Dinasti Mughal merupakan kelanjutan dari kesultanan Delhi, hal ini ditandai dengan
puncak perjuangan yang panjang dalam membentuk sebuah dinasti di India yang
memusat, yang merupakan suatu usaha membentuk sebuah kultur Islam yang
didasarkan pada sebuah sintesa antara warisan bangsa Persia dan bangsa India.
Dinasti Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur ( 1526-1530 M) setelah ia berhasil
menaklukan Ibrahim Lodi penguasa dinasti Delhi di India. Zaman keemasan Dinasti
Mughal dimulai pada pemerintahan Akbar Khan. (1556-1605 M). Akbar berhasil
mencapai kemantapan stabilitas politik karena sistem pemerintahan yang
diterapkannnya mampu membawa Dinasti Mughal pada kemajuan di bidang
ekonomi, pertanian, perdagangan, dan lain-lain. Zaman keemasan ini masih mampu
bertahan hingga pada tiga generasi penerusnya, yaitu Jahangir, Shah Jehan dan
Aurangzeb. Pada permulaan abad ke-18, Dinasti Mughal mulai memasuki masa
kemunduran. Perang saudara untuk memperebutkan kekuasaan adalah salah satu
faktor yang menyebabkan kehancuran dinasti ini pada tahun 1858.
Masuknya Islam ke India melalui perdagangan pada zaman nabi Muhammad SAW,
yang mana India pada waktu itu telah memiliki sejumlah pelabuhan, sehingga terjadi
interaksi antara India dengan nabi SAW. Oleh karena itu, dagang dan dakwah
menyatu dalam satu kegiatan sehingga Raja Kadangalur, Cheraman Perumal,
memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Tajuddin, dan ia sempat
bertemu dengan nabi Muhammad SAW. Pada zaman Umar Ibn Khattab, dibawah
pimpinan Mughirah Islam kembali mencoba untuk menguasai India yaitu daerah
Sind, tapi usaha ini gagal (634-644). Lalu pada zaman Ustman Ibn Affan dan Ali Ibn
Abi Thalib, dikirim utusan untuk mempelajari adat-istiadat dan jalan-jalan menuju
India.[1] Kemudian pada masa Umayyah, yakni pada masa khalifah al-Walid
dilakukanlah ekspedisi yang dipimpin Muhammad Ibn Qasim dan ia berhasil
menaklukannya dan diangkat menjadi amir di Sind dan Punjab, dan tahun 871 M
orang-orang Arab telah menjadi penghuni tetap di sana.
Pada zaman al-Ma’mun ( khalifah dinasti Bani abbas), diangkat sejumlah amir untuk
memimpin daerah-daerah. Di antara yang dipercaya untuk menjadi amir adalah Asad
Ibn Saman untuk daerah Transoxiana. Ia diangkat menjadi amir setelah berhasil
menaklukan Dinasti Safari yang berpusat di Khurasan.
Kata “Mughal” dalam bahasa Parsi adalah panggilan bagi bangsa Mongol dan
turunan Mongolia. Dinasti Mughal (1256-1858 M) merupakan kekuasaan Islam
terbesar pada anak benua India, yang didirikan oleh Zahiruddin Babur (1526-
1530M), salah satu dari cucu Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa
Ferghana, sedangkan ibunya adalah keturunan Jengis Khan. Kekuasaannya meliputi
daerah India, Pakistan, Bangladesh dan Kashmir sekarang. Babur mewarisi daerah
Ferghana dari orang tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun.[4] Ia berambisi dan
bertekad untuk menaklukan Samarkhand yang menjadi kota penting di Asia Tengah
pada masa itu. Pada mulanya ia mengalami kekalahan tetapi karena mendapat
bantuan dari raja Safawi, Ismail I, akhirnya ia berhasil menaklukan Samarkhand
tahun 1492 M, dan pada tahun 1504 M Babur menduduki Kabul, ibukota
Afganistan.[5]
Setelah Kabul dapat ditaklukan, Babur meneruskan ekspansinya ke India yang saat
itu diperintah Ibrahim Lodi, yang sedang mengalami masa krisis, sehingga stabilitas
pemerintahan menjadi kacau. Alam Khan, paman dari Ibrahim Lodi, bersama-sama
Daulat Khan, Gubernur Lahore, mengirim utusan ke Kabul, ia meminta bantuan
Babur untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim Lodi di Delhi. Permohonan itu
langsung diterimanya. Pada tahun 1525 M, Babur berhasil menguasai Punjab dengan
ibu kotanya Lahore. Setelah itu, ia memimpin tentaranya menuju Delhi.[6]
Pada tanggal 21 April 1526 M terjadilah pertempuran yang dahsyat di Panipat antara
Ibrahim Lodi dan Zahiruddin Babur, yang terkenal dengan pertempuran Panipat I.
