Anda di halaman 1dari 10

PREDIKSI SIFAT KIMIA-FISIK BLENDING BIODIESEL DARI MINYAK

JELANTAH DENGAN MINYAK TANAH

PREDICTION OF PHYSICAL CHEMISTRY PROPERTIES OF FATTY ACID


METHYL ESTER (FAME) FROM WASTE COOKING OIL WITH KEROSENE
BLENDING

Abdul Kahar
FT Unmul Keahlian Energi dan Sistem Proses Teknik Kimia
Jl. Ki Hajar Dewantara Kampus Gunung Kelua, Samarinda – 75123
Telp./Faks: (0541) 736834 / (0541) 749315, e-mail: kahar.abdul@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat efektifitas pemanfaatan limbah minyak
jelantah sebagai sumber energi terbarukan pengganti minyak tanah. Dikarenakan tingginya
kekentalan dan titik nyala, maka minyak jelantah harus dikonversi dahulu menjadi metil ester.
Sintesis konversi minyak jelantah menjadi metil ester dilakukan melalui dua cara yaitu
dengan menggunakan katalis asam (H2SO4) dan katalis basa (NaOH). Pengujian mutu metil
ester menggunakan metode ASTM Petroleum Products and Lubricants untuk parameter titik
nyala, titik tuang, kekentalan, kerapatan gravitas 60oF/60oF, densitas, dan kadar air. Hasil
penelitian menunjukan rendahnya titik nyala metil ester katalis asam 29,70oC dikarenakan
terdapatnya kontaminan pelarut benzen, sehingga kualitas metil ester katalis asam kurang baik
dibandingkan dengan metil ester katalis basa. Persen konversi metil ester katalis asam 95,00
%, sedangkan konversi metil ester katalis basa 76,71 %. Pemanfaatan langsung 100 % metil
ester sebagai pengganti minyak tanah sangat baik untuk kompor bertekanan tanpa sumbu,
sedangkan untuk kompor bersumbu harus dilakukan blending dengan menggunakan 60 %
minyak tanah dikarenakan tingginya kekentalan.
Kata kunci: minyak jelantah, biodiesel dan minyak tanah.

A. PENDAHULUAN
Minyak jelantah merupakan minyak sisa penggorengan yang sudah tidak dapat
digunakan lagi untuk menggoreng dikarenakan mengandung senyawa-senyawa yang bersifat
karsinogenik. Minyak jelantah biasanya dihasilkan oleh restoran-restoran dan sampah dapur
rumah tangga yang biasanya dibuang tanpa pemanfaatan lebih lanjut. Pemanfaatan limbah
minyak jelantah selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan juga sebagai bahan baku
untuk penggunaan bahan bakar alternatif, yaitu sebagai pengganti minyak tanah.
Ketersediaan bahan bakar minyak bumi semakin hari semakin terbatas kapasitasnya.
Dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan industri mengakibatkan peningkatkan
konsumsi bahan bakar salah satunya minyak tanah. Kelangkaan bahan bakar minyak tanah
saat ini berhubungan langsung dengan rencana pemerintah untuk beralih dari bahan bakar
minyak ke bahan bakar gas pada awal tahun 2007. Di tengah krisis bahan bakar saat ini, maka
bermunculanlah berbagai pemikiran untuk mengembangkan sumber energi alternatif. Salah
satunya adalah pemanfaatan bahan nabati sebagai pengganti bahan bakar minyak bumi yaitu
biofuel. Biofuel dihasilkan dari minyak nabati, seperti kelapa sawit, jarak pagar, kacang
tanah, kelapa, dan lain sebagainya. Indonesia, sebagai negara agraria, mempunyai peluang
sangat besar untuk mengembangkan biofuel sebagai energi alternatif pengganti minyak diesel
(solar), minyak bakar, bahkan minyak tanah (kerosin).
Minyak jelantah tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar pengganti diesel
atau minyak tanah dikarenakan tingginya titik nyala dan kekentalan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut maka asam lemak yang terkandung dalam minyak nabati harus
dikonversi menjadi suatu alkil ester (metil ester atau etil ester) yang memiliki rantai karbon
pendek. Beberapa metode telah digunakan untuk memperoleh fatty acid methyl ester (FAME)
dari trigliserida diantaranya transesterifikasi berkatalis basa atau asam. Pada prinsipnya,
proses transesterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari minyak jelantah pada suasana asam

1
atau basa dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol (misalnya metanol) menjadi
alkohol ester (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) (Suess, 1999).

B. TINJAUAN PUSTAKA
Pemanfaatan metil ester dari minyak jelantah sebagai pengganti minyak tanah
didasarkan pada rencana pemerintah indonesia pada awal tahun 2007 ini yang mengurangi
kuota minyak tanah karena peralihan bahan bakar minyak tanah menjadi bahan bakar gas.
Disamping harga biofuel minyak jelantah lebih murah dari minyak tanah atau biofuel
berbahan baku minyak baru, juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah
minyak jelantah.
Menurut Sihombing (2006) meneliti sintesis metil ester dari asam lemak campuran
minyak sawit (CPO) dengan cara reaksi interesterifikasi yaitu sintesis pembuatan metil ester
dari bungkil kelapa sawit dengan menggunakan katalis asam sulfat. Peneliti memperoleh
rendemen metil ester sebesar 45,15 % dimana komposisi metil ester yang paling besar
berasal dari asam oleat C18 yaitu sebesar 38,72 %. Menurut Phillip (2006) yang berjudul
“biodiesel basics” menyarankan bahwa jumlah penggunaan metanol dalam pembuatan
FAME berkatalis basa sangat bagus pada perbandingan 20 – 25 % volume dari minyak
jelantah yang digunakan dikarenakan persen konversi gliserol dari minyak sekitar 20 %
volume.
Sementara menurut Sues (2002) bahwa karakteristik biodiesel berbahan baku minyak
jelantah tidak berbeda jauh dengan biodiesel berbahan baku minyak baru, hanya tingginya
pengotor minyak jelantah maka diperlukan perlakuan penyaringan yang bertingkat. Harga
dari biodiesel yang berbahan baku minyak jelantah dapat bersaing dengan harga minyak
diesel, dikarenakan biaya produksinya lebih murah. Dibandingkan dengan minyak solar,
biodiesel tidak menghasilkan emisi gas SO2 akan tetapi untuk emisi CO lebih tinggi12 % dan
NO lebih tinggi 6%.
2.1 Bahan Bakar
Bahan bakar konvensional, ditinjau dari keadaannya dan wujudnya dapat padat, cair
atau gas, sedang ditinjau dari cara terjadinya dapat alamiah dan non-alamiah atau buatan.
Termasuk bahan bakar padat alamiah ialah: antrasit, batubara bitumen, lignit, kayu api, sisa
tumbuhan. Termasuk bahan bakar padat non- alamiah antara lain: kokas, semi-kokas, arang,
briket, bris, serta bahan bakar nuklir. Bahan bakar cair non alamiah antara lain: bensin atau
gasolin, kerosin atau minyak (Zuhra, 2003).
2.1.1 Minyak Tanah (Kerosin)
Pemakaian kerosin sebagai penerangan di negara-negara maju semakin berkurang,
sekarang kerosin digunakan untuk pemanasan. Pemakaian terpenting dari kerosin antara lain:
a. Minyak Lampu
Minyak tanah dalam lampu mengalir ke sumbu karena adanya gaya kapiler dalam
saluran-saluran sempit antara serat-serat sumbu. Aliran kerosin tergantung pada kekentalan
yaitu jika minyak cair kental dan lampu mempunyai tinggi naik yang besar maka api akan
tetap rendah dan sumbu menjadi arang (hangus) karena kekurangan minyak.
b. Bahan bakar untuk pemanasan untuk memasak
c. Bahan bakar motor
Motor berbahan bakar kerosin selain memiliki sebuah karburator juga mempunyai alat
penguap untuk kerosin. Motor ini jalannya dimulai dengan bensin dan dilanjutkan dengan
kerosin kalau alat penguap sudah cukup panas. Motor ini akan berjalan dengan baik bila
kadar aromatik di dalam bensin tinggi.
d. Bahan pelarut untuk insektisida
Bubuk serangga dibuat dari bunga Chrysant (Pyerlhrum cinerarieotollum) yang telah
dikeringkan dan dihaluskan, sebagai bahan pelarut digunakan kerosin. Untuk keperluan ini

2
kerosin harus mempunyai bau yang enak atau biasanya obat semprot itu mengandung bahan
pengharum (Sumber: Zuhra, 2003).
2.1.2 Bahan Bakar Aternatif (Biofuel)
Biofuel merupakan bahan bakar alternatif yang menjanjikan dapat diperoleh dari
minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas melalui proses transesterifikasi dengan
alkohol. Biofuel memberikan sedikit polusi dibandingkan bahan bakar petroleum. Selain itu
biofuel dapat digunakan tanpa memodifikasi ulang mesin. Salah satu penerapan pembuatan
bahan bakar alternatif yaitu biodiesel, dimana biofuel di blending dengan minyak diesel.
Pemanfaatan biji jarak sebagai bahan baku pembuatan biodiesel sangat diminati oleh para
pengusaha home industry biodiesel, hal ini menyebabkan susahnya mendapatkan biji jarak
dan menyebabkan mahalnya harga biji jarak. Sehingga harga dari biodiesel lebih mahal
dibandingkan bahan bakar petroleum. Oleh sebab itu diperlukan usaha untuk mencari bahan
baku alternatif sehingga dihasilkan biodiesel murah. Alternatif pemakaian bahan baku bisa
menggunakan minyak sawit mentah (CPO) atau minyak kelapa, namun apabila dilihat dari
segi ekonomis maka keuntungan yang diperoleh dari penjualan biofuel sangatlah kecil, oleh
karena itu digunakanlah minyak sisa/minyak jelantah sebagai bahan baku yang paling murah.
Beberapa keuntungan penggunaan biofuel sebagai bahan bakar alternatif untuk
pencampur/penggganti minyak bumi, antara lain sebagai berikut:
a. Merupakan sumber energi terbarukan.
b. Pembudidayaan lebih mudah karena sudah teradaptasi dengan iklim tropis.
c. Dapat mengurangi penggunaan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi.
d. Emisi biofuel lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar dari minyak bumi
(LEMIGAS, 2005).
2.2 Reaksi Transesterifikasi
Transesterifikasi menyangkut pertukaran gugus asil antara trigliserida, karena
trigliserida mengandung 3 gugus ester permolekul maka peluang untuk pertukaran tersebut
cukup banyak. Gugus asil dapat bertukar posisinya dalam satu molekul trigiserida, atau
diantara molekul trigliserida. Pada reaksi transesterifikasi, minyak dan lemak langsung
direaksikan dengan metanol/etanol dengan menggunakan katalis basa atau asam untuk
membentuk metil/etil ester asam lemak. Keuntungan reaksi transesterifikasi pada skala
industri (menggunakan katalis basa) disamping perolehan ester tinggi (rendemen 99%), juga
gliserol yang dihasilkan memiliki kadar sekitar 85% (Surbakti,1995).
Proses transesterifikasi dari lemak dan minyak merupakan proses yang paling umum
digunakan dalam memproduksi metil ester, kecuali bila dibutuhkan metil ester dengan asam
lemak spesifik. Trigliserida dapat dengan mudah ditransesterifikasi secara batchwise pada
tekanan atmosfer dan suhu 60 – 70°C dengan metanol berlebih. Kelebihan metanol direkover
ke kondensor dan dialirkan ke kolom rectifying untuk dimurnikan dan didaur ulang.
Pada prinsipnya, proses pembuatan ester (transesterifikasi) adalah mengeluarkan
gliserin dari minyak dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol (biasanya
metanol) menjadi alkohol ester (Fatty Acid Methyl Ester). Demikian juga halnya reaksi
transesterifikasi minyak jelantah dengan senyawa alkohol (metanol) memerlukan katalis
untuk mempercepat prosesnya. Reaksi alkoholisis merupakan reaksi setimbang dengan kalor
reaksi kecil. Pergeseran reaksi ke kanan biasanya dilakukan dengan menggunakan alkohol
berlebih. Dalam reaksi alkoholisis, alkohol bereaksi dengan ester dan menghasilkan ester
baru. Reaksi ini merupakan reaksi dapat balik yang pada suhu kamar tanpa bantuan
katalisator akan berlangsung sangat lambat.
Alkohol yang digunakan dalam reaksi alkoholisis pada umumnya adalah metanol atau
etanol. Pada umumnya alkohol dengan atom C lebih sedikit mempunyai kereaktifan yang
lebih tinggi daripada alkohol dengan atom C lebih banyak. Untuk meningkatkan hasil reaksi,
perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi alkoholisis yaitu: Suhu,

3
Katalisator, Waktu reaksi, Konsentrasi zat pereaksi, Kecepatan pengadukan, dan Rasio molar
reaktan (Hendratomo, 2005).
2.3 Standar Mutu Kualitas Biofuel
2.3.1 Kekentalan
Kekentalan adalah tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa kapiler
terhadap gaya gravitasi, biasanya dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk mengalir
pada jarak tertentu. Jika kekentalan semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir akan
semakin tinggi. Kekentalan yang lebih tingi akan membuat bahan bakar sulit untuk mengalir
dalam pipa kapiler yang berdiameter kecil. Hal ini menyebabkan pemadaman flame dan
peningkatan deposit dan emisi mesin. Bahan bakar dengan kekentalan lebih rendah
memproduksi spray yang terlalu halus dan tidak dapat masuk lebih jauh ke dalam silinder
pembakaran, sehingga terbentuk daerah fuel rich zone yang menyebabkan pembentukan
jelaga. kekentalan juga menunjukkan sifat pelumasan atau lubrikasi dari bahan bakar.
Kekentalan yang relatif tinggi mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik. Pada umumnya,
bahan bakar harus mempunyai kekentalan yang relatif rendah agar dapat mudah mengalir dan
teratomisasi (Anonimus, 2002).
2.3.2 Titik Tuang
Titik tuang adalah titik temperatur terendah dimana bahan bakar masih dapat
mengalir. Titik tuang ini dipengaruhi oleh derajat ketidakjenuhan (angka iodium), semakin
tinggi ketidakjenuhan maka titik tuang semakin rendah. Titik tuang juga dipengaruhi oleh
panjang rantai karbon, semakin panjang rantai karbon maka semakin tinggi titik tuang
(Anonimus, 2002).
2.3.3 Titik Nyala
Titik nyala adalah suhu dimana bahan bakar terbakar dengan sendirinya oleh udara
sekelilingnya disertai kilatan cahaya. Untuk menentukan kapan minyak terbakar sendiri,
Pensky-Martens memakai sistem closed cup, sedang Cleveland memakai open cup.
2.3.4 Kerapatan Relatif
Kerapatan relatif (specific gravity) adalah perbandingan massa cairan yang
mempunyai volume tertentu pada 15°C (60°F) dengan massa air murni yang mempunyai
volume dan suhu yang sama dengan volume dan suhu contoh., karakteristik ini berkaitan
dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel per satuan volume bahan
bakar. Nilai kerapatan relatif dapat diukur dengan hidrometer (ASTM D 1298) atau
piknometer (ASTM D 941).
2.3.5 Kadar Air
Air yang terkandung dalam bahan bakar padat terdiri dari kandungan air internal atau
air kristal, yaitu air yang terikat secara kimiawi dan kandungan air eksternal atau air
mekanikal, yaitu air yang menempel pada permukaan bahan dan terikat secara fisis atau
mekanis. Air dalam bahan bakar cair merupakan air eksternal, berperan sebagai pengganggu.
Air yang terkandung dalam bahan bakar menyebabkan penurunan mutu bahan bakar karena :
a. Menurunkan nilai kalor dan memerlukan sejumlah kalor untuk penguapan.
b. Menaikan titik nyala dan memperlambat proses pembakaran.
c. Dapat menyebabkan kerusakan pada alat atau mesin yang menggunakan bahan bakar
tersebut.
C. METODE PENELITIAN
3.1. Preparasi Sampel
Sampel diambil dari 3 titik sampling pada jeriken limbah minyak jelantah masing-
masing sebanyak 500 mL. Kemudian semua sampel tersebut dicampur dan dihomogenkan,
dan dilewatkan melalui kolom yang berisi arang aktif untuk mengurangi bau dan partikel-
partikel sisa penggorengan.
3.2. Pemucatan Warna Sampel

