Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling bersinergi untuk
menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ yang berperan penting dalam
melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini adalah suatu lapisan vaskular pada mata yang
dilindungi oleh kornea dan sklera disebut uvea (Ilyas, 2005; Vaughan et all, 2000).
Uvea terdiri atas 3 struktur; iris, badan siliar, dan koroid. Iris merupakan bagian yang paling
depan dari lapisan uvea. Iris disusun oleh jaringan ikat longgar yang mengandung pigmen dan
kaya akan pembuluh darah. Korpus siliaris (badan siliaris) adalah struktur melingkar yang
menonjol ke dalam mata terletak di antara ora serrata dan limbus. Struktur ini merupakan
perluasan lapisan khoroid ke arah depan. Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara
retina dan sklera. Khoroid merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah dan
sel-sel pigmen sehingga tampak berwarna hitam (Jusuf, 2003).
Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea
(iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang
tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya
peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina,
sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya. Sehingga kadang gejala yang dikeluhkan
pasien mirip dengan penyakit mata yang lain. Adapun gejala yang sering dikeluhkan pasien
uveitis secara umum yaitu mata merah (hiperemis konjungtiva), mata nyeri, fotofobia,
pandangan mata menurun dan kabur, dan epifora (Ilyas, 2005; Jusuf, 2003; Vaughan et all,
2000).
Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun
parameter yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset,
dan perjalanan penyakit; karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi.
Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis sangat penting dilakukan untuk diagnosis dan
penanganan penyakit. Sehingga penanganan yang cost-efective dapat terlaksana (Farooqui,
Foster, dan Sheppard, 2008).


BAB II
PERADANGAN PADA UVEA (UVEITIS)


A. ANATOMI DAN FISIOLOGI UVEA
Mata sebagai organ penglihatan manusia, tersusun atas elemen-elemen yang memiliki
struktur yang berbeda-beda. Struktur yang dimiliki oleh masing-masing elemen menunjang
fungsi dari elemen tersebut dalam fisiologis penglihatan manusia. Salah satu elemen mata
manusia adalah uvea yaitu suatu lapisan vaskular tengah mata yang membungkus bola mata dan
dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea terdiri atas 3 unsur yaitu iris, badan siliar, dan koroid
(Ilyas, 2005; Vaughan et all, 2000).
Gambar 1. Anatomi bola mata

Iris (Iris, pelangi)
Iris merupakan bagian yang paling depan dari lapisan uvea. Struktur ini muncul dari badan
siliar dan membentuk sebuah diafragma di depan lensa. Iris juga memisahkan bilik mata depan
dan belakang. Celah di antara iris kiri dan kanan dikenal sebagai pupil.
Iris disusun oleh jaringan ikat longgar yang mengandung pigmen dan kaya akan pembuluh
darah. Permukaan depan iris yang menghadap bilik mata depan (kamera okuli anterior)
berbentuk tidak teratur dengan lapisan pigmen yang tak lengkap dan sel-sel fibroblas. Permukaan
posterior iris tampak halus dan ditutupi oleh lanjutan 2 lapisan epitel yang menutupi permukaan
korpus siliaris. Permukaan yang menghadap ke arah lensa mengandung banyak sel-sel pigmen
yang akan mencegah cahaya melintas melewati iris. Dengan demikian iris mengendalikan
banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata dan cahaya akan terfokus masuk melalui pupil
(Jusuf, 2003; Vaughan et all, 2000).
Pada iris terdapat 2 jenis otot polos yaitu otot dilatator pupil dan otot sfingter/konstriktor
pupil. Kedua otot ini akan mengubah diameter pupil. Otot dilatator pupil yang dipersarafi oleh
persarafan simpatis akan melebarkan pupil, sementara otot sfingter pupil yang dipersarafi oleh
persarafan parasimpatis (N. III) akan memperkecil diameter pupil (Guyton, 1997; Vaughan et
all, 2000).
Jumlah sel-sel melanosit yang terdapat pada epitel dan stroma iris akan mempengaruhi warna
mata. Bila jumlah melanosit banyak mata tampak hitam, sebaliknya bila melanosit sedikit mata
tampak berwarna biru (Jusuf, 2003).


