Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran
Hari : Sabtu
Mengetahui,
Co-Asisten Praktikan
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Resmi
Praktikum Dasar-dasar Perlindungan dan Kesehatan Hutan yang disusun guna memenuhi
prasyarat mengikuti ujian responsi
Selama penulisan laporan ini, penulis mendapatkan banyak dukungan fisik dan
psikis hingga akhirnya dapat menyelesaikan laporan ini. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberi kesehatan dan kekuatan dalam
menyusun laporan ini
2. Mas Akbar Zhafran, selaku Co-Asisten yang telah membantu dalam pelaksanaan
praktikum
3. Teman-teman satu shift, yang telah memberikan dukungan dan semangat
4. Orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan moral dan finansial.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharpkan masukan dan saran serta kritik yang bermanfaat sebagai bahan masukan
dan koreksi bagi penulis.
Akhir kata penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
terlibat. Terimakasih
Ancilla Filema
DAFTAR ISI
Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Acara I. Pengenalan Gangguan Penyakit Biotik dan Penyebabnya pada Tanaman Hutan
Acara II. Pengenalan Kerusakan Hutan dan Penyebab Akibat Serangan Hama
Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00
Co-Ass : Akbar Zhafran
IV. PEMBAHASAN
1. Bercak Daun
Penyakit bercak
daun merupakan
penyakit biotik
yang dapat terjadi
pada tanaman
kehutanan, sering
ditemukan pada
spesies Pinus
merkusii.
Penyakit bercak
daun disebabkan
Gambar 1. Semai Pinus merkusii yang terkena penyakit Bercak Daun
oleh jamur
Pestalotia sp. Agrios (2005) menyatakan bahwa penyakit bercak daun
merupakan penyakit yang disebabkan oleh fungi yang menghambat dan
mengurangi hasil fotosintesis dan selanjutnya akan menghambat
pertumbuhan. Anggraeni (2009) menyatakan bahwa beberapa fungi
patogen yang biasanya menjadi penyebab penyakit bercak daun pada
tanaman hutan antara lain Pestalotia sp., Lasiodiplodia sp., Cercospora sp.,
Curvularia sp., Helminthosporium sp., Gloesporium sp., Cylindrocladium
sp., dan Colletotrichum sp. Suhartati dan Kurniaty (2013) juga
menyampaikan bahwa beberapa patogen penyebab penyakit di persemaian
dan kebun pangkas stasiun penelitian Nagrak umumnya disebabkan
cendawan antara lain Curvularia sp., Petalotia sp., Fusarium sp.,
Macrophoma sp. dan Cylindrocladium sp.
Gejala yang timbul saat tanaman terkena penyakit bercak daun adalah
muncul bercak hitam pada folikel daun, serta helaian daun akan
menguning sampai kecoklatan. Tipe gejala penyakit bercak daun adalah
nekrosis, yaitu gejala berupa kematian sel-sel jaringan tanaman yang
berubah dari kuning kemudian coklat atau kemerahan akibat serangan
pathogen. Tanda yang ditimbulkan berupa tanda mikroskopis. Vector
penyebaran penyakit adalah dengan angina dan kontak daun. Untuk
mencegah timbulnya bercak daun dapat dilakukan monitoring, pengaturan
jarak tanam, dan pengaturan suhu dan kelembaban. Bila penyakit sudah
ada, pengendalian yang dapat dilakukan adalah isolasi tanaman yang
terjangkit atau fungisida.
4. Karat Tumor
Penyakit Karat
Tumor disebabkan
oleh jamur
Uromycladium
falcatarium yang
menyerang
tanaman Sengon
(Falcataria
moluccana).
Gejala yang
ditimbulkan dari
penyakit ini adalah
p
Gambar 4. Batang Sengon yang menunjukan gejala penyakit Karat
e Tumor
m
bengkakan batang, daun, pucuk daun, buah, dan ranting. Tipe gejala
diawali dengan hipertropi atau pembengkakan lalu nekrosis. Hipertropik
adalah pertumbuhan bagian tanaman yang berlebihan yang menunjukan
ketidaknormalan pada sebagian atau seluruh tanaman. Tanda yang dapat
diamati adalah ditemukan jamur berwarna merah bata. Vector penyebaran
penyakit karat tumor ialah angina, air hujan, dan serangga. Penyakit ini
dapat dicegah dengan melakukan monitoring, pengaturan jarak
tanam,pemilihan bibit unggul, dan multikultur atau pola tanam. Untuk
pengendalian dapat dilakukan isolasi pada semai yang terinfeksi,
pemangkasan pada pucuk, eradikasi, dan fungisida.
5. Jamur Upas
Penyakit jamur
upas disebabkan
oleh jamur
Carticium
salmonicolor.
Inang jamur ini
cukup banyak,
yaitu Jati
(Tectona
grandis), Acacia
decurrens, dan
Bentawas. Jati
(Tectona grandis
L.f) termasuk
Gambar 5. Pohon Jati yang terkena penyakit Jamur Upas dalam famili
Verbenaceae,
memiliki nilai ekonomis tinggi, karena kayunya tergolong kayu serbaguna
dan terkenal sebagai kayu komersil bermutu tinggi, sebagai kayu
perdagangan dengan kualitas kayu sangat halus, sangat disukai dengan
permintaan pasar yang sangat tinggi. Kayu Jati termasuk kayu kelas awet
II dan kelas kuat II sehingga sangat cocok untuk segala jenis konstruksi
bangunan (Ditjen Kehutanan, 1976). Kerusakan dapat terjadi pada Jati,
akibat serangan Penyakit Bercak Daun (Cersospora Sp), Penyakit Layu
Bakteri (Pseudomonas tectonae), dan Penyakit Jamur Upas (Corticium
salmonicolor) (Mustafa, 2019).
Gejala yang ditimbulkan penyakit jamur upas adalah daun mongering dan
layu lebih cepat serta kulit mengelupas. Tipe gejalanya nekrosis atau
kematian sel jaringan. Tanda yang dapat diamati adalah adanya hifa putih
atau jarring putih sampai pink pada kulit pohon, ranting, dan belakang
daun. Vector penyebaran penyakit melalui angina, air, dan serangga.
Untuk pencegahan dapat dilakukan monitoring da pengaturan jarak
tanam. Sedangkan untuk pengendalian bisa dilakukan pruning /
pemangkasankalau infeksi terjadi pada percabangan. Bila infeksi terjadi di
batang maka harus dilakukan eradikasi atau pemusnahan individu tersebut.
6. Embun Tepung
Penyakit embun
tepung pada
Acacia cornis
disebabkan oleh
jamur Oidium sp.
Gejala yang
ditimbulkan
adalah
ditemukannya
bercak putih atau
serbuk berwarna
putih pada daun.
