Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM

PERENCANAAN SUMBERDAYA HUTAN


ACARA III
PENGUJIAN JANGKA WAKTU PENEBANGAN (JWP)
DAN PENYUSUNAN BAGAN TEBANG SELAMA DAUR (BTHSD)

Disusun oleh :

Nama : Yoland Windy Astika

NIM : 19/440049/KT/08934

Co ass : Mustika Novia R.

Shift : Jum’at, 13.00 WIB

LABORATORIUM PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUTAN


LABORATORIUM SISTEM INFORMASI SPASIAL DAN PEMETAAN HUTAN
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
ACARA III
PENGUJIAN JANGKA WAKTU PENEBANGAN (JWP)
DAN PENYUSUNAN BAGAN TEBANG SELAMA DAUR (BTHSD)

I. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Melaksanakan pengujian JWP untuk mengetahui perkiraan etat yang ditetapkan
telah benar atau perlu diperbaiki.
2. Memahami kepentingan pembuatan bagan tebang habis selama daur (BTHSD) dan
menyajikan bagan tebang habisnya.
3. Menyampaikan argumentasi dan pertimbangan yang dipakai dalam menyusun
BTHSD, serta menganalisis kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalamnya.

II. CARA KERJA


Berikut langkah-langkah yang dilakukan pada praktikum ini:
1. Tahap Pengujian JWP

Dilakukan pengujian MR

Dilakukan pengujian tiap KU

Dilakukan revisi perhitungan JWP apabila JWP kumulatif menyimpang jauh dari
daur

Deskripsi :
Dilakukan penentuan JWP Kelas Hutan MR dengan membagi volume MR dengan etat
volume. Selanjutnya dilakukan pengujian tiap KU. Pengujian dilakukan dengan:
1. Menentukan umur siap tebang masing-masing kelas
2. Menentukan JWP masing-masing kelas hutan berdasarkan etat luas.
3. Menentukan umur tebang rata-rata pada masing-masing kelas hutan.
4. Menentukan volume total masing-masing kelas hutan menurtu umur rata-
rata tertimbang (UTRL).
5. Menentukan JWP masing-masing kelas hutan bersdasarkan etat volume.

Apabila JWP kumulatif menyimpang dari daur maka dilakukan revisi perhitungan
JWP hingga tidka menyimpang jauh dari daur. Revisi perhitungan JWP dilakukan
dengan menghitung volume total pada UTR baru. Kemudian menentukan JWP
berdasarkan etat volume dan yang terakhir menentukan UTR menurut etat volume.
Apabila nilai selisih UTRV1-URV (mutlak) kurang dari sama dengan 0,175.

2. Penyusunan BTHSD

Data luas dan volume yang telah diperoleh dari perhitungan JWP digunakan

Dilakukan penyusunan BTHSD luas

Dilakukan penyusunan BTHSD volume

Deskripsi :
Penyusunan BTHSD dilakukan dengan membuat tabel bantu terlebih dahulu
yang berisi kelas hutan, luas dan volume. Terdapat 7 jangka yang diperoleh dari daur
dibagi 10 ( 1 jangka). Pehirungan BTHSD luas dilakukan dengan membagi luas kelas
hutan dengan total luas 1 jangka sama dengan etat luas dikali 10, sedangkan volume
berfluktuatif. Pada BTHSD volume dilakukan dengan membagi volume kelas hutan
sesuai tabel dengan total volume 1 jangka sama dengan etat volume dikali 10,
sedangkan volume berfluktuatif. Kemudian dilanjutkan perhitungan ATP.
Menggunakan ATP mandor dengan rumus 10x12(PK madnor)x9(jumlah RPH) dan
luas hutan tidak prooduktif.

III. ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Alat tulis
2. Kalkulator/komputer

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. File PDE Getas Ngandong


2. Tabel WvW
3. Data taksiran potensi produksi berdasarkan instruksi’74 yang telah diperoleh
pada acara 2

IV. DATA
Dari praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil data sebagai berikut:
Terlampir
V. PEMBAHASAN
JWP atau jangka waktu penebangan merupakan lama waktu dalam satuan
tahun untuk menghabiskan stok tebangan pada satu unit kawasan hutan. JWP
diperlukan untuk mengatur kelestarian hasil hutan sesuai dengan kapasitas
kemampuan maksimum dari hutan tersebut. Penebangan adalah suatu kegiatan
pemanenan pohon yang sudah memenuhi kriteria pohon yang tepat untuk ditebang
pada suatu wilayah hutan (Wulan and Rezekiah, 2020). Jangka Waktu Penebangan
(JWP) adalah waktu (dalam tahun) yang diperlukan untuk menghabiskan stock
tebangan pada suatu unit Kawasan hutan. Apabila volume tebangan setiap tahun
adalah sebesar etat tebangannya, maka JWP akan sama dengan daur. Apabila volume
tebangan tiap tahun melebihi etat tebangannya maka akan terjadi over cutting dan
stock tebangan akan habis sebelum akhir daur. Dalam artian lain, nilai JWP berada di
bawah daur. Penentuan daur dilakukan menentukan jangka waktu di mana semua
bagian hutan mengalami satu kali penebangan. Untuk tanaman jati daur hutan
biasanya ditetapkan 80 tahun (Nurkholifah and Kasuma, 2017) namun dalam
praktikum ini digunakan daur 60 tahun.
Fungsi JWP adalah untuk menuji kelestarian produksi selama daur
berdasarkan luas tegakan produksi yang ada serta besdasarkan potensi produksi dari
masing-masing petak. Jika dalam pengujian kumulatif tahun-tahun penebangan
selama daur terdapat perbedaan yang nyata maka etat massa yang tealah didapat
dikoreksi dan untuk diuji lagi pada JWP (cutting test time) berikutnya sampai
perbedaan yang terjadi kurang dari 2 tahun (Departemen Kehutanan, 1997).
Dari praktikum ini, terdapat 9 kelas hutan yaitu KU I—IX dan MR. Dilakukan
uji JWP sebanyak 2 kali dengan revisi etat karena pada pengujian JWP pertama nilai
JWP kumulatif berada di bawah batas toleransi (± 2,5% dari daur). Dari revisi etat
diperoleh nilai JWP kumulatif untuk seluruh kelas hutan 59.49701872 tahun yang
masuk dalam batas toleransi seperti yang dapat dilihat pada tabel 2 etat revisi.
Dikarenakan nilai JWP kumulatif sudah berada dalam batas toleransi maka nilai etat
tersebut dapat langsung digunakan untuk perhitungan selanjutnya. Nilai JWP tersebut
jika dikaitkan dengan daur maka dapat dikatakan menguntungkan karena tidak
berbeda jauh dengan daur sebesar 60 tahun. Jika terdapat 6 jangka tiap jangka sebesar
10 tahun maka tegakan akan tersisi sedikit sebelum masa daur selesai.
Setelah perhitungan JWP dilakukan perhitungan penyusunan Bagan Tebang
Habis Selama Daur (BTHSD) dengan pengaturan volume per jangka dibuat tetap dan
luas per jangka dibuat tetap. Rencana pengaturan pemanenan yang termuat dalam
Bagan Tebang Habis Selama Daur (BTHSD) sebenarnya mencerminkan bagaimana
struktur luas hutan akan dibentuk pada akhir daur (jangka panjang). Luas tebangan
tiap jangka umumnya dibuat hampir sama dengan harapan luas tegakan untuk berbagai
umur juga akan relatif sama. Dengan kata lain, struktur luas tegakan hutan yang akan
dibentuk pada akhir daur diharapkan mendekati keadaan hutan normal (Rohman dkk,
2013).
Pada tabel 4 dilakukan analisis BTHSD dengan luas per jangka tetap dengan
