Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
PADA PASIEN KOMA

Pembimbing :
Dr C Titik Nurwahyuni, sp.S
Dr Jimmy Barus, sp.S

Disusun oleh :
Vanya Pratita S.

2009-061-115

Hendrawan Ariwibowo

2009-061-264

Raymond Young

2009-061-265

Bagian Ilmu Penyakit Saraf


Kepaniteraan Klinik RS Atmajaya Jakarta
Periode 10 Januari 12 Februari 2011

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.
Adapun referat ini berjudul Pemeriksaan Neurologis pada Pasien Koma dan
disusun untuk menyelesaikan salah satu tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Atma Jaya Jakarta.
Harapan penyusun, referat ini dapat berguna sebagai bahan untuk pembelajaran bersama
baik bagi mahasiswa tingkat preklinik maupun mahasiswa tingkat klinik yang ingin mengetahui
lebih banyak tentang pemeriksaan neurologis yang penting pada pasien dengan penurunan
kesadaran/koma dan semua hal yang berkaitan dengannya.
Penyusun ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Titik Nurwahyuni,sp.S dan dr. Jimmy
Barus, sp.S selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam
pembuatan referat ini, dan juga kepada semua pihak yang terlibat dan mendukung proses
penyusunan referat ini.

Referat ini tentulah masih banyak kekurangannya. Untuk itu penyusun


mengharapkan ide, saran, kritik yang membangun dari para pembaca demi kelengkapan
referat ini.
Besar harapan penulis referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
melengkapi wawasan pembaca terutama di bidang kedokteran pada umumnya, dan
khususnya dalam bidang ilmu penyakit saraf.

Jakarta, Februari 2011


Tim penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................ii
Daftar Gambar...........................................................................................................................iii
Daftar Tabel...............................................................................................................................iv
Bab I. Pendahuluan...................................................................................................................1
I.1 Tujuan.............................................................................................................................1
I.2 Manfaat...........................................................................................................................2
Bab II Tinjauan Pustaka.............................................................................................................3
II.1 Definisi..........................................................................................................................3
II.2 Etiologi...........................................................................................................................4
II.3 Patofisiologi...................................................................................................................7
II.4 Klasifikasi.....................................................................................................................12
II.5 Pemeriksaan umum......................................................................................................12
II.5.1Anamnesa pada pasien koma.....................................................................................12
II.5.2Pemeriksaan fisik umum pada pasien koma..............................................................12
II.5.3Pemeriksaan neurologis pada pasien koma...............................................................13
II.5.4Hal yang perlu dipikirkan .........................................................................................29
II.5.5Pemeriksaan Penunjang............................................................................................30
Bab III. Kesimpulan.................................................................................................................32
Daftar Pustaka..........................................................................................................................33

Daftar Gambar
Gambar 1. Herniasi Otak............................................................................................................9
Gambar 2. Respon membuka mata (Eye opening)...................................................................14
Gambar 3. Reaksi pupil pada berbagai macam lesi..................................................................16
Gambar 4. Respon Okulosefalik dan Okulovestibular........................................................22
Gambar 5. Jenis gangguan pernapasan berdasarkan letak lesinya..........................................26
Gambar 6. Pergerakan spontan/ Postur..............................................................................28
Gambar 7. Berbagai metode untuk merangsang respon pada pasien yang tidak sadar............28

Daftar Tabel
Tabel 1. Tempat dan penyebab yang mungkin dari lesi struktural yang dapat menyebabkan
koma..........................................................................................................................4
Tabel 2. Penyebab Koma pada 500 Pasien yang Awalnya Didiagnosis sebagai ''Koma yang tidak
diketahui penyebabnya''.........................................................................................................5
Tabel 3. Contoh Penyebab Struktural Koma..............................................................................7
Tabel 4. Berbagai jenis herniasi dan pengaruhnya...................................................................10
Tabel 5. Istilah yang digunakan untuk gangguan kesadaran....................................................12
Tabel 6. Diagnosa bermakna pada pemeriksaan pupil.............................................................17
Tabel 7. Pergerakan mata spontan pada pasien yang tidak sadar.............................................20
Tabel 8. Neuropathologic Correlates of Breathing Abnormalities...........................................25

BAB I
PENDAHULUAN
Selama beberapa dasawarsa, ilmu pengetahuan serta teknologi kedokteran maju
dan berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan
bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai perkembangan
atau perjalanan penyakit. Disamping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik serta
mental masih tetap memainkan peranan penting.1
Meskipun ada keterbatasan yang jelas, pemeriksaan yang cermat terhadap pasien
stupor atau koma dapat menghasilkan informasi yang cukup tentang fungsi sistem saraf.
Sungguh luar biasa bahwa, dengan pengecualian fungsi kognitif, hampir semua bagian
dari sistem saraf, termasuk saraf kranial, dapat dievaluasi pada pasien koma. Demonstrasi
tanda-tanda penyakit serebral fokal atau batang otak atau iritasi meningeal ini terutama
bermanfaat dalam diagnosis diferensial dari penyakit yang menyebabkan pingsan dan
koma.3
Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf terutama pada pasien dengan
kesadaran menurun, diperlukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik , pemeriksaan
neurologis dan laboratorium (penunjang) . Dalam referat ini akan dibahas mengenai
pemeriksaan anamnesis , pemeriksaan fisik , pemeriksaan mental, pemeriksaan penunjang
( laboratorium ) pada umumnya dan pemeriksaan neurologis pada khususnya .
Pemeriksaan neurologis meliputi : pemeriksaan kesadaran , rangsang selaput otak, saraf
otak , sistem motorik , sistem sensorik refleks dan pemeriksaan mental ( fungsi luhur )
pada pasien dengan penurunan kesadaran atau koma. Pasien dalam keadaan penurunan
kesadaran yang sedang atau berat dapat dikategorikan sebagai stupor atau koma.1
I.1 TUJUAN
Mengetahui berbagai pemeriksaan neurologis yang penting pada pasien yang tidak sadar

I.2 MANFAAT

-Memberikan pengetahuan tenaga kesehatan mengenai cara pemeriksaan neurologis pada


pasien yang tidak sadar
-Membantu tenaga kesehatan dalam mengintepretasi hasil yang diperoleh setelah
pemeriksaan neurologis pada pasien tidak sadar

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI
Kesadaran adalah tahap dimana terdapat kewaspadaan penuh terhadap diri dan
lingkungan sekitar.1 Pasien dalam keadaan penurunan kesadaran sedang atau berat dapat
dikategorikan sebagai stupor atau koma. Koma menunjuk pada keadaan klinis di mana
pasien tidak sadar dan tidak menanggapi rangsangan. Ini mungkin disebabkan oleh lesi
struktural ke batang otak, talamus, atau belahan otak, dan kelainan metabolik.
Koma harus dibedakan dari keadaan stupor di mana pasien tidak responsif tetapi
dengan rangsangan menunjukkan beberapa aktivitas. Koma harus dibedakan dari
keadaan vegetatif persisten, sindrom dengan beberapa penyebab di mana pasien
mengalami kerusakan otak yang parah, dan dimana koma telah maju ke keadaan sadar
tanpa terdeteksi.
Kesadaran, kewaspadaan terhadap diri dan lingkungan, membutuhkan baik
arousal maupun fungsi kognitif dimana struktur anatomi yang terlibat meliputi RAS dan
korteks serebral. Koma merupakan keadaan tidak sadar yang berbeda dengan sinkope.
Pengambilan oksigen oleh otak normal saat tidur atau meningkat selama terjadi rapid eye
movement namun pada koma CMRO2 (Cerebral metabolic rate of oxygen) ini
terganggu/mengalami penurunan. Koma secara klinis dipastikan dengan pemeriksaan
neurologis terutama respon terhadap stimulus dari luar. 5
Letargi, stupor dan koma biasanya tergantung dari respon pasien terhadap
stimulus verbal yang normal, teriakan, pergerakan atau rangsang nyeri. Sebutan ini tidak
digunakan secara kaku dan berguna untuk mencatat respon serta stimulus yang
menimbulkan respon tersebut. Terkadang tingkat kesadaran sulit atau tidak dapat
ditentukan dengan pasti (contoh nya apabila terdapat katatonia, depresi berat, blockade
neuromuscular, atau akinesia dan afasia). Confusional state dan delirium lebih
menunjukkan adanya gangguan atensi, gangguan fungsi kognitif dan terkadang
hiperaktivitas, dibandingkan menggambarkan adanya penurunan level kesadaran.5

II.2

Etiologi

Secara umum stupor dan koma dapat disebabkan menjadi tiga kategori besar :
Kelainan struktur intrakranial (33 %)

1.

Kebanyakan kasus ditegakkan melalui pemeriksaan imajing otak computed


tomography [CT] , magnetic resonance imaging [MRI] atau melalui lumbal punksi
[LP].
2.

Kelainan metabolik atau keracunan (66%) Dikonfirmasi melalui pemeriksaan


darah.

3.

Kelainan psikiatri (1%)

Tabel 1. Tempat dan penyebab yang mungkin dari lesi struktural yang dapat
menyebabkan koma1
Kompresif

Destruktif

Cerebral

Hemisfer cerebral

Hematom subdural hematom

Kortek ( akut anoksik injury )


Subkortikal white matter ( delayed anoxic
injury )

Diensefalon

Diensefalon

Thalamus ( perdarahan )

Thalamus ( infark )

Hipothalamus ( tumor pituitary )


Batang otak

Batang otak

Otak tengah ( herniasi uncal )

Otak tengah, pons ( infark )

Cerebelum ( tumor, perdarahan, abses )

Stupor atau koma yang disebabkan oleh penyakit mempengaruhi kedua hemisfer
otak atau batang otak. Lesi unilateral dari satu hemisfer tidak menyebabkan stupor atau
koma kecuali massa tersebut besar hingga menekan hemisfer kontralateral atau batang
otak. Koma yang disebabkan kelainan fokal di batang otak terjadi karena terganggunya
reticular activating system. Kelainan metabolik dapat menyebabkan gangguan kesadaran
karena efek yang luas terhadap formasio retikularis dan korteks serebral.

Tiga penyebab koma yang

dapat cepat menyebabkan kematian dan dapat

ditangani antara lain :


1.

Herniasi dan penekanan batang otak :


space occupying lesion yang menyebabkan koma merupakan keadaan emergensi
bedah saraf.

2. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) : peningkatan tekanan intrakranial dapat


menyebabkan gangguan perfusi otak dan global hypoxic-ischemic injury.
3. Meningitis atau encephalitis : kematian akibat meningitis bakterialis atau herpes
encephalitis dapat dicegah dengan terapi secepatnya.

Tabel 2. Penyebab Koma pada 500 Pasien yang Awalnya Didiagnosis sebagai ''Koma
yang tidak diketahui penyebabnya''*1
I. Lesi Supratentorial
A. Rhinencephalic dan lesi subkortikal destruktif

101
2

1. Infark Thalamic
B. Massa lesi Supratentorial
1. Perdarahan
a. Intracerebral
(1) hipertensi
(2) Vascular anomali
(3) lainnya
b. Epidural
c. Subdural
d. Hipofisis pitam
2. Infark
a. Arteri oklusi
(1) trombotik
(2) embolik
b. Oklusi vena
3. Tumor
a. Dasar
b. Metastatis
4. Abses
a. Intraserebral
b. Subdural
5. Cedera kepala Tertutup
II. Lesi Subtentorial
A. Lesi Tekan
1. Cerebellar perdarahan
2. Fosa posterior subdural atau perdarahan ekstradural
3. Infark Cerebellar

2
99
76
44
36
5
3
4
26
2
9
7
5
2
2
7
2
5
6
5
1
1
65
12
5
1
2

4. Tumor Cerebellar
3
5. Abses Cerebellar
1
6. Aneurisma Basilar
0
B. Lesi iskemik
53
1. Perdarahn Pontin
11
2. Infark batang otak
40
3. Migrain Basilar
1
4. Demielinisasi Otak
1
III. Difus dan disfungsi metabolik otak
326
A. Gangguan otak intrinsik difus
38
1. Ensefalitis / encephalomyelitis
14
2. Perdarahan subarachnoid
13
3. Gegar otak, kejang, dan postictal
9
4. Gangguan saraf Primer
2
B. Ekstrinsik dan gangguan metabolik
288
1. Anoksia atau iskemia
10
2. Hipoglikemia
16
3. Gizi
1
4. Hepatik ensefalopati
17
5. Uremia dan dialisis
8
6. Penyakit Paru
3
7. Gangguan endokrin (Termasuk diabetes)
12
8. efek kanker jauh
0
9. Racun Obat
149
10. Ion dan gangguan asam-basa
12
11. Pengaturan Suhu
9
12. Campuran maupun spesifik koma metabolik
1
IV. Koma Psikiatri
8
A. Reaksi Konversi
4
B. Depresi
2
C. katatonik stupor
2
* Merupakan pasien untuk ahli saraf yang dikonsultasikan karena diagnosis awal yang pasti
dan dalam sebuah diagnosis akhir ditentukan. Dengan demikian, diagnosis pasti seperti
keracunan, meningitis, dan cedera kepala tertutup, dan kasus encephalopati metabolik
campuran dimana suatu diagnosa etiologi spesifik tidak pernah ditentukan.

Tabel 3. Contoh penyebab struktural Koma1


Lesi Kompresif
Hemisfer cerebral
Hematom epidural dan subdural, tumor dan
abses
Perdarahan subaraknoid, infeksi ( meningitis
), tumor ( neoplasma leptomeningeal )
Perdarahan intracerebral, infark, tumor dan
abses

Lesi Destruktif
Hemisfer cerebral
Hipoksia iskemik
Hipoglikemi
Vaskulitis

Ensefalitis
Leukoensefalopati
Penyakit prion
Leukoensefalopati yang
progresif
Diensefalon
Diensefalon
Perdarahan basal ganglia, tumor, infark dan Infark thalamus
abses
Tumor pituitary
Ensefalitis
Tumor Pineal
Fatal familial insomnia
Sindrom paraneoplastik
Tumor
Batang Otak
Batang Otak
Tumor cerebelar
Infark
Perdarahan cerebelar
Perdarahan
Abses cerebelar
Infeksi
II.3

multifokal

dan

Patofisiologi7
Mempertahankan kesadaran membutuhkan fungsi utuh dari kedua belahan otak

dan mempertahankan mekanisme arousal dalam system aktivasi retikuler (Reticular


Activating System -juga dikenal sebagai sistem ascending arousal), suatu jaringan nucleus
yang luas dan serat yang saling berhubungan di atas pons, otak tengah, dan diencephalon
posterior. Oleh karena itu, mekanisme gangguan kesadaran harus melibatkan kedua
belahan otak atau disfungsi dari RAS.
Untuk dapat mengganggu kesadaran, disfungsi serebral harus bilateral; gangguan pada 1
sisi belahan otak tidak cukup, meskipun dapat menyebabkan defisit neurologis
berat. Namun, jarang, sebuah lesi fokal unilateral besar (misalnya, stroke arteri serebral
media kiri) merusak kesadaran jika sudah terkompensasi oleh belahan otak kontralateral.

Biasanya, disfungsi RAS dapat timbul dari suatu kondisi yang memiliki efek menyebar,
seperti gangguan toksik atau metabolik (misalnya, hipoglikemia, hipoksia, uremia,
overdosis obat). Disfungsi RAS juga dapat disebabkan oleh iskemia fokal (misalnya,
infark batang otak),perdarahan, atau gangguan mekanik langsung.
Kondisi yang meningkatkan tekanan intrakranial dapat menurunkan tekanan perfusi otak,
mengakibatkan iskemia otak sekunder. Iskemia otak sekunder dapat mempengaruhi RAS
atau kedua belahan otak, dan merusak/mengganggu kesadaran.
Ketika kerusakan otak luas, herniasi otak memberikan kontribusi untuk kerusakan
neurologis karena langsung mengkompresi jaringan otak, meningkatkan tekanan
intrakranial, dan dapat menyebabkan hidrosefalus.
Herniasi otak
Karena tengkorak menjadi kaku setelah masa kanak-kanak, massa intrakranial atau edema
dapat meningkatkan tekanan intrakranial, kadang-kadang menyebabkan tonjolan
(herniasi) dari jaringan otak melalui salah satu sawar intrakranial yang rigid (lekukan
tentorial, falx cerebri, foramen magnum). Bila tekanan intrakranial cukup meningkat,
apapun penyebabnya, reflex Cushing dan gangguan otonom lainnya dapat terjadi.
Refleks Cushing meliputi hipertensi sistolik, peningkatan tekanan nadi, dan bradikardi.
Herniasi otak merupakan keadaan yang mengancam nyawa.
Herniasi Transtentorial: Lobus temporal medial ditekan oleh massa unilateral di bawah
tentorium yang menyokong lobus temporal. Lobus yang herniasi menyebabkan kompresi
pada struktur berikut:
1. saraf kranial III ipsilateral (seringkali yang paling pertama) dan arteri serebral
posterior
2. pedunculus serebri ipsilateral (dengan semakin berkembangnya herniasi)
3. Pada sekitar 5% dari pasien, saraf cranial III kontralateral dan pedunkulus serebri
4. Akhirnya, batang otak bagian atas dan daerah di dalam atau di sekitar thalamus

Herniasi Subfalcine: girus cingulata ditekan ke bawah cerebri falx oleh massa yang
meluas pada hemisfer otak. Dalam proses ini, salah satu atau kedua arteri serebral anterior
terjepit, menyebabkan infark dari korteks paramedian. Dengan meluasnya daerah infark,
pasien beresiko mengalami herniasi transtentorial, herniasi sentral, atau keduanya.
Herniasi Sentral: Kedua lobus temporal mengalami herniasi karena efek massa bilateral
atau edema otak difus. Pada akhirnya, kematian otak terjadi.
Herniasi transtentorial ke atas : Tipe ini dapat terjadi ketika massa infratentorial
(misalnya, tumor, perdarahan cerebellum) mengkompresi batang otak, memuntir dan
menyebabkan

iskemia

batang

otak.

Ventrikel

ke-3

posterior

menjadi

terkompresi. Herniasi ke atas juga mendistorsi pembuluh darah mesencephalon,


mengkompresi vena Galen dan Rosenthal, dan menyebabkan infark cerebellar superior
karena oklusi arteri cerebellar superior.
Herniasi tonsil: Biasanya, penyebabnya adalah massa infratentorial yang meluas
(misalnya, perdarahan cerebellum). Tonsil cerebellar, didorong melalui foramen magnum,
menyebabkan kompresi batang otak dan menghambat aliran LCS.

Gambar 1. Herniasi Otak. 7

Tabel 4. Berbagai jenis herniasi dan pengaruhnya7


Jenis herniasi

Mekanisme *

Temuan

Transtentorial

Kompresi dari saraf cranial III


ipsilateral

Dilatasi pupil unilateral terfiksasi

Kompresi arteri serebral posterior

Hemianopia kontralateral homonymous

Paresis Oculomotor

Tidak adanya reflex berkedip dalam


menanggapi ancaman visual
Kompresi dari saraf cranial III
kontralateral dan batang otak

Dilatasi pupil kontralateral dan paresis


oculomotor
Hemiparesis ipsilateral

Kompresi dari pedunkulus serebral


ipsilateral

Hemiparesis kontralateral

Kompresi batang otak bagian atas


dan daerah di dalam dan sekitar
thalamus

Gangguan kesadaran

Efek lebih lanjut dari batang otak

Hilangnya refleks oculocephalic

Pola pernapasan abnormal


Pupil anisokor terfiksasi

Hilangnya refleks kornea


Sikap decerebrasi
Subfalcine
(cingulate)

Penjepitan salah satu atau kedua


arteri
serebral
anterior,
menyebabkan
infark
dari
korteks paramedian

Kelumpuhan kaki

Perluasan daerah infark

Edema
Peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan
risiko
herniasi
transtentorial, herniasi sentral, atau
keduanya

Sentral

Bilateral, kerusakan lebih atau


kurang simetris ke otak tengah

Pupil terfiksasi di midposition


Decerebrasi
Banyak gejala yang sama seperti
herniasi transtentorial

Efek lebih lanjut dari batang otak

Hilangnya semua refleks batang otak

Hilangnya sikap decerebrate


Penghentian respirasi
Kematian otak
Ke atas transtentorial

Kompresi dari
posterior

ventrikel

III

Hidrosefalus, yang meningkatkan


tekanan intrakranial

vaskular

Awal: Mual, muntah, sakit kepala


bagian oksipital, ataksia

Kompresi dari vena Galen dan


Rosenthal

Kemudian: mengantuk, gangguan


nafas, kehilangan refleks batang
otak merata dan progresif

Distorsi
dari
mesencephalon

Infark cerebellar superior karena


oklusi arteri cerebellar superior
massa di Fossa posterior (misalnya,
perdarahan cerebellum)

Ataxia

Progresi

Somnolen
Gangguan respirasi
Hilangnya Refleks
progresif

Tonsil

Kompresi batang otak

batang

otak

Hidrosefalus akut (dengan kesadaran


terganggu, sakit kepala, muntah,
dan meningismus)

Obstruksi aliran CSF

Dysconjugate gerakan mata


Kemudian, henti napas dan henti
jantung
* Tidak semua mekanisme terjadi pada setiap pasien.

II.4

Klasifikasi

Tabel 5. Istilah yang digunakan untuk gangguan kesadaran1


Akut
Berkabut
Delirium
Obtundation
Stupor
Coma
Locked in ( bukan koma )

Subakut / Kronik
Demensia
Hipersomnia
Abulic
Akinetik mutism
Minimal consciousness
Vegetative
Brain death

II.5

Pemeriksaan umum

II.5.1 Anamnesa ( dari keluarga, teman atau pengantar )1


Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan penyakit melalui
keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir kontak dengan pasien
dengan menanyakan :
4.

Onset koma (mendadak, bertahap)

5.

Keluhan sekarang ( sakit kepala, depresi, kelumpuhan fokal, vertigo)

6.

Riwayat Trauma

7.

Riwayat penyakit dahulu (diabetes, gagal ginjal, sakit jantung)

8.

Riwayat kejiwaan

9.

