Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PRAKTIKUM

PERENCANAAN SUMBERDAYA HUTAN


ACARA II A
PENAKSIRAN POTENSI PRODUKSI DAN PERKIRAAN BESARNYA ETAT HUTAN
TANAMAN

Disusun oleh :

Nama : Yoland Windy Astika

NIM : 19/440049/KT/08934

Co ass : Mustika Novia R.

Shift : Jum’at, 13.00 WIB

LABORATORIUM PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUTAN


LABORATORIUM SISTEM INFORMASI SPASIAL DAN PEMETAAN HUTAN
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
ACARA II A
PENAKSIRAN POTENSI PRODUKSI DAN PERKIRAAN BESARNYA ETAT HUTAN
TANAMAN

I. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Memahami adanya perkembangan cara penetapan etat berdasarkan
perkembangan struktur tegakannya.
2. Memahami dan dapat menghitung etat dari struktur tegakan yang masih ada
hutan alamnya dan yang terdiri dari hutan tanaman semuanya.
3. Menganalisis struktur tegakannya serta menganalisis kelemahan dan kelebihan
cara penetapan etatnya.

II. CARA KERJA


Berikut langkah-langkah yang dilakukan pada praktikum ini:

Cermati bahan praktikum berupa PDE 2 Getas Ngandong

Tentukan potensi produksi dengan menggunakan pendekatan potensi saat ini, umur akhir daur
(UAD), dan umur tebang rata-rata (UTR).

Hitung etat untuk kondisi tegakan saat ini, di akhir daur, dan pada umur tebangan rata-rata.

Lakukan analisa etat pada setiap kondisi tersebut.

Pertama, dicermati terlebih dahulu data PDE 2 Getas Ngandong. Setelah itu,
data diolah menggunakan microsoft excel. Setelah itu menentukan taksiran potensi
produksi. Potensi produksi diperoleh dari data PK-2 suatu bagian hutan, kemudian
dipilah masing-masing petak/anak petak berdasarkan kelas hutannya. Pivot table
digunnakan untuk membantu penyajian data agar mudah dibaca. Kemudian menyusun
ikhtisar struktur kelas hutan (PK-3). Berdasarkan PK-3, potensi produksi dihitung
berdasarkan Instruksi 1938 dan Instruksi 1974. Setelah itu, menentukan etat.
Perhitungan hitunglah etat luas dan etat volume diperoleh dari hasil penaksiran potensi
produksi dengan Instruksi 1938 dan 1974. Selain itu, hitung masa benah dan etat masa
benah (apabila ada kelas hutan HAJMR).

III. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. File PDE Getas Ngandong
2. Alat tulis
3. Kalkulator / komputer
4. Tabel WvW

