Anda di halaman 1dari 3

CERPEN

Itukah dia? Tubuhnya dibalut oblong biru murahan dipadu jeans hitam dengan
jahitan benang merah. Tinggi berkisar 165 cm dengan badan sedikit gempal,
menyender pada sisi etalase "Contempo" di pelataran pertokoan BIP (Bandung Indah
Plaza).Jarak 10 meter,membuat aku leluasa menilik raut mukanya.Wajahnya
bulat,hidungnya tidak begitu mancung.Kulitnya yang putih tidak mampu mengatrol
nilai penampilannya.Ah ... Herman,kamu ternyata biasa-biasa saja! Jauh dari
gambaran cowok idola.
Kutinggalkan dengan tergesa Jalan Merdeka.Teriknya matahari seakan
menyengat.Akhir-akhir ini Bandung terasa panas sekali.Padahal matahari sudah
melampau titik kulminasinya.Kupercepat langkah menuju arena parkir. Kupacu
"astrea" ku. jarum pada speedometer menunjuk angka 80. Bukan tanpa alasan kalau
gas sepeda motor kutambah. Aku takut Herman memergokiku. T-shirt biru dan jeans
hitam yang melekat ditubuhku, cukup untuk membuat Herman mengenaliku.
Kusimpan motorku dihalaman samping. Kujajaki kerikil halaman rumahku. Kuterobos
pintu rumahku.Tidak ada siapa-siapa di rumah.Sepi. Mama dan papa masih dikantor.
Kakakku mungkin lagi asyik di kampusnya. Hanya bi Narsih yang menyambut
kedatangnaku.
Kutuang sirup dan air es kedalam gelas. Kuaduk.Ku minum dengan sekali
teguk. Glek. Tandas. Rasa segar segera menjalari kerongkongan.Cukup untuk
sementara menyejukkan hati yang kesal. Kulirik jam besar dinding ruang makan,
pukul tiga. Barangkali satu dua jam cukup untuk menghilangkan rasa kesalku dengan
tidur siang. Belum aku melayang- layang kealam mimpi, pintu kamarku ada yang
mengetuk. " neng ada temannya," suara Bi Narsih hati-hati. Siapa yang datang
siang-siang begini ? ganggu acara tidur aja ! Meski begitu, segera kubenahi
dandananku.Ku sisir rambutku. Kurapikan t-shirt biru ku. Kulihat seorang pemuda
duduk tertunduk.Wajahnya ditekuk dalam-dalam diruang tamu.
Oblong biru dan jeans hitam yang dikenakan mengingatkan ku pada pemuda
yang memaksa aku tergopoh-gopoh meninggalkan BIP.Hermankah ia? Kalau ya,
nekat betul dia.Langkahku sempat terhenti.Bimbang kutemui atau tidak.Kalau
kutemui,pasti menambah rasa kesal dan kecewa yang telah menumpuk di hati.Kalau
tidak,kasihan dia datang jauh-jauh dari Cianjur hanya untuk
menemuiku.Lagian,mana tanggung jawabku terhadap perjanjian yang telah
diikrarkan.Akhirnya kumantapkan langkahku.Aku harus segera mengenalkan
diri,akulah sahabat pena yang dia cari-cari."Hai ...!"Sapaku seramah mungkin walau
agak dipaksakan.Sapaanku mengejutkan Herman yang sedang anteng menekuri
ubin.
"Evit,ya? "Balasnya yakin banget."Kamu pasti Herman ," ujarku tak kalah
optimisnya,sambil kutebarkan senyum ala kadarnya.Kami bersalaman.Dalam hati
aku berjanji,ini pertemuan pertama sekaligus terakhir.Dandanan Herman yang
kampungan,tongkrongannya yang nggak level menjadi satu-satu nya alasan untuk
tidak mengenalnya lagi.Tangan Herman begitu dingin seperti tidak dialiri darah.Dia
pasti grogi atau minder,setelah tahu sahabat penanya mirimCover girl.Memang
wajahku lumayan.Semua orang mengakui itu.Bahkan di SMA-ku ,aku termasuk gadis
top.Banyak cowok antre menyatakan cinta.Tapi,aku tak peduli.Aku simpan cinta ku
untuk Herman,sahabat penaku.Aku berjanji nyanyi cintaku hanya didendangkan buat
Herman.
Memang aneh belum tahu sosok orangnya,begitu berani aku menegaskan
herman sebagai cowokku.Padahal Herman pun tidak pernah mengusik tentang cinta