Riwayat penggunaan obat (sedatif, obat psikotropika)

II.5.2 Pemeriksaan Fisik Umum


1. Tanda vital
2. Tanda trauma
3. Tanda penyakit sistemik yang akut atau kronis
4. Tanda penggunaan obat (bekas jarum, nafas bau alkohol)
5. Kaku kuduk (pastikan tidak ada trauma servikal)

II.5.3 Pemeriksaan Neurologis pada pasien koma


Pemeriksaan neurologis pada pasien koma sangatlah penting. Hanya dengan
memperhatikan pasien untuk beberapa saat seringkali memberikan banyak informasi.
Postur predominan dari tungkai dan badan, ada atau tidaknya gerakan spontan pada
satu sisi, posisi kepala dan mata, serta frekuensi, kedalaman dan ritme napas
sebaiknya

diperhatikan.

Status

responsif

kemudian

diperkirakan

dengan

memperhatikan reaksi pasien saat namanya dipanggil, terhadap perintah sederhana,


atau pada stimulus seperti penekanan pada supraorbital atau sternum, mencubit sisi
leher atau bagian dalam dari lengan atau paha.
Dengan secara bertahap meningkatkan kekuatan stimulus ini, kita dapat
memperkirakan tingkat ketidaksadaran dan perubahan setiap jamnya. Verbalisasi
dapat menetap pada pasien stupor dan merupakan respon pertama yang hilang pada

pasien dengan koma. Grimacing dan deft avoidance movements dari bagian tubuh
yang distimulasi ditemukan pada koma ringan, adanya tanda tersebut menggambarkan
keutuhan dari jaras kortikobulbar dan kortikospinal.
Menguap dan pergerakan spontan posisi tubuh menunjukkan tingkat
ketidaksadaran yang minimal. GCS dapat digunakan sebagai alat ukur yang cepat dan
mudah untuk menilai tingkat kesadaran pasien dengan trauma otak yang berat, dapat
juga digunakan untuk menentukan tingkat penyakit akut yang menyebabkan koma,
namun kurang dapat digunakan untuk diagnosis. 3

1.

Membuka mata
Kelopak mata yang tertutup pada pasien koma menunjukkan bahwa pons
bagian bawah masih intak. Adanya reflex mengedip menunjukkan adanya
peran RAS. Walaupun demikian, mengedip dapat muncul dengan atau tanpa
gerakan spontan dari tungkai.5.

Gambar 2. Respon membuka mata (Eye opening)6

2.

Funduskopi :
Papilloedema merupakan salah satu tanda tekanan intrakranial yang

meningkat, tetapi tidak selalu muncul, terutama dalam situasi akut. Edema papil
biasanya terjadi pada peningkatan TIK setelah lebih dari 12 jam Tidak adanya suatu
edema papil menyingkirkan adanya peningkatan TIK. Pulsasi spontan dari vena sulit
diidentifikasikan, tetapi bila kita temukan menandakan TIK yang normal. Perdarahan
subhialoid yang berbentuk seperti globul bercak darah pada permukaan retina
biasanya berhubungan dengan terjadinya suatu perdarahan subarakhnoid.1,2

3.

Reaksi Pupil :
Ini merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada pasien koma. Yang perlu

diperhatikan adalah bentuk, ukuran dan kesimetrisan dari pupil. Sebuah cahaya yang
kuat harus digunakan karena respon pupil mungkin menjadi lesu di bawah sadar
pasien (cahaya optalmoskop tidak memadai). Reaksi cahaya yang negative sendiri
biasanya menyebabkan pembesaran pada pupil. Sebagai fenomena transititional, pupil
dapat menjadi oval atau pear shaped atau tampak lepas dari pertengahan karena
differential loss of innervations of a portion of the papillary sphincter.
Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya terus membesar hingga ukuran 6 9
mm dan kemudian secepatnya diikuti dengan deviasi ke luar yang ringan. Pada
keadaan yang jarang, tanpa diketahui penyebabnya, pupil kontralateral dari massa
mungkin membesar terlebih dahulu pada 10 % kasus hematoma subdural. Dengan
berlanjutnya gangguan otak tengah, kedua pupil berdilatasi dan menjadi tidak reaktif
terhadap cahaya mungkin sebagai akibat kompresi dari nucleus okulomotor pada
rostral otak tengah. Langkah terakhir pada evolusi kompresi batang otak adalah
reduksi ukuran pupil hingga 5-7 mm.2,3

1.

Pupil yang simetris dengan bentuk dan ukuran yang normal dan reaktif
terhadap rangsang cahaya menandakan midbrain dalam keadaan intak.
Pupil yang reaktif tanpa disertai respon dari kornea dan okulosefalik
menandakan suatu keadaan koma yang disebabkan kelainan metabolik.

2.

Pupil yang semidilated/ Midposition (2-5 mm) terfiksir atau pupil


ireguler menandakan suatu lesi fokal di midbrain.

3.

Pupil pinpoint yang reaktif menandakan kerusakan pada tingkat pons.


Intoksikasi dari opiat dan kholinergik (pilokarpin) juga dapat
menyebabkan pupil seperti ini. Lesi tegmentum pontin menyebabkan
pupil sangat miosis (diameter<1 mm) dengan reaksi yang tidak terlalu
Nampak jelas terhadap cahaya terang kuat : ini merupakan
karakteristik dari fase awal perdarahan pontin.Opiat menyebabkan
pinpoint pupil dengan konstriksi terhadap cahaya yang sangat tipis
sehingga hanya bisa dilihat dengan kaca pembesar. Barbiturate dosis
tinggi dapat bekerja serupa, namun diameter pupil cenderung 1 mm
atau lebih.3

4.

Pupil anisokor dan terfiksir terjadi pada kompresi terhadap saraf


kranial III pada herniasi unkus. Ptosis dan eksodeviasi juga terlihat
pada keadaan tersebut.

5.

Pupil yang terfiksir dan dilatasi menandakan suatu herniasi sentral,


iskemia hipoksia global, keracunan barbiturat, skopolamin, atau
gluthethimide. Keracunan atropine atau obat-obatan dengan efek
atropinik, terutama anti depressan trisiklik, menyebabkan dilatasi pupil
yang lebar dan terfiksasi, gambaran ini dapat direverse secara parsial
dengan fisostigmin.3

6.

Pupil yang dilatasi/ membesar unilateral (diameter 5.5 mm) dan tidak
responsif merupakan tanda awal adanya penarikan atau kompresi dari
saraf ke III (okulomotor) dan menunjukkan adanya massa hemisfer
ipsilateral. 2,3

7.

Sindroma horner (miosis, ptosis, dan anhidrosis) dapat tampak


ipsilateral dari lesi pada batang otak atau hipotalamus atau merupakan
tanda diseksi dari arteri carotis interna. Pada sindroma ini pupil tampak
kecil dan lambat untuk membesar.3

8.

Hippus, atau ukuran pupil yang berfluktuasi, dikatakan sebagai


karakteristik dari ensefalopati metabolik.3

Gambar 4. Reaksi pupil pada berbagai macam lesi.1

Tabel 6. Diagnosa bermakna pada pemeriksaan pupil.


Penemuan klinis pada pasien tidak sadar
Reaksi dan ukuran
Agen metabolik dan toksik
Lesi anatomi
Dilatasi luas-tidak reaktif
Bloker kolinergik kuat atau Kegagalan otak tengah atau
obat simpatomimetik
lesi nervus III bilateral
Dilatasi luas dan reaktif
Antikolinergik
ringan Dapat berarti kegagalan otak
ditemukan
adalam
tengah dini
beberapa OTC tidur dan
medikasi yang dingin,

vasopresor adrenergik
Dilatasi ringan (4-6mm) atau Glutetimide (Doriden)
midposisi
dan tidak
reaktif

Dapat berarti kelumpuhan


keduanya simpatik dan
parasimpatik , Sindrom
Adie
Konstriksi pupil
Tidur normal,anoksia, uremia Interupsi dari jalur simpatik
;obat glaukoma atau
parasimpatomimetik yang
lain
Pinpoint tapi reaktif jika Opiat
Lesi pontine yang masif,
penggunaan
dengan
biasanya
perdarahan
cahaya yang terang
yang mengganggu jalur
simpatik mendatar

10.

Pergerakan mata spontan, respon okulosefalik, dan respon okulovestibular


Pergerakan mata (gaze) dapat mengalami perubahan dalam berbagai cara.
Pada koma ringan akibat penyakit metabolik, bola mata bergerak secara konjugat dari
satu sisi ke sisi lain secara acak terkadang dalam keadaan istirahat dalam posisi
eksentriak. Gerakan ini menghilang dengan bertambah dalamnya koma, dan mata
kemudian tidak bergerak dalam posisi exotropik.
Deviasi salah satu bola mata ke lateral dan bawah menunjukkan adanya
kelumpuhan nervus III dan deviasi ke medial menunjukkan kelumpuhan nervus VI.
Dapat ditemukan adanya deviasi konjugat persisten ke satu sisi menjauhi sisi yang
lumpuh dengan lesi serebral yang luas ( melihat kearah lesi) dan deviasi konjugat ke
sisi yang lumpuh dengan lesi pontine unilateral ( melihat menjauhi lesi). 3

Adanya reflex gerak bola mata yang terganggu menunjukkan bahwa koma bukan
disebabkan oleh kompresi atau dekstruksi dari otak tengah bagian atas. Melainkan
terdapat disfungsi serebral, seperti yang timbul pada anoxia serebral atau supresi
metabolic-toksik dari aktivitas kortikal. Walaupun begitu harus dicatat bahwa
intoksikasi sedative atau antikonvulsan dapat menyebabkan koma yang mungkin
dapat menutupi mekanisme batang otak untuk reaksi okulosefalik dan bahkan respon
okulovestibuler pada kasus yang ekstrim. Asimetris yang ditimbulkan oleh pergerakan
bola mata menjadi tanda adanya penyakit batang otak fokal. Pada koma akibat massa
besar pada salah satu hemisfer serebral yang secara sekunder mengkompresi batang
otak bagian atas, reflex okulosefalik biasanya terlihat, namun gerakan bola mata pada

sisi yang terdapat massa mungkin terhambat pada saat adduksi sebagai akibat paresis
nervus ketiga.3

1.

Perhatikan posisi saat istirahat :


1.

Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi


hemisfer kontralateral dari sisi yang hemiparesis

2.

Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :


1.

lesi di pons kontralateral hemiparesis

2.

lesi di talamus kontralateral dari hemiparesis

3.

aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis


Selama terjadi kejang satu sisi, bola mata bergerak/gaze ke arah
yang kejang ( berlawanan dengan fokus iritatif).

3.

Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari


midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus
refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud

4.

Mata dapat bergerak ke bawah dan dalam pada hematoma atau lesi
iskemik dari thalamus dan otak tengah bagian atas( sebuah variasi dari
Parinaud Syndrome)

5.

Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugasi


tidak menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan
disfungsi hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik

6.

Ocular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata
ke arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat
menunjukkan kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.

7.

Retraksi dan nistagmus konvergen dan ocular bobbing muncul pada


lesi di tegmentum otak tengah dan pons.

8.

Ocular dipping dimana bola mata bergerak ke bawah perlahan dan


kemudian kembali dengan cepat ke meridian, dapat ditemukan pada
koma akibat anoksia dan intoksikasi obat-obatan.

9.

Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan


menunjukkan suatu psikogenik unresponsive.

Tabel 7. Pergerakan mata spontan pada pasien yang tidak sadar1

2.

Respon Oculocephalic (pastikan tidak ada trauma servikal)


Refleks okulosefalik (dolls eye movement) dapat timbul dengan secara
cepat membelokkan atau menengadahkan kepala. Respons yang intak terjadi
pergerakan bola mata berlawanan dari arah pemutaran kepala. Bila refleks ini
tidak terjadi menunjukkan disfungsi dari bilateral hemisfer serebri dan
gangguan integritas dari struktur batang otak, yang sering terlihat pada koma
metabolik.1,3

3.

Respon Oculovestibular
Respon

okulovestibular

dinilai

dengan

tes

kalori

atau

tes

okulovestibular. Irigasi dilakukan pada masing-masing telinga dengan 10 mL

air dingin (atau air suhu ruang pada pasien tidak koma).3 Respon yang normal
terdiri dari deviasi tonik ke arah telinga yang diirigasi, diikuti dalam beberapa
detik dengan nistagmus cepat ke arah kontralateral (menjauhi sisi yang
dirangsang).1 Telinga diirigasi secara terpisah dengan selang waktu beberapa
menit. Pada pasien koma, tahap korektif nystagmus komponen cepat hilang
dan mata dibelokkan ke sisi yang diirigasi dengan air dingin atau menjauh dari
sisi yang diirigasi dengan air hangat; posisi ini mungkin akan bertahan selama
2 sampai 3 menit.3
Ketiadaan gerakan mata dalam respon terhadap tes okulovestibular
(refleks okulovestibular negatif/ menghilang) menandakan adanya koma yang
dalam karena depresi fungsi batang otak.1 Hal ini juga dapat menunjukkan
bahwa terjadi gangguan berat pada jalur tegmental otak di pons atau otak
tengah atau, seperti yang disebutkan, adanya overdosis obat penenang atau
obat bius. 3

1.

Jika hanya satu mata yang abduksi dan yang lainnya adduksi, dapat
disimpulkan bahwa fasciculus longitudinal medial telah terganggu (di
samping kelumpuhan adduktor).

2.

Fase tonik tanpa disertai respons fase cepat dari nistagmus


menandakan koma disebabkan disfungsi bihemisfer

3.

Abducens palsy, ditunjukkan dengan posisi esotropik saat istirahat dan


berkurangnya deviasi kearah luar dari satu mata dengan reflex
manuver.

4.

Paresis konjugat dari gaze menandakan lesi unilateral hemisfer atau


pons

5.

Kelemahan mata asimetris menandakan lesi pada batang otak

Gambar 5.Respon Okulosefalik dan Okulovestibular1


11.

Respon Kornea
Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi saraf kranial V (
aferen) dan saraf kranial VII (eferen).1 Berkurangnya frekuensi dan hilangnya reflex
berkedip spontan,kemudian hilangnya refleks berkedip terhadap respon sentuhan bulu
mata, dan akhirnya kurangnya respon untuk sentuhan kornea adalah tanda yang paling
dapat diandalkan pada koma yang dalam. Adanya asimetri yang nyata dalam respon
kornea dapat menunjukkan adanya lesi hemisfer kontralateral atau, lebih jarang lagi,
lesi ipsilateral di batang otak.3

12.

Pola pernafasan

Pola pernafasan yang abnormal dapat membantu kita menentukan lokalisasi


dari koma. Diantaranya :

1.

Cheyne-Stokes : disebabkan oleh pusat lesi meduler atau timbul dari


kardiovaskuler perifer, lesi bihemisfer atau ensefalopati metabolik.1,2 Setiap
lesi supratentorial yang masif, lesi cerebral bilateral yang dalam, atau
gangguan metabolisme dari otak dapat menimbulkan pola karakteristik
pernapasan, di mana periode waxing dan waning hiperpnea teratur bergantian
dengan periode apnea yang lebih pendek (Cheyne-Stokes, atau CSR).
Fenomena ini berhubungan dengan adanya isolasi pusat pernapasan di batang
otak dari sereberum(otak besar), membuat mereka lebih sensitif dari biasanya
terhadap karbon dioksida (mendorong terjadinya hiperventilasi).
Hal ini menunjukkan bahwa sebagai akibat dari overbreathing, karbon
dioksida darah menurun di bawah konsentrasi yang dibutuhkan untuk
merangsang pusat pernafasan sehingga pernapasan secara bertahap berhenti.
Karbondioksida kemudian terakumulasi kembali sampai melebihi ambang
pernapasan, dan siklus itu berulang. Sebagai alternatif, CSR telah dikaitkan
dengan efek stimulasi dari PO2 arteri yang rendah pada pusat pernapasan yang
terdepresi/tertekan. Dalam kedua kasus, adanya CSR menandakan disfungsi
bilateral struktur otak, biasanya di dalam hemisfer atau diencephalon, dan ini
terlihat dengan keadaan yang tampak mengantuk atau stupor oleh berbagai
penyebab. Coma dengan CSR biasanya karena intoksikasi atau gangguan
metabolisme yang berat dan terkadang karena lesi bilateral, seperti hematoma
subdural. CSR sendiri bukan merupakan tanda kearah kematian. Ini mungkin
terjadi selama tidur pada orang tua dan dapat merupakan manifestasi dari
gangguan paru-jantung pada pasien yang sadar.2,3
Sejumlah lain kelainan irama napas terjadi pada lesi batang otak tetapi
hanya sedikit yang memiliki lokalisasi spesifik. aritmia pernapasan yang lebih
mencolok berhubungan dengan lesi batang otak di bawah tingkat RAS dan
karena itu ditemukan dalam tahap akhir kompresi batang otak atau dengan lesi
batang otak besar seperti infark, perdarahan primer, atau tumor infiltratif.

2.

Central neurogenic hiperventilation :

Gangguan ini biasanya ditandai dengan peningkatan laju dan


kedalaman pernapasan hingga terjadi alkalosis respiratorik. Lesi dari midbrain
bagian bawah , tegmentum pontine bagian atas, baik primer atau sekunder
terhadap herniasi tentorial, CNS limfoma dapat menimbulkan CNH. CNH
dianggap mewakili pelepasan mekanisme refleks untuk kontrol pernafasan di
batang otak yang lebih rendah. Ini harus dibedakan dari hiperventilasi yang
disebabkan oleh penyakit medis, terutama pneumonia dan asidosis. Derajat
ringan dari hiperventilasi biasa timbul setelah sejumlah peristiwa neurologis
akut, terutama cedera kepala. Dasar neurologis dari CNH tidak pasti.
Hal ini telah diamati pada tumor pada medula, pons bagian bawah,
dan otak tengah. Namun, North dan Jennett, dalam studi mengenai gangguan
pernapasan pada pasien bedah saraf, tidak menemukan korelasi yang konsisten
antara takipnea dan lokasi lesi. Hal ini juga dicatat bahwa limfoma otak primer
tanpa keterlibatan batang otak telah muncul sebagai penyebab CNH yang
ganjil/sulit dipahami. (Pauzner et al).1,3

3.

Apneustic breathing
Lesi pontine bagian bawah, biasanya karena oklusi arteri basilaris,
kadang-kadang menyebabkan pernapasan apneustic (jeda 2 sampai 3 detik
dalam inspirasi penuh) atau yang disebut CSR siklus pendek, di mana
beberapa napas yang dalam dan cepat bergantian dengan siklus apneu.3

4.

Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar1

5.

Ataxic breathing : kerusakan pusat pernafasan medular (lesi di fossa posterior)


Dengan lesi bagian dorsomedial medulla, irama pernapasan menjadi
ireguler, menjadi terganggu dan setiap napas bervariasi tingkat dan
kedalamannya (pernapasan Biot; juga disebut pernapasan ataxic). Pola ini
berkembang menjadi salah satu intermittent prolonged inspiratory gasps yang
dikenali oleh semua dokter sebagai agonal pada awalnya dan akhirnya menjadi
apnea, bahkan, respiratory arrest adalah penyebab kematian kebanyakan
pasien dengan penyakit sistem saraf pusat (SSP) yang berat.3

Tabel 8. Neuropathologic Correlates of Breathing Abnormalities1


Forebrain damage
Epileptic respiratory inhibition
Apraxia for deep breathing or breath holding
Pseudobulbar laughing or crying
Posthyperventilation apnea
Cheyne-Stokes respiration
Hypothalamic-midbrain damage
Central reflex hyperpnea (neurogenic pulmonary edema)
Basis pontis damage
Pseudobulbar paralysis of voluntary control
Lower pontin tegmentum damage or dysfunction
Apneustic breathing
Cluster breathing
Short-cycle anoxic-hypercapnic periodic respiration
Ataxic breathing (Biot)
Medullary dysfunction
Ataxic breathing
Slow regular breathing
Loss of autonomic breathing with preserved
voluntary control
Gasping

Gambar 6. Jenis gangguan pernapasan berdasarkan letak lesinya.1


8. Respon motorik
Merupakan indikator terbaik dalam menentukan dalam dan beratnya keadaan koma.
Yang diperhatikan yaitu :
1.

Pergerakan spontan : lihat adanya suatu asimetri


Gerakan gelisah dari kedua lengan dan kedua kaki, gerakan memegang atau
menggenggam

dan

gerakan

mengambil

menandakan

bahwa

traktus

kortikospinalis lebih intak atau kurang intak. Hambatan berlawanan yang


bervariasi terhadap gerakan pasif (kekakuan / rigiditas paratonik), gerakan
menghindar kompleks, dan gerakan pertahanan yang diskrit memiliki
pengertian yang sama; jika gerakan ini bilateral, koma biasanya tidak dalam.
Terjadinya epilepsi fokal motorik menunjukkan bahwa traktus kortikospinalis
yang berkaitan masih intak. Dengan dekstruksi masif dari hemisfer otak,
seperti yang terjadi pada perdarahan hipertensi atau oklusi arteri karotis interna
dan arteri serebral tengah, kejang fokal jarang terlihat di sisi yang lumpuh.

Walaupun begitu, aktifitas kejang mungkin hanya muncul pada tungkai


ipsilateral, sedangkan anggota badan yang kontralateral dihalangi untuk
terlibat oleh hemiplegia tersebut. Seringkali, bentuk-bentuk gerakan rumit
semivolunter muncul pada sisi yang sehat pada pasien dengan penyakit / lesi
yang luas dalam satu hemisfer; mereka mungkin mewakili beberapa jenis
disekuilibrium atau disinihibisi pola pergerakan kortikal dan subkortikal.
Gerakan koreik, atetotik, atau gerakan hemiballistik yang nyata menunjukkan
adanya gangguan dari struktur basal ganglionik dan subthalamik, sama seperti
yang terjadi atau muncul pada pasien yang sadar.3
2.

Tonus otot : peningkatan tonus otot bilateral pada ekstremitas bawah


merupakan tanda penting terjadinya suatu herniasi serebri.1

3.

Induksi pergerakan melalui :


1.

Perintah verbal : normal

2.

Rangsang nyeri : dengan menggosokkan kepalan tangan pemeriksa


pada sternum dan penekanan pada nailbed dengan menggunakan
handel dari palu refleks.

Gambar 7. Pergerakan spontan atau postur1

Gambar 8. Berbagai metode untuk merangsang respon pada pasien yang tidak sadar1

9. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit motoris
yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinskis menunjukkan koma akibat
struktural atau metabolik.

II.5.4 Hal yang perlu dipikirkan


Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada
beberapa pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu :
1.

Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut ?

2.

Apakah jalan napas baik ?


Pasien stupor dan koma berisiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang disebabkan
karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi karena hilangnya
kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT) dengan intubasi
merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas baik dan oksigenasi
yang adekuat.
Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan respirasi
lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk melakukan intubasi. Pada pasien
stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 % oksigen dengan face
mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.

3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ?
Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang dan
dahulu baik medis maupun neurologis.
4.

Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien sebelumnya ?

Kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir kali kontak dan
mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk menanyakan keadaan
pasien sebelum kejadian.
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan
terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain
:
5. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi bila telah
mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS)

ataupun Advance

Cardiac Life Support (ACLS).


6. Pasang jalur intravena (iv line)
7. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini harus
dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang dapat ditangani

secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat disertai keadaan lain
seperti sepsis, henti jantung, atau trauma
8. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :
a. Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN atau ureum, kreatinin)
b. Hitung darah lengkap
c. Analisa gas darah
d. Kalsium dan magnesium
e. Protrombin time (PT) / partial thromboplastin time (PTT)
9. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi, tes
fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia.
10. Lakukan pemasangan folley catheter
11. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen thoraks.

II.5 Pemeriksaan Penunjang


Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan koma
karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera dilakukan
dalam membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain :
1.

CT scan atau MRI kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita


curigai terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone
window pada kejadian trauma kepala

2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,


ensefalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat ditegakkan
melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,
keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui
pemeriksaan CT scan dan lumbal pungsi.

Keadaan pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik telah kita
lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari koma tersebut.
Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan talamus

BAB III
KESIMPULAN
Koma adalah keadaan klinis di mana pasien tidak sadar dan tidak
menanggapi rangsangan. Koma harus dibedakan dari keadaan stupor di mana pasien
tidak responsif tetapi dengan rangsangan menunjukkan beberapa aktivitas. Etiologi
koma secara umum disebabkan oleh kelainan struktur intrakranial seperti batang otak,
talamus, dan hemisfer otak.
Koma juga dapat disebabkan kelainan metabolik, kelainan psikiatris dan
kelainan metabolik. Pemeriksaan pada penderita koma dapat dimulai dari anamnesa
yang dapat diperoleh dari keluarga, teman atau pengantar.
Dari anamnesa perjalanan penyakit dapat diketahui penyebab koma seperti dapat
ditanyakan kapan onset dari koma , apakah ada trauma atau adakah penyakit sistemik
atau penggunaan obat obatan, dll. Pemeriksaan fisik umum tanda vital, tanda trauma,
tanda penyakit sistemik yang akut atau kronis, tanda penggunaan obat dan kaku kuduk.
Pemeriksaan neurologi yang terdiri dari respon verbal, membuka mata, funduskopi,
refleks pupil, pergerakan mata spontan, respon okulosefalik, respon okulovestibular
respon kornea, pola pernafasan, respon motorik, reflek.
Pemeriksaan penunjang penting untuk penentuan diagnosis yang cepat
pada etiologi pasien dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan
penunjang harus segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan seperti yang harus ditegakkan melalui pemeriksaan
pencitraan otak melalui CT (Computed Tomography) , MRI ( Magnetic Resonance
Imaging), LP (Lumbal punction) dan pemeriksaan darah.
Maka dari itu, sangatlah penting bagi tenaga kesehatan terutama dokter
baik dokter umum maupun dokter spesialis untuk mengetahui pemeriksaan koma
terutama pemeriksaan neurologis pada pasien koma untuk mengetahui kelainan kelainan yang terjadi pada pasien koma itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
1. PLUM AND POSNERS DIAGNOSIS OF STUPOR AND COMA Fourth Edition
2007
2. Jurnal Royal Society of Medicine Volume 92 Juli 1999
3. Ropper, Allan H.; Brown, Robert H. Adams & Victors' Principles of Neurology,
8th Edition. McGraw-Hill. 2005
4. William Demyer. Technique of the Neurologic Examination. 1994
5. Rowland, Lewis P. Merritt's Neurology, 11th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins.2005.
6. Lindsay
7. http://www.merckmanuals.com/professional/sec16/ch212/ch212a.html

ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN KOMA/PENURUNAN KESADARAN

KOMA/KESADARAN MENURUN

Nilai ABC (Airway, Breathing, Circulation)


Imobilisasi vertebra servikal jika ada kecurigaan
trauma servikal
Periksa kadar gula darah berikan Dekstrose
50% 20 cc jika kadar gula darah <70 mg/dL
Jika curiga overdosis opioid Nalokson 0,4 mg
iv

2
LAKUKAN PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Derajat kesadaran

Pupil diameter, simetrisitas, reaksi terhadap


cahaya

Refleks batang otak

Respons motorik

Pola pernafasan

3
TELUSURI RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG, TERMASUK
RIWAYAT PAPARAN OBAT-OBATAN ATAU ZAT KIMIA
LAINNYA

PEMERIKSAAN LABORATORIUM: DARAH PERIFER LENGKAP, KIMIA DARAH, FUNGSI


KOAGULASI, ANALISIS GAS DARAH, TOKSIKOLOGI URIN, KADAR ALKOHOL
DARAH, URINALISIS

DIAGNOSIS KERJA

CURIGA
CURIGA LESI NON
STRUKTURAL

LESI STRUKTURAL

KAUSA TIDAK JELAS

9
CT SCAN KEPALA TANPA KONTRAS

10

Hipoglikemia
Krisis hiperglikemia
Gangguan elektrolit
Overdosis obatobatan/drug abuse
Ensefalopati anoksik
Intoksikasi
Endokrinopati
Ensefalopati septic
Ensefalopati hepatik

Trauma kepala
Stroke iskemik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subaraknoid
Infeksi SSP
Tumor otak/SOL
Status epileptikus

11

KAUSA MASIH BELUM JELAS

12

PENJELASAN

CT SCAN KEPALA TANPA KONTRAS (JIKA BELUM DILAKUKAN)


EEG
LP
MRI KEPALA

Langkah 0
I. Tentukan tingkat responsif pasien
a. Observasi: mata tertutup, imobilitas, ekspresi wajah, reaksi terhadap stimulus
b. Tentukan respon terhadap berbagai tingkat stimulus
i. Stimulus verbal
ii. Stimulus taktil/raba
iii. Stimulus nyeri. Stimulus ini dilakukan dengan intens tetapi jangan
sampai menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Manuver yang
direkomendasikan adalah manipulasi sternal, penekanan pada kuku jari,
penekanan daerah supraorbita, atau aspek posterior ramus
mandibularis
Langkah 1
II. ABC (Airway, Breathing, Circulation) dinilai dan dilakukan tindakan yang sesuai
III. Lakukan pemeriksaan yang cepat terhadap kondisi kepala dan leher, toraks, abdomen,
dan ekstremitas. Lakukan imobilisasi vertebra servikal jika dicurigai adanya trauma
servikal
IV. Lakukan pemeriksaan kadar gula darah secara bedside. Jika kadar gula darah <70
mg/dL berikan D50 25 cc. Berikan juga Tiamin 100 mg iv bersamaan dengan
glukosa jika dicurigai adanya risiko defisiensi (pengguna alkohol, kondisi
malabsorbsi)
V. Jika dicurigai adanya toksisitas opioid (riwayat pengguna obat-obatan terlarang, koma,
bradipnea, konstriksi pupil), berikan nalokson 0,4 0,8 mg iv dan ulangi jika
diperlukan
Langkah 2
VI. Assessment neurologis pada pasien dengan penurunan kesadaran terdiri dari 3 bagian
penting:
a. Derajat kesadaran: dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
b. Pemeriksaan fungsi batang otak:
i. Bentuk, ukuran, dan reaktivitas pupil
ii. Refleks kornea
iii. Refleks ancam
iv. Refleks okulosefalik (dilakukan hanya jika tidak ada kecurigaan trauma
servikal)
v. Refleks vestibulo-okulosefalik (tes kalori)
vi. Refleks muntah
vii. Refleks batuk
c. Fungsi motorik: nilai ada tidaknya postur/posisi otot spontan, respon terhadap
perintah, respon terhadap stimulus nyeri. Pemeriksa harus membedakan
aktivitas yang refleksif atau bertujuan (purposeful)
i. Aktivitas refleksif: fleksi/ekstensi/menghindar dari rangsang nyeri
ii. Aktivitas bertujuan(purposeful): mengikuti perintah, melokalisir nyeri.
VII. Pola pernafasan dapat menunjukkan lokasi utama kerusakan di batang otak pada pasien
koma
a. Hiperventilasi neurogenik sentral: lesi pons atau mesensefalon
b. Cluster (Biot): pons
c. Tidak adanya reaksi nafas spontan, pernafasan ataksik, pernafasan cluster: lesi
melibatkan medula oblongata
Langkah 3

VIII.

Anamnesis Riwayat perjalanan penyakit pasien dilakukan BERSAMAAN DENGAN


UPAYA-UPAYA RESUSITASI. Data-data penyebab penurunan kesadaran diperoleh
melalui keluarga atau pengantar pasien. Riwayat medis dan operasi, pengobatan,
alkohol, dan penyalahgunaan obat-obatan, termasuk paparan terhadap substansi
toksik lainnya

Langkah 4
IX. Pemeriksaan laboratorium. Selain penyebab penurunan kesadaran yang reversibel telah
ditemukan dan ditatalaksana dengan sesuai, pemeriksaan laboratorium berikut
PERLU DILAKUKAN SEGERA
a. Kimia darah: kadar Natrium, kalium, kreatinin, ureum, dan transaminase serum
(SGOT/SGPT)
b. Panel hematologis: Hb/Ht, Jumah trombosit, jumlah leukosit
c. Analisis gas darah
d. Kadar alkohol darah; skrining toksikologi melalui pemeriksaan urin, mancakup
opioid, benzodiazepin
e. Urinalisis; kultur darah dan urin
Langkah 5
X. Diagnosis kerja. Informasi yang didapatkan melalui langkah 1 4 digunakan untuk
menegakkan diagnosis kerja, terutama (setidaknya) untuk menyimpulkan apakah
penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan struktural susunan saraf pusat
atau tidak, atau penyebab lain yang belum diketahui
Langkah 6
XI. Sampai terbukti tidak, koma selalu dipertimbangkan sebagai akibat dari kerusakan
struktural SSP, sehingga sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan CT Scan
kepala, karena konsultasi bedah saraf cito mungkin diperlukan.
XII. Etiologi struktural perlu dipertimbangkan jika ditemukan
a. Riwayat: trauma kepala, gejala dan tanda dengan onset akut, AIDS, keganasan
b. Pemeriksaan Fisik: asimetri nervi kraniales, asimetri respon motorik
c. Tidak ditemukannya atiologi toksik-metabolik
XIII.
Pasien dengan kejang pertama kali, perubahan pada bentuk kejang, atau status
epileptikus harus dievaluasi perihal kemungkinan adanya kausa struktural
Langkah 7
XIV.

Koma dengan kausa non-struktural ditandai dengan:


a. Onset progresif
b. Adanya riwayat penggunaan obat-obatan tertentu, alkoholisme, atau paparan
toksin/racun
c. Pemeriksaan saraf kranial dan motorik simetris

Langkah 8
XV. Pada sejumlah pasien, etiologi penurunan kesadaran/koma belum dapat diidentifikasi
melalui langkah 1 4. Untuk itu HARUS dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala non

kontras (langkah 9) dan pemeriksaan lain, jika hasil CT Scan kepala normal
(Langkah 12)
Langkah 9
XVI.
XVII.

CT Scan kepala non kontras harus segera dilakukan pada pasien koma dengan
kecurigaan adanya lesi struktural SSP, dan pada pasien dengan kausa yang tidak
jelas
Jika dicurigai adanya infeksi SSP, CT Scan kepala tanpa kontras juga diperlukan
untuk mengevaluasi ada tidaknya abses, hidrosefalus, transformasi hemoragik, dan
infark vaskulitis

Langkah 10
XVIII. Kausa nonstruktural termasuk ensefalopati anoksik-iskemik, gangguan metabolik,
endokrinopati, infeksi sistemik, overdosis obat-obatan, alkohol dan obat-obatan
terlarang, dan paparan toksin
XIX.
Tatalaksana terkait kausa, untuk obat-obatan atau toksin diperlukan antidot yang
sesuai, misalnya:
a. Overdosis opioid: nalokson
b. Overdosis asetaminofen: N-asetilsistein
XX.
Pada kasus tertentu, misalnya gagal hati akut, ensefalopati metabolik yang terjadi
dapat berkembang ke arah gangguan struktural, seperti udem serebri atau herniasi
XXI.
Kejang dan status epileptikus biasanya tidak disertai dengan adanya kelainan pada
pemeriksaan CT Scan kepala. Meski demikian, pada pasien dengan kejang pertama
atau perubahan pada bentuk kejang harus dipertimbangkan lebih dahulu adanya lesi
struktural
XXII. Infeksi SSP (misalnya meningitis bakterial) mungkin tidak disertai kelainan
struktural pada pemeriksaan CT Scan Kepala tanpa kontras. Meski demikian
pemeriksaan ini tetap diperlukan untuk menyingkirkan adanya abses
a. Jika dicurigai adanya meningitis bakterial, harus segera diberikan antibiotika
spektrum luas dan kortikosteroid, tanpa menunggu hasil CT Scan atau LP
Langkah 11
XXIII. Kausa struktural dari koma termasuk trauma, stroke iskemik/hemoragik. Tumor
otak, dan infeksi SSP
XXIV. Penatalaksanaan sebaiknya dimulai bersamaan dengan konsultasi Neurologi
dan/atau bedah saraf
Langkah 12
XXV.

Jika ketidakpastian diagnosis masih terjadi meski telah dilakukan langkah 1 11,
pemeriksaan tambahan perlu dilakukan
a. CT Scan kepala tanpa kontras dilakukan pada semua pasien koma yang
etiologinya belum jelas
b. EEG, dilakukan untuk menyingkirkan status epileptikus non konvulsi
c. Pungsi lumbal dilakukan jika ada kecurigaan infeksi SSP, inflamasi, infiltrasi
limfoma atau sel ganas, atau perdarahan subaraknoid yang tidak terdeteksi oleh
CT Scan kepala. Sebelum dilakukan LP, adanya SOL harus disingkirkan dengan
pemeriksaan CT Scan kepala

d. MRI kepala dilakukan jika dicurigai adanya stroke iskemik hiperakut, atau
penyebab koma/penurunan kesadaran belum bisa dijelaskan melalui
pemeriksaan-pemeriksaan yang telah dilakukan.

Diadaptasi dari:
Robert D. Stevens & J. Stephen Huff, Emergency Neurological Life Support: Coma Algorithm.

Anda mungkin juga menyukai