuk lapisan pengganti yang
disebut hypodermis.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon
dimulai dengan mengaktifkan meristem apikal. Selanjutnya, hormon pertumbuhan
15
diproduksi dekat meristem apikal dan didistribusikan melalui sistem vaskular pohon.
Hormon tersebut kemudian mengaktifkan kambium dan terjadilah penebalan
sekunder (diameter).

Karena hormon menyebar dari tajuk ke batang, maka
pertambahan diameter tidak terjadi secara bersamaan dan ada perbedaan konsentrasi
hormon dalam penyebarannya.

Pada saat diaktifkan, kambium menghasilkan sel-sel
kayu dan kulit.

Sel-sel kulit bagian dalam disebut phloem, suatu lapisan tipis yang
dibentuk berbatasan dengan lapisan luar kambium.

Pada saat lapisan kulit baru
dibentuk, kulit lama berangsur-angsur mati dan dapat lepas dari pohon.

Sel-sel kayu
yang disebut xylem dibentuk ke arah dalam dari kambium.

Pada saat hormon-
hormon pertumbuhan diproduksi banyak, sel-sel xylem yang dibentuk akan panjang
dengan rongga yang besar dan dinding yang tipis.

Pada saat hormon-hormon
pertumbuhan yang diproduksi sedikit, sel-sel xylem yang dibentuk akan pendek,
rongga yang kecil dan dinding yang tebal. Secara umum, pembentukan organ-organ
tanaman dan pertumbuhannya dapat dikatakan sebagai hasil dari 3 proses, yaitu
pembelahan sel (cell division), perpanjangan sel (cell expansion), dan diferensiasi sel
(cell differentiation). Semua proses ini dikontrol oleh faktor-faktor internal &
eksternal. Arah pertumbuhan dan bentuk organ ditentukan oleh lokasi dan arah
pembelahan sel serta perluasan dan arah pembesaran sel.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon yaitu lingkungan dan
genetik. Faktor lingkungan secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan
melalui proses-prose fisiologis yang terjadi di dalam pohon. Faktor genetik antara
lain potensi untuk berproduksi, ketahanan terhadap hama penyakit, daya tahan
terhadap kekeringan. Menurut Zobel dan Talbert (1984) pertumbuhan pohon bukan
hanya dipengaruhi oleh salah satu dari faktor lingkungan atau genetik tetapi interaksi
keduanya. Menurut Thojib (1988) interaksi keduanya melalui proses fisiologi
internal dan kondisi pohon, mengontrol kuantita dan kualita pertumbuhan
ditunjukkan oleh Kleb yang dikenal dengan konsep Kleb (1913-1918).

16
Konsep Kleb.
Potensi keturunan Faktor-faktor lingkungan

Genetik dan bastar Ekologi, ilmu tanah, meterologi,
Entomologi, patologi

Proses fisiologis internal dan kondisi fisiologi pohon

B. PERTUMBUHAN BATANG DEWASA

Gambaran bagaimana batang berkembang dijelaskan oleh oleh Panshin & de
Zeeuw (1980). Secara umum dikenal ada dua kelompok pohon komersial, yaitu
konifer dan deciduous. Konifer, juga dikenal sebagai evergreen atau softwood atau
kayu daun jarum. Sedangkan deciduous disebut juga kayu daun lebar atau hardwood.
Kedua jenis ini mempunyai morfologi yang berbeda. Lebih dari itu, kedua kelompok
jenis kayu tersebut juga memiliki sifat anatomi, fisik, dan kimia yang berbeda. Dari
aspek morfologinya, kayu daun jarum mempunyai bentuk batang lurus (monopodial)
sementara kayu daun lebar memiliki sejumlah cabang yang mengarah ke atas dan ke
bawah dengan masing-masing mempunyai titik tumbuh apikal. Kayu daun lebar
umumnya mempunyai beberapa percabangan dan kecenderungan membentuk kayu
reaksi. Kayu daun jarum yang berasal dari kelas Coniferale sub divisi
Gymnospermae dan kayu daun lebar yang berasal dari kelas Dicotyledonae sub
divisi Spermatophyta.
Proses perkembangan batang juga terjadi ke atas dan ke samping.
Perpajangan ke atas terjadi karena adanya pertumbuhan primer oleh titik tumbuh
apikal (Panshin & de Zeeuw, 1980). Pertambahan diameter batang disebabkan oleh
adanya kambium, yaitu lapisan tumbuh antara xylem dan floem. Pertumbuhan
17
lapisan baru oleh kambium terjadi setiap musim tumbuh. Lapisan ke arah dalam
membentuk kayu (xylem) dan ke arah luar membentuk kulit (phloem), pembentukan
lapisan ini terjadi secara terus menerus menyebabkan diameter pohon bertambah. Di
daerah yang beriklim dingin, terdapat hanya satu musim tumbuh dalam setahun, riap
pertumbuhan dibentuk hanya sekali dalan setahun. Riap pertumbuhan ini disebut
lingkaran tumbuh atau sering disebut lingkaran tahun yang nampak sebagai
lingkaran yang konsentris jika kayu dipotong dalam arah melintang (transversal). Di
daerah tropis yang mengalami pertumbuhan sepanjang tahun, sehingga lingkaran
tahun yang terbentuk tidak nampak dengan jelas. Gambar 2 di bawah ini
memperlihatkan skema cara pembentukan batang dewasa.















18

Gambar 2. Skematis yang melukiskan cara pohon koniver berumur 17 tahun


menambah diameter batang dan tinggi melalui penambahan riap
pertumbuhan ( Panshin & de Zeeuw, 1980)



19
C. PERANAN ONTOGENI SEL DALAM PERTUMBUHAN
Sel merupakan struktur dasar dan kesatuan fisiologis pada tumbuhan,
terutama tumbuhan tingkat tinggi yang sel-selnya sangat kompleks karena bentuk
dan fungsinya sangat beragam. Kumpulan dari sel xylem sekunder yang
mendominasi bagian kayu yang mempunyai jenis atau fungsi yang sama disebut
jaringan.
J aringan menurut arahnya terbagi menjadi dua yaitu jaringan longitudinal dan
jaringan horizontal. J aringan longitudinal adalah kumpulan sel yang mempunyai
bentuk dan fungsi yang sama tersusun sejajar dengan sumbu batang pohon (misalnya
: trakeid, pembuluh dll). J aringan horizontal adalah kumpulan sel-sel yang arahnya
horizontal (misalnya : sel jari-jari).
Berdasarkan fungsinya jaringan terbagi menjadi jaringan meristematis dan
permanen. J aringan meristematis adalah kumpulan sel-sel yang berfungsi sebagai
pembentuk sel-sel baru. J aringan permanen adalah kumpulan sel-sel yang
sepenuhnya telah mengalami diferensiasi (sel-sel telah dewasa).
Pada Gambar 3 jelas terlihat pola pertumbuhan akibat meristem apikal yang
berperan terhadap perpanjangan batang, cabang dan akar. Meristem apikal (titik
tumbuh apikal) atau meristem primer mampu membelah berkali-kali. Metode
pembelahan mengikuti prinsip tunica-corpus di mana bagian pinggir (tunica)
membelah dengan cara anticlinal (pembelahan tegak lurus pada permukaan) dan cara
periclinal (pembelahan sejajar pada permukaan). Lapisan yang terbentuk sebagai
pelindung adalah dermatogen, prokambium sebagai kambium awal dan pith sebagai
pusat kayu. Prokambium dan pith berkembang dari plerome. Tahap beikutnya
terbentuk protoxylem dan protophloem sebagai awal jaringan pengangkutan
kemudian terbentuk metaxylem (xylem primer) dan metaphloem (phloem primer).
Cara membentukan xylem dan phloem mengukuti arah sentrifugal dan sentripetal.
Pada xylem disebut endarch, sedangkan pada akar disebut exarch (Prayitno, 2007).
Setelah xylem primer dan phloem primer terbentuk, jaringan sekunder berupa xylem
20
sekunder dibagian luar xylem primer dan kambium, kemudian phloem sekunder
terbentuk disebelah luar kambium mendesak phloem primer. Pertambahan diameter
yang terus menerus mengakibatkan epidermis tidak mampu menahan dan kemudian
pecah serta diganti dengan hypodermis atau endodermis disamping epidermis baru.
Gambar 3 melukiskan secara skematis ontogeni batang muda yang berasal
dari pembelahan sel pada titik tumbuh apikal.
(a). Memperlihatkan batang muda dimana bagian-bagiannya dapat dilihat dari
terluar ke tengah adalah d (epidermis), c (korteks), e (endodermis),pp (phloem
primer),sp (phloem sekunder),c (kambium),sx (xylem sekunder),px (xylem
primer) dan p (empulur), disebelah atas ada prokambium beruntai.
(b). Bagian a-a terdapat promeristem. Sel yang dibentuk pada promeristem
mengalami perubahan bentuk dan ukuran yang menunjukkan jenis sel apa
yang akan terbentuk.
Bagian b-b terdapat tiga lapisan yang berbeda satu dengan lainnya, yaitu d
(epidermis), pc (prokambium) dan p (empulur).
Bagian c-c prokambium bergabung membentuk selinder. Sel prokambium
terluar dan terdalam mulai berdiferensiasi menjadi pp (phloem primer) dan px
(xylem primer). Lapisan d (endodermis) mulai tampak dan menutupi bagian
batang. Lapisan ini merupakan deretan sel berseri membentuk selubung
pelindung di sekeliling daerah vaskular (stele). Ruang antara endodermis dan
epidermis ditempati oleh korteks (c) yaitu lapisan jaringan primer yang
tebalnya beberapa sel sampai banyak sel.
21

Gambar 3. Skematis yang melukiskan ontogeni batang muda. Kode huruf dalam
diagram ini adalah sebagai berikut: c-korteks, d-epidermis, e-
endodermis, pc-prokambium beruntai, p-empulur, pp-phloem primer, px-
xylem primer, sp-phloem sekunder, dan sx-xylem sekunder (Panshin &
de Zeeuw, 1980).



22
C. BAHAN DISKUSI
1. Menggambarkan dan menjelaskan pembelahan sel
2. Aplikasi konsep kleb
3. Mengapa lapisan kulit yang terbentuk tidak setebal lapisan kayu.

D. BACAAN PENGAYAAN
HOW TREES GROW

By Dr. William Chaney, Purdue University
In the early 1900s, a German plant physiologist named Klebs proposed a concept
that is still very appropriate today. He was the first to note that the only way
environmental factors and heredity can affect organism growth is by affecting its
internal physiological processes. A tree's physiological processes constitute the
mechanism by which genes and environmental factors operate to control growth.
Whatever you do with a tree - whether you are selecting a superior individual,
planting, fertilizing, watering or pruning - you are ultimately dealing with that tree's
physiological processes.
For tree farmers to understand why any condition or treatment affects trees, they
must know how this factor or treatment affects physiological processes. Tree farmers
can use this kind of knowledge as a basis for developing better methods for growing
and maintaining trees.
CELLS
The basic structural unit of trees is cells, millions of which connect and coordinate
into a harmonious whole. Mature cells per-form various functions, but are very
similar when they are first formed, when they all have the capacity to become a
23
whole tree. Each has a nucleus that contains all the genetic information need-ed to
produce a specific free.
Cells have several organells in addition to a nucleus. The chloroplasts, the site for
photosynthesis, are green because they contain the pigment chlorophyll, which can
convert the sun's radiant energy into chemical energy in the form of glucose. This
sugar is the basic food and building material for new cells and trees.
Another cell organelle - the mitochondria - uses sugar from the chloroplasts and
releases the captured solar energy in a form useful to cells. The chloroplasts and
mitochondria work in concert- one captures the energy and the other releases it to
cells.
A less familiar celiorganelle is the dictyosome. Like any organism, trees must
dispose of waste products resulting from cell metabolism. The dictyosomes
accumulate tannins, phenols and other toxic substances in spherical membrane-
bound structures called vesicles. These are pinched off from the edges of the
dictyosomes, migrate to the outer cell membrane, attach themselves to that
membrane and belch the material into dead cell walls. This is important to the tree
because individual cells are protected from those toxic compounds, which import
disease and insect resistance to the tree as a whole. Some of these waste products are
dumped into a central envelope inside cells called the vacuole, which contains the
cell sap. Here they are isolated from the cell's living contents. The vacuole also keeps
cells fully expanded, a condition necessary for peak performance of all the
organelles. Leaves on a tree wilt when water in the cell sap is lost. This allows living
cytoplasm inside the cell to collapse and fold, slowing down or even stopping
organelles from functioning. Hence, the vacuole is a very important part of a cell,
although its contents are nonliving.
24
We can begin the fascinating story of tree growth with flowering. All trees have
flowers, although many aren't very showy. Their purpose is to be pollinated and
fertilized and to develop into seed-bearing fruits or cones.
THE SEED
Seeds contain an aggregation of cells in an embryo that reflects all the parts of a
mature tree. But each cell has all the organelles described above and the genetic
capacity to become a whole tree. Some parts of the tree are already recognizable
under a microscope. These include cotyledons, the first leaves, where sugars and
starch to fuel the growth of the new tree are stored, and the apical meristems, the
growing points for the shoot and root that emerge upon germination. Incredibly, all
the cells are derived from the single cell that resulted from fertilization. As the
embryo develops and becomes a tree, many cells differentiate and specialize to form
leaves, roots and other organs. Until the seedling can produce enough leaf area with
chloroplasts to support itself through photosynthesis, it uses food stored in the seed.
The fascinating growth processes that result in the leaves, stems, wood, bark, roots
and other tree tissues are controlled by hormones.
HORMONES
There are several kinds of naturally occurring hormones - aux-ins, gibberellins,
cytokinins, ethylene, and some inhibitors. Each has its special functions.
In the 1930s, auxin was discovered. Being the only known hormone, plant
physiologists attributed to it the control of almost all growth process-es. As other
campounds were discovered, they realized that gibberellin controls cell enlargement,
cytokinins influence cell division and specialization, and ethylene affects the
25
degeneration of cells and plant response to wounding. Also, natural inhibitors
interact with all of these growth promoters.
A hormone is a chemical messenger that in very low concentrations regulates the
physiological processes dictated in the genes and influenced by environmental
factors. Anything a tree farmer does to a tree influences the production and balance
of hormones. When a tree is pruned, for example, the balance of hormones is altered
enough to cause a dormant bud to grow, or perhaps a whole new bud to appear.
Roots, buds and stems respond differently to a range of concentrations. Extremely
low concentrations of auxins promote root growth and do not affect stems. At
slightly higher concentration, auxins become an inhibitor of roots, but promote stem
activity.
Balance and concentration determine if auxins promote or inhibit growth. Vegetation
managers employ this dichotomy in controlling plant growth. Some of the most
potent herbicides, such as 2, 4-D, are synthetic auxin compounds. Many of the
chemicals used to influence tree growth are really hormones that promote or inhibit
physiological processes, based on their concentration.
Cells are to tipotent, meaning that every living cell in a tree can potentially become
any tissue in that tree. This is the basis for tissue culture in which new plants are
produced from a few cells taken from a parent. It won't be too long before we know
enough about hormonal balance to make tree tissue culture more common.
THE ROOT SYSTEM
The root system develops from the embryonic root within the seed. As cells in the
apicalmeristem of the root divide and elongate, they push the root tip into the soil.
Roots lengthen in this manner. The rootcap, whose cells are constantly being
sloughed off, protects the tender cells in the apical meristem and lubricates the root
26
as it is rammed into the soil. Expanded root cells differentiate to carry out functions
of uptake and transport of water and nutrients to above ground parts of the tree.
Lateral roots do not grow from a bud like lateral shoots. They grow from internal
root tissue. Some internal root cells, in response to the right balance and mixture of
hormones, produce a new root meristem. These cells divide and elongate and are
forced between and around cells in the root, rupturing root tissue and emerging us a
lateral root. This creates a pathway for easy movement from the soil into roots that
avoids entering living cells. If fertilizers or any other chemicals are appliced in close
contact with branced roots, or even at the base of a tree, uptake will occur. Fine
feeder roots are not essential to have uptake. However, water and nutrients move
through soil very slowly and for only short distances. Anything near a stationary root
is quickly depleted from the soil around the root. Hence, to be healthy, a tree must
have existing and new roots growing in length to explore the soil for water and
nutrients.
Tree roots are not very deep. Basic tree biology education should convey that most
of the root system is quite shallow and can extend far from a tree, even for beyond
the drip line. Much of this is genetically controlled, but the principal reason for
shallow rooting is the very stressful environment, particularly poor soil conditions.
Low oxygen content and soil compaction predispose trees to many other problems.
To survive, roots need 3 percent oxygen in the soil. If they are to grow, existing
apical meristems require 5-10 percent oxygen. And, for new roots to form, soil
oxygen content must be at least 12 percent. Our atmosphere is about 21 percent
oxygen. In an undisturbed loom soil six inches below the surface, the percent oxygen
is only slightly less than that in the air. A compacted loom will have about 5 percent
oxygen 15 inches deep into the soil. Tree roots would survive at this depth, but new
roots would be stressed. A clay loom soil at three feet has an insufficient oxygen
27
level to support new root growth. In a sandy soil, even at five feet, the oxygen
content is about 15 percent, where roots can survive and grow.
THE SHOOT SYSTEM
The first shoot of a tree emerges from the seed as the cells of the embryo expand
during germination. At its tip, and at the tip of every lateral shoot that develops, is an
apical, meristem where in length and height occur. Growth is similar to that in the
root only in that cells divide and elongate. Nothing comparable to a root cap exists
because the air provides no resistance to growth. The organization of the apical
meristem, in shoots is more complex than that of the roots because buds are
produced from which lateral branches, leaves and flowers form.
As the cells derived from the apical meristem of shoots differentiate to form the
various tissues of the shoot system, some specialize to form two lateral meristems:
the vascular cambium and the cork cambium. These account, respectively, for
increase in girth and bark production. The vascular cambium is located between the
wafer conducting xylem tissue to the inside and the food-conducting phloem tissue
to the outside. The vascular cambium is the origin, of new cells that become xylem
and phloem tissue.
.The other secondary meristem, the cork cambium, found just outside the functional
phloem, also produces two kinds of cells. These constitute the bark, which, protects
and insulates the succulent tissues beneath.
THE XYLEM
The water-conducting xylem tissue, or wood, consists of only four kinds of cells. But
there can be great size and shape differences among those cells as well as differences
28
in their arrangement and proportion. In fact, these characteristics are so singular that
a wood anatomist can identify trees just by inspecting the wood.
The most primitive type of xylem cell is a tracheid, a norrow tapered cell, usually
about 1 mm long, with pits in the sidewalls and closed on both ends. The cells are
arranged vertically in the xylem and joined by pit pairs. Water, with its dissolved
contents, moves upward in the cells for a short distance before it must move through
the pit pairs into an adjacent tracheid. Upward conduction follows a tortuous and
inefficient pathway in wood dominated by tracheids.
Vessels, an evolutionary advancement for transport of water, have a much bigger
diameter than tracheids and still have pits in the side wall. But, most importantly,
they have large pores in the end walls. The vessels are arranged end to end in long
stacks that in trees such as ashes and oaks, could extend from a root through the
trunk and up to a leaf in the tree crown. They can reach 30-40 feet, creating a good
system for moving water and nutrients up trees.
Fibers, usually shorter and narrower than tracheids, have very thick walls containing
few pit pairs and closed ends. They don't conduct water, but instead function in the
xylem to provide structural strength. When mature and functional, the tracheids,
vessels and fibers are dead, hollow cells. They normally constitute the largest portion
of the xylem.
The fourth type of xylem cell is the parenchyma, an undifferentiated cell that
remains alive in the xylem for several years. These cells are scattered in the xylem
and constitute the vascular rays, which provide a pathway for lateral movement
across the xylem. Like the other parenchyma cells in the xylem, they the storage sites
for carbohydrates essential for the vitality and growth of trees. These living
parenchyma cells allow the tree to respond to wounds. The callus that forms around
the edges of a wound on the trunk or a pruned branch arises from the totipotent
29
parenchyma cells in the xylem. Parenchyma cells at the bottom of a stem cutting
begin to divide and form roots whereas those at the upper end of the cut-ting develop
into shoots.
The xylem accumulates in annual layers, extending from the shoots in the crown into
the roots to form a tapered column of wood. When viewed in cross-section, as on the
surface of a cut stump, annual rings of xylem are visible because of the different
ways cells develop during a growing season. Active cell division early in the
growing season in apical meristems in a tree crown produces auxins that moved
downward along the trunk into the cambial zone. The high concentration of auxins
promote the development of spring wood with large-diameter, thin-walled xylem
cells. In mid-summer when grow-ing conditions are more stressful, shoots slow
down or stop grow-ing, and the production of auxins also diminishes. Cells produced
by the cambium shrink and develop thicker cell walls, forming sum-mer wood.
During the winter the cambium is dormant, but will resume growing the following
year with the production of spring wood. It is the transition from summer wood to
spring wood that makes the annual xylem ring so apparent.
Organization of the cells in they xylem is classified in three categories. based on the
kinds and arrangement of cells. Nonporous wood has only tracheids, fibers and
parenchyma cells. The rays are, generally narrow, only one or a few cells wide. The
wood, which is produced by conifers and other Gymnosperm trees, is very plain. The
Angiosperm or hardwood trees are separated into two xylem classes, ring-porous and
diffuse-porous. These classes of xylem contain vessels as well as tracheids, fibers
and parenchyma cells. Diffuse-porous wood has vessels that, are uniformly
distributed in each annual layer of xylem. Ring-porous trees have large-diameter
vessels restricted to the spring wood portion of each annual layer of xylem. The
vascular rays are often several cells wide and quite visible.
30
Often, the wood in is a lighter color toward the outside and darker in the center.
These two areas of xylem are the sapwood and heartwood. The sapwood is the
physiologically active portion of the xylem, where tracheids and vessels are used for
conduction of water and dissolved nutrients, and the parenchyma cells are alive and
function in carbohydrate storage. The heart-wood is nonfunctional and even the
parenchyma cells are dead. They may have died because they were buried by
accumulating layers of oxygen-limiting xylem. It is more likely that they died
because the tree used these cells as a dump site for its own toxic waste - tannins and
phenols. The heartwood is particularly decay-resistant because of the accumulation
of these compounds, which account for its darker color too.
Water that flows through the dead, hollow xylem cells is driven by transpiration - the
evaporation of water from the leaves. Continuous columns of water extend from the
cells of the leaves through the xylem of the branches and trunk into the roots. The
water columns are essentially pulled up the tree along a gradient of decreasing
pressure. Because water movement is related to transpiration, environmental factors
such as air temperature and relative humidity affect the rate of movement.
Understanding this relationship is important in trunk injection applications of
systemic pesticides and growth regulators. The weather and its effects on water
movement in the xylem influence the speed and ease of injections.
The transport of water occurs through dead cells, and the path of least resistance,
which, in nonporous wood is the larger-diameter spring wood tracheids. The water
conduction pathway in this type of wood is a series of concentric rings of spring
wood tracheids in three to four annual layers of xylem. In porous wood, the vessels
provide the principal conduit for transport because of their large diameter and open
end walls.
31
Diffuse-porous trees conduct water in the vessels scattered throughout two to three
annual layers of xylem. Ring-porous wood, in contrast, has a conduction pathway
that utilizes the large-diameter vessels of the spring wood in only the current year's
xylem layer.
To get good uptake and distribution of material injected into the xylem, it is
important to inject into the activity conducting portion of the xylem. For ring-porous
trees, this is very shallow, since only the new xylem tissue conducts. In diffuse-
porous and nonporous trees, materials can be injected deeper.
THE PHLOEM
Although the phloem constitutes only a small portion of a tree's tissues, its function
in transporting food and hormones is exceedingly important. Phloem is derived from
the vascular cambium, but the phloem does not accumulate in annual layers as does
the xylem.
Five kinds of cells are found in the phloem. The specialized phloem cells are the
sieve cells and sieve tube members. Sieve cells are the most primitive and the
counterpart to tracheids in the xylem. Sieve cells have pits in the side and end walls
that allow movement between cells. The evolutionary advanced sieve tube member
characterizes the phloem of hardwood Angiosperm trees. The sieve tube member
also has pits in the side walls but, more importantly, has performation plates with
large openings at the ends of the cells. Stacked end to end, they provide efficient
con-duits for transport. Two types of phloem cells, the fibers and parenchyma, are
exactly like those in the xylem. Scierids or stone cells are small and fiber-like.
Every year a new ring of phloem is produced. The fleshy phloem cells are located
between the woody xylem and the dead outer bark. The cells of the phloem must be
alive with their protoplasm intact. The phloem's fibers and sclerids prevent the active
32
phloem cells from being crushed. The living cells are finally destroyed and the
contents reabsorbed or incorporated into the bark and shed from the tree. Thus,
phloem does not accumulate like the xylem.
Movement in the phloem occurs both upward and downward to allow for distribution
of food and hormones to and from sites of production, storage and utilization.
Conduction in the phloem results in a positive pressure in the cells. The best
evidence of this is the feeding of aphids. The aphid is a clever little insect that can
delicately stick its feeding tube into a phloem cell just under the bark. The pressure
in the cell forces more sugary solution through its body than it can digest. The
resulting overflow, called honeydew, drips on sidewalks and cars beneath infested
trees.
THE BARK
Bark is formed from the other secondary meristem, the cork cambium. The anatomy
and development of bark, basically, a protective tissue, is probably the least
understood of all the tissues in trees. The variations in bark appearance are enormous
and change as individual trees age. However, the characteristics of the bark are
frequently so closely associated with each particular kind of tree that they can serve
to identify the tree species.
At least four types of bark development have been recognized. Smooth bark trees
have a single cork cambium that remains with a tree for its entire life. The cork
cambium produces a layer of cork cells toward the outside each year.
The other kinds of bark are variations of the same theme. Ring bark trees, such as
eastern red cedar, produce a new and complete cork cambium each year, resulting in
concentric rings of cork cambia and the cells derived from them. These are
eventually forced outward by diameter growth, rupture, and cling to trees as long,
33
stringy strips. For scale bark trees such as pines, the first cork cambium does not
increase in circumference rapidly enough to avoid being torn apart by increases in
diameter of the xylem. Beneath each point of rupture, a new cork cambium is
formed. The process is repeated thousands of times. The shape and size of each new
cork cambium is reflected in the shape of the scales that cling to the bark for a few
years before they are shed. The furrowed bark of trees such as ashes develops
similarly to scale bark trees. The difference, however, is that the new cork cambia
form in the old phloem and its fibers become incorporated into the bark. Event these
tough fibers are finally forced apart by diameter growth. The deep furrows, ridges
and diamond-shaped patterns of bark reflect the original orientation of the phloem
fibers.
Cork cells are so impervious to both water and gasses that they could limit oxygen
from reaching the living cells beneath. However, a specialized structure, the lenticel,
consists of loosely arranged cells extending across the bark to provide for gas
exchange. The short, horizontal lines that often are so apparent on smooth bark
species such as Black Cherry, for example, are lenticels. They are an essential part of
all bark, just not as obvious when the bark is furrowed and rough. The next time you
examine a wine bottle cork, notice the dark lines running perpendicular to the annual
rings of cork. These are the lenticels that provided aeration for the cambia and other
living cells.
The growth of a tree from a single cell in a fertilized flower to a coordinated
accumulation of millions of cells with diverse sizes, shapes and functions is a
wondrous phenomenon. Tree farmers should be proud to work with trees, realizing
that through their care and maintenance practices they are dealing with the
physiological processes of immensely complex and massive organisms.

34
E. LATIHAN SOAL-SOAL
1. J elaskan pengertian dari fotosintesa, respirasi dan transpirasi.
2. Buatlah suatu miniatur pertumbuhan pohon
3. Buatlah daftar tipe sel berdasarkan arah dan fungsi jaringan.
4. Hitung lingkaran tahun (Prayitno, 2007) pohon berumur 62 tahun dengan tinggi 52
kaki 9 inchi dengan pertumbuhan sebagai berikut :
a. 17 inchi pada akhir umur 3 tahun
b. 9 inchi per tahun selama 9 tahun
c. 1 kaki 4 inchi per tahun selama 12 tahun
d. 15 inchi per tahun selama 5 tahun
e. 11 inchi per tahun selama 7 tahun
f. 7 inchi per tahun selama 17 tahun
g. Pertumbuhan seragam pada umur selanjutnya

Pertanyaan :

a. Pada ketinggian tinggi pohon tergambar berapa lingkaran tahun pada irisan
transversal. (37)
b. Pada ketinggian 1/3 dari ujung pohon berapa irisan tranversal. (28)
35
BAB III
KUALITAS KAYU DAN PERLAKUAN SILVIKULTUR

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran
peranan tindakan-tindakan silvikultur dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas
kayu.
Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus bertujuan untuk memberikan kemampuan
kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan dan menganalisa hubungan antara
tidakan-tindakan silvikultur dengan pertumbuhan pohon dan kualitas kayu. Dalam
hal ini, mahasiswa dapat (1) mengidentifikasi kualitas kayu akibat pertumbuhan
normal, abnormal dan berbagai perlakuan silvikultur di lapangan, (2) menjelaskan
indikator kualitas kayu dan hubungannya berdasarkan penggunaan sebagai
konstruksi, serat, komposit dan energi, dan (3) membuat suatu rancangan penanaman
dan pemeliharaan di lapangan untuk menghasilkan kayu untuk konstruksi, serat,
komposit dan energi.

A. KUALITAS KAYU
Kualitas kayu adalah ukuran ketepatan penggunaan kayu atau kesempurnaan
setiap bahan kayu untuk keperluan yang diinginkan. Indikator kualitas kayu yang
dipengaruhi oleh perlakuan silvikultur di lapangan antara lain kerapatan,
keseragaman lingkaran tahun, panjang serat, proporsi kayu teras, persentase pori,
persentase kayu juvenil, kayu reaksi, komposisi sellulosa, mata kayu, bentuk batang
(selindris), orientasi serat dan komposisi kimia (Goudie 2002).
Indikator kualitas kayu akan berbeda tergantung tujuan akhir dari
penanaman, sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal perlu telaah yang
36
mendalam tentang kualitas kayu yang bagaimana yang akan dihasilkan. Dengan kata
lain, tidak ada ukuran yang absolut untuk pengukuran kualitas kayu karena hal
tersebut sangat tergantung pada penggunaan akhir yang diinginkan. Sebagai contoh,
penanaman untuk menghasilkan kayu bakar menginginkan jenis mudah tumbuh
dengan daur yang pendek, tetapi dengan berat jenis yang tinggi sehingga dapat
menghasilkan energi yang besar. Yang lainya, penanaman untuk bahan baku pulp
dibutuhkan jenis penghasil serat panjang dengan berat jenis sedang dan mempunyai
kandungan sellulosa yang tinggi. Sedangkan penanaman untuk bahan baku
konstruksi dibutuhkan kayu yang mempunyai kekuatan menahan beban yang berat
serta awet untuk pemakaian yang lama sehingga kayu yang diperlukan adalah kayu
dengan berat jenis dan kandungan ekstraktif yang tinggi. Lain halnya dengan bahan
baku untuk digunakan sebagai papan komposit yang memerlukan kayu dengan
kandungan lignin atau sellulose dan berat jenis yang tinggi.
Beberapa ahli kehutanan menyatakan bahwa semua jenis pohon penghasil
kayu cepat tumbuh akan menghasilkan kualitas kayu (kelas awet dan kelas kuat)
yang lebih rendah dibandingkan dengan pohon dengan umur maksimal. Di sisi lain,
beberapa pengusaha kayu menuturkan bahwa masalah kualitas kayu sudah dapat
dipecahkan dengan teknologi industri. Sifat mudah diolah dan dibentuk dari pohon
cepat tumbuh dapat didifusikan sesuai keinginan pasar. Tingkat kekerasannya pun
dapat direkayasa dengan teknik pengovenan. (Irwanto 2006).

B. INDIKATOR KUALITAS KAYU
B.1. Kayu Teras
Bagian kayu di mana bagian dari xylem masih hidup disebut kayu gubal
tetapi pada periode tertentu, protoplasma sel-sel yang hidup dalam xylem mati,
bagian ini dinamakan kayu teras (IAWA, 1957 dalam Prawirohatmojo, 2003). Kayu
teras mempunyai sifat ketahanan yang tinggi, kadar air rendah dan keawetan yang
37
tinggi, kandungan ekstraktifnya tinggi. Gambara tentang kayu teras (heartwood)
dibandingkan dengan kayu gubal (sapwood) dapat dilihat pada Gambar 4.












