Anda di halaman 1dari 5

Global Positioning

Pada prinsipnya, positioning berusaha menempatkan produk dalam benak pelanggan sasaran
sedemikian rupa sehingga memperoleh posisi yang unik dan unggul dibandingkan produk
pesaing. Posisi yang unik dan unggul ini didapatkan dari berbagai differensiasi, seperti: produk,
layanan, personil, saluran distribusi, dan citra.
Positioning harus menawarkan manfaat-manfaat tertentu yang diwujudkan dalam proporsi
nilai(value proposition) perusahaan. Proposisi nilai ini terdiri atas 3 manfaat utama: manfaat
fungsional(atribut kinerja), manfaat emosional(citra), dan manfaat ekonomik(harga).
Dalam konteks global, muncul masalah berkenaan dengan sejauh mana positioning nasional bisa
di internasionalisasikan. Ini dikarenakan merek yang sama bisa saja memenuhi kebutuhan yang
berbeda di pasar negara lain(untuk segmen pasar yang berbeda). Dalam hal ini, terdapat empat
isu strategik utama: segmen sasaran, proporsi nilai, ruang positioning berdasarkan peta
perseptual, dan standardisasi versus adaptasi. Keempat isu ini bisa dijabarkan menjadi beberapa
aspek kunci:

Merek dan produk yang sifatnya culture free versus culture bound.
Segmentasi, menyangkut kluster manfaat dan karakteristik profil yang ada.
Prioritas manfaat yang ditetapkan.
Positioning pesaing dalam benak konsumen.
Status dan stereotyping tentang negara asal(country of origin).

Dalam isu standardisasi versus adaptasi, sebenarnya jarang dijumpai produk yang benar-benar
standar secara global. Adaptasi maupun standardisasi sebenarnya lebih merupakan kontinum
dalam berbagai aspek. Keputusan untuk melakukan standardisasi atau adaptasi tergantung pada
segmen yang dilayani dan proporsi nilai.

Global Branding
Seperti halnya positioning, isu pokok dalam global branding menyangkut standardisasi versus
adaptasi. Penggunaan satu merek global tidak mungkin dilakukan jika:

Namanya sudah digunakan oleh perusahaan lain.


Nama(dan juga logo) yang dipakai bisa memiliki konotasi budaya yang berbeda
Ada tuntutan untuk menerjemahkan nama merek ke dalam bahasa lokal.

Secara garis besar, standardisasi merek global maupun adaptasi merek lokal memiliki
keunggulan dan kelemahannya masing-masing.

Standarisasi Merek Global versus Adaptasi Merek Lokal


Standardisasi Merek Global
Keunggulan
Kelemahan
-Efisiensi pemasaran
-Berasumsi bahwa
maksimum
pasar bersifat
homogen
-Reduksi biaya iklan
-Kemungkinan
terjadinya konotasi
negatif
-Eliminasi kerancuan -Dibutuhkan kualitas
merek
dan konsistensi di
seluruh pasar yang
dimasuki
-Mudah diidentifikasi -Dibutuhkan kualitas
oleh travelers
dan konsistensi di
seluruh pasar yang
dimasuki
-Citra yang seragam
di seluruh dunia

Adaptasi Merek Lokal


Keunggulan
Kelemahan
-Identifikasi lokal
-Biaya pemasaran
lebih mahal
-Nama yang lebih
bermakna

-Biaya sediaan lebih


mahal

-Penetrasi pasar bisa


cepat dengan jalan
mendapatkan merek
lokal
-Bisa menawarkan
variasi kualitas di
berbagai pasar

-Kehilangan skala
ekonomis

-Citra merek bisa


bermacam-macam
antar negara

Isu lain yang tak kalah menariknya adalah mengembangkan, mengelola, dan mengukur brand
equity di masing-masing pasar yang dimasuki. Brand equity dapat didefinisikan sebagai
serangkaian memori dalam benak pelanggan, anggota saluran distribusi, perusahaan induk, dan
anggota utama lain dari jejaring bisnis merek tertentu yang bisa berdampak pada aliran kas dan
profitabilitas masa mendatang(Ambler&Styles, 2000, p.123).
Memori dalam definisi ini mencakup procedural memory(apa yang telah kita pelajari tentang
cara melakukan sesuatu, kebiasaan, dan perilaku) dan declarative memory(apa yang kita
ingat). Pengukuran brand equity bisa menggunakan sejumlah ukuran tertentu. Pada praktiknya,
biasanya perusahaan-perusahaan memadukan beberapa ukuran untuk mewujudkan konsistensi
ukuran brand equity antar pasar nasional yang dilayani.

Local Brands versus Global Brands

Menurut Yip(1995), merek global adalah merek-merek yang memiliki nama sama dan strategi
pemasaran terkoordinasi yang sama pula di banyak negara. Kendati demikian, Kahn(dikutip
dalam Branch, 2001) menegaskan bahwa formula sabun mandi yang sama namun dijual dengan
berbagai nama berbeda di sejumlah negara dapat pula diklasifikasikan sebagai merek global,
asalkan strategi pemasarannya dikelola secara tersentralisasi.
Merek global biasanya didukung dengan sejumlah keunggulan, seperti skala ekonomis, lingkup
ekonomis, international recognition, jaringan distribusi global, dan kekuatan finansial perusahaan
pemiliknya. Faktor inilah yang membuat merek-merek global mampu menerobos banyak pasar
diberbagai penjuru dunia. Salah satu isu menarik yang patut dicermati adalah sejauh mana
dampak merek global terhadap survivabilitas merek-merek lokal.
Dalam studinya mengenai pengaruh asal lokal dan non-lokal merek terhadap preferensi merek
dan pilihan merek di India, Batra, et al.(2000) mengukur brand localness/nonlocalness
berdasarkan skala interval. Mereka berargumen bahwa di sebagian besar negara berkembang,
hampir semua local origin brands di jual hanya di pasar domestik. Oleh sebab itu, merek-merek
yang dijual dan dikonsumsi di pasar domestik dan di negara lain dapat diklasifikasikan sebagai
nonlocal origin brands.
Kendati demikian kategorisasi diatas mengandung kelemahan dasar(Tjiptono, 2003). Merekmerek lokal yang diekspor ke banyak negara(contohnya, mi instan Indomie yang telah diekspor
ke hampir 30 negara) bakal dikelompokkan ke dalam kategori nonlocal origin brands. Oleh
sebab itu, merek lokal(local brands) perlu diklasifikasikan secara lebih sistematis dan akurat.
Salah satu tipologi lain yang ditawarkan adalah klasifikasi berdasarkan dua dimensi utama:
asal(origin) dan kepemilikan(ownership). Empat kategori utama perspektif merek lokal:

Original local brands: Kategori ini mencakup merek-merek yang berasal dari negara
setempat/lokal dan dimiliki oleh orang/perusahaan lokal.
Quasi local brands: Kategori ini terdiri dari merek-merek yang berasal dari negara lokal,
namun dimiliki oleh orang/perusahaan asing. Kategori ini terdiri atas dua
bentuk(Tjiptono, 2003). Pertama, original local brands yang dibeli oleh perusahaan
multinasional, tetapi nama merk lokalnya dipertahankan. Kedua, merek lokal yang
dikembangkan dan dipasarkan secara khusus untuk pasar domestik tertentu oleh
perusahaan multinasional.
Acquired local brands: Kategori ini meliputi merek-merek yang berasal dari negara lain,
namun dimiliki oleh orang/perusahaan lokal.

Foreign brands: Kategori ini merupakan kebalikan dari original local brands. Foreign
brands berasal dari luar negeri dan dimiliki orang/perusahaan asing.
Sejumlah riset empiris melaporkan bahwa merek-merek global lebih disukai
dibandingkan merek-merek lokal, setidaknya dikalangan segmen-segmen konsumen
tertentu(lihat misalnya Agbonifoh&Elimimiam, 1999; Batra et al., 2001; Steenkamp, et
al., 2003). Secara umum, preferensi terhadap merek global dikarenakan citra superior,
kualitas aktual dan perceptual yang lebih unggul, kekaguman atas gaya hidup di negara
maju, preferensi terhadap status simbolik, kosmopolitanisme, worldmindedness, dan
seterusnya.
Sementara itu, sejumlah riset lainnya menyimpulkan bahwa merek lokal lebih disukai
dibandingkan merek asing(contohnya, Han, 1988; Netemeyer, et al., 1991;
Peterson&Jolibert, 1995; Shimp&Sharma, 1987). Faktor-faktor yang berkontribusi pada
fenomena semacam ini diantaranya consumer ethnocentrism, consumer patriotism,
consumer nationalism, country of origin effects, local icon value, perceived risk terhadap
produk asing, dan seterusnya.
Dari sudut pandang perusahaan, sejumlah faktor diyakini menjadi penyebab mengapa
merek global lebih disukai: skala ekonomis tinggi, telah terbentuknya global village,
konvergensi perilaku konsumen, persepsi kualitas yang lebih unggul, dan jaringan
distribusi lebih luas(Kapferer, 2002). Walaupun demikian, sebenarnya juga berkembang
trend kearah brand localization yang dipicu oleh desentralisasi pemerintah,
individualisasi, pengakuan atas keanekaragaman budaya, dan pemberdayaan
konsumen(MacKenzie, 2001). Beberapa faktor yang berkontribusi pada preferensi
terhadap merek lokal dari sudut pandang perusahaan antara lain: faktor struktural, ekuitas
merek, kompetisi, strategi korporat, faktor organisasional, dan faktor
lingkungan(Kapferer, 2002).
Di sejumlah negara, perusahaan-perusahaan multinasional mulai mengembangkan sendiri
merek-merek lokalnya dan/atau mengincar merek-merek lokal yang kuat untuk diakuisisi.
Beberapa contoh diantaranya meliputi: Unilever mengembangkan minyak goring Key
Soap dan Fryol di Ghana(Curwen, 2003); Cussons membeli sabun Asoka di
Indonesia(Chatterjee, 2002); Coca-cola membeli Parle Products, merek minuman ringan
terbesar di India; Heinz membeli bisnis makanan Glaxo di India; dan Unilever membeli
bisnis sabun mandi dan deterjen Tata Group dan merek es krim India, Kwality(Das,
1997).
Secara umum, setiap negara(termasuk negara berkembang) memiliki original local brands
yang kuat. Merek-merek semacam ini bukan saja mampu bertahan hidup dalam era
globaliasi dan pasar bebas, tetapi juga memainkan peranan signifikan di pasar
domestiknya masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai