Anda di halaman 1dari 16

PERANAN ODONTOLOGI FORENSIK DALAM PENYIDIKAN

PENDAHULUAN
Dalam beberapa saat terakhir, kita banyak dikejutkan oleh terjadinya bencana massal
yang menyebabkan kematian banyak orang, seperti jatuhnya pesawat Garuda di
Sibolangit, tabrakan massal yang menyebabkan kematian banyak orang, dsb. Selain itu
kasus kejahatan yang memakan banyak korban jiwa juga cenderung tidak berkurang dari
waktu ke waktu. Pada kasus-kasus semacam ini, tidak jarang kita jumpai banyak korban
tidak dikenal dan karenanya perlu diidentifikasi.

Identifikasi korban pada kasus-kasus ini diperlukan karena status kematian korban
memiliki dampak yang cukup besar pada berbagai aspek kehidupan keluarga yang
ditinggalkan. Jika diketahui bahwa korban adalah A, maka didapatkan kepastian bahwa si
A telah meninggal dan karenanya, maka :
Si A dapat diserahkan kepada keluarganya dan dapat dikuburkan dengan baik (aspek
budaya).
Terjadinya perubahan status pada setiap anggota keluarganya (istri/suami serta anakanaknya) dengan dampak hukum dan sosialnya (aspek sosial dan hukum).
Warisan dapat dibagikan kepada ahli warisnya (aspek hukum).
Asuransi, jika ada, dapat diklaim oleh ahli warisnya (aspek hukum dan ekonomi).
Ahli warisnya mendapatkan hak atas pensiun (aspek ekonomi).
Pada kasus kriminal, identifikasi korban dapat dijadikan sebagai titik awal untuk
pengungkapan kasus (aspek hukum).

Odontologi forensik adalah salah satu metode penentuan identitas individu yang telah
dikenal sejak era Sebelum Masehi. Kehandalan tehnik identifikasi ini bukan saja
disebabkan karean ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik
sidik jari, akan tetapi juga karena kenyataan bahwa gigi (dan tulang) adalah material
biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung. Dalam kasus
sehari-hari, kita kerapkali mendapatkan bahwa hanya gigi saja yang tersisa dan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi individu.
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:43 AM
IDENTIFIKASI DAN ODONTOLOGI FORENSIK
Pada prinsipnya identifikasi adalah prosedur penentuan identitas individu, baik hidup
ataupun mati, yang dilakukan melalui pembandingan berbagai data dari individu yang
diperiksa dengan data dari orang yang disangka sebagai individu tersebut. Sebagai prinsip
umum dapat dikatakan bahwa :
1. Pada identifikasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak
mungkin metode identifikasi.
2. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut
dapat disingkirkan (eksklusi).
3. Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketepatan identifikasi semakin tinggi.
Atas dasar itu, maka dalam identifikasi individu, sebanyak mungkin metode pemeriksaan
perlu diusahakan dilakukan dan satu sama lain saling melengkapi.

Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa

metode identifikasi. Kita mengenal ada 9 macam metode identifikasi yaitu :


1. Visual:
Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual,
misalnya muka, tungkai dsb. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian
tubuh tersebut masih utuh.
2. Perhiasan :
Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dsb
dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai
yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin,
bentuk atau bahan yang khas dsb.
3. Pakaian:
Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk
menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label
tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat
mempersempit kemungkinan tersangka.
4. Dokumen :
Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport dapat menunjukkan identitas orang yang membawa
dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan
tidak palsu.
5. Identifikasi secara medis :
Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu
berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum
dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah

dikonfirmasi kepada keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umu, berat badan, warna
kulit, rambut, dsb. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu
atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto
ronsen, data lab, adanya tattoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi,
tehnik rekonstruksi wajah, dsb.
6. Odontologi forensik:
Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat
perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.
7. Serologi forensik :
Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan
terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein
serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas
dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit
serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA).
Pada saat ini dengan berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi
lebih luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel
tubuh kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi
dengan istilah hemereologi yang mencakup semua hal diatas.
8. Sidik jari :
Telah lama diketahui bahwa sidikjari setiap orang didunia tidak ada yang sama sehingga
pemeriksaan sidikjari dapat digunakan untuk identifikasi individu.
9. Eksklusi :
Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang nama-

namanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai dsb), maka jika (n-1)
individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan
(per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:42 AM
DEFINISI ODONTOLOGI FORENSIK
Menurut Pederson, odontologi forensik adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang
mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti gigi serta cara evaluasi dan
presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan peradilan.
Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb :
1. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan
dan pengaruh lingkungan yang ekstrem.
2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi
menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi (1:1050).
3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi
(dental record) dan data radiologis.
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:41 AM
SEJARAH ODONTOLOGI FORENSIK
Sejarah odontologi forensik telah ada sejak jaman prasejarah, akan tetapi baru mulai
mendapatkan perhatian pada akhir abad 19 ketika banyak artikel tentang odontologi
forensik ditulis dalam jurnal kedokteran gigi pada saat itu. Masa setelah itu adalah

kekosongan, sampai sekitar tahun 1960 ketika program instruksional formal kedokteran
gigi forensik pertama dibuat oleh Armed Force Institute of Pathology. Sejak saat itu
banyak kasus penerapan odontologi forensik dilaporkan dalam literatur sehingga nama
odontologi forensik mulai banyak dikenal bukan saja di kalangan dokter gigi, tetapi juga
di kalangan penegak hukum dan ahli-ahli forensik.

Catatan tertulis mengenai sejarah odontologi forensik telah ada sejak Sebelum Masehi
(SM). Tidak lama setelah perkawinannya dengan Kaisar Roma Claudius, pada tahun 49
SM, Agrippina ( yang kelak akan menjadi ibu Kaisar Nero) mulai membuat rencana
untuk mengamankan posisinya. Karena takut janda kaya Lollia Paulina masih merupakan
saingannya dalam menarik perhatian Kaisar, maka ia membujuk Kaisar untuk mengusir
wanita tersebut dari Roma. Akan tetapi hal itu rupanya masih dianggapnya kurang dan ia
menginginkan kematian wanita tersebut. Tanpa setahu Kaisar, ia mengirim seorang
serdadu untuk membunuh wanita tersebut. Sebagai bukti telah melaksanakan perintahnya,
kepala Lollia dibawa dan ditunjukkan kepada Arippina. Karena kepala tersebut telah
rusak parah mukanya, maka Agrippina tidak dapat mengenalinya lagi dari bentuk
mukanya. Untuk mengenalinya Agrippina kemudian menyingkap bibir mayat tersebut
dan memeriksa giginya yang mempunyai ciri khas, yaitu gigi depan yang berwarna
kehitaman. Adanya ciri tersebut pada gigi mayat membuat Agrippina yakin bahwa kepala
tersebut adalah benar kepala Lollia.

Pada tahun 1775 Paul Revere, seorang dokter gigi yang juga perajin perak telah membuat
kawat perak (wire) dan ivory bridge (hippopotomus tusk) untuk mengganti gigi seri dan

