Anda di halaman 1dari 113

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM DASAR-DASAR PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN

Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran

LABORATORIUM PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan resmi praktikum Dasar-dasar Perlindungan dan Kesehatan Hutan ini


telah diajukan kepada Co-Asisten sebagai prasyarat untuk menempuh ujian response
praktikum Dasar-dasar Perlindungan dan Kesehatan Hutan yang telah disetujui dan
disahkan pada :

Hari : Sabtu

Tanggal : 19 Desember 2020

Yogyakarta, 19 Desember 2020

Mengetahui,

Co-Asisten Praktikan

Akbar Zhafran Ancilla Filema


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Resmi
Praktikum Dasar-dasar Perlindungan dan Kesehatan Hutan yang disusun guna memenuhi
prasyarat mengikuti ujian responsi

Laporan ini disusun berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama


praktikum dengan demikian laporan ini memuat seluruh acara Praktikum Dasar-dasar
Perlindungan dan Kesehatan Hutan

Selama penulisan laporan ini, penulis mendapatkan banyak dukungan fisik dan
psikis hingga akhirnya dapat menyelesaikan laporan ini. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberi kesehatan dan kekuatan dalam
menyusun laporan ini
2. Mas Akbar Zhafran, selaku Co-Asisten yang telah membantu dalam pelaksanaan
praktikum
3. Teman-teman satu shift, yang telah memberikan dukungan dan semangat
4. Orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan moral dan finansial.

Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharpkan masukan dan saran serta kritik yang bermanfaat sebagai bahan masukan
dan koreksi bagi penulis.
Akhir kata penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
terlibat. Terimakasih

Yogyakarta, 19 Desember 2020

Ancilla Filema
DAFTAR ISI

Judul

Lembar Pengesahan

Kata Pengantar

Daftar Isi

Acara I. Pengenalan Gangguan Penyakit Biotik dan Penyebabnya pada Tanaman Hutan

Acara II. Pengenalan Kerusakan Hutan dan Penyebab Akibat Serangan Hama

Acara III. Pengenalan Gejala Penyakit Tanaman oleh Penyebab Abiotik

Acara IV. Pengenalan Kerusakan Tanaman oleh Gulma

Acara V. Pengenalan Lapangan

Acara VI. Segitiga Api dan Pemindahan Panas

Acara VII. Penggembalaan dalam Hutan


LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN
ACARA I
PENGENALAN GANGGUAN PENYAKIT BIOTIK DAN PENYEBABNYA
PADA TANAMAN HUTAN

Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00
Co-Ass : Akbar Zhafran

LABORATURIUM PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
ACARA I
PENGENALAN GANGGUAN PENYAKIT BIOTIK DAN
PENYEBABNYA PADA TANAMAN HUTAN
I. TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk :
 Mempelajari kerusakan tanaman melalui gejala (symptom) yang timbul
pada inang dan tanda (sign) yang merupakan kenampakan penyebab
 Mengetahui kerusakan dan penyebab penyakit biotik pada tanaman
hutan yang menyertai gejala yang tampak

II. ALAT DAN BAHAN


Pada praktikum ini digunakan alat :
 Alat tulis
 Pensil warna

Pada praktikum ini digunakan bahan :


 Daun Acacia auriculiformis yang terserang penyakit embun tepung
(powdery mildew), disebabkan oleh jamur Oidium sp.
 Daun Acacia sp., Eucalyptus sp., yang terserang penyakit embun jelaga
(black mildew), disebabkan oleh jamur Capnodium sp.
 Batang Khaya anthotheca yang terserang penyakit kanker batang,
disebabkan oleh jamur Phytophthora sp.
 Akar Acacia sp., yang terserang penyakit akar merah, disebabkan oleh
jamur Ganoderma psudoferreum
 Batang Falcataria moluccana yang terserang penyakit karat tumor,
disebabkan oleh jamur Uromycladium falcatarium
 Semai Eucalyptus sp. yang terserang penyakit damping-off disebabkan
oleh jamur Fusarium sp.
 Semai Pinus merkusii yang terserang penyakit bercak daun,
disebabkan oleh jamur Pestalotia sp.
 Semai Cinnamomum zeylanicum terseranng sesidia

III. CARA KERJA


Cara kerja praktikum acara ini adalah :

Preparat diamati dengan


Gejala dan kerusakan pada tiap menggunakan mikroskop dan
bahan/preparat diamati. Diamati dibuat deskripsi tentang bentuk
bagian yang rusak dan tipe dan ukuran umum organisme
kerusakannya. penyebab dan bagian yang aktif
sebagai penular (inoculum)

Bagian serta tipe kerusakan


digambar dengan jelas

Peratama-tama alat dan bahan disiapkan. Kemudian Gejala dan


kerusakan pada tiap bahan/preparat diamati. Pengamatan dilakukan
dengan mangamati bagian yang rusak dan tipe kerusakannya. Kemudian
Preparat diamati dengan menggunakan mikroskop dan dibuat deskripsi
tentang bentuk dan ukuran umum organisme penyebab dan bagian yang
aktif sebagai penular (inoculum). Setelah itu Bagian serta tipe kerusakan
digambar dengan jelas

IV. PEMBAHASAN

Penyakit merupakan suatu hal yang tidak dapat terpisahkan dalam


usaha budidaya tanaman di persemaian. Penyakit pada tanaman
didefinisikan sebagai penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan
tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologisnya secara normal
dengan sebaikbaiknya (Semangun, 2001). Beberapa jenis penyakit yang
biasa menyerang tanaman di persemaian berdasarkan gejala yang
ditimbulkan antara lain penyakit karat, penyakit layu, penyakit bercak
daun, penyakit mosaik, penyakit gosong, embun tepung, puru, dan
sebagainya. Widyastuti et al (2005) menyampaikan bahwa tanaman di
persemaian lebih rentan terhadap serangan penyakit dibandingkan tanaman
yang telah ditanam di lapangan, sehingga jika tanaman di persemaian telah
terserang penyakit maka pertumbuhan tanaman tersebut akan terganggu
dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian tanaman.

1. Bercak Daun

Penyakit bercak
daun merupakan
penyakit biotik
yang dapat terjadi
pada tanaman
kehutanan, sering
ditemukan pada
spesies Pinus
merkusii.
Penyakit bercak
daun disebabkan
Gambar 1. Semai Pinus merkusii yang terkena penyakit Bercak Daun
oleh jamur
Pestalotia sp. Agrios (2005) menyatakan bahwa penyakit bercak daun
merupakan penyakit yang disebabkan oleh fungi yang menghambat dan
mengurangi hasil fotosintesis dan selanjutnya akan menghambat
pertumbuhan. Anggraeni (2009) menyatakan bahwa beberapa fungi
patogen yang biasanya menjadi penyebab penyakit bercak daun pada
tanaman hutan antara lain Pestalotia sp., Lasiodiplodia sp., Cercospora sp.,
Curvularia sp., Helminthosporium sp., Gloesporium sp., Cylindrocladium
sp., dan Colletotrichum sp. Suhartati dan Kurniaty (2013) juga
menyampaikan bahwa beberapa patogen penyebab penyakit di persemaian
dan kebun pangkas stasiun penelitian Nagrak umumnya disebabkan
cendawan antara lain Curvularia sp., Petalotia sp., Fusarium sp.,
Macrophoma sp. dan Cylindrocladium sp.
Gejala yang timbul saat tanaman terkena penyakit bercak daun adalah
muncul bercak hitam pada folikel daun, serta helaian daun akan
menguning sampai kecoklatan. Tipe gejala penyakit bercak daun adalah
nekrosis, yaitu gejala berupa kematian sel-sel jaringan tanaman yang
berubah dari kuning kemudian coklat atau kemerahan akibat serangan
pathogen. Tanda yang ditimbulkan berupa tanda mikroskopis. Vector
penyebaran penyakit adalah dengan angina dan kontak daun. Untuk
mencegah timbulnya bercak daun dapat dilakukan monitoring, pengaturan
jarak tanam, dan pengaturan suhu dan kelembaban. Bila penyakit sudah
ada, pengendalian yang dapat dilakukan adalah isolasi tanaman yang
terjangkit atau fungisida.

2. Jamur Akar Merah


Salah satu
penyakit penting
pada tanaman
hutan adalah
penyakit akar
merah yang
disebabkan oleh
Ganoderma sp.
dan telah
menyebabkan
k
Gambar 2. Pohon Akasia yang terkena penyakit Jamur Akar Merah
e
matian tanaman. Penyakit akar merah berkembang lambat dan baru
diketahui dan diamati secara langsung ketika gejala sekundernya sudah
muncul dan hal ini dapat dikatakan sudah terlambat karena ini berarti
patogen penyebab penyakit ini kemungkinan besar telah menyebar dari
satu tanaman ke tanaman lain (Herliyana, 2016). Penyakit ini biasa
ditemukan pada tanaman Akasia.
Gejala yang ditimbulkan penyakit ini adalah akar tanaman membusuk dan
daun rontok. Tipe gejalanya adalah nekrosis atau kematian sel-sel jaringan
tanaman. Tanda yang dapat diamati adalah ditemukannya pertumbuhan
jamur. Vector penyebaran penyakit jamur akar merah adalah kontak akar,
tanah atau media tanam, serta air. Maka dari itu penyakit ini mudah dan
cepat sekali penyebarannya. Untuk mencegah terjadinya penyakit dapat
dilakukan dengan monitoring dan pengaturan jarak tanam. Untuk
pengendalian dapat dilakukan eradikasi atau pemusnahan pohon yang
terinfeksi untuk memutus penyebaran spora jamur penyebab penyakit.

3. Damping off / Lodoh


Damping off atau Lodoh
adalah penyakit abiotic
pada tanaman Sengon
(Falcataria moluccana)
yang disebabkan oleh
jamur Fusarium sp.
Gejala yang ditunjukkan
oleh semai sengon adalah
serangan penyakit lodoh
(damping off). Cirinya
adalah semai rebah, layu
dan seperti tersiram air
panas (lodoh), gejala
penyakit ini dapat

Gambar 3. Semai Sengon yang terkena penyakit Damping-


dibedakan dalam empat
off
fase (Semangun, 1996)
yaitu pada benih yang baru ditanaman, benih yang sudah berkecambah
namun belum muncul di atas tanah, benih yang sudah berkecambah dan
muncul di atas tanah, dan pada kotiledon yang muncul di atas tanah.
Penyakit ini umumnya disebabkan oleh berbagai fungi penghuni tanah
(Soil born pathogen), antara lain fungi patogen Phytium sp., Rhizoctonia
sp., Fusarium sp., Lasiodiplodia sp., Phytophthora sp. dan
Cylindrocladium sp. Beberapa jenis fungi ini memiliki daya virulensi yang
tinggi (Anggraeni, 2017). Fusarium sp. dapat menyebabkan perubahan
warna pada akar dan nekrosis jaringan (Agrios, 1972; Yudiarti, 2007).
Selain tanaman sengon, Damping off juga dapat terjadi pada Pinus
merkusii. Gejala yang ditimbulkan adalah terdapat luka gosong pada leher
akar seperti disiram air panas (lodoh). Tipe gejalanya nekrosis. Tanda
berupa tanda mikroskopis. Untuk pencegahan dapat dilakukan monitoring,
pengaturan jarak tanam, pemilihan bibit unggul, dan pengaturan suhu
kelembaban. Pengendalian dilakukan dengan isolasi tanaman yang
terinfeksi, penggantian media tanam, dan fungisida.

4. Karat Tumor
Penyakit Karat
Tumor disebabkan
oleh jamur
Uromycladium
falcatarium yang
menyerang
tanaman Sengon
(Falcataria
moluccana).
Gejala yang
ditimbulkan dari
penyakit ini adalah
p
Gambar 4. Batang Sengon yang menunjukan gejala penyakit Karat
e Tumor

m
bengkakan batang, daun, pucuk daun, buah, dan ranting. Tipe gejala
diawali dengan hipertropi atau pembengkakan lalu nekrosis. Hipertropik
adalah pertumbuhan bagian tanaman yang berlebihan yang menunjukan
ketidaknormalan pada sebagian atau seluruh tanaman. Tanda yang dapat
diamati adalah ditemukan jamur berwarna merah bata. Vector penyebaran
penyakit karat tumor ialah angina, air hujan, dan serangga. Penyakit ini
dapat dicegah dengan melakukan monitoring, pengaturan jarak
tanam,pemilihan bibit unggul, dan multikultur atau pola tanam. Untuk
pengendalian dapat dilakukan isolasi pada semai yang terinfeksi,
pemangkasan pada pucuk, eradikasi, dan fungisida.

5. Jamur Upas
Penyakit jamur
upas disebabkan
oleh jamur
Carticium
salmonicolor.
Inang jamur ini
cukup banyak,
yaitu Jati
(Tectona
grandis), Acacia
decurrens, dan
Bentawas. Jati
(Tectona grandis
L.f) termasuk
Gambar 5. Pohon Jati yang terkena penyakit Jamur Upas dalam famili
Verbenaceae,
memiliki nilai ekonomis tinggi, karena kayunya tergolong kayu serbaguna
dan terkenal sebagai kayu komersil bermutu tinggi, sebagai kayu
perdagangan dengan kualitas kayu sangat halus, sangat disukai dengan
permintaan pasar yang sangat tinggi. Kayu Jati termasuk kayu kelas awet
II dan kelas kuat II sehingga sangat cocok untuk segala jenis konstruksi
bangunan (Ditjen Kehutanan, 1976). Kerusakan dapat terjadi pada Jati,
akibat serangan Penyakit Bercak Daun (Cersospora Sp), Penyakit Layu
Bakteri (Pseudomonas tectonae), dan Penyakit Jamur Upas (Corticium
salmonicolor) (Mustafa, 2019).
Gejala yang ditimbulkan penyakit jamur upas adalah daun mongering dan
layu lebih cepat serta kulit mengelupas. Tipe gejalanya nekrosis atau
kematian sel jaringan. Tanda yang dapat diamati adalah adanya hifa putih
atau jarring putih sampai pink pada kulit pohon, ranting, dan belakang
daun. Vector penyebaran penyakit melalui angina, air, dan serangga.
Untuk pencegahan dapat dilakukan monitoring da pengaturan jarak
tanam. Sedangkan untuk pengendalian bisa dilakukan pruning /
pemangkasankalau infeksi terjadi pada percabangan. Bila infeksi terjadi di
batang maka harus dilakukan eradikasi atau pemusnahan individu tersebut.
6. Embun Tepung
Penyakit embun
tepung pada
Acacia cornis
disebabkan oleh
jamur Oidium sp.
Gejala yang
ditimbulkan
adalah
ditemukannya
bercak putih atau
serbuk berwarna
putih pada daun.
Gambar 6. Pohon Akasia yang terkena penyakit Embun Tepung Tipe gejala ini
adalah kematian
sel jaringan atau nekrosis. Untuk mencegah terjadinya penyakit ini dapat
dilakukan monitoring secara rutin, pengaturan jarak tanam, meminimalisir
naungan, dan mengatur suhu dan kelembaban. Upaya pengendalian yang
dapat dilakukan adalah pruning, isolasi, namun sebenarnya serbuk
putih pada daun bisa dihapus dengan tangan bila jumlahnya sedikit.
7. Embun Jelaga
Penyakit embun
jelaga biasa terjai
pada tanaman
akasia. Penyebab
penyakit ini ada 2
yaitu, Capnodium
sp. dengan tipe
gejala atrofik dan
meliola sp. dengan
tipe gejala nekrotis.
Penyakit embun
jelaga disebabkan
oleh jamur
Gambar 7. Pohon Akasia yang terkena penmyakit Embun Jelaga
Capnodium sp dan
Meliola sp (Fiani dkk, 2011). Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini
adalah daun menguning hingga coklat dengan tanda serbuk hitam untuk
yang disebabkan oleh Capnodium dan bercak hitam untuk yang
disebabkan oleh Meliola.. Warna hitam yang menutupi daun merupakan
pigmen melanoid pada dinding sel hifa yang membentuk koloni sehingga
mengakibatkan tertutupnya stomata. Ketika udara cukup kering, selaput
hitam embun jelaga dapat terlepas dan kemudian menyebar ke tempat lain.
Serangan embun jelaga tergolong tidak mematikan, tetapi pada kasus yang
berat dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena menghambat
proses fotosintesis (Fiani, 2018). Vector penyebarannya adalah air, angin,
serangga dan manusia. pencegahan dilakukan dengan monitoring berkala
dan pengaturan jarak tanam. Pengendalian dapatb dilakukan dengan
fungisida, atau mengelap serbuk jika yang terinfeksi masih sedikit.
8. Kanker Batang
Kanker batang biasa
menginfeksi Mahoni
Afrika (Khaya
anthotheca) yang
disebabkan oleh
Phytopthora sp.
gejala yang timbul
adalah kayu gubal
pecah sehingga
keluar gom atau
getah. Tipe gejalanya
adalah kematian sel
jaringan atau
nekrosis. Tanda dapat
Gambar 8. Batang Mahoni Afrika yang terkena penyakit Kanker dilihat secara
Batang
mikroskopis. Vector
penyebarannya ialah angina, air, dan serangga. Untuk pencegahan dapat
dilakukan dengan monitoring, pengaturan jarak tanam, dan pemilihan bibit
unggul. Pengendalian dilakukan dengan eradikasi tanaman yang terinfeksi,
pemangkasan, dan fungisida.

9. Sesidia
Penyakit sesidia
biasa menginfeksi
tanaman Akasia
yang disebabkan
oleh jamur
Uromycetes sp.
(Fitosesidia) dan
Serangga
(Zoosesidia). Gejala
Gambar 9. Daun Akasia yang menunjukan gejala penyakit Sesidia
yang timbul adalah munculnya bintil pada tanaman, menghitam, dan luka
lubang. Pada sesidia yang disebabkan serangga / Zoosesidia, maka bintil
akan berisi serangga. Tipe gejalanya diawali dengan hipertropi dan akan
menuju nekrosis. Tanda dari Fitosesidia adalah mikroskopis (padat) dan
pada Zoosesidia adalah serangga dalam bintil (kopong). Vector
penyebaran penyakitnya adalah dengan air, angin, dan serangga. Upaya
pencegahan dilakukan dengn monitoring berkala, pengaturan jarak tanam,
dan pengaturan pola tanam. Upacaya pengendalian dilakukan dengan
pemangkasan dan fungisida.

V. KESIMPULAN
Kesimpulan pada praktikum kali ini yaitu :
 Kerusakan tanaman dapat dikenali dengan munculnya gejala
(symptom) dan tanda (sign). Gejala merupakan penyimpangan
morfologi tumbuhan dari keadaan normal, sebagai reaksi dari adanya
pathogen. Misalnya dalam praktikum ini adalah pembengkakan batang,
daun keriting, daun rontok, dll. Sedangankan tanda merupakan struktur
vegetative atau generative dari pathogen penyebab kerusakan yang
dapat kita temukan baik secara makroskopis maupun mikroskopis.
Misalnya dalam praktikum ini ditemukan hifa , jamur, dan serangga.
 Penyebab dari kerusakan atau penyakit biotik adalah pathogen yang
terdiri dari jamur, bakteri, virus, dan serangga. Dalam praktikum ini
sebagian besar penyakit disebabkan oleh jamur, kecuali sesidia yang
dapat disebabkan oleh serangga juga selain jamur. Gejala yang tampak
dari masing-masing penyakit berbeda tergantung penyebab dan
inangnya. Pada praktikum ini penyebab kerusakan yang terjadi adalah

 Penyakit : Bercak daun


Pathogen : Pestalotia sp.
Inang : Pinus merkusii
Gejala : Nekrosis
 Penyakit : Akar merah
Pathogen : Ganoderma pseudoferrum
Inang : Acacia sp.
Gejala : Nekrosis
 Penyakit : Damping off
Pathogen : Fusarium sp.
Inang : Falcataria moluccana,Pinus merkusii, Eucalyptus sp.
Gejala : Nekrosis

 Penyakit : Karat tumor


Pathogen : Uromycladium falcatarium
Inang : Falcataria moluccana
Gejala : Artrofik dan nekrosis
 Penyakit : Jamur upas
Pathogen : Corticium salmonicolon
Inang : Tectona grandis, Acacia deccurens
Gejala : Nekrosis
 Penyakit : Embun tepung
Pathogen : Oidium sp.
Inang : Acacia auriculiformis.
Gejala : Nekrosis
 Penyakit : Embun jelaga
Pathogen : Capnodium sp. dan Meliola sp.
Inang : Acacia sp.
Gejala : Nekrosis (Meliola sp.), Atrofik (Capnodium sp)
 Penyakit : Kanker batang
Pathogen : Phytophtora sp.
Inang : Khaya antotheca
Gejala : Nekrosis
 Penyakit : Sesidia
Pathogen : Uromyces sp.(fitosesidia), serangga (zoosesidia)
Inang : Acacia sp.
Gejala : Hypertropik dan Nekrosis
VI. DAFTAR PUSTAKA

Semangun, H.. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada


University Press, Yogyakarta.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Widyastuti, SM., Sumardi dan Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Agrios, G,N. 2005. Plant Pathology 5th eds. Elesevier Academic Press.
USA.
Anggraeni, I. 2009. Colletotrichum sp. Penyebab Penyakit Bercak Daun
pada Beberapa Bibit Tanaman Hutan di Persemaian. Mitra Hutan
Tanaman. 4 (1). 29-35.
Suhartati, T dan Kurniaty, R. 2013. Inventarisasi Penyakit Daun Pada
Bibit di Stasiun Penelitian Nagrak. Jurnal Perbenihan Tanaman
Hutan. 1 (1), 51-59.
Herliyana, E. N., & Permatasari, D. P. (2016). Area of Damage and
Distribution of Occurrence The Red Root Disease in Gunung
Walat University Forest, Sukabumi LUAS SERANGAN DAN
SEBARAN KEJADIAN PENYAKIT AKAR MERAH DI
HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT,
SUKABUMI. Jurnal Silvikultur Tropika, 7(1).
Anggraeni, I., Darmawan, U. W., & Ismanto, A. (2017). INSIDEN
PENYAKIT PADA KECAMBAH SENGON (Falcataria
moluccana (Miq.) Berneby and JW Grimes) DAN UJI
PATOGENITAS. Jurnal Sains Natural, 4(2), 165-171.
Agrios, G.N. 1972. Plant Pathology (ed. 3), Academic Press, Inc., London.
Yudiarti, T. 2007. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Mustafa, W. N., Wattimena, C., & Latumahina, F. (2019).
IDENTIFIKASI JENIS PENYAKIT PADA TANAMAN JATI
(Tectona grandis Linn. F) PADA HUTAN TANAMAN RAKYAT
DUSUN TELAGA KODOK, PROVINSI MALUKU. Jurnal
Hutan Tropis, 7(2), 181-189.
Fiani, A., Windyarini, E., dan Yuliah. 2011. Evaluasi Kesehatan Cendana
(Santalum album Linn.) di Kebun Konservasi Ex-situ Watusipat
Gunung Kidul. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Hutan.
Fiani, Y. A., & Haryjanto, L. 2018. STATUS KESEHATAN TEGAKAN
KONSERVASI EX SITU CENDANA (Santalum album Linn.)
UMUR 11 TAHUN DI KHDTK WATUSIPAT, GUNUNG
KIDUL. Sumber, 100, 200.
LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN
ACARA II
PENGENALAN KERUSAKAN HUTAN DAN PENYEBAB AKIBAT
SERANGGA HAMA

Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00
Co-Ass : Akbar Zhafran

LABORATURIUM PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
ACARA II
PENGENALAN KERUSAKAN HUTAN DAN PENYEBAB AKIBAT
SERANGGA HAMA

I. TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk :
 Mengenal kerusakan hutan akibat serangga hama penyebab
 Mengenal serangga penyebab kerusakan hutan yang menyertai gejala
yang tampak
 Mengenal ciri morfologis serangga pada tanaman hutan
 Dapat membedakan gejala kerusakan hutan dari hasil hutan yang
disebabkan oleh serangga dengan kerusakan yang disebabkan oleh
penyebab lainnya.

II. ALAT DAN BAHAN


Pada praktikum ini digunakan alat :
 Alat tulis
 Pensil warna

Pada praktikum ini digunakan bahan :


 Daun Terminalia catappa oleh serangga ulat kantong (Pteroma
plagiohleps)
 Batang Falcataria moluccana dan Acacia sp., oleh serangga penggerek
batang ( Xystrocera festiva)
 Batang Gmelina oleh serangga penggerek batang Xyleutes ceramic
 Tanaman A. mangium oleh serangga rayap basah (Captotermes
curvignathus)
 Semai jati oleh kutu putih (Aleuracanthus waglumii)
 Seluruh daun Tectona grandis oleh ulat Hyblaea puera (Teak-leaf
defoliator)
 Sebagian daun Tectona grandis oleh ulat Eutectona machaeralis
(Teak-leaf skeletonizer)
 Pucuk Leucaena leucocephala oleh serangga hama kutu loncat
 Terminalia catappa oleh scale insect

III. CARA KERJA


Cara kerja praktikum acara ini adalah :

Gejala yang nampak


akibat serangan hama
Preparat yang ada diamati
penyebab digambarkan
dan dideskripsikan

Mencatat ordo, tipe mulut,


dan ciri yang penting dari
Hama penyabab kerusakan
ordo tersebut serta arti
digambarkan
penting hama penyebab
tersebut.

Untuk melakukan praktikum dasar-dasar perlindungan dan


kesehatan hutan acara pengenalan kerusakan hutan dan penyebab akibat
serangga hama pertama dipersiapkan alat dan bahan. Kemudian
dilanjutkan dengan mengamati preparat yang ada. setelah itu Gejala yang
nampak akibat serangan hama penyebab digambarkan dan dideskripsikan.
Setelah itu Gejala yang nampak akibat serangan hama penyebab
digambarkan dan dideskripsikan. Selain itu hama penyebab kerusakan juga
digambarkan. Terakhir Mencatat ordo, tipe mulut, dan ciri yang penting
dari ordo tersebut serta arti penting hama penyebab tersebut.
IV. PEMBAHASAN
Pada praktikum acara 2, dilakukan pengamatan terhadap kerusakan
tanaman hutan yang disebabkan oleh serangga hama. Pengamatan
serangga hama perusak tanaman ini dilakukan pada 8 preparat yang
berbeda-beda, antara lain :
1. KERUSAKAN SEMAI JATI
Kerusakan semai
jati.merupakan nama
penyakit yang
disebabkan oleh
serangga hama scale
insect. Scale insect
memiliki nama
family Pseudococcia
dan ordo Hemiptera.
S
Gambar 1 Kerusakan Semai Jati Akibat Scale Insect
e
rangga hama ini memiliki bentuk mulut pencucuk dan penghisap dengan
proses metamorphosis tidak sempurna atau hemimetabola. Serangga hama
ini memilih jati, borea dan sengon untuk menjadi inangnya, tepatnya pada
saat masih semai. Mekanisme penyerangan serangga hama ini adalah
ketika fase nimfa dan imago. Gejala yang tampak ketika tanaman terserang
hama ini adalah daun / tunas mengering dan layu karena kekurangan
nutrisi dan cairan. Tanda yang dapat ditemukan adalah terdapat bercak
putih di batang dan daun inang sebagai hasil dari zat sekresi. Selain itu
terdapat banyak semut hitam yang tinggal bersama kutu putih. Biasanya
serangan serangga hama ini terjadi ketika musim kemarau. Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan adalah monitoring dan mengatur jarak
tanam. Bila serangan serangga hama sudah terjadi, maka upaya
pengendalian yang dapat dilakukan adalah secara fisika/mekanis, biologi,
dan kimia. Secara mekanis yang dapat dilakukan adalah melakukan
pemangkasan bagian yang terkena serangan hama, secara biologi dapat
menggunakan serangga predator, secara kimia dengan menyemprotkan
cairan sabun atau insectisida alami.

2. SERANGGA PENGHISAP CAIRAN POHON


Serangga penghisap
cairan pohon
merupakan nama
penyakit yang
sidebabkan oleh
serangga hama scale
insect bernama
family
Pseudococcia dan
Ordo Hemiptera
Gambar 2 Kerusakan Tanaman Akibat Serangga Penghisap Cairan
Pohon yang memiliki
bentuk mulut
pencucuk dan penghisap. Serangga hama ini menyerang tanaman
eukaliptus, jati, dan ketapang terutama organ-organ yang masih muda dan
belum mengalami pengerasan. Serangga ini memiliki metamorphosis tidak
sempurna atau hemimetabola dan menyerang pada saat fase nimfa. Gejala
yang timbul ialah daun mengering dan layu, sedangkan tanda yang
ditemukan adalah ditemukannya bintil hitam yang menempel pada bagian
batang atau cabang semai. Serangan hama ini biasa terjadi saat musim
kemarau. Untuk melakukan upaya pencegahan dapat dilakukan monitoring
dan pengaturan jarak tanamn. Sedangkan upaya pengendalian yang dapat
dilakukan secara mekanis adalah mengambil serangga secara manual,
secara biologi dengan cara menyediakan musuh alami serangga hama
seperti jamur, dan secara kimia dilakukan penyemprotan insectisida alami
seperti daun sirsak. Scale insect banyak menyebabkan dampak buruk
terhadap tanaman. Cara paling efektif yaitu dengan mendatangkan
(Ryptolaemus montrouzien milsant dan Roclola cardinalis mulsant (Ivo
dan Alois, 2016)

3. TEAK LEAF DEFOLIATOR / SKELETONIZER

Teak leaf delofiator


/ skeletonizer
merupakan penyakit
yang disebabkan
oleh serangga hama.
Serangga hama
yang menyebabkan
penyakit leak leaf
defoliator adalah
H
Gambar 3 Teak leaf defoliator / skeletonizer
y
blaea puera dan yang menyebabkan teak leaf skeletonizer adalah
Eutectona machaeralis. Meurut Umarella dan Karepesina (2016) Hyblaea
puera dogolongkan ke dalam ordo Lepidopetra. Kedua serangga hama
tersebut berasal dari ordo Lepidoptera. Merupakan hama pemakan daun
pada jati dan dikenal sebagai teak defoliator. Cara menyerangnya yaitu
pada mulanya ulat mudah memakan bagian daun yang lunak dengan
meninggalkan urat-urat pada dan tulangtulang daun. Ulat dewasa
memakan keseluruhan jaringan daun kecuali tulang daun yang besar.
Paliga damastesalis merupakam sinonim dari eutectona machearalis,
digolongkan ke dalam ordo Lepidoptera juga merupakan hama pemakan
daun jati yang dikenal sebagai teak-leaf skeletonizer. Bagian daun yang
diserang adalah jaringan parenkim yang berwarna hijau dan lunak diantara
tulang-tulang dan urat-urat daun. Tanda serangannya adalah daun Jati
tidak utuh, berlubang, daun habis disisakan tulang daunnya
saja. Serangan hama ini dapat menyebabkan pertumbuhan Jati terganggu
karena daun tidak dapat berfotosintesa dengan sempurna (Tim Penyusun,
2014).
Serangga hama penyebab penyakit teak leaf defoliator maupun
skeletonizer memiliki metamorphosis sempurna atau holometabola.
Serangan biasanya terjadi pada musim penghujan. Gejalanya ialah daun
jati yang tidak lengkap. Untuk teak leaf defoliator hanya menyisakan
tulang daun, sedangkan teak leaf skeletonizer menyisakan urat-urat daun.
Pencegahan dapat dilakukan dengan monitoring sedangkan pengendalian
dengan cara memangkas daun dan mengambil ulat untuk mekanis, dibantu
predator musuh untuk biologi, dan insektisida untuk kimia.

4. SERANGGA PERUSAK DAUN

Serangga perusak
daun merupakan
penyakit tanaman
Sengon maupun
Ketapang pada
berbagai tingkatan
umur yang
disebabkan oleh ulat
kantong (Pteroma
p
Gambar 4 Kerusakan Daun Akibat Ulat Kantong
l
agiopheleps). Ulat kantong merupakan hama potensial perusak daun.
Serangga ini mempunyai perilaku dan morfologi yang khusus (Anggraeni
dan Ismanto, 2017). Ulat kantong Pteroma sp. merupakan hama penting
karena sering menyerang daun di pertanaman sengon berbagai tingkat
umur (hama primer)( Nair, 2007). Ulat Kantong (Pteroma plagiophelps)
ini menyerang dengan memakan jaringan daun bagian bawah, sehingga
daun mengering dan layu. serangan yang serius menyebabkan tanaman
nyaris tanpa daun. ulat kantong ini biasanya aktif pada malam hari
(Warisno, 2009). Serangga hama ini memiliki metamorphosis sempurna
dengan bentuk mulut penggigit dan pengunyah saat larva dan pencucuk
dan penghisap ketika menjadi imago. Bagian tumbuhan yang diserang
ialah daun sehingga gejala yang ditemukan adalah daun berlubang.
Sedangkan tanda yang ditemukan adalah adanya ulat kantong pada
tanaman inang. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
monitoring dan pengaturan jarak tanam. Upaya pengendalian dengan
mengambil ulang (mekanis), menggunakan pathogen atau predator alami
(biologi), dan insektisida (kimia).