Gambar 6. Pohon Akasia yang terkena penyakit Embun Tepung Tipe gejala ini
adalah kematian
sel jaringan atau nekrosis. Untuk mencegah terjadinya penyakit ini dapat
dilakukan monitoring secara rutin, pengaturan jarak tanam, meminimalisir
naungan, dan mengatur suhu dan kelembaban. Upaya pengendalian yang
dapat dilakukan adalah pruning, isolasi, namun sebenarnya serbuk
putih pada daun bisa dihapus dengan tangan bila jumlahnya sedikit.
7. Embun Jelaga
Penyakit embun
jelaga biasa terjai
pada tanaman
akasia. Penyebab
penyakit ini ada 2
yaitu, Capnodium
sp. dengan tipe
gejala atrofik dan
meliola sp. dengan
tipe gejala nekrotis.
Penyakit embun
jelaga disebabkan
oleh jamur
Gambar 7. Pohon Akasia yang terkena penmyakit Embun Jelaga
Capnodium sp dan
Meliola sp (Fiani dkk, 2011). Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini
adalah daun menguning hingga coklat dengan tanda serbuk hitam untuk
yang disebabkan oleh Capnodium dan bercak hitam untuk yang
disebabkan oleh Meliola.. Warna hitam yang menutupi daun merupakan
pigmen melanoid pada dinding sel hifa yang membentuk koloni sehingga
mengakibatkan tertutupnya stomata. Ketika udara cukup kering, selaput
hitam embun jelaga dapat terlepas dan kemudian menyebar ke tempat lain.
Serangan embun jelaga tergolong tidak mematikan, tetapi pada kasus yang
berat dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena menghambat
proses fotosintesis (Fiani, 2018). Vector penyebarannya adalah air, angin,
serangga dan manusia. pencegahan dilakukan dengan monitoring berkala
dan pengaturan jarak tanam. Pengendalian dapatb dilakukan dengan
fungisida, atau mengelap serbuk jika yang terinfeksi masih sedikit.
8. Kanker Batang
Kanker batang biasa
menginfeksi Mahoni
Afrika (Khaya
anthotheca) yang
disebabkan oleh
Phytopthora sp.
gejala yang timbul
adalah kayu gubal
pecah sehingga
keluar gom atau
getah. Tipe gejalanya
adalah kematian sel
jaringan atau
nekrosis. Tanda dapat
Gambar 8. Batang Mahoni Afrika yang terkena penyakit Kanker dilihat secara
Batang
mikroskopis. Vector
penyebarannya ialah angina, air, dan serangga. Untuk pencegahan dapat
dilakukan dengan monitoring, pengaturan jarak tanam, dan pemilihan bibit
unggul. Pengendalian dilakukan dengan eradikasi tanaman yang terinfeksi,
pemangkasan, dan fungisida.
9. Sesidia
Penyakit sesidia
biasa menginfeksi
tanaman Akasia
yang disebabkan
oleh jamur
Uromycetes sp.
(Fitosesidia) dan
Serangga
(Zoosesidia). Gejala
Gambar 9. Daun Akasia yang menunjukan gejala penyakit Sesidia
yang timbul adalah munculnya bintil pada tanaman, menghitam, dan luka
lubang. Pada sesidia yang disebabkan serangga / Zoosesidia, maka bintil
akan berisi serangga. Tipe gejalanya diawali dengan hipertropi dan akan
menuju nekrosis. Tanda dari Fitosesidia adalah mikroskopis (padat) dan
pada Zoosesidia adalah serangga dalam bintil (kopong). Vector
penyebaran penyakitnya adalah dengan air, angin, dan serangga. Upaya
pencegahan dilakukan dengn monitoring berkala, pengaturan jarak tanam,
dan pengaturan pola tanam. Upacaya pengendalian dilakukan dengan
pemangkasan dan fungisida.
V. KESIMPULAN
Kesimpulan pada praktikum kali ini yaitu :
Kerusakan tanaman dapat dikenali dengan munculnya gejala
(symptom) dan tanda (sign). Gejala merupakan penyimpangan
morfologi tumbuhan dari keadaan normal, sebagai reaksi dari adanya
pathogen. Misalnya dalam praktikum ini adalah pembengkakan batang,
daun keriting, daun rontok, dll. Sedangankan tanda merupakan struktur
vegetative atau generative dari pathogen penyebab kerusakan yang
dapat kita temukan baik secara makroskopis maupun mikroskopis.
Misalnya dalam praktikum ini ditemukan hifa , jamur, dan serangga.
Penyebab dari kerusakan atau penyakit biotik adalah pathogen yang
terdiri dari jamur, bakteri, virus, dan serangga. Dalam praktikum ini
sebagian besar penyakit disebabkan oleh jamur, kecuali sesidia yang
dapat disebabkan oleh serangga juga selain jamur. Gejala yang tampak
dari masing-masing penyakit berbeda tergantung penyebab dan
inangnya. Pada praktikum ini penyebab kerusakan yang terjadi adalah
Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00
Co-Ass : Akbar Zhafran
I. TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk :
Mengenal kerusakan hutan akibat serangga hama penyebab
Mengenal serangga penyebab kerusakan hutan yang menyertai gejala
yang tampak
Mengenal ciri morfologis serangga pada tanaman hutan
Dapat membedakan gejala kerusakan hutan dari hasil hutan yang
disebabkan oleh serangga dengan kerusakan yang disebabkan oleh
penyebab lainnya.
Serangga perusak
daun merupakan
penyakit tanaman
Sengon maupun
Ketapang pada
berbagai tingkatan
umur yang
disebabkan oleh ulat
kantong (Pteroma
p
Gambar 4 Kerusakan Daun Akibat Ulat Kantong
l
agiopheleps). Ulat kantong merupakan hama potensial perusak daun.
Serangga ini mempunyai perilaku dan morfologi yang khusus (Anggraeni
dan Ismanto, 2017). Ulat kantong Pteroma sp. merupakan hama penting
karena sering menyerang daun di pertanaman sengon berbagai tingkat
umur (hama primer)( Nair, 2007). Ulat Kantong (Pteroma plagiophelps)
ini menyerang dengan memakan jaringan daun bagian bawah, sehingga
daun mengering dan layu. serangan yang serius menyebabkan tanaman
nyaris tanpa daun. ulat kantong ini biasanya aktif pada malam hari
(Warisno, 2009). Serangga hama ini memiliki metamorphosis sempurna
dengan bentuk mulut penggigit dan pengunyah saat larva dan pencucuk
dan penghisap ketika menjadi imago. Bagian tumbuhan yang diserang
ialah daun sehingga gejala yang ditemukan adalah daun berlubang.