etat luas sebesar 752.62 ha/tahun atau 75.262 ha selama 1 jangka. Dari perhitungan
tabel dapat dilihat bahwa MR, KU IX—KU IV habis pada jangka pertama. Pada
jangka berikutnya sisa dari KU III. Jangka 3 hingga 5 hanya diisi dengan KU II. Jangka
berikutnya terdiri dari sisa KU II dan ditambah dengan KU II. Sementara untuk jangka
6 terdiri dari sisa KU I. Untuk total penebangan volume yang dilakukan secara urut
dari jangka 1 sampai 6 adalah 4055.90 m3; 3189.68 m3; 3046.82 m3; 3046.82 m3;
3046.82 m3; dan 3364.50 m3 atau 19750.53 m3 secara keseluruhan dari 6 jangka yang
ada. Sedangkan luas total penanaman yang diperoleh adalah 5749.70 ha.
Pada tabel 5 dilakukan analisis dengan BTHSD dengan volume per jangka
tetap dengan etat volume sebesar 329.18 m3/tahun atau 3291.754712 m3 selama 1
jangka. Dari perhitungan tabel dapat dilihat bahwa MR, KU IX—KU IV habis pada
jangka pertama. Pada jangka kedua diisi dari sisa KU III, pada jangka berikutnya
hingga jangka 5 diisi dengan sisa dari KU II. Jangka 6 terdiri dari sisa KU II dan
ditambah dengan KU I hingga habis. Untuk jumlah etat luas urut dari jangka 1 adalah
603.49 ha; 738.21 ha; 813.12 ha; 813.12 ha; 813.12 ha; dan 734.65 ha atau 4515.72
ha secara keseluruhan. Sedangkan luas total penanaman perjangka yang diperoleh
adalah 5749.70 ha.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas kelas hutan akan habis pada
jangka pertama dan hanya menyisakan kelas hutan yang dibagi 5 jangka berikutnya.
Hal ini diakibatkan oleh kelas hutan tua yang sudah terlebih dahulu ditebang atau mati
sehingga hanya menyisakan luasan yang sedikit. Sedangkan pada kelas hutan muda,
masih terdapat luasan yang besar karena merupakan tegakan yang relative baru
ditanam dan belum mengalami penjarangan, penebangan, dan sebagainya sehingga
masih memiliki luasan yang mendominasi.
Perhitungan menggunakan metode tabel 4 akan memberikan gambaran yang
jelas mengenai luasan tebangan untuk tiap kelas hutan tiap jangka dengan luasan yang
sama. Namun volume tiap jangka akan fluktuatif karena kerapatan tiap kelas hutan
akan berbeda sehingga volume juga akan bervariasi. Hal ini dapat berakibat pada
estimasi volume yang tidak mecapai target. Sedangkan perhitungan menggunakan
metode tabel 5 akan memberikan volume yang sama untuk tiap jangka namun luasan
akan berfluktuatif. Hal ini dapat berakibat pada biaya dan tenaga penebangan yang
berbeda-beda karena luasan juga akan berbeda tiap jangka mengikuti jumlah volume.
Selain uji JWP dan BTHSD dilakukan juga perhitungan luasan ATP. Luasan
ATP ditentukan oleh luasan Kawasan tidak produktif. Terdapat tiga luasan tidak
produktif, yaitu:
a. Lapangan Tebang Habis Jangka Lampau (LTJL) adalah keadaan dimana tanah
bekas tebang habis suatu jangka yang belum ditanami hingga jangka berikutnya.
Lahan hutan pasca pemanenan menjadi gundul dan berdampak langsung pada
kerusakan lingkungan diantaranya adalah bencana banjir, tanah longsor, dan erosi.
Disamping itu, habitat flora dan fauna juga terganggu sehingga memutus siklus
rantai makanan yang mengakibatkan meningkatnya serangan hama tanaman di
lahan sekitar hutan (Barok dkk, 2018);
b. Tanak kosong (TK) meliputi lapangan yang gundul atau yang hampir gundul
(padang rumput, hutan belukar, dan sebagainya) yang dapat dianggap akan
memberi permudaan hutan yang berhasil baik di kemudian hari setelah ditanami
dengan jati;
c. Tanaman Kayu Lain (TKL) yang meliputi tanaman kayu lain yang dibuat pada
tempat-tempat dimana jati tidak dapat tumbuh dan yang tidak akan dipertahankan
(Kusumawati, 2019).