Badan Siliaris (Korpus siliaris)
Korpus siliaris (badan siliaris) adalah struktur melingkar yang menonjol ke dalam mata
terletak di antara ora serrata dan limbus. Struktur ini merupakan perluasan lapisan khoroid ke
arah depan. Korpus siliar disusun oleh jaringan penyambung jarang yang mengandung serat-serat
elastin, pembuluh darah dan melanosit.
Badan siliaris membentuk tonjolan-tonjolan pendek seperti jari yang dikenal sebagai
prosessus siliaris. Dari prosessus siliaris muncul benang-benang fibrillin yang akan berinsersi
pada kapsula lensa yang dikenal sebagai zonula zinii (Jusuf, 2003).
Korpus siliaris dilapisi oleh 2 lapis epitel kuboid. Lapisan luar kaya akan pigmen dan
merupakan lanjutan lapisan epitel pigmen retina. Lapisan dalam yang tidak berpigmen
merupakan lanjutan lapisan reseptor retina, tetapi tidak sensitif terhadap cahaya. Sel-sel di
lapisan ini akan berfungsi sebagai pembentuk humor aqueaeus (mengeluarkan cairan filtrasi
plasma yang rendah protein ke dalam bilik mata belakang (kamera okuli posterior)) (Vaughan et
all, 2000).
Humor aqueaeus mengalir dari bilik mata belakang (kamera okuli posterior) ke bilik mata
depan (kamera okuli anterior) melewati celah pupil (celah di antara iris dan lensa), lalu masuk ke
dalam jaringan trabekula di dekat limbus dan akhirnya masuk ke dalam kanal Schlemm. Dari
kanal Schlemm humor aqueaeus masuk ke pleksus sklera dan akhirnya bermuara ke sistem vena
(Vaughan et all, 2000).
Korpus siliar mengandung 3 berkas otot polos yang dikenal sebagai muskulus siliaris.
Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudina, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat
sirkulaer adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-
lembah di antara processus siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga
lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk obyek berjarak dekat maupun yang berjarak
jauh dalam lapangan pandang Serat-serat longitudinal muskulus siliaris menyisip ke dalam
anyaman-anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar pori-porinya (Guyton dan Hall, 1997;
Vaughan et all, 2000).

Khoroid (choroid)
Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Khoroid merupakan
lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah dan sel-sel pigmen sehingga tampak
berwarna hitam. Lapisan ini tersusun dari jaringan penyambung jarang yang mengandung serat-
serat kolagen dan elastin, sel-sel fibroblas, pembuluh darah dan melanosit. Khoroid terdiri atas 4
lapisan yaitu (Vaughan et all, 2000):
1. Epikhoroid merupakan lapisan khoroid terluar tersusun dari serat-serat kolagen dan elastin.
2. Lapisan pembuluh merupakan lapisan yang paling tebal tersusun dari pembuluh darah dan
melanosit.
3. Lapisan koriokapiler, merupakan lapisan yang terdiri atas pleksus kapiler, jaring-jaring halus
serat elastin dan kolagen, fibroblas dan melanosit. Kapiler-kapiler ini berasal dari arteri
khoroidalis. Pleksus ini mensuplai nutrisi untuk bagian luar retina.
4. Lamina elastika, merupakan lapisan khoroid yang berbatasan dengan epitel pigmen retina.
Lapisan ini tersusun dari jarring-jaring elastik padat dan suatu lapisan dalam lamina basal yang
homogen.

B. DEFINISI, ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI PERADANGAN UVEA (UVEITIS)
Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea
(iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa uvea
merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat
memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen
mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya.
Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui secara pasti sehingga patofisiologi yang pasti
dari uveitis juga belum diketahui. Secara umum, uveitis dapat disebabkan oleh reaksi imunitas.
Uveitis sering dihubungkan dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun,
postulat reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat melukai
sel dan pembuluh darah uvea.
Uveitis juga dapat ditemukan dengan hubungannya dengan kelainan autoimun, seperti SLE
(Systemic Lupus Erythematosus) dan Rheumatoid Arthritis (RA). Pada kasus ini, uveitis dapat
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan penimbunanan kompleks imun pada
jaringan uvea.
Penyebab ganda telah dibuktikan menyebabkan terjadinya uveitis anterior. Kebanyakan tipe
uveitis anterior merupakan reaksi peradangan steril, dimana hal inilah yang membedakan dengan
uveitis posterior yang sering disebabkan oleh infeksi. Persentase terjadinya uveitis anterior
idiopatik antara 38-70% dari seluruh kejadian uveitis anterior. Kemudian penyebab terbanyak
kedua adalah terjadinya onset akut (HLA)-B27 positif atau HLA-B27 yang berhubungan dengan
penyakit tertentu.

C. KLASIFIKASI PERADANGAN UVEA (UVEI TI S)
Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun
parameter yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset,
dan perjalanan penyakit; karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi.
Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis sangat penting dilakukan untuk diagnosis dan
penanganan penyakit. Sehingga penanganan yang cost-efective dapat terlaksana. Adapun
klasifikasi dari uveitis antara lain (Ilyas dkk, 2002):
1. Lokasi utama dari bercak peradangan :
Klasifikasi yang paling sering digunakan pada uveitis adalah klasifikasi dari The International
Uveitis Study Group (IUSG) yang dipublikasikan pada tahun 1987. Sedangkan lokasi anatomi
dari proses inflamasi adalah salah satu tanda penting bagi proses patogenesis dan penanganan
dari uveitis. Klasifikasi IUSG berdasarkan lokasi anatomi dari inflamasi yaitu:
gambar 2. Pembagian uveitis berdasarkan tempat peradangan yang terjadi

a. Uveitis anterior
Uveitis anterior; meliputi iritis, iridosiklitis dan siklitis anterior; yaitu peradangan intraokular
yang paling sering terjadi. Uveitis anterior dapat terjadi apabila terjadi peradangan pada segmen
anterior bola mata. Berdasarkan data epidemiologi, kebanyakan dari pasien uveitis tidak
memiliki gejala sistemik yang terkait dengan uveitis, namun 50% pasien mengalami peradangan
yang disebabkan oleh trauma, dan paling sering disebabkan oleh sindrom idiopatik postviral
(Sindrom HLA-B27, herpes simpleks, dan herpes zoster, Fuchs heterochromic iridocyclitis, dan
beberapa penyakit arthritis lainnya). Penyakit sekunder iatrogenik sering ditemukan post operasi,
komplikasi pembedahan, implant sklera, transplantasi kornea, distrupsi kapsula, atau fixed haptic
dan implantasi lensa intraokular yang difiksasi dengan iris.
Penyebab Uveitis anterior
Autoimun:
- Artritis rheumatoid juvenilis - Uveitis terinduksi-lensa
- Spondilitis ankilosa - Sarkoidosis
- Sindrom reiter - Penyakit chron
- Kolitis ulserativa - Psoriasis
Infeksi:
- Sifilis - Herpes simpleks
- Tuberkulosis - Onkoserkiasis
- Lepra (morbus Hensen) - Adenovirus
- Herpes Zoster
Keganasan:
- Sindrom masquerade - Limfoma
- Retinoblastoma - Melanoma maligna
- Leukemia
Lain-lain:
- Idiopatik - Iridosiklitis heterokromik Fuchs
- Uveitis traumatika - Gout
- Ablatio retina - Krisis galukomatosiklitik

Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia, epifora, gatal yang dalam dan
tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya. Gejala akan memburuk apabila terpapar
cahaya sehingga pasien sering datang ke pasien dengan mengenakan kacamata. Epifora yang
terjadi dihubungkan dengan peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar airmata, dan tidak ada
hubungannya dengan sensasi benda asing yang dirasakan.
Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih lebih baik,
walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya akomodasi menjadi lebih sulit dan
tidak nyaman. Inspeksi difokuskan pada kongesti palpebra ringan hingga sedang dan
menyebabkan pseudoptosis. Kadang dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan
sklera, walaupun konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan
slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit endotel berwarna
coklat keabu-abuan yang disebut keratic precipitates (KP).
Gambar 3. Keratic precipitates (KP)
Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit (hipopion); dan
flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar yang meradang; dan dapat ditemukan
pada kamera okuli anterior sehingga kamera okuli anterior tampat kotor dan berkabut). Iris dapat
mengalami perlengketan dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang dapat terjadi
perlengketan dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan kadang terlihat nodul
granulomatosa pada stroma iris.
Gambar 4. Kanan: sinekia posterior, Tengah: fler, dan kiri : hipopion

Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan siliar. Namun saat
reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi pada trabekulum. Apabila debris
ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar menghasilkan sekresi yang normal maka dapat
terjadi peningkatan tekanan intraokular dan menjadi glaukoma uveitis sekunder.

b. Uveitis intermediate
Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea anterior atau
posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona intermediate mata. Ini terutama terjadi
pada orang dewasa muda dengan keluhan utama melihat bintik-bintik terapung di dalam
lapangan penglihatannya. Pada kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada perbedaan
distribusi antara pria dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia.
Pasien mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter melihat adanya
kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan oftalmoskop.
Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat beberapa sel di
kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinechia posterior dan anterior. Sel radang lebih besar
kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau di vitreus anterior pada pemeriksaan dengan
slit-lamp. Sering timbul katarak subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering menampakan
kekeruhan tipis bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin menyatu, sering
menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis, yaitu terlihat adanya
selubung perivaskuler pada pembuluh retina.
Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik dalam waktu 5
sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular kistoid dan parut makular
permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi pelepasan
membran-membran siklitik dan retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang
terjadi.
Penyebabnya tidak diketahui. Kortikosteroid adalah satu-satunya pengobatan yang menolong
namun hanya dipakai pada kasus yang berat, terutama bila penglihatan menurun sekunder akibat
edema makular. Mula-mula dipakai kortikosteroid topikal, namun jika gagal suntikan subtenon
atau retrobulber dengan kortikosteroid mungkin efektif. Pengobatan demikian meningkatkan
resiko timbulnya katarak. Untungnya pasien-pasien ini menyembuh setelah operasi katarak.

c. Uveitis posterior
Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi koroiditis,
korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol), retinokoroiditis (bila peradangan
retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis disseminta. Kebanyakan kasus uveitis posterior
bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali
dapat ditegakkan berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) cara onset dan perjalanan penyakit, (3)
hubungannya dengan penyakit sistemik.
Penyebab uveitis posterior
1.Penyakit infeksi
a. Virus: CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, virus defisiensi imun
manusia HIV), virus eipstein Barr, virus coxsackie, nekrosis retina akut.
b. Bakteri: Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemic
Nocardia, Mycobacterium avium-intracellulare, Yarsinia, dan borella (penyebab
penyakit Lyme).
c. Fungus: Candida, histoplasma, Cryptococcus, dan aspergillus
d. Parasit: Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan onchocerca
2. Penyakit Non Infeksi:
a. Autoimun:
- Penyakit Behcet - Oftalmia simpleks
- Sindrom vogt-koyanagi-Harada - Vaskulitis retina
- Poliarteritis nodosa
b. Keganasan:
- Sarkoma sel reticulum - Leukemia
- Melanoma maligna - Lesi metastatik
c. Etiologi tak diketahui:
- Sarkoidosis - Retinopati birdshot
- Koroiditis geografik - Epiteliopati pigmen retina
- Epitelopati pigmen piakoid multifocal akut

Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan herpes.
Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti tuberkulosis, sarcoidosis,
penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom yang tidak biasa seperti korioretinitis
serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat timbul dengan toksoplasmosis, retinitis viral, limfoma,
atau sarkoidosis.
Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang menimbulkan
kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak pernah menimbulkan sel-sel
vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus dijelaskan. Lesi radang di segmen posterior
umumnya berawal tenang, namun ada yang disertai kekeruhan vitreus dan kehilangan
penglihatan secara tiba-tiba. Penyakit demikian biasanya disertai uveitis anterior, yang pada
gilirannya kadang-kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.
Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh sindrom samaran, seperti
retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior pada kelompok umur ini adalah
infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi rubella.
Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior termasuk
toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi sitomegalovirus, sindrom samaran,
panensefalitis sklerosis subakut, dan kurang penting, infeksi bakteri atau fungi pada segmen
posterior. Dalam kelompok umur 16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis diferensial
adalah toksoplasmosis, penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmitis
candida, dan kurang sering, infeksi bakteri endogen misalanya meningitis meningococcus.
Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis retina
akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma sel retikulum, atau kriptokosis.
Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat toksoplasmosis,
kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau infeksi bakteri endogen. Onset
uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen
posterior mata yang onset mendadak adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan
infeksi bakterial. Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat.

d. Uveitis difus atau panuveitis (peradangan pada kamera okuli anterior, vitreous, retina,
dan koroid)
Istilah uveitis difus merupakan kondisi terdapat infiltratnya sel kurang lebih merata dari
semua unsur di traktus uvealis atau dengan kata lain pada uveitis difus tidak memiliki tempat
peradangan yang predominan dimana peradangan merata pada kamera okuli anterior, vitreous,
dan retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis, dan vaskulitis retinal). Keadaan ini
seringnya disebabkan karena infeksi yang berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis
bakterial postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat
geografik secara khas tidak ada.

2. Berat dan perjalanan penyakit :
a. Akut
b. Sub-akut
c. Kronik
d. Rekurens
Berdasarkan berat dan perjalanan dari uveitis dapat dikategorikan menjadi akut, subakut,
kronis (> 3 bulan), dan rekurens. Misalnya, pada iritis (inflamasi iris) akut sering terjadi pada
dewasa muda. Gejala awal yang sering dirasakan adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia
(sensitif terhadap cahaya). Seringnya, pasien memiliki hubungan genetik dengan timbulnya iritis
akut seperti adanya riwayat anggota keluarga lain mengalami hal yang sama. Hubungan dengan
faktor genetik ini sering terjadi pada penyakit lain misalnya pada ankylosing spondylitis (arthritis
pada punggung bawah), penyakit inflamasi usus, dan psoriasis. Berdasarkan perjalanan penyakit,
terjadinya uveitis memerlukan waktu 2-6 minggu dan selalu muncul hanya pada satu mata.
Beberapa pasien dapat mengalami serangan 1-2 kali selama hidupnya, dan kadang ada yang
mengalami serangan berulang.
Contoh lain misalnya kronik iridosiklitis yang berhubungan dengan iris dan badan siliar
(struktur seperti kelenjar) dibelakang iris. Kronik iridosiklitis sering menunjukan gejala minimal
hingga keparahan yang mampu merusak mata. Penyakit sistemik yang sering menyebabkan
kronik iridosiklitis adalah anak-anak yang memiliki arthritis rheumatoid juvenile. Pada anak-
anak ini, khususnya gadis yang berusia 2-6 tahun, merupakan usia yang sangat berpotensial
untuk terjadinya kondisi ini. Banyak dari anak-anak ini tidak mengeluhkan gejala yang
berhubungan dengan penglihatan. Sehingga, sangat penting bagi dokter spesialis mata untuk
merujuk semua anak dengan arthritis rheumatoid juvenil ke dokter spesialis mata karena
iridosiklitis kronik dapat muncul beberapa tahun setelah arthritis rheumatoid juvenil timbul,
anak-anak yang memiliki riwayat seperti ini memerlukan check up periodik hingga usia remaja.

3. Berdasarkan patologinya :
a. Non-granulomatosa
Jenis uveitis non-granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan
berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, diduga peradangan ini adalah semacam fenomena
hipersensitivitas. Uveitis nongranulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni
iris dan korpus siliar. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel
plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuklear. Pada kasus berat dapat
terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior.
Pada bentuk non-granulomatosa onset khasnya akut, dengan rasa sakit, injeksi, fotofobia,
dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkum korneal yang disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (presipitat keratik/KP) pada permukaan posterior
kornea dapat dilihat dengan slitlamp atau dengan kaca pembesar. Pupilnya kecil dan mungkin
terdapat kumpulan fibrin dengan sel kamera okuli anterior. Jika terdapat sinekia posterior maka
pupil tampak tidak teratur.
Pasien harus ditanya tentang adanya riwayat arthritis dan kemungkinan terpajan terhadap
toksoplasmosis, histoplasmosis, tuberculosis, dan sifilis. Kemungkinan adanya fokus infeksi jauh
dalam tubuh harus pula dicari.
b. Granulomatosa
Sedangkan, uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh
organisme penyebab (misalnya. Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii).
Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan, dan diagnosis etiologik pasti jarang ditegakkan.
Kemungkinan-kemungkinan seringkali dapat dipersempit oleh pemeriksaan klinik dan
laboratorium. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian traktus uvealis namun
lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel raksasa yang dikelilingi
limfosit di daerah yang terkena. Deposit radang pada permukaan permukaan posterior kornea
terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis spesifik dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan histopatologis pada mata yang yang dikeluarkan dengan menemukan kista
toxoplasma, basil tahan asam tuberkulosis, spirochaeta pada sifilis, tampilan granuloma khas
pada sarkoidosis atau oftalmia simpatika, dan beberapa penyebab spesifik langka lainnya.
Pada uveitis granulomatosa (yang dapat menimbulkan uveitis anterior, uveitis posterior, dan
keduanya), biasanya onsetnya tidak kentara. Penglihatan menjadi kabur dan mata tersebut
memerah secara difus daearh sirkumkornea. Sakitnya minimal, dan fotofobianya tidak sama
berat dengan non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur karena
terbentuk sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar terlihat di permukaan posterior kornea
dengan slitlamp. Tampak kemerahan (flare) dan sel-sel di kamera anterior, dan nodul yang terdiri
atas kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (nodul koeppe). Nodul-nodul ini sepadan
dengan KP mutton fat. Nodul serupa diseluruh stroma iris disebut nodul busacca.
Gambar 5. Uveitis anterior dengan keratik presipitat mutton-fat
dan nodul Koeppe dan Busacca
Gambar 6. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan iris
dan sedikit mutton-fat pada aspek inferior

Lesi koroid dan retina yang aktif dan segar tampak sebagai bercak-bercak putih-kekuningan
samar-samar dengan oftalmoskop melalui corpus vitreum berkabut. Kasus posterior demikian
pada umumnya digolongkan sebagai penyakit granulomatosa. Karena retina dan koroid saling
melekat erat, retinanya hampir selalu ikut terkena (korioretinitis). Dalam proses penyembuhan,
kabut vitreus berangsur hilang, dan pigmentasi berangsur timbul di tepian bintik-bintik putih
kekuningan. Pada tahap sembuh, umumnya terdapat deposit pigmentasi yang cukup banyak. Jika
makula tidak terkena, kesembuhan penglihatan sentral umumnya sempurna. Pasien umumnya
tidak menyadari adanya skotoma di perifer lapangan pandang sesuai dengan daerah parut.


4. Demografi, lateralitas dan faktor penyerta :
a. Distribusi menurut umum
b. Distribusi menurut kelamin
c. Distribusi suku bangsa atau ras
d. Unilateral dan bilateral
e. Penyakit yang menyertai atau mendasari

5. Penyebab yang diketahui :
a. Bakteri : tuberkulosa, sifilis
b. Virus : herpes simpleks, herpes zoster, CMV, Penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, Sindrom Behcet.
c. Jamur : Kandidiasis
d. Parasit : Toksoplasma, toksokara
e. Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika
f. Penyakit sistemik : penyekit kolagen, arthritis rheumatoid, multiple sclerosis, sarkoidosis,
penyakit vaskuler.
g. Neoplastik : Limfoma, reticulum cell sarcoma
h. Lain-lain : AIDS