Sedangkan tanda yang ditemukan adalah adanya ulat kantong pada
tanaman inang. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
monitoring dan pengaturan jarak tanam. Upaya pengendalian dengan
mengambil ulang (mekanis), menggunakan pathogen atau predator alami
(biologi), dan insektisida (kimia).
Serangga penggerek
batang merupakan
penyakit pada
tanaman Gmelina
maupun Jati karena
serangga hama yaitu
Xyleutes ceramic.
Serangga hama ini
termasuk ke dalam
ordo Lepidoptera
Gambar 5 Kerusakan Empulur Akibat Ngengat
dan biasa disebut
ngengat. Seekor ngengat (imago) Xyleutes ceramicus / oleng-oleng
(larvanya merupakan penggerek batang Gmelina dan Jati) dapat bertelur 2
sampai 4 kali selama hidupnya (4 sampai 9 hari) dengan jumlah telur
antara 4.000 sampai 12.300 butir, umur telur 12 hari dengan persentase
penetasan 75 sampai 90% (Trimurti, 2001). Ngengat memiliki
metamorphosis sempurna / holometabola dan bentuk mulut penggigit dan
pengunyah ketika larva. Mekanisme menyerangan dilakukan ketika
ngengat dalam fase larva. Gejala yang ditemukan adalah adanya lubang
gerek pada batang dan tajuk pohon yang rontok atau rapuh. Tanda yang
ditemukan adalah terdapat serangga hama pada tanaman inang dan
terdapat serbuk gergajian batang di sekitar tanaman inang. Untuk
pencegahan dapat dilakukan monitoring dan melakukan system
penanaman multikultur. Untuk pengendalian dapat dilakukan dengan
mengambil langsung serangga, menyediakan pathogen alami hama, dan
isektisida.
Xytrocera festiva
merupakan serangga
hama penyebab
penyakit penggerek
batang bata tanaman
sengon. Xycsocera
festiva merupakan
salah satu cekaman
biotik untuk pohon
Gambar 6 Kerusakan Batang Akibat Xytrocera festiva
dan dapat menentukan
produktivitas kayu (Abdullah, 2016). Hama Boktor (Xystrocera festiva,
ordo Coleoptera) mulai bersarang di batang sengon yang mengalami luka.
hama ini bisasanya meletakkan telurnya di celah luka di batang sengon
tersebut. jika batang telah berlubang, kemungkinan telur sudah menetas
jadi larva. ciri tanaman sengon terserang hama boktor adalah adanya
serbuk gerek halus pada ulit batang (Mulyana, 2010). Gejala yang
ditemukan adanya lubang pada batang dan tajuk rontok. Tanda yang
ditemukan adalah terdapat serangga hama pada tanaman inang dan
terdapat serbuk gergajian batang di sekitar tanaman inang. Untuk
pencegahan dapat dilakukan monitoring dan melakukan system
penanaman multikultur. Untuk pengendalian dapat dilakukan dengan
mengambil langsung serangga, menyediakan pathogen alami hama, dan
isektisida.
7. SERANGGA PERUSAK BATANG
V. KESIMPULAN
Kesimpulan pada praktikum kali ini yaitu :
Bentuk kerusakan hutan akibat serangan serangga hama penyebab
yang terjadi banyak ditentukan oleh tipe mulut dan kebiasaan
hidupnya. Kerusakan hutan dapat disebabkan oleh serangga perusak
dengan tipe perusak batang, daun, dan pucuk daun, serangga
penggerek batang, dan serangga penghisap cairan pohon. Kerusakan
dapat terjadi pada batang, daun, akar, dan pucuk.
Kerusakan akibat Serangga hama memiliki gejala yang berbeda-beda
disesuaikan dengan tipe mulut dan cara merusaknya, contohnya:
- Kutu putih yang menghisap cairan yang menimbulkan gejala tanaman
menguning dan layu
- Serangga penyebab kerusakan hutan antara lain ulat kantong
(Pteroma plagiophleps) menimbulkan gejala gejala lubang gerek pada
kayu gubal,
- Xyleutes ceramica menimbulkan gejala lubang ke arah empulur
batang,
- Captotermes curvignathus menimbulkan gejala batang keropos dan
berlubang.
Ciri morfologi serangga pada tanaman hutan yaitu memiliki caput
(kepala), thorax (dada), dan abdomen (perut). Serangga hama berasal
dari beberapa ordo dengan berbagai ciri:
- Hemiptera : tipe mulut pencucuk penghisap
- Lepidoptera : saat larva tipe mulutnya penggigit & pengunyah, saat
dewasa tipe mulutnya penghisap
- Coleoptera : tipe mulut penggigit pengunyah
- Isoptera : tipe mulut penggigit dan pengunyah (memiliki kasta)
- Homoptera : tipe mulut pencucuk penghisap
Kerusakan tanaman hutan karena serangga hama terjadi karena
serangga hama buth tempat tinggal dan makanan serta ekosistem yang
terganggu. Gejala kerusakan akibat serangga dapat dilihat dengan
nyata dan jelas karena serangga meninggalkan bekas pada tanaman
terserang.
Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran
I. TUJUAN
Tujuan praktikum ini adalah :
Mengenal gejala kerusakan tanaman hutan oleh penyebab penyakit
abiotik.
Mampu membedakan gejala penyakit tanaman oleh penyebab abiotik
dan oleh penyebab lainnya
IV. PEMBAHASAN
3. ETIOLASI
Etoilasi merupakan
penyakit akibat
kurangnya cahaya
matahari atau terlalu
lama di tempat gelap.
Hal ini biasanya terjadi
pada semai meskipun
semua tingkat
pertumbuhan dapat
mengalaminya. hal ini
Gambar 3 Penyakit Etiolasi pada Jati
karena semai lebih peka
terhadap kekurangan cahaya disbanding dengan pohon dewasa. Pada
praktikum ini yang dibahas merupakan etiolasi yang terjadi pada tanaman
jati / Tectona grandis. Etiolasi adalah pertumbuhan tumbuhan yang sangat
cepat seperti batang tumbuh lebih panjang di tempat gelap namun kondisi
tumbuhan lemah, batang tidak kokoh, daun kecil dan tumbuhan tampak
pucat. Penyebab etiolasi, karena tidak ada cahaya menyebabkan auksin
tidak terurai dan aktif memperbesar dan memperpanjang sel batang lebih
cepat secara terus menerus. Pertumbuhan paling panjang adalah biji yang
berada dalam tempat gelap karena hormon auksin dapat bekerja maksimal
pada tempat / ruang yang gelap dan cahaya matahari yang tidak terlalu
banyak (Wendi dkk., 2014). Ketika kloroplas rusak atau tanaman
mengalami etiolasi maka tumbuhan tidak akan mampu melakukan
fotosintesis. Tumbuhan hijau tidak mungkin mampu bertahan hidup dalam
jangka waktu yang lama ketika fotosintesis tidak terjadi, karena zat-zat
makanan yang berpengaruh besar pada pembelahan sel dihasilkan dari
proses fotosintesis (Abrianingsih, 2018). Gejala yang ditimbulkan dari
penyakit ini adalah daun menguning atau pucat, batang tidak tegak dan
tidak kuat serta rapuh. Dampaknya akan menghambat fotosintesis dan
pertumbuhan. Supaya hal ini tidak terjadi dapat dicegah dengan
pengaturan jarak tanam agar persaingan cahaya tidak terlalu tinggi
sehingga tumbuhan mendapat cahaya matahari yang cukup. Untuk
mengendalikan bila masih semai bisa memindah semai ke tempat yang
lebih terbuka dan terkena sinar matahari cukup.
