Anda di halaman 1dari 19

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN-KONTEMPORER

Mar 28, '08 11:25 AM


for everyone

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN-KONTEMPORER?


Ada beberapa Kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam yang organik
tradisional, yang sekuler dan moderat.
A. Tipologi Pemikiran Politik Islamic Organik Tradisional.
Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia
merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas
yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara
berdasarkan syariah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan
pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang
memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang
sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala
aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha,
Sayyid Qutub dan Abu al-ala al-Maududi.
1. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan
lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun
mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap
despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik
supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di
berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia
dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya
karena Al-Quran, hadis dan ijma pun menghendakinya.
Tentu saja ahl al-hall wa al-aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk.
Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa
klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh
yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi
keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang
sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai
bidang.
Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam
pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan,
mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus
dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan
Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya
berada dalam posisi utopis dan romantis, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil
memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara
Islam berikutnya.
Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan
gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb
dan al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan yang dalam istilah Profesor Majid
Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah Profeser Tahir
Azhari Nomokrasi Islam.
2.

Sayyid Qutub dan al-Maududi

Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra
nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai
jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan
penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa
dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan
sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada
superemasi hukum Islam (syariah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang
pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di
muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat
dalam pengertian konsep politik Barat ., karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan
dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut
sebagai Theo-Demokrasi.
Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang
disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan
pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya
yakni syariat. Manusia diberik kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan
pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam
syariat diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin
yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk
menafisrkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas
terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran
terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan
ketentuan umum undang-undang Tuhan.
Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh
tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu
Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik
Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.
Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan
adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian,
segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun
yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.
Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan
kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan
Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan
dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang
berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syariah.
Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi
kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil
Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini
dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di
alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap
manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi,
manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga
atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip
yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip

tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi
menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif.
Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan,
Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada
orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat
syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus
mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus
melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya.
Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan
kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.
B. Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler
Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak
berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara.
Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan
Luthfi al-Sayyid.
Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan
dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti
tidak bisa berfungsi sejak awal. Tiga belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini,
tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syariyyah di al-Manshurah
menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan
mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi
yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah alIslam wa Ushul al-Hukm.
Tesis utama dari buku ini adalah:
1. Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.
2. Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat
Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
3. Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki
dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan
dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
4. Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia
Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat
Islam.
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian.
1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah
beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa
mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam
agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi
rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
2. Dalam bagia kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan
antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa
risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.
3. Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah
dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan

antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana
yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam
tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan,
termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafau al-Rasyidun bukanlah sistem
Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
Argumen pokok Ali Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik
dalam al-Quran maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam
pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang
jelas baik dalam al-Quran maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus
dibangun umat Islam.
Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr
(mereka yang berkuasa) dalam al-Quran (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir
sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan
tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada
mufassir besar al-Quran seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata
itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi
Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan
raja atau pun pemimpin politik.
Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih
tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan
teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik
Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak
berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam
adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat
oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.
Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan
bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak
menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Quran, menurutnya Tuhan
menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat
Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingankepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi
ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas
politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan
tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan
bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis
murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.
Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad
Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam
membangun negara, kaumMuslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan
Islamisme karenanya tidak lagi relevan.
Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan
filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan
pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada
sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan

dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsadasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu
pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama
hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria
perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.
Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ
tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri
dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum
syariat, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan bersama
di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam
bukanlah dasar Nasionalisme.
C. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat
Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat.
Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang
mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang
melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati
Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam
terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk
pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang
termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh
(1862-1905), dan Fazlurrahman.
1. Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)
Menurut Haikal, di dalam Al-Quran dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar
kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah
misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Quran juga tidak
secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak
aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di baiat
masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri
bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang
dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia)
terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada
3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme
murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga,
persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi
prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan
takwa.
2. Muhammad Abduh (1862-1905)
Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun
Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak
menetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan
sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan
masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh
menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu
mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari

konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di


atas.
Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi
pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah.
Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk
kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal
kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di
Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan
Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah
dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak
memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan
politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak
berlandaskan agama.
Jelasnya menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1)
Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk
menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan;
(2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam
kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang
untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang
lain.
Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis
kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun
yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi
Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk
memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya,
yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak
terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit,
dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta
mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.
Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan
sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa
kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia
bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala
negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya
merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.
Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan
mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama
hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya
penguasa lengkap dengan aparatny/a. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab
kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa
sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik
kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala
negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat
kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang
dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja
tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala

negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan
syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi
tidak dapat dipaksakan.
Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila
pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, rakyat harus
meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak
menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai.
Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat
dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak
memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan
prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang
yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara
lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi
negara setempat.
Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, Suyuthi Pulungan menyimpulkan bahwa
tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi
memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang
umum. Persepsinya tentang negara dan pemerintahan, lanjut Sayuti, mencerminkan
bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat
menerima negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran
keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia
tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan
politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip
Islam.
3. Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir
Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish
Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Quran dan Hadis,
preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya FazlurRahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak
pada ekstrimitas, dan lil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang
tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang
egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak
melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syra (musyawarah). Syra bukan
berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu
antara khalifah dan ahl halli wa alalqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi
bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya
lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat
material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik
para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang
telah dijelaskan di muka.
Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama-tama ia
menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat
mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika
Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10

orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem


kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang
telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada
terminologi baiah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui
negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo
kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep
dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim.
Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum
Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri
bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia
biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim.
Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis
sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif
yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan
negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang
sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syra, ijtihd, dan
penerapan syariat yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang
bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim
diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis.
Source: http://grms.multiply.com/journal/item/25
Mabni Darsi,MA, Alumnus International Islamic University Pakistan

Negara Islam dalam Pemikiran Politik Gerakan Islam


Kontemporer
Fenomena kemenangan gerakan Islam (Islamic movement) di pentas politik kerap
menjadi sorotan para pengamat Barat dan pengamat muslim sekuler. Salah satu alasan
yang sengaja mereka hembuskan adalah bahwa gerakan Islam mempunyai hidden agenda
yaitu mendirikan Negara Islam yang berlandaskan ideology Islam. Sehingga meskipun
kemenangan gerakan Islam lewat proses demokrasi kerap kali tudingan itu tertuju kepada
gerakan Islam sehingga dikalangan para pengamat Barat, sebagaimana dikutip oleh John
L. Esposito ada kecurigaan dan kekhawatiran akan terjadinya hijack democracy
(pembajakan demokrasi) oleh gerakan Islam yang tampil di kancah politik.
Kemenangan HAMAS dalam proses pemilu, - sebelumnya George W.Bush menyambut
positif pemilu tersebut dan menyatakan sebagai pemilu paling demokratis di Timur
Tengah - , namun setelah hasil pemilu dimenangkan oleh HAMAS degan serta merta
Amerika dan Uni Eropa dan komplotannya ramai-ramai melumpuhkan pemerintahan
Haniya dengan cara mengembargo secara ekonomi. Sebelumnya kemenagan FIS di
Aljazair juga tidak luput dari penolakan Gedung Putih. Kemenangan partai Refah di
Turki di bawah pimpinan Najmudin Erbakan juga hanya seumur jagung. Kemengan
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki juga tidak luput dari tudingan stigma

negative meskipun partai tersebut secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai partai
sekuler.
Ketika partai Islam seperti PKS mendapatkan suara yang cukup signfikan, pertanyaan
tentang Negara Islampun bertubi-tubi ditujukan kepada para petinggi partai berasaskan
Islam tersebut. Kini setelah partai tersebut memutuskan untuk berkoalisi dengan Partai
Demokrat dan mengajukan Cawapres kepada presiden SBY, kekhawatiran itupun kembali
mencuat ke permukaan khususnya dari kalangan yang sejak awal memang telah
mencurigai kemunculan PKS (sebelumnya bernama PK) di ranah politik nasional.
Gerakan Islam dan Demokrasi
Sebagai sistem impor dan produk Barat Western product , Demokrasi memang menuai
kontrofersial dikalangan ulama dan tokoh-tokoh Islam (di sini bukan tempatnya untuk
membawakan argumen masing-asing pihak). Kita dihadapkan kepada sebuah fakta bahwa
pasca kemerdekaan Negara-negara mayoritas muslim dari imperialisme Barat, sistem
demokrasi menjadi yang berlaku di hampir seluruh negara-negara tersebut.
Kaum musliminin dihadapkan kepada pranata-prananata demokrasi seperti pemilihan
umum, sistem presidensial dan sitem parlementerial. Sebagian kaum muslimin yang tidak
puas dengan sistem ini memilih jalur konfrontasi dan angkat senjata sebagai pilihan untuk
mendirikan Negara Islam, sehingga di Indonesia lahirlah NII (Negara Islam Indonesia),
DI (Darul Islam) Korto Suwiryo dan gerakan Kahar Muzakkar di Sulawesi. Natsir
dengan Masyuminya menempuh jalur yang 'lebih cerdas' dalam memahami demokrasi
sebagi sarana untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam. Bahkan keberhasilan Natsir
sebagai perdana mentri pertama di Indonesia adalah sebuah eksperimen pertama di dunia
Islam dimana seorang tokoh yang memperjuangkan cita-cita politik Islam berhasil masuk
ke jantung kekuasaan.
Dalam sejarah perjalan sejarah perjuangan kaum muslimin di Indonesia, dua jalan yang
berbeda antara aliran yang menempuh jalan 'demokrasi'dan jalan 'jihad' sama-sama
mempunyai penerus dan pengikut. Sehingga ada kelompok yang mengharamkan ikut
serta dalam proses demokrasi dan menempuh jalur 'jihad.' Dengan mengusung slogan
penegakan Syar'at Islam di bumi Indonesia. Sedangkan mereka yang ikut berpartisipasi
dalam proses demokrasi lebih banyak diilhami oleh cita-cita politik yang diperjuangkn
oleh M.Natsir dengan Masyuminya dan Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya.
Dan ada kelompok lain yang menjadi bagian dari gerakan internasional yaitu Hizbu
Tahrir mengusung penegakan kembali Khilafah Islamiyah.
Dalam pandangan tokoh-tokoh gerakan Islam, demokrasi adalah sistem yang bisa
dimanfaatkan oleh kaum muslimin meskipun memang diakui sistem ini tidak luput dari
kekurangan. Namun membiarkan sistem ini berjalan tanpa keikut sertaan gerakan Islam
justru akan melahirkan mudharat yang lebih besar terhadap kepentingan umat. Disamping
itu, sistem demokrasi yang berlandaskan segala keputusan kepada suara terbanyak ada
kesamaanya dengan sistem Syura dalam Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah dan
para Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan.