D. PENDEKATAN DIAGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEI TI S)
Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit itu. Misalnya,
karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis akan mengeluh sakit dan
fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak mengaburkan penglihatan kecuali bila prosesnya berat
atau cukup lanjut hingga mengeruhkan humor aqueous, kornea, dan lensa. Penyakit koroid
sendiri tidak menimbulkan sakit atau penglihatan kabur. Karena dekatnya koroid dengan retina,
penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina, penglihatan sentral akan terganggu. Vitreus
juga dapat menjadi keruh sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian koroid dan retina yang
merdang. Namun gangguan penglihatan proposional dengan densitas kekeruhan vitreus dan
bersifat reversible bila peradangan mereda. Adapun, secara umum pasien yang sedang
mengalami peradangan uvea akan mengeluhkan gejala-gejala umum sebagai berikut:
- Mata merah (hiperemis konjungtiva)
- Mata nyeri
- Fotofobia
- Pandangan mata menurun dan kabur
- Epifora
Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini bervariasi
dari gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal) hingga gejala berat,
fotofobia, dan hilang penglihatan yang berhubungan dengan injeksi yang muncul dan
hipopion. Faktor diluar gejala mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis uveitis
anterior. Onset, durasi, dan keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus diketahui.
Selain itu usia pasien, latar belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi pertimbangan.
Riwayat rinci dan review dari sistem merupakan pendekatan diagnosis yang berharga bagi
pasien dengan uveitis.
Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan
antara lain:
1. Pemeriksaan subyektif mata
a. Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam pengllihatan,
pemeriksaan gerakan bola mata.
b. Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan
c. Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal
2. Pemeriksaan obyektif mata
Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:
a. Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal
b. Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering ditemukan
pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat menuju arah limbus.
Hal inilah yang membedakannya dengan konjungtivitis yang terlihat injeksi semakin banyak
dengan arah menjauhi limbus.)
c. Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung kondisi dari
produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih dan merah.
d. Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.
e. pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung mengenai iris
yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya secara langsung mengenai iris
berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu:
- Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan beberapa
penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis.
- Pupil dalam kondisi miosis
3. Pemeriksaan funduskopi
4. Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp
a. Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus, atau benda
asing.
b. Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea
c. Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah putih pada
endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka diklasifikasikan ke dalam uveitis
nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak
(gambaran granula mutton-fat).
d. Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan kamera okuli
anterior tampak kotor.
e. Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada kamera okuli
anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:
- 0 tidak ditemukan
- +1 ditemukan dalam jumlah sedikit
- +2 ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)
- +3 iris dan lensa terlihat berkabut
- +4 intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi)

5. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan hubungan
etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan laboratorium ini tidak
dilakukan bila pasien mengalami uveitis nongranulomatosus unilateral untuk pertama kali
dan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang khas.
b. Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan uveitis rekurens, pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda khas maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium nonspesifik, seperti tes darah lengkap, dll.


E. PENANGANAN PERADANGAN UVEA (UVEI TI S)
Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting
penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli
spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau
darah merah pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan
kepada pasien.
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan
peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau
sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:
1. Pemberian Obat Anti Radang
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu dengan cara:
- Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat dari
fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi aktifitas sel B
dan sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan yang bukan
disebabkan karena infeksi.
- Mengurangi permeabilitas pembuluh darah
- Mengurangi pembentukan jarangan parut
Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis juga sangat
bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian dalam jumlah minimal untuk
mengontrol inflamasi harus diberikan untuk menurunkan peluang terjadinya komplikasi.
Initial dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa
ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan
tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan
setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam
08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada
malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal
sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat
digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu
dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis
tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk
mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang
sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam
darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat
penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian
obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg
prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid
lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis
fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:
- Menurunkan daya reaksi jaringan
- Mengaktifkan proliferasi bakteri
- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain
- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak
- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama
- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata
- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus
- Menambah kemungkinan infeksi jamur
- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri
Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi dan
pemberian jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan untuk uveitis kronik atau
uveitis yang mengancam penglihatan (menyebabkan kebutaan).
Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:
Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes. Tergantung dari
keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian bervariasi. Prednisolon
asetat 1% merupakan obat yang paling disukai namun karena persediaan berbentuk
precipitate, sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum digunakan. Kadang-
kadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular; sehingga pemakaian dalam jangka 4-6
minggu perlu dimonitor.
Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika mulai
dirasakan gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian terpai inisial selam 3-4 minggu
sebelum pemberian steroid jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
responsive terhadap kortikosteroid. Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam
transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi ocular dibandingkan dengan pemberian sub-
tenon. Namun pemberian injeksi ini tidak digunakan pada pasien dengan uveitis yang
infeksius atau skleritis karena penebalan sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.
Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:
1. Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan
2. Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya

Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:
- Prednisolone 1% (pred forte) steroid paling kuat dan merupakan drug of choice untuk
uveitis. Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan mendepresi migrasi dari
leukosit PMN dan menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah. Homatropine dapat
menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu prednisolone juga
tidak boleh digunakan pada pasien hipersensitif dengan prednisolone dan pasien sedang
mengalami infeksi jamur, virus, dan bakteri. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam
(dewasa). Prednisolone dapat meningkatkan tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan
katarak dalam pemakaian jangka panjang.

b. Obat anti inflamasi nonsteroid
Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi untuk
menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien memiliki kondisi kontra.
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang
sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat
intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan
sebagai life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada
keadaan hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive
purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis,
kehamilan. Termasuk ke dalam golongan antiinflamasi yang bersifat antilimfosit seperti
fenilbutazon, indometasin, salisilat, natrium diklofenak, dan golongan Non-Steroid Anti-
Infamasi Drugs (NSAIDs) yang lainnya .

2. Obat sikloplegia
Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil,
selain juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi.
Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.
Contoh obat sikloplegia:
- Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek maksimal
dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal
kembali 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek samping seperti nadi
cepat, demam, merah, dan mulut kering.
- Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan
midriasis setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun efek ini
dapat menurun pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada uveitis
dibandingkan siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan
kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada pasien yang
mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan siklopentolate.
Dosis yang digunakan yaitu cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).
- Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan midriasis
setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk sikloplegia dan 6
jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of choice yang sering digunakan
pada uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.
Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaucoma
sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu
1 gtt 3dd (dewasa).

Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak responsif terhadap
steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang berhubungan dengan terapi sebelumnya,
immunosupresan dapat digunakan. Immunosuppressif agen merupakan terapi pilihan awal
pada penyakit Behcet (termasuk ke dalam segmen posterior), Wegener granulomatosis, dan
skleritis nekrotik. Penyakit-penyakit tersebut dihubungkan dengan vaskulitis sistemik yang
mengancam jiwa, dan terdapat bukti medis bahwa dengan pemberian imunosupresive dapat
meningkalkan kondisi pasien. Imunomodulatory terapi sering diperlukan dalam kondisi
penanganan jangka panjang dengan kortikosteroid seperti pada serpiginous koroiditis,
birdshot koroiditis, Vogt-koyanagi-harada (VKH), sistemik oftalmia dan arthritis idiopatik
juvenile.
Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk target spesifik
yaitu mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun medikasi ini telah dipelajari dan
diteliti pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan crohn disease, persamaan pada
patogenesis penyakit ini yang menstimulasi untuk dilakukan obat yang sama untuk
penanganan peyakit inflamasi ocular yang bervariasi. Adapun obat yang digunakan sebagai
pemblok mediator spesifik pada sistem imunitas yang sering ditemukan pada penderita
uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor Necrosis Factor alpha) contoh adalimumab,
dan infliximab; dan pemblok reseptor interleukin-2 contoh daclizumab.
Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi intraocular melalui
injeksi intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa laporan kasus melaporkan adanya manfaat
dalam penggunaan triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk manajeman
refraksi pada edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral ini memiliki
waktu paruh yang pendek sehingga injeksi akan dilakukan berulang kali (multipel). Sehingga
resiko terjadi pembentukan katarak dan peningkatan tekanan intraokular, serta beresiko untuk
terjadinya endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar 0,1%.

Selain terapi medikamentosa, terdapat terapi pembedahan yang diindikasikan dalam
manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi penglihatan, biopsa untuk diagnosis ketika
menemukan perubahan dalam rencana pengobatan, dan mengambil media yang menagalami
opasitas untuk memonitor segmen posterior mata. Walaupun manfaat dalam terapi inflamasi
dan immunomodulatori, namun kadang didapatkan perubahan struktural yang dapat terjadi
pada mata misalnya pembentukan katarak, glaukoma sekunder, ablasio retina).
Dalam mempersiapkan preoperasi, penanganan medis harus diintensifkan untuk minimal
jangka waktu 3 bulan untuk mencapai proses inflamasi komplit (eradikasi komplit dari sel
kamera okuli anterior dan sel vitreus aktif). Secara umum, 24-48 jam preoperative, topical
prednisolone asetat 1% diberikan setiap 1-2 jam (saat pasien dalam kondisi sadar) dengan
prednisolon (1 mg/kg) tergantung dari proses inflamasi alami. Steroid intraokular dan
periokular dapat diberikan saat operatif sedang berlangsung. Medikasi sistemik dan topikal
diberikan dengan dosis diturunkan secara perlahan tergantung dari derajat inflamasi yang
terjadi.
Selain penanganan di atas, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai follow-up
yaitu:
- Follow up dengan oftalmologis dalam 24 jam sebaiknya dilakukan
- Pada fase akut, kasus uveitis diikuti setiap 1-7 hari dengan pemeriksaan biomikroskopis/slit
lamp dan pemeriksaan tekanan intraocular.
- Oftalmologis harus melakukan tapering off dosis untuk kortikosteroid dan sikloplegik yang
dipakai dalam terapi medikamentosa
- Jika kondisi pasien telah stabil, maka pemonitoran dilakukan setiap 1-6 bulan.


F. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEI TI S)
Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis yaitu:
1. Glaukoma sekunder
Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada peradangan uvea antara
lain:
a. Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi akibat peradangan iris
pada uveitis anterior. Sinekia ini menyebabkan sudut iridokornea menyempit dan
mengganggu drainase dari humor aqueous sehingga terjadi peningkatan volume pada kamera
okuli anterior dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular,
b. Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada lensa di beberapa
tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat pupil terfiksasi tidak teratur dan
terlihat pupil yang irreguler. Adanya sinekia posterior ini dapat menimbulkan glaukoma
dengan memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di belakang iris, sehingga
menonjolkan iris ke depan dan menutup sudut iridokornea.
c. Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel radang
(fler) pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior meningkat dan
terjadi glaukoma.
Pada uveitis intermediate, glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi.
2. Atrofi nervus optikus
Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi nervus optikus
sehingga terjadi kebutaan permanen.

3. Katarak komplikata
Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek langsung pada
fisiologis lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah subkapsul posterior dan akhirnya
mengenai seluruh struktur lensa. Katarak yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis
visualnya tidak sebaik katarak senilis biasanya.

4. Ablasio retina
5. Edema kistoid macular
6. Efek penggunanan steroid jangka panjang.
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:
- Menurunkan daya reaksi jaringan
- Mengaktifkan proliferasi bakteri
- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain
- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak
- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama
- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata
- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus
- Menambah kemungkinan infeksi jamur
- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri


Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid sistemik:
Tempat Macam efek samping
1. Saluran cerna


2. Otot
3. Susunan saraf pusat


4. Tulang

5. Kulit

6. Mata
7. Darah
8. Pembuluh darah
9. Kelenjar adrenal bagian
kortek
10. Metabolisme protein, KH
dan lemak

11. Elektrolit

12. Sistem immunitas

- Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster,
ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional,
kolitis ulseratif.
- Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
- Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,
mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.
- Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,
fraktur tulang panjang.
- Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis
akneiformis, purpura, telangiektasis.
- Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
- Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
- Kenaikan tekanan darah
- Atrofi, tidak bisa melawan stres

- Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula
meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
- Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,
tetani, aritmia kor)
- Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan
herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila dilakukan
penanganan yang tepat.



BAB III
KESIMPULAN

Uveitis adalah proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea (iris, badan
siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas
banyak pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan
pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan
beberapa elemen mata penting lainnya.
Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui sehingga patofisiologi yang pasti dari uveitis
juga belum diketahui. Secara umum, uveitis dapat disebabkan oleh reaksi imunitas. Uveitis
sering dihubungkan dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun,
postulate reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat
melukai sel dan pembuluh darah uvea.
Uveitis diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun parameter yang digunakan
antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset, dan perjalanan penyakit;
karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi. Klasifikasi dan
standarisasi dari uveitis sangat penting dalam diagnosis dan penanganan penyakit. Sehingga
penanganan yang cost-efective dapat terlaksana.
Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting
penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli
spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau
darah merah pada kamera okuli anterior, antibiotic tidak diindikasikan untuk diberikan
kepada pasien. Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi
nyeri dan peradangan. terapi pembedahan yang diindikasikan dalam manajemen uveitis
dengan tujuan rehabilitasi penglihatan, biopsy untuk diagnosis ketika menemukan perubahan
dalam rencana pengobatan, dan mengambil media yang menagalami opasitas untuk
memonitor segmen posterior mata. Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis
bagus apabila dilakukan penanganan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fawaz, Abdullah.. Levinson. Ralph. D.. (2010). Uveitis, Anterior, Granulomatose.
Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com
Al-Fawaz, Abdullah.. Levinson. Ralph. D.. (2010). Uveitis, Anterior, Non-Granulomatose.
Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com
Farooqui, Saadia. Zohra.. Foster, C. Stephen.. Sheppard.. (2008). Uveitis, Classification.
Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com
Gordon, Kilbourn. (2009). Iritis and Uveitis. Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari
www.emedicine.medscape.com
Guyton, Arthur. C., Hall, John. E.. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC:
Jakarta.
Ilyas, Sidarta, dkk. (2002). Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Edisi ke-2. Sagung Seto: Jakarta.
Ilyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.
Janigian, Robert. H. (2010). Uveitis, Evaluation and Treatment. Diakses tanggal 3 Maret
2010, dari www.emedicine.medscape.com
Janigian, Robert. H.. Filippopoulos, Theodoros.. Welcome, Brian. A.. (2008). Uveitis,
Intermediate. Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com
Jusuf, Ahmad. Aulia. (2003). Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari
www.staff.ui.ac.id/internal/132015140/material/SISTEMPENGLIHATAN.doc
Vaughan, Daniel. G., Asbury, Taylor., Riordan-Eva, Paul.. (2000). Oftalmologi Umum. Edisi
14. Widya Medika: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai