Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus : Pria yang Tidak Menikah dengan Diare Lama

Kelompok III
030.006.292

Zaki Bonnie Pracanda

030.008.157

Marsya Julia Riyadi

030.009.049

Brilli Bagus Dipo

030.009.180

Penny Nastiti R L

030.009.287

Ardy Arfandy

030.010.018

Alfaria Elia Rahma Putri

030.010.033

Anisa Saraswati

030.010.048

Bayu Adiputro

030.010.061

Camila Kamal

030.010.076

Desy Elia Pratiwi

030.010.087

Dista Yuristia Pertiwi

030.010.102

Fathi Zahra

030.010.113

Geraldo Tadika

030.010.131

Ila Mahira

Jakarta, 3 Oktober 2011


Universitas Trisakti

BAB I
PENDAHULUAN
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat
menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4
sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak
dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang
biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel
darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh
maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung.
Merebaknya epidemi HIV/AIDS telah menjadi permasalahan dunia yang
membutuhkan penanganan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai elemen
masyarakat dunia. Epidemi HIV/AIDS ini terkonsentrasi di negara-negara
berkembang seperti di negara-negara Afrika dan Asia. Di benua Afrika 1,6 juta orang
meninggal setiap tahun karena terinfeksi HIV/AIDS, sementara di Asia sekitar 8,3
juta orang terinfeksi HIV/AIDS.
Masalah HIV dan AIDS di Indonesia adalah masalah kesehatan masyarakat
yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila dilihat jumlah
kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan. Di
Indonesia, menurut data dari Departemen Kesehatan akhir Maret 2008 Kasus AIDS
mencapai 11868 sedangkan infeksi HIV sebanyak 6130. Data yang dikeluarkan
pemerintah ini merupakan data yang telah dilaporkan. Diprediksikan masih banyak
orang Indonesia yang terinfeksi HIV, mengingat kasus HIV/AIDS merupakan
fenomena gunung es, yang kelihatan hanya di permukaan saja. Hasil estimasi populasi
rawan tertular HIV tahun 2006 sebanyak 193000 orang.

BAB II
LAPORAN KASUS
Pria 35 tahun berobat ke rumah sakit karena diare hilang timbul selama 4 minggu ini.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Dalam 3-4 minggu ini pasien merasa demam ringan, batuk-batuk berdahak, merasa
letih, dan berat badan turun dalam 3 bulan terakhir ini. Nafsu makan menurun. Hingga
sejak 2 minggu lalu pasien sering diare hilang timubul, perut mulas. Feces terdapat
lendir dan darah. Pasien hanya minum obat warung untuk mengobati penyakitnya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Selama 1 tahun terakhir ini ia sering mengalami batuk, pilek, dan radang tenggorokan
yang bila berobat ke dokter sembuh, kemudian terulang kembali. Ia juga mengeluh
sering sariawan. Pasien belum menikah, pernah memakai jasa pekerja seks komersial.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum

: tampak lemah dan agak pucat. TB 165 cm, BB 50 kg

Tanda vital

: suhu 37,5 C, nadi lemah, 90x/menit, tensi 100/70 mmHg,


nafas 24x/menit

Status generalis :
Mata

: konjungtiva pucat -/-, sclera ikterik -/-, mata cekung (-)

THT

: oral thrush (+), bibir kering

Paru

: vesikuler +/+, rhonki +/+ basah kasar, wheezing -/-

Jantung

: S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-), bising usus (+), turgor cukup

Ekstremitas

: akral hangat, edema -/-, CRT (capillary refill time) <2

Pemeriksaan Lab :
Hb 11,5 g, Ht 40%, Eri 4jt/uL, Trombosit 170.000/uL, LED 30mm/jam
Hitung jenis

: 0/3/4/70/15/8

Anti HIV reaktif, CD4 T cell 200/uL


Rontgen thorax

: infiltrate pada kedua apex pulmo

BAB III

PEMBAHASAN
Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan lab pada ODHA (1)
HIV/AIDS termasuk jajaran penyakit yang mempunyai tingkat penularan yang
sangat tinggi. Hal ini terjadi karena seringkali seseorang tidak menyadari bahwa
dirinya telah terinfeksi HIV, sehingga menjadi sumber penularan bagi orang lain.
Seseorang terkena HIV biasanya secara umum ditandai antara lain penurunan berat
badan, diare berkepanjangan, Sarkoma Kaposi, dan Jejas suntikan dan infeksi
jaringan lunak. Terdapat beberapa pemeriksaan fisik yang harus diketahui dari pasien
ODHA.
Kulit
Lihat tanda-tanda masalah kulit terkait HIV atau lainnya, yang meliputi: kulit
kering, PPE terutama di kaki, dermatitis seboroik pada muka dan kepala.
Lihat tanda-tanda herpes simpleks, dan herpes zooster, atau jaringan parut bekas
herpes zooster di masa lalu.
Kelenjar getah bening
Mulai dari KGB di leher.
Persisten generalized lymphadenopathy (PGL), khas berupa pembengkakan
multipel dan bilateral, lunak, tidak nyeri, kgb servikal yang mudah digerakkan. Hal
yang sama mungkin didaerah ketiak dan selangkangan.
KGB pada TB khas biasanya unilateral, nyeri, keras, pembengkakan KGB disertai
gejala umum lain seperti demam, keringat malam, dan kehilangan BB.
Mulut

Lihat tanda bercak putih di rongga mulut (kandidosis oral), serabut putih di bagian
samping lidah (OHL) dan pecah disudut mulut (keilitis angularis).