4. KLOROSIS
Klorosis
merupakan
salah satu
kerusakan atau
penyakit
abiotic yang
dapat terjadi
pada jati.
Klorosis
terjadi karena
kurangnya
Gambar 4 Penampakan daun tanaman yang terkena penyakit Klorosis
nutrisi, cahaya,
dan air sehingga klorofil tidak terbentuk sempurna. Demi keberhasilan
tanaman jati, maka perlu diperhatikan jumlah nutrisi yang dibutuhkan
untuk proses pertumbuhannya. Salah satu nutrisi yang dibutuhkan yaitu
unsur kalium. Unsur ini berperan sebagai aktivasi enzim dan katalisator
proses metabolisme. Kekurangan kalium menyebabkan klorosis di bagian
tepi daun sedangkan kelebihan kalium menunjukkan gejala yang
berhubungan dengan unsur Mg. Kekurangan kalium menunjukkan gejala
bercak-bercak coklat pada permukaan daun, bagian tepi daun menguning
dan mengering, sedangkan tanaman yang kelebihan kalium menunjukkan
gejala yang berhubungan dengan unsur Mg yaitu klorosis di sekitar tulang
daun (Miqdad, 2017). Gejala yang ditimbulkan adalah ketidaknormalan
pada daun, warnanya tidak hijau namun berwarna kuning, coklat, ungu,
atau bercak hitam tergantung kekurangan nutrisi yang dialami.
Dampaknya adalah mudah terkena penyakit daun karena tidak mampu
menjaga daya tahan tubuh akibat kekurangan nutrisi serta terhambatnya
proses pertumbuhan. Untuk mencegah terjadinya klorosis bisa dilakukan
penyiapan tapak dengan manipulasi lingkungan berupa pengaturan jarak
tanam, pemupukan, dan penyiraman.
Gambar 6 Kerusakan daun dan batang akibat Temperatur Tinggi scald adalah
jika sun burn
menyerang pada daun dan mengakibatkan daun kering. Sedangkan sun
scald menyerang cambium yang ada didalam batang dan kulit batang
menjadi mengelupas (Ichsan et al., 2003)
Menurut (Fitler dan Hay, 1991), radiasi sinar matahari dapat
memberikan efek tertentu pada tumbuhan bila cahaya tersebut diabsorbsi.
Secara fisiologis cahaya mempunyai pengaruh baik langsung maupun
ridak langsung. Pengaruh secara langsung bisa melalui fotosintesis dan
secara tidak langsung bisa melalui pertumbuhan dan perkembangan
tanaman akibat respon metabolic yang langsung. Gejala yang ditimbulkan
oleh sun burn adalah daun akan mengering pada bagian tepi dan untuk sun
scald ialah kulit batang akan mengelupas dan warnanya akan menjadi
coklat kehitaman. Dampak dari penyakit ini adalah terjadinya reaksi
biokimia yang tidak normal pada tanaman.
Untuk pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah
dengan dilakukan penyiraman, manipulasi lingkungan, menanam tanaman
yang sesuai dengan tapak, dan memberikan naungan.
Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran
I. TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk :
Mengenal berbagai kelompok gulma
Mampu membedakan mekanisme kerusakan oleh gulma pada tanaman
inang dan potensi yang berperan sebagai gulma dalam hutan.
Karakterisitik yang
Preparat diamati nampak digambarkan
dan dideskripsikan
IV. PEMBAHASAN
1. LIANA
Liana merupakan
salah satu jenis
gulma yang biasa
ditemukan pada
tanaman kehutanan.
Liana merupakan
spesies tumbuhan
merambat.
Tumbuhan ini
memiliki batang
yang tidak beraturan
dan lemah, sehingga
tidak mampu
Gambar 1 Kelompok Gulma Liana
(Epipremnum aureum) yang Melilit Inang mendukung
tajuknya. Adanya
liana di hutan merupakan salah satu ciri khas hutan hujan tropis, terutama
spesies liana berkayu (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Contoh liana
pada tanaman kehutanan adalah Epipremnum aureum (Sirih Gading)
dengan inang Ficus ribes, Mikania michrantha dengan inang Sengon, dan
Singonium podophyllum yang biasa ditemukan di kawasan lembah UGM.
Liana merupakan gulma yang perakaran utamanya berada di tanah,
kemudian dia merambat pada tanaman inang menggunakan akar-akar
halus untuk mendapatkan sinar matahari dan untuk menopang tajuknya
sehingga batang tanaman utama menjadi rapuh. Persaingan yang terjadi
antara liana dan tanaman kehutanan adalah perebutan cahaya atau sinar
matahari. Agen penyebar tumbuhan gulma jenis liana ini adalah hewan
seperti burung dan kelelawar sehingga untuk upaya pencegahan dapat
dilakukan dengan monitoring dan penyiangkan berkala. Sedangkan untuk
upaya pengendalian pemberantasan gulma dapat dilakukan secara
mekanis, biologis, dan kimia. Umumnya gulma diberantas dengan
herbisida, dibabad secara mekanis atau menebas secara manual (Samyu &
De Vos, 2009). Pemberantasan gulma secara mekanis memerlukan modal
yang tinggi disertai persyaratan lahan datar (Teasdale, 2009).
Pemberantasan secara kimia dapat membunuh gulma secara langsung
hingga ke akar-akarnya, namun dapat menghasilkan residu yang tidak
ramah lingkungan pada tanah (Youkhman, 2011). Pada prinsipnya
penggunaan jenis mulsa diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan gulma, tidak menghambat pertumbuhan tanaman pokok
dan mengurangi resiko bahaya kebakaran (Samyu & Bruno, 2009).
2. BENALU
Benalu dapat
dikatakan sebagai
parasit maupun semi
parasit. Berbeda
dengan liana yang
memperebutkan
cahaya, benalu
justru menempel
pada percabangan
dan menyerap
nutrisi dari tanaman
inang sehingga
tanaman inang
Gambar 2 Kelompok Gulma Benalu
(Dendrophthoe pentandra) Pada Tanaman Inang menjadi layu dan
rontok tajuknya.
Agen penyebar benalu adalah burung. Contoh spesies gulma jenis benalu
ialah Dendrophthoe pentandra pada Nerium oleander. Selain itu ada pula
Viscum articulatum yang biasa menyerang tanaman Jati di kawasan
KHDTK Getas. Untuk upaya pencegahan dapat dilakukan kegiatan
monitoring dan menyediakan tanaman ianng alternatif agar tanaman pokok
bebas dari benalu. Sedangkan untuk pengendalian secara mekanis dapat
dilakukan pruning atau pemangkasan dan secara kimia dengan
penyemprotan herbisida.
3. PENCEKIK/STRANGLER
Tumbuhan pencekik
memulai
kehidupannya
sebagai epifit, tetapi
kemudian akar-
akarnya menancap
ke tanah dan tidak
menggantung lagi
pada inangnya.
Tumbuhan ini
sering membunuh
pohon yang semula
membantu menjadi
Gambar 3 Kelompok Gulma Pencekik (Ficus
rebes ) yang Mencekik Tanaman Inang inangnya. enis
tumbuh-tumbuhan
ini hidup dengan jalan mengandalkan tumbuhan lain untuk mencari
makanannya (Winarni, dkk. 2012). Salah satu contoh gulma pencekik
adalah Ficus rebes dengan inang Pterocarpus indicus. Tumbuhan Ficus
memulai fase hidupnya sebagai pencekik ketika masih muda serperti Ficus
benjamina yang biasa ditemukan di Boulevard UGM. Upaya pencegahan
dapat dilakukan dengan monitoring dan menanam inang alternatif seperti
Duwet. Sedangkan untuk pengendalian secara mekanis dapat dilakukan
dengan pruning dan pencabutan, kimia dengan herbisida, dan secara
biologi dengan ulat.
4. PENUTUP TANAH
Banyak
tumbuhan yang
termasuk dalam
tumbuhan
pengganggu atau
tidak disukai yang
dapat berfungsi
sebagai penutup
tanah atau
pelindung tanah
terhadap ancaman
erosi. Tumbuh-
tumbuhan itu tidak
Gambar 4 Kelompok Gulma Penutup Tanah
Imperata cylindrical dan Stacghytarpheta disukai karena sifat-
jamaicensis sifatnya yang
merugikan tanaman pokok dan sulit diberantas atau dibersihkan (Arsyad,
2006). Gulma ini tumbuh di atas tanah dan memperebutkan hara serta air
dengan tanaman pokok contohnya Imperata cylindrical dan
Stacghytarpheta jamaicensis. Persaingan biasanya lebih ketat saat tanaman
pokok masih dalam fase semai, ketika tanaman sudah dewasa gulma
penutup tanah perlahan akan hilang karena kalah bersaing. Upaya
pencegahan dapat dilakukan dengan monitoring, penyiangkan, dan
pemulsaan. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah pengurangan
gulma secara biologis dengan menggunakan mulsa organik berupa
biomassa hidup atau mati yang ada di sekitar lokasi tanaman (Akbar,
2016). Pengendalian pertumbuhan gulma dengan menggunakan mulsa
organik memiliki kelebihan, yaitu bahan mulsa mudah didapat di sekitar
areal tanaman, dapat meningkatkan tambahan unsur hara, meningkatkan
kehadiran organisme pengurai serasah dan ramah lingkungan (Cerrilo et
al., 2009, Zawls, 2010).
V. KESIMPULAN
Praktikum kerusakan tanaman oleh gulma memiliki kesimpulan
sebagai berikut :
Terdapat 4 kelompok gulma yaitu liana, benalu, pencekik, dan penutup
tanah. Liana merupakan gulma yang merambat pada batang tanaman
inang untuk memperebutkan sinar matahari contohnya Epipremnum
aureum. Perakaran uatama liana berada di tanah. Benalu merupakan
gulma yang muncul pada percabangan dan menyerap nutrisi tanaman
ianng contohnya Dendrophthoe pentandra. Pencekik merupakan
gulma semi parasite yang muncul pertama kali sebagai epifit kemudian
mencekik batang inang contohnya Ficus rebes. Penutup tanah
merupakan kelompok gulma seperti rerumputan yang menutup tanah
contohnya Imperata cylindrical.. Gulma jenis ini bersaing unsur hara
dan air di tanah dengan tanaman pokok. Serangan hama ini lebih terasa
saat tanaman pokok masih semai.
Mekanisme keruskan oleh gulma antara lain kematian akibat kompetisi
perolehan cahaya matahari dan nutrisi, kematian akibat naungan dan
kegagalan transportasi nutrisi, terganggunya siklus panen, menurunkan
produktivitas, kematian akibat perebutan unsur hara. Tanaman yang
berkompetisi sebagai gulma adalah tanaman yang menghasilkan zat
alelopati, memiliki kemampuan reproduksi tinggi, membelit, dan
bersifat parasit.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran
I. TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk :
Mengenal gejala yang timbul pada inang serta tanda yang merupaka
kenampakan penyebab kerusakan
Mampu melakukan identifikasi gejala dan tanda hingga menentukan
penyebab faktor biotik dan abiotic
IV. PEMBAHASAN
Praktikum acara 5 kali ini membahas tentang penyakit atau
kerusakan pada tanaman kehutanan yang ada di sekitar kita. Penyakit yang
diamati berupa penyakit biotik dan abiotic. Penyakit pada tanaman
didefinisikan sebagai penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan
tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologisnya secara normal
dengan sebaikbaiknya (Semangun, 2001).
BIOTIK
1. Teak Leaf Defoliator/Skeletonizer (pohon)
Sun burn dan sun scald merupakan penyakit yang disebabkan oleh
paparan sinar matahari atau temperatur yang tinggi. Perbedaan sun burn
dan sun scald adalah jika sun burn menyerang pada daun dan
mengakibatkan daun kering. Sedangkan sun scald menyerang cambium
yang ada didalam batang dan kulit batang menjadi mengelupas (Ichsan et
al., 2003)
Menurut (Fitler dan Hay, 1991), radiasi sinar matahari dapat
memberikan efek tertentu pada tumbuhan bila cahaya tersebut diabsorbsi.