Gambar 4. Potongan kayu dengan keadaan kayu teras dan kayu gubal


38
B.2. Kayu Reaksi
Kayu reaksi berbeda pada kayu daun jarum dengan pada kayu daun lebar.
Pada kayu daun jarum dikenal dengan nama kayu tekan (compression wood) dan
pada kayu daun lebar dikenal dengan nama kayu tarik (tension wood). Kayu tekan
terbentuk pada bagian bawah dari suatu kemiringan batang pada kayu daun jarum,
sedangkan kayu tarik terbentuk pada bagian sisi atas dari bagian yang miring pada
kayu daun lebar (Bowyer et al, 2003; Tsoumis, 1991).
Karakteristik sel-sel trakeid pada kayu tekan yaitu terdapat ruang-ruang antar
sel (intersellular spaces) karena trakeida pada kayu tekan berbentuk bulat. Sifat kayu
tekan lainnya adalah lebih pendek (10-40%) dari panjang trakeida kayu normal,
kandungan lignin yang tinggi (9%) dan sellulosa yang rendah (10 %) dari kayu
normal, memiliki kerapatan (40%) dan penyusutan longitudinal (6-10%) yang tinggi,
memiliki sifat mekanis antara lain kekakuan, kekuatan geser yang rendah (Tsoumis,
1991).
Pada kayu tarik proporsi serat lebih banyak, pembuluh lebih sedikit
dibanding kayu normal, terdapat lapisan gelatinous pada lapisan dinding sekunder
(S1, S2 dan S3) dengan sudut mikrofibril yang hamper sejajar dengan sumbu batang,
kandungan sellulosa lebih tinggi dan lignin yang rendah dari kayu normal,
mempunyai derajat kristalinitas yang tinggi, memiliki kerapatan (2-20%) dan
penyusutan ( 1,5%) yang tinggi daripada kayu normal,
Papan yang mengandung kayu reaksi bila diserut pada kondisi basah, pada
permukaannya akan timbul serat-serat yang halus (woolly grain) sehingga dapat
menurunkan kualitas papan yang dihasilkan (Bowyer et al, 2003). Adanya kayu tarik
dapat mengakibatkan terjadinya lengkungan dan gelombang pada veneer yang
dibuat, menyebabkan kayu collapse pada proses pengeringan, dan apabila diproses
secara kimia menyebabkan kesulitan dalam pemasakan (konsumsi kimia tinggi) dan
sulit digiling.
39
B.3. Kayu Juvenil
Kayu juvenile adalah kayu yang dibentuk oleh kambium pada tahun-tahun
pertama pertumbuhan pohon, dimana pembelahan sel-sel kambium membentuk
xylem masih dipengaruhi oleh auxin pada tajuk (Panshin and de Zeeuw, 1980). Sifat-
sifat kayu juvenile antara lain kerapatan rendah, ratio antara lignin dan sellulosa
tinggi, panjang trakeid pendek ( < 2 mm ), dinding selnya tipis, menghasilkan kurang
dari 3 % holosellulose dan 8 % alfa sellulosa dibanding kayu dewasa, sudut
mikrofibrilnya yang lebar mengakibatkan kestabilan dan kekuatannya rendah, mudah
pecah, retak dan melengkung. Tetapi disamping kualitas yang jelek, kayu juvenile
mempunyai sifat yang cukup bagus untuk kertas tissue dengan metode ground wood
pulping (Zobel, 1984 ; Goudie, 2002).
Adanya kayu juvenile pada bahan baku yang diolah terbukti dapat
mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Keberadaan kayu juvenile sekitar 20
% pada produk furniture akan mempengaruhi kualitas dari produk tersebut (Zobel,
1984). Selain itu, kertas yang diproduksi dari kayu juvenile mempunyai sifat
kekuatan sobek yang rendah dan papan yang dihasilkan dari kayu juvenile juga
mempunyai sifat penyusutan tinggi, cepat melengkung dan memiliki kekuatan yang
rendah.

B.4. Mata Kayu
Mata kayu dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu mata kayu padat (tight
knots) dan mata kayu lepas (loose knots). Mata kayu padat disebabkan karena
adanya cabang hidup yang terbenam dalam batang sedagkan mata kayu lepas
diakibatkan oleh cabang yang mati atau mata kayu yang muncul akibat cambium
yang terbuka pada batang. Produk kayu dengan mata kayu sehat dan mata kayu lepas
dapat dilihat pada Gambar 5.

40











Gambar 5. Mata kayu pada permukaaan produk kayu

Persentase mata kayu yang tinggi akan menghasilkan pulp berkualitas jelek,
butuh bahan pemutih (bleaching) yang tinggi dan kertas yang dihasilkan tidak kuat.
Kandungan ekstraktif yang tinggi pada mata kayu juga tidak diinginkan karena akan
menghasilkan papan dengan kekuatan yang rendah dan kayu lapis yang tidak stabil
(Zobel, 1984).

B.5. Bentuk batang
Bentuk batang adalah salah satu komponen penentu volume pohon, selain
diameter dan tinggi pohon. Bentuk batang diantaranya dapat digambarkan oleh
angka bentuk (form factor) dan taper. Bentuk batang dinilai dari pangkal batang
sampai tinggi bebas cabang. Diukur panjang batang yang lurus dan silindris dari
41
pangkal batang/permukaan tanah. Taper adalah pengurangan atau semakin
mengecilnya diameter batang dari pangkal hingga ke ujung. Chapman dan Meyer
(1949) dalam Muhdi (2003) menyatakan bahwa taper merupakan resultante dimensi
pohon yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan tinggi dan diameter
pohon. Makin besar angka taper suatu batang pohon makin rendah rendemen bila
dibuat kayu lapis dan papan gergajian.
Bentuk batang ditentukan oleh faktor genetik (inheritance), tetapi dapat
mengalami perubahan karena adanya faktor dari luar seperti lingkungan dan
perlakuan silvikultur. Lingkungan dan perlakuan silvikultur dapat mempengaruhi
fisik, ukuran dan bentuk tajuk pohon.

B.6. Kerapatan

Kerapatan kayu adalah perbandingan antara massa kayu dengan volume kayu
pada kondisi tertentu. Kerapatan kayu menggambarkan massa dari dinding sel kayu
tersebut pada volume tertentu. Sifat ini dipengaruhi adanya kayu awal dan kayu
akhir, zat ekstraktif, laju pertumbuhan dan proporsi dan tipe sel penyusun kayu.
Pada kayu daun lebar tata lingkar, kerapatan meningkat seiring dengan laju
pertumbuhan, sedangkan pada kayu daun lebar tata baur dan beberapa kayu daun
jarum korelasi kerapatan dengan laju pertumbuhan tidak nampak. Pada kayu daun
jarum yang mempunyai lingkaran tahun yang jelas, laju pertumbuhan yang
meningkatkan akan menurunkan kerapatan, karena keberadaan kayu awal.
Kayu dengan kerapatan yang tinggi akan lebih kuat untuk digunakan sebagai
kayu konstruksi. Kerapatan tinggi juga akan menghasilkan pulp per satuan massa
yang tinggi dibanding kayu yang mempunyai kerapatan yang rendah.


42
B.7. Panjang Serat

Pertumbuhan yang dipercepat akan menghasilkan panjang trakeid pada kayu
daun jarum menjadi pendek, sebaliknya pada kayu daun lebar, pertumbuhan yang
dipercepat akan menghasilkan panjang serat yang panjang. Perlakuan silvikulture di
lapangan dan faktor genetik akan mempengaruhi panjang pendeknya serat.
Kayu sebagai bahan baku pulp sangat membutuhkan kayu berserat panjang.
Semakin panjang serat, sudut mikrofibrilnya makin kecil sehingga kestabilan dari
kayu tersebut akan semakin stabil, cocok untuk bahan baku konstruksi.

B.8. Arah Serat

Percepatan pertumbuhan dengan perlakuan silvikultur yang intensif (terutama
irigasi) cenderung mengurangi terjadinya serat terpilin (Wahyudi, 2009).
Pemangkasan di awal periode pertumbuhan juga cenderung menekan terjadinya
serat terpilin

C. PERLAKUAN SILVIKULTUR

Silvikultur adalah model untuk menciptakan dan memelihara berbagai tipe
hutan dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya secara objektif baik itu sebagai
pemilik maupun sebagai pemerintah atau cara penanganan hutan dengan
pengetahuan tipe hutan, bagaimana pohon tumbuh, bereproduksi, dan perubahan
terhadap lingkungan yang dimodifikasi dalam praktek untuk menghasilkan nilai
ekonomi (Daniel et al 1979 ; Smith et al 1997). Peran silvikultur dalam pengelolaan
hutan adalah kontrol pembentukan, pertumbuhan, komposisi dan kualitas vegetasi
hutan (Daniel et al 1979). Peranan ini sangat penting tergantung dari tujuan akhir
43
pengelolaan suatu tegakan. Perlakuan silvikultur dan pengaruhnya terhadap sifat-
sifat kayu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan Silvikultur dan Sifat-sifat Kayu yang Dipengaruhi
Perlakuan silvikultur Sifat-sifat kayu yang dipengaruhi
Jarak tanam berat jenis, kayu juvenile, mata kayu dan
taper
Penjarangan berat jenis, kayu juvenile, kayu reaksi,
mata kayu dan taper.
Pemupukan berat jenis, keseragaman lingkaran tahun,
kayu jevenil, mata kayu, panjang serat,
dan komposisi kimia.
Irigasi berat jenis, keseragaman lingkaran tahun,
kayu jevenil, mata kayu, panjang serat
dan orientasi serat
Pemangkasan mata kayu, taper dan orientasi serat.

Jarak tanam yang lebar menghasilkan pohon-pohon yang berdiameter besar,
tajuk yang terus menerus tumbuh dan volume per hektar kecil (Goudie 2002 ;
DeBell,Curtis 2003) sehingga perlu kombinasi antara jarak tanam yang lebar dengan
pemangkasan. Jarak tanam yang rapat akan mencegah pembentukan cabang-cabang
besar dan mengurangi besarnya ukuran mata kayu (Chauhan 2006). Sifat mekanika
kayu akan berubah dengan perlakuan jarak tanam karena perubahan kerapatan, hasil
penelitian Elliss (1998), menunjukkan nilai MOR akan berkurang 16 % dan nilai
MOE akan berkurang 12 % (Goudie 2002).
44
Perlakuan penjarangan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan panjang
rotasi, meningkatkan ukuran mata kayu akibat dari pengaruh tajuk (Chaucan 2006).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yunianti (2002) penjarangan
mempengaruhi diameter serat dan kandungan lignin pada tegakan Acacia mangium
setelah 11 bulan dijarangi. Hasil penelitian Heriansyah et al (2007) menunjukkan
kerapatan kayu pada tegakan yang tidak dijarangi lebih tinggi dibanding pada
tegakan yang dijarangi. Proporsi dari biomassa batang pada tegakan yang dijarangi
cenderung konstan selama periode penjarangan dan setelah itu agak meningkat
seiring dengan umur sedangkan biomass daun menurun. Pada tegakan yang tidak
dijarangi proporsi biomassa batang meningkat seiring dengan umur sedangkan
biomassa daun menurun secara drastis ketika terjadi persaingan pada umur muda
tetapi relatif menjadi konstan setelah itu.
Perlakuan pemupukan akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, berat
jenis, perubahan kayu awal ke kayu akhir, kayu juvenile, ukuran dan keberadaan
mata kayu, panjang serat dan komposisi kimia (DeBell,Curtis 2003). Pemupukan
meningkatkan kecepatan pertumbuhan sehingga meningkatkan pertumbuhan tajuk
dan pembentukan cabang yang terus menerus sehingga meningkatkan jumlah kayu
reaksi dan jumlah dan ukuran cabang. Adanya irigasi akan mempengaruhi berat
jenis, lingkaran tahun, kayu juvenile, mata kayu, panjang serat dan orientasi serat.
Perlakuan pemangkasan akan mengurangi jumlah dan ukuran mata kayu,
bentuk batang, orientasi serat dan mempercepat perubahan dari kayu juvenile ke
kayu dewasa (DeBell et al 2002 ; DeBell,Curtis 2003). Salah satu contoh misalnya
kayu jati, dikatakan mempunyai kualitas yang baik jika memiliki kayu yang lurus.
Untuk mendapatkan kayu yang lurus adalah dengan pemilihan bibit unggul.
Perkembangan teknologi khususnya dalam bidang rekayasa genetik (Pemuliaan
Pohon / Tree Improvement) telah menghadirkan jati varietas unggul. Jati yang
dihasilkan diharapkan memiliki keunggulan komparatif berdaur pendek ( 15 tahun),
sedikit cabang, batang lurus dan silindris. Kenyataan di lapangan kadangkala
45
tanaman jati dari bibit yang unggul memiliki cabang sehingga untuk memaksimalkan
hasil panen nantinya perlu dilakukan penebangan pada cabang-cabang atau ranting
tanaman jati tersebut (Anonim 2006). Pemotongan cabang secara berkala dilakukan
agar tanaman jati pada usia muda dapat berkembang pada satu batang saja, sehingga
pertumbuhan keatas dapat dipercepat sehingga batang yang dihasilkan dapat lurus
(tidak bercabang).
Beberapa penyebab utama penurunan kualitas kayu akibat percepatan
pertumbuhan adalah ukuran dan frekuensi mata kayu, kayu reaksi dan serat terpuntir
(Daniel et al 1979) dan meningkatnya periode kayu juvenil. Kayu juvenil umumnya
mempunyai kerapatan yang rendah, panjang serat yang pendek, perbandingan antara
lignin dan sellulose tinggi, sudut mikrofibril yang besar sehingga sifat mekanikanya
yang rendah, papan yang dihasilkan penyusutannya tinggi, melengkung dan
rendemen pulp yang dihasilkan rendah (Goudie 2002; DeBell,Curtis 2003 ).
Berat jenis merupakan sifat kayu yang sangat penting dalam penggunaan
kayu. Pohon-pohon yang pertumbuhannya dipercepat akan mempunyai berat jenis
yang berbeda dengan pohon yang tumbuh alami pada jenis dan lokasi yang sama.
Tetapi beberapa penelitian terdahulu menyatakan berat jenis tidak dipengaruhi oleh
kecepatan pertumbuhan (DeBell et al 2002; Koga,Zhang2002 ; Bowyer et al 2003).

D. BAHAN DISKUSI

1. Pengaruh tindakan silvikultur terhadap kualitas kayu
2. Pertumbuhan pohon yang dipengaruhi oleh tindakan silvikultur
3. Indikator kualitas kayu dan hubungannya berdasarkan penggunaan
sebagai konstruksi, serat, komposit dan energi.



46
E. BAHAN PENGAYAAN

Effects of Intensive Forest Management on Wood Quality of Loblolly Pine
Alexander Clark III
1
and Richard F Daniels
2


1
Wood Scientist, USDA Forest Service, Southern Research Station, Athens, GA
2
Professor, Warnell School of Forest Resources, University of Georgia, Athens, GA

Intensive forest management practices are being applied to improve growth and
profitability of plantation grown southern pines, but minimal attention is being paid to
the impact of intensive cultural practices on wood quality. In order for the southern pine
industry to maintain its competitive position in the global market it must produced wood
from intensively managed plantations with the properties required meet product
standards. Young fast growing plantation southern pines contain large volumes of
juvenile wood. Juvenile wood is characterized as having low specific gravity, short
trachieds, large microfibril angles, and low strength and stiffness compared to mature
wood. To determine the effect of intensive forest management on loblolly pine (Pinus
teada L.) wood quality the Wood Quality Consortium has sampled replicated
silvicultural studies across the south

METHODS AND RESULTS

The effect of controlling competing vegetation for the first 3 to 5 years after planting on
annual growth, specific gravity, and length of juvenility was examined by sampling the
Auburn University Silvicultural Herbicide Cooperative COMP study (Miller et al, 1991).
The study was sampled at age 15 at 13 locations across the south. Results show that
controlling woody plus herbaceous competition did significantly increase growth, did
not significantly reduce ring specific gravity and did not significantly affect the
proportion of latewood in the annual ring (Clark et.al, 2006). Woody plus herbaceous
competition control did significantly increase growth during juvenile wood formation at
breast height in years 1 to 5 and thus increased the diameter of the juvenile wood core by
an average of 19 percent. The long-term impact of site preparation, competition control,
47
fertilization and competition control plus fertilization at planting was examined at four
installations of the Regionwide 7 Study (NCSFNC, 1996). The study was established in
1978 to 1981 by the North Carolina State Forest Nutrition Cooperative and sampled in
2002. Fertilization (49 Kg N per hectare plus 56 Kg P per hectare) was applied at
planting and weed control was applied for two years after planting. Results show
individual tree volumes were increased up to 33 percent by competition control plus
fertilization compared to site preparation only. Competition control for two years after
planting plus fertilization at planting did not significantly affect wood specific gravity,
proportion of latewood or wood strength or stiffness (Mora, et al, 2006). The effect of
intensive site preparation, annual vegetation control, annual high rates of nitrogen
fertilization (168 Kg ammonium nitrate/hectare/year) on tree growth and wood
properties was examined by sampling a long term monitoring study at age 12. The study
was established in 1987 in the Coastal Plain and in 1988 in the Piedmont of Georgia by
the University of Georgia Consortium for Accelerated Pine Production (Borders and
Bailey 2001). In response to annual intensive cultural treatments, growth increased 270
percent in the Coastal Plain and 158 percent in the Piedmont compared to the intensive
mechanical site preparation treatment. Annual ring earlywood specific gravity was not
affected by treatments, but annual ring latewood specific gravity was significantly
reduced in annually fertilized and herbicide plus annually fertilized trees (Clark et al,
2004). Annual heavy fertilization alone or in combination with vegetation control
significantly reduced toughness, strength and stiffness of juvenile wood.

To examine the effect of different levels of nitrogen fertilization at mid-rotation on wood
properties the North Carolina State Forest Nutrition Cooperative Regionwide 13 Study
installation near New Bern, NC was sampled in 2003 (NCSNC, 1997). The study trees
were planted in 1970 and thinned in 1983 to 605 TPH and fertilizer treatments were
applied in the spring of 1984. The fertilization treatments sampled include: 28 Kg P per
hectare (control), 112 Kg N + 28 Kg P per hectare; 224 Kg N + 28 Kg P per hectare, and
336 Kg N + 28 Kg P per hectare. Results show that increased levels of N increased
annual growth for 3 to 4 years after treatment. Increased levels of N fertilization did not
48
significantly affect the proportion of latewood in the annual ring but did significantly
decrease the specific gravity of the latewood. 112 and 224 kilograms of N fertilizer per
hectare did not significantly reduce wood specific gravity, strength or stiffness but 336
Kg of N per hectare at mid-rotation resulted in a significant reduction in wood specific
gravity, strength and stiffness in wood formed 2 to 3 years after fertilization.

A 20 year old unthinned spacing study was sampled to determine the effect of initial
planting density on tree growth and wood properties. The study was established in the
Coastal Plain of Georgia in1984 on an excellent site (SI=27 meters base age 25) with
loblolly pine family 7-56 seedlings. Seven planting densities (1.8 x 2.4-, 1.8 x 3.0-, 1.8 x
3.7-, 2.4 x 3.0-, 2.4 x 3.7-, 3.0 x 3.7-, 3.7 x 3.7- meters) were sampled. Twenty one trees
per spacing were felled, all branches were measured and trees were destructively
sampled for wood properties. Tree survival increased with increased spacing and ranged
from only 65 percent survival at age 20 for the 1.8 x 2.4 meters spacing to 90 percent
survival for the 3.0 x 3.7- and 3.7 x 3.7- meter spacings. Stem taper as measured by
Girard form class increased from an average of 75 for the 1.8 x 2.4-meters spacing to 78
for 2.4 x 3.7-meter spacing and then decreased to an average of 76 in the 3.7 x 3.7 feet
spacing. Tree average dbh increased with increased spacing and ranged from 24.1
centimeters in the 1.8 x 2.4 meter spacing to 29.7 centimeters in the 3.7 x 3.7 meter
spacing. Average total height increased only slightly with increased spacing ranging
from 25 meters in the 1.8 x 2.4 meter spacing to 26 meters in the 3.7 x 3.7 meter
spacing. However, the height of the sawlog merchantable stem to a 15.2 centimeter dob
top increased significantly with increased spacing. Sawlog merchantable height averaged
12 to 13 meters in the 1.8 x 2.4-, 1.8 x 3.0-, 1.8 x 3.7- and 2.4 x 3.0- meter spacings
compared to 15- to 16- meters in the 2.4 x 3.7-, 3.0 x 3.7- and 3.7 x 3.7-meter spacings.
Total merchantable stem biomass/hectare was highest in the 1.8 x 3.7-, 2.4 x 3.7- and 2.4
x 3.0-meter spacings. Estimated volume of lumber/hectare was highest in the 2.4 x 3.7-
meter spacing, slightly lower in the 3.0 x 3.7- and 3.7 x 3.7- meter spacings and lowest
in the 1.8 x 2.4 meter spacing. Average knot diameter per 4.9 meter sawlog did not
increase with increased spacing but average number of knots and average maximum
49
knot diameter per sawlog increased with increased spacing. The diameter of knots on the
side of the stem within the row and between rows did not vary significantly. Initial
planting density did not significantly affect annual ring specific gravity or the proportion
of latewood in the annual ring. Initial spacing did not significantly affect wood strength
or stiffness.

SUMMARY

Based on the studies sampled competition control and competition control plus
fertilization at planting can significantly increase growth with no significant effects on
wood properties. However, heavy annual fertilization or heavy mid-rotation fertilization
with 336 Kg N or more per hectare can significantly reduce latewood specific gravity
and thus significantly reduce wood stiffness and strength. Average knot diameter, wood
specific gravity, strength or stiffness did not vary significantly with initial planting
densities ranging form 1.8 x 2.4- to 3.7 to 3.7- meters on an excellent site in the Coastal
Plain. Initial planting densities of 2.4 x 3.7-, 3.0 x 3.7-, 3.7 x 3.7- meters per hectare
yielded the highest volume of lumber per hectare at age 20 from unthinned loblolly pine
stands .

REFERENCES

Borders, B.E. and R.L. Bailey. 2001. Pushing the limits of growth. Southern Journal of
Applied Forestry. 25(2):69-74.

Clark, A., R.F. Daniels, and J. H. Miller. 2006. Effect of controlling herbaceous and
woody competing vegetation on wood quality of planted loblolly pine. Forest Products.
Journal. 56(2):40-46

Clark, A. and B. Borders, R. F. Daniels 2004 Impact of vegetation control and annual
fertilization on wood properties of loblolly pine at age 12. Forest Products Journal
54(12):90-96

Miller, J.H., B.R. Zutter, S.M. Zedaker, M.B. Edwards, and R.A. Newbold. 1991. A
regional study on the influence of woody and herbaceous competition on early loblolly
pine growth. Southern Journal of Applied Forestry 15(4):169-179.

50
Mora, C. R., H.L. Allen, R. F. Daniels, and A. ClarkIII 2006. Wood properties response
to early intensive silviculture in loblolly pine. Canadian Journal, Forest Research (in
press)

NCSFNC, 1996. Effects of site preparation and early fertilization and weed control on
14-year loblolly pine growth. NCSFNC Report No. 36. North Carolina State Forest
Nutrition Cooperative. Department of Forestry. North Carolina State University.
Raleigh, NC. 35 p.

NCSFNC, 1997. Ten-year growth and folia responses of midrotation loblolly pine
plantations to nitrogen and phosphorus fertilization. NCSFNC Report No. 39. North
Carolina State Forest Nutrition Cooperative. Department of Forestry. North Carolina
State University. Raleigh, NC. 29 p.

F. LATIHAN SOAL-SOAL
1. Buatlah satu definisi kualitas kayu untuk suatu tujuan penggunaan tertentu
2. Buatlah bagan hubungan antara perlakuan silvikultur dengan kualitas kayu
3. Buatlah suatu rancangan penanaman dan pemeliharaan di lapangan untuk
menghasilkan kayu bagi tujuan konstruksi, industri serat, papan komposit,
dan energi.






51
BAB IV

VARIABILITAS SIFAT DASAR KAYU

Tujuan Umum : Secara umum Bab ini bertujuan untuk menjelaskan keragaman
sifat-sifat kayu antar pohon, antar pohon dalam satu jenis, dan antar bagian dalam
satu pohon serta factor-faktor yang mempengaruhinya.
Tujuan Khusus : Secara khusus, Bab ini bertujuan memberikan kemampuan pada
mahasiswa untuk menjelaskan variasi sifat dalam arah vertikal dan horizontah kayu
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, mahasiswa dapat (1)
menghitung dimensi serat dan kerapatan beberapa jenis kayu pada arah horizontal
(pith ke kulit) dan arah vertikal (pangkal ke ujung), (2) menguraikan variabilitas
yang terjadi dalam hubungannya dengan kondisi pohon, lingkungan dan perlakuan
silvikultur yang diberikan.

Kayu berasal dari berbagai macam jenis pohon yang memiliki sifat-sifat yang
berbeda. Bahkan dalam satu pohon, kayu memiliki sifat yang berbeda. Perubahan
sifat-sifat ini karena adanya aktifitas fisiologis kambium vascular yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain (Panshin and de Zeeuw, 1980) :
1. Umur atau perubahan karena umur yang terjadi dalam kambium
2. Faktor genetik yang menyebabkan adanya variasi antar jenis pohon
3. Faktor lingkungan (curah huajn, suhu, kesuburan tanah dan perlakuan
silvikultur). Perlakuan silvikultur mempengaruhi persediaan air dan
nutrisi pada kambium. Faktor ini mempengaruhi variasi dalam maupun
antar pohon yang dapat menimbulkan modifikasi dalam pola-pola dasar
variasi kayu secara individual, tetapi masih dalam batas kemampuan
genetis pohon.

52
Menurut Tsoumis (1991) ; Chauhan et al (2006) variasi sifat-sifat pada
kayu, bervariasi di dalam lingkaran tahun, bervariasi di dalam pohon, antara pohon
pada tempat tumbuh yang sama, antara populasi yang sama genotipnya yang tumbuh
pada daerah yang berbeda. Secara umum variasi yang terjadi di dalam pohon pada
arah horizontal (pith ke kulit) dan arah vertikal (pangkal ke ujung).
Variabilitas sifat kayu banyak dipengaruhi antara lain oleh umur kayu. Ada
tiga periode yang kita kenal yaitu (1) juvenile or immature, (2) adult or mature dan
(3) senescent or overmature. Ketiga periode ini sangat susah didefenisikan karena
bervariasi tergantung jenis kayu. Pengaruh umur akan terjadi variasi karena
perubahan dari kayu gubal menjadi kayu teras, kayu juvenile ke kayu dewasa.
Berikut ini akan diuraikan variasi pada arah horizontal dan vertikal akibat perubahan
umur, lingkaran tumbuh, kayu awal dan kayu akhir serta kayu juvenile dan kayu
dewasa.

A. VARIASI ARAH HORIZONTAL

Di dalam bagian dari pith ke kulit pada beberapa ketinggian, karakteristik
struktur mempunyai pola yang umum. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa
struktur lingkaran tumbuh, dimensi sel (panjang, diameter, tebal dinding sel),
ultrastruktur (sudut mikrofibril, derajat kristalin), dan kandungan sellulosa dan lignin
berubah dengan cepat pada jumlah lingkaran tumbuh tertentu dan pada saat
mencapai titik tertentu meningkat atau menurun.

A.1. Dimensi Serat
Orang pertama yang melakukan penelitian panjang serat pada arah horizontal
adalah Sanio pada tahun 1872 (Tsoumis 1991). Sanio telah menemukan pola panjang
trakeid dalam batang, akar dan cabang Pinus sylvestris L. Ia menemukan (Panshin,
de Zeeuw, 1980) dalam arah melintang batang dan cabang, panjang trakeid dekat
53
hati adalah terpendek, bertambah dengan cepat pada tahun-tahun permulaan
pertumbuhan, akhirnya mencapai panjang maksimum kemudian konstan pada saat
pohon menjadi dewasa. Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
panjang trakeid (0,5-1.5 mm) dan panjang serat (0,1-1,0 mm) sangat pendek pada
lingkaran tumbuh awal pertumbuhan dan meningkat 3-5 kali lebih panjang pada
kayu daun jarum. Pada kayu daun lebar kebanyakan dua kali pada beberapa jenis.
Variasi panjang trakeid dalam arah horizontal dapat terjadi antara peralihan
dari bagian kayu awal ke kayu akhir dan variasi panjang trakeid dari pith ke
beberapa lingkaran tahun ke arah kulit. Variasi panjang serabut/trakeid dari kayu
awal ke kayu akhir dipengaruhi oleh sifat peralihan dari kayu awal ke kayu akhir.
Pada kayu daun jarum peralihan yang mendadak antara kayu awal ke kayu akhir
menghasilkan suatu puncak yang tajam yang disebabkan oleh trakeid yang panjang
pada bagian kayu akhir seperti pada Pseudotsuga menziesii (Gambar 6). Peralihan
yang berangsur-angsur dari kayu akhir ke kayu awal menghasilkan diagram panjang
trakeid yang mirip gigi gergaji bundar. Pola ini antara lain terdapat pada Pinus
radiata yang ditanam di Australia.


Gambar 6. Variasi Panjang Trakeid pada peralihan yang mendadak antara
kayu awal ke kayu akhir.
54


Variasi panjang trakeid dari pith ke beberapa lingkaran tahun ke arah kulit
dapat dilihat pada Gambar 7 (a). Kayu daun lebar yang berpori tata lingkar variasi
panjang serat menunjukkan pertambahan panjang yang cepat pada kayu awal ke
kayu akhir demikian juga dari pith ke kulit (Gambar 7b). Kayu yang berpori tata baur
tidak menunjukkan adanya variasi panjang serat pada peralihan kayu awal ke kayu
akhir demikian juga dari pith ke kulit (Gambar 7 c).





Gambar 7. Variasi Panjang Trakeid pada kayu daun jarum (a), panjang serat
pada kayu daun lebar tata lingkar (b), kayu daun lebar tata baur (c).
55
Panjang serat yang konstan pada umur dewasa tedapat pada pohon Caryo
ovata, Eucalyptus regnans, Picea abies, Pinus densiflora, P. radiata, P. taeda, P.
elliottii, P. merkusii dan Sequoia sempervirens, Larix spp (Pandit, 2006). Panjang
serat yang terus naik pada umur dewasa antara lain Liriodendron tulipifera, Picea
sitchensis, P. ponderosa, P. resinosa, P. strobes, P. taeda dan Thuja plicata.
Variasi diameter serat dan tebal dinding sel pada lingkaran tahun dari pith ke
kulit dapat dilihat pada Gambar 8. Kecenderungan memperlihat diameter serat dan
tebal dinding sel akan meningkat dari pith ke kulit. Kecenderungan ini telah diteliti
pada Fraxinus pennsylvanica, Picea sitchensis, Pinus resinosa dan Pinus echinata.
Pada umumnya tebal dinding sel kayu awal dari hati ke kulit naik 15 % dalam
periode 30 tahun, kecuali P. resinosa kenaikan tebal dinding sel naik 30 % dalam
periode 30 tahun.


Gambar 8. Variasi Tebal dan Diameter Dinding Sel pada Lingkaran Tahun

56
Penyebab terjadinya perubahan panjang sel dalam arah radial didasarkan oleh
pendewasaan atau perubahan-perubahan umur pada inisial kambium dan sel-sel
induk xylem. Kecepatan tumbuh juga mempengaruhi pertambahan panjangnya sel-
sel inisial kambium. Pertumbuhan yang cepat akan menghambat pertambahan
pertumbuhan panjang sel-sel inisial kambium pada tahun-tahun permulaan kegiatan
kambium dan menunda waktu terbentuknya panjang sel yang maksimum.
Perubahan tebal dinding sel pada kayu awal ke kayu akhir adalah tergantung
banyaknya hasil fotosintesis yang diterima. Pada awal musim tumbuh persaingan
antara pertumbuhan panjang intermodal, produksi daun dan pembentukan sel-sel
xylem dan floem sekunder adalah sangat besar, kambium hanya memperoleh sedikit
hasil fotosintesis sehingga dinding sel yang terbentuk tipis. Sesudah perkembangan
tajuk selesai, jumlah hasil fotosintesis dalam kambium semakin besar sehingga
dinding sel yang terbentuk menjadi tebal dan maksimum pada bagian-bagian akhir
dari musim tumbuh.

A.2. Kerapatan

Kerapatan dari Araucaria sp dan kayu daun lebar tata baur, memperlihatkan
perbedaan kerapatan yang sangat menyolok pada lingkaran tumbuh. Hal ini
disebabkan oleh variasi iklim dan pembentukan kayu akhir. Variasi kerapatan pada
satu lingkaran tumbuh melebihi variasi kerapatan yang terjadi antar pohon. Sebagai
contoh variasi yang sangat ekstrim antara kayu akhir (870 kg/m
3
) dan kayu awal
(170 kg/m
3
) pada Douglas fir atau kayu akhir (900 kg/m
3
) dan kayu awal (300
kg/m
3
) pada Pinus palustris (Panshin and de Zeeuw, 1980 ; Walker, 2006). Variasi
kerapatan di dalam lingkaran tahun dan antara lingkaran tahun dapat di lihat pada
Gambar 9.



57





Gambar 9. : Variasi kerapatan dasar di dalam dan antar lingkaran tumbuh
dengan jarak dari pith ke luar pada Douglas fir.


Variasi kerapatan erat hubungannya oleh interaksi antara tebal dan diameter
sel, proporsi dinding sel yang berada pada lapisan S2, jumlah sellulosa di dalam
kayu (hubungan dengan umur) dan sudut microfibril pada lapisan S2. Kayu tekan
yang mempunyai sudut mikrofibril yang besar, kerapatan meningkat dibandingkan
kayu normal pada umur dan ketinggian yang sama. Kerapatan dasar suatu kayu
berhubungan dengan jumlah bahan (kayu) kering per unit volume (kondisi basah).
58
Hasil penelitian Wilson dalam (Pandit 2006) memperlihatkan perbandingan
antara kerapatan kayu awal dan kayu akhir adalah 4-5 berbanding satu. Perubahan
tebal dinding sel kayu awal dan kayu akhir dalam satu riap tidak sebesar diameter
sel. Pertambahan ketebalan dinding sel 1-2 kali kayu awal ke kayu akhir adalah
normal.
A.3. Sudut Mikrofibril
Menurut Chauhan et al, (2006) variasi sudut mikrofibril pada lapisan S2.
Sudut mikrofibril umumnya besar pada lingkaran tumbuh dekat pith kemudian
menurun beberapa lingkaran kearah luar kemudian konstan besarnya pada Pinus
radiate (Gambar 10). Mikrofibril berkorelasi negatif dengan panjang trakeid/serat
artinya makin panjang sel makin kecil sudut mikrofibrilnya.. Pada kayu daun jarum
yang panjang trakeidnya cenderung lebih panjang perubahan sudut mikrofibrilnya
lebih besar (55
0
-20
0
) dibanding kayu daun lebar (28
0
-10
0
). Derajat kristalinitas
meningkat secara significant pada lingkaran tumbuh hemlock (Tsuga heterophylla)
dari pith ke kurang lebih lingkaran tumbuh ke 15, setelah itu meningkat atau
menurun secara konstan (Tsoumis, 1991).

Gambar 10. Variasi Sudut Mikrofibril dari Pith pada Pinus radiata
59
A.4. Komponen kimia kayu
Kandungan sellulosa pada Douglas-fir dan beberapa jenis dari kayu daun
jarum yang diteliti menunjukkan meningkat dari pith ke luar, mengikuti pola secara
umum panjang trakeid (Tsoumis 1991). Kandungan lignin berlahan-lahan menurun
pada beberapa bagian. Pada lingkaran tumbuh bagian luar pohon yang berumur tua
ditemukan kandungan sellulosa yang lebih tinggi dan kandungan lignin yang rendah
pada kayu akhir dibandingkan kayu awal pada riap yang sama. Misalnya pada Pinus
resinosa kayu awal mempunyai lignin 2-3 % lebih tinggi daripada kayu akhir
(Panshin and de Zeeuw, 1980 ; Pandit, 2006). Variasi kandungan holosellulose pada
kayu awal berkisar 72,5 % sampai 73,5 % pada kayu awal dan 74,5 % sampai 78 %
pada kayu akhir untuk jenis Pseudotsuga menziesii dan Pinus resinosa. Pada
beberapa kayu daun jarum, kandungan sellulosa pada kayu akhir tidak hanya lebih
tinggi tetapi derajat polimerisasi, kerapatan dan derajat kristalinitasnya juga tinggi
(Panshin and de Zeeuw, 1980).

A.5. Kekuatan dan Elastisitas
Sifat fisik kayu erat hubungannya dengan dimensi serat, sudut mikrofibril,
derajat kristalinitas dan ratio antara lignin dan sellulosa. Pada kayu daun jarum dan
daun lebar (Tsoumis, 1991) MOR dan MOE meningkat dari pith ke arah luar sejalan
dengan panjang trakeid/serat, berat jenis dan berbanding terbalik dengan sudut
mikrofibril.

B. VARIASI ARAH VERTIKAL

Variasi ke arah vertikal dalam satu jenis pohon dapat dilihat dari pangkal
menuju ujung pohon. Variasi arah vertikal dapat diketahui dengan jelas karena setiap
perbedaan ketinggian akan berbeda struktur pada setiap lingkaran tumbuh. Sehingga
variasi pada arah vertikal tidak sesederhana variasi pada arah horizontal.
60
B.1. Dimensi Serat

Panjang trakeid di dalam lingkaran tahun yang sama meningkat dari pangkal
ke atas pada jarak tertentu, setelah mencapai maksimum menurun ke arah ujung
pohon, dimana panjang trakeid lebih pendek dari pangkal (Gambar 11). Pola ini
ditemukan Sanio pada Scots pine. Panjang serat kayu sepanjang riap ke lima puluh
jenis Eucalyptus regnans, pada bagian pangkal antara 1-1,1 mm pada ketinggian 50
ft kemudian panjang serat naik sampai mencapai maksimum 1,35 mm, di atas
ketinggian 50 ft panjang serat menurun dengan cepat sampai mencapai 0,8 mm pada
ujung pohon (Panshin and de Zeeuw, 1980).


Gambar 11. Variasi Panjang Serat Arah Vertikal dan Horizontal pada
Eucalyptus regnans
61
B.2 Kerapatan

Variasi kerapatan pada arah vertikal terdapat tiga pola yang umum yaitu :
1. Kerapatan menurun dari pangkal ke puncak, contohnya kayu daun jarum
(Pinus), Picea abies, pseudotsuga menziesii, Tsuga heterophylla. Pada kayu
daun tidak lasim ditemukan pola ini kecuali pada Acer nigrum dan A.
saccharinum.
2. Kerapatan menurun di bagian pangkal kemudian naik di puncak, contohnya
kayu daun jarum (P. constanta dan P. strobus) dan kayu daun lebar (
Liriodendron tulipifera dan Tectona grandis)
3. Naik dari pangkal ke ujung dengan pola yang seragam, Pola ini banyak
terdapat pada kayu daun lebar dan merupakan modifikasi dari pola yang
pertama karena adanya mata kayu. Contoh pada kayu daun lebar (Fagus
sylvatica, Farxinus penusylvanica, Nyssa aquatic, Liquidambar styraciflua,
Quercus falcate) dan kayu daun jorum (Picea sitchensisi dan Thuja plicata)

Variasi kerapatan dari pangkal ke ujung pada beberapa penelitian
menunjukkan pola yang berbeda, misalnya pada Pinus resinosa yang tumbuh di
hutan alam,kerapatannya berkurang dari pangkal ke ujung tetapi pada hutan tanaman
kerapatannya naik dari pangkal keujung atau berkurang pada bagian pangkal dan
naik pada bagian ujung batang (Gambar 12). Variasi ini sangat tergantung pada tipe
dan proporsi sel yang menyusun bagian pohon.
62

Gambar 12. Variasi Kerapatan di dalam Pohon Radiata Pine. (a).
Kerapatan dasar di atas pada Pohon Tua sama dengan Pohon 10 Tahun,
(b) Kerapatan dasar meningkat seiring dengan umur,(c) Kerapatan basah
tertinggi di Ujung Batang dimana Kerapatan Dasarnya Terendah

63
C. BAHAN DISKUSI

1. Variasi vertikal sifat-sifat kayu
2. Variasi horizontal sifat-sifat kayu
3. Variasi dan kualitas kayu hubungannya dengan kondisi pohon, lingkungan
dan perlakuan silvikultur yang diberikan

D. BAHAN PENGAYAAN
Kellomki, S., Ikonen, V.-P., Peltola, H. and Kolstrm, T. 1999. Modelling the
structural growth of Scots pine with implications for wood quality. Ecological
Modelling 122:117-134.

Ikonen, V.-P., Kellomki, S. and Peltola, H. 2003. Linking tree stem properties of
Scots pine (Pinus sylvestris L.) to sawn timber properties through simulated sawing.
Forest Ecology and Management 174:251-263.

Ikonen, V.-P., Kellomki, S., Visnen, H. and Peltola, H. 2006. Modelling the
distribution of diameter growth along the stem in Scots pine. Trees 20:391-402.


E. LATIHAN SOAL-SOAL
Buatlah suatu grafik variasi sifat kayu pada arah horizontal berdasarkan hasil
praktikum laboratorium dengan menghitung dimensi serat dan kerapatan beberapa
jenis kayu pada arah horizontal (pith ke kulit) dan arah vertikal (pangkal ke ujung).




64
BAB V
SYARAT KUALITAS PRODUK HASIL HUTAN

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran
syarat-syarat kualitas untuk berbagai produk hasil hutan.
Tujuan Khusus : Secara khusus, Bab ini bertujuan untuk memberikan kemampuan
kepada mahasiswa untuk dapat menganalisa persyaratan kualitas kayu untuk
berbagai macam produk kehutanan seperti syarat kualitas kayu gergajian, penghasil
serat, produk komposit dan penghasil energi.

A. PENGENALAN SIFAT-SIFAT KAYU

Penggunaan kayu untuk tujuan tertentu, memerlukan pengetahuan yang
mendasar mengenai sifat-sifat kayu tersebut. Sifat-sifat ini sangat penting dalam
industri pengolahan hasil hutan, sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk
diversifikasi jenis dan produk sehingga tidak hanya dari jenis tertentu yang dipakai
tetapi bervariasi mengingat makin langkanya ketersediaan kayu di alam.
Sifat-sifat kayu ada yang bersifat makroskopis, mikroskopis, ultrastruktur
bahkan dengan kemajuan tehnologi saat ini secara nanostruktur dapat diketahui.
Ciri-ciri makroskopis kayu (Panshin, de Zeeuw, 1980) adalah riap pertumbuhan,
bidang potongan pada kayu, kayu gubal dan kayu teras, warna dalam kayu, kilap,
bau dan rasa, serat dan tekstur, berat kayu, kekerasan, ciri-ciri anatomis kayu yang
penting dalam pengenalan dan gambar pada kayu. Sedangkan ciri mikroskopis dan
ultrastruktur kayu antara lain adalah dimensi serat, proporsi dan tipe sel penyusun
kayu, komponen kimia penyusun dinding sel, sudut mikrofibril dan derajat kristalin
pada lapisan S2 dinding sel sekunder.
65
Sifat-sifat kayu, baik makroskopis, mikroskopis maupun ultrastuktur telah
banyak dibahas dalam mata kuliah Ilmu Kayu. Pada bagian ini sifat-sifat tersebut
perlu diingat kembali, termasuk bagaimana sifat-sifat tersebut dapat bervariasi.
Secara umum dapat dijelaskan kembali bahwa pada dasarnya, kayu merupakan
biopolimer tiga dimensi yang saling berhubungan satu sama lain, baik secara fisik
maupun secara kimia. Dengan demikian kayu yang biasa kita lihat bukanlah benda
utuh yang homogen, tetapi tersusun atas sel-sel yang dibentuk secara kimia dengan
berbagai sifat, fungsi, dan orientasi. Oleh karenanya, mudah dimengerti bahwa
sepotong kayu akan dapat berbeda sifat-sifatnya dengan potongan lainnya seperti
dijelaskan pada bab terdahulu. Sifat-sifat tersebutlah yang pada dasarnya sangat
menentukan kualitas kayu bagi suatu peruntukan tertentu.

B. SYARAT KUALITAS KAYU

Kualitas barang atau produk pada dasarnya mengandung banyak definisi
karena sangat ditentukan oleh cara pandang pengguna. Pada Tabel 2 dapat dilihat
syarat kualitas kayu untuk sifat tertentu dalam pengolahan kayu dan sifat dasar kayu
(Armstrong,2005). Penggunaan kayu secara umum dapat dibagi kedalam empat
golongan yaitu penggunaan untuk kayu konstruksi, penggunaan untuk menghasilkan
serat, penggunaan untuk papan komposit dan penggunaan kayu untuk energi.
Masing-masing tujuan penggunaan memiliki persyaratan tehnis yang berbeda
sehingga jenis kayu yang digunakan pun akan berbeda. Dengan demikian diharapkan
bahwa pengetahuan akan syarat kualitas kayu dan sifat-sifat penggunaannya perlu
dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Pada Tabel 3 dapat
dilihat penggunaan kayu untuk tujuan tertentu, dengan persyaratan teknis yang
diinginkan oleh pengusaha pengolahan kayu serta jenis kayu yang umumnya dipakai
(LitbangDephut, 2008).

66
Tabel 2. Syarat Kualitas Kayu dan Sifat Kayu

Wood Quality
Requirements
Wood Property Trait
Physical Anatomical Chemical
Mechanical
(strength)
stiffness Density/BJ
microfibril
angle
-
strength Density/BJ
cell wall
thickness
extractives
hardness Density/BJ
cell wall
thickness
-
Stability
distortion growth stress
microfibril
angle, cell wall
thickness
lignin
shrinkage growth stress
microfibril
angle
extractives
collapse
Density/BJ,
growth stress,
moisture content
microfibril
angle, vessels
-
Biological
colour
sapwood/juvenile
wood
- extractives
durability
Density/BJ,
heartwood
cell wall
thickness
extractives
Manufacturing
gluability
Density/BJ
-
extractives
drying
cell wall
thickness
machining
cell wall
thickness
Log processing
stiffness,
splits
Density/BJ,
growth stress
tension wood,
cell wall
thickness
-
Sumber : www.dpi.qld.gov.au/hardwoodsqld/11872.html
67
Tabel 3. Penggunaan Kayu, Persyaratan Teknis dan Jenis Kayu

Tujuan Pemakaian Persyaratan Teknis Jenis Kayu
Alat Olah Raga Kuat. Tidak mudah patah,
ringan tekstur halus, serat
halus, serat lurus dan panjang,
kaku, cukup awet
Agathis, bedaru, melur,
merawan, nyatoh,
salimuli, sonokeling,
teraling
Alat Musik Tekstur halus, berserat lurus,
tidak mudah belah, daya
resonansi baik
Cempaka, merawan,
nyatoh, jati, lasi, eboni
Alat Gambar Ringan, tekstur halus, warna
bersih
Jelutung, melur, pulai,
pinus
Arang Berat jenis tinggi Bakau, kesambi,
walikukun, cemara,
gelam, gofasa, johar,
nyirih, rasamala, puspa,
simpur
Bangunan
(Konstruksi)
Kuat, keras, berukuran besar,
mempunyai keawetan alam
yang tinggi
Balau, bangkirai,
belangeran, cengal,giam,
jati, kapur, kempas,
keruing, lara, rasamala
Bantalan Kereta Api Kuat, keras, kaku, awet Kuat, keras, kaku, awet
Korek Api Kayu bulat berdiameter besar,
bulat, bebas cacat, beratnya
sedang, cukup kuat (anak korek
api), elastic, tidak mudah pecah
(kotak)
Gathis, benung, jambu,
kemiri, sengon, perupuk,
pilai, terentang, pinus
Lantai (Parket) Keras, daya abrasi tinggi, tahan
asam, mudah dipaku, cukup
kuat
Balau, bangkirai,
belangeran, bedaru,
bintangur, kempas, ulin
Moulding Inga, serat lurus, tekstur halur,
mudah dikerjakan, mudah
dipaku, warna terang, tanpa
cacat, dekoratif
Jelutung, pulai, ramin,
meranti
Patung dan Ukiran
Kayu
Serat lurus, keras, tekstur halus,
liat, tidak mudah patah dan
berwarna gelap

Jati, sonokeling, salimuli,
melur, cempaka, eboni
68
Pensil Berat jenis sedang, mudah
dikerat, tidak mudah bngkok,
warna agak merah, berserat
lurus
Agathis, jelutung, melur,
pinus
Perkakas (mebel) Berat sedang, dimensi stabil,
dekoratif, mudah dikerjakan,
mudah dipaku. Dibubut,
disekrup, dilem dan direkat
Jati, eboni, kuku,
mahoni, rengas,
sonokeling,
sonokembang, ramin
Perkapalan : Lunas

Tidak mudah pecah, tahan
binatang laut
Ulin, kapur
Perkapalan : Gading Kuat, liat, tidak mudah pecah,
tahan binatang laut
Bangkirai, bungur, kapur
Perkapalan : Senta Kuat, liat, tidak mudah pecah,
tahan binatang laut
Bangkirai, bungur, kapur
Perkapalan : Kulit Tidak mudah pecah, Kuat, liat
tahan binatang laut
Bangkirai, bungur,
meranti merah
Perkapalan :
Bangunan dan
Dudukan Mesin
Tidak mudah pecah karena
getaran mesin,kuat, awet
Ulin, bangkirai, kapur,
meranti merah, medang
Perkapalan :
Pembungkus as
baling-baling
Liat, lunak sehingga tidak
merusak logam
Nangka, bungur, sawo
Tiang
Listrik/telepon
Kuat menahan angin, ringan,
cukup kuat, bentuk lurus
Balau, giam jati, kulim,
lara, merbau, tembesu,
ulin
Tong Kayu
(Gentong)
Tidak tembus cairan, tidak
mengeluarkan bau
Balau, bangkirai, jati,
pasang
Veneer biasa Kayu bulat berdiameter besar,
bulat, bebas cacat, beratnya
sedang
Meranti merah, meranti
putih, nyatoh, ramin,
agathis, benuang
Veneer mewah Kayu bulat berdiameter besar,
bulat, bebas cacat, beratnya
sedang, dekoratif
Jati, eboni, sonokeling,
kuku, bongin, dahu, lasi,
rengas, sungkai, weru,
sonokembang
Sumber : Departemen Kehutanan, 2005


69
C. MENENTUKAN KUALITAS PRODUK KAYU

Telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa kualitas kayu sangat
ditentukan oleh tujuan penggunaannya dan oleh karenanya pengadaan produk-
produk kayu perlu memperhatikan permintaan konsumen. Dalam hubungan ini,
kualitas dapat ditentukan berdasarkan kesesuaiannya yang meliputi kesesuaian
spesifikasi, kesesuaian penggunaan, kesesuaian harga, dan kesesuaian
pengembangan kebutuhan. Pada kenyataannya, kualitas kayu dapat saja memenuhi
satu kesesuaian atau lebih. Dengan demikian, tingkat kualitas kayu dapat dilihat dari
pemenuhan satu atau lebih tingkat kesesuaian.
Kesesuaian terhadap spesifikasi biasanya ditentukan oleh pengguna. Dalam
hal ini, produsen berperan untuk membuat suatu produk yang sesuai dengan lembar
spesifikasi yang ditentukan. Kesesuaian spesifikasi ini tidak dapat lahir atau dipenuhi
begitu saja tanpa didahului oleh identifikasi kebutuhan pasar dan melakukan
langkah-langkah pemenuhannya. Kesesuaian penggunaan dilihat lebih dari sekedar
memenuhi lembar spesifikasi. Pada tahap ini, kita sudah mulai melihat apakah
produk kayu yang ada, dengan spesifikasi jelas, telah sesuai dengan keperluan
penggunaannya. Kesesuaian biaya kemudian harus dilihat dengan membandingkan
dua produk yang sama spesifikasinya. Biaya atau harga yang lebih murah tentu saja
akan lebih baik. Nilai kualitas produk akan menjadi lebih tinggi lagi apabila produk
tersebut mampu memberikan kesempatan inovasi pengembangan dalam
penggunaannya. Dengan kata lain, produk tersebut mampu memenuhi kebutuhan
konsumen yang tidak diduga sebelumnya.

D. BAHAN DISKUSI

1. Syarat umum kualitas kayu untuk konstruksi
2. Syarat umum kayu untuk menghasilkan serat
70
3. Syarat umum kayu untuk papan komposit
4. Syarat umum kayu untuk energi.
E. BAHAN PENGAYAAN
Sebagai illustrasi tentang bagaimana kualitas kayu untuk tujuan penggunaan tertentu
dipengaruhi oleh tindakan-tindakan silvikultur, berikut adalah salah satu karya
ilmiah yang dimuat dalam Jurnal INFO TEKNIS Vol. 5 no. 2 September 2007 (Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan):
1
KAJIAN KONTROL SILVIKULTUR HUTAN TANAMAN TERHADAP
KUALITAS KAYU PULP
A Study of Plantation Forest Silviculture Control on Quality of Wood for Pulp

Aris Sudomo, Pipin Permadi dan Encep Rachman
Balai Penelitian Kehutanan Ciamis

ABSTRACT

The private forest development has a strategic position in solving the unbalance
supply and demand of wood as the raw material for pulp. The silviculture technique
on several local potential types of wood for pulp isunpopular yet. Therefore, it
becomes a handicap in its development. At present, the applied silviculturetechnique
is still conventional by orientating only at wood productivity aspect without
considering its fiberquality, such as wood physical and chemical characteristics.
Therefore, the silviculture research on plantation forest, especially the private forest
is very important because of its function in improving the wood productivity and
producing high quality wood for pulp. A study on plantation forest silviculture
control on quality of wood for pulp becomes a reference in conducting further
research and development. By using intensively silviculture technique, the high
productivity private forest with appropriate wood quality for pulp and positive effect
for environment is highly expected.
Keywords : Fiber quality, intensively silviculture, private forest, pulp, tree
improvement
71
ABSTRAK

Pembangunan hutan rakyat menempati posisi yang strategis dalam upaya mengatasi
permasalahan ketimpangan antara supply dan demand kayu sebagai bahan baku pulp.
Teknik silvikultur bebeberapa jenis kayu andalan setempat yang berpotensi sebagai
bahan baku pulp belum banyak diketahui, sehingga menjadi kendala dalam
pengembangannya. Teknik silvikultur yang diterapkan selama ini masih bersifat
konvensional yang berorientasi pada produktivitas/riap kayu tanpa memperhatikan
kualitas serat seperti sifat fisik dan kimia kayu. Penelitian silvikultur terhadap hutan
tanaman, khususnya hutan rakyat yang dapat meningkatkan produktivitas dan
menghasilkan kayu pulp berkualitas sangat penting dilakukan. Kajian kontrol
silvikultur hutan tanaman terhadap kualitas kayu pulp menjadi dasar untuk
melakukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Dengan teknik silvikultur
intensif diharapkan dapat tercapai hutan rakyat berproduktivitas tinggi dengan kulitas
kayu sesuai untuk bahan baku pulp dan berdampak positif terhadap lingkungan.

Kata kunci : Hutan rakyat, kualitas serat, pemuliaan pohon, pulp, silvikultur
intensif

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan kayu untuk bahan baku pulp yang terus meningkat belum tercukupi dari
produksi HTI-pulp di luar Jawa, sementara laju deforestasi hutan alam semakin
besar. Seiring dengan kebijakan revitalisasi industri kehutanan, ketersediaan kayu
untuk memasok bahan baku industri pulp dan kertas menjadi kebutuhan yang
mendesak. Hal ini menjadikan pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu
alternatif dalam upaya mengatasi permasalahan ketimpangan antara supply dan
demand bahan baku kayu pulp tersebut. Dengan adanya peluang pembangunan hutan
rakyat penghasil kayu pulp tersebut diharapkan dapat menjadi alternatif usaha untuk
72
peningkatan kesejahteraan petani hutan rakyat. Ketersediaan alternatif pilihan dalam
usaha pembangunan hutan rakyat ini perlu didukung dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi baru dalam pengembangannya. Oleh karena itu perlu dipelajari dan diteliti
tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan pembangunan hutan rakyat penghasil
kayu pulp, sehingga dalam pelaksanaan pembangunan hutan rakyat penghasil kayu
pulp kedepan selain dapat tercapainya produktivitas hutan yang berkelanjutan dan
berkualitas untuk bahan baku pulp tetapi juga tidak berdampak negatif terhadap
lingkungan.

Terdapat beberapa permasalahan pada kondisi HTI-pulp di luar Jawa yang
menyebabkan tidak berjalan sesuai dengan target yang diharapkan. Pembangunan
Hutan Tanaman Industri (HTI) telah dirancang di luar Jawa sejak dekade 1980-an.
Progam pembuatan hutan tanaman yang diperkenalkan oleh Pemerintah ini, luasan
totalnya akan mencapai 6,2 juta ha, menggunakan spesies cepat tumbuh dan dengan
tujuan pokok sebagai penghasil kayu untuk bubur kertas. Apabila target luasan ini
dapat terpenuhi dengan perkiraan riap adalah 15 m3/tahun, maka diharapkan tekanan
terhadap hutan alam akan banyak berkurang (Soeseno dalam Naiem, 2004). Namun
program pembangunan HTI tersebut tidak dapat berjalan dengan mulus karena
berbagai kendala, sehingga kualitas tanaman HTI yang dibangun masih jauh dari apa
yang diharapkan. Hingga tahun 2000, hutan tanaman yang dibangun di luar Jawa
khususnya Sumatera dan Kalimantan diperkirakan seluas 2,5 juta ha (Departemen
Kehutanan, 2000). Menurut Hardiyanto (2005) ketidaksesuaian antara jenis dengan
tapak (site) dan terjadinya penurunan kesuburan tanah karena teknik budidaya yang
rendah, merupakan faktor lain yang menyebabkan kurang optimalnya produktivitas
hutan tanaman. Kondisi beberapa jenis tanaman yang dipergunakan sebagai bahan
baku pulp sekarang beralih fungsi menjadi bahan baku pertukangan, seperti Acacia
mangium sehingga pasokan kayu untuk bahan baku industi pulp menjadi berkurang.
Pemanfaatan lahan dengan penanaman spesies tunggal secara terus menerus akan
73
menurunkan produktivitas lahan pada daur berikutnya, contohnya penggunaan lahan
gambut dengan jenis A.crassicarpa dan lahan mineral dengan jenis A. mangium di
daerah Riau yang secara terus menerus telah menyebabkan produktivitas lahan
menurun dan rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Penanaman spesies
tunggal menyebabkan basis genetika yang rendah, sehingga tanaman sulit
beradaptasi terhadap serangan hama dan penyakit. Untuk mengatasi permasalahan
ini maka diperlukan jenis-jenis lain sebagai jenis alternatif dan sekaligus sebagai
spesies cadangan (back-up species) dalam pengembangan hutan tanaman pulp di
masa mendatang.

II. KUALITAS KAYU UNTUK BAHAN BAKU PULP

Sifat-sifat kayu yang baik sebagai bahan baku pulp sangat penting untuk menentukan
jenis kayu pulp, maupun guna tujuan program silvikultur dan pemuliaan pohon yang
berorientasi pada kualitas produksi kayu pulp. Menurut Soenardi (1974), sifat-sifat
kayu yang baik untuk bahan baku pulp adalah serat yang lebih panjang dari
pada rata-rata jenis, tebal dinding sel memenuhi 2 w/l < 1, berat jenis dasar lebih
rendah dari pada rata-rata jenis, persentase serabut lebih besar dari pada pembuluh,
jari-jari dan parenkhim, kadar ekstratif rendah, kadar selulosa tinggi dari pada rata-
rata jenis dan kadar hemiselulosa cukup. Serat panjang menghasilkan kertas kuat
dengan kekuatan sobek tinggi dan dalam batas yang lebih rendah memberikan
kekuatan tarik, tembus dan lipat yang tinggi. Serat yang semakin rapat maka
kandungan lignin dan selulosa tinggi. Selulosa merupakan zat penyusun serat yang
dibutuhkan di dalam pembuatan pulp dan kertas, menentukan kekuatan ikatan kertas,
sedangkan lignin merupakan zat yang keras, lengket, kaku dan mudah mengalami
oksidasi. Menurut Haroen (1997) kandungan lignin diperlukan pada pulp untuk
pembuatan kertas mekanik tetapi tidak diperlukan untuk pembuatan kertas kimia.
Menurut Simon (1988), mutu dan kualitas bahan baku pembuat kertas pada
74
umumnya ditentukan berdasarkan lima macam indikator, yaitu bilangan runkel
(runkel ratio), kekuatan lipat (felting power), bilangan elastisitas (flexibility ratio),
koefisien ketegaran (coefficient of rigidity) dan bilangan Muhlsteph (Muhlsteph
ratio). Atas dasar lima indikator tersebut ditambah dengan indikator panjang serat,
maka suatu jenis kayu dapat ditentukan kelas kualitas seratnya. Klasifikasi kelas
kualitas serat kayu didasarkan pada ketentuan-ketentuan seperti yang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi kelas kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas
Kualitas Keterangan

Kelas I
Serat panjang sampai panjang sekali, dinding sel tipis
sekali dan lumen lebar. Serat akan mudah digiling.
Diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan
sobek, retak dan tarik yang tinggi.

Kelas II
Serat kayu sedang sampai panjang, mempunyai dinding
sel tipis dan lumen agak lebar. Serat akan mudah
menggepeng waktu digiling dan ikatan seratnya baik.
Serat jenis ini diduga akan menghasilkan lembaran
dengan kekuatan sobek, retak dan tarik cukup tinggi.

Kelas III
Serat kayu berukuran pendek sampai sedang, dinding sel
dan lumen sedang. Dalam lembaran pulp kertas, serat
agak menggepeng dan ikatan antar seratnya masih baik.
Diduga akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan
sobek, retak dan tarik sedang.

Kelas IV
Serat kayu pendek, dinding sel tebal dan lumen serat
sempit. Serat akan sulit menggepeng waktu digiling.
Jenis ini diduga akan menghasilkan lembaran dengan
kekuatan sobek, retak dan tarik yang rendah.
Sumber: Pengantar Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.
75

III. PEMILIHAN JENIS KAYU HUTAN RAKYAT PENGHASIL PULP

Jenis yang dipilih tidak hanya berkaitan dengan masalah silvikultur, akan tetapi juga
mempertimbangkan program pengelolaan dan pemanfaatan produk akhir. Penentuan
jenis masa depan yang merupakan jenis cadangan merupakan jenis prioritas
unggulan yang memiliki persyaratan tertentu, yaitu produktivitas (riap) tinggi,
bernilai ekonomis tinggi, memiliki sebaran alami luas sehingga memiliki variasi
genetik besar, cocok dan tumbuh baik di lokasi pengembangan, dapat dibiakkan baik
generatif maupun vegetatif, teknik silvikulturnya mudah dikuasai dan
tahan terhadap hama dan penyakit (Naiem, 2004).

Hutan rakyat memiliki berbagai jenis tanaman yang belum diketahui teknik
budidayanya sehingga belum banyak dikembangkan. Dengan diketahuinya adanya
potensi jenis andalan setempat sebagai bahan baku pulp, maka sangat
memungkinkan menggunakan jenis tersebut sebagai jenis alternatif penghasil kayu
pulp. Jenis kayu tersebut harus mempunyai sifat-sifat kayu yang sesuai dengan
syarat-syarat bahan baku industri kayu serat dan persyaratan tempat tumbuh,
sehingga hutan tanaman berproduktivitas tinggi dan menghasilkan kayu pulp
berkualitas.

Kualitas kayu pulp yang dihasilkan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Sifat kualitas kayu lebih banyak dipengaruhi secara genetik. Oleh karena itu, perlu
upaya pemuliaan pohon untuk mendapatkan kayu berkualitas sebagai bahan baku
pulp. Kayu untuk industri pulp sebaiknya termasuk golongan cepat tumbuh, lurus
dan berserat panjang untuk menghasilkan kertas berkualitas tinggi. Hal ini dapat
diketahui dengan melakukan uji jenis dan analisis sifat-sifat kayu yang akan
dijadikan kandidat jenis pohon penghasil bahan baku pulp. Uji jenis diperlukan
76
untuk membuktikan bahwa suatu jenis kayu mampu membentuk struktur tumbuh
yang baik dan menghasilkan kayu yang berkualitas. Cara pemilihan jenis pada aliran
eksperimental ini didasarkan pada serangkaian percobaan yang dirancang dengan
Rancangan Acak Berblok Lengkap (Randomized Complete Block Design).

Dalam percobaan tersebut ulangan dibuat minimal 3 kali, pada setiap blok jenis-jenis
yang diuji harus diacak, sehingga masing-masing jenis yang diuji memiliki peluang
sama dalam memanfaatkan ruang tumbuh. Apabila terdapat perbedaan dalam hal
pertumbuhan pada jenis-jenis yang diuji, perbedaan tersebut bukan disebabkan
karena faktor lingkungan. Blok yang dirancang sebaiknya mewakili perbedaan
lingkungan areal pertanaman. Blok merupakan unit homogenitas terkecil, sedangkan
antar blok kondisi lingkungan berbeda. Uji jenis dapat dilakukan secara multi lokasi
sehingga akan tampak jenis yang pertumbuhannya lebih baik dari jenis lain dalam
kondisi beberapa lingkungan yang berbeda. Masing-masing jenis ditanam dalam
bentuk gross plot misalnya 7 x 7 tanaman, bujur sangkar karena terdapat border
trees. Net plot 5 x 5 tanaman didalam gross plot merupakan pohon yang diukur
pertumbuhannya.

Dalam pemilihan jenis, dapat menggunakan aliran naturalis yang mendasarkan
pendapat pada jenis yang telah beradaptasi cukup lama di tempat tumbuhnya, serta
dengan kelebihan lain misalnya sifat jenis tersebut sesuai dengan pemanfaatan yang
diharapkan sehingga ideal untuk dipilih. Jenis lokal telah lama mampu beradaptasi
dengan lingkungannya, sehingga proses adaptasinya diperkirakan lebih cepat. Oleh
karena itu aliran naturalis cenderung memilih jenis-jenis lokal. Aliran naturalis
mendasarkan kesesuaian jenis dengan lingkungan tempat tumbuh berdasarkan matrik
antara lain curah hujan, lama musim kering pendek, maksimum suhu bulan terkering
tiga bulan, topografi sesuai, tanah, hama dan penyakit (Soekotjo, 2004).
77
Berdasarkan pengamatan dan analisis beberapa sifat yang dimiliki oleh beberapa
jenis kayu rakyat, maka terdapat beberapa jenis kayu andalan setempat yang
potensial untuk dijadikan jenis alternatif dan jenis cadangan (back-up spesies) dalam
pengembangan hutan tanaman penghasil pulp.
4
A. Mindi (Melia azedarach)

Mindi merupakan jenis pohon yang cepat tumbuh, ditanam di semua negara tropis
dan subtropis. Menurut Koorders & Valeton dalam Heyne (1987), mindi tidak
tumbuh dengan liar dan dimanfaatkan sebagai pohon peneduh pada tanaman kopi
dan teh. Mededeling dalam Heyne (1987) menyatakan bahwa kayu mindi agak
ringan dan kasar, berurat lurus dan berwarna coklat merah muda mengkilat dengan
sedikit lembayung. Persebaran jenis mindi meliputi seluruh Jawa, Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Kayu mindi dapat digunakan untuk peti
teh, papan, panil dan vinir hias. Sortimen kayu mindi yang berat baik digunakan
untuk mebel (Departemen Kehutanan, 2000), serta cocok untuk kotak dan batang
korek api (Heyne, 1987).

Sifat fisik mindi di antaranya memiliki berat jenis 0,53 dengan rentang antara 0,42 -
0,65 dan kelas kuat III-II, penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur adalah
3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial), warna kayu teras merah coklat muda bersemu
ungu, gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batang yang jelas dengan
kayu teras; tekstur kayu sangat kasar; arah serat lurus atau agak berpadu; permukaan
kayu agak licin dan mengkilap indah; pada bidang radial dan tangensial tampak
gambaran berupa pita-pita yang berwarna lebih tua, sedangkan untuk sifat kimia
mindi disajikan pada Tabel 2.



78
Tabel 2. Sifat kimia kayu mindi

Kandungan Kimia Kadar
Selulosa 51,0%
Lignin 30,1%
Pentosan 17,6%
Abu -
Silika -
Kelarutan Persentase
Alcohol benzena 2,8%
Air dingin 1,5%
Air panas 3,8%
NaOH 1% 17,2%
Sumber: Atlas Kayu Indonesia Tahun 2005


B. Manglid (Manglieta glauca BI),

Manglid merupakan jenis pohon yang dapat mencapai tinggi maksimum 40 m
dengan garis tengah 150 cm. Tingkat pertumbuhan tinggi mencapai 4 m - 6 m dalam
waktu lima tahun. (Hildebran, 1935, dalam Rimpala, 2001). Jenis ini di Jawa Barat
sangat disukai karena kayunya mengkilat, strukturnya padat, halus, ringan dan kuat.
Kekuatan kayunya digolongkan dalam kelas III dan keawetannya kelas II. Adapun
keuntungannya karena kayunya ringan dengan berat jenis 0,41 sehingga mudah
dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah,
barang-barang hiasan, patung dan ukiran yang banyak ditemukan di daerah Bali
(Prosea, 1998 dalam Rimpala, 2001).

79
Penyebaran alami dijumpai di Jawa, Sumatera, Bali-Lombok dan Sulawesi dalam
hutan primer pada tanah pasir atau tanah liat. Manglid tumbuh baik pada ketinggian
900 m - 1700 m dpl dalam hutan campuran yang lembab, pada tanah yang subur dan
selalu lembab. Selama ini, kayu manglid digunakan sebagai perkakas rumah tangga
(meja, kursi, lemari), bangunan rumah, pembangunan jembatan, pelapis kayu dan
kayu lapis, serta diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan baku pulp. Manglid di
Jawa Barat dikembangkan melalui agroforestry pada program hutan rakyat dan
dijadikan komoditas unggulan dalam pengembangan hutan rakyat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala, 2001).
5
C. Tisuk (Hibiscus macrophyllus)

Tisuk merupakan jenis pohon cepat tumbuh dengan tinggi 15 m - 25 m dan diameter
15 cm 25 cm, berbatang lurus, tumbuh liar di Jawa Barat dan Jawa Tengah, di
bawah ketinggian 800 m dpl dan dapat ditanam hingga 1400 m dpl. Tumbuhan ini
mudah dibiakkan dengan biji tetapi tidak dengan cara stek (Heyne, 1987).
Penyebaran alami jenis ini terdapat di Jawa, di hutan tanah rendah dan belukar
dengan ketinggian hingga 500 m dpl. Jenis tisuk di Indonesia banyak terdapat di
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa dan Sumatera.

Dalam Mededeling No. 5 (1920) kayu tisuk dilukiskan sangat ringan hingga ringan,
sangat lembut, berstruktur padat dan agak halus, berwarna coklat kelabu muda
keungu-unguan. Kayu tisuk di Jawa dianggap cocok untuk bangunan rumah, korek
api, pembuatan tali dan untuk bahan anyaman tikar, dinding dangau dan lumbung
padi. Kulit kayu untuk tali maupun benang pancing harus direndam dalam air selama
satu pekan, dikerok dan dikeringkan serta bahan serat ini sangat tahan lama (Heyne,
1987).
80
Pembungaan dan pembuahan terjadi sepanjang tahun. Tegakan pohon yang
memenuhi syarat untuk sumber benih belum ditemukan (Anonimous, 1979). Di Jawa
Barat seperti di daerah Banjarsari, Panawangan dan Sukadana masih ditemukan
tegakan alam tisuk pada areal masyarakat (Dinas Kehutanan Prop. Jawa Barat dalam
Syamsuwida dkk., 2003).

Menurut Sudrajat dkk. (2002), H. macrophyllus berpotensi dikembangkan untuk
hutan tanaman. Secara ekonomi, kayu jenis ini mempunyai nilai yang cukup baik
sebagai bahan baku pulp dan kertas, serta dapat digunakan sebagai bahan kontruksi
ringan. Jenis ini memiliki tingkat pertumbuhan cukup cepat dengan bentuk batang
bulat dan lurus. Namun budidaya jenis ini masih terhambat karena terbatasnya
ketersediaan benih/bibit yang berkualitas.

IV. KONTROL TERHADAP KUALITAS KAYU PULP

Budidaya jenis kayu andalan setempat yang diduga berpotensi sebagai bahan baku
pulp belum banyak diketahui, sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya.
Metode yang diterapkan selama ini masih bersifat konvensional yang berorientasi
pada produktivitas/riap kayu tanpa memperhatikan kualitas serat seperti sifat fisik
dan kimia kayu sebagai bahan baku pulp. Oleh karena itu, diperlukan metode atau
cara yang dapat meningkatkan produktivitas/riap dan kualitas kayu sebagai bahan
baku pulp. Dalam pengembangan hutan tanaman penghasil bahan baku pulp,
disyaratkan terbangunnya tegakan dengan struktur tumbuh baik, seragam, batang
lurus dan sedikit percabangan untuk memudahkan kegiatan pemanenan, pengupasan
dan pengangkutan. Kualitas kayu sebagai bahan baku pulp sebaiknya mempunyai
sifat fisik dan kimia yang sesuai antara lain kandungan selulosa tinggi, kandungan
lignin rendah dengan dimensi serat bagus dan berat jenis antara 0,3 - 0,8 (Mindawati,
2007).
81
Berat jenis kayu merupakan nilai perbandingan berat suatu kayu terhadap volume air
yang sama dengan kayu tersebut, karena kayu mempunyai rongga-rongga maka berat
jenisnya dapat dianalogikan dengan kerapatan kayu. Menurut Daniel dkk. (1995)
perlakuan pemupukan mengurangi berat jenis sebesar 5% tetapi menaikkan
produktivitas sebesar 35%. Berat jenis merupakan satu di antara karakteristik
kualitas kayu yang kuat diwariskan keturunannya dengan kisaran heritabilitas yang
luas antara 0,5 dan 0,8 tergantung pada jenisnya (Dadwell dkk.,1961; Einspahr dkk.,
1964; Elliott, 1970 dalam Daniel dkk., 1979). Oleh karena itu, upaya pemuliaan
pohon untuk memperoleh sifat yang diinginkan akan lebih akurat daripada usaha
manipulasi lingkungan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas.

Pada daun lebar, kenaikan kecepatan pertumbuhan sesudah perlakuan irigasi dan
pemupukan biasanya disertai oleh kenaikan panjang serat (Saucier dan ike, 1972;
Einspahr dkk.,1972., dalam Daniel dkk., 1979). Lignin dibutuhkan pada kayu dengan
tujuan kontruksi karena dapat meningkatkan kekerasan/kekuatan kayu, tetapi tidak
dibutuhkan di dalam industri kertas karena lignin sangat sulit dibuang dan produk
kertas menjadi agak coklat/coklat karena sifat aslinya dan pengaruh oksidasi. Karena
sulit dihilangkan maka diperlukan zat pemutih/penggelentang yang banyak dan
menambah biaya proses produksi. Pada kayu bengkok/condong atau banyak cabang
besar, kandungan lignin dalam batang kayu umumnya meningkat hampir 5%
(Kasmudjo, 1999). Dengan demikian peran pemuliaan pohon dalam usaha
meningkatkan kualitas kayu menjadi penting. Oleh karena itu, diperlukan penelitian
tentang tindakan-tindakan yang dapat mengontrol kualitas kayu sebagai bahan baku
pulp dan sampai sejauh mana karakteristik kualitas kayu dapat dipengaruhi oleh sifat
genetis, manipulasi lingkungan dan kecepatan pertumbuhan.

Para ahli di bidang hutan dan kehutanan dapat mengubah kulitas kayu dengan
beberapa perlakuan antara lain jarak tanam, rasio tajuk aktif dan kecepatan
82
pertumbuhan, serta melalui pemuliaan pohon. Pengaruh kenaikan kecepatan
pertumbuhan akibat seleksi, jarak tanam, pemupukan dan irigasi biasanya
mengakibatkan pengurangan panjang trakeid, serat kayu, persentase selulosa, diduga
persentase kayu akhir dan berat jenis tetapi kenaikan bisa terjadi dalam persentase
lignin, lebar lingkaran tahun, volume dan persentase kayu awal. Kontrol tersebut
diharapkan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas dengan melakukan tahapan-
tahapan sepanjang pertumbuhan tanaman sejak pemilihan benih hingga akhir daur.

A. Benih Berkualitas

Benih berkualitas dapat dihasilkan dari kebun benih, untuk itu diperlukan langkah
pemuliaan pohon untuk mendapatkannya. Pemuliaan atau seleksi genetik merupakan
langkah yang efektif untuk mendapatkan kayu berkualitas. Hal ini didasarkan pada
indikator kualitas kayu seperti berat jenis, sudut mikrofil, panjang serat dan lain
sebagainya yang diyakini bersifat diwariskan (inherited) dengan tingkat sedang
hingga kuat (Zobel dan Talbert, 1984). Potensi seleksi pohon dalam progam
pemuliaan pohon untuk kerapatan kayu yang tinggi maupun rendah hendaknya
berdasarkan tujuan yang diinginkan. Berat jenis merupakan satu di antara
karakteristik kualitas kayu yang paling dapat diwariskan dengan baik dengan kisaran
heritabilitas yang luas antara 0,5 dan 0,8 tergantung pada jenisnya (Elliot, 1970
dalam Daniel dkk., 1979). Dalam Hardiyanto (2004) dilaporkan bahwa heritabilitas
individu pohon untuk berat jenis kayu dilaporkan sangat tinggi yaitu 0,81.
Heritabilitas untuk panjang trakeid dalam arti luas sekitar 0,7 (Fielding, 1967 dalam
Daniel dkk., 1979).

Program kegiatan dalam pemuliaan pohon untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas
terdiri dari:

83
1. Seleksi pohon plus

Zobel dan Talbert (1984) mengemukakan bahwa variabilitas sifat kayu dalam satu
spesies dapat terjadi pada: (1) satu individu/pohon; (2) antar pohon; dan (3) antar
populasi dari satu spesies yang tumbuh pada daerah yang berbeda. Seleksi individu
yang superior berdasarkan sifat-sifat sesuai tujuan peruntukannya merupakan
langkah awal dalam pemuliaan pohon. Sifat-sifat yang dipilih disesuaikan dengan
tujuan peruntukan pengembangan hutan tanaman penghasil bahan baku pulp
berkualitas. Sifat-sifat yang lebih banyak dipengaruhi faktor genetik merupakan
parameter yang lebih akurat. Pemilihan pohon berdasarkan indikator sifat fisik dan
kimia mempunyai kelebihan karena pada dasarnya lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor genetik. Fenotip yang diamati selain pertumbuhan pohon adalah sifat fisik dan
kimia kayu dari setiap pohon plus sehingga diharapkan mempunyai keunggulan dari
segi riap dan kualitas kayu. Sifat-sifat tersebut di antaranya kelurusan batang, sifat
fisik kayu (berat jenis, panjang serat) dan sifat kimia kayu (kandungan selulosa,
lignin dan ekstraktif). Kelurusan batang dikendalikan lebih kuat oleh faktor genetik
daripada sifat tinggi dan diameter. Menurut Smith dan Zobel dalam Soeseno (1985)
sifat kelurusan batang pohon sangat kuat diwariskan dan menurut FAO dalam
Soeseno (1985) kayu berasal dari batang bengkok bernilai lebih rendah daripada
kayu berbatang lurus.

2. Penyilangan pohon-pohon hasil seleksi

Materi genetik klon yang berasal dari pohon-pohon plus hasil seleksi ditanam dalam
suatu areal yang disebut Clonal Seed Orchad (CSO). Selain untuk pembuatan CSO
dapat juga digunakan untuk pembuatan Clonal Fielt Test (CFT). Pohon dalam CSO
setelah berbunga dapat terjadi penyerbukan alami sehingga dihasilkan buah dan
84
benih. Hasil persilangan antar pohon plus diharapkan akan menghasilkan tanaman
dengan kelebihan sifat-sifat sesuai peruntukannya.

3. Perhutanan Klon

Dalam pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika para ahli silvikultur dapat
meningkatkan keseragaman kayu dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi
dalam karakteristik kualitas kayu (Daniel dkk., 1979). Produksi dari hutan tanaman
yang seragam dengan sifat-sifat kayu sesuai dengan peruntukannya dapat diperoleh
dengan sistem pengembangan perhutanan klon. Materi vegetatif berupa klon dapat
diambil dari pohon plus hasil seleksi yang ditanam dalam suatu kebun klon. Kebun
klon atau bank klon adalah tempat menyimpan klon-klon hasil seleksi pohon plus
tersebut. Untuk membuktikan apakah klon-klon yang dihasilkan mampu membentuk
strukur tumbuh yang bagus dan kualitas kayu yang baik maka dilakukan Clonal
Field Test (CFT). Hasil dari CFT ini dapat dijadikan dasar untuk pemilihan klon-
klon yang akan dikembangkan dalam hutan tanaman. Untuk mengetahui apakah klon
terseleksi dapat membentuk struktur tumbuh yang baik dan seragam, maka dilakukan
penanaman klon terseleksi. Setiap klon ditempatkan dalam satu blok penanaman,
sehingga akan tampak tingkat keseragaman pertumbuhan klon terseleksi tersebut.
7
4. Uji keturunan

Uji keturunan merupakan cara untuk membuktikan bahwa pohon-pohon plus
mempunyai sifat unggul secara genetik berdasarkan sifat-sifat keturunannya. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara menanam benih yang dihasilkan dari famili-famili
dalam CSO dalam suatu rancangan uji keturunan. Hasil dari uji keturunan ini adalah
dapat diketahuinya famili-famili di dalam CSO yang mempunyai sifat unggul misal
kualitas kayu baik dibanding famili lain berdasarkan keturunannya. Informasi
85
keunggulan sifat suatu famili digunakan untuk melakukan penjarangan
genetik/roguing pada areal CSO. Famili-famili yang menghasilkan keturunan relatif
lebih jelek dijarangi sehingga menyisakan famili-famili yang mempunyai
keunggulan secara genetik. Dari famili-famili tersebut akan dihasilkan benih
berkualitas sesuai peruntukannya.

5. Kebun benih semai (Seedling Seed Orchard)

Pada areal uji keturunan terdapat famili-famili baru hasil persilangan antar pohon
plus dari CSO. Famili baru ini bisa mempunyai sifat yang lebih unggul atau yang
lebih rendah dari pohon plus induk. Famili-famili yang ada disisakan 25 famili
terbaik setelah dilakukan rangking berdasarkan sifat-sifat yang diinginkan. Dari 25
famili terbaik diharapkan dapat dihasilkan benih berkualitas sesuai peruntukannya.

Pada dasarnya ada empat golongan benih menurut Matthews dalam Soekotjo (2004)
yaitu:
1. Benih tanpa kelas yaitu benih yang kualitas dan asalnya tidak diketahui
2. Benih yang sumbernya diketahui, benih yang berasal dari tegakan pertanaman
yang baik dan lokasi dari tegakan terdaftar
3. Benih terseleksi yaitu benih yang dikumpulkan dari pohon superior, di atas
reratanya dalam tegakan yang terdaftar
4. Benih dari kebun benih yang terdaftar yaitu benih yang diambil dari Seedling
Seed Orchard (SSO) atau Clonal Seed Orchard (CSO)

B. Pengaturan Jarak Tanam

Pengaturan jarak tanam memberikan pengaruh langsung tiga parameter kualitas kayu
yaitu kelurusan batang, ukuran kayu muda dan ukuran mata kayu. Kontrol jarak
86
tanam terutama mempunyai pengaruh yang baik terhadap kelurusan batang jenis
daun lebar dan menyebabkan cabang-cabang bawah mati. Rasio tajuk aktif juga
dapat dikontrol langsung oleh pangkasan cabang selain dengan jarak tanam rapat
(Daniel dkk., 1979). Menurut Fielding dalam Daniel dkk. (1979) ukuran cabang
mempunyai heritabilitas paling rendah yaitu 0,3. Hal ini berarti percabangan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan atau ruang yang dipunyai untuk berkembang. Ukuran
cabang pada pohon intoleran dapat diminimalkan oleh pengaturan jarak tanam yang
rapat. Kontrol jarak tanam rapat terutama mempunyai pengaruh yang baik terhadap
kelurusan batang daun lebar yang mempunyai kecenderungan membengkok jika
jarak tanam lebar. Jarak tanam rapat akan menyebabkan cabang-cabang bawah mati
pada pohon intolerant dan memacu pertumbuhan meninggi karena persaingan
perolehan cahaya yang ketat sehingga batang pohon berkompetisi mencapai posisi
ketinggian dominan. Lignin biasanya terakumulasi pada titik-titik percabangan maka
usaha mengurangi percabangan menjadi hal yang perlu dilakukan untuk
menghasilkan kayu pulp berkualitas. Pertumbuhan awal yang cepat karena jarak
tanam yang lebar menyebabkan penurunan panjang serat dan berat jenis kayu,
menghasilkan mata kayu yang besar dan lebih merata. Berat jenis yang menurun
karena pertumbuhan awal cepat disebabkan oleh meningkatnya porsi kayu awal.

C. Singling

Penunggalan batang yang tumbuh lebih dari satu (multistem) perlu dilakukan agar
dihasilkan tegakan satu batang dengan pertumbuhan dan kualitas kayu lebih bagus.
Pertumbuhan tanaman dengan batang lebih dari satu menyebabkan batang-batang
tersebut rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Kualitas kayu batang tunggal
juga relatif lebih baik karena seluruh energi tersalurkan pada batang tersebut
sehingga pertumbuhannya optimal. Pertumbuhan batang lebih dari satu juga lebih
banyak memerlukan waktu dalam kegiatan pemanenan sehingga menimbulkan biaya
87
yang lebih besar. Tindakan singling perlu dilakukan sedini mungkin agar tidak
terlambat menghasilkan batang tunggal berkualias. Pada kasus A. mangium, tindakan
ini dilakukan sebelum tanaman berumur 3 bulan sehingga batang belum tumbuh
besar dan kegiatan singling lebih mudah.
8
D. Pruning

Menurut Daniel dkk. (1979) tajuk hidup pohon merupakan posisi tempat auksin dan
karbohidrat diproduksi, dan keberadaan serta kelimpahan materi ini berpengaruh
kuat pada perluasan kayu muda dan proporsi kayu awal terhadap kayu akhir.
Pemangkasan cabang menurut para ahli silvikultur merupakan upaya untuk
menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu (knot), sehingga meningkatkan kualitas
batang. Pemangkasan cabang-cabang yang merupakan tajuk aktif perlu dilakukan
untuk mendorong pertumbuhan tinggi sehingga dihasilkan batang lurus.
Pemangkasan cabang juga dilakukan agar tidak terjadi pertumbuhan menggarpu
(forking). Pada kasus A. mangium, pemangkasan cabang dilakukan sebelum tanaman
berumur 6 bulan sehingga belum tinggi, sebab jika tanaman sudah tinggi kegiatan ini
memerlukan biaya yang lebih besar. Penghilangan tajuk aktif mempengaruhi
fotosintesa sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu diperlukan
pengaturan tajuk aktif yang tersisa sehingga tercapai titik optimal antara kebutuhan
fotosintesa dengan beban percabangan untuk pertumbuhan batang. Pada tegakan A.
mangium tajuk aktiftinggi pohon yang tersisa sebesar 60%. Jarak tanam yang rapat
juga merupakan alternatif untuk meminimalkan percabangan. Dengan pengaturan
jarak tanam yang rapat akan terjadi pruning alami pada jenis intoleran tetapi jika
rotasi tidak panjang, cabang-cabang mati bagian bawah biasanya tetap melekat pada
pohon.


88
E. Pemupukan

Menurut Daniel et al., (1979) perlakuan pemupukan mengurangi berat jenis sebesar
5% tetapi menaikkan produktivitas sebesar 35%. Pada jenis daun lebar, respon
umum terhadap pemupukan dan penjarangan sedikit menaikkan berat jenis pada
jenis yang berpori tersusun melingkar dan tidak berpengaruh sama sekali pada semua
jenis berpori tersebar (Mitchel, 1972; Saucier dan Ike, 1972; Daniel et al.,1995).
Pada konifer kenaikan kecepatan pertumbuhan setelah penjarangan dan pemupukan
terjadi bersama-sama dengan penurunan panjang trakeid dan berkurangnya ketebalan
dinding sel, sedangkan pada daun lebar, kenaikan kecepatan pertumbuhan sesudah
perlakuan irigasi dan pemupukan biasanya disertai kenaikan panjang serat (Posey
1964; Cown, 1972 dalam Daniel dkk., 1979). Meningkatnya kesuburan tanah akan
mengakibatkan kandungan selulosa meningkat, berkurangnya lignin dan berat jenis
kayu tanpa menyebutkan secara spesifik jenis daun lebar atau konifer (Haroen,
1997). Pengaruh kenaikan kecepatan pertumbuhan akibat pemupukan biasanya
termasuk pengurangan panjang trakeid dan serat kayu, persentase selulosa, kayu
akhir dan berat jenis. Kenaikan bisa terjadi dalam persentase lignin, lebar lingkaran
tahun, volume dan persentase kayu awal sehingga menurunkan berat jenis. Kenaikan
volume produksi akibat kecepatan pertumbuhan biasanya lebih besar daripada
mengimbangi setiap kemungkinan perubahan yang tak diinginkan dalam
karakteristik kualitas kayu yan diproduksi. Menurut Wright dalam Soeseno (1985),
kebanyakan sifat-sifat pohon dikendalikan oleh gen dan lingkungan. Menurut
Soerianegara (1970), pertumbuhan diameter sebenarnya lebih kuat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan daripada faktor genetik karena pertumbuhan diameter tanaman
merupakan fungsi dari ruang tumbuh. Pertumbuhan tinggi tanaman sering dianggap
sebagai fungsi kesuburan tanah (Daniel et al.,1979). Karakteristik kualitas kayu lebih
efektif diperoleh dengan progam pemuliaan pohon dengan cara menyeleksi sifat
yang dapat diturunkan dengan baik, seperti berat jenis, panjang trakeid, sudut
89
percabangan dan serat terpuntir serta pohon-pohon yang cepat tumbuh. Dalam
pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika para ahli silvikultur dapat
meningkatkan keseragaman dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi dalam
karakteristik kualitas kayu (Daniel dkk, 1979).

F. Penjarangan

Penjarangan adalah salah satu tindakan silvikultur untuk memberikan ruang tumbuh
yang lebih baik pada pohonpohon terpilih, dan menghilangkan individu pohon yang
tidak terpilih/cacat. Menurut Soekotjo (2004) pengaruh yang ditimbulkan akibat
tindakan penjarangan adalah (1) memacu pertumbuhan diameter pada individu
tegakan tinggal, (2) pada saat dilakukan penjarangan, total luas bidang dasar tegakan
per satuan luas akan menurun, disusul oleh pertumbuhan berikutnya, (3) hasil akhir
penjarangan, yaitu pada akhir rotasi, akan dihasilkan rerata diameter tegakan tinggal
yang lebih besar daripada bila tidak dilakukan penjarangan, (4) menghambat atau
mengurangi penularan hama dan penyakit, dan (5) mengurangi kematian pohon
secara alami. Jika ruang tumbuh sangat lebar maka akan memacu tumbuhnya
percabangan berukuran besar, ukuran mata kayu (knot) juga menjadi besar yang akan
berpengaruh terhadap kualitas kayu, sehingga perlu pekerjaan pemangkasan cabang.
Dengan semakin cepatnya pertumbuhan diameter, kecenderungan munculnya
jaringan kayu muda lebih besar, berarti akan menurunkan kualitas kayu. Penjarangan
sebaiknya ditunda sampai setelah jangka waktu pembentukan kayu juvenil selesai.
Dengan cara ini diharapkan akan terhindar dari inti juvenil yang besar sehingga
didapatkan kayu dewasa yang rapat dan seragam. Pada jenis A. mangium yang
dikembangkan di HTIpulp tidak terdapat kegiatan penjarangan, kecuali konversi
fungsi menjadi kayu pertukangan.


90
G. Penentuan Daur Optimal

Pengaruh umur pohon terhadap kualitas kayu menjadi dasar dalam penentuan daur
optimal untuk menghasilkan bahan baku pulp berkualitas. Penentuan daur optimal di
mana kualitas kayu yang dihasilkan sudah mencapai titik maksimal dan tidak
mengalami peningkatan lagi menjadi hal penting untuk penentuan daur ekonomis.
Menurut Haroen dkk.,(1997) semakin tua umur tanaman terlihat dari kecenderungan
meningkatnya kadar -selulosa, kadar ekstraktif dan lignin. Pada jenis A. mangium,
serat dengan bilangan runkel terbaik diperoleh dari tanaman berumur 5 dan 7 tahun.
Menurut Muliah (1976) makin tua umur pohon, berat jenis makin besar. Hal ini
disebabkan makin tua umur kayu, susunan serat makin rapat. Anonimous dalam
Siarudin (2005) menjelaskan bahwa pada kayu lunak berlingkaran jelas (distinct ring
softwood) yang berumur sama namun tumbuh dengan kecepatan berbeda
menunjukkan kerapatan yang relatif seragam. Sebaliknya pada diameter sama yang
dihasilkan dari pohon dengan umur berbeda didapatkan kerapatan lebih rendah pada
umur yang lebih muda sebagai akibat porsi juvenil tinggi. Menurut Arifin et.al.
(2005) kayu dari fast growing spesies sesuai untuk pembuatan pulp karena selalu
mempunyai dinding sel yang tipis dan lumen yang lebar.

V. PENUTUP

IPTEK yang berkaitan dengan kayu pulp, industri pulp dan kertas di antaranya teknik
silvikultur, pemuliaan pohon, teknik kimia, ekonomi, biologi, teknologi hasil hutan,
teknik lingkungan dan lain-lain, sangat diperlukan untuk menghasilkan penelitian
yang komprehensif sehingga bisa menjadi dasar kebijakan dalam pengembangan
hutan tanaman, khususnya hutan rakyat pulp. Dengan dukungan IPTEK tersebut
diharapkan hutan rakyat menghasilkan kayu pulp dengan produktivitas tinggi dan
berkualitas sehingga mampu berkompetisi dalam pasar dalam negeri maupun ekspor.
91
Kajian silvikultur hutan rakyat penghasil pulp ini dapat dijadikan dasar dalam
penelitian dan pengembangan untuk menyediakan alternatif pilihan bagi petani
dalam usaha di bidang hutan rakyat penghasil pulp.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin. Z, Irawan W. Kusuma, Agus S. Budi, Sipon Muladi and Edi Sukaton, 2005
The Morphologies of Pulp Fiber from Four Hardwood Species in Realation to Paper
Strength.Tropical Wood Properties and Utilization. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Daniel, T.W., J.A. Helms dan F.S Baker, 1979. Prinsip-prinsip Silvikultur.
Terjemahan Joko Marsono dan Oemi Haniin. Edisi Kedua. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Departemen Kehutanan, 2000. Statistik Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Tahun 1999/2000. Jakarta.

Haroen,W.K, Uzair dan Nursyamsu Bahar, 1997. Kualitas Pulp Kertas Acacia
mangium Berbagai Umur Tanaman. Berita Selulosa Vol XXXIII, No. 4. Bandung.

Heyne. K, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang Kehutanan.
Departemen Kehutanan.

Hardiyanto, E.B, 2005. Beberapa Isu Silvikultur dalam Pengembangan Hutan
Tanaman. Makalah Seminar Peningkatan Produktivitas Hutan. Fakultas Kehutanan
UGM. Yogyakarta.

Kasmudjo, 1999. Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

Martawijaya A., Iding Kartasudjana., Y.I. Mandang., Soewanda Among Prawira dan
Kosasi Kadir, 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Departemen Kehutanan Bogor.

Mindawati, N., 2007. UKP Silvikultur Hutan Tanaman Kayu Pulp. Badan Litbang
Kehutanan. Bogor.

Muliah, 1976. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Jenis Kayu. Berita Selulosa,
Vol XII No 1.Bandung.

92
Naiem, M., 2004. Pengembangan Spesies Non-Acacia mangium Untuk Hutan
Tanaman Buku Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Editor Eko Bhakti
Hardiyanto dan Hardjono Arisman. PT. Musi Hutan Persada.
10
Rimpala, 2001. Penyebaran Pohon Manglid (Manglietia glauca BI.) Di Kawasan
Hutan Lindung Gunung Salak.

Laporan Ekspedisi Manglid. WWW.Rimpala.Com. Bogor.

Sudrajat, DJ, Asep Rohandi dan Naning Yuniarti, 2002. Pengaruh Media Semai dan
Dosis Penyemprotan Regent 50 SC Terhadap Pertumbuhan Semai Tisuk (Hibiscus
macrophyllus). Buletin Teknologi Perbenihan, Bogor.

Syamsuwida, D. Naning Yuniarti, Rina Kurniaty dan Zaenal Abidin, 2003. Teknik
Penanganan Benih Ortodok. Buku 1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Perbenihan Bogor.

Soeseno. O.H., 1985. Diktat Pemuliaan Pohon Hutan. Fakultas Kehutanan,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Soekotjo, 2004 Silvikultur Hutan Tanaman : Prinsip-Prinsip Dasar. Buku
Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Pengalaman di PT. MHP Sumatra
Selatan.

Simon, H., 1988. Pengantar Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.

Siarudin, M., 2005. Praktek Silvikultur dan Pengaruhnya pada Kualitas Kayu.
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil
Hutan Rakyat di Indonesia. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

Soenardi, 1974. Hubungan Antara Sifat-Sifat Kayu dan Kualitas Kertas. Berita
Selulosa Vol X, No. 3. Bandung

Soerianegara, I., 1970 Pemuliaan Hutan. Laporan No 104. Lembaga Penelitian Hutan
Bogor.

Zobel, J.B and Talbert, 1984. Applied Forest Tree Improvement. Wood and Tree
Improvement. John Willey & Sons. New York. Pp. 376-413.

93
DAFTAR PUSTAKA



Armstrong, M., 2005. Wood Quality Evaluation in Hardwoods. The State of
Queensland (Departement of Primary Industries and Fisheries). Queensland
Government. [Diakses 28 J uni 2005].
www.dpi.qld.gov.au/hardwoodsqld/11872.html

Anonim. 2006. Pemotongan Cabang Secara Berkala. www.let-me-
be.comwwwsk2httpdjatiindex.cfmaction=artdetails&articleid=26&cfid=2373
0240&cftoken=84803859.htm [Diakses tanggal 11 J anuari 2009]

Brown, H.P., A.J .Panshin and C.C.Forsaith. 1949. Textbook of Wood Technology.
Vol.I. Structure, Identification, Defects and Uses of the Commercials Woods
of the United States. Mc Graw Hill Book Company Inc. Newyork.

Bowyer, J .L., Rubin, S, and J ohn G.H., 2003. Forest Products and Wood Science. An
Introduction. Fourth Edition. IOWA State Press. The United States of
Amerika.

Chauhan, S., R. Donnelly., Huang, C.L., Nakada, R., Yafang Y., Walker, J . 2006.
Chapter 5. Wood Quality : In Context. Di dalam Walker, J .C.F., Primary
Wood Processing. Principles and Practice. Ed. 2. Springer. The Netherlands.

Departemen Kehutanan. 2005. Sifat-Sifat Kayu dan Penggunaannya. [Diakses 5
Desember 2005] www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJ EN/PUSSTAN/INFO
_V02/ VII_ V02. HTM

Daniel, T.W., J .A. Helms and F.S. Baker. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Edisi Kedua.
Diterjemakan oleh Dr. Ir. Djoko Marsono. Editor oleh Ir. Oemi Haniin
Soeseno. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

DeBell, D.S., R. Singleton, C. A. Harrington and B.L. Gartner. 2002. Wood Density
and Fiber Length in Young Populus Stems ; Relation to Clone, Age,
Growth Rate and Prunning. Wood and Fiber Science. J ournal of The
Society of Wood Science and Technology. Vol. 34 (34) Pp. 537.

DeBell, D.S., R.O.Curtis. 2003. Silvikultural Research and The Evolution of Forest
Practices in The Douglas-Fir Region. General Technical Report PNW-
GTR-696. Chapter 10 : Silvikultur Influences on Wood Quality.

94
Goudie, J ., 2002. Effects of Silviculture on Wood Quality of Western Hemlock. BC
Ministry of Forest Research Branch. Http:// www.For.Prodres.gov.bc.ca [8
Oktober 2008].

Heriansyah, I., Miyakuni, K., Kato, T., Kiyono, Y., Kanazawa, Y., 2007. Growth
Characteristics and Biomass Accumulations of Acacia mangium Under Different
Management Practices in Indonesia. J ournal of Tropical Forest Science 19 (4) pp.
226-235.
Irwanto, 2006. Usaha Pengembangan J ati (Tectona grandis L.f).
www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&channel=s&rls=org.mozilla%3Aen-
US%3Aofficial&q=%22Bentuk+Pohon+dan+Kualitas+Kayu%22&btnG=Telusuri&meta=
[Diakses tanggal 10 J anuari 2009]

Koga, S, and S.Y. Zhang. 2002. Relationships between Wood Density and Annual
Growth Rate Component in Balsam Fir (Abies Balsamea). Wood and Fiber
Science. Vo. 34 (1). Pp. 147.

Muhdin. 2003. Dimensi Pohon dan Perkembangan Metode Pendugaan Volume Pohon.
www. tumoutou.net702_07134muhdin.htm.htm [Diakses tanggal 10 J anuari 2009]

Prayitno, T.A., 2007. Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu. Program Studi Ilmu
Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Pandit, I.K.N. 2006. Variabilitas Sifat Dasar Kayu. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Panshin, A.J . and Carl de Zeeuw, 1980. Textbook of Wood Technology. Vol. I.
McGraw Hill Book Co. N.Y., London

Prawirohatmojo, S., 2003. Pembentukan Kayu Teras. Fakultas Kehutanan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Smith, D.M., B.C. Larson, M.J . Kelty and P.M.S. Ashton. 1997. The Practice of
Silviculture : Applied Forest Ecology. Ninth Edition. J ohn Wiley & Sons.
Inc. New York.

Schimleck, L.R., Robert, E., P.David, J ., Daniels, R,F., Peter, G.F., and Clark, A.,
2005. Estimation of Microfibril Angle an Stiffness by Near Infrared Samples
Set Having Limited Wood Density Variation. IAWA J ournal, The
Nederlands. Vol. 26 (2) Pp. 175-187.

95
Thojib, A., 1988. Fisiologi Pohon Terapan. Kerjasama Fakultas Kehutanan Gadjah
Mada dengan Proyek Pendidikan dan Latihan dalam Rangka Peng-Indonesia-
an Tenaga Kerja Pengusahaan Hutan. Yogyakarta.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood. Structure, Properties,
Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.
Wahyudi, I. 2009. Pertumbuhan Pohon dan Kualitas Kayu. Bahan ajar Sekolah
Pascasarjana, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yunianti, A.D., 2003. Pengaruh Penjarangan terhadap Sifat Dasar Kayu Acacia
mangium. Prosiding Seminar Nasional Mapeki V. Bogor. ISBN; 979-
96348-2-2. Pp. 36-39.

Zobel, B., 1984. The Changing Quality of The World Wood Supply. Wood Science
and Technology. Springer-Verlag18. Pp 1-17

Anda mungkin juga menyukai