Dada
Masalah yang tersering adalah PCP dan TB.
Gejala dan tandanya: batuk, sesak nafas, batuk darah, berat badan menurun,
demam, edem atau konsolidasi paru.
Lakukan foto toraks bila memungkinkan.
Abdomen
Lihat adanya hepatosplenomegali, teraba masa, atau nyeri lokal.
Ikterik menandakan kemungkinan hepatitis viral.
Nyeri menelan biasa disebabkan oleh karena kandidosis esofageal.
Anogenital
Lihat adanya herpes simpleks atau lesi genital lainnya, vagina atau uretra (penis).
Lakukan Pap smear bila memungkinkan.
Pemeriksaan Neurologi
Perhatikan virus dan lihat tanda neuropati (bilateral, periferal, atau mononeropati
terbatas).
Nila adanya kelemahan neurologis.
Berkembangnya teknologi pemeriksaan laboratorium saat ini mengijinkan kita
untuk mendeteksi HIV lebih dini. Beberapa pemeriksaan laboratorium tersebut antara
lain adalah :

ELISA

ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang


dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai
minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena
alasan inilah maka para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah
minggu ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum
suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena,
air liur, atau air kencing. Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test).
Pemeriksaan ini sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu
menggunakan sampel darah jari dan air liur. Hasil positif pada ELISA belum
memastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan
pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil
pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada
dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul
telah terinfeksi HIV.
Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif
dan lebih spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan' sangat kecil.
Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam
melakukannya.

IFA

IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi


ELISA positif. Seperti halnya dua pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat
mahal.
PCR Test
PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung keberadaan
virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu
setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih.
Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan
hasil yang pasti. Selain itu, PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan
(screening test) darah atau organ yang akan didonorkan.
Jumlah CD4 adalah cara yang terpercaya dalam menilai status imuunitas seorang
ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis yang mana dapat memandu
dalam menentukan kapan pasien memerlukan pengobatan profilaksis terhadap IO dan
terapi ARV sebelum penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah. Jumlah CD4 dapat
berbeda setiap hari tergantung adanya penyakit penyerta yang ada. Splenektomi dapat
meningkatkan jumlah CD4 secara palsu. Dalam hal ini maka CD4% yang digunakan
untuk memandu menentukan pengobatan. Bila memungkinkan tes CD4 diulang
sebelum keputusan medis yang besar dibuat, seperti misalnya memulai terapi ARV.
Meskipun tes CD4 dianjurkan namun bila tidak tersedia tidak boleh menjadi
penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV.
Bila tidak tersedia tes CD4, jumlah limfosit total (TLC) dapat digunakan sebagai
penanda fungsi imunitas. Dalam program terapi ARV TLC hanya berlaku pada satu

keadaan klinis saja (pasien dengan stadium klinis 2 manakala sarana tes CD4 tidak
tersedia). Keputusan klinis akan lebih mudah yaitu bahwa terapi ARV dianjurkan pada
semua ODHA dengan stadium klinis 3 dan 4, dan tidak di anjurkan untuk pasien yang
asimtomatik (stadium 1). WHO menganjurkan bahwa lambat laun nanti limfosit total
dapat ditinggalkan. TLC tidak bermanfaat dan tidak dianjurkan untuk menilai respon
terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV. Ada banyak cara
lain yang lebih akurat dalam menandai adanya kegagalan terapi ARV. Sama seperti
penyakit lainnya AIDS dapat dikenali dengan tanda-tanda klinis yang muncul dan
ditambah pemeriksaan laboratorium.
Pada fase AIDS tanda-tanda atau gejala yang muncul dapat berupa, Sariawan, Batuk
lama, Diare lama, Penurunan Berat Badan, Pembesaran Kelenjar Limfe serta kelainan
kulit. Perhatikan pula faktor perilaku beresiko yang dapat di ketahui dengan tanya
jawab (anamnesa) dengan penderita yang sudah terbuka dengan dokter. Pemeriksaan
Laboratorium yang paling umum dilakukan sebagai skrining pertama kali kita
melakukan pemeriksaan Anti HIV yang relatif murah (merupakan pemeriksaan anti
body). Biasanya pemeriksaan ini dilakukan dengan metode ELISA. Sampel yang
dibutuhkan dapat berasal dari Air Liur, Darah, Urine dan Cairan Otak. Tes anti body
HIV ini terbagi dua tahap, tes Penyaring dan tes Konfirmasi. Tes penyaringan
dilakukan dengan metode Elisa dan tes konfirmasi dengan cara Westren Blot. Pada
Hasil tes Penyaringan POSITIF mempunyai arti telah terinfeksi HIV atau POSITIF
PALSU artinya hasil tes penyaringan menyatakan positif tetapi sesungguhnya tidak
ada infeksi HIV. Maka karena itu diperlukan TES KONFIRMASI, untuk
memastikannya. Tapi sebelum dilakukan tes Konfirmasi , biasanya kita masih
melakukan tes penyaringan satu kali lagi dengan metode yang lain. Bila hasil tes
Penyaringan yang kedua ini memberikan hasil POSITIF maka kita lanjutkan dengan

tes KONFIRMASI. Bila tes KONFIRMASI memberikan hasil POSITIF maka artinya
adalah orang tersebut HAMPIR PASTI TERINFEKSI oleh HIV. Bila hasil tes
Penyaringan kedua memberikan hasil NEGATIF maka artinya adalah orang tersebut
tidak terinfeksi HIV atau masih dalam masa jendela (artinya orang tersebut sebetulnya
terinfeksi tapi pada tes masih negatif).

Struktur virus HIV

Partikel virus HIV yang berdiamter sepersepuluhribu mm diselubungi oleh


dwilapis fosfolipid seperti halnya membrane sel pada umumnya. Kondisi ini
memberikan kemudahan terjadinya fusi antara kedua membran. Selubung virus
tersebut dilengkapi dengan tonjolan-tonjolan protein pada seluruh permukaan seperti
jeruji. Pada setiap ujung luar dilengkapi dengan struktur berbentuk bulat telur seperti
tombol pintu dengan sebuah cekungan. Bagian protein yang menembus selubung
virus sampai ke bagian dalam berbentuk batang. Seluruh bangunan protein tersebut

disebut gp160, karena BMnya sebesar 160, dan bagian yang berbentuk bulat telur
disebut gp120 yang melanjutkan struktur seperti batang dalam selubung menjadi
gp41. Disebelah dalam selubung luar virus dilengkapi dengan selubung protein
(kapsid). Di bagian tengah virus terdapat inti yang terdiri atas substansi genetic
berbentuk 2 untaian RNA dengan enzim reverse transcriptase. (2)
RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase) adalah polymerase
DNA dalam retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan
RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Tranverse transcriptase diperlukan
dalam teknik rekombinan DNA yang diperlukan dengan sintesis first strand cDNA.
Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan petanda terdini
adanya infeksi HIV, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi
sintesis antibody terhadap HIV. Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV
yang mengikat reseptor CD4+ pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4 +
ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+.
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai
berikut: jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo
(gagal memberikan respons terhadap antigen recall) dan uji invitro, aktivasi poliklonal
sel B menimbulkan hipergamaglobulinemia, antibodi yang dapat menetralkan antigen
gp120 dan gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah progress penyakit oleh karena
kecepatan mutasi virus yang tinggi , sel Tc dapat mencegah infeksi (jarang) atau
memperlambat progress. Protein envelope adalah produk yang menyandi gp120,
digunakan dalam usaha memproduksi antibody yang efektif dan produktif oleh
penjamu.(3)

Daur Hidup HIV

1. Tahap masuknya virus dalam sel


Proses masuknya virus dalam sel inang berkaitan dengan struktur permukaan
virus dan inang. Sebelum terjadi ikatan spesifik antara partikel virus dan permukaan
sel inang, berlangsung penempelan karena adannya muatan listrik yang berlawanan.
Permukaan molekul gp120 bermuatan positif menmpel dengan proteglikan dari lektin
permukaan yang bermuatan negative.
Setelah terjadi penempelan dengan mekanisme tersebut di atas, disusul oleh
ikatan spesifik pertama anatara gp120 yang memiliki cekungan kecil dengan molekul
CD4 yang dimiliki sel inang. Dengan demikian molekul CD4 yang sangat penting

dalam proses respons imun, sekaligus bertindak sebagai reseptor bagi virus HIV.
Maka sel-se yang meiliki molekul CD4 pada permukaanya dapat merupakan sel inang
bagi HIV. Molekul CD4 akan terikat yang sangat tinggi, Ikatan ini akan memicu
berbgai perubahan struktur molekul gp120, di antaranya membentuk tempat ikatan
untuk molekul ko-reseptor khemokin dari jenis CCR5 atau CXCR4. Koreseptor
tersebut dalam kondisi normal berfungsi mengikat khemokin yang merupakan factor
atraksi berkumpulnya sel-sel radang. Tertariknya sel-sel radang tersebut berdasarkan
gradient khemokin sepanjang perjalanan menuju pusat [eradangan. Dalam kasus
infeksi HIV ini, koreseptor dibutuhkan untuk menginduksi perubahan konfomasional
gp41 yang berada dalam membrane dwilapis virus. Seingkali virus-virus HIV
dikelompokan berdasrakan penggunaan ko-reseptor terhadap jenis khemokin. Misalna
kelompok 5 dari virus HIV, dimaksudkan jika virus menggunakan ko-reseptor CCR5,
sedang virus kelompok X4 menggunakan ko-reseptor CXCR4, sedangkan kelompok
virus HIV R5X4 menggunakan koreseptor CCR5 dan CXCR4.
Perubahan struktur tersebut akan memparkan bagian peptoda fusi dari
molekul gp41 yang sebelumnya terkubur dalam struktur gp120. Dengan terpaparnya
bagian peptide fusi tersebut, akan disusul penyisipan peptide tersebut dalam
membrane sel inang.
Fusi antara membrane selubung virus dengan membrane sel inang merupakan
proses kerja sama yang berlangsung dalam waktu beberapa menit, dan memerlukan
interaksi antara jeruji gp120 dengan reseptor dan koreseptor, merupakan sebuah
proses yang sangat efisien. peptide fusi itulah yang merupakan molekul yang sangat
berperan dalam fusi antar membrean.
Fusi kedua membrane tersebut mengakibatkan partikel virus tidak berselubung
lagi, sehingga inti virus besama kompleks RT kini berada dalam sitoplasma sel
inang. Komples molekul tersbeut terdiri atas : 2 untai RNA, RT, IN, tRNA, matriks
(p17), nukleokapsid (p7), protein kapsul (p24) dan Vpr.

2. Tahap transkripsi mundul dan intergrasi genom


Biasanya transkripsi substansi genetic pada sel atau vitus merupakan sintesis
untaian RNA dengan molekul DNA sebagai pola cetaknya tetapi pada retrovirus yang
substansi genetiknya berbentuk untaian RNA tidak demikian prosesnya. Walaupun
retrovirus memiliki substansu genetic berbentuk untaian RNA, namun untuk
kepentingan hidupnya tetpa dilakukan transkripsi. Sebagai mahluk hidup virus harus
melakukan replikasi dan biosintesis protein. Retrovirus sebagaimana virus DNA tidak
mempunyai kelengkapan untuk replikasi dan biosintesis, maka virus harus hidup
dalam se; sebagai parasite karena memerlukan kelengkapan (organela ribosom) yang
dibutuhkan untuk kehidupannya. Dalam memanfaatkan kelengkapan yang dimiliki
sel, genom virus harus digabungkan dengan genom sel inang dengan cara
diintegrasikan melalui penyisipan dalam molekul DNA yang dimilki inti sel inang.
Tetpai karena genom retrovirus dalam bentuk RNA, maka sebelum diintegrasikan
dalam genom sel inang molekul RNA harus ditranskripsikan mundur menjadi molekul
DNA. Itulh sebabbnya dalam inti retrovirus di dekat untaian RNA dilengkapi
dengan enzim yang dinamakan reverse transcriptase (RT) atau RNA-dependent
DNA polymerase yang diperlukan untuk transkripsi mundul. Dua untaian RNA virus
ditanskripsi mundur menjadi 2 untaian cDNA. Pasangan DNA virus ini kemudian
pindah dari sitoplasma sel ke dalam intinya dan disisipkan integrase. Untuk integrasi
genom virus yang telah ditranskripsi diperlukan bantuan mikrotubuli yang dimilki sel
inang dan katalisator enzim integrase.
Genom virus yang telah menyatu dengan genom sel inang dapat berada dalam
keadaan laten atau ajtif. cDNA yang atif disebut sebagai provirus. Provirus yang aktif
tersebut dapat digunaan sebagai pola ceta transkripsi menjadi untaian RNA kembali

dalam proses replikasi atau untuk keperluan biosintesis keperluan protein virus
(misalnya RT) yang diperlukan dalam partikel virus baru.
Namun akhir0akhir ini sebgaian peneliti menyatakan bahwa pada infeksi
retrovisur ini sebabgian peneliti menyarankan bahwa pada infeksi retrovirus tersebut
tidak harus melalu periode laten sehingga proses replikasi berhenti sama skelai,
melainkan pada periode tersebut berlangsung replikasi virus walaupun dengan
kecepatn sangat lamban. Adanya kenyataan ini, agaknya virus tersebut akan berada
dalam status replikasi lambat selama beberapa tahun sampai adanya beberapa
peristiwa yang dapat memicu untuk replikasi kecepatan penuh sehingga menimbulkan
kematian sel dan infeksi sel inang berijutnya. Sampai saat ini belum diketahui secara
pasti bentuk picuan apa yang berlangsung agar berlangsung replikasi vitus dengan
kecepatan penuh.

3. Tahap replikasi
Sepeti juga virus lain, untuk dapat memperbanyak diri HIV membutuhkan sel
inang yang mempunyai kelengkapan untuk dintesis protein. Replikasi virus
berlangsung setelah dilakukan integrasu genom virus dalam genom inang denga
produksi salinan virus dengan bantuan polymerase RNA sel inang. Transkrips diatur
ileh protein yang terlibat pada urutan LTR yag mengapit genom virus. Produksi
protein virus berlangsung dalam 2 fase. Proses sintesis protein dengan kode gena
virus dama dengan proses sintesis protein yang brelangsung dalam sel. Sintesis
dimulai dengan transkripsi, splicing mRNA dalam inti, yang dilanjutkan translasi pada
ribosom dari rER menajdi peptide, diselesaikan dalam kompleks Golgi. Dengan
vesikel sekretori protein yang terbentuk dibawa dari kompleks Golgi menuju
membrane sel inang. Salah satu protein virus yang ditranslasi selama ekspresi adalah

p55. Translasi juga menyangkut gena virus Tat, Rer dan Nev. Kemudian disusul
translasi fase berikutnya menghasilkan protein Env, Vif, Vpr, Gag, dan gag-Pol.
Jumlah mekanisme reproduksi HIV cukup bayak sehingga mencermukan kecepatan
replikasi virus.
4. Tahap perkaitan dan pendewasaan virus
Parakitan partikel virus bru pada prinsipnya berlangsung pada membra sel
inang yang terinfeksi, tetapi perakitan dapat diawali ketika masih terdapat dalam
vsikel sekresi yang dilepaskan Kompleks Golgi, sementra dalam perjalanannya
menuju membrane sel. Perakitan komponen-komponen virus bergantung pada protein
sel inang yang disebut HBG8 yang akan mengikat proten p55 dan mendorong
pembentukan inti virus yang belum dewasa. Protein structural lain dari virus
berkumpul di membrane sel bersama 2 untaian genom RNA. RT, protease dan
integrase yang segera diintegrasikan enjadi virus yang belum dewasa. Satu protein
structural utama yaitu p6, menghubungkan daerah memarn plasma yang merupakan
tepat berlangsungnya pertunasan partikel virus baru. Dekat sebelum berlangsungnya
pertunasan partikel virus, beberapa factor inang lain, termasuk factor restriksi virus
dalam sitoplasma seperti: APOBEC3G dapat digabungkan dalam vuruon. Bersamaan
dengan pertunasan partikel virus muda dari membrane se, terjadi proses proteolysis
kapsid untuk pengebangan menjadi virus dewasa.
Bahwa dalam kondisi in vivo sangat mungkin penyebaran partikel-partikel
virus dalam sel-sel yang belum terinfeks dalam tubuh, berlangsung dari sel ke sel
melakui kontak dengan sel di dekat sel yang terinfeksi dengan melibatkan protein Env
pada permukaan sel inang terinfeksi dengan perantaraan reseptor pada sel T yang
berdekatan melalui suatu sinaps imunologi. Walaupun demikian penularan virus HIV
membutuhkan partikel virus bebas yang berasal dari pertunasan.

Terapi Antiretroviral (ARV) (4)


Terapi antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan.
Obat tersebut (yang disebut ARV) tidak dapat membunuh virus itu. Meskipun
demikian, obat tersebut dapat memperlambat pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan
virus diperlambat, begitu juga HIV. Karena HIV adalah retrovirus, obat-obatan ini
biasa disebut sebagai terapi antiretroviral.
Setiap jenis atau golongan ARV menyerang HIV dengan cara yang
berbeda. Golongan obat anti-HIV pertama adalah :
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau NRTI, biasanya disebut analog
nukleosida. Obat golongan ini menghambat perubahan kode genetik HIV, dari
RNA menjadi DNA. Beberapa obat golongan ini yang ada di Indonesia adalah
videx, staviral, dan viread.
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau NNRTI. Golongan obat ini
yang ada di Indonesia adalah nevirapine dan efavirenz.
Protease inhibitor atau PI. Obat ini menghambat dengan cara virus baru
dipotong menjadi potongan khusus. Obat golongan PI yang ada di Indonesia
adalah kaletra.
Fusion dan attachment inhibitor yang menghambat pengikatan virus pada sel.
Integrase inhibitor yang menghambat pemaduan kode genetik HIV dengan kode
genetik sel.

Obat-obat ARV yang digunakan dalam HAART


Zidovudine merupakan obat pertama yang digunakan secara klinis dalam
pengobatan AIDS. Walaupunkeberhasilannya sebagai

monoterapi masih terbatas,

namun Zidovudine sekarang ini masih merupakan komponen regimen HAART

(HighlyActive Antiretroviral Therapy) dan profilaksis transmisi HIV. Di Indonesia


kombinasi regimen lini pertama yang digunakan adalah 2 NRTI + 1 NNRTI
( zidovudine atau stavudine + lamivudine + nevirapineatauefaviren ). Lamivudine
memiliki mekanisme yang sama seperti Zidovudine dan merupakan komponen umum
yang biasa digunakan pada HAART. Akan tetapi, penggunaan Zidovudine jangka
panjang memiliki efek toksik terhadap sumsum tulang, yang bermanifestasi sebagai
makrositosis tanpa anemia sampai munculnya anemia makrositer, neutropenia, dan
supresi sistem hematopoetik secara keseluruhan. Makrositosis terjadi pada 78% dan 5
sampai 10% pasien yang mendapat terapi zidovudine mengalami anemia. Kejadian
makrositosis bervariasi antarindividu dan belum dapat dipastikan kapan pertama kali
makrositosis timbul akibat pemberian Zidovudine. Makrositosis muncul terutama
dalam 3 bulan pertama terapi. Sumber lain mengatakan bahwa makrositosis timbul 4
sampai 6

minggu sejak dimulainya terapi. Tetapi kejadian makrositosis juga bisa

baru terdeteksi setelah beberapa

tahun. Manifestasinya mulai dari peningkatan

mean corpuscular volume (MCV) eritrosit (makrositer) tanpa disertai anemia, sampai
pada kasus anemia berat yang memerlukan transfusi darah dan penghentian terapi
zidovudine dengan segera.
Efek toksisitas zidovudine terhadap sistem hematologi akan meningkat
berhubungan dengan rendahnya kadar CD4, kadar vitamin B12, anemia dan
rendahnya nilai netrofil. Di samping faktor tersebut di atas factor lain yang
berhubungan dengan peningkatan efek toksik dari zidovudine adalah adanya
pemakaian cotrimoxazol, jeniskelamin, pertambahan usia, asam folat dan beratnya
penyakit HIV. (5)
Anti HIV tidak protektif karena antigen binding site dari virus HIV tidak
diberikan akses untuk menempel di GP 120 dan Kemokin reseptor. (5)

Faktor Genetik
Faktor genetik yang mempengaruhi angka kejadian dan perjalanan penyakit
HIV di antaranya akibat Polimorfisme di HLA ( Human Leucocyte Antigen ) dan
Polimorfism pada CCR 5 sehingga virus HIV tidak bisa masuk. (6)

Mekanisme HIV Menghindari Sistem Imun


Agen penginfeksi pada AIDS, HIV, adalah retrovirus RNA beruntai satu
dari kelompok lentivirus. HIV mengandung nukleolid RNA padat, inti protein,
permukaan gliko-protein, dan reverse transcriptase enzyme. Enzim ini adalah
polimerase DNA yang mampu bergabung dengan kromosom tubuh. Sekali
berintegrasi, ia digunakan sebagai pembawa pesan transkripsi untuk sintesis virus.
Integrasi membantu virus untuk lolos dari mekanisme pertahanan tubuh. Lentivirus
tidak mempunyai potensi teratogenik seperti retrovirus onkogenik, namun mampu
menimbulkan lisis sel terinfeksi.
Infeksi HIV tampaknya terbatas pada sel yang membawa reseptor
permukaan CD4. Populasi limfosit Thelper adalah yang paling kaya akan reseptor
CD4, menjelaskan kemampuan tropisme dan lisis oleh HIV terhadap sel ini.
Monosit, makrofag, dan mikroglia juga mengandung

reseptor permukaan CD4,

namun kepadatannya sangat rendah. Ini mungkin menjelaskan mengapa makrofag


sering mengandung virus, namun jarang lisis, membuat mereka efektif sebagai
reservoir viral. Selain itu terjadi mutasi gen envelope dan adanya pengaruh dari
antigen HLA, yaitu dengan penghambatan ekspresi HLA kelas 1. (7)

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan infeksi HIV (8)

Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan di beberapa


negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan
sekaligus, yakni:

a) Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda. Program


pendidikan ini perlu dipikirkan lagi strategi penerapannya di luar sekolah.
Walaupun sudah ada SK Mendiknas mengenai masalah ini, namun secara
nasional belum dapat diterapkan
b) Program penyuluhan sebaya (peer group education). Saat ini, programprogram semacam ini banyak ditangani oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dengan pengalaman dan sasaran yang berbeda-beda. Utamanya, untuk
menciptakan situasi yang kondusif dan nyaman bagi para remaja dan dewasa
muda untuk membicarakan topik HIV.
c) Program kerja sama dengan media cetak dan elektronik. Setiap momentum
yang berkaitan dengan HIV/AIDS perlu dimanfaatkan untuk mendorong
partisipasi media untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut.
d) Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program
e)
f)
g)
h)

pengadaan jarum suntik steril.


Program pendidikan agama.
Program layanan pengobatan infeksi menular seksual.
Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat.
Pelatihan keterampilan hidup. Program ini diperlukan oleh remaja agar dapat
mengenal potensi diri, dan membuka wawasan. Apabila kehidupan ekonomi

dan pendidikan membaik, penularan HIV/AIDS dapat ditekan.


i) Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling. Perlu tempat
yang mudah dicapai dan suasana akrab dengan klien akan menyebabkan
orang-orang yang berisiko tinggi bersedia mendatangi tempat-tempat tes dan
konseling itu.
j) Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak.

k) Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan, dan


dukungan untuk ODHA.
l) Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV.

Sudah cukup banyak program kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang


terbukti efektif dan mampu laksana, yang sudah diterapkan untuk menekan kecepatan
prevalensi HIV/AIDS di Indonesia. Namun demikian, perbaikan masih harus
dilakukan di sana-sini. Bukan hanya yang menyangkut kualitas program, namun juga
perluasan cakupan penerima program.
Penatalaksanaan pasien TBC dengan HIV (9)
Untuk penatalaksanaan TB pada pasien ini, kita memberikan Pengobatan AntiTuberculosis kategori 3 (2 HRZ/ 4 H3R3). Kategori 3 diberikan pada pasien ini
mengingat pada gejala klinis dan foto rontgen positif mengarah ke Tuberculosis
sedangkan pada BTA belum ditemukan, mengingat pada pasien ini tidak ditemukan
adanya hasil pemeriksaan BTA.
KOMBIPAK I (HRZ)
Dosis harian pada fase awal (intensif) terdiri dari:
-

Isoniazid (H) 300mg (1 tablet @ 300mg)


Rifampisin (R)
450mg (1 kaplet @ 450mg)
Pirazinamid (Z)
1500mg (3 tablet @ 500mg)

KOMBIPAK III ( HR )
Dosis harian pada fase lanjutan (intermiten) terdiri dari:
-

Isoniazid (H) 600mg (2 tablet @ 300mg)


Rifampisin (R)
450mg (1 kaplet @ 450mg)

Serta ditambah dengan Vitamin B6 50mg paling tidak selama 1 tahun.


Untuk penatalaksanaan HIV / AIDS meliputi penatalaksanaan fisik, psikologis
dan sosial. Penatalaksanaan medis terdiri atas:
1. Pengobatan Suportif
Nutrisi dan vitamin yang cukup
Bekerja
Pandangan hidup yang positif
Melaksanakan hobi
Dukungan psikologis
Dukungan sosial
2. Pencegahan serta pengobatan infeksi oportunistik dan kanker.
3. Pengobatan Anti-retroviral
Pengobatan dikombinasikan dengan 3 obat yang terdiri dari dua inhibitor
reverse transcriptase dan satu inhibitor enzim protease.
Didanosin diberikan 2x125 mg (dengan dimonitoring amylase 1-2

bulan sekali dan pemeriksaan neurologic per-bulan)


Zidovudin (AZT) diberikan 500mg/hari (5x100mg) dengan

dimonitoring darah lengkap per-tiga bulan.


Indinavir 3x800mg

Monoterapi (ddI atau d4T) hanya dipertimbangkan bila pengobatan kombinasi tidak
dapat dilakukan atau pasien telah menggunakan monoterapi dalam waktu yang lama
dan hasil klinis maupun pemantauan laboratorium tetap baik (CD4 baik)
9. Prognosis
Pada pasien ini ditemukan beberapa infeksi oportunistik yang sudah berlangsung
lama disertai penurunan kadar CD4 yang menunjukkan pasien ini memasuki stadium
3. Prognosis untuk stadium 3 adalah sebagai berikut :

Ad Vitam
: Dubia ad malam
Ad functionam : Dubia ad malam
Ad Sanactionam : Dubia ad malam

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

HIV/AIDS
HIV merupakan singkatan dari human immunodeficiency virus. HIV
merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia
(terutama CD4 positive T-sel dan macrophages komponen-komponen utama sistem
kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang
akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. (10)
Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit- penyakit. Orang yang
kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap
berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak
mengalami defisiensi kekebalan. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan defisiensi
kekebalan yang parah dikenal sebagai infeksi oportunistik karena infeksi-infeksi
tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang melemah.
Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menyadarinya karena tidak
ada gejala yang tampak segera setelah terjadi infeksi awal. Beberapa orang
mengalami gangguan kelenjar yang menimbulkan efek seperti deman (disertai panas
tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan pembengkakan pada limpa), yang dapat terjadi
pada saat seroconversion. Seroconversion adalah pembentukan antibodi akibat HIV
yang biasanya terjadi antara enam minggu dan tiga bulan setelah terjadinya infeksi.

Kendatipun infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang terinfeksi HIV
sangat mudah menularkan virus tersebut kepada orang lain. Satu-satunya cara untuk
menentukan apakah HIV ada di dalam tubuh seseorang adalah melalui tes HIV.
Infeksi HIV menyebabkan penurunan dan melemahnya sistem kekebalan
tubuh. Hal ini menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi penyakit dan dapat
menyebabkan berkembangnya AIDS.
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan
menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem
kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV
dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa
infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS.
Istilah AIDS dipergunakan untuk tahap- tahap infeksi HIV yang paling lanjut.
Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan
menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi
berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang dikelompokkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai berikut:
Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak dikategorikan
sebagai AIDS.
Tahap II (meliputi manifestasi mucocutaneous minor dan infeksi-infeksi saluran
pernafasan bagian atas yang tak sembuh- sembuh)
Tahap III (meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang berlangsung
lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan TBC paru-paru), atau
Tahap IV (meliputi Toksoplasmosis pada otak, Kandidiasis pada saluran
tenggorokan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea), batang saluran paru-

paru (bronchi) atau paru-paru dan Sarkoma Kaposi). Penyakit HIV digunakan
sebagai indikator AIDS.
Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh
orang yang sehat, dapat diobati.
Lamanya dapat bervariasi dari satu individu dengan individu yang lain.
Dengan gaya hidup sehat, jarak waktu antara infeksi HIV dan menjadi sakit karena
AIDS dapat berkisar antara 10-15 tahun, kadang-kadang bahkan lebih lama. Terapi
antiretroviral dapat memperlambat perkembangan AIDS dengan menurunkan jumlah
virus (viral load) dalam tubuh yang terinfeksi.

Tes HIV
Tes HIV merupakan pengujian untuk mengetahui apakah HIV ada dalam
tubuh seseorang. Tes HIV yang umumnya digunakan adalah yang mendeteksi antibodi
yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh dalam merespons HIV, karena antibodi
itu lebih mudah (dan lebih murah) dideteksi dibanding pendeteksian virus itu sendiri.
Antibodi diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh dalam merespons suatu infeksi.
Bagi sebagian besar orang, antibodi tersebut memerlukan waktu tiga bulan
untuk berkembang. Dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, antibodi ini perlu
sampai enam bulan untuk berkembang.
Penatalaksanaan
Pengobatan dan perawatan yang ada terdiri dari sejumlah unsur yang berbeda,
yang meliputi konseling dan tes mandiri (VCT), dukungan bagi pencegahan penularan
HIV, konseling tindak lanjut, saran-saran mengenai makanan dan gizi, pengobatan
IMS, pengelolaan efek nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi oportunistik (IOS),
dan pemberian obat-obatan antiretroviral.

Obat antiretroviral digunakan dalam pengobatan infeksi HIV. Obat-obatan ini


bekerja melawan infeksi itu sendiri dengan cara memperlambat reproduksi HIV dalam
tubuh.
Dalam suatu sel yang terinfeksi, HIV mereplikasi diri, yang kemudian dapat
menginfeksi sel-sel lain dalam tubuh yang masih sehat. Semakin banyak sel yang
diinfeksi HIV, semakin besar dampak yang ditimbulkannya terhadap kekebalan tubuh
(immunodeficiency). Obat-obatan antiretroviral memperlambat replikasi sel-sel, yang
berarti memperlambat penyebaran virus dalam tubuh, dengan mengganggu proses
replikasi dengan berbagai cara.
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau NRTI, biasanya disebut analog
nukleosida. Obat golongan ini menghambat perubahan kode genetik HIV, dari
RNA menjadi DNA. Beberapa obat golongan ini yang ada di Indonesia adalah
videx, staviral, dan viread.
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau NNRTI. Golongan obat ini
yang ada di Indonesia adalah nevirapine dan efavirenz.
Protease inhibitor atau PI. Obat ini menghambat dengan cara virus baru
dipotong menjadi potongan khusus. Obat golongan PI yang ada di Indonesia
adalah kaletra.
Fusion dan attachment inhibitor yang menghambat pengikatan virus pada sel.
Integrase inhibitor yang menghambat pemaduan kode genetik HIV dengan kode
genetik sel.

Pencegahan dan Penanggulangan infeksi HIV


Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan di beberapa
negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan
sekaligus, yakni:

m) Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda. Program


pendidikan ini perlu dipikirkan lagi strategi penerapannya di luar sekolah.
Walaupun sudah ada SK Mendiknas mengenai masalah ini, namun secara
nasional belum dapat diterapkan
n) Program penyuluhan sebaya (peer group education). Saat ini, programprogram semacam ini banyak ditangani oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dengan pengalaman dan sasaran yang berbeda-beda. Utamanya, untuk
menciptakan situasi yang kondusif dan nyaman bagi para remaja dan dewasa
muda untuk membicarakan topik HIV.
o) Program kerja sama dengan media cetak dan elektronik. Setiap momentum
yang berkaitan dengan HIV/AIDS perlu dimanfaatkan untuk mendorong
partisipasi media untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut.
p) Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program
q)
r)
s)
t)

pengadaan jarum suntik steril.


Program pendidikan agama.
Program layanan pengobatan infeksi menular seksual.
Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat.
Pelatihan keterampilan hidup. Program ini diperlukan oleh remaja agar dapat
mengenal potensi diri, dan membuka wawasan. Apabila kehidupan ekonomi

dan pendidikan membaik, penularan HIV/AIDS dapat ditekan.


u) Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling. Perlu tempat
yang mudah dicapai dan suasana akrab dengan klien akan menyebabkan
orang-orang yang berisiko tinggi bersedia mendatangi tempat-tempat tes dan
konseling itu.
v) Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak.

w) Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan, dan


dukungan untuk ODHA.
x) Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV.

Sudah cukup banyak program kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang


terbukti efektif dan mampu laksana, yang sudah diterapkan untuk menekan kecepatan
prevalensi HIV/AIDS di Indonesia. Namun demikian, perbaikan masih harus
dilakukan di sana-sini. Bukan hanya yang menyangkut kualitas program, namun juga
perluasan cakupan penerima program.

BAB V
KESIMPULAN

Setelah melihat dari anamnesa dan hasil pemeriksaan fisik termasuk


pemeriksaan urologi dan pemeriksaan penunjang kelompok kami menyimpulkan
pasien tersebut menderita TBC dengan HIV. Gejala-gejala TBC pada kasus ini dapat

kita lihat dari riwayat penyakit sekarang yaitu dalam 3-4 minggu ini pasien merasa
demam ringan, batuk-batuk berdahak dan riwayat penyakit dahulu yaitu selama 1
tahun terakhir ini ia sering mengalami batuk, pilek, dan radang tenggorokan yang bila
berobat ke dokter sembuh, kemudian terulang kembali. Selain itu dari status generalis
paru pasien ini menunjukkan adanya rhonki basah kasar.
HIV yang diderita oleh pasien ini dapat kita lihat dari gejala-gejala berat badan
turun salam 3 bulan terakhir dan sering sariawan, keterangan tambahan juga
menyebutkan bahwa pasien belum menikan dan pernah memakai jasa pekerja seks
komersial. Bukti kuat bahwa pasien mengidap HIV yaitu pada pemeriksaan
laboratorium Anti HIV reaktif, CD4 T cell 200/uL.Oleh karena itu penatalaksanaan
pasien ini harus dilakukan dengan baik, yang terdiri dari sejumlah unsur yang
berbeda, yang meliputi konseling dan tes mandiri, dukungan bagi pencegahan
penularan HIV, konseling tindak lanjut, saran-saran mengenai makanan dan gizi,
pengobatan IMS, pengelolaan efek nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi
oportunistik (IOS), dan pemberian obat-obatan antiretroviral.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. WebMD. Medical History and Physical Exam for HIV Infection. Available at :
http://www.webmd.com/hiv-aids/medical-history-and-physical-exam-for-hivinfection. [update : April 8th 2010]. Accessed on September 22nd 2011.
2. Subowo. Imunologi Klinik. Jakarta: Sagung Seto; 2010.
3. B.G Karnen, Rengganis I. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit, FKUI;
2009.
4. Mayo Clinic. HIV/AIDS. Available at :
http://www.mayoclinic.com/health/hiv-aids/DS00005/DSECTION=treatments
%2Dand%2Ddrugs. [update : August 11th 2010]. Accessed on September 22nd
2011.
5. National Center for Biotechnology Information. Introduction Antiretroviral
Resistance in the Developing World. Avalaible at :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK38375/. Accessed on Sepetember
22nd 2011.
6. National Library of Medicine Getaway. HIV Adaptation to the Genetic
Polymorphism of the Host. Available at :
http://gateway.nlm.nih.gov/MeetingAbstracts/ma?f=102261155.html.
Accessed on Sepetember 22nd 2011.
7. National Center for Biotechnology Information. Mechanisms of HIV-1 to
escape from the host immune surveillance. Available at :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10964167. [update : August 30th 2000].
Accessed on Sepetember 22nd 2011.
8. Perkumpulan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. 3rd ed. Jakarta: Interna Publishing. p. 2867-8. 2010.
9. WHO. Guidelines for intensified tuberculosis case-finding and isoniazid
preventive therapy for people living with HIV in resource-constrained settings.

Available at : http://www.who.int/hiv/pub/tb/9789241500708/en/index.html.
[update : May 1st 2011]. Accessed on Sepetember 22nd 2011.
10. Medline Plus. HIV/AIDS. Available at :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/hivaids.html. Accessed on Sepetember
22nd 2011.

Anda mungkin juga menyukai