STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN :
Nama
: Ny.H
TTL
: 02-01-1969
Usia
: 45 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
RMK
: 197878
B. ANAMNESIS
Keluhan utama
Keluhan tambaha : sebelumnya pasien mengeluh lemas dan tidak nafsu makan
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSIJ suka pura karena pingsan 45 menit SMRS. Sebelumnya pasien
diketahui merasa lemas dan tidak nafsu makan sejak beberapa hari terakhir. Keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien memiliki sakit gula sejak 2 tahun terakhir dan jarang control ke
dokter atau puskesmas, selama beberapa hari terakhir tidak mengonsumsi obat sakit gulanya.
Pasien juga sempat mengeluh pusing dan lemas sebelum pingsan. BAB dan BAK normal.
Dari penuturan keluarganya beberapa hari terakhir pasien hanya makan sedikit Karena pasien
takut gula darahnya naik lagi. Beberapa hari sebelumnya (2/11-14) pasien dirawat di RSIJ
suka pura karena keluhan lemas yang berkepanjangan, dan didiagnosa mengalami
hiperglikemia dengan GDS 653mg/dl. Pasien memiliki riwayat jatuh sekitar 1 tahun yang
lalu, sehingga sikut kanannya bengkak dan pasien mengurut sikut kanannya tsb. Hingga
beberapa minggu setelahnya di daerah memar tersebut muncul luka yang hingga sekarang
tidak sembuh. Pada saat itu (2/11-14) pasien juga menngeluhkan demam yang naik-turun,
nyeri uluhati, dan keluhan batuk yang dialami sejak 1 bulan sebelumnya. Kaki pasien juga
terlihat bengkak, pasien mengaku memiliki sakit darah tinggi dan jarang minum obat. Pada
1
Pada keluhannya sekarang pasien belum berobat. Setleah rawatan sebelumnya pasien diberi
obat obat diabetes oral namun sejak 3 hari terakhir pasien tidak mengonsumsinya.
Riwayat pennyakit keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa pasien, namun paman adik pasien
menderita darah tinggi dan ibu pasien menderita sakit gula. Riwayat sakit jantung dan asma
disangkal.
Riwayat alergi: Riwayat alergi makanan, obat-obatan, debu, cuaca disangkal.
Riwayat psikososial
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan aktifitas fisik (olah raga) yang tergolong
sangat kurang. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien makan dengan teratur 2-3 kali
sehari namun tidak membatasi porsi dan jenis makanan yang ia makan. Namun sekita 3 hari
SMRS (8/11-14) pasien makan sangat sedikit karena ia takut gula darahnya naik. Pasien tidak
merokok, mengonsumsi alkohol atau pun mengonsumsi obat-obat herbal.
C. PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum
Kesadaran
: Disorientasi
GCS
Tanda vital:
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi
: 130x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 38,5 oC
Antropometri
BB
: 59 kg
TB
: 155 cm
IMT
: 24,6
Kesimpulan
Status generalis:
Kepala
: Normocephal,
Mata
Hidung
: Mukosa hipertrofi (-/-), hiperemis (-/-), sekret (-/-), Konka inferior eutrofi
Telinga
Leher
Thorax
Pulmo
:
Inspeksi
: Dada
simetris
(+/+),
retraksi
(-/-),scar
(-/-),pernapasan
torakoabdominal
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi: Datar.Distensi (-)
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), tidak teraba adanya benjolan, hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi : timpani
Ascites : Shifting dullnes (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 7x/menit
Ekstremitas :
Ekstr. Atas
Ekstr. Bawah : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (+/+), ikterik (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang masa rawatan 2-4 november 2014
1.) Tangal 1 November 2014
Pemeriksaan darah lengkap
- SGOT
19 u/l (0-37)
- SGPT
16 u/l (0-40)
- Ureum
96 mg/dl (20-40)
- Creatinin
1,8 mg/dl (0,6-1,2)
- LED
100 mm/1jam (0-15)
- Hb
14 g/dl (13,8-17)
- Leukosit
8300/ul (4,5-10,8)
- Basofil
0% (0-0,3)
- Eosinofil
0% ()
- Batang
1% ()
- N. segmen
82%
- Limfosit
10%
- Monosit
7%
- Ht
43,4%
- Trombosit
487.000/ul
2.) Tanggal 2 November 2014
Pemeriksaan radiologi, rongent thorax
Cor-sinuses dan diafragma normal
Skeletal dan jaringan lunak normal
Pulmo : Tampak infiltrate dikedua lapang paru
kesan : TB paru dupleks
Kontrol Gula Darah
Tanggal
1/112014
2/112014
3/112014
Jam
23.45
GDS (mg/dl)
653
06.00
213
12.00
18.00
24.00
06.00
282
434
193
469
12.00
392
Pemberian Insulin
20 ui
10ui
20ui
20ui
4/112014
18.00
24.00
06.00
323
232
183
15ui
9/11-14
11/11-14
SATUAN
NILAI
RUJUKAN
Hemoglobin
11,6
10,7
9,60
g/dL
11,3 - 15,5
Leukosit
9.000
8.700
5.800
/L
4.300
10.400
Trombosit
159.000
141.000
120.000
/mm
132-440
HT
34,4
32,2
28,9
36,0 46,0
GDS
36
Mg/dl
70 - 200
PEMERIKSAAN 12/11-14
13/11-14
SATUAN
NILAI
RUJUKAN
Hemoglobin
9,8
10,2
g/dL
11,3 - 15,5
Leukosit
7.600
6.600
/L
4.300
10.400
Trombosit
137.000
129.000
/mm
132-440
HT
30,1
30,7
36,0 46,0
Waktu
Imunologi
o Anti TB IgG
Analisa gas darah
o Measured
o pH
o pCO2
o pO2
o HCO3act
o HCO3std
o BE(ecf)
o BE(B)
o O2 Sat.