5. SERANGGA PENGGEREK BATANG

Serangga penggerek
batang merupakan
penyakit pada
tanaman Gmelina
maupun Jati karena
serangga hama yaitu
Xyleutes ceramic.
Serangga hama ini
termasuk ke dalam
ordo Lepidoptera
Gambar 5 Kerusakan Empulur Akibat Ngengat
dan biasa disebut
ngengat. Seekor ngengat (imago) Xyleutes ceramicus / oleng-oleng
(larvanya merupakan penggerek batang Gmelina dan Jati) dapat bertelur 2
sampai 4 kali selama hidupnya (4 sampai 9 hari) dengan jumlah telur
antara 4.000 sampai 12.300 butir, umur telur 12 hari dengan persentase
penetasan 75 sampai 90% (Trimurti, 2001). Ngengat memiliki
metamorphosis sempurna / holometabola dan bentuk mulut penggigit dan
pengunyah ketika larva. Mekanisme menyerangan dilakukan ketika
ngengat dalam fase larva. Gejala yang ditemukan adalah adanya lubang
gerek pada batang dan tajuk pohon yang rontok atau rapuh. Tanda yang
ditemukan adalah terdapat serangga hama pada tanaman inang dan
terdapat serbuk gergajian batang di sekitar tanaman inang. Untuk
pencegahan dapat dilakukan monitoring dan melakukan system
penanaman multikultur. Untuk pengendalian dapat dilakukan dengan
mengambil langsung serangga, menyediakan pathogen alami hama, dan
isektisida.

6. SERANGGA PENGGEREK BATANG

Xytrocera festiva
merupakan serangga
hama penyebab
penyakit penggerek
batang bata tanaman
sengon. Xycsocera
festiva merupakan
salah satu cekaman
biotik untuk pohon
Gambar 6 Kerusakan Batang Akibat Xytrocera festiva
dan dapat menentukan
produktivitas kayu (Abdullah, 2016). Hama Boktor (Xystrocera festiva,
ordo Coleoptera) mulai bersarang di batang sengon yang mengalami luka.
hama ini bisasanya meletakkan telurnya di celah luka di batang sengon
tersebut. jika batang telah berlubang, kemungkinan telur sudah menetas
jadi larva. ciri tanaman sengon terserang hama boktor adalah adanya
serbuk gerek halus pada ulit batang (Mulyana, 2010). Gejala yang
ditemukan adanya lubang pada batang dan tajuk rontok. Tanda yang
ditemukan adalah terdapat serangga hama pada tanaman inang dan
terdapat serbuk gergajian batang di sekitar tanaman inang. Untuk
pencegahan dapat dilakukan monitoring dan melakukan system
penanaman multikultur. Untuk pengendalian dapat dilakukan dengan
mengambil langsung serangga, menyediakan pathogen alami hama, dan
isektisida.
7. SERANGGA PERUSAK BATANG

Rayap basah atau


Coptocernes
curfignatus
merupakan serangga
hama penyebab
penyakit kerusakan
batang pada
tanaman Kayu Putih
dan Jati. Rayap
B
Gambar 7 Kerusakan Batang Akibat Rayap Basah
a
sah (Captocernes curfignatus) dikenal sebagai hama tanaman yang utama.
Beberapa jenis tanaman perkebunan yang banyak diserang hama tersebut
adalah pohon kelapa, karet, coklat, dan kelapa sawit. Serangan
Captocernes curfignatus pada tanaman kelapa seringkali menyebabkan
kematian (Nandika dkk, 2003). Serangga hama ini termasuk ke dalam ordo
Isoptera yang memiliki metamorphosis tidak sempurna atau
hemimetabola. Mekanisme penyerangan terjadi saat fase nimfa yang
memiliki bentuk mulut penggigit dan pengunyah. Tanda yang dapat
ditemukan adalah ditemukannya serangga pada tanaman inang. Gejala
yang ditemukan adalah batang kropos dan beralur serta ditemukan tanah
pada batang. Pencegahan dilakukan dengan pengaturan jarak tanam dan
pembersihan gulma. Untuk pengendalian dapat dilakukan dengan
membuat parit untuk menghalangi rayap masuk.

8. SERANGGA PERUSAK PUCUK


Gambar 8 Kerusakan Semai Lamtoro Akibat Kutu Loncat

penyakit serangga perusak pucuk disebabkan oleh Heteropsila


cubana (Kutu Loncat) yang berasal dari ordo Homoptera. Serangga ini
menyerang pada jenis tanaman Lamtoro (Leucaena leucephala). Bentuk
mulut pada serangga ini yaitu pencucuk dan penghisap dengan
metamorphosis yang tidak sempurna. Mekanisme penyebaran penyakit ini
yaitu pada fase imago yang ditandai oleh ditemukan adanya kutu pada
bagain yang diserang. Bagian tanaman yang diserang oleh serangga ini
yaitu pucuk tanaman yang masih muda dan serangga ini dapat menyerang
pada musim kemarau. Adapun gejala dari penyakit ini adalah pucuk pada
inang mengalami kelayuan dan mongering hingga mati. Heteropsila
cubana atau biasa disebut kutu loncat merupakan serangga hama penyebab
kerusakan pucuk pada tanaman Lamtoro atau Pete Cina. Serangga hama
ini termasuk dalam ordo Homopters yang memiliki metamorphosis tidak
semourna atau hemimetabola. Kutu loncat berukuran kecil, sekitar 1-2
mm. karena bisa meloncat dan melenting dengan cepat, hama ini disebut
kutu loncat. kutu ini bersayap dua pasang, seperti membran dan
transparan. sayap depan lebih besar dari sayap belakang, dan warna kuning
atau hijau (Pracaya, 1999). Mekanisme penyerangan serangga ini adalah
ketika fase imago dengan bentuk mulut pencucuk dan penghisap.
Penyerangan dilakukan saat kemarau dan menimbulkan gejala layu pucuk
atau mengering. Tanda yang dapat ditemukan adalah adanya kutu pada
tanaman inang. Untuk upaya pencegahan dapat dilakukan monitoring dan
pengaturan jarak tanam. Sedangkan untuk pengendalian dapat dilakukan
pemangkasan pucuk, pembuangan serangga, menyediakan predator alami,
dan penyemprotan insektisida. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
monitoring, pengaturan jarak tanam, pembersihan gulma,. sedangakan
alternatif pengendalian dilakukan dengan cara pemangkasan (mekanik),
mendatangkan musuh alami seperti kepik dan kumbang kopsi (biologis),
dan pemberian insektisida (kimia) (Sushiatiti,2005).

V. KESIMPULAN
Kesimpulan pada praktikum kali ini yaitu :
 Bentuk kerusakan hutan akibat serangan serangga hama penyebab
yang terjadi banyak ditentukan oleh tipe mulut dan kebiasaan
hidupnya. Kerusakan hutan dapat disebabkan oleh serangga perusak
dengan tipe perusak batang, daun, dan pucuk daun, serangga
penggerek batang, dan serangga penghisap cairan pohon. Kerusakan
dapat terjadi pada batang, daun, akar, dan pucuk.
 Kerusakan akibat Serangga hama memiliki gejala yang berbeda-beda
disesuaikan dengan tipe mulut dan cara merusaknya, contohnya:
- Kutu putih yang menghisap cairan yang menimbulkan gejala tanaman
menguning dan layu
- Serangga penyebab kerusakan hutan antara lain ulat kantong
(Pteroma plagiophleps) menimbulkan gejala gejala lubang gerek pada
kayu gubal,
- Xyleutes ceramica menimbulkan gejala lubang ke arah empulur
batang,
- Captotermes curvignathus menimbulkan gejala batang keropos dan
berlubang.
 Ciri morfologi serangga pada tanaman hutan yaitu memiliki caput
(kepala), thorax (dada), dan abdomen (perut). Serangga hama berasal
dari beberapa ordo dengan berbagai ciri:
- Hemiptera : tipe mulut pencucuk penghisap
- Lepidoptera : saat larva tipe mulutnya penggigit & pengunyah, saat
dewasa tipe mulutnya penghisap
- Coleoptera : tipe mulut penggigit pengunyah
- Isoptera : tipe mulut penggigit dan pengunyah (memiliki kasta)
- Homoptera : tipe mulut pencucuk penghisap
 Kerusakan tanaman hutan karena serangga hama terjadi karena
serangga hama buth tempat tinggal dan makanan serta ekosistem yang
terganggu. Gejala kerusakan akibat serangga dapat dilihat dengan
nyata dan jelas karena serangga meninggalkan bekas pada tanaman
terserang.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Buang. 2016. Evaluasi Ketahanan Species Padi Liar Terhadap


Cekawan Biotik dan Abiotik dan Karakteristik dengan
menggunakan Marka Mikrosatelit. Balai Penelitian dan
Sumberdaya Genetik Pertanian.
Anggraeni, I., & Ismanto, A. (2017). KEANEKARAGAMAN JENIS
ULAT KANTONG YANG MENYERANG DI BERBAGAI
PERTANAMANAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L).
Nielsen) DI PULAU JAWA. Jurnal Sains Natural, 3(2), 184-192.
Ivo, Hadck and Atois Honvex. 2016. Scale Insects, Mealy bugs, White
flies and Psyllids (Flemiptera) as Prey Ladys Birds. Journal
Biological Control. Vol 51 ; 232.
Mulyana, Dadan, dan Ceng Asmarahman. 2010. 7 Jenis Kayu Penghasil
Rupiah. Agromedia. Jakarta.
Nair, K.S.S.2007. Insect Pest. Ecology, Impact and Management.
Cambridge University Press. New York.
Nandika, D. Rismayadi Y, dan Diba F. 2003. Rayap: Biologi dan
pengendaliannya. Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Pracaya. 1999. Hama Penyakit Tanaman. Penerbit Swadaya. Jakarta
Sushiatiti, Henect. 2005. Bahan Ajar Ilmu Tumbuhan. Bandung : Fakultas
Pertanian UNPAD.
Tim Penyusun. 2014. Produksi Bibit Jati Unggul. IPB Press. Bogor.
Trimurti. 2001. Pengendalian Hayati Hama dan Penyakit Tumbuhan.
Andalas University Press, Padang.
Umarella, U., & Karepesina, S. (2016). Inventarisasi Hama Pada Areal
Tanaman Jati Di Desa Liang Kecamatan Salahutu. BIMAFIKA:
Jurnal MIPA, Kependidikan dan Terapan, 2(2).
Warisno dan Kres Dahana. 2009. Investasi Sengon. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN
ACARA III
PENGENALAN GEJALA PENYAKIT TANAMAN OLEH PENYEBAB
ABIOTIK

Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran

LABORATORIUM PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
ACARA III
PENGENALAN GEJALA PENYAKIT TANAMAN OLEH PENYEBAB
ABIOTIK

I. TUJUAN
Tujuan praktikum ini adalah :
 Mengenal gejala kerusakan tanaman hutan oleh penyebab penyakit
abiotik.
 Mampu membedakan gejala penyakit tanaman oleh penyebab abiotik
dan oleh penyebab lainnya

II. ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :
 Alat tulis
 Pensil warna

Bahan yang digunakan pada praktikum adalah


 Semai tanaman yang terkena klorosis karena kekurangan hara
 Semai tanaman yang terkena etiolasi
 Semai tanaman yang terkena temperatur tinggi
 Semai tanaman yang terkena temperatur rendah
 Tanaman jati yang terkena cekaman air (kelebihan dan kekurangan air)
 Tanaman Cemara bundel yang terkena ball root
 Tanaman Pinus yang mengalami fox tail
III. CARA KERJA
Cara kerja pada praktikum ini adalah :

Gejala yang nampak


Preparat diamati digambarkan dan
dideskripsikan

Ciri khusus yang mengarah


ke gejala dituliskan

Untuk melakukan pengamatan acara 3 ini pertama alat dan bahan


disiapkan berupa preparat dan alat tulis untuk mencatat. Kemudian
preparat diamati, yaitu mengamati bagian tumbuhan yang menunjukan
gejala kerusakan akibat faktor abiotik. gejala yang tampak digambarkan
dan dideskripsikan.

IV. PEMBAHASAN

Perlindungan hutan terutama untuk pencegahan dan pengendalian


penyakit hutan sangat diperlukan karena Menurut Yunasfi (2002) pohon
yang sehat tentunya mampu melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya dan
memiliki ketahanan ekologi yang tinggi. Sehingga tanaman yang sehat
mampu memberikan keuntungan yakng maksimal sesuai dengan tujuannya
masing-masing. Penyakit abiotic biasa disebut juga dengan non infection
disease. Penyakit abiotic merupakan penyakit atau kerusakan yang
disebabkan oleh lingkungan. Ciri-ciri penyakit yang disebabkan oleh
factor abiotic adalah sulit untuk dikenali, tidak ditemukan tanda, dapat
menyerang semua tingkat pertumbuhan, dan kerusakan secara merata
terhadapat tanaman di satu area tanam. Sumardi dan Widyaastuti (2004)
mengatakan bahwa aktivitas manusia untuk menghasilkan energi, industri,
dan pembuangan limbah menyebabkan terlepasnya sejumlah polutan ke
atmosfer yang mengganggu metabolisme tumbuhan dan memicu
timbulnya penyakit abiotik. Berikut beberapa penyakit abiotic pada
tanaman hutan :

1. BALL ROOT / AKAR BOLA


Ball root atau akar
bola merupakan
penyakit abiotic
yang menyerang
tanaman Cemara
Bundel (Cupressus
retusa). Penyakit ini
terjadi karena terlalu
lama berada di
persemaian, atau
Gambar 1 Penyakit Ballroot pada Cemara Bundel
terlalu lama berada
dalam media tanam yang sempit. Sehingga terjadi kelainan pertumbuhan
akar yang menggumpal/berputar pada satu titik. Akibatnya tanaman dapat
mati atau roboh karena akar tidak mampu mencari air dan unsur hara yang
jauh pada akhirnya tanaman akan kekurangan nutrisi. Gejala yang terjadi
adalah tajuk rontoh atau mengering serta daun berguguran. Tindakan
pencegahan yang dapat dilakukan adalah ketika di persemaian dapat
mengganti polybag dengan ukuran yang lebih besar sehingga akar bisa
berkembang dengan baik. Atau bisa segera dilakukan penanaman. Untuk
upaya pengendalian ketika sudah dewasa bisa ditebang saja karena akan
berpotensi roboh dan menimpa objek lain di bawahnya. Ketika masih di
persemaian dapat dilakukan pengendalian berupa pemotongan akar.

2. FOX TAIL / EKOR RUBAH


Foxtail merupakan
penyakit abiotic
yang terjadi pada
tanaman Pinus
merkusii. Pohon
pinus yang tumbuh
normal mempunyai
system percabangan
sedemikian rupa
membentuk kerucut,

Gambar 2 Penyakit Foxtail pada Pinus merkusii sedangkan bila


terkena foxtail tidak
berhasil membentuk cabang-cabang lateral sehingga tunas batang tumbuh
meninggi tanpa cabang (Susenort, 1992). Penyebab foxtail belum
diketahui secara pasti namun menurut Kramer dan Kozlowski (1979)
gejala foxtail pada pinus di daerah tropis merupakan fenomena
pertumbuhan yang diwariskan. paruh pertama dekade 1970–1980, gejala
penyakit ekor serigala (fox tail) menyerang ilmuwan menduga bahwa
penyakit tersebut disebabkan oleh kurangnya fosfor dalam tanah (Achmad,
2016). Selain itu penyakit ini juga diduga karena penanaman pinus di
bawah 400-800mdpl. Penyakit foxtail memiliki 2 gejala yaitu discontinue
dan continue. Gejala discontinue merupakan percabangan menggerombol
di bawah TBBC sehingga ada batang tanpa TBBC yang menjulang ke atas.
Untuk gejala continue merupakan ada penggerombolan cabang di ujung
batang. Dampak dari penyakit ini adalah menurunnya kualitas hasil
produksi tegakan pinus. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah
menanam pinus sesuai tempat tumbuh yang baik yaitu pada ketinggian
400-800mdpl. Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan pemangkasan
foxtail.