4
Minyak jelantah yang digunakan warnanya sangat hitam, sehingga agar dihasilkan
ester dari minyak jelantah yang tidak terlalu gelap maka perlu dipucatkan dengan
menggunakan arang aktif dan bentonit. Adapun caranya sebagai berikut :
a. Ditambahkan 30 g arang aktif yang halus ke dalam 1000 mL sampel minyak jelantah, lalu
diaduk dan disimpan di oven pada 60oC.
b. Setelah 15 menit minyak tersebut disaring.
c. Kemudian filtratnya ditambahkan 20 mL H3PO4 0,1 N, setelah itu dipanaskan di oven
60oC selama 60 menit.
d. Ditambahkan 30 g bentonit sambil diaduk menggunakan pengaduk magnetic.
e. Dienapkan selama 15 menit kemudian dilakukan penyaringan.
3.3. Sintesis Metil Ester Asam Lemak Campuran dari Minyak Jelantah secara
Transesterifikasi Berkatalis Asam
a. Minyak jelantah yang telah melewati preparasi awal sebanyak 300 mL dimasukan ke
dalam labu alas 1000 mL, ditambahkan dengan 200 mL benzen dan 250 mL metanol,
didinginkan dengan es sambil diaduk dengan magnetic stirer hingga homogen.
b. Kemudian ditambahkan setetes demi setetes larutan H2SO4(p) sebanyak 5 mL pada
suasana dingin.
c. Setelah itu larutan direfluks pada suhu 65oC selama 5 – 6 jam sampai terbentuk dua
lapisan.
d. Setelah dingin larutan tersebut dimasukan kedalam corong pisah 1000 mL, kemudian
ditambahkan 150 mL aquades hingga batas kedua lapisan tersebut terlihat dengan jelas.
e. Diambil bagian atasnya dan dibilas dengan aquades lagi, pengerjaan ini diulang beberapa
kali hingga didapat pH air pembilas ± 7,00.
f. Bagian atas larutan tersebut dikocok dengan menggunakan 10 g Na2SO4 anhidrous,
kemudian dilewatkan melalui kertas saring yang berisi 10 g Na2SO4 anhidrous.
g. Filtrat dirotarievaporator pada temperatur 60oC yang tujuannya untuk menghilangkan sisa
pelarut organik (benzen).
h. Prosedur a sampai h diatas diulang hingga didapat ester dari minyak jelantah
sebanyak1000 mL.
3.4, Sintesis Metil Ester Asam Lemak Campuran dari Minyak Jelantah secara
Transesterifikasi Berkatalis Basa
a. Minyak jelantah yang telah melewati preparasi awal sebanyak 1000 mL dimasukan ke
dalam piala gelas 2000 mL, ditambahkan 5 g KOH yang terlarut dalam 250 mL metanol,
diaduk dengan magnetic stirer hingga homogen.
b. Pengadukan dilakukan secara kontinyu selama minimal 8 jam (1 malam).
c. Ditambahkan 50 mL aquades kemudian diaduk dengan perlahan.
d. Bagian atasnya dimasukan ke dalam corong pisah kemudian dikocok dengan 250 mL
aquades.
e. Setelah terpisah, bagian atasnya diambil dan dikocok lagi dengan 250 mL aquades.
Pengerjaan ini diulang beberapa kali hingga didapat pH air pembilas ± 7,00.
f. Ester yang telah bersih dari pengotor tersebut dikocok dengan 10 g Na2SO4 anhidrous,
kemudian disaring melalui kertas saring yang telah terdapat Na2SO4 anhidrous yang
bertujuan untuk menghilangkan air.
3.5. Blending Metil Ester Asam Lemak Campuran
Produk akhir dari penelitian yang dilakukan penulis adalah pemanfaatan metil ester
asam lemak campuran dari minyak jelantah tersebut sebagai pengganti minyak tanah. Oleh
karena itu metil ester tersebut harus di-blending dengan menggunakan minyak tanah hingga
didapat karakteristik yang mendekati dengan minyak tanah. Adapun caranya sebagai berikut :

5
a. Dilakukan pengukuran terhadap minyak tanah sebagai data karakteristik minyak tanah
dengan parameter titik nyala, titik tuang, kekentalan, kadar air, dan Specifiec gravity
60oF/60oF.
b. Dilakukan pengukuran terhadap metil ester dari minyak jelantah dengan parameter titik
nyala, titik tuang, kekentalan, kadar air, dan Specifiec gravity 60oF/60oF.
c. Dibuat perbandingan volume antara metil ester dari minyak jelantah dan minyak tanah
atau zat organik hingga didapat karakteristik yang mendekati minyak tanah.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian
Sebelum melakukan sintesis metil ester/FAME (Fatty Acid Methyl Ester), dilakukan
pengujian mutu dari minyak jelantah, dan sebagai bahan pembanding dilakukan juga uji mutu
dari minyak curah dan minyak sawit kualitas bagus yang merupakan bahan baku sintesis
FAME . Hasil analisa kualitas bahan baku untuk sintesis FAME disajikan pada tabel 4.1.

Tabel 1. Hasil analisa kualitas bahan baku sintesis FAME


Parameter Titik Kerapatan Titik Kadar
Kekentalan Densitas
Nyala Gravitas Tuang Air
(cSt) (Kg/dm3)
Sampel (oC) (60oF/60oF) (oC) (mg/Kg)

M.Jelantah 298 44,91 0,9280 17 1264,7 0,9227

Minyak Curah 300 42,07 0,9159 17 1027 0,9060

Minyak Sawit 308 42,68 0,9120 5 1080 0,9110

4.2 Sintesis Metil Ester/FAME dari minyak jelantah


Minyak jelantah yang akan dimanfaatkan sebagai pengganti minyak tanah harus
diubah strukturnya sehingga menjadi senyawa yang memiliki titik nyala dan kekentalan yang
lebih rendah yaitu senyawa metil ester dari asam lemak campuran (FAME). Sintesis ini
dilakukan melalui reaksi transesterifikasi dengan dua cara yaitu menggunakan katalis asam
dan katalis basa. Tabel 4.2 berikut ini menunjukan rata-rata hasil analisa kualitas FAME yang
dihasilkan dibandingkan dengan minyak tanah dan bahan baku minyak jelantah.
Tabel 2. Hasil analisa kualitas FAME

Sampel
Minyak Minyak FAME FAME
Jelantah Tanah (Asam) (Basa)
Parameter
Titik Nyala
298 47,8 29,7 171,9
(oC)
Kekentalan
44,91 1,36 3,3 4,6
(cSt)
Kerapatan
Gravitas 0,9280 0,8087 0,8814 0,8767
60oF/60oF
Titik Tuang
17 <-7 8 8
(oC)
Kadar Air
1264,7 109,8 967,3 1026,3
(mg/Kg)
Densitas
0,9227 0,8067 0,8764 0,8714
(Kg/dm3)
* Spesifikasi FAME untuk parameter titik tuang berdasarkan spesifikasi dari penelitian BPPT (Balai
Penelitian dan Pengembangan Tekhnologi).

6
FAME yang dihasilkan kemudian di-blending dengan menggunakan minyak tanah
yang bertujuan untuk mendapatkan komposisi yang paling baik sehingga sifat fisisnya
mendekati minyak tanah. Kualitas blending antara minyak tanah dan FAME disajikan pada
tabel 4.3 berikut ini :

Tabel 3. Kualitas blending antara minyak tanah (MT) dengan FAME (basa)
Blending Titik Kerapatan Titik Kadar
Kekentalan Densitas
FAME : Nyala Gravitas Tuang Air
(cSt) (Kg/dm3)
MT (oC) (60oF/60oF) (oC) (mg/Kg)

10:90 48,8 1,51 0,8160 <-7 185,4 0,8103


20:80 49,5 1,65 0,8223 <-7 245,2 0,8181
30:70 52,2 1,88 0,8275 <-7 373,0 0,8228
40:60 55,2 2,12 0,8354 <-7 453,3 0,8307
50:50 58,8 2,40 0,8405 -7 553,3 0,8358
60:40 61,7 2,71 0,8504 -4 667,3 0,8457
70:30 65,6 3,09 0,8567 -1 771,1 0,8513
80:20 79,0 3,49 0,8642 2 792,3 0,8593
90:10 96,8 4,02 0,8664 5 871,3 0,8615
100:0 171,9 4,60 0,8767 8 1026,.3 0,8714

FAME yang dihasilkan melalui transesterifikasi berkatalis asam didapat nilai titik
nyala yang sangat kecil yaitu 29,70oC, ini menunjukan bahwa metil ester tersebut masih
terkontaminasi oleh pelarut organik/benzen yang digunakan pada saat pembuatan. Sehingga
tidak perlu dilakukan blending dengan minyak tanah dikarenakan FAME tersebut belum
murni.
4.3. Pembahasan
Dari hasil analisa terhadap kualitas minyak jelantah didapat beberapa parameter telah
berubah dari nilai aslinya/minyak sawit. Dengan melihat penurunan titik nyala dan naiknya
titik tuang maka sebagian minyak jelantah telah mengalami degradasi struktur trigliseridanya
menjadi asam lemak bebas berantai pendek. Keberadaan air yang lebih tinggi akan
menyebabkan naiknya densitas dan kerapatan relatif dari minyak jelantah, sedangkan
terdapatnya partikel-partikel kecil dari sisa penggorengan akan menaikan kekentalan, densitas
dan juga kerapatan relatif.

100 95.00
87.97
.

90 82.85
80 76.71

70
60
%Rekoveri

Katalis Basa
50
Katalis Asam
40
30
20
10
0
Minyak sawit Minyak curah Minyak jelantah

Gambar 1. Grafik persen peroleh kembali FAME berdasarkan bahan baku dan katalis berbeda

7
Dari hasil analisa terhadap minyak jelantah, diperoleh kadar asam lemak bebas yang
cukup besar yaitu 0,79% sebagai asam palmitat. Sintesis pembuatan metil ester dari minyak
yang memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi, lebih tepat menggunakan katalis asam
dikarenakan jumlah metil ester yang dihasilkan lebih besar yaitu 95% dibanding dengan
menggunakan katalis basa yang hanya 76,71%. Penggunaan katalis basa pada waktu
pembuatan metil ester dapat menyebabkan terjadinya reaksi penyabunan antara basa
digunakan dengan asam lemak bebas minyak jelantah, sedangkan bila menggunakan katalis
asam maka asam lemak bebas tersebut akan tetap teresterkan.

Titik Nyala Kekentalan

.
.

350 50 44.91
298
300
40
250

Centi Stoke
200 30
Celcius

171.9

150 20
100
47.8 10
50 29.7 3.3 4.6
1.36
0 0
M.Jelantah M. Tanah FAME(asam) FAME(basa) M.Jelantah M. Tanah FAME(asam) FAME(basa)
Minyak Minyak

Gambar 2. a. Grafik titik nyala FAME dibandingkan dengan minyak tanah dan minyak jelantah; b. Grafik
kekentalan FAME dibandingkan dengan minyak tanah dan minyak jelantah

Titik nyala berhubungan langsung dengan mudah atau tidaknya suatu bahan bakar
dapat terbakar. Titik nyala yang rendah menyebabkan zat tersebut mudah dibakar, sehingga
sifat fisis ini sangat penting sekali sebagai syarat suatu zat dapat dikatakan sebagai bahan
bakar. Pada gambar 2.a, di atas dapat dilihat bahwa titik nyala metil ester yang dihasilkan
melalui reaksi transesterifikasi katalis asam jauh lebih kecil (29,70oC) dibandingkan dengan
standar titik nyala minyak tanah yaitu minimal 38oC. Titik nyala yang mendekati dengan
temperatur ruang tersebut sangat tidak aman apabila zat ini digunakan sebagai bahan bakar,
dikarenakan dapat menimbulakn kebakaran apabila terjadi percikan api di sekitar zat tersebut.
Rendahnya titik nyala metil ester disebabkan karena masih terdapatnya pelarut organik
(benzen) yang digunakan dalam pembuatan. Adapun tehnik pemurnian FAME dari pelarut
organik benzen menggunakan destilasi vakum yang dilengkapi dengan penangas air dimana
suhunya diatur pada 65oC. Tujuan pengaturan temperatur pada 65oC tersebut untuk
menghindari terjadinya penguraian metil ester menjadi metanol dan asam lemak maka suhu
penangas air dijaga jangan melebihi 65oC. Akan tetapi dengan suhu tersebut, benzen tidak
dapat dipisahkan sempurna dari FAME dikarenakan titik didih dari benzen lebih tinggi yaitu
80oC. Sehingga masalah utama dari metil ester yang dihasilkan menggunakan katalis asam
adalah masih terkontaminasinya FAME oleh pelarut organik.
Kekentalan merupakan parameter penting dalam menentukan metil ester dapat
digunakan atau tidak sebagai pengganti minyak tanah, semakin tinggi kekentalan maka
semakin sukar minyak mengalir. Dilihat dari gambar 2.b, bahwa kekentalan FAME katalis
asam lebih rendah dari FAME katalis basa, ini disebabkan karena masih terdapatnya pelarut
organik/benzen dalam FAME katalis asam tersebut.

8
a. b.
Gambar 3. a. Grafik pengaruh blending terhadap titik nyala; b. Grafik persen efisiensi blending terhadap
penurunan titik nyala

Pengaruh blending terhadap parameter kekentalan dapat dilihat pada gambar 4.10 di
bawah ini, setiap penambahan 10 % minyak tanah ke dalam FAME akan menurunkan nilai
kekentalan secara konstan dengan persen effisiensi penurunan kekentalan yaang konstan
pula. Berbeda dengan nilai titik nyala yang penurunannya sangat drastis pada 40%
penambahan minyak tanah pertama.
Tujuan dari blending ini adalah untuk menurunkan nilai titik nyala dan kekentalan
FAME. Pada gambar 4.8 di bawah ini dapat dilihat bahwa setiap penambahan 10 % minyak
tanah akan menurunkan titik nyala dengn nilai effisiensi penurunan yang berbeda pula. Pada
saat penambahan 10 % pertama minyak tanah akan menurunkan titik nyala sebesar 43 %
yaitu titik nyala dari 171,9oC menjadi 96,8oC, sedangkan persen effisiensi penggunaan
minyak tanah sebagai bahan blending akan mengalami nilai yang tidak begitu berpengaruh
terhadap turunnya titik nyala apabila penambahan minyak tanahnya di atas 40%.