Secara fisiologis cahaya mempunyai pengaruh baik langsung maupun
ridak langsung. Pengaruh secara langsung bisa melalui fotosintesis dan
secara tidak langsung bisa melalui pertumbuhan dan perkembangan
tanaman akibat respon metabolic yang langsung. Gejala yang ditimbulkan
oleh sun burn adalah daun akan mengering pada bagian tepi dan untuk sun
scald ialah kulit batang akan mengelupas dan warnanya akan menjadi
coklat kehitaman. Dampak dari penyakit ini adalah terjadinya reaksi
biokimia yang tidak normal pada tanaman.
Untuk pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah
dengan dilakukan penyiraman, manipulasi lingkungan, menanam tanaman
yang sesuai dengan tapak, dan memberikan naungan.
Tabel 1. Persentase Luas Kerusakan Biotik dan Abiotik per Kode Lokasi Spesies
Athocarpus hetterophyllus
% Luas Serangan
No. Lokasi
Biotik Abiotik Rerata (%)
1 1 37.84 8.11 22.97
2 2 78.38 18.92 48.65
3 3 75.68 16.22 45.95
4 4 35.14 2.70 18.92
5 5 51.35 27.03 39.19
6 6 0.00 2.70 1.35
Tabel 2. Persentase Luas Kerusakan Biotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Athocarpus hetterophyllus
Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 16.22 0.00 0.00 0.00 2.70 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 18.92 2.91
2 2.70 8.11 40.54 0.00 5.41 32.43 0.00 0.00 0.00 2.70 0.00 0.00 16.22 8.32
3 2.70 0.00 16.22 0.00 18.92 37.84 0.00 0.00 2.70 0.00 2.70 2.70 27.03 8.52
4 0.00 0.00 16.22 0.00 2.70 0.00 0.00 2.70 10.81 0.00 0.00 2.70 2.70 2.91
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16.22 0.00 0.00 43.24 21.62 8.11 6.86
6 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Jumlah 5.41 8.11 89.19 0.00 27.03 70.27 2.70 18.92 13.51 2.70 45.95 27.03 72.97 29.52
Tabel 3. Persentase Luas Kerusakan Abiotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Athocarpus hetterophyllus
Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.62
2 2.70 0.00 10.81 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 1.66
3 2.70 0.00 5.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 1.25
4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.70 0.21
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 2.70 16.22 2.08
6 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.70 0.21
Jumlah 5.41 0.00 16.22 0.00 8.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 2.70 37.84 6.03
Tabel 4. Persentase Luas Kerusakan Biotik dan Abiotik per Kode Lokasi Spesies
Tectona grandis
% Luas kerusakan
No. Lokasi
Biotik Abiotik Rerata (%)
0 0 0 0
1 1 33.64 0.00 16.82
2 2 52.34 20.56 36.45
3 3 55.14 28.97 42.06
4 4 43.93 15.89 29.91
5 5 21.50 11.21 16.36
Tabel 5. Persentase Luas Kerusakan Biotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Tectona grandis
Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.87 0.00 0.00 0.00 2.80 0.00 0.00 32.71 2.88
2 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 6.54 0.00 0.00 0.00 0.00 6.54 0.00 43.93 4.46
3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.54 0.00 51.40 4.46
4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.48 0.00 39.25 3.59
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16.82 0.00 4.67 1.65
Jumlah 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 8.41 0.00 0.00 0.00 2.80 37.38 0.00 171.96 17.04
Tabel 6. Persentase Luas Kerusakan Abiotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Tectona grandis
Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0
2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 19.63 1.58
3 0.00 0.00 0.00 0.00 1.87 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 0.93 0.00 25.23 2.23
4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 0.00 0.00 14.95 1.22
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.61 4.67 0.93 0.86
Jumlah 0.00 0.00 0.00 0.00 2.80 0.00 0.00 1.87 0.00 0.00 6.54 4.67 60.75 5.90
Berdasarkan tabel diatas didapatkan bTabel di atas menunjukan
bahwa kerusakan yang dialami spesies Tectona grandis terdapat pada
bagian akar, batang dibawah dbh, batang di atas dbh, batang dalam tajuk,
dan daun. Pada tabel 4 luas kerusakan biotik dan abiotic per lokasi secara
berututan sebagai berikut, lokasi 1 kerusakan biotik seluas 33.64% dan
kerusakan abiotic seluas 0.00%, lokasi 2 kerusakan biotik seluas 52.34%
dan kerusakan abiotic seluas 20.56%, lokasi 3 kerusakan biotik seluas
55.14% dan kerusakan abiotic seluas 28.97%, lokasi 4 kerusakan biotik
seluas 43.93% dan kerusakan abiotic seluas 15.89%, lokasi 5 kerusakan
biotik seluas 21.50% dan kerusakan abiotic seluas 11.21%, Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa kerusakan yang dialami spesies Tectona
grandis cenderung disebabkan oleh faktor biotik dibandingkan faktor
abiotic. Berdasarkan tabel 5 Persentase luas kerusakan biotik per tanda
diperoleh hasil sebagai berikut pada bagian akar sebesar 33.64%, batang
dibawah dbh sebesar 52.34%, kerusakan pada bagian batang di atas dbh
sebesar 55.14%, kerusakan pada bagian batang dalam tajuk sebesar
43.93%, dan kerusakan pada bagian daun sebesar 21.50%. Sedangkan
lokasi kerusakan abiotik terjadi pada batang dibawah dbh dengan
persentase 20.56%, batang di atas dbh sebesar 28.97%, batang dalam tajuk
sebesar 15.89%, dan daun sebesar 11.21%. Persentase luas kerusakan
biotik tertinggi terdapat pada bagian batang di bawah dbh dan batang di
atas dbh, yaitu sebesar 4,46% , diikuti oleh batang dalam tajuk sebesar
3,59%, kemudian akar sebesar 2,88%, dan terakhir daun sebesar 1,65%.
Sedangkan pada kerusakan abiotik ditemukan jenis kerusakan berupa
batang atau akar patah, mati pucuk, kerusakan daun dan tunas, perubahan
warna daun serta kerusakan lain. Lokasi yang terserang kerusakan tersebut
antara lain pada bagian batang dibawah dbh, batang di atas dbh, batang
dalam tajuk, dan daun. Rerata persentase luas yang terjadi secara berurutan
adalah 1,58%; 2,23% ; 1,22% dan 0,86% dengan persentase kerusakan
tertinggi terjadi pada batang di atas dbh. kerusakan pada spesies Tectona
grandis didominasi oleh kerusakan biotik dengan kode lokasi 3 yaitu
batang di atas dbh, dengan persentase kerusakan sebesar 55,14 %.
Sedangkan kerusakan abiotik didominasi kode lokasi 3, yaitu pada bagian
batang di atas dbh dengan persentase 28,97%. Pencegahan dapat dilakukan
dengan monitoring. Sedangkan untuk pengendalian dapat dilakukan secara
mekanis dengan penjarangan, pruning dan secara kimia dengan
penyemprotan herbisida
Tabel 7. Persentase Luas Kerusakan Biotik dan Abiotik per Kode Lokasi Spesies
Zantoxylum retsza
% Luas kerusakan
No. Lokasi
Biotik Abiotik Rerata (%)
1 1 0.00 0.00
2 2 38.64 6.82 22.73
3 3 14.77 6.82 10.80
4 4 39.77 11.36 25.57
5 5 0.00 0.00
Tabel 8. Persentase Luas Kerusakan Biotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Zantoxylum retsza
Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 6.82 6.82 6.82 0.00 6.82 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21.59 3.76
3 4.55 2.27 0.00 0.00 1.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.95 1.22
4 6.82 36.36 0.00 0.00 3.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21.59 5.24
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Jumlah 18.18 45.45 6.82 0.00 11.36 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 51.14 10.23
Tabel 9. Persentase Luas Kerusakan Abiotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Zantoxylum retsza
Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 0.00 1.14 3.41 0.00 2.27 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.52
3 0.00 0.00 0.00 0.00 6.82 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.52
4 0.00 0.00 1.14 0.00 10.23 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.87
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Jumlah 0.00 1.14 4.55 0.00 19.32 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.92
Tabel di atas menunjukan bahwa kerusakan yang dialami spesies
Zantoxylum retsza terdapat pada bagian akar, batang dibawah dbh, batang
di atas dbh, dan batang dalam tajuk. Pada tabel 7 luas kerusakan biotik dan
abiotic per lokasi secara berurutan sebagai berikut, lokasi 1 kerusakan
biotik dan kerusakan abiotic seluas 0.00%, lokasi 2 kerusakan biotik seluas
38.64% dan kerusakan abiotic seluas 6.84%, lokasi 3 kerusakan biotik
seluas 14.77% dan kerusakan abiotic seluas 6.82%, lokasi 4 kerusakan
biotik seluas 39.77% dan kerusakan abiotic seluas 11.36%, lokasi 5
kerusakan biotik dan kerusakan abiotic seluas 0.00%, Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa kerusakan yang dialami spesies Zantoxylum retsza
cenderung disebabkan oleh faktor biotik dibandingkan faktor abiotic.
Berdasarkan tabel 8 Persentase luas kerusakan biotik per tanda diperoleh
hasil sebagai berikut pada bagian batang dibawah dbh sebesar 38.64%.
Kerusakan pada bagian batang di atas dbh sebesar 14.77% dan kerusakan
pada bagian batang dalam tajuk sebesar 39.77%. Berdasarkan tabel 9
Persentase luas kerusakan abiotic per tanda diperoleh hasil sebagai berikut
pada batang dibawah dbh sebesar 6.82%, batang di atas dbh sebesar
68.2%, dan batang dalam tajuk sebesar 1.,36%. Adapun jenis kerusakan
biotik yang ditemukan antara lain kanker, ada tubuh buah jamur, luka
terbuka, batang atau akar patah, dan kerusakan lain. Persentase luas
kerusakan biotik tertinggi terdapat pada bagian batang dalam tajuk, yaitu
sebesar 5,24% , diikuti oleh batang di bawah dbh sebesar 3,76% dan
terakhir batang di atas dbh sebesar 1,22%. Sedangkan pada kerusakan
abiotik ditemukan jenis kerusakan berupa ada tubuh buah jamur, luka
terbuka, dan batang atau akar patah. Kerusakan pada spesise Zantoxylum
retsza didominasi oleh kerusakan biotik dengan kode lokasi 4 yaitu batang
dalam tajuk, dengan persentase kerusakan sebesar 39,77%. Sedangkan
kerusakan abiotik didominasi kode lokasi 4, yaitu pada bagian batang di
dalam tajuk dengan persentase 11,36%. Upaya Pencegahan yang dapat
dilakukan adalah dengan monitoring. Sedangkan untuk pengendalian dapat
dilakukan secara mekanis dengan penjarangan, pruning dan secara kimia
dengan pemberian herbisida
V. KESIMPULAN
Kesimpulan praktikum ini adalah
Gejala dan tanda dapat diamati di lapangan dan menjadi kenampakan
penyebab kerusakan. Dilapangan ditemukan penyakit biotik dan
abiotic. Gejala pada penyakit biotik yang ditemukan di lapangan
adalah adalah daun berlubang pada inang jati ketika mengalami
kerusakan teak leaf defoliator/skeletonizer dan tanda yang ditemukan
adalah ditemukannya ulat/serangga hama penyebab penyakit. Pada
kerusakan abiotic tidak ditemukan hama atau patogen penyebab
penyakit serta tidak ditemukan tanda. Gejala yang ditemukan di
lapangan untuk penyakit abiotic adalah adanya perubahan warna di
luar daun ketika tanaman mengalami penyakit klorosis.
Identifikasi gejala dan tanda dapat dilakukan di lapangan. untuk
menentukan apakah penyakit tergolong biotik atau abiotic dapat dicari
patogen penyebab penyakit. Pada penyakit abiotic tidak ditemukan
patogen/hama penyebab penyakit dan tidak ditemukan tanda.
Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran
I. TUJUAN
Tujuan praktikum ini adalah :
Memahami peranan oksigen dalam proses pembakaran
Menentukan macam-macam jenis pemindahan panas dalam proses
pembakaran
Memahami komponen segitiga api kebakaran hutan
amati pemindahan
lampu semprong panas pada titik A (di
dinyalakan. biarkan bawah), B (pada batang
hingga nyala stabil kaca), C (di atas lampu
semprong)
deskripsikan proses
pembakaran yang timbul
Tabel di atas mewakili peran bahan bakar dalam segitiga api pada
kebakaran hutan. Bahan bakar utama pada kasus kebakaran hutan adalah
bahan organic atau biomassa di dalam hutan seperti seresah, humus, daun,
batang, dan ranting. Berdasarkan praktikum di atas didapatkan bahwa
bahan bakar kering lebih cepat untuk terbakar dan menimbulkan asap yang
sedang. Bahan bakar segar paling lama terbakar. Dan bahan bakar basah
cukup lama terbakar.
Terdapat 3 jenis kebakaran hutan yaitu kebakaran bawah (ground
fire), kebakaran permukaan (surface fire), kebakaran tajuk (crown fire).
Tipe kebakaran hutan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar
yakni kebakaran bawah, kebakaran permukaan serta kebakaran tajuk
(Kimmins, 2004). kebakaran bawah dapat membakar serasah dan akar
tanaman, walaupun tergantung pada karakteristik serasah dan akar,
membakar bahan organik serta mengurangi benih-benih (Oliver & Larson,
1990; Kimmins, 2004). Kebakaran bawah biasa terjadi pada lahan gambut.