3. ETIOLASI
Etoilasi merupakan
penyakit akibat
kurangnya cahaya
matahari atau terlalu
lama di tempat gelap.
Hal ini biasanya terjadi
pada semai meskipun
semua tingkat
pertumbuhan dapat
mengalaminya. hal ini
Gambar 3 Penyakit Etiolasi pada Jati
karena semai lebih peka
terhadap kekurangan cahaya disbanding dengan pohon dewasa. Pada
praktikum ini yang dibahas merupakan etiolasi yang terjadi pada tanaman
jati / Tectona grandis. Etiolasi adalah pertumbuhan tumbuhan yang sangat
cepat seperti batang tumbuh lebih panjang di tempat gelap namun kondisi
tumbuhan lemah, batang tidak kokoh, daun kecil dan tumbuhan tampak
pucat. Penyebab etiolasi, karena tidak ada cahaya menyebabkan auksin
tidak terurai dan aktif memperbesar dan memperpanjang sel batang lebih
cepat secara terus menerus. Pertumbuhan paling panjang adalah biji yang
berada dalam tempat gelap karena hormon auksin dapat bekerja maksimal
pada tempat / ruang yang gelap dan cahaya matahari yang tidak terlalu
banyak (Wendi dkk., 2014). Ketika kloroplas rusak atau tanaman
mengalami etiolasi maka tumbuhan tidak akan mampu melakukan
fotosintesis. Tumbuhan hijau tidak mungkin mampu bertahan hidup dalam
jangka waktu yang lama ketika fotosintesis tidak terjadi, karena zat-zat
makanan yang berpengaruh besar pada pembelahan sel dihasilkan dari
proses fotosintesis (Abrianingsih, 2018). Gejala yang ditimbulkan dari
penyakit ini adalah daun menguning atau pucat, batang tidak tegak dan
tidak kuat serta rapuh. Dampaknya akan menghambat fotosintesis dan
pertumbuhan. Supaya hal ini tidak terjadi dapat dicegah dengan
pengaturan jarak tanam agar persaingan cahaya tidak terlalu tinggi
sehingga tumbuhan mendapat cahaya matahari yang cukup. Untuk
mengendalikan bila masih semai bisa memindah semai ke tempat yang
lebih terbuka dan terkena sinar matahari cukup.

4. KLOROSIS
Klorosis
merupakan
salah satu
kerusakan atau
penyakit
abiotic yang
dapat terjadi
pada jati.
Klorosis
terjadi karena
kurangnya
Gambar 4 Penampakan daun tanaman yang terkena penyakit Klorosis
nutrisi, cahaya,
dan air sehingga klorofil tidak terbentuk sempurna. Demi keberhasilan
tanaman jati, maka perlu diperhatikan jumlah nutrisi yang dibutuhkan
untuk proses pertumbuhannya. Salah satu nutrisi yang dibutuhkan yaitu
unsur kalium. Unsur ini berperan sebagai aktivasi enzim dan katalisator
proses metabolisme. Kekurangan kalium menyebabkan klorosis di bagian
tepi daun sedangkan kelebihan kalium menunjukkan gejala yang
berhubungan dengan unsur Mg. Kekurangan kalium menunjukkan gejala
bercak-bercak coklat pada permukaan daun, bagian tepi daun menguning
dan mengering, sedangkan tanaman yang kelebihan kalium menunjukkan
gejala yang berhubungan dengan unsur Mg yaitu klorosis di sekitar tulang
daun (Miqdad, 2017). Gejala yang ditimbulkan adalah ketidaknormalan
pada daun, warnanya tidak hijau namun berwarna kuning, coklat, ungu,
atau bercak hitam tergantung kekurangan nutrisi yang dialami.
Dampaknya adalah mudah terkena penyakit daun karena tidak mampu
menjaga daya tahan tubuh akibat kekurangan nutrisi serta terhambatnya
proses pertumbuhan. Untuk mencegah terjadinya klorosis bisa dilakukan
penyiapan tapak dengan manipulasi lingkungan berupa pengaturan jarak
tanam, pemupukan, dan penyiraman.

5. CEKAMAN AIR (KELEBIHAN/KEKURANGAN)


Cekaman air
atau water stress
merupakan
penyakit abiotic
yang biasa
dialami oleh
tanaman jati.
Water stress
bisa terjadi

Gambar 5 Penyakit Cekaman Air pada Jati karena kekurangan


maupun kelebihan
air. Ketika kekurangan air gejala yang ditimbulkan adalah jarak antar
nodus jauh dan ukuran daun lebih kecil. Untuk mencegahnya bisa
dilakukan penyiraman secara rutin. Bila water stress disebabkan karena
kelebihan air maka gejala yang timbul adalah jarak antar nodusnya dekat
dikarenakan energy pembentukan daun yang tinggi. Selain itu ukuran daun
lebih besar dan gelap. Walaupun air baik bagi tanaman, namun kelebihan
air ini dapat memicu timbulnya senyawa berbahaya. Pencegahan dapat
dilakukan dengan pengaturan penyiraman. Upaya pengendalian yang dapat
dilakukan adalah pemberian lubang pada polybag agar sirkulasi air lancar
atau pembuatan kanal pada lahan gambut.
6. TEMPERATUR TINGGI (SUN BURN / SUN SCALD)
Sun burn dan sun
scald merupakan
penyakit yang
disebabkan oleh
paparan sinar
matahari atau
temperatur yang
tinggi. Perbedaan
sun burn dan sun

Gambar 6 Kerusakan daun dan batang akibat Temperatur Tinggi scald adalah
jika sun burn
menyerang pada daun dan mengakibatkan daun kering. Sedangkan sun
scald menyerang cambium yang ada didalam batang dan kulit batang
menjadi mengelupas (Ichsan et al., 2003)
Menurut (Fitler dan Hay, 1991), radiasi sinar matahari dapat
memberikan efek tertentu pada tumbuhan bila cahaya tersebut diabsorbsi.
Secara fisiologis cahaya mempunyai pengaruh baik langsung maupun
ridak langsung. Pengaruh secara langsung bisa melalui fotosintesis dan
secara tidak langsung bisa melalui pertumbuhan dan perkembangan
tanaman akibat respon metabolic yang langsung. Gejala yang ditimbulkan
oleh sun burn adalah daun akan mengering pada bagian tepi dan untuk sun
scald ialah kulit batang akan mengelupas dan warnanya akan menjadi
coklat kehitaman. Dampak dari penyakit ini adalah terjadinya reaksi
biokimia yang tidak normal pada tanaman.
Untuk pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah
dengan dilakukan penyiraman, manipulasi lingkungan, menanam tanaman
yang sesuai dengan tapak, dan memberikan naungan.

7. TEMPERATUR RENDAH (SPRING FROST)


Penyakit
spring frost
disebabkan
oleh
perubahan
suhu menjadi
sangat rendah.
Spring frost
biasanya
terjadi pada

Gambar 7 Penyakit Spring Frost pada Acacia auriculiformis daerah-daerah


yang
memiliki musim dingin. Penyakit ini sebenarnya terjadi pada musim semi
secara tiba-tiba terjadi penurunan suhu dibawah 0˚C maka spring frost
akan menyerang pucuk, tunas, akar, dan daun-daun muda. Pada suhu
rendah masih terjadi metabolism tetapi kerja enzim pada proses tersebut
sangat lambat sehingga pertumbuhan melambat. Perubahan suhu juga akan
berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara (Vyse et al., 2019).
Suhu tanah yang rendah, akan menyebabkan semakin
bertambahnya kandungan air dalam tanah, dimana pada kondisi suhu
rendah yang ekstrem akan menyebabkan pengkristalan. Akibatnya
aktivitas akar atau respirasi akan menjadi semakin rendah dan hal ini
menyebabkan translokasi pada tubuh tanaman jadi lambat sehingga proses
distribusi unsur hara jadi lambat dan akhirnya pertumbuhan tanaman jadi
melambat (Karmila dan Andriani, 2019).
Gejala yang timbul dari penyakit ini adalah cairan didalam
tumbuhan akan mengkristal dan terdapat bercak merah pada daun. Selain
itu daun akan layu dan kaku karena cairan yang ada di dalam sel
membeku. Dampak yang ditimbulkan adalah akan menghambat proses
diistribusi unsur hara dan akar sulit untuk menembus tanah. Pencegahan
yang dapat dilakukan adalah menanam tanaman yang sesuai dengan tapak.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum acara 3 tentang penyakit tanaman oleh
penyebab abiotic didapatkan kesimpulan yaitu :

 Gejala kerusakan tanaman hutan oleh penyebab penyakit abiotic


berbeda-beda, antara lain :
 Ball root : akar menggumpal di satu titik, tajuk rontok, kulit batang
mengering, dan daun mengering serta layu
 Fox-tail : cabang tidak normal, tajuk hanya terbentuk pada pucuk
(continuous) dan tajuk hanya terbentuk pada sepertiga batang
(discontinuous)
 Etiolasi : daun berwarna pucat, batang bengkok dan rapuh
 Klorosis : daun berubah warna dimulai dari bagian tengah
 Cekaman air : ukuran daun lebih kecil, warna lebih terang, jarak antar
nodus panjang, dan akar panjang (kekurangan air) dan ukuran daun
lebih besar, warna lebih gelap, jarak antar nodus pendek, dan akar
pendek (kelebihan air).
 Sun burn dan sun scald : daun mengering dan ujung daun kering
seperti terbakar (sun burn) dan kulit batang mengelupas kehitaman
(sun scald)
 Spring frost : daun layu, bercak merah atau kehitaman, tanaman kaku,
dan terdapat frost pada tanah

 Perbedaan gejala penyakit tanaman yang disebabkan oleh factor


abiotic dibandingkan dengan penyebab lainnya adalah, penyakit akibat
penyebab abiotic terjadi merata dalam suatu kawasan dan dapat
menyerang semua tingkat pertumbuhan. Tingkat pertumbuhan semai
lebih peka terhadapat perubahan abiotic. Penyakit tanaman akibat
factor abiotic tidak ditemukan tanda.
VI. DAFTAR PUSTAKA
ABRIANINGSIH, S. R. (2018). STUDI LAMA PEMULIHAN PASCA
ETIOLASI PADA TANAMAN C3 (Sumber belajar pada materi
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik kelas XII IPA
semester ganjil SMA) (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan
Lampung).
Achmad, MS. 2016. Pelestarian, Pemberdayaan Hutan, dan
Mikroorganisme serta Pembangunan Pertanian Melalui
Pendekatan Ekologi dan Teknologi. IPB Press. Bogor.
Fitler, A.H., dan R. K. M. Hay. (1991). Fisiologi Lingkungan Tanaman.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Ichsan, M. C., Pertanian, F., & Jember, U. M. (2003). [ RESPONSE
KEITT MANGO FRUIT OF THE USE OF SUN-BLOCK TO
PREVENT INJURY INJURY SUNBURN ] Agritrop Jurnal Ilmu-
Ilmu Pertanian. 4, 125–129.
Karmila, Ratna., dan Andriani, Vivin. (2019). Pengaruh Temperatur
terhadap Kecepatan Pertumbuhan Kacang Tolo (Vigna sp.). Jurnal
Stigma. Vol 12(1) : 49-53.
Kramer, P. J. dan T. T. Kowzlowski. (1979). Academic Press. New York.
San Francisco. London.
MIQDAD, A. D. (2017). PENGARUH KONSENTRASI UNSUR KALIUM
TERHADAP MORFOLOGI SEMAI JATI (Doctoral dissertation,
Universitas Gadjah Mada).
Sumardi, S.M, Widyaastuti. 2004. Dasardasar Perlindungan Hutan.
Gadjah Mada University.
Susenort, O. H. I. (1992). Variasi Genetik Pohon Foksteil Pinus Merkusii
Juhn. et de Vriese di Pulau Jawa. Buletin Fakultas Kehutanan
UGM, (1992).
Vyse, K., Pagter, M., Zuther, E., & Hincha, D. K. (2019). Deacclimation
after cold acclimation- A crucial, but widely neglected part of plant
winter survival. Journal of Experimental Botany, 70(18), 4595–
4604.
Wendi, W., Gusmiatun, G., & Amir, N. (2014). Evaluasi Pertumbuhan dan
Produksi Beberapa Padi Gogo (Oryza Sativa L.) Varietas Jati
Luhur dan Situ Bagendit pada Perbedaan Jumlah Benih yang
Ditanam Evaluation the Growth and Production of Several Upland
Rice (Oryza sativa L.) Varieties Jati Luhur and. Klorofil: Jurnal
Penelitian Ilmu-Ilmu Pertanian, 9(2), 94-99.
Yunasfi. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Penyakit yang Disebabkan oleh Jamur. [Skripsi]. Fakultas
Pertanian. Universitas Sumatra Utara, Medan.
VII. LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN
ACARA IV
PENGENALAN KERUSAKAN TANAMAN OLEH GULMA

Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran

LABORATORIUM PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
ACARA IV
PENGENALAN KERUSAKAN TANAMAN OLEH GULMA

I. TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk :
 Mengenal berbagai kelompok gulma
 Mampu membedakan mekanisme kerusakan oleh gulma pada tanaman
inang dan potensi yang berperan sebagai gulma dalam hutan.

II. ALAT DAN BAHAN


Bahan yang digunakan pada praktikum adalah
 Liana
 Pencekik
 Penutup tanah
 Benalu
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:
 Alat tulis
III. CARA KERJA
Cara kerja pada praktikum ini adalah :

Karakterisitik yang
Preparat diamati nampak digambarkan
dan dideskripsikan

Informasi terkait gulma,


tanaman inang , gejala
dan tanda kerusakan
dituliskan pada laporan

Sebelum melakukan praktikum, pertama-tama alat dan bahan disiapkan


berupa preparat dan alat tulis untuk mencatat. Kemudian preparat diamati,
yaitu mengamati karakteristik gulma yang nampak yang mengarah pada
dugaan penyebab kerusakan, kemudian informasi terkait gulma, tanaman
inang, gejala dan tanda kerusakan dituliskan pada laporan

IV. PEMBAHASAN

Penyakit merupakan suatu hal yang tidak dapat terpisahkan dalam


usaha budidaya tanaman di persemaian. Penyakit pada tanaman
didefinisikan sebagai penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan
tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologisnya secara normal
dengan sebaikbaiknya (Semangun, 2001). Perlindungan hutan terutama
untuk pencegahan dan pengendalian penyakit hutan sangat diperlukan
karena Menurut Yunasfi (2002) pohon yang sehat tentunya mampu
melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya dan memiliki ketahanan ekologi
yang tinggi. Sehingga tanaman yang sehat mampu memberikan
keuntungan yakng maksimal sesuai dengan tujuannya masing-masing.
Penyakit dapat dibedakan menjadi 2 yaitu penyakit biotik dan abiotic.
Salah satu pathogen penyebab penyakit biotik adalah gulma. gulma
merupakan tumbuhan yang kehadirannya tidak diinginkan dan bersaing
dengan tanaman pokok untuk mendapatkan sinar matahari, air, dan hara
sehingga mengurangi produktivitas tanaman pokok. Kehadiran gulma
yang berlimpah selain dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, juga
dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan, terutama apabila gulma
tersebut didominasi rumput alang-alang (Imperata cylindrica L. Raeusch)
(Nagochi et al., 2009). Gulma dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu jenis
liana, pencekik, penutup tanah, dan gulma.

1. LIANA

Liana merupakan
salah satu jenis
gulma yang biasa
ditemukan pada
tanaman kehutanan.
Liana merupakan
spesies tumbuhan
merambat.
Tumbuhan ini
memiliki batang
yang tidak beraturan
dan lemah, sehingga
tidak mampu
Gambar 1 Kelompok Gulma Liana
(Epipremnum aureum) yang Melilit Inang mendukung
tajuknya. Adanya
liana di hutan merupakan salah satu ciri khas hutan hujan tropis, terutama
spesies liana berkayu (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Contoh liana
pada tanaman kehutanan adalah Epipremnum aureum (Sirih Gading)
dengan inang Ficus ribes, Mikania michrantha dengan inang Sengon, dan
Singonium podophyllum yang biasa ditemukan di kawasan lembah UGM.
Liana merupakan gulma yang perakaran utamanya berada di tanah,
kemudian dia merambat pada tanaman inang menggunakan akar-akar
halus untuk mendapatkan sinar matahari dan untuk menopang tajuknya
sehingga batang tanaman utama menjadi rapuh. Persaingan yang terjadi
antara liana dan tanaman kehutanan adalah perebutan cahaya atau sinar
matahari. Agen penyebar tumbuhan gulma jenis liana ini adalah hewan
seperti burung dan kelelawar sehingga untuk upaya pencegahan dapat
dilakukan dengan monitoring dan penyiangkan berkala. Sedangkan untuk
upaya pengendalian pemberantasan gulma dapat dilakukan secara
mekanis, biologis, dan kimia. Umumnya gulma diberantas dengan
herbisida, dibabad secara mekanis atau menebas secara manual (Samyu &
De Vos, 2009). Pemberantasan gulma secara mekanis memerlukan modal
yang tinggi disertai persyaratan lahan datar (Teasdale, 2009).
Pemberantasan secara kimia dapat membunuh gulma secara langsung
hingga ke akar-akarnya, namun dapat menghasilkan residu yang tidak
ramah lingkungan pada tanah (Youkhman, 2011). Pada prinsipnya
penggunaan jenis mulsa diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan gulma, tidak menghambat pertumbuhan tanaman pokok
dan mengurangi resiko bahaya kebakaran (Samyu & Bruno, 2009).
2. BENALU

Benalu dapat
dikatakan sebagai
parasit maupun semi
parasit. Berbeda
dengan liana yang
memperebutkan
cahaya, benalu
justru menempel
pada percabangan
dan menyerap
nutrisi dari tanaman
inang sehingga
tanaman inang
Gambar 2 Kelompok Gulma Benalu
(Dendrophthoe pentandra) Pada Tanaman Inang menjadi layu dan
rontok tajuknya.
Agen penyebar benalu adalah burung. Contoh spesies gulma jenis benalu
ialah Dendrophthoe pentandra pada Nerium oleander. Selain itu ada pula
Viscum articulatum yang biasa menyerang tanaman Jati di kawasan
KHDTK Getas. Untuk upaya pencegahan dapat dilakukan kegiatan
monitoring dan menyediakan tanaman ianng alternatif agar tanaman pokok
bebas dari benalu. Sedangkan untuk pengendalian secara mekanis dapat
dilakukan pruning atau pemangkasan dan secara kimia dengan
penyemprotan herbisida.
3. PENCEKIK/STRANGLER

Tumbuhan pencekik
memulai
kehidupannya
sebagai epifit, tetapi
kemudian akar-
akarnya menancap
ke tanah dan tidak
menggantung lagi
pada inangnya.
Tumbuhan ini
sering membunuh
pohon yang semula
membantu menjadi
Gambar 3 Kelompok Gulma Pencekik (Ficus
rebes ) yang Mencekik Tanaman Inang inangnya. enis
tumbuh-tumbuhan
ini hidup dengan jalan mengandalkan tumbuhan lain untuk mencari
makanannya (Winarni, dkk. 2012). Salah satu contoh gulma pencekik
adalah Ficus rebes dengan inang Pterocarpus indicus. Tumbuhan Ficus
memulai fase hidupnya sebagai pencekik ketika masih muda serperti Ficus
benjamina yang biasa ditemukan di Boulevard UGM. Upaya pencegahan
dapat dilakukan dengan monitoring dan menanam inang alternatif seperti
Duwet. Sedangkan untuk pengendalian secara mekanis dapat dilakukan
dengan pruning dan pencabutan, kimia dengan herbisida, dan secara
biologi dengan ulat.
4. PENUTUP TANAH

Banyak
tumbuhan yang
termasuk dalam
tumbuhan
pengganggu atau
tidak disukai yang
dapat berfungsi
sebagai penutup
tanah atau
pelindung tanah
terhadap ancaman
erosi. Tumbuh-
tumbuhan itu tidak
Gambar 4 Kelompok Gulma Penutup Tanah
Imperata cylindrical dan Stacghytarpheta disukai karena sifat-
jamaicensis sifatnya yang
merugikan tanaman pokok dan sulit diberantas atau dibersihkan (Arsyad,
2006). Gulma ini tumbuh di atas tanah dan memperebutkan hara serta air
dengan tanaman pokok contohnya Imperata cylindrical dan
Stacghytarpheta jamaicensis. Persaingan biasanya lebih ketat saat tanaman
pokok masih dalam fase semai, ketika tanaman sudah dewasa gulma
penutup tanah perlahan akan hilang karena kalah bersaing. Upaya
pencegahan dapat dilakukan dengan monitoring, penyiangkan, dan
pemulsaan. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah pengurangan
gulma secara biologis dengan menggunakan mulsa organik berupa
biomassa hidup atau mati yang ada di sekitar lokasi tanaman (Akbar,
2016). Pengendalian pertumbuhan gulma dengan menggunakan mulsa
organik memiliki kelebihan, yaitu bahan mulsa mudah didapat di sekitar
areal tanaman, dapat meningkatkan tambahan unsur hara, meningkatkan
kehadiran organisme pengurai serasah dan ramah lingkungan (Cerrilo et
al., 2009, Zawls, 2010).

V. KESIMPULAN
Praktikum kerusakan tanaman oleh gulma memiliki kesimpulan
sebagai berikut :
 Terdapat 4 kelompok gulma yaitu liana, benalu, pencekik, dan penutup
tanah. Liana merupakan gulma yang merambat pada batang tanaman
inang untuk memperebutkan sinar matahari contohnya Epipremnum
aureum. Perakaran uatama liana berada di tanah. Benalu merupakan
gulma yang muncul pada percabangan dan menyerap nutrisi tanaman
ianng contohnya Dendrophthoe pentandra. Pencekik merupakan
gulma semi parasite yang muncul pertama kali sebagai epifit kemudian
mencekik batang inang contohnya Ficus rebes. Penutup tanah
merupakan kelompok gulma seperti rerumputan yang menutup tanah
contohnya Imperata cylindrical.. Gulma jenis ini bersaing unsur hara
dan air di tanah dengan tanaman pokok. Serangan hama ini lebih terasa
saat tanaman pokok masih semai.
 Mekanisme keruskan oleh gulma antara lain kematian akibat kompetisi
perolehan cahaya matahari dan nutrisi, kematian akibat naungan dan
kegagalan transportasi nutrisi, terganggunya siklus panen, menurunkan
produktivitas, kematian akibat perebutan unsur hara. Tanaman yang
berkompetisi sebagai gulma adalah tanaman yang menghasilkan zat
alelopati, memiliki kemampuan reproduksi tinggi, membelit, dan
bersifat parasit.
VI. DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. (2016). Pengaruh penutupan mulsa organik terhadap


perkembangan gulma hutan tanaman nyawai (Ficus variegata
Bl). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 13(2), 95-103.
Arsyad, Sitanala. (2006). Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor
Cerrillo, R.M.N., Ariza, D., Gonzales, L, Compo, A.D., Arjono, M., &
Ceacera, C. (2009). Legume living mulch for afforestation in
agricultural land in Southern Spain. Elsevier. Soil Tillage
Research,1026 (2009), 38-44.
Nagochi, H.K., Fushimi ,Y., & Shigemori, H. (2009). Plant Physiology,
566, 442-446.
Samyu, J., & De Vos, B. (2009). The assessment of mulch sheets to inhibit
competitive vegetation in tree plantations in urban and natural
environment. Urban Forestry and Urban Greening, 11-15.
Samyu, J., & Bruno, D.V. (2009). The assessmen of mulch sheets to
inhibit competitive vegetation in tree plantation in urban and
natural environment. Urban Forestry, 44-46.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Soerianegara, I dan A. Indrawan 1982. Ekologi Hutan Indonesia.
Departemen. Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institusi
Pertanian Bogor. Bogor.
Teasdale, J.R., & Cavigelli, M.A. (2009). Subplots facilitate assessment of
corn yield losses from weed competition in a long-term systems e x
p e ri m e n t. Elsevier : 35-38.
Winarni, E., Payung, D., & Naemah, D. (2012). Monitoring kesehatan tiga
jenis tanaman pada areal hutan tanaman rakyat. Laporan
penelitian akhir BOPTN Fakultas Kehutanan Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarbaru.

Youkhman, A., & Travis, I. (2011). Addition of Leucaena-KX2 mulch in a


shaded caffel agroforestry system increas both stable and labile soil
C. Fraction. Elsevier Soil Biology and Biochemistry Journal (10) :
32-29.

Yunasfi. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan


Penyakit yang Disebabkan oleh Jamur. [Skripsi]. Fakultas
Pertanian. Universitas Sumatra Utara, Medan.
LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN
ACARA 5
PENGENALAN LAPANGAN

Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran

LABORATURIUM PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
ACARA 5
PENGENALAN LAPANGAN

I. TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk :
 Mengenal gejala yang timbul pada inang serta tanda yang merupaka
kenampakan penyebab kerusakan
 Mampu melakukan identifikasi gejala dan tanda hingga menentukan
penyebab faktor biotik dan abiotic

II. ALAT DAN BAHAN


Pada praktikum ini digunakan alat :
 Alat Tulis
 Kamera/HP

Pada praktikum ini digunakan bahan :


 Tanaman kehutanan
III. CARA KERJA
Cara kerja praktikum acara ini adalah :

Gejala dan tanda yang ada


Gejala yang nampak difoto
dilapangan diamati dan
dan dideskripsikan
diidentifikasi

Hama penyebab kerusakan


difoto dan dideskripsikan

Pertama-tama praktikan pergi ke lapangan untuk mencari


kerusakan atau penyakit pada tanaman kehutanan. Kemudian gejala dan
tanda diamati dan diidentifikasi dan dipotret untuk dijadikan data dalam
laporan.

IV. PEMBAHASAN
Praktikum acara 5 kali ini membahas tentang penyakit atau
kerusakan pada tanaman kehutanan yang ada di sekitar kita. Penyakit yang
diamati berupa penyakit biotik dan abiotic. Penyakit pada tanaman
didefinisikan sebagai penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan
tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologisnya secara normal
dengan sebaikbaiknya (Semangun, 2001).
BIOTIK
1. Teak Leaf Defoliator/Skeletonizer (pohon)

Teak leaf delofiator / skeletonizer merupakan penyakit yang


disebabkan oleh serangga hama. Serangga hama yang menyebabkan
penyakit leak leaf defoliator adalah Hyblaea puera dan yang menyebabkan
teak leaf skeletonizer adalah Eutectona machaeralis. Meurut Umarella dan
Karepesina (2016) Hyblaea puera dogolongkan ke dalam ordo
Lepidopetra. Kedua serangga hama tersebut berasal dari ordo Lepidoptera.
Merupakan hama pemakan daun pada jati dan dikenal sebagai teak
defoliator. Cara menyerangnya yaitu pada mulanya ulat mudah memakan
bagian daun yang lunak dengan meninggalkan urat-urat pada dan
tulangtulang daun. Ulat dewasa memakan keseluruhan jaringan daun
kecuali tulang daun yang besar. Paliga damastesalis merupakam sinonim
dari eutectona machearalis, digolongkan ke dalam ordo Lepidoptera juga
merupakan hama pemakan daun jati yang dikenal sebagai teak-leaf
skeletonizer. Bagian daun yang diserang adalah jaringan parenkim yang
berwarna hijau dan lunak diantara tulang-tulang dan urat-urat daun. Tanda
serangannya adalah daun Jati tidak utuh, berlubang, daun habis disisakan
tulang daunnya saja. Serangan hama ini dapat menyebabkan pertumbuhan
Jati terganggu karena daun tidak dapat berfotosintesa dengan sempurna
(Tim Penyusun, 2014).
Serangga hama penyebab penyakit teak leaf defoliator maupun
skeletonizer memiliki metamorphosis sempurna atau holometabola.
Serangan biasanya terjadi pada musim penghujan. Gejalanya ialah daun
jati yang tidak lengkap. Untuk teak leaf defoliator hanya menyisakan
tulang daun, sedangkan teak leaf skeletonizer menyisakan urat-urat daun.
Pencegahan dapat dilakukan dengan monitoring sedangkan pengendalian
dengan cara memangkas daun dan mengambil ulat untuk mekanis, dibantu
predator musuh untuk biologi, dan insektisida untuk kimia.
2. Rayap Basah Coptocernes curfignatus pada tanaman Sonokeling
(tiang)

Rayap basah atau Coptocernes curfignatus merupakan serangga


hama penyebab penyakit kerusakan batang pada tanaman Sonokeling.
Rayap Basah (Captocernes curfignatus) dikenal sebagai hama tanaman
yang utama. Beberapa jenis tanaman perkebunan yang banyak diserang
hama tersebut adalah pohon kelapa, karet, coklat, dan kelapa sawit.
Serangan Captocernes curfignatus pada tanaman kelapa seringkali
menyebabkan kematian (Nandika dkk, 2003). Serangga hama ini termasuk
ke dalam ordo Isoptera yang memiliki metamorphosis tidak sempurna atau
hemimetabola. Mekanisme penyerangan terjadi saat fase nimfa yang
memiliki bentuk mulut penggigit dan pengunyah. Tanda yang dapat
ditemukan adalah ditemukannya serangga pada tanaman inang. Gejala
yang ditemukan adalah batang kropos dan beralur serta ditemukan tanah
pada batang. Pencegahan dilakukan dengan pengaturan jarak tanam dan
pembersihan gulma. Untuk pengendalian dapat dilakukan dengan
membuat parit untuk menghalangi rayap masuk.

3. Sesidia pada tanaman Duwet (pohon)

Penyakit sesidia biasa menginfeksi tanaman Akasia yang


disebabkan oleh jamur Uromycetes sp. (Fitosesidia) dan Serangga
(Zoosesidia). Di lapangan ditemukansesidia pada tanaman duwet dan
ditemukan 2 jenis sesidia. Yaitu yang disebabkan oleh jamur dan oleh
serangga. Gejala yang timbul adalah munculnya bintil pada tanaman,
menghitam, dan luka lubang. Pada sesidia yang disebabkan serangga /
Zoosesidia, maka bintil akan berisi serangga. Tipe gejalanya diawali
dengan hipertropi dan akan menuju nekrosis. Tanda dari Fitosesidia adalah
mikroskopis (padat) dan pada Zoosesidia adalah serangga dalam bintil
(kopong). Vector penyebaran penyakitnya adalah dengan air, angin, dan
serangga. Upaya pencegahan dilakukan dengn monitoring berkala,
pengaturan jarak tanam, dan pengaturan pola tanam. Upaya pengendalian
dilakukan dengan pemangkasan dan fungisida.
4. Kutu Loncat pada Tanaman Jati (semai)
penyakit serangga perusak pucuk disebabkan oleh Heteropsila
cubana (Kutu Loncat) yang berasal dari ordo Homoptera. Serangga ini
menyerang tanaman Jati (Tectona grandis). Bentuk mulut pada serangga
ini yaitu pencucuk dan penghisap dengan metamorphosis yang tidak
sempurna. Mekanisme penyebaran penyakit ini yaitu pada fase imago
yang ditandai oleh ditemukan adanya kutu pada bagain yang diserang.
Bagian tanaman yang diserang oleh serangga ini yaitu pucuk tanaman
yang masih muda dan serangga ini dapat menyerang pada musim kemarau.
Adapun gejala dari penyakit ini adalah pucuk pada inang mengalami
kelayuan dan mongering hingga mati. Heteropsila cubana atau biasa
disebut kutu loncat merupakan serangga hama penyebab kerusakan pucuk
pada tanaman Lamtoro atau Pete Cina. Serangga hama ini termasuk dalam
ordo Homopters yang memiliki metamorphosis tidak semourna atau
hemimetabola. Kutu loncat berukuran kecil, sekitar 1-2 mm. karena bisa
meloncat dan melenting dengan cepat, hama ini disebut kutu loncat. kutu
ini bersayap dua pasang, seperti membran dan transparan. sayap depan
lebih besar dari sayap belakang, dan warna kuning atau hijau (Pracaya,
1999). Mekanisme penyerangan serangga ini adalah ketika fase imago
dengan bentuk mulut pencucuk dan penghisap. Penyerangan dilakukan
saat kemarau dan menimbulkan gejala layu pucuk atau mengering. Tanda
yang dapat ditemukan adalah adanya kutu pada tanaman inang. Untuk
upaya pencegahan dapat dilakukan monitoring dan pengaturan jarak
tanam. Sedangkan untuk pengendalian dapat dilakukan pemangkasan
pucuk, pembuangan serangga, menyediakan predator alami, dan
penyemprotan insektisida. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
monitoring, pengaturan jarak tanam, pembersihan gulma,. sedangakan
alternatif pengendalian dilakukan dengan cara pemangkasan (mekanik),
mendatangkan musuh alami seperti kepik dan kumbang kopsi (biologis),
dan pemberian insektisida (kimia) (Sushiatiti,2005).
ABIOTIK

Perlindungan hutan terutama untuk pencegahan dan pengendalian


penyakit hutan sangat diperlukan karena Menurut Yunasfi (2002) pohon
yang sehat tentunya mampu melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya dan
memiliki ketahanan ekologi yang tinggi. Sehingga tanaman yang sehat
mampu memberikan keuntungan yakng maksimal sesuai dengan tujuannya
masing-masing. Penyakit abiotic biasa disebut juga dengan non infection
disease. Penyakit abiotic merupakan penyakit atau kerusakan yang
disebabkan oleh lingkungan. Ciri-ciri penyakit yang disebabkan oleh
factor abiotic adalah sulit untuk dikenali, tidak ditemukan tanda, dapat
menyerang semua tingkat pertumbuhan, dan kerusakan secara merata
terhadapat tanaman di satu area tanam. Sumardi dan Widyaastuti (2004)
mengatakan bahwa aktivitas manusia untuk menghasilkan energi, industri,
dan pembuangan limbah menyebabkan terlepasnya sejumlah polutan ke
atmosfer yang mengganggu metabolisme tumbuhan dan memicu
timbulnya penyakit abiotik. Berikut beberapa penyakit abiotic pada
tanaman hutan :
1. Klorosis pada Lamtoro (pancang)

Klorosis merupakan salah satu kerusakan atau penyakit abiotic


yang dapat terjadi pada jati. Klorosis terjadi karena kurangnya nutrisi,
cahaya, dan air sehingga klorofil tidak terbentuk sempurna. Demi
keberhasilan tanaman jati, maka perlu diperhatikan jumlah nutrisi yang
dibutuhkan untuk proses pertumbuhannya. Salah satu nutrisi yang
dibutuhkan yaitu unsur kalium. Unsur ini berperan sebagai aktivasi enzim
dan katalisator proses metabolisme. Kekurangan kalium menyebabkan
klorosis di bagian tepi daun sedangkan kelebihan kalium menunjukkan
gejala yang berhubungan dengan unsur Mg. Kekurangan kalium
menunjukkan gejala bercak-bercak coklat pada permukaan daun, bagian
tepi daun menguning dan mengering, sedangkan tanaman yang kelebihan
kalium menunjukkan gejala yang berhubungan dengan unsur Mg yaitu
klorosis di sekitar tulang daun (Miqdad, 2017). Gejala yang ditimbulkan
adalah ketidaknormalan pada daun, warnanya tidak hijau namun berwarna
kuning, coklat, ungu, atau bercak hitam tergantung kekurangan nutrisi
yang dialami. Dampaknya adalah mudah terkena penyakit daun karena
tidak mampu menjaga daya tahan tubuh akibat kekurangan nutrisi serta
terhambatnya proses pertumbuhan. Untuk mencegah terjadinya klorosis
bisa dilakukan penyiapan tapak dengan manipulasi lingkungan berupa
pengaturan jarak tanam, pemupukan, dan penyiraman.

Klorosis pada Dracaena reflexa (semai, kurang Nitrogen)

Klorosis pada Nephelium lappaceum (kekurangan potassium)


2. Cekaman air pada semai Alpukat

Cekaman air atau water stress merupakan penyakit abiotic. Water


stress bisa terjadi karena kekurangan maupun kelebihan air. Di lapangam
ditemukan cekaman aitr akibat kelebihan air. Ketika kekurangan air gejala
yang ditimbulkan adalah jarak antar nodus jauh dan ukuran daun lebih
kecil. Untuk mencegahnya bisa dilakukan penyiraman secara rutin. Bila
water stress disebabkan karena kelebihan air maka gejala yang timbul
adalah jarak antar nodusnya dekat dikarenakan energy pembentukan daun
yang tinggi. Selain itu ukuran daun lebih besar dan gelap. Walaupun air
baik bagi tanaman, namun kelebihan air ini dapat memicu timbulnya
senyawa berbahaya. Pencegahan dapat dilakukan dengan pengaturan
penyiraman. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah pemberian
lubang pada polybag agar sirkulasi air lancar atau pembuatan kanal pada
lahan gambut.

3. Sun Scald pada tanaman Gamal (pohon)

Sun burn dan sun scald merupakan penyakit yang disebabkan oleh
paparan sinar matahari atau temperatur yang tinggi. Perbedaan sun burn
dan sun scald adalah jika sun burn menyerang pada daun dan
mengakibatkan daun kering. Sedangkan sun scald menyerang cambium
yang ada didalam batang dan kulit batang menjadi mengelupas (Ichsan et
al., 2003)
Menurut (Fitler dan Hay, 1991), radiasi sinar matahari dapat
memberikan efek tertentu pada tumbuhan bila cahaya tersebut diabsorbsi.
Secara fisiologis cahaya mempunyai pengaruh baik langsung maupun
ridak langsung. Pengaruh secara langsung bisa melalui fotosintesis dan
secara tidak langsung bisa melalui pertumbuhan dan perkembangan
tanaman akibat respon metabolic yang langsung. Gejala yang ditimbulkan
oleh sun burn adalah daun akan mengering pada bagian tepi dan untuk sun
scald ialah kulit batang akan mengelupas dan warnanya akan menjadi
coklat kehitaman. Dampak dari penyakit ini adalah terjadinya reaksi
biokimia yang tidak normal pada tanaman.
Untuk pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah
dengan dilakukan penyiraman, manipulasi lingkungan, menanam tanaman
yang sesuai dengan tapak, dan memberikan naungan.

Tabel 1. Persentase Luas Kerusakan Biotik dan Abiotik per Kode Lokasi Spesies
Athocarpus hetterophyllus

% Luas Serangan
No. Lokasi
Biotik Abiotik Rerata (%)
1 1 37.84 8.11 22.97
2 2 78.38 18.92 48.65
3 3 75.68 16.22 45.95
4 4 35.14 2.70 18.92
5 5 51.35 27.03 39.19
6 6 0.00 2.70 1.35
Tabel 2. Persentase Luas Kerusakan Biotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Athocarpus hetterophyllus
Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 16.22 0.00 0.00 0.00 2.70 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 18.92 2.91
2 2.70 8.11 40.54 0.00 5.41 32.43 0.00 0.00 0.00 2.70 0.00 0.00 16.22 8.32
3 2.70 0.00 16.22 0.00 18.92 37.84 0.00 0.00 2.70 0.00 2.70 2.70 27.03 8.52
4 0.00 0.00 16.22 0.00 2.70 0.00 0.00 2.70 10.81 0.00 0.00 2.70 2.70 2.91
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16.22 0.00 0.00 43.24 21.62 8.11 6.86
6 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Jumlah 5.41 8.11 89.19 0.00 27.03 70.27 2.70 18.92 13.51 2.70 45.95 27.03 72.97 29.52

Tabel 3. Persentase Luas Kerusakan Abiotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Athocarpus hetterophyllus
Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.62
2 2.70 0.00 10.81 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 1.66
3 2.70 0.00 5.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 1.25
4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.70 0.21
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 2.70 16.22 2.08
6 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.70 0.21
Jumlah 5.41 0.00 16.22 0.00 8.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 8.11 2.70 37.84 6.03

Tabel di atas menunjukan kerusakan yang dialami spesies


Athocarpus hetterophyllus yang terdapat pada bagian akar, batang dibawah
dbh, batang di atas dbh, batang dalam tajuk, daun, dan buah. Pada tabel 1
luas kerusakan biotik dan abiotic per lokasi secara berurutan sebagai
berikut, lokasi 1 kerusakan biotik seluas 37.84% dan kerusakan abiotic
seluas 8.11%, lokasi 2 kerusakan biotik seluas 78.38% dan kerusakan
abiotic seluas 18.92%, lokasi 3 kerusakan biotik seluas 75.68% dan
kerusakan abiotic seluas 16.22%, lokasi 4 kerusakan biotik seluas 35.14%
dan kerusakan abiotic seluas 2.70%, lokasi 5 kerusakan biotik seluas
51.35% dan kerusakan abiotic seluas 27.03%, dan lokasi 6 kerusakan
biotik seluas 0.00% dan kerusakan abiotic seluas 2.70%. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa kerusakan yang dialami spesies Athocarpus
hetterophyllus cenderung disebabkan oleh faktor biotik dibandingkan
faktor abiotic. Pada tabel 2 persentase luas kerusakan biotik per tanda
pada bagian akar sebesar 37.84%, batang dibawah dbh sebesar 78.38%,
kerusakan pada bagian batang di atas dbh sebesar 75.68%, kerusakan pada
bagian batang dalam tajuk sebesar 35.14%; kerusakan pada bagian daun
sebesar 51,35% dan kerusakan pada buah 0%. Sedangkan lokasi kerusakan
abiotik terjadi pada akar sebesar 8.11%, batang dibawah dbh dengan
persentase 18.92%, batang di atas dbh sebesar 16.22%, batang dalam tajuk
sebesar 2.70%, daun sebesar 27.03%; dan buah sebesar 2.70%. Adapun
Jenis kerusakan biotik yang ditemukan antara lain kanker, ada tubuh buah
jamur, luka terbuka, batang dan akar patah, banyak tunas air, akar patah
lebih dari 0,91 m, mati pucuk, patah dan mati, tunas air berlebihan,
kerusakan daun dan tunas, perubahan warna daun serta kerusakan lain.
Sedangkan pada kerusakan abiotik ditemukan jenis kerusakan berupa
kanker, luka terbuka, batang atau akar patah, kerusakan daun dan tunas,
perubahan warna daun serta kerusakan lain. kerusakan Athocarpus
hetterophyllus didominasi oleh kerusakan biotik dengan kode lokasi 2
yaitu batang di bawah dbh dengan persentase kerusakan sebesar 78,38%.
Sedangkan kerusakan abiotik didominasi kode lokasi 5, yaitu pada bagian
daun dengan persentase 27,03%. Untuk pencegahan yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan monitoring. Sedangkan untuk upaya
pengendalian dapat dilakukan secara mekanis dengan penjarangan,
pruning dan secara kimia dengan penyemprotan herbisida.

Tabel 4. Persentase Luas Kerusakan Biotik dan Abiotik per Kode Lokasi Spesies
Tectona grandis

% Luas kerusakan
No. Lokasi
Biotik Abiotik Rerata (%)
0 0 0 0
1 1 33.64 0.00 16.82
2 2 52.34 20.56 36.45
3 3 55.14 28.97 42.06
4 4 43.93 15.89 29.91
5 5 21.50 11.21 16.36
Tabel 5. Persentase Luas Kerusakan Biotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Tectona grandis

Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.87 0.00 0.00 0.00 2.80 0.00 0.00 32.71 2.88
2 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 6.54 0.00 0.00 0.00 0.00 6.54 0.00 43.93 4.46
3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.54 0.00 51.40 4.46
4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.48 0.00 39.25 3.59
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16.82 0.00 4.67 1.65
Jumlah 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 8.41 0.00 0.00 0.00 2.80 37.38 0.00 171.96 17.04

Tabel 6. Persentase Luas Kerusakan Abiotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Tectona grandis

Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0
2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 19.63 1.58
3 0.00 0.00 0.00 0.00 1.87 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 0.93 0.00 25.23 2.23
4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 0.00 0.00 14.95 1.22
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.61 4.67 0.93 0.86
Jumlah 0.00 0.00 0.00 0.00 2.80 0.00 0.00 1.87 0.00 0.00 6.54 4.67 60.75 5.90
Berdasarkan tabel diatas didapatkan bTabel di atas menunjukan
bahwa kerusakan yang dialami spesies Tectona grandis terdapat pada
bagian akar, batang dibawah dbh, batang di atas dbh, batang dalam tajuk,
dan daun. Pada tabel 4 luas kerusakan biotik dan abiotic per lokasi secara
berututan sebagai berikut, lokasi 1 kerusakan biotik seluas 33.64% dan
kerusakan abiotic seluas 0.00%, lokasi 2 kerusakan biotik seluas 52.34%
dan kerusakan abiotic seluas 20.56%, lokasi 3 kerusakan biotik seluas
55.14% dan kerusakan abiotic seluas 28.97%, lokasi 4 kerusakan biotik
seluas 43.93% dan kerusakan abiotic seluas 15.89%, lokasi 5 kerusakan
biotik seluas 21.50% dan kerusakan abiotic seluas 11.21%, Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa kerusakan yang dialami spesies Tectona
grandis cenderung disebabkan oleh faktor biotik dibandingkan faktor
abiotic. Berdasarkan tabel 5 Persentase luas kerusakan biotik per tanda
diperoleh hasil sebagai berikut pada bagian akar sebesar 33.64%, batang
dibawah dbh sebesar 52.34%, kerusakan pada bagian batang di atas dbh
sebesar 55.14%, kerusakan pada bagian batang dalam tajuk sebesar
43.93%, dan kerusakan pada bagian daun sebesar 21.50%. Sedangkan
lokasi kerusakan abiotik terjadi pada batang dibawah dbh dengan
persentase 20.56%, batang di atas dbh sebesar 28.97%, batang dalam tajuk
sebesar 15.89%, dan daun sebesar 11.21%. Persentase luas kerusakan
biotik tertinggi terdapat pada bagian batang di bawah dbh dan batang di
atas dbh, yaitu sebesar 4,46% , diikuti oleh batang dalam tajuk sebesar
3,59%, kemudian akar sebesar 2,88%, dan terakhir daun sebesar 1,65%.
Sedangkan pada kerusakan abiotik ditemukan jenis kerusakan berupa
batang atau akar patah, mati pucuk, kerusakan daun dan tunas, perubahan
warna daun serta kerusakan lain. Lokasi yang terserang kerusakan tersebut
antara lain pada bagian batang dibawah dbh, batang di atas dbh, batang
dalam tajuk, dan daun. Rerata persentase luas yang terjadi secara berurutan
adalah 1,58%; 2,23% ; 1,22% dan 0,86% dengan persentase kerusakan
tertinggi terjadi pada batang di atas dbh. kerusakan pada spesies Tectona
grandis didominasi oleh kerusakan biotik dengan kode lokasi 3 yaitu
batang di atas dbh, dengan persentase kerusakan sebesar 55,14 %.
Sedangkan kerusakan abiotik didominasi kode lokasi 3, yaitu pada bagian
batang di atas dbh dengan persentase 28,97%. Pencegahan dapat dilakukan
dengan monitoring. Sedangkan untuk pengendalian dapat dilakukan secara
mekanis dengan penjarangan, pruning dan secara kimia dengan
penyemprotan herbisida

Tabel 7. Persentase Luas Kerusakan Biotik dan Abiotik per Kode Lokasi Spesies
Zantoxylum retsza

% Luas kerusakan
No. Lokasi
Biotik Abiotik Rerata (%)
1 1 0.00 0.00
2 2 38.64 6.82 22.73
3 3 14.77 6.82 10.80
4 4 39.77 11.36 25.57
5 5 0.00 0.00
Tabel 8. Persentase Luas Kerusakan Biotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Zantoxylum retsza

Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 6.82 6.82 6.82 0.00 6.82 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21.59 3.76
3 4.55 2.27 0.00 0.00 1.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.95 1.22
4 6.82 36.36 0.00 0.00 3.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21.59 5.24
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Jumlah 18.18 45.45 6.82 0.00 11.36 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 51.14 10.23

Tabel 9. Persentase Luas Kerusakan Abiotik per Tanda dan Penyebab Kerusakan
Spesies Zantoxylum retsza

Kerusakan
Kode Lokasi Rerata (%)
1 2 3 4 11 12 13 21 22 23 24 25 31
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 0.00 1.14 3.41 0.00 2.27 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.52
3 0.00 0.00 0.00 0.00 6.82 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.52
4 0.00 0.00 1.14 0.00 10.23 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.87
5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Jumlah 0.00 1.14 4.55 0.00 19.32 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.92
Tabel di atas menunjukan bahwa kerusakan yang dialami spesies
Zantoxylum retsza terdapat pada bagian akar, batang dibawah dbh, batang
di atas dbh, dan batang dalam tajuk. Pada tabel 7 luas kerusakan biotik dan
abiotic per lokasi secara berurutan sebagai berikut, lokasi 1 kerusakan
biotik dan kerusakan abiotic seluas 0.00%, lokasi 2 kerusakan biotik seluas
38.64% dan kerusakan abiotic seluas 6.84%, lokasi 3 kerusakan biotik
seluas 14.77% dan kerusakan abiotic seluas 6.82%, lokasi 4 kerusakan
biotik seluas 39.77% dan kerusakan abiotic seluas 11.36%, lokasi 5
kerusakan biotik dan kerusakan abiotic seluas 0.00%, Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa kerusakan yang dialami spesies Zantoxylum retsza
cenderung disebabkan oleh faktor biotik dibandingkan faktor abiotic.
Berdasarkan tabel 8 Persentase luas kerusakan biotik per tanda diperoleh
hasil sebagai berikut pada bagian batang dibawah dbh sebesar 38.64%.
Kerusakan pada bagian batang di atas dbh sebesar 14.77% dan kerusakan
pada bagian batang dalam tajuk sebesar 39.77%. Berdasarkan tabel 9
Persentase luas kerusakan abiotic per tanda diperoleh hasil sebagai berikut
pada batang dibawah dbh sebesar 6.82%, batang di atas dbh sebesar
68.2%, dan batang dalam tajuk sebesar 1.,36%. Adapun jenis kerusakan
biotik yang ditemukan antara lain kanker, ada tubuh buah jamur, luka
terbuka, batang atau akar patah, dan kerusakan lain. Persentase luas
kerusakan biotik tertinggi terdapat pada bagian batang dalam tajuk, yaitu
sebesar 5,24% , diikuti oleh batang di bawah dbh sebesar 3,76% dan
terakhir batang di atas dbh sebesar 1,22%. Sedangkan pada kerusakan
abiotik ditemukan jenis kerusakan berupa ada tubuh buah jamur, luka
terbuka, dan batang atau akar patah. Kerusakan pada spesise Zantoxylum
retsza didominasi oleh kerusakan biotik dengan kode lokasi 4 yaitu batang
dalam tajuk, dengan persentase kerusakan sebesar 39,77%. Sedangkan
kerusakan abiotik didominasi kode lokasi 4, yaitu pada bagian batang di
dalam tajuk dengan persentase 11,36%. Upaya Pencegahan yang dapat
dilakukan adalah dengan monitoring. Sedangkan untuk pengendalian dapat
dilakukan secara mekanis dengan penjarangan, pruning dan secara kimia
dengan pemberian herbisida

V. KESIMPULAN
Kesimpulan praktikum ini adalah
 Gejala dan tanda dapat diamati di lapangan dan menjadi kenampakan
penyebab kerusakan. Dilapangan ditemukan penyakit biotik dan
abiotic. Gejala pada penyakit biotik yang ditemukan di lapangan
adalah adalah daun berlubang pada inang jati ketika mengalami
kerusakan teak leaf defoliator/skeletonizer dan tanda yang ditemukan
adalah ditemukannya ulat/serangga hama penyebab penyakit. Pada
kerusakan abiotic tidak ditemukan hama atau patogen penyebab
penyakit serta tidak ditemukan tanda. Gejala yang ditemukan di
lapangan untuk penyakit abiotic adalah adanya perubahan warna di
luar daun ketika tanaman mengalami penyakit klorosis.
 Identifikasi gejala dan tanda dapat dilakukan di lapangan. untuk
menentukan apakah penyakit tergolong biotik atau abiotic dapat dicari
patogen penyebab penyakit. Pada penyakit abiotic tidak ditemukan
patogen/hama penyebab penyakit dan tidak ditemukan tanda.

VI. DAFTAR PUSTAKA


Fitler, A.H., dan R. K. M. Hay. (1991). Fisiologi Lingkungan Tanaman.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Ichsan, M. C., Pertanian, F., & Jember, U. M. (2003). [ RESPONSE
KEITT MANGO FRUIT OF THE USE OF SUN-BLOCK TO
PREVENT INJURY INJURY SUNBURN ] Agritrop Jurnal Ilmu-
Ilmu Pertanian. 4, 125–129.
MIQDAD, A. D. (2017). PENGARUH KONSENTRASI UNSUR KALIUM
TERHADAP MORFOLOGI SEMAI JATI (Doctoral dissertation,
Universitas Gadjah Mada).
Nandika, D. Rismayadi Y, dan Diba F. 2003. Rayap: Biologi dan
pengendaliannya. Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Pracaya. 1999. Hama Penyakit Tanaman. Penerbit Swadaya. Jakarta
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sumardi, S.M, Widyaastuti. 2004. Dasardasar Perlindungan Hutan.
Gadjah Mada University.
Sushiatiti, Henect. 2005. Bahan Ajar Ilmu Tumbuhan. Bandung : Fakultas
Pertanian UNPAD.
Tim Penyusun. 2014. Produksi Bibit Jati Unggul. IPB Press. Bogor.
Umarella, U., & Karepesina, S. (2016). Inventarisasi Hama Pada Areal
Tanaman Jati Di Desa Liang Kecamatan Salahutu. BIMAFIKA:
Jurnal MIPA, Kependidikan dan Terapan, 2(2).
Yunasfi. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Penyakit yang Disebabkan oleh Jamur. [Skripsi]. Fakultas
Pertanian. Universitas Sumatra Utara, Medan.
LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN
ACARA VI
SEGITIGA API DAN PEMINDAHAN PANAS

Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran

LABORATORIUM PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
ACARA VI
SEGITIGA API DAN PEMINDAHAN PANAS

I. TUJUAN
Tujuan praktikum ini adalah :
 Memahami peranan oksigen dalam proses pembakaran
 Menentukan macam-macam jenis pemindahan panas dalam proses
pembakaran
 Memahami komponen segitiga api kebakaran hutan

II. ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :
 Alat tulis
 Pensil warna
 Stopwatch
 Gelas berukuran 200ml, 300ml, 500ml, dan 1000ml
 Lampu semprong

Bahan yang digunakan pada praktikum adalah


 Lilin
 Korek api
 Seresah tanaman dengan berbagai kondisi kelembaban
III. CARA KERJA
Cara kerja pada praktikum ini adalah :
 Peranan oksigen dalam konsep segitiga api

tutup lilin dengan gelas


nyalakan lilin dengan korek berukuran 200ml, 300ml,
api 500ml, dan 1000ml masing-
masing 3 ulangan

catat dan rata-rata lama catat lama waktu lilin dari


waktu lilin mati per ukuran ditutup gelas sampai lilin
gelas matii

buat tabel dan grafik


hubungan antara penyalaan
lilin dengan udara yang
tersedia

Pertama-tama disiapkan alat dan bahan berupa lilin, korek dan


gelas berukuran 200ml, 300ml, 500ml, dan 600ml. nyalakan lilin lalu tutup
dengan gelas, bila dilakukan dengan 2 gelas sekaligus maka waktu
menutup harus bersamaan. Hitung lama waktu lilin ditutup saat masih
menyala hingga lilin mati. Lakukan kegiatan ini sebanyak 3 kali ulangan
tiap ukuran gelas. Catat dan rata-rata waktu lilin mati per ukuran gelas.
Buatlah tabel dan grafik yang menyatakan hubungan penyalaan lilin
dengan volume udara tersedia kemudian jelaskan grafik yang sudah
dibuat.
 Pemindahan panas

amati pemindahan
lampu semprong panas pada titik A (di
dinyalakan. biarkan bawah), B (pada batang
hingga nyala stabil kaca), C (di atas lampu
semprong)

Alat dan bahan seperti lampu semprong disiapkan. Lalu lampu


dinyalakan dan biarkan hingga lampu menyala sampai stabil. Setelah stabil
amati perpindahan panas yang terjadi. Titik A diamati di ujung bawah
yaitu jenis perpindahan panas secara radiasi, titik B di ujunng atas – ujung
bawah (batang lampu) yaitu perpindahan panas secara konduksi, titik C di
atas lampu semprong yaitu perpindahan panas secara konveksi.
 Komponen segitiga api

persiapkan daun dengan potong daun dengan


3 kondisi kelembaban ukuran 2x2cm . jumlah
yaitu basah, kering, dan sample masing-masing
segar untuk 3 ulangan

amati waktu lama


bakar sample dengan api terbakar dan keberadaan
asap

deskripsikan proses
pembakaran yang timbul

Pertama persiapkan daun dengan 3 kondisi kelembaban yaitu


basah, kering, dan segar. Kemudian daun dipotong dengan ukuran 2x2cm,
masing-masing kondisi disiapkan untuk 3 kali ulangan percobaan. Bakar
sample daun kemudian amati lama pembakaran daun beserta keberadaan
asap. Kemudian deskripsikan proses pembakaran yant timbul.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Kebakaran didefinisikan sebagai peristiwa yang menimbulkan
terjadinya api dan kerugian yang sangat significant (Pradana et al, 2018)
sedangkan Kebakaran Hutan adalah peristiwa pembakaran yang
penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan.
(Suratmo et al, 2003). Kejadian kebakaran hutan dapat terjadi di berbagai
eksosistem hutan baik di temperate maupun hutan tropik (Nasi , 2002).
Suatu kebakaran dapat terjadi karena adanya tiga unsur yaitu bahan bakar
(fuel), oksigen dan sumber panas (ignisi) hal ini biasa disebut segitiga api.
Segitiga api menggambarkan komponen-komponen utama terjadinya
kebakaran. Bila salah satu dari komponen segitiga api tidak terpenuhi
maka kebakaran tidak akan terjadi. apabila ketiga unsur tersebut tidak
bertemu maka titik api tidak akan terjadi (Kelvin, et all., 2015). Pada kasus
kebakaran hutan, bahan bakar didapatkan dari biomassa hutan atau bahan
organic seperti seresah yang terdapat pada lantai hutan. Secara umum
bahan organic dan biomassa dalam hutan merupakan bahan bakar yang
mudah sekali terbakar karena sifat alaminya hutan sebagai penyimpan
karbon pada biomassa nya. Sumber api pada kebakaran hutan dapat terjadi
secara alami seperti petir dan gunung berapi namun juga dapat terjadi
akibat tindakan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja. Kebakaran
hutan dan lahan terjadi disebabkan oleh 2 (dua) faktor utama yaitu faktor
alami dan faktor kegiatan manusia yang tidak terkontrol. Faktor alami
antara lain oleh pengaruh El-Nino yang menyebabkan kemarau
berkepanjangan sehingga tanaman menjadi kering. Faktor kegiatan
manusia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan antara lain adanya
kegiatan pembuatan api unggun di dalam hutan, namun bara bekas api
unggun tersebut tidak dipadamkan. Adanya kegiatan pembukaan lahan
dengan teknik tebang-tebas-bakar yang tidak terkontrol (Rasyid, 2014).
Pada praktikum kali ini dilakukan peragaan untuk membuktikan
teori segitiga api. Peragaan akan mewakili keberadaan oksigen, bahan
bakar, dan sumber panas.
Gambar 1 Hasil Pengamatan Ukuran Gelas Dengan Lamanya Nyala
Lilin

Ketersedian oksigen merupakan salah satu komponen dalam


segitiga api. Komponen ini diwakili oleh volume udara dalam gelas pada
praktikum kali ini. hasil di atas menunjukan semakin banyak volume udara
dalam gelas, maka api atau lilin semakin lama padam. Pada gelas
berukuran 200ml, lilin mati di detik ke 3.5.. pada gelas berukuran 300ml,
lilin mati pada detik ke 9.42. pada gelas berukuran 500ml, lilin mati di
detik ke 9.74. pada gelas berukuran 1000ml, lilin mati di detik ke 17.17.
Hal ini menunjukan kebenaran teori segitiga api bahwa oksigen berperan
dalam terjadinya kebakaran. Berdasarkan tabel di atas, maka didapatkan
grafik hubungan antara ketersediaan udara dengan lama nyala api seperti
pada gambar di bawah ini.
Gambar 2 Grafik Hubungan Ukuran Gelas dengan Lama
Nyala Lilin

Grafik di atas menggambarkan bahwa semakin tinggi volume


udara, maka semakin lama pula api menyala.
Gambar 3 Hasil Pengamatan Perpindahan Kalor

Gambar 4 Lampu Semprong untuk Pengamatan Perpindahan Panas


Berdasarkan tabel di atas menggambarkan peranan perpindahan
panas dalam konsep segitiga api. Terdapat 3 jenis perpindahan panas yaitu
radiasi, konduksi, dan konveksi. Perpindahan panas secara konveksi
memerlukan waktu yang lebih singkat yaitu 8.54 detik dibandingkan
dengan konduksi 36.76 detik dan radiasi 54. 98 detik. Perpindahan panas
secara konveksi lebih cepat karena mengingat kembali oksigen merupakan
komponen segitiga api dan oksigen tersebut umumnya terdapat di udara
sehingga panas lebih mudah merambat lewat udara yaitu secara konveksi.
Hal inilah yang menyebabkan umumnya kebakaran hutan menyebar lebih
cepat ke atas melalui perantara udara dan angin.

Gambar 5 Hasil Pengamatan Pembakaran Sample

Tabel di atas mewakili peran bahan bakar dalam segitiga api pada
kebakaran hutan. Bahan bakar utama pada kasus kebakaran hutan adalah
bahan organic atau biomassa di dalam hutan seperti seresah, humus, daun,
batang, dan ranting. Berdasarkan praktikum di atas didapatkan bahwa
bahan bakar kering lebih cepat untuk terbakar dan menimbulkan asap yang
sedang. Bahan bakar segar paling lama terbakar. Dan bahan bakar basah
cukup lama terbakar.
Terdapat 3 jenis kebakaran hutan yaitu kebakaran bawah (ground
fire), kebakaran permukaan (surface fire), kebakaran tajuk (crown fire).
Tipe kebakaran hutan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar
yakni kebakaran bawah, kebakaran permukaan serta kebakaran tajuk
(Kimmins, 2004). kebakaran bawah dapat membakar serasah dan akar
tanaman, walaupun tergantung pada karakteristik serasah dan akar,
membakar bahan organik serta mengurangi benih-benih (Oliver & Larson,
1990; Kimmins, 2004). Kebakaran bawah biasa terjadi pada lahan gambut.
Karena gambut merupakan tanah dengan akumulasi bahan organic yang
menjadi sumber bahan bakar utama. Rongga dalam lahan gambut juga
banyak menyimpan oksigen sehingga bila mendapat percikan api akan
mudah terbakar. Kebakaran bawah biasanya terjadi tanpa terlihat apinya
dan tidak dipengaruhi oleh angin. Untuk mengendalikan kebakaran bawah
dapat dilakukan penyiraman langsung pada hotspot atau titik api.
Kebakaran permukaan membakar mulai dari permukaan tanah hingga
tingkat pertumbuhan pohon yang masih rendah. Biasanya kebakaran
terjadi dimulai dari kebakaran permukaan dan dapat menyebar ke
kebakaran bawah maupun kebakaran tajuk. Pada hutan lahan gambut
kebakaran permukaan akan menyebar menjadi kebakaran bawah, pada
hutan gymnospermae kebakaran permukaan akan mudah menyebar ke
kebakaran tajuk. Hal ini dipengaruhi dengan posisi sumber bahan
bakarnya. Kebakaran permukaan sedikit dipengaruhi oleh angin,
sedangkan kebakaran tajuk banyak dipengaruhi oleh angin. Sehingga
apinya membentuk elips ke arah angin. Untuk pengendalian kebakaran
permukaan dan tajuk dapat dilakukan penyiraman langsung lwat
udara/waterbomb, pembuatan ilaran api, atau penyiraman langsung.
Kebakaran hutan dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak
positif misalnya dipercepatnya peremajaan alam, pelapukan tanah,
terbantunya kehidupan satwa liar serta membantu pemusnahan hama dan
penyakit. Namun dampak negatifnya sangat besar antara lain rusak atau
musnahnya kayu dan hasil hutan lainnya, kerusakan lingkungan, dan
menimbulkan asap (Nurdin, 2018).
Untuk menjegah terjadinya proses pembakaran adalah dengan
menghilangkan salah satu komponen segitiga api. Yaitu menghilangkan
atau mengurangi sumber panas (api) atau mengurangi akumulasi bahan
bakar (Adinugroho, 2005). Salah satu hal penting yang perlu diketahui
dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan adalah dengan mengenal
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan tersebut.
Dengan mengenali faktor-faktor tersebut, upaya awal dalam kegiatan
pencegahan akan dapat dilakukan sedini mungkin (Sahardjo 2003 dalam
Suratmo et al. 2003). Selain itu untuk meminimalisir terjadinya kebakaran
hutan dapat dilakukan dengan dibuatnya perundang-undangan yang
mengatur kemanisme pembukaan lahan.
.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum acara 6 tentang segitiga api dan
pemindahan panas didapatkan kesimpulan yaitu :
 Oksigen merupakan salah satu komponen dalam segitiga api yang
memiliki peran dalam proses kebakaran. Secara kimia, pembakaran
dapat terjadi bila oksigen tersedia. Dalam praktikum dibuktikan
dengan gelas dengan volume udara yang lebih besar dapat menahan
nyala lilin lebih lama karena proses pembakaran terus terjadi selama
oksigen tersedia.
 Dalam proses pembakaran ada 3 jenis perpindahan panas yaitu
konveksi, konduksi dan radiasi. Dalam praktikum dibuktikan dengan
perpindahan panas pada lampu semprong yang menunjukan hasil
bahwa perpindahan panas secara konveksi.
 Segitiga api merupakan 3 komponen yang wajib hadir untuk terjadinya
kebakaran yaitu bahan bakar, sumber panas, dan oksigen. Dalam
kebakaran hutan bahan bakar merupakan semua biomassa hutan dan
bahan organic dalam hutan. kebakaran tidak dapat terjadi bila 3
komponen segitiga api tidak lengkap.

VI. DAFTAR PUSTAKA


Adinugroho, W. C., Suryadiputra, I. N. N., & Saharjo, B. H.
(2005). Panduan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
gambut. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.

Kelvin, Pram Eliyah Yuliana, dan Sri Rahayu. 2015. Pemetaan Lokasi
Kebakaran Berdasarkan Prinsip Segitiga Api Pada Industri
Textile. Surabaya: Sekolah Tinggi Teknik Surabaya.
Kimmins, J. P. 2004. Forst Ecology, a Foundation for Sustainable Forest
Management and Environmental Ethics in Forest. Prentice Hall.
New Jersey.
Nasi, R., Dennis, R., Meijaard, E., Applegate, G and Moore, P. 2002. .
Unasylva 209, Vol. 53. Roma.
Nurdin, A. S. (2018). Pengaruh Iklim Global terhadap Kebakaran Hutan di
Kota Ternate. Techno: Jurnal Penelitian, 7(2), 150-156.
Oliver, CD and Larson, B.C. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw-Hill,
Inc. NewYork.

Pradana, S. Y., Utaminingrum, F., & Kurniawan, W. (2018). Deteksi Titik


Api Terpusat Menggunakan Kamera Dengan Notifikasi Berbasis
Sms Gateway Pada Raspberry Pi. Jurnal Pengembangan Teknologi
Informasi dan Ilmu Komputer e-ISSN, 2548, 964X.
Rasyid, F. (2014). Permasalahan dan dampak kebakaran hutan. Jurnal
Lingkar Widyaiswara, 1(4), 47-59.
Sahardjo BH. 2003. Segitiga Api. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA,
Jaya NS, editor. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran
Hutan. Fakultas Kehutanan. Bogor.
Suratmo, F.G.; E.A. Husaeni, N. Surati Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar
Pengendalian Kebakaran Hutan Pedoman Nasional Pengendalian
Kebakaran Hutan. Fahutan IPB. Bogor.
LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN
ACARA VII
PENGGEMBALAAN DALAM HUTAN

Oleh:
Nama : Ancilla Filema
NIM : 19/442261/KT/08959
Shift : Selasa, 13.00 WIB
Co-Ass : Akbar Zhafran

LABORATORIUM PERLINDUNGAN DAN KESEHATAN HUTAN


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
ACARA VII
PENGGEMBALAAN DALAM HUTAN

I. TUJUAN
Tujuan praktikum ini adalah :
 Mengenal bentuk penggembalaan di dalam hutan
 Mengenal kerusakan pada tanaman hutan dan tanah

II. ALAT DAN BAHAN


Bahan yang digunakan pada praktikum adalah
 Video tentang penggembalaan dalam hutan

III. CARA KERJA


Cara kerja pada praktikum ini adalah menonton dan membuat
rangkuman dari video tentang penggembalaan di dalam hutan

IV. PEMBAHASAN

Pengelolaan hutan secara bijak diperlukan untuk mempertahankan


fungsi dan keberadaan hutan (Violita dkk., 2014). Permintaan terhadap
barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan, ternyata
keanekaragaman jenis barang dan jasa, kuantitasnya, dan kualitasnya telah
terbukti terus meningkat dari waktu ke waktu. Pengelolaan hutan yang
baik harus dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat,
pengelola hutan dan stakeholders serta lingkungan sekitarnya. Tidak hanya
itu, pengelolaan hutan yang baik juga harus memperhatikan aspek-aspek
kelestarian hutan, seperti aspek ekologi, produksi, serta sosial ekonomi
dan budaya masyarakat sekitar hutan (Purnawan, 2006 ; Birgantoro, dan
Nurrochmat, 2007). Beberapa gangguan dari faktor sosial ekonomi adalah
adanya pencurian/ penjarahan, penggembalaan liar dan kebakaran, maka
perlu adanya aspek pengamanan yang berperan untuk mengurangi
kerusakan hutan (Riayanto dan Pahlana, 2012). Penggembalaan liar pada
dasarnya dapat menurunkan tingkat kesuburan lahan dan bertambahnya
lahan kritis dipercepat oleh tekanan penduduk terhadap lahan untuk
keperluan pertanian dan peternakan yang sebagian besar mata pencaharian
penduduk beternak dengan pola penggembalaan liar serta bertani dengan
pola perladangan berpindah dengan sistem tebas bakar (Surata, 2009).

Penggembalaan ternak secara liar di kawasan hutan merupakan


salah satu permasalahan dalam bidang kehutanan maupun perkebunan.
Ada dua jenis penggembalaan yaitu penggembalaan terikat dan tidak
terikat (lepas/ekstensif tradisional). Pola penggembalaan ekstensif
tradisional ini dilakukan dengan cara ternak dilepas menggembala bebas
dalam kawasan hutan dalam jangka waktu yang lama (Lasfeto dkk., 2017).
Sedangkan penggembalaan terikat dilakukan dengan ternak berada dalam
kandang dan pemilik yang mencari pakan ternak ke dalam hutan. Hasil
survei Desa DAS Benain memperlihatkan hasil bahwa penggembalaan
lepas masih dipilih sebagai pola penggembalaan yang dominan. Kesulitan
lain terjadi dalam penerapan sistem ikat berkaitan erat dengan terbatasnya
ketersediaan pakan dan tenaga kerja keluarga. (Bappeda Prov. NTT,
2011). Penggembalaan lepas yang tidak terkontrol dapat mendatangkan
berbagai ekses negatif seperti pemadatan tanah, kerusakan tanaman, dan
potensi pencurian ternak. Penggembalaan terikat mapun tidak terikat/lepas
memiliki dampak positif dan negatifnya masing-masing. Untuk
penggembalaan terikat, kerusakan tanaman hutan dan tanah lebih kecil
namun ternak berpotensi mengalami stress. Tipe penggambalaan ini cocok
dilakukan bila hutan didominasi oleh tingkat pertumbuhan semai, karena
dikhawatirkan semai akan mati terinjak hewan ternak. Untuk
penggembalaan lepas, hewan ternak dapat lebih bebas memilih
makanannya. Jenis penggembalaan ini biasa dilakukan pada hutan dengan
tingkat pertumbuhan tiang sampai pohon. Namun harus tetap disertai
managemen yang baik seperti pembatasan kawasan penggembalaan dan
rotasi pakan agar keseimbangan tetap terjaga dan kerusajan hutan dapat
diminimalisir.
Salah satu hal yang perlu dipahami tentang penggembalaan dalam
hutan adalah istilah unit lahan dan unit ternak. Unit lahan merupakan
satuan lahan yang cukup untuk menampung ternak / wilayah
penggembalaan. Unit lahan ini juga dapat dikatakan sebagai potensi suatu
wilayah untuk dilakukan penggembalaan di dalamnya. Sedangkan unit
ternak adalah satuan kebutuhan ternak berupa pakan yang dapat
disediakan. Bagaimana ketersedian pakan ternak di dalam suatu kawasan
hutan, seberapa banyak kebutuhan ternak akan pakan.

Setelah melihat video tentang penggembalaan maka dapat


disimpulkan materi penting tentang penggembalaan dalam hutan dalam
bentuk mind mapping di bawah ini.

Dalam mind map di ata, penggembalaan terbagi menjadi 3 yaitu


penggembalaan pada fase semai, fase tiang, dan fase pohon. Pada fase
semai penggembalaan dapat dilakukan secara terikat karena takut merusak
semai akibat terinjak, namun kekurangannya ternak menjadi stress.
sedangkan pada fase tiang dan pohon dapat dilakukan penggembalaan
secara bebas namun tetap dengan jumlah yang seimbang antara luas
penggembalaan dan jumlah hewan ternak. Untuk mewujudkan
penggembalaan dalam hutan yang baik maka diperlukan upaya manajemen
yaitu dengan cara rotasi makanan dan silvopastura.

Manajemen yang baik dapat menciptakan wilayah hutan dan


penggembalaan yang harmonis. Salah satu caranya adalah dengan
mengetahui kapasaitas tampung ternak dalam kawasan hutan. Penentuan
kapasitas tampung ternak dalam suatu padang penggembalaan sangat
penting, untuk menghindari overgrazing (penggembalaan berlebihan) atau
undergrazing (penggembalaan kurang) (Purwantari dkk., 2015).
Penggembalaan berlebih akan merugikan untuk hutan maupun untuk
ternak. Ternak akan mengalami kompetisi yang lebih tinggi dan tanah
dalam hutan juga mengalami pemadatan berlebih serta kerusakan vegetasi
akibat padatnya penggembalaan dalam hutan. pemadatan tanah akan
berdampak pada sifat fisika dan kesuburan tanah serta mempertinggi
resiko erosi. Selain itu dapat dilakukan rotasi pakan, yaitu
menggembalakan ternak bergilir pada petak-petak yang ada. Dengan
manajemen penggembalaan dalam kawasan hutan yang baik, kegiatan ini
dapat bermanfaat bagi hutan, salah satunya adalah pengendalian gulma.
gulma adalah tumbuhan pengganggu, yang mengandung pengertian semua
jenis tumbuhan yang menghambat pertumbuhan dari berbagai jenis
tanaman yang diusahakan atau dibudidayakan baik oleh petani maupun
usaha pertanian swasta (Harahap 1989). Gulma ini perlu diberantas,
namun gulma dapat merupakan tanaman yang sangat dibutuhkan oleh
ternak sebagai sumber pakan. Dengan melakukan penggembalaan dalam
hutan, maka akan menghemat biaya penyiangan gulma. Selain itu kotoran
sapi memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan bahan organik tanah,
meningkatkan ketersediaan nutrien dan meningkatkan kapasitas menahan
air (Wigati et al. 2006). Selain memahami kapasitas tampung dan rotasi
pakan, salah satu manajemen penggembalaan dalam hutan adalah
silvopastur. Praktek sistem silvopastura dilapangan dapat dilakukan
dengan menanami kawasan hutan dengan rumput atau jenis hijauan pakan
ternak tanpa merusak tegakan hutan. Sehingga penduduk disekitar wilayah
hutan dapat beternak hewan yang pakan ternaknya diambil dari hutan
tanpa mengganggu tegakan hutan (Magdalena, 2017). Silvopastura
merupakan contoh tata guna lahan yang terintegrasi melalui praktek
penggabungan pohon, hijauan, dan ternak. Praktek ini dapat dilakukan
dalam skala kecil maupun skala besar (Jose dan Dollinger, 2019).

V. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum acara 7 tentang penggembalaan di dalam
hutan didapatkan kesimpulan yaitu :
 Penggembalaan merupakan kegiatan yang sering dilakukan di dalam
hutan oleh masyarakat sekitar. Terdapat 2 jenis penggembalaan yaitu
penggembalaan terikat dan tidak terikat. Untuk kawasan hutan dengan
fase semai jenis penggembalaan yang semestinya dilakukan adalah
penggembalaan terikat. Dan untuk hutan dengan vegetasi fase tiang
dan pohon dapat dilakukan penggembalaan tidak terikat dengan
managemen-managemen khusus agar tidak menimbulkan dampak
negative.
 Kegiatan penggembalaan dalam hutan secara umum menimbulkan 2
kerusakan yaitu kerusakan pada tanah dan pada tanaman hutan.
kerusakan pada tanah yang terjadi adalah pemadatan tanah sehingga
sifat fisik tanah berkurang dan berpotensi terjadi erosi. Kerusakan
tanaman hutan yang dapat terjadi adalah semai terinjak hewan ternak
dan luka batang pohon akibat tanduk ternak.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Provinsi NTT, 2011. Rencana Induk dan Peta Jalan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu Benain 2010 – 2025 Timor
Barat Berbasis Kerjasama Antar Daerah (KAD): Provinsi NTT,
Kabupaten TTS, Kabupaten TTU, Kabupaten Belu.

B.A dan D. R, Nurrochmat. 2007. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan oleh


Masyarakat di KPH Banyuwangi Utara. JMHT Vol. XIII (3): 172-
181.
Harahap H. 1989. Kedudukan ilmu gulma dalam menunjang pembangunan
pertanian. Dalam: Prosiding Konperensi ke IX Himpunan Ilmu
Gulma Indonesia. Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Bandung.

Jose, S., & Dollinger, J. (2019). Silvopasture: a sustainable livestock


production system. Agroforestry Systems, 93(1), 1-9.
Lasfeto, D. B., Setyorini, T., & Lada, Y. A. (2017). DESAIN SISTEM
MONITORING TERNAK SAPI BERBASIS JARINGAN
SENSOR NIRKABEL UNTUK SISTEM PENGGEMBALAAN
LEPAS DI TIMOR BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA
TIMUR. Prosiding Semnastek.

Magdalena, H. (2017). Model Pengambilan Keputusan Untuk


Mengembalikan Fungsi Hutan Pasca Reklamasi Lahan Bekas
Timah dengan Analytical Hierarchy Process. Jurnal Informatika:
Jurnal Pengembangan IT, 2(2), 27-35.

Purnawan, R. 2006. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Sebagai Ekoturism


Berbasis Kemasyarakatan. Surili 2 (39): 14.

Purwantari, N. D., Tiesnamurti, B., & Adinata, Y. (2015). Ketersediaan


sumber hijauan di bawah perkebunan kelapa sawit untuk
penggembalaan sapi. Wartazoa, 25(1), 47-54.

Riayanto, H.D dan Pahlana, U.W.H. 2012. Kajian Evaluasi Hutan Jati
Sistem Bonita Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 9 No.1, Maret 2012, 43-50.

Surata, I, K. 2009. Pengaruh Ukuran Lubang Tanam Dan Kompos Kotoran


Sapi Untuk Penanaman Lahan Kritis di Daerah Savana Di Pulau
Sumba. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. VI No.
2 : 147-157.

Violita, C. Y., Dewi, B. S., & Harianto, S. P. (2014). Peran Perhutani


Terhadap Masyarakat Petani Hutan Pada Penggembalaan Liar
(Studi Kasus RPH Kepoh Jawa Tengah Indonesia). Universitas
Lampung. Lampung.

Wigati ES, Syukur A, Bambang DK. 2006. Pengaruh takaran dari bahan
organik dan tingkat kelengasan tanah terhadap serapan fosfor oleh
kacang tanah di tanah pasir pantai. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan. 6:52-58.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai