PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
PADA PASIEN KOMA
Pembimbing :
Dr C Titik Nurwahyuni, sp.S
Dr Jimmy Barus, sp.S
Disusun oleh :
Vanya Pratita S.
2009-061-115
Hendrawan Ariwibowo
2009-061-264
Raymond Young
2009-061-265
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.
Adapun referat ini berjudul Pemeriksaan Neurologis pada Pasien Koma dan
disusun untuk menyelesaikan salah satu tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Atma Jaya Jakarta.
Harapan penyusun, referat ini dapat berguna sebagai bahan untuk pembelajaran bersama
baik bagi mahasiswa tingkat preklinik maupun mahasiswa tingkat klinik yang ingin mengetahui
lebih banyak tentang pemeriksaan neurologis yang penting pada pasien dengan penurunan
kesadaran/koma dan semua hal yang berkaitan dengannya.
Penyusun ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Titik Nurwahyuni,sp.S dan dr. Jimmy
Barus, sp.S selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam
pembuatan referat ini, dan juga kepada semua pihak yang terlibat dan mendukung proses
penyusunan referat ini.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................ii
Daftar Gambar...........................................................................................................................iii
Daftar Tabel...............................................................................................................................iv
Bab I. Pendahuluan...................................................................................................................1
I.1 Tujuan.............................................................................................................................1
I.2 Manfaat...........................................................................................................................2
Bab II Tinjauan Pustaka.............................................................................................................3
II.1 Definisi..........................................................................................................................3
II.2 Etiologi...........................................................................................................................4
II.3 Patofisiologi...................................................................................................................7
II.4 Klasifikasi.....................................................................................................................12
II.5 Pemeriksaan umum......................................................................................................12
II.5.1Anamnesa pada pasien koma.....................................................................................12
II.5.2Pemeriksaan fisik umum pada pasien koma..............................................................12
II.5.3Pemeriksaan neurologis pada pasien koma...............................................................13
II.5.4Hal yang perlu dipikirkan .........................................................................................29
II.5.5Pemeriksaan Penunjang............................................................................................30
Bab III. Kesimpulan.................................................................................................................32
Daftar Pustaka..........................................................................................................................33
Daftar Gambar
Gambar 1. Herniasi Otak............................................................................................................9
Gambar 2. Respon membuka mata (Eye opening)...................................................................14
Gambar 3. Reaksi pupil pada berbagai macam lesi..................................................................16
Gambar 4. Respon Okulosefalik dan Okulovestibular........................................................22
Gambar 5. Jenis gangguan pernapasan berdasarkan letak lesinya..........................................26
Gambar 6. Pergerakan spontan/ Postur..............................................................................28
Gambar 7. Berbagai metode untuk merangsang respon pada pasien yang tidak sadar............28
Daftar Tabel
Tabel 1. Tempat dan penyebab yang mungkin dari lesi struktural yang dapat menyebabkan
koma..........................................................................................................................4
Tabel 2. Penyebab Koma pada 500 Pasien yang Awalnya Didiagnosis sebagai ''Koma yang tidak
diketahui penyebabnya''.........................................................................................................5
Tabel 3. Contoh Penyebab Struktural Koma..............................................................................7
Tabel 4. Berbagai jenis herniasi dan pengaruhnya...................................................................10
Tabel 5. Istilah yang digunakan untuk gangguan kesadaran....................................................12
Tabel 6. Diagnosa bermakna pada pemeriksaan pupil.............................................................17
Tabel 7. Pergerakan mata spontan pada pasien yang tidak sadar.............................................20
Tabel 8. Neuropathologic Correlates of Breathing Abnormalities...........................................25
BAB I
PENDAHULUAN
Selama beberapa dasawarsa, ilmu pengetahuan serta teknologi kedokteran maju
dan berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan
bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai perkembangan
atau perjalanan penyakit. Disamping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik serta
mental masih tetap memainkan peranan penting.1
Meskipun ada keterbatasan yang jelas, pemeriksaan yang cermat terhadap pasien
stupor atau koma dapat menghasilkan informasi yang cukup tentang fungsi sistem saraf.
Sungguh luar biasa bahwa, dengan pengecualian fungsi kognitif, hampir semua bagian
dari sistem saraf, termasuk saraf kranial, dapat dievaluasi pada pasien koma. Demonstrasi
tanda-tanda penyakit serebral fokal atau batang otak atau iritasi meningeal ini terutama
bermanfaat dalam diagnosis diferensial dari penyakit yang menyebabkan pingsan dan
koma.3
Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf terutama pada pasien dengan
kesadaran menurun, diperlukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik , pemeriksaan
neurologis dan laboratorium (penunjang) . Dalam referat ini akan dibahas mengenai
pemeriksaan anamnesis , pemeriksaan fisik , pemeriksaan mental, pemeriksaan penunjang
( laboratorium ) pada umumnya dan pemeriksaan neurologis pada khususnya .
Pemeriksaan neurologis meliputi : pemeriksaan kesadaran , rangsang selaput otak, saraf
otak , sistem motorik , sistem sensorik refleks dan pemeriksaan mental ( fungsi luhur )
pada pasien dengan penurunan kesadaran atau koma. Pasien dalam keadaan penurunan
kesadaran yang sedang atau berat dapat dikategorikan sebagai stupor atau koma.1
I.1 TUJUAN
Mengetahui berbagai pemeriksaan neurologis yang penting pada pasien yang tidak sadar
I.2 MANFAAT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Kesadaran adalah tahap dimana terdapat kewaspadaan penuh terhadap diri dan
lingkungan sekitar.1 Pasien dalam keadaan penurunan kesadaran sedang atau berat dapat
dikategorikan sebagai stupor atau koma. Koma menunjuk pada keadaan klinis di mana
pasien tidak sadar dan tidak menanggapi rangsangan. Ini mungkin disebabkan oleh lesi
struktural ke batang otak, talamus, atau belahan otak, dan kelainan metabolik.
Koma harus dibedakan dari keadaan stupor di mana pasien tidak responsif tetapi
dengan rangsangan menunjukkan beberapa aktivitas. Koma harus dibedakan dari
keadaan vegetatif persisten, sindrom dengan beberapa penyebab di mana pasien
mengalami kerusakan otak yang parah, dan dimana koma telah maju ke keadaan sadar
tanpa terdeteksi.
Kesadaran, kewaspadaan terhadap diri dan lingkungan, membutuhkan baik
arousal maupun fungsi kognitif dimana struktur anatomi yang terlibat meliputi RAS dan
korteks serebral. Koma merupakan keadaan tidak sadar yang berbeda dengan sinkope.
Pengambilan oksigen oleh otak normal saat tidur atau meningkat selama terjadi rapid eye
movement namun pada koma CMRO2 (Cerebral metabolic rate of oxygen) ini
terganggu/mengalami penurunan. Koma secara klinis dipastikan dengan pemeriksaan
neurologis terutama respon terhadap stimulus dari luar. 5
Letargi, stupor dan koma biasanya tergantung dari respon pasien terhadap
stimulus verbal yang normal, teriakan, pergerakan atau rangsang nyeri. Sebutan ini tidak
digunakan secara kaku dan berguna untuk mencatat respon serta stimulus yang
menimbulkan respon tersebut. Terkadang tingkat kesadaran sulit atau tidak dapat
ditentukan dengan pasti (contoh nya apabila terdapat katatonia, depresi berat, blockade
neuromuscular, atau akinesia dan afasia). Confusional state dan delirium lebih
menunjukkan adanya gangguan atensi, gangguan fungsi kognitif dan terkadang
hiperaktivitas, dibandingkan menggambarkan adanya penurunan level kesadaran.5
II.2
Etiologi
Secara umum stupor dan koma dapat disebabkan menjadi tiga kategori besar :
Kelainan struktur intrakranial (33 %)
1.
3.
Tabel 1. Tempat dan penyebab yang mungkin dari lesi struktural yang dapat
menyebabkan koma1
Kompresif
Destruktif
Cerebral
Hemisfer cerebral
Diensefalon
Diensefalon
Thalamus ( perdarahan )
Thalamus ( infark )
Batang otak
Stupor atau koma yang disebabkan oleh penyakit mempengaruhi kedua hemisfer
otak atau batang otak. Lesi unilateral dari satu hemisfer tidak menyebabkan stupor atau
koma kecuali massa tersebut besar hingga menekan hemisfer kontralateral atau batang
otak. Koma yang disebabkan kelainan fokal di batang otak terjadi karena terganggunya
reticular activating system. Kelainan metabolik dapat menyebabkan gangguan kesadaran
karena efek yang luas terhadap formasio retikularis dan korteks serebral.
Tabel 2. Penyebab Koma pada 500 Pasien yang Awalnya Didiagnosis sebagai ''Koma
yang tidak diketahui penyebabnya''*1
I. Lesi Supratentorial
A. Rhinencephalic dan lesi subkortikal destruktif
101
2
1. Infark Thalamic
B. Massa lesi Supratentorial
1. Perdarahan
a. Intracerebral
(1) hipertensi
(2) Vascular anomali
(3) lainnya
b. Epidural
c. Subdural
d. Hipofisis pitam
2. Infark
a. Arteri oklusi
(1) trombotik
(2) embolik
b. Oklusi vena
3. Tumor
a. Dasar
b. Metastatis
4. Abses
a. Intraserebral
b. Subdural
5. Cedera kepala Tertutup
II. Lesi Subtentorial
A. Lesi Tekan
1. Cerebellar perdarahan
2. Fosa posterior subdural atau perdarahan ekstradural
3. Infark Cerebellar
2
99
76
44
36
5
3
4
26
2
9
7
5
2
2
7
2
5
6
5
1
1
65
12
5
1
2
4. Tumor Cerebellar
3
5. Abses Cerebellar
1
6. Aneurisma Basilar
0
B. Lesi iskemik
53
1. Perdarahn Pontin
11
2. Infark batang otak
40
3. Migrain Basilar
1
4. Demielinisasi Otak
1
III. Difus dan disfungsi metabolik otak
326
A. Gangguan otak intrinsik difus
38
1. Ensefalitis / encephalomyelitis
14
2. Perdarahan subarachnoid
13
3. Gegar otak, kejang, dan postictal
9
4. Gangguan saraf Primer
2
B. Ekstrinsik dan gangguan metabolik
288
1. Anoksia atau iskemia
10
2. Hipoglikemia
16
3. Gizi
1
4. Hepatik ensefalopati
17
5. Uremia dan dialisis
8
6. Penyakit Paru
3
7. Gangguan endokrin (Termasuk diabetes)
12
8. efek kanker jauh
0
9. Racun Obat
149
10. Ion dan gangguan asam-basa
12
11. Pengaturan Suhu
9
12. Campuran maupun spesifik koma metabolik
1
IV. Koma Psikiatri
8
A. Reaksi Konversi
4
B. Depresi
2
C. katatonik stupor
2
* Merupakan pasien untuk ahli saraf yang dikonsultasikan karena diagnosis awal yang pasti
dan dalam sebuah diagnosis akhir ditentukan. Dengan demikian, diagnosis pasti seperti
keracunan, meningitis, dan cedera kepala tertutup, dan kasus encephalopati metabolik
campuran dimana suatu diagnosa etiologi spesifik tidak pernah ditentukan.
Lesi Destruktif
Hemisfer cerebral
Hipoksia iskemik
Hipoglikemi
Vaskulitis
Ensefalitis
Leukoensefalopati
Penyakit prion
Leukoensefalopati yang
progresif
Diensefalon
Diensefalon
Perdarahan basal ganglia, tumor, infark dan Infark thalamus
abses
Tumor pituitary
Ensefalitis
Tumor Pineal
Fatal familial insomnia
Sindrom paraneoplastik
Tumor
Batang Otak
Batang Otak
Tumor cerebelar
Infark
Perdarahan cerebelar
Perdarahan
Abses cerebelar
Infeksi
II.3
multifokal
dan
Patofisiologi7
Mempertahankan kesadaran membutuhkan fungsi utuh dari kedua belahan otak
Biasanya, disfungsi RAS dapat timbul dari suatu kondisi yang memiliki efek menyebar,
seperti gangguan toksik atau metabolik (misalnya, hipoglikemia, hipoksia, uremia,
overdosis obat). Disfungsi RAS juga dapat disebabkan oleh iskemia fokal (misalnya,
infark batang otak),perdarahan, atau gangguan mekanik langsung.
Kondisi yang meningkatkan tekanan intrakranial dapat menurunkan tekanan perfusi otak,
mengakibatkan iskemia otak sekunder. Iskemia otak sekunder dapat mempengaruhi RAS
atau kedua belahan otak, dan merusak/mengganggu kesadaran.
Ketika kerusakan otak luas, herniasi otak memberikan kontribusi untuk kerusakan
neurologis karena langsung mengkompresi jaringan otak, meningkatkan tekanan
intrakranial, dan dapat menyebabkan hidrosefalus.
Herniasi otak
Karena tengkorak menjadi kaku setelah masa kanak-kanak, massa intrakranial atau edema
dapat meningkatkan tekanan intrakranial, kadang-kadang menyebabkan tonjolan
(herniasi) dari jaringan otak melalui salah satu sawar intrakranial yang rigid (lekukan
tentorial, falx cerebri, foramen magnum). Bila tekanan intrakranial cukup meningkat,
apapun penyebabnya, reflex Cushing dan gangguan otonom lainnya dapat terjadi.
Refleks Cushing meliputi hipertensi sistolik, peningkatan tekanan nadi, dan bradikardi.
Herniasi otak merupakan keadaan yang mengancam nyawa.
Herniasi Transtentorial: Lobus temporal medial ditekan oleh massa unilateral di bawah
tentorium yang menyokong lobus temporal. Lobus yang herniasi menyebabkan kompresi
pada struktur berikut:
1. saraf kranial III ipsilateral (seringkali yang paling pertama) dan arteri serebral
posterior
2. pedunculus serebri ipsilateral (dengan semakin berkembangnya herniasi)
3. Pada sekitar 5% dari pasien, saraf cranial III kontralateral dan pedunkulus serebri
4. Akhirnya, batang otak bagian atas dan daerah di dalam atau di sekitar thalamus
Herniasi Subfalcine: girus cingulata ditekan ke bawah cerebri falx oleh massa yang
meluas pada hemisfer otak. Dalam proses ini, salah satu atau kedua arteri serebral anterior
terjepit, menyebabkan infark dari korteks paramedian. Dengan meluasnya daerah infark,
pasien beresiko mengalami herniasi transtentorial, herniasi sentral, atau keduanya.
Herniasi Sentral: Kedua lobus temporal mengalami herniasi karena efek massa bilateral
atau edema otak difus. Pada akhirnya, kematian otak terjadi.
Herniasi transtentorial ke atas : Tipe ini dapat terjadi ketika massa infratentorial
(misalnya, tumor, perdarahan cerebellum) mengkompresi batang otak, memuntir dan
menyebabkan
iskemia
batang
otak.
Ventrikel
ke-3
posterior
menjadi
Mekanisme *
Temuan
Transtentorial
Paresis Oculomotor
Hemiparesis kontralateral
Gangguan kesadaran
Kelumpuhan kaki
Edema
Peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan
risiko
herniasi
transtentorial, herniasi sentral, atau
keduanya
Sentral
Kompresi dari
posterior
ventrikel
III
vaskular
Distorsi
dari
mesencephalon
Ataxia
Progresi
Somnolen
Gangguan respirasi
Hilangnya Refleks
progresif
Tonsil
batang
otak
II.4
Klasifikasi
Subakut / Kronik
Demensia
Hipersomnia
Abulic
Akinetik mutism
Minimal consciousness
Vegetative
Brain death
II.5
Pemeriksaan umum
5.
6.
Riwayat Trauma
7.
8.
Riwayat kejiwaan
9.
diperhatikan.
Status
responsif
kemudian
diperkirakan
dengan
pasien dengan koma. Grimacing dan deft avoidance movements dari bagian tubuh
yang distimulasi ditemukan pada koma ringan, adanya tanda tersebut menggambarkan
keutuhan dari jaras kortikobulbar dan kortikospinal.
Menguap dan pergerakan spontan posisi tubuh menunjukkan tingkat
ketidaksadaran yang minimal. GCS dapat digunakan sebagai alat ukur yang cepat dan
mudah untuk menilai tingkat kesadaran pasien dengan trauma otak yang berat, dapat
juga digunakan untuk menentukan tingkat penyakit akut yang menyebabkan koma,
namun kurang dapat digunakan untuk diagnosis. 3
1.
Membuka mata
Kelopak mata yang tertutup pada pasien koma menunjukkan bahwa pons
bagian bawah masih intak. Adanya reflex mengedip menunjukkan adanya
peran RAS. Walaupun demikian, mengedip dapat muncul dengan atau tanpa
gerakan spontan dari tungkai.5.
2.
Funduskopi :
Papilloedema merupakan salah satu tanda tekanan intrakranial yang
meningkat, tetapi tidak selalu muncul, terutama dalam situasi akut. Edema papil
biasanya terjadi pada peningkatan TIK setelah lebih dari 12 jam Tidak adanya suatu
edema papil menyingkirkan adanya peningkatan TIK. Pulsasi spontan dari vena sulit
diidentifikasikan, tetapi bila kita temukan menandakan TIK yang normal. Perdarahan
subhialoid yang berbentuk seperti globul bercak darah pada permukaan retina
biasanya berhubungan dengan terjadinya suatu perdarahan subarakhnoid.1,2
3.
Reaksi Pupil :
Ini merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada pasien koma. Yang perlu
diperhatikan adalah bentuk, ukuran dan kesimetrisan dari pupil. Sebuah cahaya yang
kuat harus digunakan karena respon pupil mungkin menjadi lesu di bawah sadar
pasien (cahaya optalmoskop tidak memadai). Reaksi cahaya yang negative sendiri
biasanya menyebabkan pembesaran pada pupil. Sebagai fenomena transititional, pupil
dapat menjadi oval atau pear shaped atau tampak lepas dari pertengahan karena
differential loss of innervations of a portion of the papillary sphincter.
Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya terus membesar hingga ukuran 6 9
mm dan kemudian secepatnya diikuti dengan deviasi ke luar yang ringan. Pada
keadaan yang jarang, tanpa diketahui penyebabnya, pupil kontralateral dari massa
mungkin membesar terlebih dahulu pada 10 % kasus hematoma subdural. Dengan
berlanjutnya gangguan otak tengah, kedua pupil berdilatasi dan menjadi tidak reaktif
terhadap cahaya mungkin sebagai akibat kompresi dari nucleus okulomotor pada
rostral otak tengah. Langkah terakhir pada evolusi kompresi batang otak adalah
reduksi ukuran pupil hingga 5-7 mm.2,3
1.
Pupil yang simetris dengan bentuk dan ukuran yang normal dan reaktif
terhadap rangsang cahaya menandakan midbrain dalam keadaan intak.
Pupil yang reaktif tanpa disertai respon dari kornea dan okulosefalik
menandakan suatu keadaan koma yang disebabkan kelainan metabolik.
2.
3.
4.
5.
6.
Pupil yang dilatasi/ membesar unilateral (diameter 5.5 mm) dan tidak
responsif merupakan tanda awal adanya penarikan atau kompresi dari
saraf ke III (okulomotor) dan menunjukkan adanya massa hemisfer
ipsilateral. 2,3
7.
8.
vasopresor adrenergik
Dilatasi ringan (4-6mm) atau Glutetimide (Doriden)
midposisi
dan tidak
reaktif
10.
Adanya reflex gerak bola mata yang terganggu menunjukkan bahwa koma bukan
disebabkan oleh kompresi atau dekstruksi dari otak tengah bagian atas. Melainkan
terdapat disfungsi serebral, seperti yang timbul pada anoxia serebral atau supresi
metabolic-toksik dari aktivitas kortikal. Walaupun begitu harus dicatat bahwa
intoksikasi sedative atau antikonvulsan dapat menyebabkan koma yang mungkin
dapat menutupi mekanisme batang otak untuk reaksi okulosefalik dan bahkan respon
okulovestibuler pada kasus yang ekstrim. Asimetris yang ditimbulkan oleh pergerakan
bola mata menjadi tanda adanya penyakit batang otak fokal. Pada koma akibat massa
besar pada salah satu hemisfer serebral yang secara sekunder mengkompresi batang
otak bagian atas, reflex okulosefalik biasanya terlihat, namun gerakan bola mata pada
sisi yang terdapat massa mungkin terhambat pada saat adduksi sebagai akibat paresis
nervus ketiga.3
1.
2.
2.
3.
3.
4.
Mata dapat bergerak ke bawah dan dalam pada hematoma atau lesi
iskemik dari thalamus dan otak tengah bagian atas( sebuah variasi dari
Parinaud Syndrome)
5.
6.
Ocular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata
ke arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat
menunjukkan kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.
7.
8.
9.
2.
3.
Respon Oculovestibular
Respon
okulovestibular
dinilai
dengan
tes
kalori
atau
tes
air dingin (atau air suhu ruang pada pasien tidak koma).3 Respon yang normal
terdiri dari deviasi tonik ke arah telinga yang diirigasi, diikuti dalam beberapa
detik dengan nistagmus cepat ke arah kontralateral (menjauhi sisi yang
dirangsang).1 Telinga diirigasi secara terpisah dengan selang waktu beberapa
menit. Pada pasien koma, tahap korektif nystagmus komponen cepat hilang
dan mata dibelokkan ke sisi yang diirigasi dengan air dingin atau menjauh dari
sisi yang diirigasi dengan air hangat; posisi ini mungkin akan bertahan selama
2 sampai 3 menit.3
Ketiadaan gerakan mata dalam respon terhadap tes okulovestibular
(refleks okulovestibular negatif/ menghilang) menandakan adanya koma yang
dalam karena depresi fungsi batang otak.1 Hal ini juga dapat menunjukkan
bahwa terjadi gangguan berat pada jalur tegmental otak di pons atau otak
tengah atau, seperti yang disebutkan, adanya overdosis obat penenang atau
obat bius. 3
1.
Jika hanya satu mata yang abduksi dan yang lainnya adduksi, dapat
disimpulkan bahwa fasciculus longitudinal medial telah terganggu (di
samping kelumpuhan adduktor).
2.
3.
4.
5.
Respon Kornea
Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi saraf kranial V (
aferen) dan saraf kranial VII (eferen).1 Berkurangnya frekuensi dan hilangnya reflex
berkedip spontan,kemudian hilangnya refleks berkedip terhadap respon sentuhan bulu
mata, dan akhirnya kurangnya respon untuk sentuhan kornea adalah tanda yang paling
dapat diandalkan pada koma yang dalam. Adanya asimetri yang nyata dalam respon
kornea dapat menunjukkan adanya lesi hemisfer kontralateral atau, lebih jarang lagi,
lesi ipsilateral di batang otak.3
12.
Pola pernafasan
1.
2.
3.
Apneustic breathing
Lesi pontine bagian bawah, biasanya karena oklusi arteri basilaris,
kadang-kadang menyebabkan pernapasan apneustic (jeda 2 sampai 3 detik
dalam inspirasi penuh) atau yang disebut CSR siklus pendek, di mana
beberapa napas yang dalam dan cepat bergantian dengan siklus apneu.3
4.
5.
dan
gerakan
mengambil
menandakan
bahwa
traktus
3.
2.
Gambar 8. Berbagai metode untuk merangsang respon pada pasien yang tidak sadar1
9. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit motoris
yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinskis menunjukkan koma akibat
struktural atau metabolik.
2.
3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ?
Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang dan
dahulu baik medis maupun neurologis.
4.
Kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir kali kontak dan
mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk menanyakan keadaan
pasien sebelum kejadian.
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan
terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain
:
5. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi bila telah
mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS)
ataupun Advance
secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat disertai keadaan lain
seperti sepsis, henti jantung, atau trauma
8. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :
a. Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN atau ureum, kreatinin)
b. Hitung darah lengkap
c. Analisa gas darah
d. Kalsium dan magnesium
e. Protrombin time (PT) / partial thromboplastin time (PTT)
9. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi, tes
fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia.
10. Lakukan pemasangan folley catheter
11. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen thoraks.
Keadaan pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik telah kita
lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari koma tersebut.
Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan talamus
BAB III
KESIMPULAN
Koma adalah keadaan klinis di mana pasien tidak sadar dan tidak
menanggapi rangsangan. Koma harus dibedakan dari keadaan stupor di mana pasien
tidak responsif tetapi dengan rangsangan menunjukkan beberapa aktivitas. Etiologi
koma secara umum disebabkan oleh kelainan struktur intrakranial seperti batang otak,
talamus, dan hemisfer otak.
Koma juga dapat disebabkan kelainan metabolik, kelainan psikiatris dan
kelainan metabolik. Pemeriksaan pada penderita koma dapat dimulai dari anamnesa
yang dapat diperoleh dari keluarga, teman atau pengantar.
Dari anamnesa perjalanan penyakit dapat diketahui penyebab koma seperti dapat
ditanyakan kapan onset dari koma , apakah ada trauma atau adakah penyakit sistemik
atau penggunaan obat obatan, dll. Pemeriksaan fisik umum tanda vital, tanda trauma,
tanda penyakit sistemik yang akut atau kronis, tanda penggunaan obat dan kaku kuduk.
Pemeriksaan neurologi yang terdiri dari respon verbal, membuka mata, funduskopi,
refleks pupil, pergerakan mata spontan, respon okulosefalik, respon okulovestibular
respon kornea, pola pernafasan, respon motorik, reflek.
Pemeriksaan penunjang penting untuk penentuan diagnosis yang cepat
pada etiologi pasien dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan
penunjang harus segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan seperti yang harus ditegakkan melalui pemeriksaan
pencitraan otak melalui CT (Computed Tomography) , MRI ( Magnetic Resonance
Imaging), LP (Lumbal punction) dan pemeriksaan darah.
Maka dari itu, sangatlah penting bagi tenaga kesehatan terutama dokter
baik dokter umum maupun dokter spesialis untuk mengetahui pemeriksaan koma
terutama pemeriksaan neurologis pada pasien koma untuk mengetahui kelainan kelainan yang terjadi pada pasien koma itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. PLUM AND POSNERS DIAGNOSIS OF STUPOR AND COMA Fourth Edition
2007
2. Jurnal Royal Society of Medicine Volume 92 Juli 1999
3. Ropper, Allan H.; Brown, Robert H. Adams & Victors' Principles of Neurology,
8th Edition. McGraw-Hill. 2005
4. William Demyer. Technique of the Neurologic Examination. 1994
5. Rowland, Lewis P. Merritt's Neurology, 11th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins.2005.
6. Lindsay
7. http://www.merckmanuals.com/professional/sec16/ch212/ch212a.html
KOMA/KESADARAN MENURUN
2
LAKUKAN PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Derajat kesadaran
Respons motorik
Pola pernafasan
3
TELUSURI RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG, TERMASUK
RIWAYAT PAPARAN OBAT-OBATAN ATAU ZAT KIMIA
LAINNYA
DIAGNOSIS KERJA
CURIGA
CURIGA LESI NON
STRUKTURAL
LESI STRUKTURAL
9
CT SCAN KEPALA TANPA KONTRAS
10
Hipoglikemia
Krisis hiperglikemia
Gangguan elektrolit
Overdosis obatobatan/drug abuse
Ensefalopati anoksik
Intoksikasi
Endokrinopati
Ensefalopati septic
Ensefalopati hepatik
Trauma kepala
Stroke iskemik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subaraknoid
Infeksi SSP
Tumor otak/SOL
Status epileptikus
11
12
PENJELASAN
Langkah 0
I. Tentukan tingkat responsif pasien
a. Observasi: mata tertutup, imobilitas, ekspresi wajah, reaksi terhadap stimulus
b. Tentukan respon terhadap berbagai tingkat stimulus
i. Stimulus verbal
ii. Stimulus taktil/raba
iii. Stimulus nyeri. Stimulus ini dilakukan dengan intens tetapi jangan
sampai menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Manuver yang
direkomendasikan adalah manipulasi sternal, penekanan pada kuku jari,
penekanan daerah supraorbita, atau aspek posterior ramus
mandibularis
Langkah 1
II. ABC (Airway, Breathing, Circulation) dinilai dan dilakukan tindakan yang sesuai
III. Lakukan pemeriksaan yang cepat terhadap kondisi kepala dan leher, toraks, abdomen,
dan ekstremitas. Lakukan imobilisasi vertebra servikal jika dicurigai adanya trauma
servikal
IV. Lakukan pemeriksaan kadar gula darah secara bedside. Jika kadar gula darah <70
mg/dL berikan D50 25 cc. Berikan juga Tiamin 100 mg iv bersamaan dengan
glukosa jika dicurigai adanya risiko defisiensi (pengguna alkohol, kondisi
malabsorbsi)
V. Jika dicurigai adanya toksisitas opioid (riwayat pengguna obat-obatan terlarang, koma,
bradipnea, konstriksi pupil), berikan nalokson 0,4 0,8 mg iv dan ulangi jika
diperlukan
Langkah 2
VI. Assessment neurologis pada pasien dengan penurunan kesadaran terdiri dari 3 bagian
penting:
a. Derajat kesadaran: dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
b. Pemeriksaan fungsi batang otak:
i. Bentuk, ukuran, dan reaktivitas pupil
ii. Refleks kornea
iii. Refleks ancam
iv. Refleks okulosefalik (dilakukan hanya jika tidak ada kecurigaan trauma
servikal)
v. Refleks vestibulo-okulosefalik (tes kalori)
vi. Refleks muntah
vii. Refleks batuk
c. Fungsi motorik: nilai ada tidaknya postur/posisi otot spontan, respon terhadap
perintah, respon terhadap stimulus nyeri. Pemeriksa harus membedakan
aktivitas yang refleksif atau bertujuan (purposeful)
i. Aktivitas refleksif: fleksi/ekstensi/menghindar dari rangsang nyeri
ii. Aktivitas bertujuan(purposeful): mengikuti perintah, melokalisir nyeri.
VII. Pola pernafasan dapat menunjukkan lokasi utama kerusakan di batang otak pada pasien
koma
a. Hiperventilasi neurogenik sentral: lesi pons atau mesensefalon
b. Cluster (Biot): pons
c. Tidak adanya reaksi nafas spontan, pernafasan ataksik, pernafasan cluster: lesi
melibatkan medula oblongata
Langkah 3
VIII.
Langkah 4
IX. Pemeriksaan laboratorium. Selain penyebab penurunan kesadaran yang reversibel telah
ditemukan dan ditatalaksana dengan sesuai, pemeriksaan laboratorium berikut
PERLU DILAKUKAN SEGERA
a. Kimia darah: kadar Natrium, kalium, kreatinin, ureum, dan transaminase serum
(SGOT/SGPT)
b. Panel hematologis: Hb/Ht, Jumah trombosit, jumlah leukosit
c. Analisis gas darah
d. Kadar alkohol darah; skrining toksikologi melalui pemeriksaan urin, mancakup
opioid, benzodiazepin
e. Urinalisis; kultur darah dan urin
Langkah 5
X. Diagnosis kerja. Informasi yang didapatkan melalui langkah 1 4 digunakan untuk
menegakkan diagnosis kerja, terutama (setidaknya) untuk menyimpulkan apakah
penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan struktural susunan saraf pusat
atau tidak, atau penyebab lain yang belum diketahui
Langkah 6
XI. Sampai terbukti tidak, koma selalu dipertimbangkan sebagai akibat dari kerusakan
struktural SSP, sehingga sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan CT Scan
kepala, karena konsultasi bedah saraf cito mungkin diperlukan.
XII. Etiologi struktural perlu dipertimbangkan jika ditemukan
a. Riwayat: trauma kepala, gejala dan tanda dengan onset akut, AIDS, keganasan
b. Pemeriksaan Fisik: asimetri nervi kraniales, asimetri respon motorik
c. Tidak ditemukannya atiologi toksik-metabolik
XIII.
Pasien dengan kejang pertama kali, perubahan pada bentuk kejang, atau status
epileptikus harus dievaluasi perihal kemungkinan adanya kausa struktural
Langkah 7
XIV.
Langkah 8
XV. Pada sejumlah pasien, etiologi penurunan kesadaran/koma belum dapat diidentifikasi
melalui langkah 1 4. Untuk itu HARUS dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala non
kontras (langkah 9) dan pemeriksaan lain, jika hasil CT Scan kepala normal
(Langkah 12)
Langkah 9
XVI.
XVII.
CT Scan kepala non kontras harus segera dilakukan pada pasien koma dengan
kecurigaan adanya lesi struktural SSP, dan pada pasien dengan kausa yang tidak
jelas
Jika dicurigai adanya infeksi SSP, CT Scan kepala tanpa kontras juga diperlukan
untuk mengevaluasi ada tidaknya abses, hidrosefalus, transformasi hemoragik, dan
infark vaskulitis
Langkah 10
XVIII. Kausa nonstruktural termasuk ensefalopati anoksik-iskemik, gangguan metabolik,
endokrinopati, infeksi sistemik, overdosis obat-obatan, alkohol dan obat-obatan
terlarang, dan paparan toksin
XIX.
Tatalaksana terkait kausa, untuk obat-obatan atau toksin diperlukan antidot yang
sesuai, misalnya:
a. Overdosis opioid: nalokson
b. Overdosis asetaminofen: N-asetilsistein
XX.
Pada kasus tertentu, misalnya gagal hati akut, ensefalopati metabolik yang terjadi
dapat berkembang ke arah gangguan struktural, seperti udem serebri atau herniasi
XXI.
Kejang dan status epileptikus biasanya tidak disertai dengan adanya kelainan pada
pemeriksaan CT Scan kepala. Meski demikian, pada pasien dengan kejang pertama
atau perubahan pada bentuk kejang harus dipertimbangkan lebih dahulu adanya lesi
struktural
XXII. Infeksi SSP (misalnya meningitis bakterial) mungkin tidak disertai kelainan
struktural pada pemeriksaan CT Scan Kepala tanpa kontras. Meski demikian
pemeriksaan ini tetap diperlukan untuk menyingkirkan adanya abses
a. Jika dicurigai adanya meningitis bakterial, harus segera diberikan antibiotika
spektrum luas dan kortikosteroid, tanpa menunggu hasil CT Scan atau LP
Langkah 11
XXIII. Kausa struktural dari koma termasuk trauma, stroke iskemik/hemoragik. Tumor
otak, dan infeksi SSP
XXIV. Penatalaksanaan sebaiknya dimulai bersamaan dengan konsultasi Neurologi
dan/atau bedah saraf
Langkah 12
XXV.
Jika ketidakpastian diagnosis masih terjadi meski telah dilakukan langkah 1 11,
pemeriksaan tambahan perlu dilakukan
a. CT Scan kepala tanpa kontras dilakukan pada semua pasien koma yang
etiologinya belum jelas
b. EEG, dilakukan untuk menyingkirkan status epileptikus non konvulsi
c. Pungsi lumbal dilakukan jika ada kecurigaan infeksi SSP, inflamasi, infiltrasi
limfoma atau sel ganas, atau perdarahan subaraknoid yang tidak terdeteksi oleh
CT Scan kepala. Sebelum dilakukan LP, adanya SOL harus disingkirkan dengan
pemeriksaan CT Scan kepala
d. MRI kepala dilakukan jika dicurigai adanya stroke iskemik hiperakut, atau
penyebab koma/penurunan kesadaran belum bisa dijelaskan melalui
pemeriksaan-pemeriksaan yang telah dilakukan.
Diadaptasi dari:
Robert D. Stevens & J. Stephen Huff, Emergency Neurological Life Support: Coma Algorithm.