Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

Pembimbing :
dr. Satriyo Y. Sasono, sp.An

Penyusun :
Putri Yuliani
030.05.174

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesiologi


Rumah Sakit Otorita Batam
Periode 25 September 31 Desember 2009
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul Manajemen Nyeri Pasca Operasi telah diterima dan disetujui
pada tanggal

Oktober 2009

oleh pembimbing sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Otorita Batam

Batam,

Oktober 2009

dr. Satriyo Y. Sasono, sp.An

Kata Pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga saya
dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis berjudul Manajemen Nyeri Pasca Operasi
ini dibuat dengan tujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik
Anestesi di Rumah Sakit Otorita Batam. Dalam pembuatan karya tulis ini, saya mengambil
referensi dari literatur dan jaringan internet.
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing saya, dr.Satriyo
Y. Sasono, sp.An, yang telah memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian karya
tulis ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi
yang lebih baik.
Selain itu, saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman saya yang berada dalam
satu kelompok kepaniteraan yang sama, Agung Prasetyo, Christian Sunur dan Hery
Murtantyo atas dukungan dan bantuan mereka selama saya menjalani kepaniteraan ini.
Pengalaman saya dalam kepaniteraan ini akan selalu menjadi suatu inspirasi yang unik. Saya
juga mengucapkan rasa terimakasih yang mendalam kepada kedua orangtua saya atas
bantuan, dukungan baik secara moril maupun materil, dan kasihnya.
Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Penulis,

Putri Yuliani
030.05.174

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.............................................................................................................2
Kata Pengantar.....................................................................................................................3
Daftar Isi..............................................................................................................................4
Bab I
Pendahuluan.........................................................................................................................5
Bab II
Nyeri .................................................................................................................................6
Bab III
Manajemen Nyeri Pasca Operasi.......................................................................................16
Bab IV
Kesimpulan........................................................................................................................25
Daftar Pustaka....................................................................................................................26

Bab I
Pendahuluan
Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan atau
penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek
samping seminimal mungkin. Pereda nyeri pascaoperasi haruslah mencerminkan kebutuhan
masing-masing pasien dan hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam
faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related factors,
dan faktor lokal. Pada analisa akhir, ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari pereda
nyeri pascaoperasi adalah persepsi pasien itu sendiri terhadap rasa sakit.
Efektivitas dari pereda rasa nyeri pascaoperasi adalah sangat penting untuk menjadi
pertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani operasi. Hal ini
awalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian ditemukan bahwa dengan
adanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun akan
menjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhan
pascaoperasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi juga
dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.
Karya tulis ini bertujuan untuk membahas mengenai metode-metode yang dapat
dipakai untuk manajemen pascaoperasi. Akan didiskusikan bagaimana caranya menggunakan
obat-obat yang bekerja di perifer ( misalnya, Obat Anti Inflamasi Non Steroid), obat-obat
yang bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat anestesi lokal untuk mencapai tujuan
ini. Selain itu, akan dibahas pula bagaimana cara menangani pasien usia tua dan anak-anak.

Bab II
NYERI
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan
sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap
paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965)
mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di
sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat
sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari
otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan
neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,
maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat
saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A
dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi
nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi
di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti
7

endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator
ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik
distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin
(Potter, 2005)
Respon fisiologis terhadap nyeri
a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
i.
Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
ii.
Peningkatan heart rate
iii.
Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
iv.
Peningkatan nilai gula darah
v.
Diaphoresis
vi.
Peningkatan kekuatan otot
vii.
Dilatasi pupil
viii. Penurunan motilitas GI
b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
i.
Muka pucat
ii.
Otot mengeras
iii.
Penurunan HR dan BP
iv.
Nafas cepat dan irreguler
v.
Nausea dan vomitus
vi.
Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri


a.
b.
c.
d.

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:


Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &

tangan
e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari
kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri
dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau

menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan
terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang
nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini
sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga
akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri
dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap
nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda
tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu
dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi
wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang
digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat
harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan
nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak

mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat


untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga
dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami
episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah
kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri
untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri


a.

Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis
dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang
dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani
dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri

diperiksakan.
b. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
c. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang
harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika
ada nyeri.
d. Makna nyeri

10

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan


bagaimana mengatasinya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun. Teknik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi
nyeri.
f. Anxietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.
g. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi
nyeri.
h. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya
pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
i. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Penilaian Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri
dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran
dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
(Tamsuri, 2007).
Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
11

1. Skala intensitas nyeri deskritif

2. Skala identitas nyeri numerik

3. Skala analog visual

4. Skala nyeri menurut Bourbanis

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat

12

mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas
nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,
sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari
waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis
yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di
sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak
tertahankan. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian
numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi
kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila
digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR,
1992). Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal
pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif
karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih
satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

13

Bab III
MANAJEMEN NYERI PASCAOPERASI
The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk meningkatkan
penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini dapat juga dipakai untuk
menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis untuk mengatasi nyeri.
Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat
Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan yang
bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan
obat-obatan golongan Opioid lemah seperti
kodein dan dextropropoxyphene disertai
dengan obat obat lain untuk
meminimalisasi efek samping yang timbul.
Apabila regimen ini tidak juga dapat
mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka
digunakanlah obat-obatan golongan Opioid Kuat, misalnya Morfin.
14

Belakangan, World Federation of


Societies of Anaesthesiologists (WFSA)
Analgesic Ladder telah dikembangkan
untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya,
nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang
berat sehingga perlu dikendalikan dengan
analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu
dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga
kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk
memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat
diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid
lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan
obat-obatan yang bekerja di perifer.
Anestesi Lokal
Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif terhadap
respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya perdarahan dan nyeri yang
teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang dapat digunakan dalam prosedur bedah
menghasilkan hasil yang nyaris sempurna untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi apabila
efeknya diperpanjang hingga melebihi durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi
lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain
relief yang efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi
anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau sentral.
Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat mengatasi nyeri
pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor penyebab. Karena nyeri
timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi
pendekatan untuk mencapai hasil terbaik.
15

Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti Bupivacaine dapat
memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat
diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer
akan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau
saraf tersebut. Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi untuk
pembedahan atau khusus untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-teknik ini dapat sangat berguna
jika suatu blok simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau
apabila blokade pusat seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.
Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di tubuh bagian bawah
dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai operasi jika dikombinasikan
dengan obat-obatan yang mengandung vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural
membutuhkan praktisi yang berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam
pengelolaan pasca-operasi pasien. Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher, toraks
atau daerah lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling umum digunakan.
Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat efektif, teknik ini
juga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok sensorik dan
motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang diberikan
secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.
Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh dunia
adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri
ringan sampai sedang.
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia. Obat
ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat
yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam
salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga

16

dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat
berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida.
Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya
yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus
dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki
keterkaitan epidemiologis dengan Reyes Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan
sebagai analgesia pada anak-anak usia di bawah 12 tahun.
Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4g, per
oral per hari.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik dan
antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim
cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang
merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan
karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada
umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal,
dan permukaan sendi tulang.
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya tindakan.
Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang panjang maka
dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obatobatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang
dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet
sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat
sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan
pendarahan lambung sebagai efek samping.
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap riwayat
ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan dengan kehilangan

17

darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap riwayat
hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.

Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif,
murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan OAINS
lainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak, naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasin
dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain
seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai
supositoria dan diserap dengan baik.
Opioid Lemah
Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti
morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi bila
diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat
dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui
maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet.
Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap
hari.
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat
analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol
dan kewaspadaan yang sama seperti Codeine harus diawasi.
Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg
setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.
18

Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna
dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi
sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:
Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai maksimum 8
tablet perhari.
Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30
sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.

Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan Opioid
kuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat dimulai dengan pemahaman yang benar
tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan. Pemberian awal akan mencapai
konsentrasi obat yang efektif sehingga lebih mudah untuk mempertahankan tingkat terapeutik
obat di dalam darah.
Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah pembedahan. Jika
fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau besar,maka analgesia kuat tidak
diperlukan. Namun, rute oral mungkin tersedia pada pasien yang telah sembuh dari
pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin
sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara
pemberian lain harus dilakukan. Secara umum, analgesia yang efektif dapat diberikan melalui
suntikan.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada variasi yang
besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah injeksi intramuskular. Ini mungkin
dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau penyakit ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapi
obat yang lain. Kondisi apapun yang mengurangi aliran darah perifer dapat mengganggu
penyerapan obat dan dengan demikian, mengurangi suhu tubuh, hipovolemia dan hipotensi
19

semua ini akan mengakibatkan menurunnya penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan
hipotiroidisme keduanya menyebabkan penurunan metabolisme yang menyebabkan
peningkatan kepekaan terhadap obat-obatan.
Metode menggunakan obat opioid
Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute yang paling
dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk mengobati nyeri akut adalah
bahwa penyerapan opioid dapat berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung
pascaoperasi. Mual dan muntah dapat mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan
secara oral dan di samping itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus
dan hati. Jadi rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.
Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi obat.
Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati metabolisme lintas
pertama. Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat
diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6 jam).
Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada metabolisme jika
diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang berguna, terutama jika terdapat
nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah. Opioid dapat diberikan dengan efektif
melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat
dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok untuk
pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar
setengah yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal sangat
bervariasi di seluruh dunia.
Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara berkembang.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek analgesia akan berhubungan
dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
melaksanakan analgesik secara reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi
intramuskular opioid dapat sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk

20

mencapai tingkat ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan
pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.
Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk
memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-operasi untuk
menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan fluktuasi produksi
konsentrasi plasma obat yang disuntikkan, meskipun bila dilakukan dengan hati-hati injeksi
intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih cepat dari metode lain. Namun secara umum
teknik infus, baik oleh suntikan intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam
pengawasan ketat dan berada dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika
pasien dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.
Patient Controlled Analgesia (PCA)
Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa kebutuhan
individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu sistem di mana pasien dapat
mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi dosis titik akhir penghilang rasa
sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa.
Berbagai perangkat komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan demikian mereka
dapat menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan, menurut keparahan rasa sakit. Secara
teori, tingkat plasma dari analgesik akan relatif konstan dan efek samping yang disebabkan
oleh fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan.
Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka pasien
harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara rinci sebelum
operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA. Secara teori, obat yang ideal
harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang, dan memiliki margin keselamatan yang
luas antara efektivitas dan efek samping. Pilihan biasanya tergantung pada ketersediaan,
preferensi pribadi dan pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat parameter-parameter lainnya
perlu ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis (kuncihabis) dan dosis maksimum yang diperbolehkan.
21

Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai contoh. Dosis
ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang diperlukan dalam setiap
kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai. Tujuan jangka waktu minimum
antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis
harus cukup lama untuk dosis sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu
ini berkisar antara 5 dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya,
adalah lebih logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi
dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk mencapai nyeri
yang memadai.
Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke titik di mana
mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan untuk hal ini adalah tidak
jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran akan overdosis, kebutuhan untuk kontak

22

dengan anggota staf rumah sakit dan harapan setelah operasi.

23

BAB IV
KESIMPULAN
Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu kerusakan atau
gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen
nyeri pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan. Manajemen
nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga
pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri pascaoperasi,
dapat digunakan obat-obatan seperti opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat
dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing
individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan
sebagai metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi
meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi
pasien.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of Societies


of Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm
2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute
postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds.
Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book;
1992:253-68
3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral
catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior
cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.
4. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill
Livingstone. 2006

25

Anda mungkin juga menyukai