ATP mandor yang diperoleh adalah 600 yang merupakan hasil dari perkalian
PK mandor dikali Jangka dan Jumlah RPH serta luas tidak produktif dari TK, TKL,
dan LTJL adalah 1233.98 ha. Luas ATP terdapat pada jangka 1, 2, 4 dan 4 di tabel 4
dan di semua jangka pada tabel 5. Hal ini berarti bahwa dibutuhkan 4 jangka dan 6
jangka atau kurang lebih 40 - 60 tahun untuk menanami bagian luas hutan yang tidak
produktif. Waktu yang diperlukan tersebut relatif banyak karena membutuhkan waktu
daur untuk menghijaukan kawasan tidak produktif.
VI. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
a. Pengujian Jangka Waktu Penebangan (JWP) dilakukan dengan penjumlahan
UTRV dan UTRL yang harus berada di bawah 0,175. Dilakukan dua kali uji JWP
dengan JWP kumulatif 59.49701872 ha/tahun yang sudah memenuhi batas
toleransi.
b. BTHSD digunakan untuk untuk memetakan dan merencanakan langkah
penebangan yang akan diambil berdasarkan hasil perhitungan. Terdapat 6 jangka
dengan tiap jangka selama 10 tahun. Pada BTHSD dengan luasan tetap diperoleh
etat luas sebesar 752.62 ha/tahun atau 75.262 ha selama 1 jangka dengan jumlah
penebangan seluas 4515.72 ha. Sedangkan pada BTHSD dengan volume tetap
diperoleh luas etat volume sebesar 329.18 m3/tahun atau 3291.754712 m3 selama
1 jangka dengan jumlah penebangan sebesar 19750.53 ha.
c. Dipilih perhitungan BTHSD menggunakan metode volume tetap karena dirasa
memiliki kerugian yang lebih ringan dan dapat diatasi. Meskipun akan diperoleh
jumlah luas yang bervariasi namun dari hasil perhitungan diperoleh dapat
diketahui bahwa nilai tersebut tidak jauh berbeda seperti pada perhitungan
menggunakan metode luas tetap. Pada metode volume tetap interval total luas
perjangka hanya 200 ha - 4800 ha sedangkan pada metode luas tetap total interval
total volume perjangka diantara 80 ribu m3 hingga 1 juta 300 ribu m3. Perbedaan
jumlah luas tersebut dapat diatas dengan penetapkan luas maksimal pada
penebangan perjangka untuk meminimalisir pembengkan biaya dan kebutuhan
tenaga kerja.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Barok, A.H., Muktiningsih, M. and Vivanti, D. (2018). Hubungan Komitmen
dan Tanggung Jawab Lingkungan Terhadap Kinerja Pengelolaan Hutan
Pada Program Reboisasi. Jurnal Green Growth dan Manajemen
Lingkungan, 7(2):91—100.
Departemen Kehutanan. (1997). Handbook of Indonesian Forestry. Koperasi
Karyawan Departemen Kehutanan Republik Indonesia: Jakarta.
Kusumawanti, Indah. (2019). Evaluasi Perubahan Kelas Hutan Produktif Tegakan Jati
(Tectona grandis L.f.) Di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian.
Nurkholifah, I. and Kasuma, G. (2017). Pengelolaan Hutan Jati di Blora (1897-1942).
Doctoral dissertation. Universitas Airlangga.
Rohman, R., Warsito, S.P., Purwanto, R.H. and Supriyatno, N. (2013).
Normalitas Tegakan Berbasis Resiko untuk Pengaturan Kelestarian
Hasil Hutan Tanaman Jati di Perum Perhutani. Jurnal Ilmu Kehutanan,
7(2) : 81 - 92.
Wulan, D.R., Itta, D. and Rezekiah, A.A. (2020). Analisis Waktu Efektif
Penebangan Jenis Akasia (Acacia mangium) Di Areal Iuphhk-Ht Pt
Inhutani Ii Pulau Laut Kalimantan Selatan. Jurnal Sylva Scienteae, 3(1):
104 - 111.

Anda mungkin juga menyukai