Namun yang membedakan 'suara terbanyak' dalam Islam dan 'suara terbanyak' dalam
sistem demokrasi, bahwa dalam Islam ranah Syura adalah ranah Ijtihadiyah; sesuatu yang
telah jelas keharamannya seperti zina tidak bisa dihalalkan lewat jalur demokrasi,
sebagaimana yang ditegskan oleh para ulama ushul fiqih " la ijtihada ma'an nash." Tidak
ada Ijtihad terhadap nash yang sudah qat'i. Dalam masyarakat yang mayoritas muslim,
kata Dr.Yusuf Al-Qaradhawi, mereka tidak akan menghalalkan hal-hal yang telah Allah
haramkan, dan inilah yang membedakan demokrasi di dunia Islam dengan demokrasi di
Barat. Menurut Abul A'la Almawdudi, pendiri Jama'at Islami di Pakistan, tidak ada jalan
lain untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam kecuali kaum muslimin harus tampil
dengan memanfaatkan proses demokrasi, seperti pemilihan umum. ' There is no other
way in a democratic system except to participate in the battle of elections, that is by
educating the public opinion in the country and changing the people's standard in
electing their representative by doing so, we would be in a position to hand power to
righteous men, who are eager to develop the country in the pure basis of Islam.' .
Syeikh Abdul Aziz bin Baz ulama kharismatik di Saudi Arabia yang semasa hidupnya
pernah menjadi mufti Saudi Arabia dalam sebuah wawancara dengan majalah Al-Jusur
yang terbit di Saudi Arabia edisi 6 Dzul Qa'dah 1424 H. : membolehkan kaum muslimin
ikut berpartisipasi dalam pemerintahan yang tidak berlandaskan Islam selama niat
mereka untuk memperbaiki Negara dan menyampaikan messege atau dakwah Islamiyah.
Syeikh Al-'Usaimin yang juga salah seorang ulama dari Saudi Arabia dengan tegas lagi
mengatakan bahwa tidak boleh membiarkan parlemen diisi oleh orang-orang fasik dan
sekuler.
Kaum sekuler selalu berusaha agar gerakan Islam tidak memasuki ranah pemerintahan
dan kekuasaan karena dengan demikian mereka akan lebih leluasa menyuarakan cita-cita
sekuler mereka. Sehingga dihembuskanlah pandangan-pandangan yang menyesatkan
umat seperti bahwa Islam hanya agama yang tidak ada kaitannya dengan politik dan
Negara. Mereka ingin 'memenjarakan' Islam hanya sebatas dinding masjid yang tidak
bisa keluar. Dan ironisnya tidak sedikit kaum muslimin yang terbawa arus menyesatkan
ini ikut menuding partai yang mengusung cita-cita dakwah dan politik Islam hanya
sekedar memburu kekuasaan. Padahal dalam Islam meraih kekuasaan bukanlah tindakan
yang menyalahi syari'at yang penting jalannya adalah dengan jalan terhormat.
Bentuk Negara Yang Dicita-citakan
Setelah gerakan Islam tampil di kancah politik dan mendapat popularitas signifikan dari
masyarakat maka muncullah pertanyaan-pertanyaan yang bernada curiga dari mereka
yang tidak menghendaki tampilnya gerakan Islam. Pertanyaan yang kerap muncul adalah
Negara bagaimanakah yang dikehendaki oleh gerakan Islam? Agenda mendirikan Negara
Islam kerap dianggap sebagai 'hiden agenda' dari gerakan Islam. Kurangnya pemahaman
tentang agenda-agenda politik Islam melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang salah
kaprah terhadap agenda politik gerakan Islam. Wajah thaliban di Afghanistan kerap
dijadikan oleh media Barat sebagai wajah gerakan Islam jika bekuasa. Padahal tokohtokoh dan inspirator gerakan Islam mengkritik tindakan thaliban yang justru banyak
mencoreng citra Islam.

Menela'ah platform dan agenda-agenda politik gerakan Islam di dunia Islam serta
pernyataan dan tulisan-tulisan tokoh dan inspirator gerakan Islam termasuk di Indonesia,
kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa mendirikan Negara Islam sama sekali
bukan agenda utama mereka. Tema utama mereka adalah Al-Islam huwal hal atau Islam
is the solution. Solusi Islam terhadap segala permasalahan bangsa yang mencangkup
politik, sosial dan ekonomi. Bagi gerakan Islam mewujudkan pemerintahan yang bersih
jauh dari korupsi, mensejahterakan rakyat (prosperity), mempertahankan integritas
bangsa dan Negara, menegakkan supermasi hukum, proesional, mendukung segala proses
demokratisasi di dunia Islam adalah agenda-agenda yang mendesak untuk diwujudkan.
Agenda-agenda tersebut adalah sebuah nilai-nilai universal yang diterima oleh seluruh
komponen bangsa.
Dr.Yusuf Al-Qaradhawi, salah seorang tokoh yang karya-karya ikut mengilhami gerakan
Islam kontemporer dalam karyanya Fiqhud Dawlah mengatakan bahwa Negara yang
dikehendaki oleh Islam adalah Negara yang belandaskan sipil bukan "Negara teokrasi"
atau "Negara kaum agamawan" yang selama ini dituduhkan oleh media-media Barat. Hal
senada ditegaskan oleh Abdul Mun'im Abdul Fatuh, salah seorang tokoh dan anggota
Maktab Irsyad Ikhwanul Muslimin di Mesir, dalam wawancara dengan islamonline
(14/12/2005) beliau menegaskan bahwa definisi kontemporer tentang Negara Islam
adalah Negara yang dihuni oleh mayoritas kaum muslimin. Negara sipil (madani) yang
dikelola oleh orang-orang yang profesonal, bukan Negara teokrasi yang dikelola oleh
kaum agamawan.
Lebih lanjut, beliau mengutip ungkapan Muhammad Mahdi 'Akif, mursyid 'am
(pimpinan) Ikhwanul Muslimin bahwa negara yang dicita-citakan adalah negara sipil
yang berlandaskan kepada kebebasan (hurriyah) dan demokrasi, memberikan hak kepada
warga negara untuk membentuk partai poltik. Negara Islam, lanjut Abdul Mun'im Abdul
Fatuh adalah Negara yang menerapkan pembagian kekuasaan (check and balance) antara
eksekutif, legilatif dan yudikatif. Bahkan sistem pembagian kekuasaan ini, menurut
beliau telah diterapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab.
Negara yang dikehendaki oleh Islam, menurut Syeikh Qaradhawi adalah Negara yang
berlandaskan kepada mufakat dan musyawarah bukan Negara kerajaan. Negara yang
dibangun berdasarkan berbagai prinsip demokrasi yang baik, tetapi berbeda dengan
demokrasi Barat , persamaan antara keduanya adalah keharusan rakyat memilih kepala
Negara, rakyat tidak boleh dipaksa untuk memilih pemimpin mereka, seorang kepala
Negara bertanggung jawab di hadapan wakil-wakil rakyat. Bahkan para wakil rakyat
tersebut, menurut Syeikh Qaradhawi berhak memecat (impeachment) bila sang pemimpin
melakukan hal-halyang inskonstitusional.
Dalam menegakkan cita-cita tersebut gerakan Islam harus bersama-sama dengan pihak
lain yang bisa saja berbeda secara ideology partai, dalam membangun Negara. Maka
koalisi setrategis (at-Tahluf as-Siyasi) dalam membangun bangsa dan Negara adalah
sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Dan perlu digaris bawahi bahwa tidak ada
nash syari'at yang melarang kaum muslimin untuk bersama-sama golongan lain yang
berbeda agama dalam membangun Negara.

Bahkan menurut Dr.'Isham al-Basyir, salah seorang tokoh gerakan Islam di Sudan dan
sekjen Markaza al-'Alami lil washatiyah, mengatakan bahwa ulama sepakat bolehnya
non muslim menjabat kementrian, kecuali tiga pos penting seperti Presiden, karena tugas
presiden dalam Negara Islam adalah hurasatud din waddunya, Mahkamah agung dan
Pimpinan militer ( Pangab) karena adanya kewajiban jihad yang hanya dibebankan
kepada kaum muslimin dalam Negara Islam (Koran harian Al-Harakah, Kuwait
8/01/2007).
Tampilnya gerakan Islam di pentas politik dan ketelibatan mereka dalam proses
demokrasi seharusnya disambut positif. Pemerintahan yang otoriter yang menyumbat
proses demokratisasi di dunia Islam menurut John L. Espsito, justru hanya akan memicu
dan memelihara lahirnya oposisi militan, tindakan-tindakan radikal, instabilitas politik
dan munculnya terorisme global, "Autocratic governments may be able to derail or stifle
the process of change; however they will merely delay the inevitable. The realities of
most Muslim societies and the aspirations of many citizens require greater political
liberalization. Failure to do so will continue to contribute to the conditions that foster
militant opposition, radicalization, political instability and Global terrorism".
Wallahu A'lam bis Shawab
Source: http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/mabni-darsi-maalumnus-nternational-islamic-university-pakistan-negara-islam-dalam-pemikiran-politikgerakan-islam-kontemporer.htm
Politik Islam di Indonesia
Sedikitnya ada dua cara memandang Islam dan politik di Indonesia pada masa lampau
dan mungkin hingga menjelang reformasi. Pertama, Islam merupakan format dan tujuan
yang digunakan untuk melakukan pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara
formal, legalistik, dan menyeluruh. Ini yang mungkin kemudian disebut 'Islam politik'.
Kedua, Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan
mengarahkan bangsa dan negara. Inilah yang kemudian popular disebut 'Islam kultural'.
Kedua cara pandang tersebut sama-sama mengalami kesulitan untuk menempatkan peran
Islam di dalam kehidupan politik riil (real politics) di Indonesia.
Persoalannya ialah mampukah umat Islam Indonesia menyesuaikan dengan
kecenderungan kebudayaan politik yang berkembang? Pertama-tama ia harus mengubah
cara mengorganisasi umat Islam yang tidak lagi mendasarkan diri pada kesamaan agama,
tetapi dengan bentuk-bentuk profesional. Dengan demikian, agama menjadi milik
pribadi-pribadi yang tidak diartikulasikan secara formal. Kemudian setelah itu, umat
Islam harus melakukan upaya-upaya sadar untuk berdampingan secara koeksistensif
dengan kekuatan-kekuatan lain di Indonesia.
Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, mencari bentuk teoretik kontemporer

dari konsepsi Islam politik. Kedua, menelusuri pertumbuhan, perkembangan, dan pasang
surut Islam politik di Indonesia. Ketiga, mencari rumusan format politik Islam atau Islam
politik baru di Indonesia.
Islam akan bisa menjadi salah satu dari kekuatan politik yang sangat berarti bagi dunia
menjelang tahun 2000. Kalimat itu merupakan pernyataan W Montgomery Watt,
pengamat Islam bangsa Amerika yang bernada optimistik. Salah satu alasannya, menurut
Watt adalah tradisi Islam yang tidak memisahkan antara politik dan agama.
Konseptualisasi Islam kontemporer, setidaknya dapat dikelompokkan pada dua bentuk
kenegaraan Islam. Pertama, konseptualisasi yang diwakili oleh Al-Maududi yang
bercorak ideologis dan formalistik. Kedua, kekuatan konseptualisasi Ali Abdul Raziq
yang dengan interpretasinya terhadap realitas historis mengubah corak formalistik Islam
menjadi berwajah kultural dan komplementer.
Pemikiran Maududi

Menurut konseptualisasi Maududi, kebutuhan dan pembenaran untuk suatu negara Islam
timbul dari pemahaman akan tatanan universal. Karena itu negara Islam adalah bagian
dari teologi terpadu, luas, yang prinsip pokoknya adalah kedaulatan Tuhan. Negara atau
alat lain yang akan melaksanakan kekuatan politik merupakan konsekuensi pada konsepsi
universal yang diatur Tuhan bagi kehidupan manusia di dunia.
Untuk itu Maududi merumuskan negara Islam dengan menggunakan dua cara. Pertama,
melalui pembahasan prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kedua, melalui pertimbangan
lembaga-lembaga dan sifat-sifat khususnya.
Bagi Maududi, sasaran negara bukan semata-mata mencegah tirani, menghentikan
berbagai macam kejahatan, tapi juga mendorong setiap jenis kebajikan. Guna mencapai
tujuan ini diperlukan kekuatan politik, dan negara dibenarkan menggunakan seluruh
sarana. Suatu negara dengan tujuan seperti itu tidak dibolehkan mengabaikan kehidupan
rakyatnya, walaupun misalnya beralasan bahwa ini di luar wewenangnya. Pendekatannya,
haruslah menyeluruh dan universal. Pendeknya negara haruslah totaliter. Menolak
ketentuan ini, dengan membiarkan adanya bidang di luar kekuasaan negara, akan sama
artinya dengan menyangkal kedaulatan Tuhan. Maududi memang mengakui bahwa
konsepsi negara Islam adalah totaliter. Hanya totalitarianisme yang dikenalkan itu tidak
menindas kebebasan individu dan kemerdekaan manusia tetapi justru melindunginya.
Satu hal pokok dari negara Islam, menurut Maududi adalah wujudnya sebagai suatu
negara ideologi. Faktor pengikat di kalangan warga negara adalah ideologi yang dianut
bersama. Ideologi ini bertujuan memperbaiki masyarakat manusia dan negara adalah alat
untuk mencapai tujuan tersebut.
Dua akibat penting dari negara Islam sebagai negara Ideologi ialah, pertama, negara
harus diawasi dan dikendalikan hanya oleh seorang muslim. Kedua, soal konsep
kewarganegaraan. Ada dua jenis kewarganegaraan: satu jenis untuk kaum muslimin yang
berdomisili di wilayah negara, dan jenis lain untuk mereka yang bukan muslim yang
menyetujui dan patuh kepada negara Islam tempat mereka bermukim. Pada kaum

muslimin terletak tanggung jawab sepenuhnya atas berjalannya roda negara. Merekalah
yang menerima kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Islam, termasuk kewajiban
membela negara, dan sebaliknya mereka berhak menjadi anggota parlemen, memberikan
suara dalam pemilihan kepada negara, dan diangkat pada kedudukan-kedudukan penting.
Warga negara bukan Muslim dijamin memperoleh perlindungan hidup, badan, milik, dan
keyakinan serta kehormatan. Yang tidak dijamin kepada mereka adalah hak penuh untuk
mengemukakan pernyataan politik atau persamaan dengan sesama warga negara muslim.
Negara akan memberlakukan pada mereka undang-undang negara secara umum,
sementara membiarkan mereka menggunakan hukum perorangan mereka guna mengatur
urusan mereka sendiri. Ada sejumlah jaminan dan perlindungan lain yang juga diberikan
kepada mereka, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok hidup kepada semua warga negara
tanpa kecuali.
Konsep itu lahir di tengah suasana proses pembentukan negara-negara nasional pada awal
abad ke-20, ketika lembaga ''Khalifah'' yang berpusat di Turki telah merosot otoritasnya,
setelah Perang Dunia I. Dan semua gagasannya dipengaruhi oleh satu cita-cita kaum
sekular dari kelompok muda Turki yang pernah dididik Barat. Ide-ide politik Maududi itu
sesungguhnya hendak menyadarkan kaum intelektual muslim dan membangkitkan di
dalam diri mereka tentang suatu fakta bahwa Islam mempunyai aturan hidup sendiri,
kebudayaan sendiri, sistem politik sendiri, ekonomi, filsafat, dan sistem pendidikan yang
lebih tinggi daripada segala sesuatu yang ditawarkan oleh peradaban Barat.
Tentu Maududi amat beruntung bahwa ide-idenya dapat direalisasikan, minimal di tingkat
konstitusi pada suatu negara baru hasil pemisahannya dari anak benua India. Pengakuan
1949 Majelis Konstituante Pakistan menyetujui ''Revolusi Objektif'' yang berisi tentang
ide-ide Maududi, tidak jauh dari apa yang dikemukakan di atas. Persoalannya memang
tidak berhenti di tingkat konstitusi saja, karena berbagai tantangan muncul. Komisi
''Munir'' yang terkenal itu, misalnya, merupakan "protes" paling keras terhadap ide-ide
Maududi. Bahkan Presiden Iskandar Mirza, pada 7 Oktober 1958 memutuskan untuk
membatalkan konstitusi "negara Islam" yang banyak menolak ide-ide Maududi tersebut.
Bahkan pada masa Ayub Khan, diberlakukan undang-undang darurat perang dan
melarang partai politik, termasuk partai Maududi Jamaat-i-Islami. Pakistan hingga
wafatnya Zia Ul Hak (1988) masih tetap mencari identitas diri yang tak kunjung selesai
dan kadang-kadang diwarnai oleh kekerasan-kekerasan yang memakan korban.
Maududi dan kemudian negara Islam Pakistan adalah sebuah model pemikiran dan
institusi politik yang diupayakan mempunyai watak keislaman yang "kaffah", holistik dan
menyeluruh.
Pemikiran Raziq

Dalam definisi umum modernisasi politik terkandung tiga tema besar, yaitu, (1)
Penekanan pada diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan struktur politik. (2)
Penekanan atas persamaan, kekuasaan, gagasan bahwa perkembangan politik melibatkan
partisipasi massa dalam masalah-masalah poliitk. (3) Penekanan pada perluasan kapasitas
dari suatu sistem politik untuk mengarahkan perubahan sosial dan ekonomi.

Ketiga tema itu bergaung keras di negeri-negeri Muslim yang sedang mencari
identitasnya. Dilema pun muncul di sekitar tema-tema itu. Jika diferensiasi membuat
pemisahan lembaga politik dari struktur agama, maka diktum bahwa Islam tidak dapat
dipisahkan dari agama telah dipupus. Jika agama dan lembaga-lembaganya (ulama,
pemimpin agama) menjadi alat untuk membawa massa pada proses politik maka
keabsahan proses politik massal itu pun dipertanyakan. Tetapi satu hal yang tidak dapat
dipungkiri adalah, bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat politik lebih
berarti. Nilai-nilai keagamaan juga memberikan pengaruh penting pada kultur politik dan
mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke arah pola-pola tertentu
kehidupan politik. Karena itu dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami
proses penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya perumusan sistem politik
yang tetap mempunyai etika politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami, namun
tidak muncul secara formal: memahami pluralisme.
Penafsiran kembali konsepsi Islam tentang politik dan kenegaraan muncul misalnya di
Mesir dengan tokohnya Ali Abdul Raziq. Melalui buku al-Islam wa Ushul al-Hukm,
konsepsi Raziq kemudian menjadi model alternatif bagi pemikiran politik Islam
kontemporer. Secara garis besar pemikiran Raziq bertolak dari definisinya tentang
''Khalifah''. Bagi Raziq, khalifah tidak wajib didirikan, baik menurut akal maupun
menurut syara'. Yang wajib bagi umat adalah menegakkan hukum syara'. Jika umat sudah
berjalan di atas keadilan dan hukum-hukum Allah telah dilaksanakan, maka tidak perlu
ada imam atau khalifah. Baik Alquran maupun sunnah tidak pernah menyebutkan term
khalifah dalam pengertian kepemimpinan negara.
Kedua, bahwa risalah (kerasulan Muhammad SAW) itu bukanlah kerajaan. Risalah
adalah suatu status kultural dan kerajaan adalah status struktural. Banyak raja yang bukan
rasul, sebagaimana kebanyakan rasul adalah bukan raja. Penafsiran Raziq tentang risalah
Nabi hanya mengandung nilai yang menyerupai pemerintahan politik. Raziq yakin bahwa
Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul dan menyampaikan seruan agama, tidak pernah
mendirikan negara dalam pengertian yang selama ini berlaku dalam ilmu politik.
Dari interpretasinya terhadap dua hal tersebut, Raziq membuat kesimpulan akhir yang
sangat luwes. Khalifah tidak ada kaitannya dengan agama. Agama tidak mengenalnya,
tidak mengingkari, tidak memerintahkan, dan tidak melarangnya. Semua dikembalikan
kepada akal pengalaman manusia dan pendapat orang.
Dalam term mutakhir, solusi Raziq itu merupakan ''de-ideologi'' dan ''de-politisasi'' Islam
dan bersamaan dengan itu terjadi perluasan wawasan keislaman. Politik hanya
merupakan salah satu komponen, dan bukan determinan, di dalam proses sejarah
kehidupan umat Islam.
Pada periode ini, proses de-ideologisasi Islam (meminjam Kuntowijoyo), justru
mengantarkan Islam pada periode ilmu. Politik bisa jatuh bangun, tetapi ide tidak
terpengaruh perkembangan politik. Pada periode ini, Islam lebih terbuka, dan diharapkan
bisa lebih terasa "rahmatan lil 'alamin", bukan hanya sekadar ideologi yang hanya
dinikmati umat Islam.

Pada realitas empiris, perkembangan politik Islam di Indonesia dapat dibicarakan melalui
dua manifestasinya yang nyata: sebagai ideologi dan sebagai perilaku-perilaku kultural
(yang pengaruh dan kekuatannya tetap mempunyai muatan politik). Dua bentuk
manifestasi politik Islam ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai eksternal dan
pemahaman terhadap sesuatu yang kadang-kadang pragmatis (seperti ekonomi).
Perubahan manifestasi politik dari satu bentuk ke bentuk yang lain mungkin saja dapat
dikonseptualisasikan sebagai, misalnya, proses sekularisasi politik Indonesia atau
merosotnya peran ideologis Islam. Tetapi dengan mencoba mencari pemahaman baru
terhadap realitas politik Islam di Indonesia, konseptualisasi sekularisasi politik
sebagaimana dikemukakan Donald E Smith ditinjau kembali.
Smith, mengambil Islam sebagai contoh kasus dan membuat suatu skema dengan
menunjukkan perkembangan Islam bermula dari corak tradisional ke Islam modern,
Islam sosialis, sosialisme, dan akhirnya ke pragmatisme humanisme sekular, sesuai
dengan kebutuhan masyarakat modern.
Yang terjadi sesungguhnya di dalam negara-negara baru adalah bukan sekularisasi politik
hingga menjadi benar-benar pragmatis sekular, tetapi menciutnya pengaruh politik
pemimpin agama setelah beberapa waktu elite agama ini sangat berpengaruh dalam
proses politik. Dengan demikian, berkurangnya pengaruh itu berarti sistem politik di
Indonesia tidak ada penguasa yang terang-terangan anti-Islam atau terang-terangan
sekular.
Dengan memahami perkembangan politik di Indonesia seperti itu, maka tidak akan
terjadi upaya memitologikan "partai politik Islam" atau bahkan "negara Islam", dan
pemahaman arti politik menjadi lebih luas, tidak sekadar partai politik misalnya. Dan
romantisme seperti itu dapat ditekan untuk kemudian mencoba mengembangkan aktivitas
"politik baru" yang lebih bermakna.
Periode awal

Pada periode awal, Islam di Indonesia menjelmakan sebagai kekuatan rakyat yang teguh
melalui keikutsertaan umat Islam dalam Sarekat Dagang Islam dan kemudian di Sarekat
Islam. SI dianggap sebagai penjelmaan Islam di dalam organisasi modern pertama, tetapi
di dalamnya tidak ada watak ideologis, bahkan yang terlihat adalah watak kultural tahap
awal. Di satu pihak, SI mengembangkan rasionalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, di
pihak lain SI menampakkan sebagai mitos. SI menjadi tumpuan masyarakat sebagai 'Ratu
Adil' yang merupakan cita-cita pemberontakan akibat penjajahan dan kemiskinan dalam
masa itu. Umat waktu itu menginginkan lahirnya satu kerajaan utopis, tetapi mereka tidak
tahu bagaimana menuju ke sana dan tidak tahu persis apa yang harus mereka lakukan.
Watak kultural ini sama sekali belum mempunyai muatan ideologis, meski kecerdasan
akan kesatuan sebagai bangsa telah muncul. Wawasan kebangsaan yang dimiliki SI sejak
dini perjuangan merupakan benang merah yang senantiasa ada dalam perjuangan
organisasi masyarakat dan partai politik yang muncul dengan bendera Islam hingga kini.
Pada kenyataannya, muatan wawasan kebangsaan memang lebih dahulu muncul daripada

aspirasi ideologis Islam. Kelahiran organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan


Nahdlatul Ulama dan lain-lain pada mulanya merupakan gerakan kultural. Politik masih
mempunyai arti yang luas sebagai upaya bersama untuk mencerdaskan umat,
membangun kesejahteraan mereka, dan mengupayakan pemasyarakatan ajaran-ajaran
Islam, dan karena itu keterlibatan mereka dalam suatu kerangka kebangsaan semata-mata
ingin menghilangkan penjajahan.
Pemikiran ideologis Islam baru muncul kemudian setelah berbagai komponen bangsa ini
mendirikan organisasi-organisasi politik di sekitar tahun 1930-an. Munculnya MIAI,
GAPI, dan lain-lain dalam Majelis Rakyat Indonesia (MRI) misalnya, telah
memunculkan ide-ide masa depan Indonesia, yaitu tuntutan Indonesia berparlemen.
Pemikiran ideologis itu misalnya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana. Seorang
juru bicara MIAI, Wiondoamiseno, mendukung Indonesia berparlemen dengan catatan
bahwa parlemen itu harus "berlandaskan Isam" tanpa menjelaskan apa maksudnya,
apalagi mekanismenya. Menurut Deliar Noer, pernyataan itu hanya mencerminkan
kecurigaan, khawatir kalau-kalau pemikiran dan cita-cita kalangan masing-masing akan
diabaikan oleh kelompok lain.
Artikulasi pemikiran ideologis ini muncul lebih sistematik ketika GAPI menyusun suatu
memorandum mengenai konstitusi Indonesia masa depan, MIAI mengatakan bahwa ia
mendukung rencana GAPI dengan mengharapkan agar kepala negara Indonesia adalah
beragama Islam, suatu dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang-orang Islam, suatu
departemen agama haruslah didirikan, sedangkan bendera merah putih harus disertai
lambang bulan sabit dan bintang. Meskipun masih terkesan vulgar, formal dan dangkal,
tetapi perkembangan pemikiran ideologis Islam telah muncul dan perkembangan itu akan
menentukan corak politik Islam selanjutnya.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, perdebatan dalam Badan Penyelidik melibatkan
pemimpin Islam pada perdebatan sengit tentang konstitusi negara. Kompromi yang
membawa kepada kemenangan Islam hampir saja diraih bila saja tidak ada upaya-upaya
lobbyingI yang dilakukan Muhammad Hatta dengan pemimpin Islam untuk merelakan
penghapusan "tujuh kata" dalam Mukaddimah UUD 1945. Penghapusan tujuh kata yang
penting dan diperdebatkan secara mendalam itu hanya dihadapi dengan "kepentingan
keutuhan nasional". Dan dari sana dapat diyakini bahwa corak idologis Islam di
Indonesia lain sama sekali, dengan konsepsi ideologi Islam menurut Maududi, misalnya.
Sejak semula, muatan nasionalisme yang diberi warna pluralisme menjadikan Islam
tampil secara low profile dalam bentuknya yang paling keras sekalipun.
Pada perkembangan berikutnya, kekuatan ideologis Islam menempatkan posisinya pada
kedudukan partai politik Islam yang ternyata tidak membawa perubahan kualitatif apapun
dalam perkembangan Indonesia modern. Kehadiran partai politik Islam di masa setelah
kemerdekaan selalu ditandai dengan beragamnya aspirasi politik dari "partai-partai
Islam", sehingga pada gilirannya partai politik Islam itu berjalan sendiri-sendiri. Karena
itu sesungguhnya tidak dapat dilakukan penjumlahan dari perolehan suara dalam
pemilihan umum sebagai "kekuatan Islam". Itulah yang terjadi pada pemilu 1955, juga
setelah masa Orde Baru 1971.

PPP yang merupakan bentukan pemerintah Orde Baru untuk fungsinya berbagai
organisasi politik Islam yang praktis telah mengalami penciutan peran, mungkin pernah
menikmati "persatuan" kumulatif dari segi ide dan kebijaksanaan politik pada tahun
1977, ketika PPP dianggap sebagai kekuatan oposisi yang potensial bagi pemerintahan
Soeharto. Tetapi sejarah politik Islam mencatat, bahwa lagi-lagi perubahan kualitatif
tidak pernah dicapai. Bahkan dengan adanya partai-partai politik Islam itu menempatkan
umat Islam dalam posisi oposan dan menjadi kekuatan minoritas dalam mayoritas.
Keluarnya NU dari PPP merupakan ide cemerlang untuk keluar dari lingkaran setan dan
mencoba mengalihkan persepsi politik Islam sebagai tidak sekadar partai politik. Upaya
NU memperoleh momentum dengan ditetapkannya UU Orpol/Ormas baru yang
mengharuskan setiap partai politik dan organisasi kemasyarakatan menggunakan asas
tunggal Pancasila.
Pasang surut partai politik Islam dapat dibaca dalam kerangka yang digunakan Hudson
sebagai pasang surut pengaruh politik pemimpin agama. Tetapi sebagaimana
dikemukakan Burhan D Magenda, ada perubahan format politik yang dibawakan oleh
pemimpin agama yang justru menunjukkan perkembangan yang tak terduga sebelumnya.
Format baru

Inklusifnya peran ulama dalam berbagai kekuatan politik dan peran kemasyarakatan
merupakan fenomena baru setelah era partai Islam memudar. Dan pemikiran selanjutnya
diarahkan pada pertanyaan: bagaimana membentuk format baru politik Islam di
Indonesia.
Ada dua hal yang mempengaruhi pemikiran Islam di Indonesia untuk mencari format
baru politik Islam. Pertama, rekayasa politik terhadap seluruh kekuatan komponen bangsa
untuk membangun politik integrasif berwawasan kebangsaan. Rekayasa ini merupakan
konsekuensi historis dari berbagai perkembangan yang ada di dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Dalam kerangka Robert L Hellbroner, upaya rekayasa politik yang dilakukan
rezim Orde Baru itu merupakan ikhtiar pembangunan nasional yang harus lebih dahulu
dilakukan sebelum pembangunan ekonomi. Kedua, adanya perubahan wawasan
keagamaan dari umat Islam sendiri, terutama dalam hubungannya dengan konsepsi
kenegaraan dan kebangsaan. Bagi umat Islam, kehidupan bernegara adalah kesepakatan
bersama untuk hidup berdampingan, setara dan damai dengan kelompok-kelompok dan
golongan-golongan di luar Islam. Kesepakatan itu misalnya dirumuskan dengan
pernyataan bahwa negara Indonesia adalah bentuk final dari upaya perjuangan umat
Islam di Indonesia.
Format baru yang dikembangkan umat Islam, terutama oleh pemimpin agama terlihat
tampil secara damai dan tanpa pretensi mengangkat Islam sebagai ideologi. Dalam
sebuah artikel pendek, Burhan Magenda mendeskripsikan perubahan profil ulama dalam
pergaulan politik di Indonesia. Kalau disepakati (menurut kerangka Hudson), bahwa yang
terjadi sekarang ini adalah penyusutan politik ulama berkenaan dengan asas tunggal, dan
lalu tidak adanya partai politik Islam, maka peluang justru terbuka jika tujuan diarahkan
pada tujuan-tujuan baru dengan memandang bahwa ulama adalah sebagian dari pejuangpejuangnya. Karena itu persoalannya kurang lebih berbunyi: "Bagaimana memanfaatkan

peluang yang ada sekarang". Karena sejauh ini partai politik Islam sejak awal di
Indonesia ditandai oleh kecurigaan yang tidak gampang diretas antara ulama dan
kekuasaan. Terbukti pula bahwa kecurigaan itu tidak menghasilkan perbaikan kualitatif
antara kedua belah pihak. Bahkan di antara sesama umat Islam terjadi kecurigaan yang
tidak kunjung berakhir, bahwa mereka memandang sesama ulama yang ada di partai
(Islam) lain sebagai orang lain. Dan kesenjangan itu terdapat antara umat Islam
simpatisan partai dan mereka yang tidak, antara lain karena berada di jajaran birokrasi
pemerintah. Keadaan demikian tentu sangat merugikan Islam.
Karena itu menurut Magenda, partai politik Islam tidak diperlukan lagi. Dengan demikian
diharapkan tidak ada hambatan psikologis untuk menyebarkan diri secara inklusif dalam
aneka wadah politik, bahkan tidak terbatas pada wadah politik yang ada, tetapi juga jalurjalur lain yang ada di dalam sistem politik di Indonesia, baik dalam suprastruktur maupun
infrastruktur.
Perubahan suasana kondusif bagi perkembangan politik (baca: aspirasi) Islam itu, tidak
berhenti di situ. Ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi sebagai upaya menentukan
format baru politik Islam di Indonesia.
Pertama, perumusan terhadap corak kebangsaan di Indonesia. Tuntutan perluasan
wawasan kebangsaan itu mengandung konsekuensi perumusan ulang terhadap tujuantujuan politik Islam. Dalam hal ini secara simplistik terhadap rumusan yang dijadikan
rumusan baku tujuan Islam di Indonesia, yaitu: "cita-cita Islam adalah inheren dengan
cita-cita Indonesia." Corak kebangsaan itu juga menuntut perubahan sikap dan perilaku
politik terbebas dari sektarianisme, menerima pluralisme dan karena itu menghilangkan
kecurigaan yang berdasarkan sentimen-sentimen keagamaan, ras dan kesukuan.
Kedua, perlunya lapisan profesional dalam segala lapangan kehidupan, yang ini
merupakan tanggung jawab orgasasi-organisasi Islam untuk memberi arah, memberi
peluang bagi terciptanya lapisan elit itu. Bila boleh dikatakan bahwa kelelahan umat
Islam masa lalu banyak ditentukan oleh tersedianya lapisan profesional yang tidak dapat
diisi atau tidak dapat dipenuhi.
Kedua prasyarat itu minimal perlu dipertimbangkan sebelum diproklamasikan "Islam
tanpa partai politik". Dan itulah tawaran tertinggi umat Islam Indonesia, kecuali bila umat
Islam mempunyai tawaran alternatif lain yang lebih inheren dengan cita-cita Islam dan
sekaligus dengan cita-cita Indonesia. (RioL)
Noer Iskandar Albarsany
Pengasuh Pondok Pesantren Alhidayah, Purwokerto
Anggota DPR RI dari FKB
Source: http://swaramuslim.net/islam/more.php?id=A761_0_4_0_M

Anda mungkin juga menyukai