premolar pertama atas kiri Dr. Joseph Warren yang tanggal. Di kemudian hari pada masa
revolusi, Warren masuk tentara dan telah menjadi Jenderal pada milisia Massachusetts.
Dalam peperangan Bunker Hill di Breeds Hill, Warren tertembak dan dikuburkan
ditempat tersebut tanpa nisan. Hal tersebut diduga dilakukan untuk melindungi korban
dari pencurian gigi mayat yang banyak terjadi saat itu. (Pada sekitar abad 18 dan awal
abad 19, saat gigi porselin belum ditemukan, sering terjadi perampokan gigi jenazah
jenazah di kuburan atau di medan peperangan, karean gigi tersebut laku dijual ke dokter
gigi untuk bahan pembuatan gigi palsu. Umum pula terjadi orang miskin mencabut
giginya yang masih baik atau menggunting rambutnya untuk dijual untuk sekedar
mendapatkan uang). Pada tahun 1776, sekitar 10 bulan setelah kematian Warren, atas
permintaan saudara dan kawan-kawannya, dokter Revere dipanggil ke Breeds Hill untuk
mengidentifikasi mayat yang diduga Warren. Berdasarkan adanya bridge dan wire yang
ditemukan pada mayat tersebut yang dikenalinya sebagai buatannya sendiri, Revere
menyatakan bahwa mayat tersebut adalah jendral Warren. Dalam catatan sejarah
odontologi forensik, Paul Revere adalah dokter gigi pertama yang melakukan identifikasi
dengan gigi sehingga ia sering disebut sebagai Pelopor Odontologi Forensik.
Antara tahun 1802 sampai 1875 di Inggris terjadi eksploitasi besar-besaran anak-anak
untuk dipekerjakan di berbagai industri. Revolusi industri memerlukan banyak pekerja
yang murah sehingga saat itu semua orang, termasuk anak-anak, banyak dipekerjakan di
pabrik-pabrik. Untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi, pada tahun 1819
diberlakukan Peels act yang melarang mempekerjakan anak dibawah 9 tahun di pabrik
kapas. Pada tahun 1836 larangan ini diperluas dan diterapkan juga di pabrik tekstil. Pada
waktu itu penentuan usia amat penting sebab hal tersebut juga mempunyai dampak

terhadap pengaturan jam kerja. Menurut Undang-undang tersebut, anak-anak yang


berusia 9 sampai 13 tahun hanya diizinkan bekerja 48 jam perminggu, sedang anak yang
berusia diatas 13 tahun boleh bekerja sampai 69 jam perminggu. Untuk penentuan umur
ketika itu digunakan patokan tinggi badan, dimana anak yang tingginya diatas 51,5 inchi
dianggap berumur lebih dari 13 tahun. Pada tahun 1837 mulai dilakukan gerakan
pencatatan kelahiran untuk mendapatkan data umur yang lebih akurat. Pada tahun yang
sama Edwin Saunders melakukan pemeriksaan tinggi badan dan gigi geligi dari 1.046
orang anak dan ia mendapatkan bahwa penentuan umur dengan pemeriksaan gigi lebih
akurat dibandingkan dengan pengukuran tinggi badan.

Dalam identifikasi personal dengan menggunakan metode odontologi forensik diperlukan


data gigi (dental record) akurat yang dibuat oleh dokter gigi yang merawat gigi korban.
Pada tahun 1887 Godon dari Paris merekomendasikan penggunaan gigi untuk identifikasi
orang yang hilang. Untuk itu ia menganjurkan agar para dokter gigi menyimpan data gigi
para pasiennya, untuk berjaga-jaga kalau-kalau kelak data tersebut diperlukan sebagai
data pembanding.

Kasus identifikasi personal yang terkenal adalah kasus pembunuhan Dr. George Parkman,
seorang dokter dari Aberdeen, oleh Professor JW Webster, seorang dokter yang juga ahli
kimia dan mineralogist di Boston, Massachusetts pada tahun 1850. Pada kasus ini korban
dibunuh, lalu tubuhnya dipotong-potong lalu dibakar di perapian. Diantara abu perapian,
polisi mendapatkan satu blok gigi palsu dari porselin yang melekat pada emas dan
potongan tulang. Dr. Nathan Cooley Keep, seorang dokter bedah mulut memberikan

kesaksian bahwa gigi palsu itu adalah bagian dari gigi palsu buatannya pada tahun 1846
untuk Dr. Parkman yang rahang bawahnya amat protrusi. Dr. Keep amat yakin akan
kesaksiannya karena proses pembuatan gigi palsu itu sulit terlupakan. Pada saat itu ia
diminta untuk membuat gigi palsu secara kilat (hanya dalam semalam) karena Dr.
Parkman ingin memakainya pada acara pembukaan Fakultas Kedokteran yang salah satu
penyandang dananya adalah Dr. Parkman. Pencarian lebih lanjut atas abu perapian
dilakukan dan didapatkan potongan-potongan gigi palsu lainnya setelah disatukan
ternyata cocok dan sesuai dengan catatan model gigi Parkman yang masih disimpan oleh
Dr. Keep. Pada kasus ini porselin tidak ikut terbakar karena terlindungi dari pembakaran
oleh lidah, bibir dan pipi sehingga masih utuh dan dapat diidentifikasi.
Pada tanggal 4 Mei 1897, sejumlah 126 orang Parisi dibakar sampai meninggal di Bazaar
de la Charite. Para korban sulit diidentifikasi secara visual karena umumnya dalam
keadaan terbakar luas dan termutilasi. Identifikasi sebagian besar korban berhasil
dilakukan berdasarkan temuan sisa pakaian dan barang milik pribadi yang masih utuh.
Sebanyak 30 mayat tidak berhasil diidentifikasi dan untuk mengidentifikasikannya
seorang konsul Paraguai yang mengenal banyak korban, meminta bantuan Dr. Oscar
Amoedo (dokter gigi Kuba yang berpraktek di Paris) dan dua orang dokter gigi Perancis,
Dr. Davenport dan Dr. Braul untuk melakukan pemeriksaan gigi-geligi para korban.
Berdasarkan pemeriksaan ini kemudian ternyata mereka berhasil mengidentifikasi
korban-korban ini. Setahun kemudian berdasarkan pengalamannya ini, Dr. Amoedo
menulis thesis yang berjudul LArt Dentaire en Medecine Legale. Buku Dr. Amoedo ini
merupakan buku odontologi forensik yang penting dan dianggap tidak kalah penting
dibandingkan buku Gustafson yang berjudul Forensic Odontology yang merupakan

Kitab Suci para pakar odontologi forensik yang ditulis pada tahun 1966.
Pada tahun 1906 di Carlisle, dua orang buruh dituduh mendobrak toko Koperasi dan
mencuri beberapa barang berharga. Pada penyelidikan, di tempat kejadian perkara (TKP)
ditemukan beberapa potong keju yang menunjukkan adanya bekas gigitan. Kedua orang
yang dicurigai tersebut ditahan dan diminta untuk membuat impresi giginya pada suatu
model. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pola gigi pada model yang dibuat olah
salah seorang tersangka ternyata bersesuaian (cocok) sama sekali dengan jejas pada keju.
Atas dasar ini orang tersebut kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum.
Pada tahun 1911 Elphinstone menulis bahwa pada peperangan tahun 1193, suatu mayat
berhasil dikenali sebagai mayat Raja Chei Chandra Rahtor of Cabouj berdasarkan
pengenalan atas gigi palsu yang dipakainya.

Pada tahun 1917 di dermaga Brooklyn ditemukan mayat yang kemudian dipastikan
sebagai seorang wanita yang telah menghilang 8 bulan sebelumnya. Identifikasi pada
kasus ini ditegakkan berdasarkan temuan bridge pada gigi geliginya. Jenazah Hitler dan
Eva Braun serta Martin Borman berhasil diidentifikasi berdasarkan pembandingan data
gigi, foto ronsen serta crown yang ditemukan pada gigi geliginya.
Pada tahun 1925 suatu laboratorium di California meledak dan meninggalkan satu badan
hangus diantara puing abu. Istri dan seorang pegawai memberikan kesaksian bahwa
badan tersebut adalah Tuan Schwartz, seorang ahli kimia di laboratorium tersebut.
Schwartz diketahui memiliki 2 gigi tanggal dan sisa gigi lainnya utuh. Pemeriksaan
secara teliti atas mayat hangus tersebut menunjukkan adanya banyak gigi yang
mengalami caries dentis dan 2 gigi yang baru saja dicabut. Berdasarkan hal itu

disimpulkan bahwa korban bukanlah Scwartz dan kemudian terbukti Schwartz masih
hidup. Scwartz sendiri kemudian mengakui bahwa pria tersebut adalah korban yang
dibunuh olehnya, dipotong-potong lalu dibakarnya untuk menghilangkan jejak.
Pada beberapa kasus orang hidup, pemeriksaan gigi juga terbukti berperan untuk
menentukan identitas seseorang. Pada tahun 1928 Nyonya Tchaikowskaya menyatakan
bahwa ia adalah Grand Duchesss Anastasia, adik bungsu Czar Rusia terakhir yang
dibunuh. Di pengadilan, dimajukan dokter gigi pengadilan yaitu Dr. Kostritsky sebagai
saksi ahli. Dokter ini adalah dokter gigi yang pernah memeriksa gigi Anastasia sewaktu
putri itu masih kecil. Pembandingan data gigi ibu tersebut dengan susunan gigi
menunjukkan bahwa itu tersebut bukanlah Anastasia.

Odontologi forensik berperan pada identifikasi korban peperangan dengan korban


meninggal yang banyak. Norstromme dan Strom menyatakan bahwa setelah penggalian
jenazah atas korban peperangan, sebanyak 96 % tentara Norwegia dapat diidentifikasi
hanya dengan pemeriksaan gigi. Pada kasus ini identifikasi dengan metode lainnya sulit
dilakukan karena para tentara tersebut telah dijarah semua pakaian dan harta bendanya
oleh musuhnya sebelum dieksekusi. Di AS meskipun sejak tahun 1946 Kongres
Kedokteran Forensk dalam bidang Odontologi Forensik se AS di Havana telah menyadari
pentingnya odontologi forensik untuk identifikasi, penggunaan odontologi forensik secara
luas pada korban perang baru dilakukan setelah perang Korea. Pada korban perang
tersebut disadari betapa besarnya peranan odontologi forensik untuk identifikasi korban
yang kondisinya sudah hancur.
Sayangnya sejak tahun 1907, pola dasar odontologi forensik hanya sedikit sekali berubah,

kecuali dalam hal meterial dan tehnik laboratoris serta beberapa perbaikan pada teknologi
ilmiah dan fotografi.
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:40 AM
PERANAN DOKTER GIGI FORENSIK
Sebagaimana telah diterangkan diatas, benda bukti gigi sudah sejak lama disadari
mempunyai peran yang besar dalam identifikasi personal dan pengungkapan kasus
kejahatan. Bagi para aparat penegak hukum dan pengadilan, pembuktian melalui gigi
merupakan metode yang valid dan terpercaya (reliable), sebanding dengan nilai
pembuktian sidikjari dan penentuan golongan darah.
Seorang dokter gigi forensik harus memiliki beberapa kualifikasi sbb :
1. Kualifikasi sebagai dokter gigi umum.
Kualifikasi terpenting yang harus dimiliki oleh seorang dokter gigi forensik adalah latar
belakang kedokteran gigi umum yang luas, meliputi semua spesialisasi kedokteran gigi.
Sebagai seorang dokter gigi umum, kadang-kadang ia perlu memanggil dokter gigi
spesialis untuk membantunya memecahkan kasus.
2. Pengetahuan tentang bidang forensik terkait.
Seorang dokter gigi forensik harus mengerti sedikit banyak tentang kualifikasi dan bidang
keahlian forensik lainnya yang berkaitan dengan tugasnya, seperti penguasaan akan
konsep peran dokter spesialis forensik, cara otopsi, dsb.
3. Pengetahuan tentang hukum.Seorang dokter gigi forensik harus memiliki pengetahuan
tentang aspek legal dari odontologi forensik, karena ia akan banyak berhubungan dengan
para petugas penegak hukum, dokter forensik dan juga pengadilan. Dalam hal kasus

kriminal ia juga harus paham mengenai tata cara penanganan benda bukti yang
merupakan hal yang amat menentukan untuk dapat diterima atau tidaknya suatu bukti di
pengadilan
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:39 AM
RUANG LINGKUP ODONTOLOGI FORENSIK
Ruang lingkup odontologi forensik sangat luas meliputi semua bidang keahlian
kedokteran gigi. Secara garis besar odontologi forensik membahas beberapa topik sbb:
1. Identifikasi benda bukti manusia.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Penentuan jenis kelamin dari gigi.
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Penentuan etnik dari gigi.
6. Analisis jejas gigit (bite marks).
7. Peran dokter gigi forensik dalam kecelanaan massal.
8. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:39 AM 0 comments
ODONTOLOGI FORENSIK DI INDONESIA
Di Indonesia dapat dikatakan saat ini belum ada pakar odontologi forensik yang
sesungguhnya, dalam arti yang memang mendapatkan pendidikan khusus tentang itu. Hal
ini disebaban karena bidang ini masih kurang peminatnya dan untuk memperdalamnya

diperlukan pendidikan khusus di luar negeri. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti
tidak ada dokter gigi yang berperan sebagai dokter gigi forensik dan membantu
pengungkapan identitas korban.

Pada banyak kasus kriminal yang memerlukan bantuan identifikasi dokter gigi, tercatat
ada beberapa dokter gigi yang kerap membantu penyidik. Diantara sedikit dokter gigi ini
adalah dokter gigi Alphonsus R. Quendangen, staf pada Dinas Kedokteran dan Kepolisian
(Ladokpol), yang paling banyak menangani, menulis dan memperkenalkan odontologi
forensik berdasarkan berbagai kasus gigi forensik yang ditanganinya. Beliau pula dokter
gigi yang pertama kali mengembangkan mata kuliah Kedokteran Gigi Forensik untuk S1
Kedokteran Gigi di FKG Trisakti. Dalam beberapa tahun terakhir ini, FKG-UI, dengan
dibantu staf pengajar dari Bagian Kedokteran Forensik FKUI, ternyata telah pula mulai
merintis diberikannya mata kuliah Odontologi Forensik pada mahasiswa semester 7 di
FKGUI. Selain itu secara perlahan telah mulai pula ada mahasiswa S1 maupun S2 yang
membuat skripsi serta tesis dengan materi penelitian odontologi forensik. Hal ini tentu
perkembangan yang menggembirakan dan diharapkan dapat menjadi awal bagi
kebangkitan odontologi forensik di Indonesia pada masa-masa yang akan datang.

Berbeda dengan penerapan odontologi forensik di luar negeri, peranan pemeriksaan gigi
di Indonesia memiliki banyak keterbatasan. Hal yang menjadi masalah utama adalah
masih kurang membudayanya perilaku berobat ke dokter gigi sehingga hanya sedikit
masyarakat yang pernah ke dokter gigi. Dari antara yang berobat ke dokter gigipun,
hanya sedikit saja yang mempunyai rekam medis yang baik dan lengkap. Hal ini

menyebabkan identifikasi personal berdasarkan ciri khas susunan gigi, adanya restorasi
gigi dsb sulit dilakukan karena ketiadaan data antemortem. Dengan demikian, sebagai
pemecahannya, terhadap material gigi dilakukan pemeriksaan untuk mendapatkan data
lain, antara lain ras, jenis kelamin, umur, golongan darah, profil DNA dsb.
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:38 AM
PENUTUP
Odontologi forensik sebagai suatu ilmu terapan Kedokteran Gigi telah lama dikenal,
meskipun sempat mengalami kevakuman perkembangan untuk waktu yang cukup lama.
Saat ini dengan semakin canggihnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kasus-kasus
kematian massal dengan korban tidak dikenal juga meningkat tajam. Pada kasus kasus ini
serta kasus-kasus kriminil, bantuan dokter gigi dalam melakukan pemeriksaan odontologi
forensik merupakan kebutuhan yang nyata.

Perkembangan mutakhir teknologi kedokteran gigi dan kedokteran telah menyebabkan


banyak perubahan dalam metode identifikasi personal. Dari bahan gigi dan tulang
misalnya, pada saat ini kita telah dapat melakukan analisis DNA yang dapat menunjukkan
identitas, jenis kelamin dsb secara cepat dan tepat.
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:37 AM
DAFTAR PUSTAKA
1. Standish SM, Stimson PG. The scope of Forensic Dentistry. The Dental Clinics of

North Amerika 1997; 21(1) : 3-5.


2. Luntz LL. History of Forensic Dentistry. The Dental Clinics of North America 1997;
21(1): 7-18.
3. Harvey W. Dental Identification and Forensic Odontology. First ed. London: Henry
Kimpton Pub 1976: 1-6.
4. Brown KA. Dental Identification of Unknown Bodies. Proceedings of the First Asian
Pacific Congress on Legal Medicine and Forensic Sciences. Singapore 1983: 136-40
posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:36 AM 0 comments

Anda mungkin juga menyukai