Karena gambut merupakan tanah dengan akumulasi bahan organic yang
menjadi sumber bahan bakar utama. Rongga dalam lahan gambut juga
banyak menyimpan oksigen sehingga bila mendapat percikan api akan
mudah terbakar. Kebakaran bawah biasanya terjadi tanpa terlihat apinya
dan tidak dipengaruhi oleh angin. Untuk mengendalikan kebakaran bawah
dapat dilakukan penyiraman langsung pada hotspot atau titik api.
Kebakaran permukaan membakar mulai dari permukaan tanah hingga
tingkat pertumbuhan pohon yang masih rendah. Biasanya kebakaran
terjadi dimulai dari kebakaran permukaan dan dapat menyebar ke
kebakaran bawah maupun kebakaran tajuk. Pada hutan lahan gambut
kebakaran permukaan akan menyebar menjadi kebakaran bawah, pada
hutan gymnospermae kebakaran permukaan akan mudah menyebar ke
kebakaran tajuk. Hal ini dipengaruhi dengan posisi sumber bahan
bakarnya. Kebakaran permukaan sedikit dipengaruhi oleh angin,
sedangkan kebakaran tajuk banyak dipengaruhi oleh angin. Sehingga
apinya membentuk elips ke arah angin. Untuk pengendalian kebakaran
permukaan dan tajuk dapat dilakukan penyiraman langsung lwat
udara/waterbomb, pembuatan ilaran api, atau penyiraman langsung.
Kebakaran hutan dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak
positif misalnya dipercepatnya peremajaan alam, pelapukan tanah,
terbantunya kehidupan satwa liar serta membantu pemusnahan hama dan
penyakit. Namun dampak negatifnya sangat besar antara lain rusak atau
musnahnya kayu dan hasil hutan lainnya, kerusakan lingkungan, dan
menimbulkan asap (Nurdin, 2018).
Untuk menjegah terjadinya proses pembakaran adalah dengan
menghilangkan salah satu komponen segitiga api. Yaitu menghilangkan
atau mengurangi sumber panas (api) atau mengurangi akumulasi bahan
bakar (Adinugroho, 2005). Salah satu hal penting yang perlu diketahui
dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan adalah dengan mengenal
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan tersebut.
Dengan mengenali faktor-faktor tersebut, upaya awal dalam kegiatan
pencegahan akan dapat dilakukan sedini mungkin (Sahardjo 2003 dalam
Suratmo et al. 2003). Selain itu untuk meminimalisir terjadinya kebakaran
hutan dapat dilakukan dengan dibuatnya perundang-undangan yang
mengatur kemanisme pembukaan lahan.
.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum acara 6 tentang segitiga api dan
pemindahan panas didapatkan kesimpulan yaitu :
Oksigen merupakan salah satu komponen dalam segitiga api yang
memiliki peran dalam proses kebakaran. Secara kimia, pembakaran
dapat terjadi bila oksigen tersedia. Dalam praktikum dibuktikan
dengan gelas dengan volume udara yang lebih besar dapat menahan
nyala lilin lebih lama karena proses pembakaran terus terjadi selama
oksigen tersedia.
Dalam proses pembakaran ada 3 jenis perpindahan panas yaitu
konveksi, konduksi dan radiasi. Dalam praktikum dibuktikan dengan
perpindahan panas pada lampu semprong yang menunjukan hasil
bahwa perpindahan panas secara konveksi.
Segitiga api merupakan 3 komponen yang wajib hadir untuk terjadinya
kebakaran yaitu bahan bakar, sumber panas, dan oksigen. Dalam
kebakaran hutan bahan bakar merupakan semua biomassa hutan dan
bahan organic dalam hutan. kebakaran tidak dapat terjadi bila 3
komponen segitiga api tidak lengkap.
Kelvin, Pram Eliyah Yuliana, dan Sri Rahayu. 2015. Pemetaan Lokasi
Kebakaran Berdasarkan Prinsip Segitiga Api Pada Industri
Textile. Surabaya: Sekolah Tinggi Teknik Surabaya.
Kimmins, J. P. 2004. Forst Ecology, a Foundation for Sustainable Forest
Management and Environmental Ethics in Forest. Prentice Hall.
New Jersey.
Nasi, R., Dennis, R., Meijaard, E., Applegate, G and Moore, P. 2002. .
Unasylva 209, Vol. 53. Roma.
Nurdin, A. S. (2018). Pengaruh Iklim Global terhadap Kebakaran Hutan di
Kota Ternate. Techno: Jurnal Penelitian, 7(2), 150-156.
Oliver, CD and Larson, B.C. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw-Hill,
Inc. NewYork.
Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran
I. TUJUAN
Tujuan praktikum ini adalah :
Mengenal bentuk penggembalaan di dalam hutan
Mengenal kerusakan pada tanaman hutan dan tanah
IV. PEMBAHASAN
V. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum acara 7 tentang penggembalaan di dalam
hutan didapatkan kesimpulan yaitu :
Penggembalaan merupakan kegiatan yang sering dilakukan di dalam
hutan oleh masyarakat sekitar. Terdapat 2 jenis penggembalaan yaitu
penggembalaan terikat dan tidak terikat. Untuk kawasan hutan dengan
fase semai jenis penggembalaan yang semestinya dilakukan adalah
penggembalaan terikat. Dan untuk hutan dengan vegetasi fase tiang
dan pohon dapat dilakukan penggembalaan tidak terikat dengan
managemen-managemen khusus agar tidak menimbulkan dampak
negative.
Kegiatan penggembalaan dalam hutan secara umum menimbulkan 2
kerusakan yaitu kerusakan pada tanah dan pada tanaman hutan.
kerusakan pada tanah yang terjadi adalah pemadatan tanah sehingga
sifat fisik tanah berkurang dan berpotensi terjadi erosi. Kerusakan
tanaman hutan yang dapat terjadi adalah semai terinjak hewan ternak
dan luka batang pohon akibat tanduk ternak.
Bappeda Provinsi NTT, 2011. Rencana Induk dan Peta Jalan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu Benain 2010 – 2025 Timor
Barat Berbasis Kerjasama Antar Daerah (KAD): Provinsi NTT,
Kabupaten TTS, Kabupaten TTU, Kabupaten Belu.
Riayanto, H.D dan Pahlana, U.W.H. 2012. Kajian Evaluasi Hutan Jati
Sistem Bonita Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 9 No.1, Maret 2012, 43-50.
Wigati ES, Syukur A, Bambang DK. 2006. Pengaruh takaran dari bahan
organik dan tingkat kelengasan tanah terhadap serapan fosfor oleh
kacang tanah di tanah pasir pantai. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan. 6:52-58.
LAMPIRAN