Anda di halaman 1dari 44

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Pada zaman modern ini pertumbuhan dan perkembangan industri
bangunan di Indonesia sangatlah pesat. Di Jakarta sendiri hampir tiap sudut kota
banyak kita temui proyek konstruksi bangunan baru, baik proyek konstruksi
bangunan besar seperti mall, gedung perkantoran, terminal, dan lain lain, ataupun
proyek konstruksi sederhana seperti bangunan rumahan. Tentu dengan banyaknya
proyek konstruksi bangunan baru tersebut akan berdampak kepada melonjaknya
angka kebutuhan material semen. Data angka kebutuhan semen sebesar 20 juta
ton dalam kurun waktu tahun 2012-2016 (Asosiasi Semen Indonesia, 2012).
Seiring perkembagan zaman hampir 80% bangunan rumah di Jakarta
sudah menggunakan bahan material bata beton (batako). Bangunan konvensional
yang dulu masih menggunakan dinding kayu dan batu bata (tanah liat) perlahan
ditinggalkan.
Pengertian batako menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bata
yang dibuat dari adukan pasir dan teras atau semen, dan berongga, ukurannya
lebih besar daripada batu bata biasa. Batako disebut juga "conblock" (SNI 030349-1989) atau batu cetak beton, yaitu komponen bangunan yang dibuat dari
campuran semen portland atau pozolan, pasir, air dan atau tanpa bahan tambahan
lainnya (additive), dicetak sedemikian rupa hingga memenuhi syarat dan dapat
digunakan sebagai bahan untuk pasangan dinding.

Batako berlubang mempunyai sifat-sifat panas dan ketebalan total yang


lebih baik dari pada beton padat. Batako berlubang dapat disusun 5 kali lebih
cepat dan cukup kuat untuk semua penggunaan yang biasanya menggunakan batu
bata (Eliatun, 2008). Dinding yang dibuat dari batako berlubang mempunyai
keunggulan dalam hal meredam panas dan suara.
Banyaknya kebutuhan batako berlubang sebagai bahan konstruksi tentu
berakibat peningkatan kebutuhan material pembentuknya. Sehingga memicu
penambangan batuan sebagai salah satu bahan pembentuk batako berlubang
secara besar-besaran. Dampak negatif dari hal ini adalah berkurangnya jumlah
sumber alam yang tersedia untuk bahan pembentuk batako dan menyebabkan
pengrusakan lingkungan.
Sehubungan dengan hal itu maka dilakukan penelitian sebagai upaya
untuk menemukan sumber alam lain sebagai bahan alternatif pengganti yang
efisien dalam jumlah besar dan ekonomis. Bahan alternatif tersebut didapat
dengan cara memanfaatkan limbah-limbah industri dan konstruksi yang selama ini
dibiarkan dan dibuang begitu saja. Limbah industri untuk bahan campuran bata
beton ternyata mampu meningkatkan daya kuat tekan (Simanjuntak, P., 2000).
Bahan alternatif pengganti tersebut adalah abu kulit kerang hijau. Abu kulit
kerang hijau yang digunakan sebagai bahan pengganti sebagian semen pada
batako, yang diduga efektif dan mampu mempengaruhi kuat tekan batako.
Selama ini manfaat limbah padat tersebut belum optimal. Limbah ini
hanya dimanfaatkan untuk menimbun areal di sekitar pabrik (landfill), penjernih
air, bahan obat-obatan, dan kerajinan tangan (bisnisukm.com, 2011). Tercatat

pada akhir tahun 2013 budidaya kerang hijau di Indonesia mencapai 22.800 ton
bruto, dan 15.960 ton limbah cangkang kerang hijau (harnas.co, 2014). Apabila
keadaan ini dibiarkan terus menerus maka semakin lama akan menyebabkan
masalah besar, penimbunan limbah secara berkelanjutan memungkinkan
terjadinya pencemaran lingkungan.
Dengan demikian diperlukan upaya untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Salah satu alternatif mengatasi jumlah limbah tersebut peneliti
melakukan daur ulang limbah abu kulit kerang menjadi bahan campuran
pembuatan batako.

1.2. Identifikasi Masalah


Dari uraian latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasikan
beberapa masalah, yaitu:
1.

Apakah abu kulit kerang hijau dapat digunakan sebagai pengganti


sebagian semen pada batako berlubang?

2.

Berapa persentase campuran optimum jika dilakukan subtitusi


terhadap volume semen dengan proporsi 0% sebagai kontrol, dan
proporsi sebesar 5% , 7,5% dan 10 % agar didapat nilai kuat tekan
optimum? Nilai penentuan proporsi didasari pada studi literatur, akan
dijelaskan pada kerangka berpikir.

3.

Apakah besar kuat tekan batako yang menggunakan bahan pengganti


abu kulit kerang dapat memenuhi SNI 03-0349-1989 tentang bata
beton untuk pasangan dinding?

1.3. Pembatasan Masalah


Dalam penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah yaitu:
1. Batako yang diuji adalah batako berlubang yang mempunyai ukuran 36 x 17
x 8 cm, dan dimensi lubang 8 x 17 x 3 cm sebanyak 3 lubang.
2. Perbandingan campuran 1 pc : 4 ps dengan f.a.s. 0,5.
3. Persyaratan minimum kuat tekan batako pada tingkat mutu IV SNI 03-03491989 batako berubang non struktural sebesar 20 kg/cm2.
4. Penggunaan abu kulit kerang hijau sebagai subtitusi volume semen dengan
proporsi 0%, 5%, 7,5% dan 10%.
5. Bahan subtitusi diperoleh di daerah Cilincing, dan dibakar pada tungku suhu
6700 C selama 4 jam.

1.4. Perumusan Masalah


Apakah nilai kuat tekan optimum batako berlubang yang menggunakan
abu kulit kerang hijau dengan proporsi 0%, 5%, 7,5% dan 10% sebagai subtitusi
sebagian volume semen dapat memenuhi standar SNI 03-0349-1989 tingkat mutu
IV pada batako berlubang non struktural sebesar 20 kg/cm2?

1.5. Kegunaan Penelitian


1. Memperoleh informasi akurat tentang kulit kerang hijau sebagai alternatif
bahan subtitusi semen pada batako.

2. Menghasilkan batako yang berbahan baku limbah dari subtitusi semen dengan
abu kulit kerang yang berkualitas dan ekonomis.
3.

Memberikan wawasan bagi mahasiswa teknik bangunan di Indonesia.

BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
PENELITIAN

2.1.

Landasan Teori

2.1.1. Batako
2.1.1.1. Definisi dan Pengertian
Menurut Supribadi (1986) Batako adalah bata yang dibuat dari campuran
bahan perekat hidrolis ditambah dengan agregat halus dan air dengan atau tanpa
bahan tambahan lainnya dan mempunyai luas penampang lubang lebih dari 25 %
penampang batanya dan isi lubang lebih dari 25 % isi batanya.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 03-0349-1989), Conblock
(concrete block) atau batu cetak beton adalah komponen bangunan yang dibuat
dari campuran semen Portland atau pozolan, pasir, air dan atau tanpa bahan
tambahan lainnya (additive), dicetak sedemikian rupa hingga memenuhi syarat
dan dapat digunakan sebagai bahan untuk pasangan dinding.
2.1.1.2. Jenis-jenis batako
Berdasarkan tipenya batako dibagi 6 tipe, yaitu (Supribadi:1986):
1. Tipe A : Ukuran 20.20.40 cm berlubang untuk tembok/dinding pemikul
dengan tebal 20 cm.
2. Tipe B : Ukuran 20.20.40 cm berlubang untuk tembok/dinding tebal 20 cm
sebagai penutup pada sudut-sudut dan pertemuan-pertemuan.

3. Tipe C : Ukuran 10.20.40 cm berlubang dipergunakan sebagai penutup


dinding pengisi dengan tebal 10 cm.
4. Tipe D : Ukuran 10.20.40 cm berlubang sebagai dinding pengisi pemisah
dengan tebal 10 cm.
5. Tipe E : Ukuran 10.20.40 cm tidak berlubang untuk tembok-tembok setebal
10 cm. Dipergunakan untuk dinding pengisi atau pemikul sebagai hubunan
sudut-sudut dan pertemuan-pertemuan.
6. Tipe F : Ukuran 8.20.40 cm tidak berlubang sebagai dinding pengisi.

Gambar 2.1 Tipe-tipe batako(Hendratmo:2010)


Berdasarkan bahan pembuatannya batako (Hendratmo:2010) : 1):
1. Batako putih, dibuat dari campuran tras, batu kapur, dan air. Campuran
tersebut dicetak. Tras merupakan jenis tanah berwarna putih/putih kecoklatan
yang berasal dari pelapukan batu-batu gunung berapi., warnanya ada yang

putih dan ada juga yang putih kecoklatan. Umumnya memiliki ukuran
panjang 25-3-cm, tebal 8-10 cm, dan tinggi 14-18 cm.
2. Batako pres, dibuat dari campuran semen dan pasir atau abu batu. Ada yang
dibuat secara manual (menggunakan tangan), ada juga yang menggunakan
mesin. Perbedaannya dapat dilihat pada kepadatan permukaan batakonya.
Umumnya memiliki ukuran panjang 36-40 cm, tebal 8-10 cm, dan tinggi 1820 cm.
Berdasarkan tingkat mutunya batako berlubang dibedakan menjadi 4
(SNI 03-0349-1989), yaitu:
1. Tingkat mutu I

: digunakan untuk dinding non stuktural terlindungi, kuat

tekan rata-rata sebesar 70 kg/cm2.


2. Tingkat mutu II : digunakan untuk dinding struktural tak terlindungi (boleh
ada beban), kuat tekan rata-rata sebesar 50 kg/cm2.
3. Tingkat mutu III : digunakan untuk dinding non stuktural tak terlindungi
boleh terkena hujan dan panas, kuat tekan rata-rata sebesar 35 kg/cm2.
4. Tingkat mutu IV : untuk dinding non struktural terlindungi dari cuaca, kuat
tekan rata-rata sebesar 20 kg/cm2.
Dalam penelitian ini dicoba menggunakan batako berlubang yang
mempunyai ukuran 36 x 17 x 8 cm, dan dimensi lubang 8 x 17 x 3 cm sebanyak 3
lubang, dengan perbandingan 1 pc : 4 ps.
2.1.1.3. Bahan penyusun batako
Mutu batako ditentukan oleh beberapa faktor yaitu bahan dasar, bahan
tambahan/subtitusi, proses pembuatan, dan alat yang digunakan. Semakin baik

mutu bahan dasarnya, komposisi campuran yang direncanakan dengan baik,


proses pencetakan dan pembuatan yang dilakukan dengan baik dan sesuai
prosedur akan menghasilkan batako yang memiliki mutu baik pula.
Dalam perkembangannya bahan penyusun batako tidak hanya terdiri dari
pasir dan semen, namun berbagai variasi telah banyak dilakukan dalam penelitian.
Adapun bahan penyusun batako adalah sebagai berikut :
Pasir
Pasir adalah pasir alam sebagai hasil disintegrasi alami batuan atau
pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir
terbesar 4,75 mm (SNI 03-6820-2002). Pasir yang digunakan harus memenuhi
persyaratan kadar lumpur, kadar zat organik, dan gradasi butiran. Pasir tidak boleh
mengandung lumpur lebih dari 5 %, modulus halus butir 2,3 sampai 3.1 (ASTM
C.33-82).
Tabel 2.1. Syarat Mutu Agregat Halus Menurut ASTM C-33-95
Ukuran Lubang Ayakan (mm)

Persen Lolos Kumulatif

9.5

100

4.75

95-100

2.36

80-100

1.18

50-85

0.6

25-60

0.3

10-30

0.15

2-10

Sumber : Tri Mulyono. Teknologi Beton Indonesia. (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2004)

10

Menurut

Standar

Nasional

Indonesia

(SKSNI-S-04-1989-F:28)

disebutkan mengenai persyaratan pasir atau agregat halus yang baik sebagai bahan
bangunan adalah sebagai berikut :
1. Agregat halus harus terdiri dari butiran yang tajam dan keras dengan indeks
kekerasan < 2,2.
2. Sifat kekal pasir apabila diuji dengan larutan jenuh natrium sulfat bagian
hancur maksimal 12%, dan jika diuji dengan larutan magnesium sulfat bagian
hancur maksimal 10%.
3. Tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5%, bilang lebih dari itu maka
pasir harus dicuci.
4. Pasir tidak boleh mengadung bahan-bahan organik terlalu banyak, yang harus
dibuktikan dengan percobaan warna dari Abrans-Harder dengan larutan jenuh
NaOH 3%.
5. Susunan besar butir pasir mempunyai modulus kehalusan antara 1,5 sampai 3,8
dan terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam.
6. Untuk beton dengan tingkat keawetan yang tinggi reaksi pasir terhadap alkali
harus negatif.
7. Pasir laut tidak boleh digunakan sebagai agregat halus untuk semua mutu beton
kecuali dengan petunjuk dari lembaga pemerintahan bahan bangunan yang
diakui.
8. Agreagat halus yang digunakan untuk plesteran dan spesi terapan harus
memenuhi persyaratan pasir pasangan.

11

Semen
Menurut Bonardo Pangaribuan (2004) semen adalah bahan perekat atau
lem, yang bisa merekatkan bahan bahan material lain seperti batu bata dan batu
koral hingga bisa membentuk sebuah bangunan. Sedangkan dalam pengertian
secara umum semen diartikan sebagai bahan perekat yang memiliki sifat mampu
mengikat bahan bahan padat menjadi satu kesatuan yang kompak dan kuat
Fungsi utama semen sangatlah penting, yaitu sebagai pengikat butir-butir
agregat halus sehingga membentuk suatu massa yang padat dan mengisi rongga
udara di antara butir-butir agregat halus. Semen dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
yaitu semen hidrolik yang dapat melekat dan mengikat di dalam air, dan semen
non hidrolik yang tidak bisa mengikat di dalam air tetapi mengeras di udara.
Contoh semen hidrolik antara lain semen portland pozzolan, semen portland terak
tanur tinggi, semen alumina dan semen expansif (Mulyono, 2004).
Sedangkan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 152049-2004, semen portland adalah semen hidrolisis yang dihasilkan dengan cara
menggiling terak (Clinker) portland terutama yang terdiri dari kalsium silikat
(xCaO.SiO2) yang bersifat hidrolis dan digiling bersama sama dengan bahan
tambahan berupa satu atau lebih bentuk kristal senyawa kalsium sulfat
(CaSO4.xH2O) dan boleh ditambah dengan bahan tambahan lain (additive).
Standar Nasional Indonesia (SNI 15-2049-2004) membagi semen
portland menjadi 5 jenis yaitu:
1. Jenis I, yaitu semen portland untuk penggunaan umum yang tidak
memerlukan persyaratan-persyaratan khusus.

12

2. Jenis II, yaitu semen portland yang penggunaannya memerlukan ketahanan


terhadap sulfat atau kalor hidrasi sedang.
3. Jenis III, yaitu semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan
kekuatan tinggi pada tahap permulaan setelah pengikatan terjadi.
4. Jenis IV, yaitu semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan kalor
hidrasi rendah.
5. Jenis V, yaitu semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan
ketahanan tinggi terhadap sulfat.
Air
Air adalah senyawa kimia yang merupakan hasil ikatan dari unsur
hidrogen (H2) yang bersenyawa dengan unsur oksigen (O), dalam hal ini air
merupakan bahan dasar yang sangat penting dalam pembuatan batako. Air
diperlukan sebagai bahan pereaksi/penyatu antara pasir dan semen agar mudah
dipadatkan dan dibentuk. Air yang dipakai tidak boleh air yang berbahaya, seperti
air yang sudah tercemar, air buangan, dan tidak boleh mengandung bahan kimia.
2.1.1.4. Kelebihan dan Kekurangan batako
Material dinding dari batako ini umumnya dibuat dari campuran semen
dan pasir kasar yang dicetak padat atau dipress. Selain itu ada juga yang
membuatnya dari campuran batu tras, kapur dan air. Dengan bahan pembuatan
seperti yang telah disebutkan, batako memiliki beberapa kelebihan dan
kelemahan.
Kelebihan :

13

3. Ukurannya lebih besar dibanding bata sehingga secara kuantitatif lebih


menguntungkan
4. Pembuatannya agak mudah, dan ukurannya sama.
5. Karena ukurannya besar praktis waktu dan ongkos pemasangan lebih cepat.
Pemasangan batako umumnya memberikan penghematan waktu sampai
kurang lebih 50 % dibandingkan dengan bata merah.
6. Apabila pengerjaannya rapih tidak perlu diplester.
7. Lebih mudah dipotong jika dibandingkan dengan bata merah.
8. Penghematan adukan sekitar 40 s/d 50 % karena memiliki rongga.
Kekurangan :
1. Proses pembuatannya cukup lama ( 28 hari).
2. Mengingat ukurannya cukup besar dan lamanya proses mengeras,
mengakibatkan pada waktu pengangkutan batako sering pecah/potong.

2.1.2

Kerang Hijau
Kerang Hijau (Perna viridis) atau dikenal dimasyarakat dengan nama

kijing, adalah binatang lunak yang hidup di pesisir laut, bercangkang dua dan
berwarna hijau. Kerang hijau merupakan organisme yang termasuk kelas
Pelecypoda. Golongan biota yang bertubuh lunak (mollusca). Kerang hijau
termasuk Hewan dari kelas pelecipoda, kelas ini selalu mempunyai cangkang
katup sepasang maka disebut sebagai Bivalvia. Hewan kelas ini pun berinsang
berlapis-lapis sering disebut Lamelli branchiata.

14

Gambar 2.2 Budidaya kerang hijau di daerah Cilincing (2014)


Kerang hijau cukup populer dimasyarakat sebagai bahan makanan dan
telah dibudidayakan sebagai usaha penduduk di daerah pesisir laut. cara
membudidayakannya pun cukup mudah, tidak memerlukan modal besar dan dapat
dipanen setelah berusia 6 bulan. Hasil panen pertahun pun cukup menjanjikan bisa
mencapai 200-300 ton bruto atau sekitar 60-100 ton daging kerang netto.
Masyarakat pesisir biasanya membentuk kelompok usaha mikro untuk
membudidayakannya dan menjualnya ke pasar-pasar tradisional.
Selama ini masyarakat hanya mengambil daging kerang hijau sebagai
lauk dan membuang kulitnya begitu saja, padahal sampah kulit kerang memiliki
banyak sekali manfaat. Cangkang/kulit kerang hijau bisa dimanfaatkan sebagai
bahan obat-obatan, penjernih air, dan kerajinan tangan. Manfaat lainnya adalah
jika cangkang kerang hijau ini diolah dengan cara yang benar maka bisa
digunakan sebagai alternatif bahan bangunan.
Cangkang kerang hijau harus diolah dengan cara dicuci terlebih dahulu,
diopen pada suhu 6700 C, lalu dihaluskan dengan menggunakan mesin disk mill.

15

Hasilnya berupa abu kulit kerang hijau yang bersifat "Pozzolan", yaitu
mengandung mineral silika dan alumina yang bersifat reaktif sehingga dapat
digunakan sebagai bahan subtitusi sebagian semen. Dampak yang diharapkan dari
penggunaan abu kulit kerang hijau ini adalah didapatnya nilai perilaku mekanik
batako yang setara ataupun mendekati batako normal.
Tabel 2.2 Komposisi abu kulit kerang hijau
Kandungan
CaO
SiO2
Fe2O3
Al2O3
MgO
Free Lime

Persen(%)
66,70
7,88
0,03
1,25
22,28
1,86

(Sumber : Shinta Marito Siregar, 2009)


2.1.3. Syarat Mutu Batako
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 03-0349-1989 tentang
bata beton untuk pasangan dinding ada tiga syarat mutu batako, yaitu :
1. Pandangan Luar (sifat tampak)
Bidang permukaannya harus tidak cacat. Rusuk-rusuknya siku satu terhadap
yang lain, dan sudut rusuknya tidak mudah dirapihkan dengan kekuatan jari
tangan.
2. Ukuran dan Toleransi
Ukuran batako harus sesuai dengan Tabel 2.3.

16

Tabel 2.3. Ukuran Batako

Jenis

Ukuran

Tebal dinding sekatan

(mm)

lobang minimum

Panjang

Lebar

Tebal

390 + 3

190 2

100 2

1. Pejal

Luar

Dalam

100 2

20

15

200 2

25

-5

2. Berlobang
a. Kecil

390 + 3

190 + 3

b. Besar

-5

-5

390 + 3

190 + 3

-5

-5

20

(Sumber : SNI 03-0349-1989, Badan Standardisasi Nasional)

c. Syarat Fisis (kuat tekan dan penyerapan air)


Batako harus memenuhi syarat-syarat fisis sesuai dengan Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Syarat-Syarat Fisis Batako SNI 03-0349-1989

Syarat fisis

1. Kuat tekan bruto

Tingkat mutu batako

Tingkat mutu batako

pejal

berlobang

Satuan

rata- rata minimum

II

III

IV

II

III

IV

100

70

40

25

70

50

35

20

kg/cm 2

17

2. Kuat tekan bruto kg/cm 2


masing-masing

90

65

35

21

65

45

30

17

25

35

25

35

benda uji

3. Penyerapan
rata-rata,

air

maksimum
(Sumber : SNI 03-0349-1989, Badan Standardisasi Nasional)

Keterangan : Kuat tekan bruto adalah beban tekan keseluruhan pada waktu benda coba
pecah, dibagi dengan luas ukuran nyata dari bata termasuk luas lubang serta cekungan tepi.

2.2. Penelitian Relevan


Terdapat penelitian yang relevan dengan penelitian ini, sebagai berikut :
1. Menurut penelitian Nurrohman Widiyanto (2013) yang berjudul Pengaruh
Abu Kulit Kerang Sebagai Pengganti Sebagian Semen Pada Pembuatan
Beton. Subtutisi abu kulit kerang sebesar 7,5%, 10 %, 12,5 % dan didapat
kuat tekan optimum beton pada umur 28 hari pada campuran 7,5% sebesar
24,5 kg/cm2 lebih tinggi dari beton normal sebesar 22,74 kg/cm2
2. Menurut penelitian Mufti A Sultan ST. (2013) yang berjudul Studi
Penggunaan Cangkang Kerang Hijau Sebagai Bahan Penambah Agregat
Kasar Pada Campuran Beton. Benda uji yang digunakan berbentuk silinder
berdiameter 150 mm dan tinggi 300 mm,terdiri dari beton tambahan agregat
cangkang kerang sebagai agregat kasar, FAS 0.42 dan persentase Cangkang

18

kerang sebesar` 0%, 17%, 31%, 44%, dan 55% dari berat agregat Kasar. Hasil
penelitian menunjukan bahwa nilai kuat tekan tertinggi terdapat pada variasi
17% yaitu sebesar 10,59 kg/cm2, lebih rendah dari beton normal yang
memiliki nilai kuat tekan sebesar 24,03 kg/cm2.
3. Menurut penelitian Angelina

Eva

Lianasari

(2013)

yang berjudul

Penggunaan Limbah Bubur Kertas Dan Fly Ash Pada Batako. Penambahan
Limbah bubur kertas koran yang diberikan sebanyak 10%, 20%, 30%, 40%,
50% dari volume pasir dan digunakan pula fly ash sebanyak 10% dari berat
semen dengan perbandingan campuran 1 PC : 7 PS dengan f.a.s 0,6,
pengujian dilakukan pada umur 28 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai kuat tekan tertinggi terdapat pada variasi 50% yaitu sebesar 47,0474
kg/cm2, lebih tinggi dari batako normal yang hanya memiliki kuat tekan
sebesar 34,0582 kg/cm2.

2.3. Kerangka Berpikir


Penelitian dilakukan bertujuan untuk menemukan bahan material
alternatif yang sepadan atau bahkan memiliki kualitas yang lebih tinggi dari bahan
utama. Penggunaan bahan alternatif sebagai bahan tambah atau pengganti bahan
utama bukanlah hal yang baru, beberapa penelitian bahkan sudah berhasil
menemukan beberapa bahan alternatif tersebut. Salah satu pengganti bahan utama
itu adalah abu kulit kerang hijau.
Abu kulit kerang hijau pada penelitian kali ini dipergunakan sebagai
bahan alternatif pengganti sebagian semen pada batako berlubang yang

19

mempunyai ukuran 36 x 17 x 8 cm, dan dimensi lubang 8 x 17 x 3 cm sebanyak 3


lubang, dengan perbandingan campuran 1 pc : 4 ps dan nilai f.a.s sebesar 0,5.
Sifat serbuk abu kulit kerang hijau memiliki beberapa kemiripan dengan semen,
diantara memiliki kadar CaO (66,70%) dan silika (7,88%) yang cukup banyak,
mampu mengikat bahan material lain, memiliki dimensi butir yang relatif sama
sehingga dalam mengisi rongga pada batako memiliki kepadatan yang sama.
Proporsi abu kulit kerang hijau yang akan digunakan sebagai subtitusi
semen sebesar 0%, 5%, 7,5% dan 10 %. Hal ini mengacu pada penelitian relevan
yang dilakukan Nurochman mengenai kuat tekan optimum pada beton yang
didapat dari proporsi abu kulit kerang sebesar 7,5%. Maka diputuskan untuk
melakukan pengujian dengan range proporsi sebesar -2,5% dan +2,5% pada
batako berlubang.
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perlunya
penelitian lebih lanjut mengenai fungsi abu kulit kerang hijau sebagai pengganti
sebagian semen pada batako berlubang. Dari penelitian ini diharapkan dapat
mengetahui seberapa besar pengaruh abu kulit kerang hijau sebagai pengganti
sebagian semen terhadap pembuatan dan kuat tekan batako sesuai ketentuan dan
prosedur yang direncanakan.

2.4. Perumusan Hipotesis


Dari pembahasan kerangka berpikir di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut :

20

Diduga nilai kuat tekan optimum batako berlubang yang menggunakan abu
kulit kerang hijau dengan proporsi 0%, 5%, 7,5% dan 10% sebagai subtitusi
sebagian volume semen dapat memenuhi standar SNI 03-0349-1989 tingkat mutu
IV pada batako berlubang non struktural sebesar 20 kg/cm2.

21

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian


Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah nilai
kuat tekan optimum batako berlubang yang menggunakan abu kulit kerang hijau
dengan proporsi 0%, 5%, 7,5% dan 10% sebagai subtitusi sebagian volume semen
dapat memenuhi standar

SNI 03-0349-1989 tingkat mutu IV pada batako

berlubang non struktural sebesar 20 kg/cm2?.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Pembuatan batako dilaksanakan di Pabrik Batako Press Kusuma Jaya Jl.
Sukahati Muara Beres Pemda Bogor. Sedangkan penelitian kuat tekan dilakukan
di Laboratorium Penelitian Uji Bahan Jurusan Teknik Sipil Universitas Negeri
Jakarta yang bertempat di jalan Rawamangun Muka, Jakarta Timur. Adapun
waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 Januari 2015.

3.3. Metode Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka metode yang digunakan
adalah metode eksperimen di laboratorium dengan benda uji batako berlubang
yang menggunakan bahan subtitusi abu kulit kerang hijau dengan sebagian semen
sebesar 0%, 5%, 7,5%, dan 10%.

22

3.4. Teknik Pengambilan Sampel


3.4.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah benda uji batako berlubang yang
menggunakan bahan abu kulit kerang hijau sebagai pengganti sebagian semen
sebesar 5%, 7,5%, dan 10% dengan ukuran batako berlubang 36 x 17 x 8 cm, dan
dimensi lubang 8 x 17 x 3 cm sebanyak 3 lubang. Jumlah benda uji sebanyak 32
buah
3.4.2. Sampel
Sampel yang akan diuji dalam penelitian ini sebanyak 8 buah batako
berlubang dari masing-masing persentase.
Tabel 3.1 Rencana Uji Laboratorium
Ukuran

Persentase abu

Macam

jumlah
benda uji

kulit kerang

pengujian

benda uji
(cm)

hijau
0%

5%

7,50%

10%

0%

5%

7,50%

10%

total benda uji

32

Kuat tekan,
40 x 20 x
tampak, &
10
ukuran

40 x 20 x
Daya serap
10

23

Dalam penelitian ini saya menambahkan pembuatan benda uji sebanyak 2


buah untuk masing-masing proporsinya, hal ini dilakukan sebagai upaya preventif
apabila ada benda uji yang memiliki cacat.

3.5. Rancangan Penelitian


Langkah-langkah penelitian ekperimen sebagai berikut:
1.

Melakukan kajian terhadap permasalahan yang hendak dipecahkan.

2.

Mengidentifikasi permasalahan

3.

Melakukan studi literatur dari beberapa sumber yang relevan serta


memformulasikan hipotesis penelitian.

4.

Membuat rencana penelitian.

5.

Melakukan eksperimen

6.

Mengumpulkan data kasar dari proses eksperimen. Dalam penelitian ini, data
yang diperoleh adalah hasil dari uji coba di Lab.

7.

Mengorganisasi dan mendeskripsikan data sesuai dengan variabel yang telah


ditentukan.

8.

Melakukan analisis data dengan teknik statistika yang relevan.

9.

Memformulasikan kesimpulan.

3.6. Bahan dan Alat


3.6.1. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1.

Abu kulit kerang hijau

24

Abu kulit kerang hijau yang digunakan pada penelitian ini adalah abu dari
hasil oven kulit kerang hijau pada suhu 6700 dan diblender hingga halus.
2.

Pasir
Pasir yang digunakan pada penelitian ini adalah pasir yang diambil dari
pabrik pembuatan batako yang sudah melalui tahap pemeriksaan kadar
lumpur, kadar air, kandungan zat organik, analisa saringan pasir.

3.

Semen
Semen yang digunakan pada penelitian ini adalah semen PCC (Semen
Portland Komposit) yang kondisinya masih baik dan cocok untuk pembuatan
batako.

4.

Air
Air yang digunakan pada penelitian ini adalah air PAM yang digunakan di
pabrik pembuatan batako.

3.6.2. Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1.

Mesin pres dan cetak batako dengan ukuran batako 36 cm x 17 cm x 8 cm,


dengan dimensi lubang 8 x 17 x 3 cm sebanyak 3 lubang

2.

Seperangkat alat pemeriksaan kadar lumpur pasir

3.

Seperangkat alat pemeriksaan kandungan zat organik pasir

4.

Seperangkat alat pemeriksaan kadar air pasir

5.

Seperangkat alat pemeriksaan analisa saringan pasir

6.

Mesin pengaduk mortar (mixer)

7.

Mesin uji tekan

25

8.

Caliper/mistar sorong, dengan ketelitian 1 mm

9.

Penggaris siku

10. Timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 gram


11. Timbangan dengan ketelitian 1 gram
12. Tungku pembakar kulit kerang hijau suhu 670 5 C 0 beserta alat ukur suhu
termokopel
13. Oven pengering suhu 105 5 C 0
14. Bejana
15. Ember

3.7. Prosedur Penelitian


Prosedur dalam penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut:
3.7.1. Persiapan bahan baku
Proses persiapan bahan baku untuk pembuatan benda uji meliput
tahapan-tahapan sebagai berikut :
1.

Pembuatan bahan subtitusi


Bahan subtitusi pada penelitian ini berupa kulit kerang hijau yang dicuci dan
dikeringkan, setelah kering dimasukan ke dalam oven dengan suhu 670 5 C
0

agar lunak, kemudian diblender agar halus seperti semen dan lolos saringan

no.200.
2. Pemeriksaan pasir

26

Pasir yang digunakan adalah pasir yang diperoleh dari pabrik pembuatan
batako, kemudian dibawa ke Laboratorium Penelitian Uji Bahan Jurusan
Teknik Sipil Universitas Negeri untuk dilakukan pengujian kadar lumpur,
kadar air, kandungan zat organik, dan analisa saringan sesuai SNI 03-03491989 tentang bata beton untuk pasangan dinding.
3.7.2. Proses pembuatan batako
Pembuatan batako dilaksanakan di Pabrik Batako Press Kusuma Jaya,
yang terletak di Jl. Sukahati Muara Beres Bogor. dengan menggunakan mesin
press. Langkah-langkah dalam pembuatan batako sebagai berikut :
1.

Mempersiapkan semua bahan dan peralatan yang diperlukan seperti : pasir,


semen, bahan tambah, timbangan, bejana, mesin cetak dan pres batako.

2.

Timbang masing-masing bahan seperti semen, pasir dan abu kulit kerang
untuk 8 buah batako. Berat dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.2 komposisi kebutuhan bahan
Berat Bahan Per 8 Buah Batako (gr)
Benda
Uji

Pasir (PS)

58752
4 PS : 1 (100% PC : 0% KK)
58752
4 PS : 1 (95% PC : 5 % KK)
58752
4 PS : 1 (92,5% PC : 7,5% KK)
58752
4 PS : 1 (90% PC : 10% KK)
235008
Jumlah
Kemudian mencampurkan bahan pasir, semen dan abu

B0
B1
B2
B3
2.

Komposisi Campuran

Semen (PC)

Abu Kulit
Kerang (KK)

18506,88
0
17581,536
881,28
17118,864
1321,92
16656,192
3840
69863,472
6043,2
kulit kerang hijau

dalam komposisi per 8 buah batako dengan perbandingan: 1(100% pc : 0%


kk) : 4 ps , 1(95% pc : 5% kk) : 4 ps , 1(92,5% pc : 7,5% kk) : 4 ps , 1(90%
pc : 10% kk) : 4 ps, dalam keadaan kering. Langkah ini dilakukan agar

27

pencampuran antar bahan-bahan tersebut dapat lebih komposit sehingga


diharapkan hasil yang diperoleh maksimal.
3.

Tambahkan air secukupnya hingga adukan homogen.

4.

Masukan adonan batako ke dalam mesin pres hingga cetakan terisi penuh
kemudian ratakan permukaan cetakan.

5.

Getarkan cetakan hingga adonan batako padat. Setelah padat adukan tersebut
ditekan atau dipres.

6.

Kemudian cetakan dilepas dan benda uji diletakkan ditempat yang sejuk dan
terlindung dari sinar matahari langsung.

3.7.3. Perawatan benda uji


Perawatan dilakukan selama 28 hari dengan diletakkan pada tempat yang
lembab dan disiram air selama 1 hari pertama, kemudian dibawa ke Laboratorium
Penelitian Uji Bahan Jurusan Teknik Sipil Universitas Negeri Jakarta untuk
direndam (curing) hingga 28 hari.

3.7.4. Pengujian benda uji


Pada penelitian ini dilakukan pengujian kuat tekan di Laboratorium
Penelitian Uji Bahan Jurusan Teknik Sipil Universitas Negeri Jakarta

yang

bertempat di jalan Rawamangun Muka, Jakarta Timur. Dengan sample sebanyak 5


(lima) buah batako dari masing-masing persentase. Berikut ini adalah langkahlangkah dalam pengujian kuat tekan adalah :
1.

Meratakan/ menerap bidang tekan

28

Sebelum pengujian kuat tekan, bidang tekan batako diratakan/diterap terlebih


dahulu. Bidang tekan benda uji (2 bagian) diterap dengan adukan semen
sedemikian rupa sehingga terdapat bidang yang sejajar dan rata satu dengan
yang lainnya. Tebal lapisan perata/penerap kurang lebih 3 mm, kemudian
keringkan selama 3 hari
2.

Penentuan kuat tekan


Kuat tekan dilakukan apabila pengerasan lapisan penerap sedikitnya telah
berumur 3 hari. Benda uji yang telah siap, diletakkan pada mesin tekan yang
dapat diatur kecepatan penekanannya. Pastikan jarum pembaca nilai kuat
tekan pada posisi nol, kemudian benda uji ditekan hingga jarum berwarna
merah berhenti. Lalu hasil beban tekan tadi di catat masing masing untuk
setiap benda uji dan juga nilai rata-rata dari 5 (lima) benda uji. Kuat tekan
benda uji di hitung dengan membagi beban, dengan luas bidang tekan,
dinyatakan dalam kg/cm 2 .
Rumus Kuat tekan :
= Kuat tekan (kg/cm2)
P = Beban tekan maksimum (kg)
A = Luas penampang (cm2)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram alir penelitian yang terdapat

pada gambar 3.2.

29
Mulai

Studi Litelatur

Pemeriksaan Alat dan Bahan

Pemeriksaan Bahan

Proses Pembuatan Abu


Kerang Hijau
1.

Pengambilan kulit kerang


hijau di daerah Cilincing,
Jakarta

2.

Pembersihan
dan
pengeringan selama 1 hari

3.
4.

Air

Semen

Pembakaran di oven suhu


6700

Pengujian Agregat Halus (Pasir)


1.

Pemeriksaan kadar organik


menurut SNI 03-28161992

2.

Pemeriksaan kadar lumpur

3.

Gradasi pasir menurut SNI


03-1968-1990

4.

Pemeriksaan kadar air


menurut SNI 03-19711990

Penghancuran
dengan
blender dan lolos saringan
no. 200

Pencampuran 1 pc : 4 ps

100% pc : 0% kk

92,5% pc : 7,5% kk

95% pc : 5% kk

Pencetakan Benda uji

Pemeliharaan Benda uji


28 hari
Pengujian Tampak, Ukuran, Daya
Serap dan Kuat Tekan
Hasil
Keterangan :
*PC = Semen Tiga Roda

Analisa

*PS = Pasir
*KK = Abu kulit kerang hijau

Kesimpulan
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Batako.

90% pc :10% kk

30

3.8. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis. Untuk
menganalisis hasil penelitian ini digunakan uji secara deskriptif dengan
menggunakan diagram dan tabel dalam software Microsoft Excel.

31

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Hasil Pengujian Bahan Penyusun Batako Berlubang


Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain semen, pasir dan

abu kulit kerang. Sebelum melakukan penelitian, material yang akan digunakan
terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan. Berikut adalah hasil uji pendahuluan
material penyusun batako berlubang non struktural.

4.1.1

Hasil Pengujian Abu Kulit kerang


Pengujian terhadap abu kulit kerang yang digunakan dalam penelitian ini

adalah analisa specific gravity. Hasil pengujian abu kulit kerang adalah sebagai
berikut:
Berat enis

64
1 3,004
22 0,7

Dari hasil pengujian diatas didapat nilai berat jenis abu kulit kerang yaitu
sebesar 3,00. Data hasil penelitian dapat dilihat pada lampiran 1.

4.1.2

Hasil Pengujian Agregat Halus


Pengujian terhadap pasir yang digunakan dalam penelitian ini meliputi

pengujian kadar lumpur, analisa specific gravity, absorpsi, dan pemeriksaan kadar
air. Hasil pengujian pasir adalah sebagai berikut:
1. Kadar Lumpur

32

Kandungan lumpur dalam agregat halus tidak boleh lebih dari 5% (PUBI
1971). Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.1, kandungan lumpur dalam
pasir kali adalah 4,41% sehingga layak digunakan sebagai agregat halus. Data
hasil penelitian dapat dilihat pada lampiran 2.
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Pengujian Kadar Lumpur Pasir

Bacaan Gelas

H Lumpur

H Seluruh

(V2)

(V1+V2)

mm

mm

H Pasir (V1)

Ukur

mm

320

20

340

315

10

340

325

15

340

(Sumber : Analisis Data)


Perhitungan:
Sampel Kadar Lumpur (1) =

Sampel Kadar Lumpur (2) =

Sampel Kadar Lumpur (3) =

Kadar Lumpur Rata-Rata

4,41%

2. Berat Jenis dan Penyerapan


Analisa berat jenis dan penyerapan ini dilakukan untuk menentukan bulk
specific gravity (berat jenis curah), apparent specific gravity (berat jenis semu),
berat jenis jenuh kering permukaan (SSD) dan absorption (penyerapan) untuk

33

perhitungan volume agregat halus yang akan dicampur pada pembuatan batako
berlubang.
Tabel 4.2. Hasil Perhitungan Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan
PENENTUAN SPECIFIC GRAVITY AGREGAT HALUS
Tanggal Pelaksanaan : 18 Maret 2014 21 Maret 2014
Sumber Contoh : Pasir asal Cirebon
Jenis Contoh : Pasir Kali
A. Berat Piknometer

= 159,9 gram

B. Berat contoh kondisi SSD

= 500 gram

C. Berat piknometer + air +contoh

= 955 gram

(SSD)
D. Berat piknometer + air

= 654,5 gram

E. Berat contoh kering

= 482,5 gram

Apparent Spesific Gravity

= 2,62

Bulk Spesific Gravity

= 2,50

SSD Specific Gravity

= 2,55

Persentase Absorpsi

= 2,65 %

(Sumber: Analisis Data)


Dari tabel 4.2 di atas, dapat dilihat bahwa nilai bulk specific gravity yang
didapatkan adalah sebesar 2,5 dimana perhitungan ini berlaku untuk menentukan
berat jenis dari pasir batu apung. Sedangkan nilai absorpsi yang didapatkan yaitu
sebesar 2,65%. Semakin besar kemampuan agregat halus menyerap air maka akan

34

mengurangi nilai kekuatan batako berlubang. Data hasil penelitian dapat dilihat
pada lampiran 3.

3. Kadar Air
Kadar air agregat adalah perbandingan antara berat air yang terkandung
dalam agregat dengan berat agregat keadaan kering. Pemeriksaan kadar air ini
dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung di dalam pasir karena
akan mempengaruhi jumlah air yang diperlukan dalam campuran batako
berlubang. Agregat yang banyak mengandung air akan membuat campuran juga
lebih basah dan sebaliknya.
Tabel 4.3 Kadar Air Agregat Halus
PEMERIKSAAN KADAR AIR AGREGAT HALUS
Tanggal Pelaksanaan : 11 Maret 2014 12 Maret 2014
Sumber Contoh : Pasir asal Cirebon
Jenis Contoh : Pasir Kali
A. Berat Wadah

165,5 gram

B. Berat Wadah + Benda Uji

2165,5 gram

C. Berat Benda Uji (B A)

2000 gram

D. Berat benda Uji Kering

1769 gram

Kadar Air =
(Sumber : analisis data)
Dari hasil pengujian di atas didapat nilai kadar air sebesar 13,06% . kadar
air pada pasir sangat dipengaruhi jumlah air yang terkandung di dalamnya.

35

Semakin besar selisih antara berat agregat semula dengan berat agregat setelah
kering oven, maka semakin banyak pula air yang terkandung dalam agregat
tersebut karena besar kecilnya kadar air berbanding lurus dengan jumlah air yang
terkandung dalam agregat. Data hasil penelitian dapat dilihat pada lampiran 4.

4. Kandungan Zat Organik


Dari hasil penelitian didapatkan bahwa warna larutan pasir + NaOH
dalam botol ukur terlihat lebih muda dari warna standar. Hal ini menunjukkan
bahwa pasir tidak mengandung zat organik sehingga dapat digunakan atau
diizinkan untuk bahan campuran batako berlubang. Data hasil penelitian dapat
dilihat pada lampiran 5.

5. Analisis Saringan Agregat Halus


Analisa saringan adalah pengelompokan besar butir untuk mengetahui
susunan

pembagian

(gradasi)

agregat

halus

dan

menghitung

modulus

kehalusannya. Dari hasil pengujian diketahui bahwa pasir yang digunakan


memiliki MHB sebesar 4,15 dan masuk golongan 2. Data hasil penelitian dapat
dilihat pada lampiran 6.

36

persentase lolos kumulatif (%)

kurva batas gradasi agregat halus


(pasir kali) daerah 2
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

91.63

99.23

76.13
59.48
37.66
14.32
2.66
0.43
0.075
0.149
0.297

0.59

1.19

2.38

4.75

9.5

ukuran saringan (mm)

Gambar 4.1 Grafik Gradasi Agregat Halus

4.2

Hasil Pengujian Batako Berlubang


Batako berlubang non struktural yang telah dibuat memiliki proporsi

campuran 0%, 5%, 7,5% dan 10 % dengan ukuran 36 x 17 x 8 cm dan dimensi


lubang 8 x 17 x3 cm sebanyak 3 lubang, sudah melewati tahap perawatan, yaitu
berupa curing yang dilakukan dengan cara direndam selama 28 hari kemudian
dilakukan pengujian terhadap tampak, ukuran, daya serap dan kuat tekan.

4.2.1

Daya Serap
Untuk pengujian penyerapan air, dipakai 3 (tiga) buah batako berlubang

untuk tiap proporsinya. Batako berlubang yang telah melewati tahap perawatan
ditiriskan dalam waktu 1 (satu) menit, lalu permukaan batako diseka dengan kain
lembab, agar air yang berkelebihan yang masih melekat di bidang permukaan
batako terserap kain lembab itu. Batako berlubang kemudian ditimbang (A).

37

Setelah itu batako dikeringkan dalam oven dengan suhu 1050 C selama 1 (satu)
jam, kemudian ditimbang kembali (B).
Penyerapan air = (A - B) x 100 / B
Berikut merupakan data hasil pengujian daya serap air batako berlubang
non struktural:
Tabel 4.4 Data Hasil Daya Serap Air Subtitusi 0%
No Sampel
Daya Serap (%)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Rata-rata
(Sumber: Analisis Data)
Tabel 4.5 Data Hasil Daya Serap Air Subtitusi 5%
No Sampel
Daya Serap (%)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Rata-rata
(Sumber: Analisis Data)
Tabel 4.6 Data Hasil Daya Serap Air Subtitusi 7,5%
No Sampel
Daya Serap (%)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3

38

Rata-rata
(Sumber: Analisis Data)
Tabel 4.7 Data Hasil Daya Serap Air Subtitusi 10%
No Sampel
Daya Serap (%)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Rata-rata
(Sumber: Analisis Data)
Grafik penyerapan batako non struktural dengan substitusi sebagian
semen pada umur 28 hari dapat dilihat pada gambar 4.2.

GAMBAR 4.2

Gambar 4.2. Grafik Daya Serap Batako Berlubang

Dari grafik di atas dapat dilihat daya serap batako berlubang pada batako
kontrol yaitu sebesar .... %, kadar 5% sebesar .... %, kadar 7,5% sebesar .... % dan
kadar 10% sebesar .... %. Dapat dilihat bahwa campuran optimum untuk kuat
tekan batako berlubang adalah pada kadar ... % yaitu sebesar .... % sehingga
batako berlubang memenuhi/tidak memenuhi standar SNI 03-0349-1989 yaitu
tidak melebihi 25%.

4.2.2

Kuat Tekan

39

Pengujian kuat tekan batako berlubang dilakukan pada umur 28 hari


terhadap batako kontrol dan dengan penambahan kadar abu kulit kerang sebesar
5%, 7,5% dan 10%. Pengujian ini dilakukan berdasarkan SNI 03-0349-2989.
Berikut merupakan data hasil pengujian kuat tekan batako berlubang non
struktural:
Kuat Tekan = P / A
Tabel 4.8 Data Hasil Kuat Tekan Batako Kontrol
No Sampel
Kuat Tekan (kg/cm2)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Rata-rata
(Sumber: Analisis Data)
Tabel 4.9 Data Hasil Kuat Tekan Batako Subtitusi 5%
No Sampel
Kuat Tekan (kg/cm2)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Rata-rata
(Sumber: Analisis Data)

40

Tabel 4.10 Data Hasil Kuat Tekan Batako Subtitusi 7,5%


No Sampel
Kuat Tekan (kg/cm2)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Rata-rata
(Sumber: Analisis Data)
Tabel 4.11 Data Hasil Kuat Tekan Batako Subtitusi 10%
No Sampel
Kuat Tekan (kg/cm2)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Rata-rata
(Sumber: Analisis Data)
Grafik nilai kuat tekan batako non struktural dengan substitusi sebagian
semen pada umur 28 hari dapat dilihat pada gambar 4.3.

41

GAMBAR 4.3.

Gambar 4.3 Grafik Kuat Tekan Batako Berlubang


Dari grafik di atas dapat dilihat nilai kuat tekan batako berlubang umur
28 hari pada batako kontrol

yaitu sebesar .... kg/cm2, kadar 5% sebesar ....

kg/cm2, kadar 7,5% sebesar .... kg/cm2 dan kadar 10% sebesar .... kg/cm2. Dapat
dilihat bahwa campuran optimum untuk kuat tekan batako berlubang adalah pada
kadar ... % yaitu sebesar .... kg/cm2 sehingga batako berlubang memenuhi/tidak
memenuhi standar sesuai mutu batako berlubang yang direncanakan berdasarkan
SNI 03-0349-1989 yaitu sebesar 20 kg/cm2.

4.3

Keterbatasan penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa keterbatasan dalam proses pembuatan

batako berlubang sehingga hasilnya mungkin kurang optimal, yaitu:


1.

Peneliti hanya menggunakan tungku pembakaran sederhana yang dibuat


sendiri sehingga pada saat pembakaran abu kulit kerang hijau didapat hasil
yang kurang merata.

2.

Peneliti hanya menggunakan peralatan sederhana pada saat proses


pengadukan batako sehingga hasil adukan kurang homogen.

3.

Peneliti hanya melakukan pengujian terhadap daya serap dan kuat tekan saja,
tidak menguji kuat tarik batako.

42

4.4

Pembahasan Hasil Penelitian


Hasil pengujian daya serap dan kuat tekan batako berlubang menggunakan

bahan subtitusi abu kulit kerang hijau menghasilkan nilai yang bervariasi. Nilai
penyerapan rata-rata yang dihasilkan dari tiap proporsi subtitusi sebesar 0%, 5%,
7,5%, 10% didapat daya serap sebesar ... %, ... %, ... %, ... %. Nilai kuat tekan
rata-rata yang dihasilkan dari tiap proporsi subtitusi sebesar 0%, 5%, 7,5%,
10%didapat kuat tekan sebesar ... kg/cm2, ... kg/cm2, ... kg/cm2, ... kg/cm2.

43

BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
SNI 03-0349-1989, hasil yang dapat disimpulkan dari hipotesis yang telah diuji
adalah sebagai berikut:
1.

Nilai daya serap batako rata-rata yang dihasilkan dari tiap proporsi subtitusi
sebesar 0%, 5%, 7,5%, 10% didapat daya serap sebesar ... %, ... %, ... %, ...
%. Daya serap batako dengan subtitusi abu kulit kerang hijau memenuhi
persyaratan maksimum daya serap batako standar SNI 03-0349-1989 mutu IV
yaitu 25%.

2.

Nilai kuat tekan rata-rata yang dihasilkan dari tiap proporsi subtitusi sebesar
0%, 5%, 7,5%, 10%didapat kuat tekan sebesar ... kg/cm2, ... kg/cm2, ...
kg/cm2, ... kg/cm2. Kuat tekan batako dengan subtitusi abu kulit kerang hijau
sebesar ... % memenuhi persyaratan minimum kuat tekan batako standar non
struktural SNI 03-0349-1989 mutu IV sebesar ... kg/cm2. Kuat tekan batako
dengan subtitusi abu kulit kerang hijau sebesar ... % sementara sebagai nilai
kuat tekan optimum dikarenakan grafik nilai kuat tekan mengalami
penurunan/peningkatan.

5.2. IMPLIKASI
Berdasarkan hasil penelitian, maka implikasi atau tindak lanjut dari
penelitian ini untuk memberikan informasi yang lebih luas adalah:

44

1. Penggunaan abu kulit kerang hijau sebesar ... % perlu dikembangkan sebagai
bahan tambah/pengganti pada campuran batako, pavingblock, genteng beton,
beton ringan, papan gypsum karena potensi bahan baku yang cukup besar di
Indonesia.
2.

Peran pemerintah dan masyarakat untuk memanfaatkan alang-alang sebagai


bahan alternatif perlu ditinjau dan diteliti kembali agar tumbuhan yang
dianggap sebagai gulma bisa dimanfaatkan.

3. Batako dengan penambahan alang-alang sebesar ... %, ... % masih dapat


digunakan, karena memenuhi mutu kelas IV standar SNI.

5.3. SARAN
Dari hasil penelitian yang ada, maka disarankan/tidak disarankan
subtitusi abu kulit kerang hijau pada campuran batako karena semakin besar
persentase subtitusi abu kulit kerang hijau, kuat tekan yang dihasikan lebih
rendah/kuat dari persyaratan minimum batako berlubang non struktural standar
mutu IV SNI 03-0349-1989.

Anda mungkin juga menyukai