IV. DATA
Dari praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil data sebagai berikut:
Terlampir

V. PEMBAHASAN
Menurut Simon (2001), hutan dapat dikatakan lestari apabila memenuhi tiga
syarat yaitu memiliki tata batas yang jelas, permudaan yang terjadi di kawasan hutan
tersebut berhasil, dan tidak terjadi over cutting karena penebangan yang dilakukan
sesuai dengan perhitungan etat. Kerusakan KU tertentu sampai akhir daur didekati
dengan casualty per cent. Casualty per cent merupakan persentase yang harus
dikorbankan (sebagai faktor koreksi) akibat berbagai resiko kerusakan yang mungkin
terjadi dari saat tertentu sampai akhir daur (Rohman dkk., 2013). Etat merupakan
besaran tebangan maksimal yang dapat diambil atau dipanen dalam suatu unit kawasan
hutan per tahun sehingga dapat melaksanakan prinsip asas kelestarian hutan.
Perhitungan etat dinyatakan dalam satuan luas dan volume, yang hanya dilakukan
untuk kelas hutan produktif saja agar tidak akan terjadi over cutting. Etat akan dapat
ditetapkan setelah potensi produksi, khususnya luas dan volume suatu unit kawasan
hutan yang dimaksud sudah diketahui.
Penaksiran potensi produksi suatu unit kawasan hutan dapat ditaksir
menggunakan beberapa cara, diantaranya berupa penaksiran potensi produksi di
Perum Perhutani khususnya tanaman jati telah dirumuskan sejak jaman pemerintah
Hindia Belanda yang dikeluarkan tahun 1938 atau dikenal sebagai instruksi ‘38. Pada
tahun 1974 disusun pedoman baru yaitu Pedoman Penyusunan Rencana Pengaturan
Kelestarian Hutan (RPKH) yang dikenal dengan Instruksi ‘74. Sistem pengaturan
kelestarian hasil di Perum Perhutani tersebut mengacu pada sistem pengaturan hasil
yang dikembangkan di Jerman (Rohman dkk, 2013). Penaksiran potensi produksi
dengan instruksi ‘38 dapat dilakukan untuk menaksir volume pohon pada umur akhir
daur (UAD). Instruksi ‘38 menerapkan konsep masa benah yang berkaitan dengan
masih adanya hutan alam jati miskin riap (HAJMR) pada saat itu dan kemudian dapat
diubah menjadi kelas hutan KU. Sedangkan penaksiran potensi produksi instruksi ‘74
dapat dilakukan untuk menaksir volume pohon pada umur rata-rata (UTR). Hal
tersebut dikarenakan struktur hutan didominasi oleh kelas umur (KU) muda dan kelas
hutan tidak produktif sehingga apabila diaksir pada umur akhir daur (UAD) dapat
menyebabkan terjadinya over cutting.
Metode penaksiran potensi produksi yang digunakan memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Instruksi ’38 memiliki kelebihan penaksiran potensi
produksi karena dilakukan berdasar pada akhir tahun sehingga dapat menggambarkan
volume maksimal yang mampu dihasilkan oleh tegakan tersebut, kelemahannya
berupa adanya kekosongan tebangan akibat dari susunan kelas hutan yang mulai tidak
normal, dan tegakan hanya akan ditebang pada akhir tahun. Sedangkan untuk
penaksiran potensi produksi instruksi ’74 memiliki kelebihan berupa tegakan dapat
ditebang lebih cepat, tidak harus pada akhir daur sehingga mampu mencegah
terjadinya over cutting, kelemahannya berupa kualitas kayu yang dihasilkan relatif
kurang maksimal karena belum mencapai akhir daur, serta tidak adanya faktor koreksi
atau resiko selama daur, dimana tanaman dianggap akan selalu tetap sampai akhir daur
(Rohman, 2008).
Pada pengelolaan hutan terdapat istilah over cutting yang merupakan kegiatan
penebangan berlebihan di bekas areal lahan maupun penebangan di luar jatah tebang
yang dimiliki sehingga dapat menyebabkan berkurangnya potensi hasil prodiktivitas
lahan (Sukardi, 2005). Sedangkan under cutting merupakan kegiatan penebangan
yang dilakukan kurang dari jatah tebang atau etat yang sudah ditentukan. Hal tersebut
dapat menyebabkan gangguang tindakan pasca panen dan dikhawatirkan dapat
menggangu produktivitas lahan yang akan datang.
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, didapatkan nilai rata-rata
umur; bonita; dan KBD tertinggi pada KU IX yaitu 81 tahun; KU IX 3,5; dan KU III
0,911424. Nilai rata rata bonita tertinggi didapat pada KU IX artinya tapak di KU
tersebut kualitasnya yang paling bagus dibanding kualitas tapak di KU lainnya. Nilai
KBD rerata tertinggi terdapat pada KU III karena KBD dipengaruhi oleh jumlah
individu pohon dan luas wilayah. Semakin banyak jumlah individunya dan semakin
besar luas KUnya, semakin tinggi pula nilai KBDnya maka jumlah pohon dalam KU
tersebut paling banyak daripada KU lainnya, dan luas areanya paling besar di antara
KU lainnya.
Dari rata-rata umur, bonita, dan KBD tersebut dapat diketahui etat luas dan etat
volume setelah dilakukan interpolasi sesuai dengan I’38 dan I’74. Nilai etat luas pada
kedua instruksi tersebut memperlihatkan hasil yang sama yaitu 75.262 ha/tahun. Hal
ini disebabkan karena ada pengaruh luas pembuatan plot serta perbedaan lama rotasi
yang digunakan pada kawasan hutan tersebut. Namun, nilai etat volume pada kedua
instruksi tersebut berbeda, I’74 menghasilkan etat 327.5865855 m3/tahun, sedangkan
I’38 menghasilkan etat 387.138001 m3/tahun. Perbedaaan hasil etat volume tersebut
disebabkan karena adanya perbedaan umur tegakan yang digunakan dalam
perhitungan; dengan begitu perbedaan volume pohon yang diolah juga akan berbeda.
Begitu juga metode pengambilan data yang digunakan di lapangan yang, dapat
memengaruhi perbedaan nilai etat volumenya. Beberapa faktor yang dapat
menimbulkan kerusakan hutan sebagian besar telah menyebabkan adanya tegakan
yang didominasi oleh kelas umur muda (kelas umur I dan II), yang dapat berimbas
pada kesiapan tegakan ditebang (Simon, 2000).
VI. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Perkembangan cara penetapan etat berdasarkan perkembangan struktur
tegakannya dapat dilakukan dengan penaksiran potensi produksi berdasarkan
instruksi 1938 dengan menerapkan konsep masa benah dan menaksir volume
pohon pada umur akhir daur (UAD), dan instruksi 1974 dengan menaksir
volume pada umur tebang rata-rata (UTR).
2. Didapatkan hasil perhitungan etat luas yang sama dengan kedua instruksi baik
instruksi 1938 dan 1974 yaitu 75.262 ha/tahun, sedangkan untuk etat volume
instruksi 1938 sebanyak 387.138001 m3/tahun dan instruksi 1974 sebanyak
327.5865855 m3/tahun, semuanya dihitung dengan daur 60 tahun.
3. Instruksi ’38 memiliki kelebihan penaksiran potensi produksi karena dilakukan
berdasar pada akhir tahun sehingga dapat menggambarkan volume maksimal
yang mampu dihasilkan oleh tegakan tersebut, kelemahannya berupa adanya
kekosongan tebangan akibat dari susunan kelas hutan yang mulai tidak normal,
dan tegakan hanya akan ditebang pada akhir tahun. Sedangkan untuk
penaksiran potensi produksi instruksi ’74 memiliki kelebihan berupa tegakan
dapat ditebang lebih cepat, tidak harus pada akhir daur sehingga mampu
mencegah terjadinya over cutting, kelemahannya berupa kualitas kayu yang
dihasilkan relatif kurang maksimal karena belum mencapai akhir daur, serta
tidak adanya faktor koreksi atau resiko selama daur, dimana tanaman dianggap
akan selalu tetap sampai akhir daur.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, L. dan Darwo. (2015). Model Riap Tegakan Hutan Alam Produksi di Pulau
Buru- Maluku. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 2(1), 1-10.
Cahyadi, S. A., Ichwandi, & Dodik, R. (2015). Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan
Penggunaan Kawasan Hutan Dengan Kompensasi Lahan di Provinsi Jawa
Barat. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 2(2), 159-169.
Chotimah, Wasis, & Rachmat. (2020). Populasi Makrofauna, Mesofauna dan Tubuh
Buah Fungi Ektomikoriza pada Tegakan Shorea leprosula di Hutan Penelitian
Gunung Dahu Bogor. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 17 (1),
79-98.
Osmaston FC. (1968). The Management of Forest. George Allen and Unwin Ltd.
London
Purwanto, R. H dan Sisfanto, N. (2014). Pengaturan Kelestarian Hasil Hutan Kayu:
Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Rohman. (2008). Kajian Casualty Per Cent dalam Perhitungan Etat Hutan Tanaman
Jati Perum Perhutani. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, XIV(1), 54-62.
Rohman, R., Warsito, S. P., Purwanto, R. H., & Supriyatno, N. (2013). Normalitas
tegakan berbasis resiko untuk pengaturan kelestarian hasil hutan tanaman jati
di Perum Perhutani. Jurnal Ilmu Kehutanan, 7(2), 81-92.

Anda mungkin juga menyukai