Ibrahim Lodi terbunuh dan kekuasaannya berpindah ke tangan Babur, Sejak itulah
berdiri dinasti Mughal di India, dan Delhi dijadikan ibu kotanya.[7]
Pada pemerintahan Humayun (1530-1540 dan 1555-1556 M), kondisi negara tidak
stabil karena ia banyak menghadapi tantangan dan perlawanan dari musuh-
musuhnya.[9] Di antara tantangan yang muncul adalah pemberontakan Bahadur
Syah, penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi.[10]
Pada tahun 1540 M terjadi pertempuran dengan Sher Khan di Kanauj. Dalam
pertempuran ini Humayun kalah dan melarikan diri ke Kendahar dan kemudian ke
Persia. Di pengasingan ini dia menyusun kekuatannya dan di sinilah ia mengenal
tradisi Syi’ah. Pada saat itu Persia di pimpin oleh penguasa Safawiyah yang bernama
Tahmasp. Setelah lima belas tahun menyusun kekuatannya dalam pengasingan di
Persia, ia kembali menyerang musuh-musuhnya dengan bantuan raja Persia.
Humayun dapat mengalahkan Sher Khan setelah lima belas tahun berkelana
meninggalkan Delhi. Ia kembali ke India dan menduduki tahta kerajaan Mughal pada
tahun 1555 M.[11] Pada tahun 1556 M Humayun meninggal dunia dan kemudian
digantikan oleh anaknya Akbar Khan.
Akbar Khan ( 1556-1605 M), sewaktu naik tahta berumur 15 tahun, sehingga pada
masa awal pemerintahannya, Akbar menyerahkan urusan kenegaraan pada Bairam
Khan, seorang Syi’i. Awal periode ini ditandai dengan berbagai pemberontakan.
Bairam Khan harus menghadapi sisa-sisa pemberontakan keturunan Sher Khan yang
masih berkuasa di Punjab. Selain itu pemberontakan yang mengancam pemerintahan
Akbar adalah Hemu seorang penguasa Gwalior dan Agra. Pasukan Hemu berusaha
memasuki kota Delhi, Bairam Khan menyambut pemberontakan ini dengan
mengerahkan pasukan yang besar. Pertempuran antara keduanya dikenal sebagi
pertempuran Panipat II, terjadi pada tahun 1556 M. Pasukan Bairam Khan berhasil
memenangkan peperangan ini, sehingga wilayah Agra dan Gwalior dapat dikuasai
secara penuh.[12]
Stabilitas politik yang berhasil diciptakan oleh Akbar melalui sistem pemerintahan
militeristik mendukung pencapaian kemajuan di bidang perekonomian, ilmu
pengetahuan dan peradaban. Kemajuan di bidang ekonomi ditandai dengan kemajuan
sektor pertanian dan perindustrian.
Setelah Akbar, maka penguasa selanjutnya adalah Jahangir (1605-1628 M), putera
Akbar. Jahangir penganut ahlussunnah wal jamaah. Pemerintahan Jahangir juga
diwarnai dengan pemberontakan, seperti pemberontakan di Ambar yang tidak
mampu dipadamkan. [14]Pemberontakan juga muncul dari dalam istana yang
dipimpin oleh Kurram, puteranya sendiri. Dengan bantuan panglima Muhabbat Khar,
Kurram menangkap dan menyekap Jahangir. Tetapi berkat usaha permaisuri,
permusuhan ayah dan anak dapat didamaikan.
Akhirnya setelah Jahangir meninggal, Kurram naik tahta dan bergelar Muzaffar
Shahabuddin Muhammad Shah Jehan Padshah Ghazi. Shah Jehan (1627-1658 M),
pemerintahannya diwarnai dengan timbulnya pemberontakan dan perselisihan di
kalangan keluarganya sendiri. Seperti dari ibunya, adiknya Syahriar yang
mengukuhkan dirinya sebagai kaisar di Lahore. Namun pemberontakan itu dapat
diselesaikannya dengan baik. Pada tahun 1657 M, Shah Jehan jatuh sakit dan mulai
timbullah perlombaan dikalangan anak-anaknya, karena saling ingin menjadi kaisar.
Dalam pertarungan itu, Aurangzeb muncul sebagai pemenang karena telah berhasil
mengalahkan saudara-saudaranya Dara, Sujak, Murad.[15]
Aurangzeb adalah sultan Mughal besar terakhir yang memerintah mulai tahun 1658-
1707 M. [16] Dia bergelar Alamgir Padshah Ghazi. Dia adalah penguasa yang berani
dan bijak. Kebesarannya sejajar dengan Akbar, pendahulunya. Di akhir
pemerintahannya dia berhasil menguasai Deccan, Bangla dan Aud. Sistem yang
dijalankan Aurangzeb banyak berbeda dengan pendahulunya. Kebijakan-kebijakan
yang telah dirintis oleh raja-raja sebelumnya banyak diubah, khususnya yang
menyangkut hubungan dengan orang Hindu. Aurangzeb adalah penguasa Mughal
yang membalik kebijakan konsiliasi dengan Hindu. Diantara kebijakannya adalah
melarang minuman keras, perjudian, prostitusi dan penggunaan narkotika ( 1659 M).
Tahun 1664 dia juga mengeluarkan dekrit yang isinya tidak boleh memaksa wanita
untuk satidaho, yaitu pembakaran diri seorang janda yang ditinggal mati suaminya,
tanpa kemauan yang bersangkutan. Akhirnya praktek ini dihapus secara resmi pada
masa penjajahan Inggis.[17] Aurangzeb juga melarang pertunjukan musik di istana,
membebani non muslim dengan poll-tax, yaitu pajak untuk mendapatkan hak
memilih ( 1668 M), menyuruh perusakan kuil-kuil Hindu dan mensponsori
pengkodifikasian hukum Islam yang dikenal dengan Fatawa Alamgiri.[18]
Setelah Aurangzeb meninggal ( 1707 M), maka dinasti Mughal ini dipimpin oleh
sultan-sultan yang lemah yang tidak dapat mempertahankan eksistensi kesultanan
Mughal. Adapun penguasa-penguasa Mughal sesudah Aurangzeb antara lain :
Bahadur Syah I( 1707-1712 M), Jihandar Syah ( 1712-1713 M), Farruk Siyar (1713-
1719 M), Muhammad Syah ( 1719-1748 M), Ahmad Syah (1748-1754 M), Alamgir
II (1754-1759 M), Syah Alam (1759-1806 M), Akbar II ( 1806-1837 M), Bahadur
Syah II ( 1837-1858 M)[19]
Umat Islam di anak benua India ini juga menyerukan dakwah kepada warga India
yang tidak beragama Islam. Warga India yang berpindah ke agama Islam sebagian
besar berasal dari kelas masyarakat rendahan. Kaum elite yaitu tentara Turki dan
Afghanistan kurang menghendaki konversi agama di kalangan bangsawan, karena
mereka khawatir akan terjadi perebutan kekuasaan dalam bidang politik.
Di Bengal dan Punjab umat muslim turut memperingati berbagai perayaan Hindu,
beribadah di beberapa tempat suci Hindu, melaksanakan sesajen pada dewa-dewa
Hindu dan menyelenggarakan perkawinan dalam pola tradisi Hindu. Warga Hindu
yang memeluk Islam tetap mempertahankan unsur-unsur keyakinan dan praktek lama
mereka, banyak warga Hindu mengeramatkan wali-wali muslim tanpa mengubah
identitas agama mereka.
Sistem yang menonjol adalah politik “Sulakhul” atau toleransi universal. yang
diterapkan oleh Akbar. Dengan politik ini semua rakyat India dipandang sama.
Mereka tidak dibedakan Karena perbedaan etnis dan agama. Secara umum politik
“Sulakhul” ini berhasil menciptakan kerukunan masyarakat India yang sangat
beragam suku dan keyakinannya. Lembaga yang merupakan produk dari sistem
politik “Sulakhul” adalah terciptanya Din Ilahi,[25] yaitu menjadikan semua agama
yang ada di India menjadi satu. Tujuannya adalah kepentingan stabilitas politik.
Dengan adanya penyatuan agama ini diharapkan tidak terjadi permusuhan antar
pemeluk agama. Untuk merealisasikan ajarannya Akbar mengawini putri Hindu
sebanyak dua kali, berkhutbah dengan menggunakan simbol Hindu, melarang
menulis dengan huruf Arab, tidak mewajibkan khitan dan melarang menyembelih
atau memakan daging sapi.[26] Usaha lain Akbar adalah membentuk mansabdharis,
yaitu lembaga public service yang berkewajiban menyiapkan segala urusan kerajaan,
seperti menyiapkan sejumlah pasukan tertentu. [27]Lembaga ini merupakan satu
kelas penguasa yang terdiri dari berbagai etnis yang ada, yaitu Turki, Afghan, Persia
Dan Hindu.
Tidak ada suatu kemajuan pun yang bisa dicapai oleh suatu pemerintahan, tanpa
ditopang dengan ekonomi serta keuangan yang kuat. Karena itulah, para sultan
Mughal sangat memperhatikan hal tersebut. Untuk itu, maka dikenakan pajak atas
tanah, bea cukai dan lain-lain. [28]
Pada masa Mughal, tiap-tiap masjid memiliki lembaga tingkat dasar yang dikelola
oleh seorang guru. Pada masa Shah Jehan didirikan sebuah perguruan tinggi di Delhi.
Jumlah ini semakin bertambah ketika pemerintahan dipegang oleh Aurangzeb. Di
bidang ilmu agama berhasil dikodifikasikan hukum Islam yang dikenal dengan
sebutan fatawa I Alamgiri.[32]
Selain hal di atas, banyak juga dibangun sekolah-sekolah atau madrasah pada masa
ini, disertai dengan corak sekolah yang berbeda, baik dikarenakan perbedaan mazhab
maupun disebabkan kekhususan ilmu, Seperti madrasah Rahimiyah di Deobond
dengan mata kuliah pokok tafsir, hadis dan fiqih. Selain itu dibangun juga
perpustakaan, seperti di Agra yang pada tahun 1641 telah memiliki 24.000 buku.
Akibat dari banyaknya sekolah yang dibangun, maka banyak lahir para ahli
intelektual, atau pengarang-pengarang seperti dalam bidang politik, filsafat, hadis,
qur’an, tasawuf, at-thib ( ilmu kedokteran ), ilmu pasti, ilmu peperangan, ilmu
teknik.[33]
Dokter-dokter pengarang besar abad 17 pada masa Mughal India adalah Dara
Shukuh yang mengarang kedokteran Dara Shukuh, yang merupakan ensiklopedi
medis besar terakhir dalam Islam. Ia juga dikenal sebagai seorang sufi.
Hasil karya seni dan arsitektur Mughal sangat terkenal dan bisa dinikmati sampai
sekarang. Ciri yang menonjol dari arsitektur Mughal adalah pemakaian ukiran dan
marmer yang timbul dengan kombinasi warna-warni. Bangunan yang menunjukkan
ciri ini antara lain: benteng merah (Lah Qellah), istana-istana, makam kerajaan dan
yang paling mengagumkan adalah Taj Mahal di Agra. Istana ini merupakan salah
satu dari tujuh keajaiban dunia yang dibangun oleh Shah Jehan khusus untuk istrinya
Momtaj Mahal yang cantik jelita. Bangunan lain yang bermotif sama adalah Masjid
Raya Delhi yang berlapis marmer, sebuah istana di Lahore, istana Fatpur Sikri di
Sikri, masjid Moti “ masjid Mutiara” di Agra, yang seluruhnya terbuat dari marmer
dan dipahatkan Al-qur’an didalamnya dengan mempergunakan marmer hitam. [35]
Bidang sastra juga menonjol. Banyak karya sastra yang digubah dari bahasa Persia
ke bahasa India. Pada masa Akbar berkembang bahasa Urdu, yang merupakan
perpaduan antara bahasa Persia dan Hindi asli.[36] Bahasa Urdu pernah dijadikan
bahasa ilmu pengetahuan diantaranya karangan Ikhwanus Shofa di salin ke dalam
bahasa Urdu oleh Ikrom Ali. Bahasa Urdu ini kemudian banyak dipakai di India dan
Pakistan sekarang. Sastrawan Mughal yang terkenal adalah Malik Muhammad
Jayashi, dengan karya monimentalnya Padmavat, sebuah karya alegoris yang
mengandung kebajikan jiwa manusia. Sastrawan lain adalah Abu Fadhl yang juga
sejarawan. Karyanya berjudul Akbar Nama dan Ain-I-Akhbari, yang mengupas
sejarah Mughal berdasarkan figur pimpinannya.[37]
Pada permulaan abad kedelapan belas, Dinasti Mughal di India memasuki zaman
kemunduran. Para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup lagi mempertahankan
kekuasaan. Perang saudara untuk merebut kekuasaan di Delhi selalu terjadi. Para
pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh
sultan-sultan sebelumnya. Secara sederhana, faktor-faktor penyebab kemunduran
Dinasti Mughal dapat diklasifikasikan menjadi dua: faktor internal dan faktor
eksternal.
a. Faktor Internal
Sepeninggal Aurangzeb, dalam kurun waktu satu setengah abad berikutnya, tidak ada
lagi pengganti yang mampu mempertahankan, apalagi memajukan Dinasti Mughal
yang telah mencapai kejayaannya. Pada umumnya mereka lemah dan tidak mampu
menyelesaikan problema yang dihadapi.
1.2.Perang Saudara
Perang saudara sebenarnya telah terjadi semenjak zaman Jahangir, pengganti Akbar,
yang berkuasa selama 1605-1628 M. Ia mendapat tantangan dari saudaranya,
Khusraw yang berambisi untuk menjadi raja. Dengan dibantu oleh pamannya,
Mansingh, Khusraw berhasil menyusun kekuatan di Punjab dengan menjalin kerja
sama dengan orang-orang Sikh yang dipimpin oleh guru Arjun. Khusraw kemudian
berusaha untuk merebut Lahore, tetapi dapat digagalkan oleh Jahangir, dan Khusraw
dipenjarakan di Bhairawal.[39]
Demikian juga pada waktu Shah Jehan naik tahta menggantikan Jahangir, ia harus
menghadapi ibunya dan adiknya Syahriar, walaupun pada akhirnya ia berhasil
menyelesaikan tantangan ini.
Perebutan kekuasaan ini juga terjadi pada waktu Shah Jehan sakit keras pada tahun
1657 M. Anak laki-lakinya, Aurangzeb, Dara Shikeh, Shuja dan Murad Bakhs
terlibat perang saudara, yang mana akhirnya dimenangkan oleh Aurangzeb.[40]
Pada kurun waktu lima tahun pemerintahan Bahadur Syah, gejolak politik semakin
berkembang, baik dari lingkungan istana maupun dari lapisan masyarakat luas.
Tetapi keadaan demikian ini masih dapat diatasi oleh Bahadur Syah. Namun setelah
kematiannya pada tahun 1712 M, putera-puteranya terlibat dalam perebutan
kekuasaan. Putera Bahadur Syah, Azimus Syah, dinobatkan untuk menggantikan
ayahnya tetapi mendapat perlawanan dari saudaranya yang. Dalam persaingan ini,
Jenderal Zulfiqar Khan turut memainkan peranan penting dan atas pengaruhnya,
putra terlemah, Jihandar Syah dinobatkan sebagai raja. Tetapi Jihandar Syah
mendapat tantangan dari keponakannya Muhammad Farrukh Siyar. Dalam
pertempuran yang terjadi di tahun 1713 M, Farrukh Siyar memperoleh kemenangan
dan dapat mempertahankan kedudukannya sampai tahun 1719 M.[42]
Perselisihan dan perebutan kekuasaan yang terjadi di kalangan keluarga istana ini
mengakibatkan Dinasti Mughal mengalami kemunduran. Ketidakstabilan politik ini
mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah, sehingga satu persatu daerah
melepaskan loyalitasnya pada pemerintah pusat. Selain itu golongan-golongan Hindu
semakin berani untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mughal .
2. Gerakan Hindu
Dari sekian banyak gerakan etnis dan agama tersebut, gerakan orang Marathas dan
Sikh memainkan peran paling besar dalam melemahkan orang Mughal. Para pemipin
mereka, Sivaji dan guru Gobin Singh, melibatkan diri secara pribadi untuk
menentang orang Mughal, karena pendahulu mereka dibunuh oleh Aurangzeb.
Aurangzeb menghabiskan seluruh waktu menjelang akhir masa pemerintahannya
untuk menaklukan gerakan orang Marathas di Selatan. Namun upaya ini tetap sia-sia.
b. Faktor Eksternal
Ekspansi Negara Lain
Awal persengketaan antara Dinasti Mughal dan Kerajaan Safawi adalah daerah
Kendahar. Pada tahun 1622 M, daerah tersebut dikuasai oleh Safawi. Tetapi pada
tahun 1638 M, Ali Mardan Khan, gubernur pada waktu itu, menyerahkan Kendahar
kepada Shah Jehan dengan imbalan harta dan pangkat tinggi. Syah Abbas ( 1642-
1667 M) dari kerajaan Safawi berhasil merebut kembali Kendahar pada tahun 1649
M. Aurangzeb dan Sadullah Khan dari Dinasti Mughal dengan tentara sekitar 70.000
orang gagal mempertahankan Kendahar. Pada tahun 1652 M, Dinasti Mughal
berusaha menyerbu kembali Kendahar, tetapi kembali mengalami kegagalan.[46]
Pada tahun 1739 M, Nadir Syah dari Safawi menyerbu Mughal dengan alasan bahwa
penguasa Mughal, Muhammad Syah, tidak mau menerima duta yang dikirim Nadir
Syah, dan melindungi pemberontakan Afghan. Nadir Syah berusaha menguasai
Kabul, Peshawar, dan Lahore. Selanjutnya Nadir Syah melanjutkan penyerbuan ke
Delhi. Muhammad Syah mencoba melakukan perlawanan, tetapi sia-sia karena
kekuatan yang tidak seimbang. Setelah membantai warga Delhi, Nadir Syah
mengangkut kekayaan raja ke Persia dengan membiarkan kota Delhi berantakan.
Rupanya motif Nadir Syah hanya untuk mendapatkan harta jarahan. Karena itu,
sekalipun ia telah menguasai Delhi, ia masih mengakui Muhammad Syah sebagai
raja Delhi dengan imbalan upeti, dengan kekalahan itu, Muhammad Syah harus
membayar upeti dan juga harus menyerahkan daerah sebelah barat sungai Indus
kepada Safawi [47]
Pada masa pemerintahan Muhammad Syah, Dinasti Mughal mendapat serangan dari
Utara yang dipimpin oleh Ahmad Syah al-Durrani al-Afghani. Pada tahun 1748 M,
al-Durrani berhasil menguasai Lahore, yang kemudian dibebaskan kembali pada
masa Alamgir II (1754-1759 M). Setelah menguasai Lahore, ia memasuki Delhi terus
ke Agra. Di Delhi ia meninggalkan sebagian tentaranya yang dipimpin oleh
Najibuddaulah.[48]
Kemunduran Mughal dalam sektor politik dan ekonomi dimanfaatkan oleh bangsa-
bangsa Eropa melalui jalur perdagangan. Kedatangan orang-orang Eropa di India
dangan membawa pemikiran baru, teknik militer dan teknologi mengejutkan Mughal
yang sedang dalam kondisi lemah. Di pantai Selatan India terjadi persaingan dagang
antara Portugis, Belanda, Perancis dan Inggris. Dalam kompetensi tersebut Inggris
lebih unggul.
Selanjutnya, pada tahun 1761 M, Inggris diberi izin oleh Syah Alam untuk menetap
di Bengal, India Timur, karena raja Mughal ini harus tunduk dan membayar upeti
kepada Afghanistan. Kemudian Inggris membuka perserikatan dagang The East
India Company (EIC) dengan maksud menguasai sumber komoditi India.[51]
Sesudah Syah Alam meninggal pada tahun 1806 M, tahta kerajaan dipegang oleh
Akbar II ( 1806-1837 M). Pada pemerintahan Akbar II terjadi konsesi antara Mughal
dan EIC. Inggris bebas mengembangkan usahanya dan sebagai imbalannya Inggris
memberikan jaminan kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian,
kekuasaan Mughal sudah berada di tangan Inggris meskipun kedudukan dan gelar
sultan tetap dipertahankan.
Puncak kekuasaan Inggris dicapai pada tahun 1857 ketika kerajaan Mughal benar-
benar jatuh dan rajanya yang terakhir, Bahadur Syah diusir ke Rangun ( 1858). Hal
ini dapat terjadi karena Inggris juga mendapat dukungan dari beberapa penguasa
lokal Hindu dan Muslim. Atau Inggris menerapkan politik “devide et impera”, untuk
mencapai tujuannya. Dengan demikian berakhirlah Dinasti Mughal di India.[53]
Maka sejak tahun 1818 M, Inggris menjadi kekuatan terkemuka di sebagian wilayah
India, terutama daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti
Bengal, daratan sungai Gangga dan wilayah sekitar lembah Indus. Kehadiran Inggris
mendapat reaksi yang beragam dari umat Islam. Ada tiga kelompok yang berbeda
strategi dalam merespon imperialisme Inggris. Pertama, kelompok yang non-
kooperatif yang dipelopori oleh ulama tradisional Deoband. Kedua, bekerjasama
dengan Inggris, diwakili oleh Sayyid Ahmad Khan, dan ketiga, menjaga jarak
dengan Inggris, yang dimotori oleh gerakan Aligarh yang merupakan pengikut
Ahmad Khan.
Akibat dari reaksi-reaksi di atas, maka pada tahun 1940, terjadilah kesepakatan yang
disebut dengan Resolusi Lahore atau Resolusi Pakistan, hal ini dipelopori oleh Liga
Muslim India. Isi kesepakatan tersebut adalah: wilayah-wilayah umat Islam berada
dalam mayoritas seperti zona barat laut dan timur India harus dikelompokkan sebagai
negara yang merdeka. Wilayah-wilayah inilah yang kemudian hari menjadi negara
Pakistan.[54]
Ketika Syah Alam meninggal pada tahun 1806 M, kerajaan selanjutnya dipegang
oleh Akbar II (1806-1837). Pada tahun 1830, kalangan missionari Inggris semakin
aktif, dan para pejabat Inggris mulai menindas praktik keagamaan di mana mereka
sering menjatuhkan hukuman secara kejam, bahasa Inggris pun menjadi bahasa
pemerintahan dan bahasa pengajaran. Pada tahun 1837 bahasa Persia dihapuskan
sebagai bahasa resmi di pengadilan Mughal. Beberapa perubahan di dalam sistem
peradilan dan pembentukan aturan-aturan hukum baru tentang pembuktian dan
definisi baru tentang pelanggaran dan hukum pidana sangat menghujani kedudukan
hakim muslim. Hal itu terjadi tepatnya pada masa pemerintahan Bahadur Syah
(1837-1858) penerus ayahnya Akbar II (1806-1837).
Pada tahun 1858 kerajaan Mughal dapat dihancurkan oleh kerajaan Inggris yang
mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim.
Berbeda dengan masa satu seperempat abad sebelumnya, pada permulan abad ke-18,
kerajaan mughal di India mulai memasuki masa kemunduran. Para pelanjut
Ayrangzeb tidak sanggup lagi mempertahankan kebesaran pendahulunya. Perang
saudara untuk memperebutkan kekuasaan, pemberintakan kelompok-kelompk
separatis, maupun serangan-serangan dari luar mewarnai masa ini. Kelemahan
kepemimpinan sultan dan ekonomi kerajaan mughal tidak mampu lagi memadamkan
berbagai gejolak yang ada secara tuntas. Sejumlah faktor mempengaruhi terciptanya
krisis kepercayaan, baik secara intelektual keagamaan maupun secara sosio politik,
di kalangan muslim India dan bermulanya era kolonial dalam sejarah India. Secara
sederhana, faktor-faktor tersebut diklasifikasikan menjadi dua : internal dan
eksternal.
Pada tahun 1719 M, Farrukh Syiar meninggal dunia terbunuh oleh pengikutnya
sendiri, kemudian digantikan oleh Muhammad Syah (1719-1748 M), ia dan
pengikutnya terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang
sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan
Nadir Syah untuk menundukkan kerajaan Mughal terutama karena menurutnya,
kerajaan ini banyak sekali memberikan bantuan kepada pemberontak Afghan di
daerah Persia.
Setelah Muhammad Syah meninggal, tahta kerajaan di pegang oleh Ahmad Syah
(1748-1754). Kemudian diteruskan oleh Alamghir II (1761-1806). Pada tahun 1761
M, kerajaan Mughal diserang oleh Ahmad Khan Durrani dari Afghan. Kerajaan
Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu kerajaan Mughal berada di bawah
kekuasaan Afghan, meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar sultan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada
satu setengah abad terakhir, dan membawa kepada kehancuran pada tahun 1858
yaitu:
1. Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer
Inggris di wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal.
2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elit politik yang mengakibatkan
pemborosan dalam penggunaan uang negara.
4. semua pewaris tahta kerajaan pada separuh terakhir adalah orang-orang lemah
dalam bidang kepemimpinan.