8/11-14
Positif (+)
28,5C
7,261 (7,350-7,450)
15,9 mmHg (32,0-45,0)
94,0 mmHg (75,0-100,0)
6,8 mmol/L
12,1 mmol/L (21-25)
-19,9 mmol/L -2.5 s.d. +2.5
-16,9 mmol/L
95,7% (85-96)
Waktu
09/1114
(mg/dl)
Waktu
10/1114
(mg/dl)
Waktu
11/11-14
(mg/dl)
(mg/dl)
07.00
36
04.00
191
06.00
449
06.00
420 (10ui)
09.00
260
08.00
254
12.00
331
12.00
397 (5ui)
12.00
99
14.00
491
18.00
556
(15ui)
18.00
395 (5ui)
16.00
55
20.00
550
24.00
253
24.00
569 (15ui)
18.00
100
02.00
463
20.00
198
04.00
463
24.00
255
Waktu
12/11-14
Waktu
13/11-14
(mg/dl)
(mg/dl)
06.00
686
(10ui)
06.00
513
12.00
635 (5ui)
12.00
587
18.00
643 (5ui)
18.00
548
24.00
749 (5ui)
24.00
E. RESUME
Pasien wanita 45 tahun datang dengan pingsan sejak 45 menit SMRS, pasien merupakan
penderita DM tiipe II dan hipertensi yang tidak terkontrol. Sebelum pingsan pasien mengeluh
lemas dan diketahui tidak nafsu makan selama 3 hari sebelumnnya. Pasien juga menderita tb
paru duplex serta terdapat ulkus diabetikum di lengan kanannya. Demam (-), riwayat polifagi
(+), riwayat poliuri(+), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK (t.a.k.). Satu minggu sebelumnya
pasien dirawat di RSIJ karena hiperglikemia serta demam yang hilang timbul dan batuk yang
tidak sembuh sejak 1 bulan sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran pasien yang menurun disertai dengan
disorientasi. Nyeri tekan epigastrium (+), edema tungkai (+), dan ditemukan adanya ulkus di
tangan (sukut) kanan.
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi
: 130x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 38,5 oC
IMT
: 24,6
Pemeriksaan penunjang :
GDS
: 36 mg/dl
F. FOLLOW UP
Tanggal
08-112013
S
Kesadaran
menurun,
Nafsumakan
menurun, lemas,
batuk (+)
O
TD: 150/90
mmhg
S : 38,5 C
RR : 22 x/mnt
N : 98 x/mnt
GDS: 36 mg/dl
A
DM Tipe2 dg
Riw.Hipoglike
mia
TB Paru duplex
Hipertensi
09-112013
Kesadaran menurn
namun lebih baik
disbanding
kemarin, bicara
ngelantur, kondisi
sama dengan hari
sebelumnya,
terlihat bingun,
nafsumakan
menurun
Kesadaran
menurun , bicara
ngelantur, terlihat
bingun,
nafsumakan
menurun
Batuk berkurang
TD:110/70
mmhg
S : 37,2C
RR : 20 x/mnt
N : 82 x/mnt
DM Tipe2 dg
Riw.Hipoglike
mia
TB Paru duplex
Hipertensi
TD : 110/80
mmhg
S : 36,9 C
RR : 19 x/mnt
N : 86 x/mnt
DM Tipe2 dg
Riw.Hipoglike
mia
TB Paru duplex
Hipertensi
10-112013
P
Oral
Ambroksol 3x1
OMZ 3x1
Domperidone 3x1
Metformin 500 3x1
Acarbose 50 3x1
Rifampicin 1x600mg
INH 1x300mg
Pirazinamide 1x1500
Etambutol
1x1500mg
Injeksi
o Ceftriaxone 1x2gr
o Ranitidine 1x2
o Citicolin 500 3x1
o Humulin 3x5ui
o Streptomycin 1x1
Terapi lanjutkan
Terapi lanjutkan
11-112013
12-112013
13-112013
Kesadaran
menurun kondisi
sama dengan
kemarin, bicara
ngelantur, terlihat
bingun,
nafsumakan
menurun, pasien
terlihat mengantuk
Kesadaran
menurun kondisi
sama dengan
kemarin, bicara
ngelantur, terlihat
bingun,
nafsumakan
menurun
Kesadaran
menurun kondisi
sama dengan
kemarin, bicara
ngelantur, terlihat
bingun,
nafsumakan
menurun
TD : 130/80
mmhg
S : 36,6 C
RR : 19 x/mnt
N : 84 x/mnt
DM Tipe2 dg
Riw.Hipoglike
mia
TB Paru duplex
Hipertensi
Terapi lanjutkan
TD : 120/90
mmhg
S : 36,6 C
RR : 19 x/mnt
N : 84 x/mnt
DM Tipe2 dg
Riw.Hipoglike
mia
TB Paru duplex
Hipertensi
Terapi lanjutkan
TD : 130/90
mmhg
S : 36,6 C
RR : 19 x/mnt
N : 84 x/mnt
DM Tipe2 dg
Riw.Hipoglike
mia
TB Paru duplex
Hipertensi
Terapi lanjutkan
Pada tanggal 13 November 2014 mulai pukul 14.20 kondisi pasien memburuk :
o
o
o
o
o
Tanggal 13 November 2014 pukul 19.05 pasien apneu, dilakukan RJP dan dimasukkan 1 ampul
adrenalin. Respon (-), reflex pupil (-). Pada pukul 19.10 pasien dinyatakan meninggal dunia oleh
dokter jaga ruangan (dr. mirad).
G. DAFTAR MASALAH
1. Hipoglikemia, Diabetes mellitus tipe II
2. TB paru Duplex
3. Hipertensi
4. Susp. CHF
5.
10
H. ASSESMENT
1. Hipoglikemia, Diabetes mellitus tipe II
Hipoglikemia DM tipe II pada pasien ini ditegakkan berdasarkan data yang didapatkan dari
anamnesis yaitu pasien memiliki riwayat sakit gula yang ia ketahui ketika berobat ke dokter 2
tahun lalu. Pasien juga mengatakan kalau dirinya mudah lapar dan cendrung makan dalam
porsi besar. Pasien juga bercerita kalau ibu pasien memiliki pennyaki gula darah. Pada
rawatan sebelumnnya pasien didiagnosa Hiperglikemia dengan GDS 653mg/dl. Pada
keluhannya sekarang pasien mengeluh lemas, karena 3 hari terakhir makan hanya dengan
porsi sedikit karena takut gula darahnya naik seperti sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan kesdaran yang menurun, dan ketika dilakukan pengecekan
gula darah, didapatkan GDS 36 mg/dl. Ditemukan pula adanya luka yang tidak sembuh sejak
1 tahun lalu di sikut kanan dan pasien tidak merasakan sakit pada lukanya. Pasien juga
mengeluhkan pandangannya kabur.
Rencana perawatan :
-
Pemeriksaan penunjang darah lengkap, urin lengkap, fungsi ginjal, & EKG.
Bila sudah tercapai kadar gula darah yang di inginkan, maka terapi di ganti dengan
OHO atau kombinasikan insulin dengan OHO (metformin dan acarbose).
11
Edukasi : berikan penjelasan pada pasien dan keluarganya bahwa sakit gula (Diabetes
mellitus) tidak dapat disembhkan dan untuk memperbaiki kondisinya harus dilakukan
dengan disiplin dalam mengontrol kondisinya ke dokter, dan harus di dukung dengan
modifikasi gaya hidup menjadi gaya hidupp yang lebih sehat.
2. TB paru Duplex
Pada anamnesis pasien mengeluhkan batuk yang tak kunjung sembuh sejak lebih dari 1 bulan
sebelumnnya. Pasien juga bercerita kalau ia telah didiagnosa mengidap TB paru duplex pada
rawatan sebelumnya (1 minggu sebelumnya) oleh dr. Rosa Sp.P dan sekarang dalam terapi
OAT.
Pada pemeriksaan imunologi didapatkan anti Tb IgG + (positif).
Rencana perawatan :
-
Hidrasi RL 1kolf/6jam
Oksigenasi 2 liter/mnt
Pemberian :
o Rifampicin 1x600mg
o INH 1x300mg
o Pirazinamide 1x1500
o Etambutol 1x1500mg
o Streptomycin inj. 1x1
Edukasi : pasien hharus di berikan informasi kalau kondisinya ini sangat berbahaya
bbagi dirinya maupun orang lain, dikarenakan infeksi kuman Tb yang ada dalam
tubuhnya berkemungkinan untuk menginfeksi organ lain diluar paru-parunya. Serta
dapat pula menginfeksi orang-orang di sekitarnya. Ajari pula pasien untuk tidak
membuang dahaknya sembarangan dan ajarkan pasien untuk menutup mulutnya
dengan kain, masker, atau saputangan bila batuk.
3. Hipertensi
Pada anamnesis pasien mengaku sering pusing dan kaku di kepala bagian belakang, dan
pasien sudah pernah dinyatakan mennderita Hipertensi oleh dokter, 2 tahun yang lalu.
12
Rawat di ruang biasa, namun dalam hal ini ruang rawatan mengikuti dengan
kebutuhan rawatan penyakit lain yang di idap pasien
Hidrasi berika RL 1 kolf/6jam : dan panntau jumlah cairan masuk dan keluar.
4. Susp. CHF
Pada anamnesis pasien mengaku kakinya terlihat membesar 2 bulan terakhir, bengkak
berkurang bila pasien memposisikan kakinya agak tinggi (tidak diwabah atau pun
menggantung).
Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya piting edem di ekstremitas bawah (kedua tungkai
pasien).
Pemeriksaan JVP tidak dilakukan karena pasien tidak koopratif. Pada auskultasi jantung
bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-).
Rencana perawatan
-
Rawat di ruang biasa, namun dalam hal ini ruang rawatan mengikuti dengan
kebutuhan rawatan penyakit lain yang di idap pasien
Nutrisi : hindari makanan yang memiliki kadar garam tinggi
Hidrasi berika RL 1 kolf/6jam : dan panntau jumlah cairan masuk dan keluar.
Pemeriksaan penunjang : Rongent thorax, pemeriksaan darah lengkap, EKG,
pemeriksaan fungsi ginjal.
Penanganan : Captopril 12,5 mg 1x1, furosemide 2x1 tab.
Edukasi : ajarkan pasien untuk menghindarai makanan-makanan yang mengandung
tinggi garam dan anjjurkan pasien untuk melakukan aktifitas fisik (olahraga) rutin
minimal 3 kali seminggu dengan pola latihan tidak boleh sampai ngos-ngosan
(aerobik).
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DIABETES MELITUS
1. Defnisi
Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: diabanein, tembus atau pancuran air) (bahasa
Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula
adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa
hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yg disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin Tu penurunan
sensitivitas jaringan tehadap insulin.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (ADA. 2010)
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu
yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari
sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.
Klasifikasi DM ( Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
14
2. Epidemiologi
Tingkat prevalensi dari DM adalah tinggi, diduga terdapat sekitar 10 juta kasus diabetes
di USA dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru serta 75 % penderita DM
akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Penyakit ini cenderung tinggi pada negara
15
maju dari pada negara sedang berkembang, karena perbedaan kebiasaan hidup. Dampak
ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan.
Disamping konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan
penyakit vaskuler. Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal ini kemungkinan
karena faktor obesitas dan kehamilan.
Menurut WHO prevalensi DM diperkirakan akan meningkat dari 8,4 juta tahun 2000
menjadi 21,2 juta lebih pada tahun 2030
3. Patofisiologi
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena
hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia
puasa dan hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria
(glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi
penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia).
Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan
lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam
basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis.
b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun
kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel
sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai
resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
16
glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II.
4. Manifestasi Klinik
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti
menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran
darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi
diuresis osmotic (poliuria).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan
penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi
sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus
dan ingin selalu minum (polidipsia).
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka
produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi
yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).
d. Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan dan
tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut, sehingga
seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan secara otomatis.
17
5. Diagnostik
Langkah-Langkah Diagnostik DM (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2
di Indonesia 2011)
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler.
Diagnosis diabetes mellitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini.
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih
mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini
dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan
dalam praktek sangat jarang dilakukan.
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
18
(IPD FKUI.2009 dan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh.
a. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).
b. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5.6 6.9 mmol/L).
19
20
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi
Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
a. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
21
b. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
b. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
c. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
d. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain
e. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
f. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
g. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
b. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
c. Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
d. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
e. Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
Protein
a. Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
b. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.
22
c. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok
teh) garam dapur.
b. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
a. Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik
untuk kesehatan.
b. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari.
Pemanis alternatif
a. Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk
pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol antara lain isomalt,
lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
b. Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
c. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.
d. Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose,
neotame.
e. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake / ADI )
Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
23
faktor yai tu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan
Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
a. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
b. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20%
pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.
d. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat kegemukan Bila
kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk
tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 - 1200
kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh
mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang
mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyertanya.
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari
seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur
dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.
25
Intervensi Farmakologi
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani.
26
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).
Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan
flatulens.
27
Golongan
1.
Sulfonil
urea-
Glibenclamid
Mekanisme kerja
ES-KI
Insulin secretagous
S:2,5-5mg/tab
ES:hipoglikemi
DH:2,5-15mg
KI:pasien
: ATP-sensitive K
channel
LK:12-24jam
hepar&
ginjal
F:1-2x/hari a.c
2.
Meglitinid-
Insulin secretagous
Repaglinid
S:1mg/tab
ES: ggn GI
DH:1,5-6mg
KI:pasien
LK:-
hepar&
ginjal
F:3x/hari a.c
3.
Biguanid-
Prod
glukosa
Metformin
S:500-850mg
ES: gjala GI
DH:250-3000
LK:6-8jam
hepar, ginjal
F:1-3x/hari
p.c/bersama mkn
28
No.
Golongan
Mekanisme kerja
ES-KI
4.
Tiazolidinedion
Mengaktifkan
S:15-30mg/tab
- pioglitazone
PPAR-g, terbentuk
DH:15-45mg
GLUT baru
LK:24 jam
F:1x sehari
5.
Penghambat -
Mengurangi
glikosidase
absorbsi glukosa di
(acarbose)
usus halus
S:50-100mg
DH:100-300mg
LK:F:3x
bersama
suapan I
(Farmakologi FKUI.2009)
2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
a. Penurunan berat badan yang cepat
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c. Ketoasidosis diabetik
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
g. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
29
30
3. Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin premix)
Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Insulin ini
mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24 jam). Preparatnya: Mixtard 30 / 40
IV, IM, SC
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien dan tepat
karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah diperiksa setiap 6
jam sekali.
Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu :
Gula darah
< 60 mg %
= 0 unit
< 200 mg %
= 5 8 unit
= 10 12 unit
= 15 16 unit
= 20 unit
= 20 24 unit
Dosis :
a. Pasien DM muda 0,75-1,5 U/kgbb kerja sedang 2x/hr
32
b. DM dewasa kurus 8-10 U kerja sedang 20-30 m sblm mkan pagidan 4-5 U sblm makan malam
c. DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sblm makan malam6
Efek samping penggunaan insulin
Hipoglikemia
Lipoatrofi
Lipohipertrofi
Resistensi insulin
Edema insulin
Sepsis
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik
yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai
kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan.
Demikian pula status gizi dan tekanan darah
33
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa
darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180 mg/dL).
Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria
pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga
untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia
dan interaksi obat. 3
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
34
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia
berat
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran.
Penyulit Kronik
1. Makroangiopati :
-
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Terkadang ulkus
iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
2. Mikroangiopati:
-
Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetik. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kg BB) juga akan
mengurangi risiko terjadinya nefropati
Neuropati
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi
distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal dengan pemeriksaan
neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram. Dilakukan sedikitnya setiap
tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa sakit dapat
diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik atau gabapentin. Semua penyandang
diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk
mengurangi risiko ulkus kaki. 6
35
Pencegahan Primer
Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko
tinggi. Mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita
penyakit ini, yaitu mereka yang tergolong kelompok usia dewasa (di atas 45
tahun), kegemukan, tekanan darah tinggi (lebih dari 140/90 mmHg), riwayat
keluarga DM, dll. Upaya yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah upaya untuk
menghilangkan faktor-faktor tersebut.
2.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini berupa upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
dengan tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit. Tindakan ini
bearti mengelola DM dengan baik agar tidak timbul penyulit lanjut. Penyuluhan
mengenai DM dan pengelolaannya memegang peran yang penting untuk
meningkatkan kepatuhan berobat.
3.
Pencegahan Tersier
Kalau penyulit menahun DM ternyata terjadi juga maka pengelola harus berusaha
mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini
mungkin sebelum kecacatan tersebut menetap. Contohnya aspirin dosis rendah
(80--325 mg) dapat dianjurkan diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah
mempunyai penyulit makroangiopati. Pelayanan kesehatan yang holistik dan
terintegrasi antar disiplin ilmu terkait sangat diperlukan.
36
HIPGLIKEMIA
Adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dl
dengan gejala klinis hipoglikemia pada DM terjadi karena :
-
Kebutuhan tubuh akibat insulin yang relatif menurun : gagal ginjal kronik, pasca
persalinan
Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
Diagnosis
Gejala dan tanda klinis :
-
Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara
Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
Stadium gangguan otak berat : tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
Anamnesis
-
Penggunaan preparat insulin atau OHO : dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir,
perubahan dosis
Pemeriksaan fisik
-
Pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung, penurunan kesadaran, defisit
neurologik fokal transien
37
Terapi
Stadium permulaan (sadar)
-
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gule diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia) :
1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer :
-
Bila GDs 100 200 mg/dL maka tanpa bolus Dekstrosa 40%
Bila GDs > 200 mg/dL maka pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam,
dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
6. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam,
dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti
infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
38
7. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut turut, sliding scale setiap 6 jam :
GD
RI
(mg/dl)
(unit, subkutan)
<200
200-500
250-300
10
300-350
15
>350
20
Keto-Asidosis Diabetikum
Adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisinesi insulin absolut atau relatif dan
merupakan komplikasi akut DM yang serius. Gambaran klinisnya hiperglikemia, ketosis dan
asidosis metabolik.
Diagnosis
-
Demam/infeksi
Muntah
Nyeri perut
Pernapasan Kussmaul
Dehidrasi
Syok hipovolemik
Kriteria diagnosis
-
Kadar Glc
: >250 mg/dl
39
pH
: <7,35
HCO3-
: rendah
Anion gap
: tinggi
Keton serum
Pemantauan :
-
Gula darah
Na+, K+, Cl- : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan
AGD
: tiap jam
: bila pH < 7 saat masuk maka diperiksa setiap 6 jam s.d.pH >7,1.
Pemeriksaan lain sesuai indikasi : kultur darah, kultur urin, kultur pus.
Terapi
Akses iv 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way
I.
-
Cairan :
NaCl 0,9% diberikan kurang lebih 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu kurang lebih 1 L pada
jam kedua, lalu 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan 0,25 L pada jam kelima dan
keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan
Jika Na + > 155 mEq/L maka ganti cairan dengan NaCl 0,45 %
II.
Jika GD < 200 mg/dl : kecepatan dikurangi maka Rl drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl
0,9 %
Jika GD stabil 200-300 mg/dl selama 12 jam maka Rl drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding
scale setiap 6 jam
GD
RI
(mg/dl)
(unit, subkutan)
<200
200-500
5
40
250-300
10
300-350
15
>350
20
Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari maka
dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan)
III.
-
Kalium
Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip Rl, dosisb50 mEq/6 jam. Syarat :
tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG,
dan jumlah urin cukup adekuat
3,0-4,5
4,5-6,0
>6,0
: drip dihentikan
IV.
Natrium Bikarbonat
Drip
Tatalaksana Umum
Antibiotika adekuat
Heparin : bila ada KID atau hiperosmolar ( >380 mOsm/L) terapi disesuaikan dengan
pemantauan klinis
yang
meningkatkan
beban
awal,
beban
akhir
atau
yang
menurunkan
kontraktilitasmiokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan
cacat septumventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau
hipertensisistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau
kardiomyopati.Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah
gangguan pengisisanventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian dan
ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut
diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada
gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein
kontraktil( Price. Sylvia A, 1995).
Stroke volume : isi sekuncup Kontraksi kardiak Preload dan afterload Meliputi :
Kerusakan
langsung
pada
jantung
(berkurang
kemampuan
berkontraksi),
infark
Ventricular overload terlalu banyak pengisian dari ventricle Overload tekanan (kebanyakan
pengisian akhir : stenosis aorta atau arteri pulmonal, hipertensi pulmonari Keterbatasan
pengisian sistolik ventricular
Pericarditis
konstriktif
atau
cardomyopati,
atau
aritmi,
kecepatan
yang
padaatrium kiri (normal 10-12 mmHg) dan diikuti pula peninggian tekanan vena
pembuluh pulmonalis dan pebuluh darah kapiler di paru, karena ventrikel kanan masih sehat
memompadarah terus dalam atrium dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat tekanan
hodrostatik dalam kapiler paru-paru akan menjadi tinggi sehingga melampui 18 mmHg dan
terjadi transudasicairan dari pembuluh kapiler paru-paru. Pada saat peningkatan tekanan arteri
pulmonalis dan arteri bronkhialis, terjadi transudasi cairanintertisiel bronkus mengakibatkan
edema aliran udara menjadi terganggu biasanya ditemukan adanya bunyi ekspirasi dan menjadi
lebih panjang yang lebih dikenal asma kardial fase permulaan pada gagal jantung, bila tekanan di
kapiler makin meninggi cairan transudasi makin bertambah akan keluar dari saluran limfatik
karena ketidaka mampuan limfatik untuk,menampungnya (>25 mmHg) sehingga akan tertahan
dijaringan intertissiel paru-paru yang makin lama akan menggangu alveoli sebagai tempat
pertukaran udara mengakibatkan udema paru disertai sesak dan makin lama menjadi syok yang
lebih dikenal dengan syak cardiogenik diatandai dengan tekanan diatol menjadi lemah dan
rendah serta perfusi menjadi sangat kurang berakibat terdi asidosis otot-otot jantung yang
berakibat kematian.Gagalnya kkhususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah yang
mengandung oksigentubuh yang berakibat dua hal: Tanda-tanda dan gejela penurunan cardiak
output seperit dyspnoe de effort (sesak nafas padaakktivitas fisik, ortopnoe (sesak nafas pada saat
berbaring dan dapat dikurangi pada saat duduk atau berdiri.kemudian dispnue noktural
paroksimalis (sesak nafas pada malam hari atau sesak pada saat terbangun) Dan kongesti paru
seperti menurunnya tonus simpatis, darah balik yang bertambah, penurunan pada pusat
pernafasan, edema paru, takikardia, Disfungsi diatolik, dimana ketidakmampuan relaksasi
distolik dini ( proses aktif yangtergantung pada energi) dan kekakuan dindiing ventrikel.
2. Decompensasi cordis kanan
Kegagalan venrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memompa melawan tekanan yang
naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat membaliknya kembali kedalam sirkulasi
sistemik, peningkatan volume vena dan tekanan mendorong cairan keintertisiel masuk kedalam
(edema perier) (long, 1996). Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak dapat khususnya ventrikel
kanantidak bisa berkontraksi dengan optimal , terjadi bendungan diatrium kanan dan vena kapa
superior
dan
inferior
dan
tampak
gejala
yang
ada
adalah
udema
perifer,
hepatomegali,splenomegali, dan tampak nyata penurunan tekanan darah yang cepat. hal ini
akibaat vetrikel kanan pada saat sisitol tidak mampu memompa darah keluar sehingga saat
43
berikutnya tekanan akhir diatolik ventrikel kanan makin meningkat demikin pula mengakibatkan
tekanan dalam atrium meninggi diikuti oleh bendungan darah vena kava supperior dan vena kava
inferior serta selruhsistem vena tampak gejal klinis adalah terjadinya bendungan vena jugularis
eksterna, vena hepatika (tejadi hepatomegali, vena lienalis (splenomegali) dan bendunganbedungan pada padaena-vena perifer. Dan apabila tekanan hidristik pada di pembuluh kapiler
meningkat melampuitakanan osmotik plasma maka terjadinya edema perifer.
2. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat
dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut:I. Pasien dg P. Jantung tetapi tidak memiliki
keluhan pd kegiatan sehari-hari II. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambtan
aktivitas hanya sedikit, akantetapi jika ada kegaiatn berlebih akan menimbulkan capek, berdebar,
sesak serta angina III. Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas
dan hanya merasa sehat jika beristirahat.IV. Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja
bergerak langsung menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak
nafas.Konsep terjadinya gagal jantung dan efeknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dapat
dilihat pada gambar berikut :
Meningkatkan pelepasan
renin angiotensin II
Tekanan darah dipertahankan
vasokontriksi ginjal
Pemeriksaan fisik EKG untuk melihat ada tidaknya infark myocardial akut,
dan guna mengkaji kompensaai sepperti hipertropi ventrikel
Rontgen thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan pembesaran
jantung
5.
PENATALAKSANAAN
Dosis Permulaan
Dosis Maksimal
Nitroglycerin
20 g/menit
40400 g/menit
Nitroprusside
10 g/menit
30350 g/menit
Nesiritide
Bolus 2 g/kg
Dobutamine
Milrinone
Bolus 50 g/kg
Dopamine
Levosimendan
Bolus 12 g/kg
Epinephrine
Phenylephrine
Vasodilators
Inotropes
Vasoconstrictors
46
Vasopression
0.05 units/menit
Dosis Awal
Dosis Maksimal
Furosemide
2040 mg qd or bid
400
mg/da
Torsemide
1020 mg qd bid
200
mg/da
Bumetanide
0.51.0 mg qd or bid
10
mg/da
Hydrochlorthiazide
25 mg qd
100
mg/da
Metolazone
2.55.0 mg qd or bid
20
mg/da
Diuretics
6.25 mg tid
50 mg tid
Enalapril
2.5 mg bid
10 mg bid
Lisinopril
2.55.0 mg qd
2035 mg qd
Ramipril
1.252.5 mg bid
2.55 mg bid
Trandolapril
0.5 mg qd
4 mg qd
40 mg bid
160 mg bid
Candesartan
4 mg qd
32 mg qd
47
Dosis Awal
Dosis Maksimal
Irbesartan
75 mg qd
300
Losartan
12.5 mg qd
50 mg qd
Carvedilol
3.125 mg bid
2550 mg bid
Bisoprolol
1.25 mg qd
10 mg qd
qdb
mg
Receptor Blockers
Metoprolol
succinate 12.525 mg qd
CR
Additional Therapies
Spironolactone
12.525 mg qd
2550 mg qd
Eplerenone
25 mg qd
50 mg qd
Kombinasi
75 mg/40 mg tid
hydralazine/isosorbide
dinitrate
Dosis
hydralazine/isosorbide tid
mg/40
mg
(two
tablets) tid
dinitrate
Digoxin
0.125 mg qd
<0.375 mg/db
Non medikamentosa
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja
jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar benar dengan tirah baring ( bed
rest ) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat.
Sering tampak gejala gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet
umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan.
48
Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan
sebanyak 80 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
C. TUBERKULOSIS
1.
Definisi TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.
2. Epidemiologi TB Paru
WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini
telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993 WHO juga menyatakan bahwa TB
sebagai reemerging disease. Angka penderita TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di
Asia jumlah penderita TB paru berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.9,11,15
Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. S2ecara regional
prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah
Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk, 2. Wilayah Jawa dan Bali
angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk, 3. Wilayah Indonesia Timur angka
prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka
prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun
2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya.
3. Diagnosis TB Paru
TB paru sering menimbulkan gejala klinis yang dapat dibagi menjadi 2 yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri
dada. Sedangkan gejala sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan, dan malaise.
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.
49
Bila bronkus belum terlibat pada proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak keluar. Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan
pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen
posterior. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma, dan mediastinum.
Untuk yang diduga menderita TB paru, diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Berdasarkan panduan program TB nasional, diagnosis TB
paru pada orang dewasa ditegakkan dengan dijumpainya kuman TB (BTA). Sedangkan
pemeriksaan lain seperti foto thoraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sesuai dengan indikasinya dan tidak dibenarkan dalam mendiagnosis TB
jika diagnosis dibuat hanya berdasarkan foto thoraks.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat
penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, bilasam bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi.
b. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto
apilordotik, oblik, CT scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada
foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa:
a.
Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah
b.
c.
d.
e.
f.
Kalsifikasi
50
g.
Schwarte
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak pada foto
c. Pemeriksaan Khusus
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi kuman TB
seperti :
a.BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam
lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya.
b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis, hanya
saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi.
c.Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot.
5. Klasifikasi TB Paru
Dalam Klasifikasi TB Paru ada beberapa pegangan yang prinsipnya hampir bersamaan.
PDPI membuat klasifikasi berdasarkan gejala klinis, radiologis dan hasil pemeriksaan
51
bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini dipakai untuk menetapkan
strategi pengobatan dan penanganan pemberantasan TB:
1. TB Paru BTA positif yaitu:
- Dengan atau tanpa gejala klinis
- BTA positif mikroskopis +
- Mikroskopis + biakan +
- Mikroskopis + radiologis +
- Gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru
6. Penatalaksanaan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
-
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih mengunqtungkan dan sangat
dianjurkan.
52
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan
TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
53
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
- Pasien baru TB paru BTA positif
- Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif
- Pasien TB ekstra paru
b. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5HER3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
54
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB
dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
c.
55
Penyebab
Penatalaksanaan
Nyeri sendi
Kesemutan
Pirasinamid
s/d
rasa INH
Beri Aspirin
Beri
terbakar di kaki
vitamin
B6
Efek Samping
Gatal dan kemerahan
kulit
Tuli
Penyebab
Semua jenis OAT
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Streptomisin
Etambutol
Rifampisin
Penatalaksanaan
Ikuti petunjuk
penatalaksanaan
Streptomisin dihentikan,
ganti etambutol
Streptomisin dihentikan,
ganti etambutol
Hentikan semua OAT
sampai ikterus
menghilang
Hentikan semua OAT,
segera lakukan tes fungsi
hati
Hentikan etambutol
Hentikan Rifampisin
56
DAFTAR PUSTAKA
57
58
Lily ismudiati rilanto dkk, (2001). Buku Ajar Kardiologi, penerbit Fakultas Kedokteran
Unversitas Indonesia, Gaya Baru Jakarta.
Arthur C. Guyton, dkk. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC
Sylvia A. Price, dkk. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta : EGC
59