a. b.
Gambar 4.a. Grafik pengaruh blending terhadap kekentalan; b. Grafik persen efisiensi blending
terhadap penurunan kekentalan

Sedangkan untuk titik tuang, setiap penambahan 10 % minyak tanah terhadap FAME
akan menurunkan temperaturnya sebanyak 3oC. Penurunan titik tuang tidak dapat dipantau
dengan baik setelah melewati penambahan minyak tanah diatas 60 %, hal ini dikarenakan
keterbatas alat untuk analisa titik tuang yang tidak dapat mencapai temperatur pendinginan
hingga dibawah -7oC. Titik tuang yang tinggi menyebabkan FAME tidak dapat digunakan
sebagai bahan bakar dikarenakan membeku.

9
E. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. FAME yang dihasilkan melalui transesterifikasi katalis asam kuantitasnya lebih besar
yaitu 95%, sedangkan menggunakan katalis basa hanya 76,71%. Masih
terkontaminasinya benzen pada FAME katalis asam menyebabkan kualitas FAME ini
kurang baik dibandingkan dengan FAME katalis basa. Keberadaan benzen menyebabkan
turunnya temperatur titik nyala hingga 29,70oC, dimana temperatur ini sangat tidak aman
karena dapat menimbulkan kebakaran apabila terjadi percikan api disekitar FAME.
2. Pemanfaatan 100% FAME sebagai pengganti minyak tanah sangat cocok untuk kompor
yang menggunakan sistem tekanan, baik secara gravitasi atau dengan bantuan angin.
Sedangkan untuk penggunaan kompor bersumbu maka FAME yang telah di blending
dengan 60% minyak tanah masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti
minyak tanah, dikarenakan kekentalan FAME yang rendah menyebabkan FAME masih
dapat merambat dengan cepat menuju pembakaran.

5.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang tehnik pencucian FAME dari kelebihan basa
menggunakan larutan asam untuk menghindari penurunan persen rekoveri FAME.
2. Sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya untuk mencari sumbu kompor yang dapat
memanfaatkan FAME tanpa di blending terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2002. Portfolio Bahan Bakar Cair. Makalah Mata Kuliah Tekhnik Pembakaran,
Fakultas TEKIM UI.
ASTM. 1982. Annual Book of ASTM Standard, Petroleum Products and Lubricants (I), D
56-D 1660. USA: Philadelphia
ASTM. 1982. Annual Book of ASTM Standard, Petroleum Products and Lubricants (II), D
1661-D 2896.. USA : Philadelphia
Hendratomo, Tomi. 2005. Pemamfaatan Minyak dari Tumbuhan untuk Biodiesel.
Yogyakarta:
LEMIGAS. 2005. Naskah Akademik Rancangan Kebijakan Biodiesel. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tekhnologi Minyak dan Gas Bumi, Jakarta.
Leung, D.Y.C., B.C.P. Koo, dan Y. Guo. 2005. Degradation of Biodiesel under different
Storage Conditions. J. Bioresource Technology 97 (2005), hal. 250 – 256.
Phillip, D. Hill. 2006. Biodiesel Basic. http://BiodieselGear.com, 20 Nov 2006.
Rahmadi, A. 2006. Proses Pembuatan Biodiesel : Apa Memang Sangat Mudah Ya???.
Disampaikan pada presentasi workshop KMI. Jakarta : BPPT
Fajar., R. 2001. Prediksi sifat Fisika Kimia Campuran Bahan Bakar Diesel dengan Model
Sederhana: Studi Kasus: Campuran Solar - Biodisel (CPO dan ME). J. Sains dan Tek.
Ind., Vol. 3, No. 9, Desember 2001, hal. 27 – 31.
Sihombing, N.L. 2006. Sintesis Metil Ester Asam Lemak Campuran Minyak Sawit (CPO)
dengan cara Reaksi Interesterifikasi. Skripsi FMIPA UNMUL, Samarinda.
Suess, A. 2002. Biodiesel dari Minyak Jelantah. Kompas 20 Juli 2002.
Surbakti, M. 1995. Reaksi Esterifikasi Gliserol dengan Asam Lemak dari Minyak Biji Pala
untuk Menghasilkan Monogliserida. Skripsi FMIPA USU, Medan.
Zuhra, C.T. 2003. Penyulingan, Pemrosesan dan Penggunaan Minyak Bumi. Skripsi FMIPA
USU, Medan.

10

Anda mungkin juga menyukai