lewat surat-suratnya.Nadanya jauh dari romantis.Hanya penawaran


persahabatan.Aku saja yang kelewat berharap.Ketertarikanku pada Herman
kusimpan sendiri,tak pernah kuceritakan pada siapapun.Tidak pada
Nila,sahabatku.Tidak juga pada penghuni rumah.Dari surat-suratnya yang
segar,lincah,aku berani taruhan,Herman orangnya supel,kece,wawasan berpikirnya
luas sehingga layak menjadi cowokku.Herman kubayangkan bertubuh
atletis,handsome dan cukup menyenangkan.Dengan mimpi dan angan yang
kurangkai sendiri,Herman memenuhi kriteria cowokku.
Tapi,ternyata mimpi dan anganku porak porandatat kala sosok Herman
menjelma.Sekarang di depan mataku hadir sesosok tubuh yang jauh dari gambar
yang selama ini kulukiskan.Herman begitu sederhana dibanding Recky,Jeffry ataupun
Dion yang sudah terang-terangan naksir aku.Herman tak lebih dan tak kurang dari
Jono,teman sekelasku yang kerap dijuluki pemuda gunung oleh temantemanku,termasuk aku.Wajahnya begitu ndeso dan lugu."Evit,aku tahu,kamu pasti
kecewa dengan pertemuan ini.Selama ini kamu pasti membayangkan aku cowok
ganteng,gagah,atau kaya.Tapi bayanganmu meleset,aku tak lebih dari cowok
kampung,anak gunung,"ujar Herman. Lho dari mana dia tahu isi kepala ku?
"Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan.Aku bisa meneropong jiwamu.Kamu
gelisah dan kecewa dengan keadaanku,yang ternyata jauh dari
perkiraanmu,"Herman berujardengan dingin dan suara itu berasal dari jauh."Evit aku
datang dari jauh,hanya untuk memenuhi janjiku.Surat terakhirmu meminta kita
bertemu langsung,dan aku menyanggupinya.Seperti yang tertera disurat itu,hari ini
jam dua siang di BIP,tepatnya didepan "Contempo",kita harus bertemu.Mulanya aku
ragu,akankah kedatanganku kau sambut hangat,seperti halnya kedatangan suratku
yang selalu kau cium berkali-kali,"Suara Herman mendingin dan sayup-sayup,tapi
tak ayal menembak jantungku.
Mulutku menjadi terkunci.Kembali keheranan menyergapku,darimana dia tahu
kalau surat-suratnya selalu aku cium,sembari kubayangkan wajah Herman
yang....ehm! "Kepenasaranmu yang sebesar gunung untuk segera bertemu,dan atas
kesepakatan yang telah kita buat,aku korbankan jam sekolahku.Hari ini aku
bolos.Dengan bus tadi pagi,kutinggalkan Cianjur kutinggalkan teman-temanku,juga
kutinggalkan ibu bapakku.Aku datang ke Bandung memenuhi janji itu.Tepat jam
setengah dua,aku berdiri di tempat yang telah kau isyaratkan.Aku tahu jam dua
siang tadi,adalah waktu yang telah disepakati.Sengaja sebelum waktunya,aku sudah
siap menunggu kamu.Aku takut kau sudah menungguku.Aku takut telat.
Aku takut mengecewakan sahabatku.Pukul dua lewat seperempat,kamu
datang.Baju kita sama,biru hitam.Itu aturan yang kau tawarkan,agar kita saling
mudah mengenali.Aku gembira sekali dengan kehadiranmu.Tapi, aku sedih.Ketika
kita bertatapan,kamu malah menyimak sekujur tubuhku.Dari ujung ubun-ubun
hingga ujung kakiku.Kemudian matamu kembali meneliti wajahkuKamu telusuri
lekuk-lekukdan garis wajahku.Sembari berharap kalau-kalau ada yang bisa
ditonjolkan.Setelah tidak ada yang menarik pada wajahku untuk ukuran kamu,cepat
sekali kamu lengoskan kepalamu,Pergi dengan seribu langkah.Sigap
langkahmu,seperti seorang pencuri yang takut ketahuan setelah menjalankan
aksinya"
Pidatonya yang panjang membuat kupingku terbakar."Evit,aku mengakui wajah
tampan atau penampilan yang ngetrend cukup besar peranannya ketika berjumpa
pertama kali.Namun, kita jangan terpaku dengan hal yang satu ini.Sebab kecantikan
atau ketampanan bisa menjerumuskan pada suatu persahabatan yang terlalu
dipaksakan.Gara-gara wajahku jelek kamu tidak mau meneruskan persahabatan
denganku.Kamu menilai suatu persahabatan dengan menimbang kadar kebaikan

dan keburukan,hanya dari penampilan luarnya saja.Meski kamu tidak tahu warna
jiwaku,ternyata kamu sudah memberi ultimatum,aku tak pantas menjadi
sahabatmu," Kata-kata herman begitu menohok jantungku.
Aku tak mampu menatap wajahnya,bahkan untuk mengangkat kepala aku tak
sanggup.Serasa ribuan ton besi menggelayut di kepalaku.Lalu kudengar Herman
mendesah."Hanya itu kata-kata terakhir yang kusampaikan . Aku cukup tahu diri
untuk tidak menjadi sahabatmu lagi," Tandas Herman.Kepergian Herman membuatku
banyak merenungi kata yang terlucur dari mulutnya.Benar adanya semua celoteh
Herman.Aku memang seringkali mengukur suatu persahabatan dengan standar
penampilan dari luarnya saja.Hanya mengandalkan sosok luar,aku begitu tega
menyia-nyiakan kedatangan Herman.Padahal Herman mempunyai kelebihan,
wawasannya luas.
Herman,maafkan aku! nanti malam akan kutulis surat untuk menetralisir
keadaan.Herman,aku tetap sahabatmu terima kasih untuk segala cercaanmu,dan
akan kusimpan pada benak kepedulian.Akan kujadikan sebagai pelajaran hidup.Akan
kuundang kamu pada pertemuan kedua.Terasa hati begitu tenang.Pagi ini aku
bersiap-siap pergi ke sekolah kurencanakan sepulang sekolah aku mampir ke kantor
pos mengirim surat untuk Herman yang kutulis tadi malam.Kulirik jam yang
melingkar ditanganku: pukul 6.20.cukup 10 menit untuk membaca koran pagi
sebelum berangkat.
Kujemput koran Pikiran Rakyat.Kujajari huruf-huruf yang tertera dihalaman
muka.tak ada berita yang mampu mengikat mataku.Kubuka halaman
dua,rubrik Bandung Raya,ada berita perampokan,ada berita pengangkatan pejabat
ada kegiatan ibu-ibu Dharma Wanita,dan ada berita kecelakaan lalu lintas.Tertarik
juga aku membaca berita terakhir.Kupelototi mataku menyimak berita kecelakaan
lalu lintas. ... Seorang pemuda,diketahui bernama Herman Sudrajat (17) penduduk
Cianjur menjadi korban tabrak lari.Ia tewas seketika kemarin sore sekitar pukul tiga
dijalan Merdeka.Tubuhnya nyaris hancur setelah di hantam sebuah truk nopol ...
Tak kutuntaskan berita itu.Hermankah korban tabrak lari itu? Pukul tiga ia
tertabrak dan tewas seketika.Padahal beberapa menit kemudian ia hadir
disini.Jadi,yang datang ke rumah adalah ... Bulu kudukku berdiri dan aku merasakan
ketakutan yang sangat.Keringat dingin berleleran di sekujur muka.Pemandanganku
kabur,terasa pijakan kaki labil.Lalu ... tiba-tiba semua gelap.Gelap!

oleh:Pipit Puspitawati

Anda mungkin juga menyukai