Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Bahan Baku


Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen syn.)
Kayu sengon memiliki sifat-sifat yaitu sangat ringan, agak kasar, agak
padat, berwarna putih segar tetapi makin menuju keteras kayu kadang-kadang
berwarna agak kemerah-merahan. Kayu sengon termasuk dalam kelas kuat IV
(Heyne, 1987). Tekstur kayu sengon agak kasar dan merata, arah seratnya lurus,
bergelombang lebar atau berpadu. Permukaan kayunya agak licin dan
mengkilap. Berat jenis kayu sengon berkisar antara 0,24-0,49 dengan rata-rata
0,33. Kayu yang masih segar berbau petai yang lambat laun hilang jika kayunya
menjadi kering.
Kayu sengon termasuk kelas awet IV-V, sehingga daya tahannya
terhadap serangan organisme perusak kayu adalah sangat rendah. Sifat kimia
dari kayu sengon adalah kadar selulosa 49,4%, kadar lignin 26,8%, kadar
pentosan 15,6%, kadar abu 0,6%, kadar silika 0,2% dan kadar ekstraktif larut
alkohol-benzen 3,4% (Martawijaya et al., 1989).

Kayu Meranti (Shorea spp.)


Martawijaya et al. (1989) menyatakan bahwa kayu meranti merah memiliki
warna kayu teras bervariasi dari hampir putih, coklat pucat, merah jambu, merah
muda, merah kelabu, merah-coklat muda dan merah sampai merah tua atau
coklat tua. Kayu gubal berwarna lebih muda dan dapat dibedakan dengan jelas
dari kayu teras, berwarna putih, putih kotor, kekuning-kuningan atau kecoklatcoklatan sangat muda, biasanya kelabu. Memiliki tekstur kayu dari agak kasar
sampai kasar dan merata. Arah seratnya agak berpadu, kadang hampir lurus,

bergelombang atau sangat berpadu. Permukaan kayunya agak licin sampai licin
dan agak mengkilap.
Kayu meranti merah mempunyai gambaran berupa pita pada bidang
radialnya dan juga terdapat gambaran jari-jari yang kurang jelas. Rata-rata berat
jenis kayu meranti merah bervariasi menurut jenisnya dari 0,40-0,77. Kelas kuat
berkisar antara II-IV. Kelas awetnya secara umum termasuk dalam kelas III-IV.
Sifat kimia dari kayu meranti merah adalah kadar selulosa 49,6-56,1%, kadar
pentosan 8,2-24,21%, kadar abu 0,24-0,86%, kadar silika 0,06-0,86% dan kadar
ekstraktif larut alkohol-benzen 0,6-5,39% (Martawijaya et al., 1989). Sedangkan
kadar lignin berkisar antara 24,48-30% (Syafii et al., 1988).

Kayu Jati (Tectona grandis LINN.f.)


Kayu jati termasuk kayu mewah dengan kelas kuat II dan mempunyai nilai
dekoratif yang indah. Lingkaran tahun tampak jelas karena adanya perbedaan
kayu awal dan kayu akhir. Stabilisasi dimensinya baik sehingga sesuai untuk
keperluan bahan baku industri meubel, rangka pintu dan jendela, panel pintu
serta vinir indah (Mandang dan Pandit, 1997).
Warna kayu teras jati adalah coklat muda, coklat-kelabu sampai coklatmerah tua atau merah coklat. Warna kayu gubalnya adalah putih atau kelabu
kekuning-kuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat lurus
atau kadang-kadang agak terpadu. Permukaan kayu licin atau agak licin, bahkan
terkadang seperti berminyak. Kayu jati berbau bahan penyamak yang mudah
hilang. Berat jenis berkisar antara 0,62-0,75 dengan rata-rata 0,67. Kayu jati
termasuk kelas awet II dan dilaporkan sangat tahan terhadap serangan jamur.
Sifat kimia dari kayu jati adalah kadar selulosa 47,5%, kadar lignin 29,9%, kadar
pentosan 14,4%, kadar abu 1,4%, kadar silika 0,4% dan kadar ekstraktif larut
alkohol-benzen 4,6% (Martawijaya et al., 1989).

Kimia Kayu

Komponen kimia utama penyusun kayu adalah selulosa, hemiselulosa, dan


lignin.

Gambaran

yang

disederhanakan

menunjukkan

bahwa

selulosa

membentuk kerangka yang dikelilingi oleh senyawa-senyawa lain yang berfungsi


sebagai matriks (hemiselulosa) dan bahan-bahan yang melapisi (lignin) (Gambar
1) (Kirk dan Cullen,1998). Selain itu pada beberapa spesies terdapat juga
komponen kimia yang lain yang disebut ekstraktif. Ekstraktif terendap pada
rongga sel kayu selama pembentukan kayu teras. Pada spesies kayu yang
berbeda, jenis dan komposisi masing-masing komponen kayu tersebut juga
berbeda.

Gambar 1. Skema dinding sel kayu dan hubungan lignin, selulosa dan hemiselulosa
dalam dinding sekunder. M.L: lamella tengah, P: dinding primer, S1: dinding sekunder 1,
S2: dinding sekunder 2, S3: dinding sekunder 3 (Kirk dan Cullen,1998)

Selulosa
Selulosa merupakan konstituen utama kayu. Kurang lebih 40-45% bahan
kering kayu (baik kayu daun jarum maupun kayu daun lebar), terutama di dinding
sekunder terdiri dari selulosa. Dalam dinding sel kayu, selulosa berfungsi untuk
memberikan kekuatan (Sjostrom, 1995).
Selulosa adalah polimer rantai panjang yang tersusun dari monomer -Dglukosa dalam bentuk piranosa yang bersatu dengan menggunakan ikatan -1,4-

glikosida. Ikatan menunjukkan bahwa tiap unit glukosa membentuk rotasi 180o.
Perputaran ini menyebabkan selulosa memiliki simetrisitas yang tinggi.
Pasangan antara molekul selulosa yang berdekatan terjadi karena ikatan
hidrogen dan gaya Van der Waals menghasilkan susunan paralel sejajar dan
struktur kristalin (Gambar 2B)(Zhang dan Lynd, 2004). Molekul-molekul selulosa
seluruhnya berbentuk linier dan memiliki kecenderungan membentuk ikatan -OH
intramolekul (antara monomer glukosa dalam 1 rantai selulosa yang sama) dan
intermolekul (antara monomer glukosa dari 2 rantai selulosa yang berdekatan).
Pada kedua ujung rantai selulosa terdapat gugus OH tetapi dengan perilaku yang
berbeda. Gugus C1-OH adalah gugus hidrat aldehida yang mempunyai sifat
pereduksi, sedangkan gugus OH pada akhir C4 merupakan gugus hidroksil
alkohol yang bersifat non pereduksi (Fengel dan Wegener, 1995).
A

HO

OH

HO

HO

OH

HO

OH

O
HO

OH

O
HO

OH

HO

HO

OH

1,04 nm

Gambar 2. A. Struktur selulosa dengan pengulangan unit selobiosa (Atalla, 1999).


B. Selulosa kristalin (Mosier et al., 1999 dalam Zhang dan Lynd, 2004).

Derajat polimerisasi atau banyaknya monomer -D-glukosa yang menyusun


1 rantai selulosa pada kayu adalah 7.000-10.000 (Goldstein, 1981). Secara tepat
unit ulangan dari rantai selulosa adalah unit selobiosa dengan ukuran panjang
1,04 nm dan lebar 0,54 nm (Gambar 2A). Ikatan intermolekul menggabungkan
antar rantai selulosa sehingga terbentuk mikrofibril. Gabungan dari mikrofibril

membentuk makrofibril dan gabungan dari makrofibril akhirnya membentuk


dinding sel kayu. Mikrofibril selulosa dalam kayu mengandung kurang lebih 40
rantai selulosa dan mempunyai daerah kristalin kurang lebih 100-150 unit
selobiosa yang dipisahkan oleh sedikit daerah amorfous (Atalla, 1999).
Ikatan-ikatan glikosida dalam selulosa terlarut atau amorf mudah dihidrolisis
oleh semua tipe asam dan hidrolisis enzimatis. Tetapi dalam prakteknya terdapat
2 hambatan umum pada hidrolisis selulosa dari serbuk kayu yaitu karena adanya
kandungan lignin di dalam kayu sebagai bahan lignoselulosa dan karena adanya
struktur kristalin dari selulosa (Fengel dan Wegener, 1995). Hubungan antara
struktur selulosa dengan laju hidrolisis enzim telah dipelajari secara ekstensif
tetapi belum terbentuk suatu pemahaman yang menyeluruh. Struktur selulosa
biasanya dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi laju hidrolisis,
antara lain termasuk di dalamnya yaitu: indek kristalinitas, derajat polimerisasi
dan asesibilitas area (Zhang dan Lynd, 2004).

Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah rantai polimer bercabang dari berbagai jenis monomer
(monosakarida) yang berbeda atau sering disebut heteropolimer. Monomermonomer hemiselulosa antara lain D-glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa,
L-arabinosa dan sedikit L-ramnosa. Kebanyakan hemiselulosa mempunyai
derajat polimerisasi 100-200 (Sjostrom, 1995).
Goldstein (1981) menyatakan bahwa prosentase hemiselulosa di dalam
kayu daun lebar kurang lebih adalah 30%, sedangkan pada kayu daun jarum
adalah 25%. Komposisi jenis hemiselulosa antara kayu daun lebar dan kayu
daun jarum juga berbeda. Hemiselulosa utama dalam kayu daun lebar adalah
xilan. Xilan merupakan suatu homopolimer yang tersusun dari xilosa sebagai
rangka dasar dan asam turunan asam uronat pada cabang rantai tiap 10 satuan

xilosa, selain itu pada cabang rantai juga terdapat arabinosa (Gambar 3A). Pada
hemiselulosa kayu daun lebar kandungan manan hanya terdapat dalam jumlah
kecil. Galaktoglukomanan merupakan hemiselulosa pokok pada kayu daun jarum
(kurang lebih 20%). Struktur tulang punggungnya tersusun atas glukopiranosa
dan manopiranosa dengan ikatan -1,4-glikosida (Gambar 3B).
A

HO

OR

HO

OR

O
O
HO

HO

O
HO

OR

H3 CO
CO2 H

CH2 OH

OR

OR

CH2 OH

OR

O
O
HO

OH
HO

OR

O
CH2 O
HO

O
OR

OR

HO
CH2 OH

Gambar 3. A. Struktur O-asetil-4-O-metilglukoronoksilan (hemiselulosa utama di kayu


daun lebar). B. Struktur O-aselilgalaktoglukomanan (hemiselulosa utama pada kayu daun
jarum) (Kirk dan Cullen, 1998)

Hemiselulosa merupakan matriks penggabung antar mikrofibril selulosa


dalam dinding sel kayu. Hemiselulosa juga bersifat tidak mudah larut di dalam
air, akan tetapi dapat larut dalam basa kuat. Hemiselulosa lebih mudah
terhidrolisis dalam asam dibanding selulosa, hal ini karena struktur hemiselulosa
yang amorfous dan derajat polimerisasinya yang lebih rendah dibanding selulosa
(Lewin dan Goldstein, 1991).

Lignin
Lignin adalah suatu kompleks polimer 3 dimensi yang diproduksi secara in
vivo oleh enzim penginisiasi polimerisasi dehidrogenatif dari 3 monomer
fenilpropana, yaitu p-hidroksilamin alkohol, koniferil alkohol dan sinapil alkohol.
Polimer lignin terbentuk melalui ikatan eter yang terdiri dari unit-unit fenilpropana
yang saling bergabung (Gambar 4). Biosintesis lignin dari unit fenilpropana
dinyatakan secara umum sebagai polimerisasi dehidrogenatif. Kompleks polimer
lignin berperan sebagai pemberi kekuatan fisik, pertahanan terhadap serangan
mikrobia dan pertahanan terhadap permeabilitas air ke matrik polisakarida
dinding sel tumbuhan (Whetten et al., 1998).

Gambar 4. Model struktur lignin (Brunow, 2001 dalam Lankinen, 2004)

Prekursor lignin yaitu p-coumaryl alkohol, koniferyl alkohol and sinapyl


alkohol tersusun atas sebuah cincin aromatic dan 3 karbon rantai samping.
Prekursor tersebut kemudian membentuk 3 tipe subunit yaitu hydroxyphenol- (Htype), guaiacyl- (G-type) and syringyl subunits (S-type) (Gambar 5). Suatu hal
yang khas yang ditemukan pada polimer lignin adalah tidak ada ikatan dari satu
jenis subunit penyusun yang berulang. Polimer lignin tersusun atas distribusi
secara acak dari tiap-tiap subunit, dengan kurang lebih membentuk 10 macam
tipe katan yang berbeda. Jenis ikatan yang paling banyak ditemukan adalah aryl ether (-O-4) (Gambar 6).

Parakomaril alkohol

Koniveril alkohol

Sinapil alkohol

Gambar 5. Struktur kimia 3 subunit penyusun lignin (Lankinen, 2004)

Gambar 6. Ikatan -aryl ether pada lignin kayu (Jeffries, 1994)

Lignin tahan terhadap degradasi oleh sebagian besar mikroorganisme.


Meskipun demikian, jamur tertentu mampu menguraikan lignin secara selektif.
Karena strukturnya yang kompleks dan jenis ikatan pada lignin bersifat tahan
terhadap air, maka hal ini menyebabkan lignin menjadi sulit didegradasi. Masa
molekul lignin adalah 100 kDa atau lebih, hal ini dapat mencegah masuknya sel

mikrobial seperti jamur. Oleh karena itu biodegradasi lignin biasanya terjadi
melalui aktivitas enzim ekstraseluler dari organisme pendegradasi lignin.
Menurut Campbell and Sederoff (1996) kandungan struktur dan komposisi
lignin bervariasi pada populasi tanaman spesies tertentu. Gimnospermae
(kelompok kayu daun jarum), mempunyai lignin yang subunit penyusun
utamanya adalah guaiasil (> 90%) dengan sedikit p-hydroxyphenyl yang tidak
termetoksilasi. Tipe lignin dari angiospermae (kelompok kayu daun lebar) adalah
lignin guaiasil-siringil, yang terbentuk dari ko-polymerisasi koniferil and sinapil
alkohol. Lignin rumput-rumputan tersusun atas subunit siringil, guaiasil dan phydroxyphenyl dengan perbandingan komposisi berturut-turut 40% : 40% : 20%
(Stenius, 2000).
Prosentase lignin pada kayu daun lebar kurang lebih adalah 20%, dan lebih
banyak dijumpai jenis lignin guaiasil-siringil dengan nisbah bervariasi dari 4:1
hingga 1:2 (Sjostrom, 1995). Kayu daun lebar dengan kandungan lignin siringil
yang lebih banyak (perbandingan siringi:guaiasil (S/G rasio) yang tinggi)
mempunyai laju delignifikasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kayu
daun lebar yang sedikit mengandung lignin siringil (S/G rasio yang rendah). Kayu
sengon mempunyai nilai S/G rasio sebesar 2,03 sedangkan kayu meranti
mempunyai nilai S/G rasio sebesar 1,87 (Syafii, 2001).

Kompleks Lignin Karbohidrat


Lignin umumnya tidak pernah ditemukan dalam bentuk sederhana diantara
polisakarida-polisakarida dinding sel, tetapi selalu tergabung atau berikatan
dengan polisakarida tersebut. Bentuk kompleks lignin karbohidrat (Lignincarbohydrate complexes (LCCs)) adalah beraneka ragam berbeda-beda pada
setiap jenis tanaman. Lignin secara langsung ataupun tidak langsung berikatan
kovalen dengan karbohidrat (Jeffries, 1994).

Kurang lebih 100 unit glukan selulosa bergabung menjadi serat elementari
dengan lebar daerah kristalin 4-5 nm, dan sekitar 40 serat elementari ini tertanam
dalam matrik hemiselulosa membentuk mikrofibril dengan ketebalan 7-30 nm.
Selanjutnya proses lignifikasi terjadi pada bagian akhir proses pembentukan
serat alami, sehingga lignin terletak terutama pada bagian luar mikrofibril dengan
ikatan kovalen dengan hemiselulosa (Zhang dan Lynd, 2004).
Interaksi antara lignin dengan polisakarida lebih dipengaruhi oleh ikatan
kimia daripada bentuk-bentuk asosiasi seperti ikatan hidrogen, gaya Van der
Waals dan khemosopsi (Fengel dan Wegener, 1984). Ikatan kimia yang bersifat
stabil yang paling banyak ditemukan pada kompleks lignin karbohidrat adalah
ikatan ester. Ikatan ester terjadi antara gugus karboksil bebas dari asam uronik
pada hemiselulosa dan gugus benzil pada lignin (Jeffries, 1994). Jenis ikatan lain
yang ditemukan pada kompleks lignin karbohidrat adalah ikatan eter dan
glikosida.

CH 2 O
O

HOCH 2

CH
CH

4-O-Me-glucoronic

CH 2 O
O
CH 2 O

OH
HO

-(1-4)-D-xylan

HO
O

HO

OH

HO
O
HO

OH

O
HO

OH

H2 C

a-(1-3)-L-arabinosa

OH

OH
OH

Gambar 7. A. Penggabungan materi lignoselulosa membentuk struktur mikrofibril (Klein


and Snodgrass, 1993 dalam Zhang dan Lynd, 2004). B. Struktur ikatan ester antara
lignin dengan arabino-4-O-methilglucomonoxylan pada Pinus (Watanabe dan Koshijima,
1988 dalam Jeffries, 1994b)

Ekstraktif dan Abu

OH

Zat ekstraktif terdiri dari berbagai jenis komponen senyawa organik seperti
minyak yang mudah menguap, terpen, asam lemak dan esternya, lilin, alkohol
polihidrik, mono dan polisakarida, alkaloid, dan komponen aromatik (asam,
aldehid, alkohol, dimer fenilpropana, stilbene, flavanoid, tannin dan quinon). Zat
ekstraktif adalah komponen diluar dinding sel kayu yang dapat dipisahkan dari
dinding sel yang tidak larut menggunakan pelarut air atau organik (Lewin dan
Goldstein, 1991). Kayu teras secara khas mengandung zat ekstraktif jauh lebih
banyak dari pada kayu gubal. Kandungan zat ekstraktif dalam kayu biasanya
kurang dari 10% (Sjostrom, 1995).
Kandungan dan komposisi zat ekstraktif berubah-ubah diantara spesies
kayu, dan bahkan terdapat juga variasi dalam satu spesies yang sama
tergantung pada tapak geografi dan musim. Sejumlah kayu mengandung
senyawa-senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah
bakteri, jamur dan rayap. Selain itu zat ekstraktif juga dapat memberikan warna
dan bau pada kayu (Fengel dan Wegener, 1995).
Kayu juga mengandung komponen-komponen anorganik. Komponen ini
diukur sebagai kadar abu yang jumlahnya jarang melebihi 1% dari berat kering
kayu. Abu ini berasal terutama dari berbagai garam yang diendapkan dalam
dinding sel dan lumen (Sjostrom, 1995). Fengel dan Wegener (1995)
menyatakan bahwa komponen abu utama dalam kayu adalah Ca (hingga 50%),
K dan Mg, yang diikuti oleh Mn, Na, P dan Cl. Selain itu juga masih terdapat
unsur-unsur lain yang disebut sebagai unsur runut dengan konsentrasi di dalam
kayu tidak lebih dari 50 ppm.
Mineral tidak hanya terikat dalam diding sel tetapi juga diendapkan dalam
rongga sel parenkim dan dalam serat libriform. Endapan mineral kebanyakan
terdiri atas kalsium karbonat, kalsium oksalat dan silikat yang mempunyai bentuk
yang berbeda-beda. Kristal yang muncul dalam kayu setelah terserang oleh

jamur atau bakteri disebabkan oleh hasil metabolik mikroorganisme tersebut


(Fengel dan Wegener, 1995).
Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall.

Jamur Phanerochaete chrysosporium Burdsall. termasuk dalam kelompok


jamur pelapuk putih (white-rot fungi), dan merupakan jamur kelas Basidiomisetes
yang juga menyerang holoselulosa, namun pilihan utamanya adalah lignin.
Sistematika dari jamur ini selengkapnya adalah kelas Basidiomycetes, sub kelas
Holobasidiomycetes I atau Hymenomycetes I, ordo Aphylophorales, famili
Certiciaceae, genus Phanerochaete dan spesies Phanerochaete chrysosporium
Burdsall (Crawford, 1981).
Jamur ini dapat tumbuh pada suhu optimum 39oC dan maksimum pada
suhu 50oC. Laju pertumbuhan pada media agar ekstrak malt pada suhu 25oC
adalah 15-20 mm per hari, sedangkan pada suhu 40 oC adalah 35-42 mm per
hari. Toleransi yang baik terhadap suhu tinggi dan kemampuannya untuk
memproduksi spora dalam jumlah besar dari jenis jamur ini menyebabkan
perlunya perhatian khusus bila digunakan dalam laboratorium. Merupakan jenis
pembusuk putih yang istimewa sehingga banyak dipelajari dan telah digunakan
secara komersial pada proses biopulping (Eaton dan Hale, 1993). Singh dan
Roymoulik (1996) melaporkan bahwa kemampuan P. chrysosporium dalam
mendegradasi lignin dapat mencapai 7% hingga 30% tergantung dari jenis lignin
dan waktu inkubasi. Sedangkan hasil penelitian Widjaja et.al. (2000) adalah
biodelignifikasi menggunakan P chrysosporium pada kayu memberikan derajat
delignifikasi yang lebih tinggi dibanding pinus. Delignifikasi tertinggi 55,02%
diperoleh pada hari ke-30 inkubasi pada sengon menggunakan media okara
penyangga yang diperkaya dengan media nitrogen terbatas.

Kemampuan jamur dalam mendegradasi lignin disebabkan karena adanya


enzim ekstraseluler yang disekresikan oleh hifa jamur. Menurut Eaton dan Hale
(1993) berbagai enzim yang berperan dalam proses degradasi lignin yang
disekresikan oleh jamur pelapuk putih adalah lignin peroksidase (LiP), mangan
peroksidase (MnP), lakase, demetoksilase, H2O2-generating enzyme dan enzim
pendegradasi monomer seperti selobiosa dehidrogenase, asam vanilat hidrolase
dan trihidroksi benzen dioksigenase. Namun enzim lignolitik yang utama adalah
lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP) dan lakase. Hasil penelitian
Koker et al. (1998) pada berbagai strains P.chrysosporium, menunjukkan bahwa
P.chrysosporium mempunyai aktivitas MnP bervariasi antara 0,059-0,180 U/g
medium, aktivitas LiP antara 0,019-0,072 U/g medium, dan aktivitas GLOX
(glyoxal oksidase) antara 0,013-0,042 U/g medium.

Gambar 8. Skema penyerangan lignin oleh enzim jamur Phanerochaete chrysosporium


(Akhtar et al., 1997)

Reaksi Degradasi Lignin Oleh Jamur


Proses degradasi lignin oleh jamur dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe
prefensi dan tipe simultan. Jamur tipe prefensi akan mendegradasi lignin terlebih
dahulu sebelum menguraikan hemiselulosa dan selulosa, sedangkan jamur tipe
simultan mampu mendegradasi selulosa, hemiselulosa dan lignin pada waktu
dan kecepatan yang sama (Eaton dan Hale, 1993). Mekanisme reaksi
delignifikasi enzimatik dijelaskan lebih rinci oleh Hattori dan Shimada (2001),
yaitu:

ligninase

dari

Phanerochaete

chrysosporium

(kemudian

disebut

peroxidase) mengkatalis pemutusan ikatan Ca-C lignin melalui mekanisme


oksidasi satu elektron menghasilkan produk aldehid aromatik dan phenylglycol.
Pemutusan selanjutnya adalah ikatan C-eter, pembelahan cincin aromatik lignin
dan pemutusan ikatan Ca-C lignin karbohidrat kompleks. Fengel dan Wegener
(1995) juga menyatakan bahwa reaksi-reaksi pemecahan menghasilkan
senyawa monomer dan dimer yang kebanyakan mengandung gugus karboksil.
Pemecahan cicin aromatik adalah dimaksudkan agar senyawa-senyawa
degradasi lignin tersebut dapat masuk ke dalam metabolisme internal jamur.
Monomer-monomer lain yang ditemukan sebagai hasil degradasi jamur adalah
asam vanilat dan asam veratrat. Skema degradasi lignin oleh jamur pembusuk
putih disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Skema lignolitik dari jamur pembusuk putih (Kirk dan Cullen, 1998)
Zabel dan Morrell (1992) menyatakan bahwa hasil analisis dari lignin sisa
degradasi oleh jamur pelapuk putih mengindikasikan hilangnya gugus metoksil
dan peningkatan kadar oksigen dan hidroksil. Perubahan struktur utama dari
lignin meliputi:
1. Demetilasi

OCH3

OH

2. Oksidasi dari a atom karbon


CH2

CH2

OCH3

OCH3

3. Pembelahan dari rantai samping antara a dan karbon dari unit phenyl
propane
CH2

O
C
C

CC

4. Hidroksilasi dan dioksigenasi pembelahan cincin aromatic


OH

O2

O
C

C=

5. Pembelahan langsung dari aryl gliserol--aryl ether


CH2
OH
C

CH2
OH
C
=
C=
O

O2
O

C=
O

OCH3
HO

O
H

OCH

OCH3

OCH3

O
H

OH
C=O

C
C
OCH3

OH

Kapang Trichoderma viride Person and Fries.

Trichoderma viride Person and Fries. adalah kapang yang termasuk dalam
genus trichoderma, famili monialiaceae, ordo moniales dan kelas fungi imperfecti.
Kapang trichoderma mempunyai cirri-ciri spesifik antara lain: miselium bersekat,
bercabang banyak, konidiospora berseptat dan cabang paling ujung berfungsi
sebagai sterigma, konidia berwarna hijau cerah dan bergerombol menjadi satu
membentuk bola, serta berkas-berkas hifa berwarna putih terlihat menonjol jelas
diatas konidiospora (Waluyo, 2004).
T.viride merupakan salah satu jamur pelapuk lunak yang memproduksi
komplek enzim selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase yang
dapat memutus selulosa kristalin. Penelitian mengenai pemisahan komplek

enzim selulase dari T.viride menunjukkan bahwa terdapat bermacam-macan


endoglukanase antara lain EG I dan EG II, dan eksoglukanase yaitu antara lain
selobiohidrolase, CBH I dan CBH II. Hal ini menunjukkan bahwa T.viride memiliki
kemampuan untuk mendegradasi selulosa kristalin dan selulosa non kristalin.
Pada enzim selulase T.viride dapat terjadi sinergisme, bukan hanya antara
endoselulase dengan eksoselulase, melainkan juga antar eksoselulase (Eaton
dan Hale, 1993).
Karakteristik enzim selulase dari T.viride adalah memiliki pH optimum 4 dan
akan tetap stabil pada pH antara 3-7. Suhu optimum adalah 50oC dan
aktivitasnya akan menurun bila suhunya lebih dari

50oC. Berat molekul

endoselulase yang dihasilkan oleh T.viride adalah 42000 dalton, eksoselulase


61000 dalton dan C1 (enzim yang mendegradasi struktur selulosa kristalin)
sebesar 60000 dalton (Fengel dan Wegener, 1995). Aktivitas enzim selulase dari
T.viride tipe QM6a adalah sebesar 2,6 U/mg sedangkan T.viride tipe QM9123
adalah sebesar 5 U/mg (Mandels et al., 1971).
Selain memproduksi enzim selulase, T.viride juga menghasilkan enzim
endo-1,4--xilanase yang dapat mendegradasi xilan. Berat molekul enzim
xilanase yang dihasilkan oleh T.viride adalah sebesar 22000 dalton (Ujiie et al.,
1991).
Yeast Saccharomyces cerevisiae Meyen ex Hansen.

Yeast atau khamir Saccharomyces cerevisiae biasa digunakan untuk


membuat roti, anggur dan bir. S. cerevisiae termasuk kedalam kelas
Ascomycetes yang dicirikan dengan pembentukan askus yang merupakan
tempat dihasilkannya askospora. S. cerevisiae memperbanyak diri secara
aseksual

dengan

bertunas

(Pelczar

dan

Chan,

1986).

Dinding

sel

saccharomyses terdiri dari komponen-komponen glukan, mannan, protein, khitin


dan lemak (Waluyo, 2004). Boyles (1984) menyatakan bahwa untuk setiap mol
glukosa yang dikonsumsi, S. cerevisiae menghasilkan entalpi katabolisme
sebesar 31 Kkal, energi bebas dari hidrolisis ATP (2 mol) sebesar 14,6 Kkal
dan entalpi untuk sintesis selnya hanya 0,23 Kkal. Entalpi dari metabolisme
sebagian besar dihabiskan pada aliran keluar entropy dan hanya sedikit yang
digunakan untuk sintesis materi sel.
Saccharomyces cerevisiae sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol
yang tinggi. Akan tetapi adanya kandungan furaldehid, asam organik dan
komponen fenolik (hasil samping hidrolisis asam selulosa) dapat menghambat
pertumbuhan S. cerevisiae, bahkan kandungan yang tinggi dari furaldehid,
furfural dan 5-hidroksimetil-furfural dapat bersifat meracuni (Brandberg et al.,
2004). Hasil penelitian Samsuri et al. (2005) pada fermentasi bagase yang diberi
perlakuan awal steam dan penjamuran dengan menggunakan S. cerevisiae
dapat menghasilkan etanol sebanyak 15,4 g/l.
Rendemen alkohol dari hexosa dalam fermentasi menggunakan yeast dari
genus Saccharomyces (pada kondisi yang optimal) dapat mencapai 90%
(Boyles, 1984). Hal yang menarik dari proses fermentasi oleh Saccharomyces
adalah pengubahan sebagian besar energi dari gula ke dalam bentuk etanol.
Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97% (Cambel, 1983).
Selain yeast S. cerevisiae, bakteri Zymomonas mobilis juga merupakan salah
satu bakteri yang efektif dalam fermentasi etanol, akan tetapi rendemen etanol
yang dihasilkan masih lebih sedikit dibanding yeast karena bakteri tersebut juga
menghasilkan sejumlah produk lain seperti asetat, laktat dan gliserol.
Sakarifikasi Fermentasi Simultan

Proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah proses kombinasi antara


hidrolisis selulosa secara enzimatik dengan fermentasi gula yang berkelanjutan
sehingga menghasilkan produk akhir berupa etanol. Tahapan-tahapan dalam
proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah sama dengan tahapan pada
hidrolisis dan fermentasi secara terpisah, hanya pada proses sakarifikasi
fermentasi simultan ini kedua proses tersebut berlangsung dalam 1 reaktor yang
sama. Yeast secara langsung menfermentasi produk gula yang dihasilkan dari
proses hidrolisis oleh komplek enzim selulolitik, sehingga laju sakarifikasi dan
rendemen etanol yang dihasilkan akan lebih tinggi jika dibanding hasil proses
sakarifikasi dan fermentasi yang terpisah. Keunggulan lain dari proses
sakarifikasi fermentasi simultan adalah penggunaan reaktor tunggal untuk
seluruh proses, sehingga dapat menekan biaya investasi alat. Selain itu adanya
etanol (hasil fermentasi) di dalam media menyebabkan media tidak mudah
terkontaminasi oleh organisme lain yang tidak diinginkan (Ballesteros et al.,
2004).
Proses sakarifikasi selulosa dan hemiselulosa dalam kayu menjadi gula
dapat dilakukan dengan hidrolisis enzimatik atau dengan menggunakan asam.
Jenis enzim yang berperan dalam hidrolisis tersebut adalah komplek selulase
dan hemiselulase (xilanase galaktanase dan mananase). Selulase adalah suatu
komplek enzim yang terdiri dari beberapa enzim yang berkerja secara bertahap
ataupun bersama-sama menguraikan selulosa menjadi glukosa.
Enari (1983) menyatakan bahwa pada proses hidrolisis selulosa ada 3
enzim yang bekerja secara bertahap, yaitu: selobiohidrolase, endoglukonase dan
-glukosidase dengan tahapan kerja sebagai berikut:
1. Endoglukonase menghidrolisis ikatan glikosidik 1-4 secara acak dan bekerja
terutama pada daerah amorf dari serat selulosa.

2. Selobiohidrolase menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan


menghasilkan

selobiosa.

Selain

itu

enzim

ini

dapat

menghidrolisis

selodekstrin tetapi tidak menyerang selobiosa.


3. -glukosidase menghidrolisis selobiosa dan selooligomer-selooligiomer
pendek lainnya menjadi glukosa.

Daerah

Daerah

Kristalin
Amorf

Gambar 10. Mekanisme hidrolisis enzim selulase (Miyamoto, 1997)

Secara biokimia fermentasi diartikan sebagai pembentukan energi melalui


senyawa organik, sedangkan pengertian dalam bidang industri fermentasi adalah
suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu produk oleh massa sel
mikrobia. Aplikasi proses fermentasi selalu terdiri dari 6 bagian utama proses,
yaitu: formulasi medium, sterilisasi, produksi starter, pemeliharaan pertumbuhan
mikroorganisme, pemanenan dan pemurnian produk, serta pembuangan limbah

(Wibowo, 1990). Monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol
oleh bermacam-macam mikroorganisme. Fermentasi gula sederhana (sukrosa
dan glukosa) menjadi etanol memiliki persamaan stoikiometri, yaitu:
C12H22O11 + H2O
C6H12O6

4 C2 H5OH + 4 CO2
2 C2H5OH + 2 CO2

Anda mungkin juga menyukai